Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Yogyakarta merupakan salah satu kota besar yang terdapat di


Indonesia. Kota ini juga merupakan salah satu kota yang memilik status
sebagai Daerah Istimewa di Indonesia. Sesuai dengan keistimewaannya,
Yogyakarta menyimpan banyak sejarah peradaban dunia yang merupakan
kisah perjalanan hidup di masa lalu. Banyak objek wisata bersejarah di kota
ini menjadikan masyarakat Indonesia memilih Yogyakarta sebagai destinasi
wisata sejarah hingga kini. Salah satunya adalah Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat yang telah dibangun sejak tahun 1755 oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono I, beberapa bulan setelah diadakannya perjanjian
Giyanti.

Masyarakat percaya bahwa keraton merupakan referensi budaya


mereka. Dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton
Yogyakarta tetap memilik karisma di lingkungan masyarakat Jawa
khususnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Keraton Yogyakarta memiliki warisan budaya baik yang berbentuk


upacara maupun benda-benda kuno bersejarah. Di sisi lain, Keraton
Yogyakarta dan masyarakat sekitarnya memiliki hubungan erat yang
tampak nyata dalam segi budaya, seperti kesenian, ritual, dan upacara adat.
Meski dengan adanya modernisasi yang dialami Yogyakarta namun
Keraton Yogyakarta tetap dihormati masyarakatnya. Oleh karena itu
penyusun tertarik membuat karya tulis dengan judul “Peranan
Masyarakat Sekitar Keraton Terhadap Kelestarian Budaya di
Yogyakarta”.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut:


1. Mengapa keraton dijadikan warisan budaya Yogyakarta?
2. Bagaimana peranan masyarakat sekitar keraton terhadap kelestarian
budaya di Yogyakarta?
3. Apa saja budaya masyarakat yang terpengaruhi oleh budaya Keraton
Yogyakarta?
C. Maksud dan Tujuan
Maksud penyusunan karya tulis ini adalah untuk memenuhi tugas
akademik kelas XI program IPA tahun pelajaran 2016/2017.
Adapun tujuan dari penyusunan karya tulis ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui bahwa Keraton adalah warisan budaya Yogyakarta.
2. Untuk mengetahui peranan masyarakat sekitar Keraton terhadap
kelestarian budaya di Yogyakarta
3. Untuk mengetahui contoh budaya masyarakat yang terpengaruhi oleh
budaya Keraton Yogyakarta
D. Metode Penelitian
Metode yang kami lakukan dalam pembuatan karya tulis ini yaitu
sebagai berikut :
1. Observasi
Observasi dilakukan dengan mengunjungi Keraton Yogyakarta pada
tanggal 17 Oktober 2016.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan mewawancarai Abdi Dalem Keraton
Yogyakarta pada tanggal 17 Oktober 2016.
3. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari
beberapa sumber. Penyusun memperoleh data dari beberapa buku
sumber yang berkaitan dengan judul karya tulis. Selain itu, penyusun
juga mengumpulkan data dari media elektronik (internet) sebagai
referensi.
E. Sistematika Penulisan
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Maksud dan Tujuan
D. Metode Penelitian
E. Sistematika Penulisan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Sejarah Keraton Yogyakarta


B. Tata Ruang dan Arsitektur Umum
C. Arti Simbolik Bangunan Keraton Yogyakarta
D. Filosofi dan Mitologi Seputar Keraton Yogyakarta
E. Warisan Budaya Keraton Yogyakarta

BAB III PEMBAHASAN

A. Keraton sebagai Warisan Budaya Yogyakarta


B. Peranan Masyarakat Sekitar Keraton Terhadap Kelestarian
Budaya di Yogyakarta
C. Budaya Masyarakat yang Telah Dipengaruhi oleh Budaya
Keraton Yogyakarta

