Anda di halaman 1dari 8

Domestic Case Study 2018

Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta

Malioboro Sebagai Pusat Pariwisata Kota Yogyakarta


Dhoni Cahya Aditya
141384

Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta

A. Pendahuluan
Berdasarkan program Domestic Case Study laporan ini untuk memenuhi syarat jenjang
sarjana yang dibuat pada semester 3 dengan cara melakuakan observasi terhadap suatu objek wisata .
Selain itu mahasiswa telah dibekali materi dalam seminar yang dilakuakan oleh STIPRAM yang
bertempat di JEC dengan tema Sinkronisasi. Pengembangan Desrtinasi Pariwisata Dan Sdm
Pariwisata : Suatu Antisipasi Menghadapi Mea 2015 [1].
Penulis strata 1 hospitality semester III yang melakukan perjalanan ke Yogyakarta pada
tanggal 10 Juni 2015 Penulis mengunjungi beberapa objek wisata yaitu Keraton, Malioboro dan
Benteng Venderbug. Disini penulis ingin mengambil Malioboro sebagai judul jurnal.Penulis merasa
Malioboro sangat cocok untuk dibahas karena disana memiliki potensi wisata yang sangat diminati.
Kota Yogyakarta adalah provinsi yang terletak bagian selatan pulau Jawa ini merupakan salah satu
daerah tujuan wisata favorit yang ada di Indonesia, hal ini dikarenakan Yogyakarta banyak obyek
wisata yang sangat menarik. Di Utara Yogyakarta, terdapat Gunung Merapi. Di Selatan Yogyakata
terdapat pantai pantai yang Indah.Serta di tengah Yogyakarta terdapat Keraton, yang merupakan
obyek wisata budaya yang sangat menarik.  Selain hal hal yang disebut di atas.Yogyakarta memiliki
obyek wisata yang menarik. Obyek wisata yang sering dilewati namun kadang kala sering dilupakan.
Obyek ini, berupa jalan yang dikenal dengan nama Malioboro.
Pada awalnya jalan ini hanya dilewati oleh masyarakat yang hendak ke Keraton atau
kompleks kawasan Indische pertama di Jogja seperti Loji Besar (Benteng Vredeburg), Loji Kecil
(kawasan di sebelah Gedung Agung), Loji Kebon (Gedung Agung), maupun Loji Setan (Kantor
DPRD). Namun keberadaan Pasar Gede atau Pasar Beringharjo di sisi selatan serta adanya
permukiman etnis Tionghoa di daerah Ketandan lambat laun mendongkrak perekonomian di kawasan
tersebut.

B. Pembahasan
Pariwisata tumbuh dengan pesat dan menjadi pertumbuhan ekonomi yang cepat didunia [2].
Pariwisata merupakan salah satu sumber devisa negara yang sangat potensial, sektor ini merupakan
unggulan dalam menopang perekonomian masyarakat Indonesia. Dalam mendukung kegiatan
pariwisata, pemerintah akan memberikan fasilitas dan infrastruktur yang dibutuhkan dan memiliki
daya tarik bagi wisatawan [3]. Tempat wisata merupakan salah satu tujuan utama yang tidak akan
terlewatkan untuk dikunjungi para wisatawan. Para wisatawan akan lebih memilih tempat wisata
aman, nyaman, dan bersih [4].
Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama
menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi [5]. Diawali dari kegiatan yang semula hanya dinikmati
oleh segelintir orang-orang yang relatif kaya pada awal abad ke-20, kini telah menjadi bagian dari hak
azasi manusia. Hal ini terjadi tidak hanya di negara maju tetapi mulai dirasakan pula di negara
berkembang [6]. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dalam tahap pembangunannya,
berusaha membangun industri pariwisata sebagai salah satu cara untuk mencapai neraca perdagangan
luar negeri yang berimbang. Melalui industri ini diharapkan pemasukan devisa dapat bertambah [7].
