PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN – LAMPIRAN
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Sejarah Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku
Buwono I beberapa bulan paska perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang
bernama Garjitawati. Pesanggarahan ini digunakan istirahat iring – iringan
jenazah raja – raja mataram (kartasura dan Surakarta) yang akan
dimakamkan Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan
sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan.
Sbelum menempati keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono I
berdiam di Pesanggarahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk
wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Dengan ditandatanganinya perjanjian Giyanti (13 Februari 1355)
antara pangeran mangkubumi dan VOC dibawah gubernur Jendral Jacob
Mosel, maka kerajaan Mataram dibagi 2. Pangeran mangkubumi diangkat
sebagai sultan dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I dan berkuasa atas
setengah daerah kerajaan Mataram. Sementara itu, Sunan Paku Buwono III
tetap berkuasa atas setengah derah lainnya dengan nama baru Kasunan
Surakarta dan daerah pesisir. Sultan Hamengku Buwono I kemudian segera
membuat ibu kota kerajaan dengan membuka daerah baru (Jawa: babat
alas) di hutan beringan yang terletak antara aliran sungai Winingo dan
sungai Code. Ibukota berikut istananya tersebut dinamakan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Ianscape berhasil diselesaikan pada 7 Oktober 1756
selanjutnya secara turun temurun pada keturunannya memerintah
kesultanan disana.
Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang
berbentuk upacara maupun benda benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain,
Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan
pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai nilai
filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan
untuk itulah pada tahun 1995 komplek Keraton Yogyakarta dicalonkan
untuk menjadi salah satu situs warisan dunia UNESCO.
Keraton Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 atau tahun jawa
1682, diperingati. dengan sebuah CondrosengkoloMemet di pintu gerbang
Kemagangan dan pintu Gading Melati, berupa 2 ekor naga berlilitan satu
sama lainnya. Dalam bahasa Jawa : “Dwi naga rasa tunggal” artinya : dwi
= 2, naga = 8, rasa = 6, tunggal = 1, dibaca dari arah belakang 1682. Warna
naga hijau, hijau ialah simbol dari pengharapan. Di sebelah luar pintu dari
pintu gerbang itu, di atas tebing tembok kanan-kiri ada hiasan juga terdiri
dari dua ekor naga bersiap-siap untuk mempertahankan diri. Dalam bahasa
jawa : “Dwi naga rasa wani”, artinya : Dwi = dua, naga = delapan, rasa =
enam, wani = satu, jadi tahun 1682.
Tahunnya sama, tetapi dekorasinya tak sama. Ini tergantung dari
arsitektur, tujuan dan sudut yang dihiasinya. Warna naga merah. Merah
ialah symbol keberanian. Dihalaman kemagangan ini dahulu diadakan
ujian-ujian bela diri memakai tombak antar calon prajurit-prajurit keraton.
B. Tata Ruang dan Arsitektur Umum
Arsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I,
pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam
bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan
berkebangsaan Belanda, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien
Adam yang menganggapnya sebagai "arsitek" dari saudara Pakubuwono
II Surakarta". Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton
berikut desain dasar lanskap kota tua Yogyakarta diselesaikan antara tahun
1755-1756. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan
Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian
besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan olehSultan
Hamengku Buwono VIII (bertahta tahun 1921-1939).
1. Tata ruang
Dahulu bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai dari
Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung Nirboyo di selatan.
Kini, Bagian-bagian utama keraton Yogyakarta dari utara ke selatan
adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler
(Lapangan Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan);
Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil Ler, Kompleks
Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton;
Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks
Siti Hinggil Kidul (sekarang disebut Sasana Hinggil); serta Alun-alun
Kidul (Lapangan Selatan) dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut
Plengkung Gadhing.
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah
selatannya boleh dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di utara
Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan
Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton
sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun
demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain.
Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan
keraton juga memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain
adalah Kompleks Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan, Kompleks
Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra
Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di Dalem Mangkubumen).
Di sekeliling Keraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan
yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar
dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan keraton
antara lain Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, nDalem Kepatihan
(Istana Perdana Menteri), dan Pasar Beringharjo.
2. Arsitektur umum
Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang
ditutupi dengan pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta
pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu
dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan
dihubungkan dengan Regol yang biasanya bergaya Semar Tinandu.
Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka
setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang
disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini
terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat
bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu
terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda,
bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya
berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya.
Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan joglo
tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada
bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu
yang disebutTratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap
seng dan bertiang besi.
Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari
sirap, genting tanah, maupun seng dan biasanya berwarna merah atau
kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut
dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang
lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau
hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas
maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari
kayu memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan
tertentu (misal Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong,
stilasi dari kaligrafi Allah, Muhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di
tengah tiangnya.
Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan
ornamen berwarna emas. Warna putih mendominasi dinding
bangunan maupun dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat
dari batu pualam putih atau dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih
tinggi dari halaman berpasir. Pada bangunan tertentu memiliki lantai
utama yang lebih tinggi. Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan
batu persegi yang disebut Selo Gilang tempat menempatkan
singgasana Sultan.
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya
termasuk kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama
misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas
jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah
dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas
bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan tidak memiliki
ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat
dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan
itu sendiri.
3. Arti Simbolik Bangunan Keraton Yogyakarta
Arti simbolik bangunan keraton Yogyakarta adalah :
1. Krapyak adalah sebuah gambaran dari tempat asal roh-roh. Disebelah
utaranya terletak kampung Mijen, berasal dari perkataan Wiji
(Benih). Jalan lurus ke utara, kanan kiri dihiasi dengan pohon asem
dan tanjung menggambarkan kehidupan Sang Anak yang lurus, bebas
dari rasa sedih dan cemas, rupanya “nengsemaken” (menarik) serta
disanjung-sanjung selalu, istimewa oleh ibu bapaknya.
2. Plengkung Gading atau Plengkung Nirbaya. Plengkung ini
menggambarkan batas periode sang anak mengijak dari masa kanak-
kanak ke masa pra puber. Sinom itu selalu dipelihara dengan cermat
oleh pemudi-pemudi, karena dapat menambah kecantikannya.
3. Alun-alun selatan disini kita dapat lihat dua pohon beringin, bernama
“wok”. Wok berasal dari kata “Bewok”. Dua pohon beringin di
tengah-tengah alun-alun menggambarkan bagian badan kita yang
rasia sekali, maka dari itu diberi pagar batu bata. “jumlahnya”, yaitu
2, menunjukan laki-laki, “namanya’ yaitu “SupitUrang” menunjukan
perempuan. Lima buah jalan raya yang bertemu satu sama lainnya
disini menggambarkan panca indra kita. Tanah berpasir artinya
belum teratur, lepas satu sama lainnya. Apa yang kita tanggap dengan
panca indra kita belumteratur. Nanti kalau ada sesuatu perhatian,
barulah teratur. Keliling alun-alun di tanami pohon Kweni dan Pakel,
artinya sang anak sudah wani (berani) karena sudah “akil baligh”.
4. Kita menuju terus ke utara, ke Siti hinggil. Disini ada sebuah trateg
atau tempat istirahat beratap anyaman bambu. Kanan – kiri tumbuh
pohon-pohon Gayam dengan daun-daunnya yang rindang serta
bunga-bunganya yang harum wangi. Siapa saja yang berteduh
dibawah tratag itu akan terasa nyaman, tentram,senang dan bahagia.
Menggambarkan rasa pemuda-pemudi yang sedang di rindu cinta
asmara.
5. Kita berada di Sitihinggil. Di tengah-tengah dahulu ada pendoponya
dan di tengah-tengah pantai ada selo-gilangnya, tempat singga sana
Sri Sultan. Kanan-kiri tempat duduk krabat kratin dan abdi dalem
lain-lainnya, pria wanita berkumpul menghormat Sri Sultan.
Menggambarkan pemuda-pemudi duduk bersanding di kursi
temanten. Pohon-pohon yang ditanam disini ialah pohon Mangga
Cempora serta Soka. Kedua pohon ini mempunyai bunga yang halus
panjang berkumpul menjadi satu, ada yang merah ada yang putih,
gambaran dari bercampurnya benih manusia laki dan perempuan.
Kanan-kiri pendopo Sitihinggil, dihalaman sebelah timur dan barat
ada kamar mandinya. Sitihinggil ini dilingkari oleh sebuah jalan,
Pamengkang namanya. Mengangkang adalah keadaan kaki kita,
kalau terletak sedikit jauh sama lainnya.