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN – LAMPIRAN
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Sejarah Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku
Buwono I beberapa bulan paska perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang
bernama Garjitawati. Pesanggarahan ini digunakan istirahat iring – iringan
jenazah raja – raja mataram (kartasura dan Surakarta) yang akan
dimakamkan Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan
sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan.
Sbelum menempati keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono I
berdiam di Pesanggarahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk
wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Dengan ditandatanganinya perjanjian Giyanti (13 Februari 1355)
antara pangeran mangkubumi dan VOC dibawah gubernur Jendral Jacob
Mosel, maka kerajaan Mataram dibagi 2. Pangeran mangkubumi diangkat
sebagai sultan dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I dan berkuasa atas
setengah daerah kerajaan Mataram. Sementara itu, Sunan Paku Buwono III
tetap berkuasa atas setengah derah lainnya dengan nama baru Kasunan
Surakarta dan daerah pesisir. Sultan Hamengku Buwono I kemudian segera
membuat ibu kota kerajaan dengan membuka daerah baru (Jawa: babat
alas) di hutan beringan yang terletak antara aliran sungai Winingo dan
sungai Code. Ibukota berikut istananya tersebut dinamakan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Ianscape berhasil diselesaikan pada 7 Oktober 1756
selanjutnya secara turun temurun pada keturunannya memerintah
kesultanan disana.
Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang
berbentuk upacara maupun benda benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain,
Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan
pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai nilai
filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan
untuk itulah pada tahun 1995 komplek Keraton Yogyakarta dicalonkan
untuk menjadi salah satu situs warisan dunia UNESCO.
Keraton Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 atau tahun jawa
1682, diperingati. dengan sebuah CondrosengkoloMemet di pintu gerbang
Kemagangan dan pintu Gading Melati, berupa 2 ekor naga berlilitan satu
sama lainnya. Dalam bahasa Jawa : “Dwi naga rasa tunggal” artinya : dwi
= 2, naga = 8, rasa = 6, tunggal = 1, dibaca dari arah belakang 1682. Warna
naga hijau, hijau ialah simbol dari pengharapan. Di sebelah luar pintu dari
pintu gerbang itu, di atas tebing tembok kanan-kiri ada hiasan juga terdiri
dari dua ekor naga bersiap-siap untuk mempertahankan diri. Dalam bahasa
jawa : “Dwi naga rasa wani”, artinya : Dwi = dua, naga = delapan, rasa =
enam, wani = satu, jadi tahun 1682.
Tahunnya sama, tetapi dekorasinya tak sama. Ini tergantung dari
arsitektur, tujuan dan sudut yang dihiasinya. Warna naga merah. Merah
ialah symbol keberanian. Dihalaman kemagangan ini dahulu diadakan
ujian-ujian bela diri memakai tombak antar calon prajurit-prajurit keraton.
B. Tata Ruang dan Arsitektur Umum
Arsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I,
pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam
bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan
berkebangsaan Belanda, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien
Adam yang menganggapnya sebagai "arsitek" dari saudara Pakubuwono
II Surakarta". Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton
berikut desain dasar lanskap kota tua Yogyakarta diselesaikan antara tahun
1755-1756. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan
Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian
besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan olehSultan
Hamengku Buwono VIII (bertahta tahun 1921-1939).
1. Tata ruang
Dahulu bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai dari
Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung Nirboyo di selatan.
Kini, Bagian-bagian utama keraton Yogyakarta dari utara ke selatan
adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler
(Lapangan Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan);
Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil Ler, Kompleks
Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton;
Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks
Siti Hinggil Kidul (sekarang disebut Sasana Hinggil); serta Alun-alun
Kidul (Lapangan Selatan) dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut
Plengkung Gadhing.
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah
selatannya boleh dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di utara
Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan
Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton
sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun
demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain.
Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan
keraton juga memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain
adalah Kompleks Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan, Kompleks
Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra
Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di Dalem Mangkubumen).
Di sekeliling Keraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan
yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar
dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan keraton
antara lain Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, nDalem Kepatihan
(Istana Perdana Menteri), dan Pasar Beringharjo.
2. Arsitektur umum
Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang
ditutupi dengan pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta
pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu
dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan
dihubungkan dengan Regol yang biasanya bergaya Semar Tinandu.
Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka
setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang
disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini
terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat
bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu
terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda,
bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya
berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya.
Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan joglo
tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada
bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu
yang disebutTratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap
seng dan bertiang besi.
Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari
sirap, genting tanah, maupun seng dan biasanya berwarna merah atau
kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut
dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang
lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau
hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas
maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari
kayu memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan
tertentu (misal Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong,
stilasi dari kaligrafi Allah, Muhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di
tengah tiangnya.
Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan
ornamen berwarna emas. Warna putih mendominasi dinding
bangunan maupun dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat
dari batu pualam putih atau dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih
tinggi dari halaman berpasir. Pada bangunan tertentu memiliki lantai
utama yang lebih tinggi. Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan
batu persegi yang disebut Selo Gilang tempat menempatkan
singgasana Sultan.
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya
termasuk kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama
misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas
jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah
dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas
bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan tidak memiliki
ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat
dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan
itu sendiri.
3. Arti Simbolik Bangunan Keraton Yogyakarta
Arti simbolik bangunan keraton Yogyakarta adalah :
1. Krapyak adalah sebuah gambaran dari tempat asal roh-roh. Disebelah
utaranya terletak kampung Mijen, berasal dari perkataan Wiji
(Benih). Jalan lurus ke utara, kanan kiri dihiasi dengan pohon asem
dan tanjung menggambarkan kehidupan Sang Anak yang lurus, bebas
dari rasa sedih dan cemas, rupanya “nengsemaken” (menarik) serta
disanjung-sanjung selalu, istimewa oleh ibu bapaknya.
2. Plengkung Gading atau Plengkung Nirbaya. Plengkung ini
menggambarkan batas periode sang anak mengijak dari masa kanak-
kanak ke masa pra puber. Sinom itu selalu dipelihara dengan cermat
oleh pemudi-pemudi, karena dapat menambah kecantikannya.
3. Alun-alun selatan disini kita dapat lihat dua pohon beringin, bernama
“wok”. Wok berasal dari kata “Bewok”. Dua pohon beringin di
tengah-tengah alun-alun menggambarkan bagian badan kita yang
rasia sekali, maka dari itu diberi pagar batu bata. “jumlahnya”, yaitu
2, menunjukan laki-laki, “namanya’ yaitu “SupitUrang” menunjukan
perempuan. Lima buah jalan raya yang bertemu satu sama lainnya
disini menggambarkan panca indra kita. Tanah berpasir artinya
belum teratur, lepas satu sama lainnya. Apa yang kita tanggap dengan
panca indra kita belumteratur. Nanti kalau ada sesuatu perhatian,
barulah teratur. Keliling alun-alun di tanami pohon Kweni dan Pakel,
artinya sang anak sudah wani (berani) karena sudah “akil baligh”.
4. Kita menuju terus ke utara, ke Siti hinggil. Disini ada sebuah trateg
atau tempat istirahat beratap anyaman bambu. Kanan – kiri tumbuh
pohon-pohon Gayam dengan daun-daunnya yang rindang serta
bunga-bunganya yang harum wangi. Siapa saja yang berteduh
dibawah tratag itu akan terasa nyaman, tentram,senang dan bahagia.
Menggambarkan rasa pemuda-pemudi yang sedang di rindu cinta
asmara.
5. Kita berada di Sitihinggil. Di tengah-tengah dahulu ada pendoponya
dan di tengah-tengah pantai ada selo-gilangnya, tempat singga sana
Sri Sultan. Kanan-kiri tempat duduk krabat kratin dan abdi dalem
lain-lainnya, pria wanita berkumpul menghormat Sri Sultan.
Menggambarkan pemuda-pemudi duduk bersanding di kursi
temanten. Pohon-pohon yang ditanam disini ialah pohon Mangga
Cempora serta Soka. Kedua pohon ini mempunyai bunga yang halus
panjang berkumpul menjadi satu, ada yang merah ada yang putih,
gambaran dari bercampurnya benih manusia laki dan perempuan.
Kanan-kiri pendopo Sitihinggil, dihalaman sebelah timur dan barat
ada kamar mandinya. Sitihinggil ini dilingkari oleh sebuah jalan,
Pamengkang namanya. Mengangkang adalah keadaan kaki kita,
kalau terletak sedikit jauh sama lainnya.
6. Kalau kita melanjutkan perjalanan kita ke utara, maka sampailah kita
di halaman Kemandungan. Pohon yang di tanam disini ialah Pohon
Kepel, Pelem (mangga), Cengkir Gading serta Jambu Dersono.
Menggambarkan benih dalam kandungan sang ibu. Photon Pelem
menggambarkan pada gelem, atas kemauan bersama. Jambu Darsono
dari kader sih ing sesama. Menggambarkan karena diliputi oleh kasih
cinta satu sama lain. Pohon kempel atau kempal, menggambarkan
bersatunya kemauan, bersatunya benih, bersatuan rasa, bersatunya
cita-cita. Cengkir Gading adalah sejenis pohon kelapa dan kecil
bentuknya. Dipakai pada upacara “mitoni” yang memperingati sang
bayi sudah tujuh bulan di kandungan. Jalan kecil dari sini ke kanan
dan kekiri menggambarkan pengaruh-pengaruh negative yang dapat
mengganggu pertumbuhan sang bayi.
7. Melalui Regol Gadungmlati, sampailah kita di Kemagangan. Jalan
disini menyempit (dibuat sempit) kemudian melebar dan terang
benderang. Suatu gambaran anatomis yang tepat sekali.
Menggambarkan Sang Bayi telah lahir dengan selamat menjadi
magang (calon) manusia. Kepadanya telah tersedia makan yang
cukup, di gambarkan dengan adanya dapur Keraton Gebulen dan
Sekullanggeng. Jalan besar kanan-kiri Kemagangan menggambarkan
juga pengaruh negative atau positive atas perkembangan Sang Anak.
Hendaknya Sang Anak dididik mengarahkan cita-citanya lurus ke
utara, ke Keraton, tempat bersemayam Sri Sultan. Disini ia dapat
mencapai yang dicita-citakannya, asal mau berkerja dengan baik,
patuh pada peraturan-peraturan, setia dan selalu ingat dan mengabdi
kepada Tuhan Yang Maha Murah. Semua ini digambarkan oleh apa
yang kita lihat di Keraton sampai sekarang ini. Misalnya lampu
Keraton, Kyai, Wiji, menggambarkan “sinar yang tak pernah padam”
atau menurut Dr.F.Pigeand dan Dr.L.Adam, bekas Gubernur
Yogyakarta. : “ Het eeuwige van onze geest”.