A. Sejarah Yogyakarta
Antara tahun 1568 – 1586 di pulau Jawa bagian tengah, berdiri Kerajaan Pajang yang
diperintah oleh Sultan Hadiwijaya, di mana semasa mudanya beliau terkenal dengan nama Jaka
Tingkir. Dalam pertikaian dengan Adipati dari Jipang yang bernama Arya Penangsang, beliau berhasil
mucul sebagai pemenang atas bantuan dari beberapa orang panglima perangnya, antara lain Ki Ageng
Pemanahan dan putera kandungnya yang bernama Bagus Sutawijaya, seorang Hangabehi yang
bertempat tinggal di sebelah utara pasar dan oleh karenanya beliau mendapat sebutan : Ngabehi
Loring Pasar. Sebagai balas jasa kepada Ki Ageng Pemanahan dan puteranya itu, Sultan Pajang
kemudian memberikan anugerah sebidang daerah yang disebut Bumi Menataok, yang masih berupa
hutan belantara, dan kemudian dibangun mejadi sebuah “tanah perdikan”. Sesurut Kerajaan Pajang,
Bagus Sutawijaya yang juga menjadi putra angkat Sultan Pajang, kemudian mendirikan Kerajaan
Mataram di atas Bumi Mentaok dan mengakat diri sebagai Raja dengan gelar Panembahan Senopati.
Salah seorang putera beliau dari pekawinannya dengan Retno Dumilah, putri Adipati Madiun,
memerintah Kerajaan Mataram sebagai Raja ketiga, dan bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo,
Beliau adalah seorang patriot sejati dan terkenal dengan perjuangan beliau merebut kota Batavia, yang
dekarang disebut Jakarta, dari kekuasaan VOC, suatu organisasi dagang Belanda. Waktu terus
berjalan dan peristiwa silih berganti.
Pada permulaan abad ke-18, Kerajaan Mataram diperintah oleh Sri Sunan Paku Buwono ke II.
Setelah beliau mangkat, terjadilah pertikaian keluarga, antara salah seorang putra beliau dengan salah
seorang adik beliau, yang merupakan pula hasil hasutan dari penjajah Belanda yang berkuasa saat itu.
Petikaian itu dapat diselesaikan dengan bik melalui Perjanjian Ginyanti, yang terjadi pada tahun 1755,
yang isi pokoknya adalah Palihan Nagari, yang artinya pembagian Kerajaan menjadi dua, yakni
Kerajaan Surakata Hadiningrat dibawah pemerintah putera Sunan Paku Buwono ke-III, dan Kerajaan
Ngayogyakarta Hadiningrat dibawah pemerintahan adik kandung Sri Sunan Paku Buwono ke-II yang
kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat inikemudian
lazim disebut sebagai Yogyakarta dan sering disingkat menjadi Jogja.
Pada tahun 1813, Sri Sultan Hamengku Buwono I, menyerahkan sebagian dari wilayah
Kerajaannya yang terletak di sebelah Barat sungai Progo, kepada salah seorang puteranya yang
bernama Pangeran Notokusumo untuk memerintah di daerah itu secara bebas, dengan kedaulatan
yang penuh. Pangeran Notokusumo selanjutnya bergelar sebagai Sri Paku Alam I, sedang daerah
kekuasaan beliau disebut Adikarto. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, beliau menyatakan
sepenuhnya berdiri di belakang Negara Republik Indonesia, sebagai bagian dari negara persatuan
Republik Indonesia, yang selanjutnya bersatatus Daerah Istimewa Yogyakarta (setingkat dengan
Provinsi), sampai sekarang.
B. Letak Geografis Yogyakarta
Secara geografi provinsi DIY terletak pada 8°30'-7°20' Lintang Selatan dan 109°40'-111°0'
Bujur Timur. Batas wilayahnya sebagai berikut :
Timur : Kabupaten Klaten
Barat : Kabupaten Purworejo
Utara : Kabupaten Magelang
Selatan : Samudera Hindia
C. Kota Pelajar
Antara awal tahun 1946 sampai akhir tahun 1949, selama lebih kurang 4 tahun, Yogyakarta
menjadi Ibukota Negara RI. Pada masa itu para pimpinan bangsa Indonesia berkumpul di kota
perjuangan ini. Seperti layaknya sebuah ibukota, Jogja memikat kedatangan para kaum remaja dari
seluruh penjuru tanah air yang ingin berpartisipasi dalam mengisi pembangunan negara ini yang baru
saja medeka. Namum untuk dapat membangun suatu negara diperlukan tenaga-tenaga ahli, terdidik
dan telatih. Dan karena itulah yang melatar belakangin pemerintah RI untuk mendirikan sebuah
Universitas, yang kita kenal dengan nama Universitas Gajah Mada, merupakan Universitas Negeri
pertama yang lahir pada masa kemerdekaan.