6. Kalau kita melanjutkan perjalanan kita ke utara, maka sampailah kita
di halaman Kemandungan. Pohon yang di tanam disini ialah Pohon
Kepel, Pelem (mangga), Cengkir Gading serta Jambu Dersono.
Menggambarkan benih dalam kandungan sang ibu. Photon Pelem
menggambarkan pada gelem, atas kemauan bersama. Jambu Darsono
dari kader sih ing sesama. Menggambarkan karena diliputi oleh kasih
cinta satu sama lain. Pohon kempel atau kempal, menggambarkan
bersatunya kemauan, bersatunya benih, bersatuan rasa, bersatunya
cita-cita. Cengkir Gading adalah sejenis pohon kelapa dan kecil
bentuknya. Dipakai pada upacara “mitoni” yang memperingati sang
bayi sudah tujuh bulan di kandungan. Jalan kecil dari sini ke kanan
dan kekiri menggambarkan pengaruh-pengaruh negative yang dapat
mengganggu pertumbuhan sang bayi.
7. Melalui Regol Gadungmlati, sampailah kita di Kemagangan. Jalan
disini menyempit (dibuat sempit) kemudian melebar dan terang
benderang. Suatu gambaran anatomis yang tepat sekali.
Menggambarkan Sang Bayi telah lahir dengan selamat menjadi
magang (calon) manusia. Kepadanya telah tersedia makan yang
cukup, di gambarkan dengan adanya dapur Keraton Gebulen dan
Sekullanggeng. Jalan besar kanan-kiri Kemagangan menggambarkan
juga pengaruh negative atau positive atas perkembangan Sang Anak.
Hendaknya Sang Anak dididik mengarahkan cita-citanya lurus ke
utara, ke Keraton, tempat bersemayam Sri Sultan. Disini ia dapat
mencapai yang dicita-citakannya, asal mau berkerja dengan baik,
patuh pada peraturan-peraturan, setia dan selalu ingat dan mengabdi
kepada Tuhan Yang Maha Murah. Semua ini digambarkan oleh apa
yang kita lihat di Keraton sampai sekarang ini. Misalnya lampu
Keraton, Kyai, Wiji, menggambarkan “sinar yang tak pernah padam”
atau menurut Dr.F.Pigeand dan Dr.L.Adam, bekas Gubernur
Yogyakarta. : “ Het eeuwige van onze geest”.
Tata ruang dasar kota tua Yogyakarta berporoskan garis lurus Tugu,
Keraton, dan Punggung Krapyak serta diapit oleh Sungai Winongo di sisi
barat dan Sungai Code di sisi timur. Jalan P. Mangkubumi (dulu
Margotomo), jalan Malioboro (dulu Maliyoboro), dan jalan Jendral Ahmad
Yani (dulu Margumulyo) merupakan sebuah boulevard lurus dari Tugu
menuju Keraton. Jalan D.I. Panjaitan (dulu Ngadinegaran) merupakan
sebuah jalan yang lurus keluar dari Keraton melalu Plengkung Nirboyo
menuju Panggung Krapyak. Pengamatan citra satelit memperlihatkan Tugu,
Keraton, dan Panggung Krapyak berikut jalan yang menghubungkan
tersebut hamper segaris (hanya meleset beberapa derajat). Tata ruang
tersebut mengandung makna “sangkan paraning dumadi” yaitu asal mula
manusia dan tujuan asasi terakhirnya.
Tugu golong gilig (tugu Yogyakarta) yang menjadi batas utara kota
tua menjadi simbol “manunggaling kawulo gusti” bersatunya antara raja
(golong) dan rakyat (gilig). Simbol ini juga dapat dilihat dari segi mistis
yaitu persatuan antara khalik (Sang Pencipta) dan makhluk (ciptaan). Sri
Manganti berarti Raja sedang menanti atau menanti sang Raja.
3. Upacara Garebeg
Setiap tiga kali dalam satu tahun kalender Jawa upacara Garebeg
diadakan, tepatnya tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ke-3), tanggal
satu bulan Sawal (bulan ke-10) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan
ke-12). Pada hari-hari tersebut Sultan berkenan mengeluarkan
sedekahnya kepada rakyat sebagai perwujudan rasa syukur kepada
Tuhan atas kemakmuran kerajaan.