4. Filosofi dan Mitologi Seputar Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Keraton Yogyakarta atau dalam bahasa aslinya Keraton Kasultanan


Ngayogyakarta merupakan tempat tinggal resmi para Sultan yang bertahta
di Kesultanan Yogyakarta. Karaton artinya tempat dimana “ratu” (bahasa
Jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja) bersemayam. Dalam kata
lain Keraton (bentuk singkat dari Ke-ratu-an)merupakan tempat kediaman
resmi/Istana para Raja. Artinya yang sama juga ditunjukkan dengan kata
Kedaton. Kata Kedaton (bentuk singkat dari Ke-datu-an) berasal dari kata
“Datu” yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja. Dalam pembelajaran
tentang budaya Jawa, arti ini mempunyai arti filosofis yang sangat dalam.

Keraton Yogyakarta tidak didirikan begitu saja. Banyak arti dan


makna filosofis yang terdapat di seputar dan sekitar keraton. Selain itu
istana Sultan Yogyakarta ini juga diselubungi oleh mitos dan mistik yang
begitu kental. Filosofi dan mitologi tersebut tidak dapat dipisahkan dan
merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang bernama keraton. Penataan
tata ruang keraton, termasuk pula pola dasar landscape kota tua Yogyakarta,
nama-nama yang dipergunakan, bentuk arsitektur dan arah hadap bangunan,
benda-benda tertentu dan lain sebagainya masing-masing memiliki nilai
filosofi dan mitologinya sendiri-sendiri.