Selanjutnya diikuti dengan berdirinya akademi di bidang kesenian(Akademi Seni Rupa
Indonesia dan Akademi Musik Indonesia), serta sekolah tinggi di bidang agama Islam (Perguruan
Tinggi Agama Islam Negaeri, yang selanjutnya menjadi UIN Sunan Kalijaga).
Pada waktu selanjutnya juga bediri lembaga-lembaga pendidikan baik negeri maupun
swastadi kota Yogyakarta, sehingga hampir tidak ada cabang ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan
di kota ini. Hal ini menjadikan kota Jogja tumbul menjadi kota pelajar dan pusat pendidikan. Sarana
mobilitas paling populer di kalangan pelajar, mahasiswa, karyawan, pegawai, pedagang dan
masyarakat umum adalah sepeda dan sepeda motor, yang merupakan sarana trasportasi yang
digunakan baik siang mupun di malam hari. Hal ini menjadika Jogja juga dikenal dengan sebutan kota
sepeda.
D. Pusat Kebudayaan
Pada hakekatnya, seni budaya yang asli dan indah selalu terdapat di lingkunggan kraton dan
daerah disekitarnya. Sebagai bekas suatu Kerajaan yang besar, maka Yogyakarta memiliki kesenian
dan kebudayaan yang tinggi dan bahkan merupakan pusat sumber seni budaya Jawa. Hal ini dapat kita
lihat dari peninggalan seni-budaya yang dapat kita saksikan pada pahatan pada monumen-monumen
peninggalan sejarah seperti candi-candi, istana Sultan dan tempat-tempat lain yang masih berkaitan
dengan kehidupan istana. Dan sebagian dapat disaksikan pada moseum-moseum budaya.
Kehidupan seni tari dan seni lainnya juga masih berkembang pesat di kota Jogja serta nilai-
nilai budaya masyarakat Jogja terukap pula dalam bentuk arsitektur rumah penduduk, dengan bentuk
joglonya yang banyak dikenal di seluruh Indonesia. Andhong antik di Jogja memperkuat kesan,
bahwa Yogyakarta masih memiliki nilai-nilai tradisional. Seniman terkenal dan seniman besar besar
yang ada di Indonesia saat ini, banyak yang didik dandigembleng di Yogyakarta. Sederetan nama
seniman seperti Affandi, Bagong Kusdiharjo, Edi Sunarso, Saptoto, Amri Yahya, Kuswadji Kawindro
Susanto dan lain-lain merupakan nama-nama yang ikut memperkuat pernanan Yogyakarta sebagai
Pusat Kebudayaan.
E. Daerah TujuanWisata
Pada masa sekarang, seluruh predikat Yogyakarta luluh mejadi satu dan berkembang menjadi
satu dimensi baru : Yogyakarta Sebagai Daerah Tujuan Wisata. Keramah tamahan yang tulus, khas
Yogyakarta, akan menyambut para wisatawan di saat mereka datang,dengan kemesraan yang dalam
akan mengiring, saat mereka meninggalkan Yogya, dengan membawa kenangan manisyang tidak
akan mereka lupakan sepanjang masa.
Perananya sebagai kota Perjuangan, daerah Pelajar dan Pusat Pendidikan, serta daerah
Kebudayaan, ditunjang oleh panorama yang indah, telah mengangkat Yogyakarta sebagai Daerah
yang menarik untuk dikunjungi dan mempesona untuk disaksikan. Yogyakarta juga memiliki berbagai
fasilitas dengan kualitas yang memadai yang tersedia dalam jumlah yang cukup, Kesemuanya itu akan
bisa memperlancar dan memberi kemudahaan bagi para wisatawan yang berkunjung ke kota Yogya.
Sarana transportasi, akomodasi dan berbagai sarana penunjang lainnya, seperti santapan makan-
minum yang lezat, serta aneka ragam cinderamata, mudah diperoleh di mana-mana.
F. Sejarah Malioboro
Dalam bahasa Sansekerta, kata “malioboro” bermakna karangan bunga. itu mungkin ada
hubungannya dengan masa lalu ketika Keraton mengadakan acara besar maka jalan malioboro akan
dipenuhi dengan bunga. Kata malioboro juga berasal dari nama seorang kolonial Inggris yang
bernama “Marlborough” yang pernah tinggal disana pada tahun 1811-1816 M. pendirian jalan
malioboro bertepatan dengan pendirian keraton Yogyakarta (Kediaman Sultan) [8].
Perwujudan awal yang merupakan bagian dari konsep kota di Jawa, Jalan malioboro ditata
sebagai sumbu imaginer utara-selatan yang berkorelasi dengan Keraton ke Gunung merapi di bagian
utara dan laut Selatan sebagai simbol supranatural. Di era kolonial (1790-1945) pola perkotaan itu
terganggu oleh Belanda yang membangun benteng Vredeburg (1790) di ujung selatan jalan
Malioboro. Selain membangun benteng belanda juga membangun Dutch Club (1822), the Dutch
Governor’s Residence (1830), Java Bank dan kantor Pos untuk mempertahankan dominasi mereka di
Yogyakarta. Perkembangan pesat terjadi pada masa itu yang disebabkan oleh perdaganagan antara
orang belanda dengan orang cina. Dan juga disebabkan adanya pembagian tanah di sub-segmen Jalan
Malioboro oleh Sultan kepada masyarakat cina dan kemudian dikenal sebagagai Distrik Cina.
Perkembangan pada masa itu didominasi oleh Belanda dalam membangun fasilitas untuk
meningkatkan perekonomian dan kekuatan mereka, Seperti pembangunan stasiun utama (1887) di
Jalan Malioboro, yang secara fisik berhasil membagi jalan menjadi dua bagian. Sementara itu, jalan
Malioboro memiliki peranan penting di era kemerdekaan (pasca-1945), sebagai orang-orang
Indonesia berjuang untuk membela kemerdekaan mereka dalam pertempuran yang terjadi Utara-
Selatan sepanjang jalan.
Sekarang ini merupakan jalan pusat kawasan wisatawan terbesar di Yogyakarta, dengan
sejarah arsitektur kolonial Belanda yang dicampur dengan kawasan komersial Cina dan kontemporer.
Trotoar di kedua sisi jalan penuh sesak dengan warung-warung kecil yang menjual berbagai macam
barang dagangan. Di malam hari beberapa restoran terbuka, disebut lesehan, beroperasi sepanjang
jalan. Jalan itu selama bertahun-tahun menjadi jalan dua arah, tetapi pada 1980-an telah menjadi salah
satu arah saja, dari jalur kereta api ke selatan sampai Pasar Beringharjo. Hotel jaman Belanda terbesar
dan tertua jaman itu, Hotel Garuda, terletak di ujung utara jalan di sisi Timur, berdekatan dengan jalur
kereta api. Juga terdapat rumah kompleks bekas era Belanda, Perdana Menteri, kepatihan yang kini
telah menjadi kantor pemerintah provinsi.
Malioboro juga menjadi sejarah perkembangan seni sastra Indonesia. DalamAntologi Puisi
Indonesia di Yogyakarta 1945-2000 memberi judul “MALIOBORO” untuk buku tersebut, buku yang
berisi 110 penyair yang pernah tinggal di yogyakarta selama kurun waktu lebih dari setengah abad.
Pada tahun 1970-an, Malioboro tumbuh menjadi pusat dinamika seni budaya Jogjakarta. Jalan
Malioboro menjadi ‘panggung’ bagi para “seniman jalanan” dengan pusatnya gedung Senisono.
Namun daya hidup seni jalanan ini akhirnya terhenti pada 1990-an setelah gedung Senisono ditutup.