Tata ruang dasar kota tua Yogyakarta berporoskan garis lurus Tugu,
Keraton, dan Punggung Krapyak serta diapit oleh Sungai Winongo di sisi
barat dan Sungai Code di sisi timur. Jalan P. Mangkubumi (dulu
Margotomo), jalan Malioboro (dulu Maliyoboro), dan jalan Jendral Ahmad
Yani (dulu Margumulyo) merupakan sebuah boulevard lurus dari Tugu
menuju Keraton. Jalan D.I. Panjaitan (dulu Ngadinegaran) merupakan
sebuah jalan yang lurus keluar dari Keraton melalu Plengkung Nirboyo
menuju Panggung Krapyak. Pengamatan citra satelit memperlihatkan Tugu,
Keraton, dan Panggung Krapyak berikut jalan yang menghubungkan
tersebut hamper segaris (hanya meleset beberapa derajat). Tata ruang
tersebut mengandung makna “sangkan paraning dumadi” yaitu asal mula
manusia dan tujuan asasi terakhirnya.

Dari Panggung Krapyak menuju ke Keraton (Komplek Kedaton)


menunjukkan “sangkan” asal mula penciptaan manusia sampai manusia
tersebut dewasa. Ini dapat dilihat dari kampong di sekitar Panggung
Krapyak yang diberi nama kampong Mijen (berasal dari kata “wiji” yang
berarti benih). Di sepanjang jalan D. I Panjaitan ditanami pohon asam dan
tanjung yang melambangkan masa anak-anak menuju remaja. Dari Tugu
menuju ke Keraton (Komplek Kedaton) menunjukkan “paran” tujuan akhir
manusia yaitu menghadap penciptanya. Tujuh gerban dari Gladhag sampai
donopratopo melambangkan tujuh langkah/gerbang menuju surge (seven
step to heaven).

Tugu golong gilig (tugu Yogyakarta) yang menjadi batas utara kota
tua menjadi simbol “manunggaling kawulo gusti” bersatunya antara raja
(golong) dan rakyat (gilig). Simbol ini juga dapat dilihat dari segi mistis
yaitu persatuan antara khalik (Sang Pencipta) dan makhluk (ciptaan). Sri
Manganti berarti Raja sedang menanti atau menanti sang Raja.

Pintu Gerbang Donopratopo berarti “seseorang yang baik selalu


memberikan kepada orang lain dengan sukarela dan mampu menghilangkan
hawa nafsu”. Dua patung raksasa Dwarapala yang terdapat di samping
gerbang, yang satu, Balabuta, menggambarkan kebaikan. Hal ini berarti
“Anda harus dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang jahat.”

Beberapa pohon yang ada di halaman komplek keraton juga


mengandung makna tertentu. Pohon beringin di Alun-alun utara berjumlah
64 (atau 63) yang melambangkan usia Nabi Muhammad SAW. Dua pohon
beringin di tengah Alun-alun Utara menjadi lambing makrokosmos (K.
Dewodaru, dewo=Tuhan) dan mikrokosmos (K. Janadaru, jana=manusia).
Selain itu ada yang mengartikan Dewodaru adalah persatuan antara Sultan
dan Pencipta sedangkan Janadaru adalah lambing persatuan Sultan dan
rakyatnya. Pohon gayam bermakna “ayem” (damai,tenang,bahagia)
maupun “gayuh” (cita-cita). Pohon sawo kecik bermakna “sarwo becik”
(keadaan serba baik, penuh kebaikan).

Dalam upacara grebeg, sebagian masyarakat mempercayai apabila


mereka mendapatkan bagian dari gunungan yang diperebutkan mereka akan
mendapat tuah tertentu seperti kesuburan tanah dan panen melimpah bagi
para petani. Selain itu saat upacara sekaten sebagian masyarakat
mempercayai jika menguyah sirih pinang saat gamela sekati
dimainkan/dibunyikan akan mendapat tuah awet muda. Air sisa yang
digunakan untuk membersihkan pusaka pun juga dipercaya sebagian
masyarakat memiliki tuah. Mereka rela berdesak-desakan sekedar untuk
memperoleh air keramat tersebut.