Jalan Malioboro adalah saksi sejarah perkembangan Kota Yogyakarta dengan melewati jutaan
detik waktu yang terus berputar hingga sekarang ini. Membentang panjang di atas garis imajiner
Kraton Yogyakarta, Tugu dan puncak Gunung Merapi. Malioboro adalah detak jatung keramaian kota
Yogyakarta yang terus berdegup kencang mengikuti perkembangan jaman. Sejarah penamaan
Malioboro terdapat dua versi yang cukup melegenda, pertama diambil dari nama seorang bangsawan
Inggris yaitu Marlborough, seorang residen Kerajaan Inggris di kota Yogjakarta dari tahun 1811 M
hingga 1816 M. Versi kedua dalam bahasa sansekerta Malioboro berarti “karangan bunga”
dikarenakan tempat ini dulunya dipenuhi dengan karangan bunga setiap kali Kraton melaksanakan
perayaan. Lebih dari 250 tahun yang lalu Malioboro telah menjelma menjadi sarana kegiatan ekonomi
melalui sebuah pasar tradisional pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I. Dari tahun
1758 – sekarang Malioboro masih terus bertahan dengan detak jantung sebagai kawasan perdagangan
dan menjadi salah satu daerah yang mewakili wajah kota Yogyakarta.
Sejak awal degup jantung Malioboro berdetak telah menjadi pusat pemerintahan dan
perekonomian perkotaan. Setiap bagian dari jalan Malioboro ini menjadi saksi dari sebuah jalanan
biasa hingga menjadi salah satu titik terpenting dalan sejarah kota Yogyakarta dan Indonesia.
Bangunan Istana Kepresidenan Yogyakarta yang dibangun tahun 1823 menjadi titik penting sejarah
perkembangan kota Yogyakarta yang merupakan soko guru Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari bangunan ini berbagai perisitiwa penting sejarah Indonesia dimulai dari sini. Pada tanggal 6
Januari 1946, Yogyakarta resmi menjadi ibukota baru Republik Indonesia yang masih muda. Istana
Kepresidenan Yogyakarta sebagai kediaman Presiden Soekarno beserta keluarganya. Pelantikan
Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar TNI (pada tanggal 3 Juni 1947), diikuti pelantikan
sebagai Pucuk Pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia (pada tanggal 3 Juli 1947), serta lima
Kabinet Republik yang masih muda itu pun dibentuk dan dilantik di Istana ini pula. Benteng
Vredeburg yang berhadapan dengan Gedung Agung. Bangunan yang dulu dikenal dengan nama
Rusternburg (peristirahatan) dibangun pada tahun 1760. Kemegahan yang dirasakan saat ini dari
Benteng Vredeburg pertama kalinya diusulkan pihak Belanda melalui Gubernur W.H. Van
Ossenberch dengan alasan menjaga stabilitas keamanan pemerintahan Sultan HB I. Pihak Belanda
menunggu waktu 5 tahun untuk mendapatkan restu dari Sultan HB I untuk menyempurnakan Benteng
Rusternburg tersebut. Pembuatan benteng ini diarsiteki oleh Frans Haak. Kemudian bangunan benteng
yang baru tersebut dinamakan Benteng Vredeburg yang berarti perdamaian.Sepanjang jalan
Malioboro adalah penutur cerita bagi setiap orang yang berkunjung di kawasan ini, menikmati
pengalaman wisata belanja sepanjang bahu jalan yang berkoridor (arcade). Dari produk kerajinan
lokal seperti batik, hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu (gantungan kunci, lampu hias dan lain
sebagainya) juga blangkon (topi khas Jawa/Jogja) serta barang-barang perak, hingga pedagang yang
menjual pernak pernik umum yang banyak ditemui di tempat lain. Pengalaman lain dari wisata
belanja ini ketika terjadi tawar menawar harga, dengan pertemuan budaya yang berbeda akan terjadi
komunikasi yang unik dengan logat bahasa yang berbeda. Jika beruntung, bisa berkurang sepertiga
atau bahkan separohnya. Tak lupa mampir ke Pasar Beringharjo, di tempat ini kita banyak dijumpai
beraneka produk tradisional yang lebih lengkap.
Di pasar ini kita bisa menjumpai produk dari kota tetangga seperti batik Solo dan Pekalongan.
Mencari batik tulis atau batik print, atau sekedar mencari tirai penghias jendela dengan motif unik
serta sprei indah bermotif batik. Tempat ini akan memuaskan hasrat berbelanja barang-barang unik
dengan harga yang lebih murah. Berbelanja di kawasan Malioboro serta Beringharjo, pastikan tidak
tertipu dengan harga yang ditawarkan. Biasanya para penjual menaikkan harga dari biasanya bagi
para wisatawan.Sepanjang jalan Malioboro adalah penutur cerita bagi setiap orang yang berkunjung di
kawasan ini, menikmati pengalaman wisata belanja sepanjang bahu jalan yang berkoridor (arcade).
Dari produk kerajinan lokal seperti batik, hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu (gantungan
kunci, lampu hias dan lain sebagainya) juga blangkon (topi khas Jawa/Jogja) serta barang-barang
perak, hingga pedagang yang menjual pernak pernik umum yang banyak ditemui di tempat lain.
Pengalaman lain dari wisata belanja ini ketika terjadi tawar menawar harga, dengan
pertemuan budaya yang berbeda akan terjadi komunikasi yang unik dengan logat bahasa yang
berbeda. Jika beruntung, bisa berkurang sepertiga atau bahkan separohnya. Tak lupa mampir ke Pasar
Beringharjo, di tempat ini kita banyak dijumpai beraneka produk tradisional yang lebih lengkap. Di
pasar ini kita bisa menjumpai produk dari kota tetangga seperti batik Solo dan Pekalongan. Mencari
batik tulis atau batik print, atau sekedar mencari tirai penghias jendela dengan motif unik serta sprei
indah bermotif batik. Tempat ini akan memuaskan hasrat berbelanja barang-barang unik dengan harga
yang lebih murah. Berbelanja di kawasan Malioboro serta Beringharjo, pastikan tidak tertipu dengan
harga yang ditawarkan. Biasanya para penjual menaikkan harga dari biasanya bagi para wisatawan.
G. Aktivitas di Malioboro
Matahari bersinar terik saat ribuan orang berdesak-desakan di sepanjang Jalan
Malioboro.Mereka tidak hanya berdiri di trotoar namun meluber hingga badan jalan.Suasana begitu
gaduh dan riuh. Tawa yang membuncah, jerit klakson mobil, alunan gamelan kaset, hingga teriakan
pedagang yang menjajakan makanan dan mainan anak-anak berbaur menjadi satu. Setelah menunggu
berjam-jam, akhirnya rombongan kirab yang ditunggu pun muncul.Diawali oleh Bregada Prajurit
Lombok Abang, iring-iringan kereta kencana mulai berjalan pelan. Kilatan blitz kamera dan gemuruh
tepuk tangan menyambut saat pasangan pengantin lewat.
Semua berdesakan ingin menyakasikan pasangan GKR Bendara dan KPH Yudhanegara yang
terus melambaikan tangan dan menebarkan senyum ramah.Itulah pemandangan yang terlihat saat
rombongan kirab pawiwahan ageng putri bungsu Sultan Hamengku Buwono X lewat dari Keraton
Yogyakarta menuju Bangsal Kepatihan. Ribuan orang berjejalan memenuhi Jalan Malioboro yang
membentang dari utara ke selatan.
Dalam bahasa Sansekerta, malioboro berarti jalan karangan bunga karena pada zaman dulu ketika
Keraton mengadakan acara, jalan sepanjang 1 km ini akan dipenuhi karangan bunga. Meski waktu
terus bergulir dan jaman telah berubah posisi Malioboro sebagai jalan utama tempat
dilangsungkannya aneka kirab dan perayaan tidak pernah berubah. Hingga saat ini Malioboro,
Benteng Vredeburg, dan Titik Nol masih menjadi tempat dilangsungkannya beragam karnaval mulai
dari gelaran Jogja Java Carnival, Pekan Budaya Tionghoa, Festival Kesenian Yogyakarta, Karnaval
Malioboro, dan masih banyak lainnya.