Benda-benda pusaka keraton juga dipercaya memilik daya magis


untuk menolak bala/kejahatan. Konon bendera KK Tunggul Wulung, sebuah
bendera yang konon berasal dari kain penutup kabah di Makka (kiswah),
dipercaya dapat menghilangkan wabah penyakit yang pernah mejangkiti
masyarakat Yogyakarta. Bendera tersebut dibawa dalam suatu perarakan
mengelilingi banteng bulewerti. Konon peristiwa terakhir terjadi pada
tahun 1947. Dipercayai pula oleh sebagian masyarakat bahwa Kyai Jegot,
roh penunggu hutan Beringan tempat Keraton Yogyakarta didirikan,
berdiam di salah satu tiang utama di Dalem Agung Prabayaksa. Roh ini
dipercaya menjaga ketentraman kerajaan dari gangguan.

5. Warisan Budaya Keraton Yogyakarta


Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Yogyakarta juga
memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah
upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka (heirloom).
Upacara adat yang terkenal adalah upacara Sekaten, upacara Siraman
Pusaka dan Labuhan, upacara Garebeg dan upacara Tumplak Wajik.
Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus
dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus
dilindungi dari klaim pihak asing.
1. Upacara Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan
selama tujuh hari. Upacara ini sudah dilakukan sejak jaman kerajaan
Demak. Sebenarnya tujuan utama upacara ini adalah dalam rangka
memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw (Maulid Nabi). Sekaten
sendiri berasal dari istilah credo yang dalam agama Islam
berarti Syahadatain. Upacara Sekaten ini ditandai dengan keluarnya dua
perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga dari
keraton untuk ditempatkan di Pagongan Selatan dan Utara di depan
Masjid Gedhe (Masjid di dalam komplek Keraton). Selama tujuh hari,
mulai hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud, kedua perangkat gamelan
tersebut ditabuh secara bergantian.

2. Upacara Siraman Pusaka dan Labuhan


Dalam bulan pertama kalender Jawa yaitu bulan Suro, Keraton
Yogyakarta memiliki upacara tradisi khas yaitu Upacara Siraman
Pusaka dan Labuhan, maksudnya adalah untuk membersihkan maupun
merawat Pusaka Kerajaan yang dimiliki. Upacara ini di selenggarakan
di empat tempat dan lokasinya juga tertutup untuk umum dan hanya
diikuti oleh keluarga kerajaan.

Sedangkan Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan di


dua tempat yaitu Pantai Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Di
kedua tempat itu benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain
batik), rasukan (pakaian) dihanyutkan. Benda-benda tersebut kemudian
diperebutkan oleh masyarakat.

3. Upacara Garebeg
Setiap tiga kali dalam satu tahun kalender Jawa upacara Garebeg
diadakan, tepatnya tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ke-3), tanggal
satu bulan Sawal (bulan ke-10) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan
ke-12). Pada hari-hari tersebut Sultan berkenan mengeluarkan
sedekahnya kepada rakyat sebagai perwujudan rasa syukur kepada
Tuhan atas kemakmuran kerajaan.

4. Upacara Tumplak Wajik

Ini merupakan acara pembuatan Wajik (makanan khas yang


terbuat dari beras ketan dengan gula kelapa) untuk mengawali
pembuatan pareden yang digunakan dalam upacara Garebeg, dua hari
sebelum upacara Garebeg tepatnya. Upacara ini dihadiri oleh pembesar
Keraton. Musik-musik khas budaya Jawa pun terdengar dalam prosesi
upacaranya, seperti musik ansambel lesung-alu (alat penumbuk
padi), kenthongan, dan alat musik kayu lainnya. Setelah upacara selesai
dilanjutkan dengan pembuatan pareden.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Keraton sebagai Warisan Budaya Yogyakarta
B. Peranan Masyarakat Sekitar Keraton Terhadap Kelestarian Budaya
di Yogyakarta
C. Contoh Budaya Masyarakat yang Telah Dipengaruhi Oleh Budaya
Keraton Yogyakarta
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran

Anda mungkin juga menyukai