Sebelum berubah menjadi jalanan yang ramai, Malioboro hanyalah ruas jalan yang sepi
dengan pohon asam tumbuh di kanan dan kirinya. Jalan ini hanya dilewati oleh masyarakat yang
hendak ke Keraton atau kompleks kawasan Indische pertama di Jogja seperti Loji Besar (Benteng
Vredeburg), Loji Kecil (kawasan di sebelah Gedung Agung), Loji Kebon (Gedung Agung), maupun
Loji Setan (Kantor DPRD). Namun keberadaan Pasar Gede atau Pasar Beringharjo di sisi selatan serta
adanya permukiman etnis Tionghoa di daerah Ketandan lambat laun mendongkrak perekonomian di
kawasan tersebut.Kelompok Tionghoa menjadikan Malioboro sebagai kanal bisnisnya, sehingga
kawasan perdagangan yang awalnya berpusat di Beringharjo dan Pecinan akhirnya meluas ke arah
utara hingga Stasiun Tugu. Menyusuri sepanjang Malioboro memberi pengalaman tersendiri untuk
Anda.
Di sepanjang jalan, Anda bisa menjumpai berbagai macam souvenir khas Jogja seperti
kerajinan perak, rotan, wayang kulit, batik dan juga blangkon. Aneka macam souvenir ini bisa Anda
peroleh dengan harga terjangkau.Apalagi jika Anda pandai menawar. Beraneka macam jajanan khas
Jogja seperti bakpia, pecel, es dawet dan sate gajih pun bisa Anda jumpai di sana. Menjelang malam
jalan Malioboro juga dipenuhi dengan aneka pedagang kuliner. Anda bisa menikmati aneka kuliner
sembari duduk lesehan dan diiringi lagu-lagu dari para pengamen jalanan. Tersedia pula angkringan
khas Jogja yang siap menjamu Anda dengan hidangan khasnya.Benar-benar asik bukan? So, ojo lali
yo sempatkan diri Anda berkunjung ke Jogja.
Bagi penggemar cinderamata, Malioboro menjadi surga perburuan yang asyik. Berjalan kaki
di bahu jalan sambil menawar aneka barang yang dijual oleh pedagang kaki lima akan menjadi
pengalaman tersendiri. Aneka cinderamata buatan lokal seperti batik, hiasan rotan, perak, kerajinan
bambu, wayang kulit, blangkon, miniatur kendaraan tradisional, asesoris, hingga gantungan kunci
semua bisa ditemukan dengan mudah. Jika pandai menawar, barang-barang tersebut bisa dibawa
pulang dengan harga yangterbilang murah.Selain menjadi pusat perdagangan, jalan yang merupakan
bagian dari sumbu imajiner yang menghubungkan Pantai Parangtritis, Panggung Krapyak, Kraton
Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi ini pernah menjadi sarang serta panggung pertunjukan para
seniman Malioboro pimpinan Umbu Landu Paranggi. Dari mereka pulalah budaya duduk lesehan di
trotoar dipopulerkan yang akhirnya mengakar dan sangat identik dengan Malioboro. Menikmati
makan malam yang romantis di warung lesehan sembari mendengarkan pengamen jalanan
mendendangkan lagu "Yogyakarta" milik Kla Project akan menjadi pengalaman yang sangat
membekas di hati.
Malioboro adalah rangkaian sejarah, kisah, dan kenangan yang saling berkelindan di tiap benak orang
yang pernah menyambanginya.
Pesona jalan ini tak pernah pudar oleh jaman. Eksotisme Malioboro terus berpendar hingga
kini dan menginspirasi banyak orang, serta memaksa mereka untuk terus kembali ke Yogyakarta.
Seperti kalimat awal yang ada dalam sajak Melodia karya Umbu Landu Paranggi "Cintalah yang
membuat diriku betah sesekali bertahan", kenangan dan kecintaan banyak orang terhadap Malioboro
lah yang membuat ruas jalan ini terus bertahan hingga kini.
Karnaval dan acara yang berlangsung di Kawasan Malioboro biasanya bersifat insidental dengan
waktu pelaksanaan yang tidak menentu. Namun ada beberapa kegiatan yang rutin diselenggarakan
setiap tahun seperti Jogja Java Carnival yang selalu dilaksanakan tiap bulan Oktober, Festival
Kesenian Yogyakarta pada bulan Juni hingga Juli, serta Pekan Kebudayaan Tionghoa yang
dilaksanakan berdekatan dengan perayaan tahun baru China (Imlek).
H. Keunikan Jalan Malioboro Yogyakarta
Pariwisata Yogyakarta memiliki pesona dan keunikan budaya yang sangat khas. Jarang suatu
daerah menjadikan budaya dan tradisi masyarakat menjadi objek wisata yang dicari. Yogyakarta juga
sangat kental dengan tradisi keratonnya, gedung bersejarah, pasar rakyat dengan segala keunikannya,
kesibukan mahasiswa dan berbagai keunikan lainya yang jarang kita dapatkan didaerah lain [9].
Kali ini kita akan melihat lebih dalam tentang jalan Malioboro yang sangat terkenal itu.Jalannya sih
biasa saja, tetapi dengan segala keunikan para pedagang yang menjajakan berbagai pernik, batik,
makanan, dan juga para pengamen mahasiswa yang membawa peralatan yang lengkap. Kalau kita
duduk dan makan dilesehan berbagai angkringan di malam hari kita benar-benar merasakan
kehangatan, keramahan dan keunikan Yogya.
Jalan Malioboro sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan
khas jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang menjual makanan gudeg khas jogja serta
terkenal sebagai tempat berkumpulnya para Seniman-seniman-seniman yang pantomim dan lain-lain
di sepanjang jalan ini.
Jalan Malioboro memiliki sentuhan budaya, seni, dan karakter masyarakat Jawa Yogyakarta
yang kental. Mulai dari adanya andong, becak, lapak-lapak masyarakat berjualan, pengamen dan
sebagainya yang justru menjadi ciri yang khas dari Yogyakarta.Malioboro sebenarnya berasal dari
bahasa Sansekerta yang berarti karangan bunga, Malioboro menjadi kembang yang pesonanya mampu
menarik wisatawan. Malioboro juga menjadi surga cinderamata di jantung kota Yogyakarta [10].
Pada awalnya jalan ini hanya dilewati oleh masyarakat yang hendak ke Keraton atau
kompleks kawasan Indische pertama di Jogja seperti Loji Besar (Benteng Vredeburg), Loji Kecil
(kawasan di sebelah Gedung Agung), Loji Kebon (Gedung Agung), maupun Loji Setan (Kantor
DPRD). Namun keberadaan pasar Gede atau Pasar Beringharjo di sisi selatan serta adanya
permukiman etnis Tionghoa di daerah Ketandan lambat laun mendongkrak perekonomian di kawasan
tersebut. Orang-orang Tionghoa menjadikan Malioboro sebagai kanal bisnisnya, sehingga kawasan
perdagangan yang awalnya berpusat di Beringharjo dan Pecinan akhirnya meluas ke arah utara hingga
Stasiun Tugu. Sekarang pasar ini sangat ramai dan mewarnai Jalan Malioboro sebagai pusat belanja
yang terkenal murah dan banyak ragamnya. Mulai dari pakaian batik, pernak pernik, sepatu, tas kulit,
barang kerajinan dan seni.
Bagi penggemar cinderamata, Malioboro menjadi surga perburuan yang asyik.Banyak sekali
yang dapat dilihat disini. Ada miniatur sepeda, becak, kapal vinisi, patung-patung prajuritkeraton dan
sebagainya. Berjalan kaki di bahu jalan sambil menawar aneka barang yang dijual oleh pedagang kaki
lima akan menjadi pengalaman tersendiri.Aneka cinderamata buatan lokal seperti batik, hiasan rotan,
perak, kerajinan bambu, wayang kulit, blangkon, miniatur kendaraan tradisional, asesoris, hingga
gantungan kunci semua bisa ditemukan dengan mudah. Jika pandai menawar barang-barang tersebut
bisa dibawa pulang dengan harga murah. Selesai jalan-jalan sambil berbelanja, jika lapar kita bisa
memilih berbagai menu di lapak-lapak lesehan yang tersedia.Selain beragam rasa harganya juga
tergolong ekonomi. Untuk pulau kita bisa memilih becak atau andong. Datang ke Yogya belum
dianggap datang kalau belum ke Jalan Malioboro begitu kata orang yogyakarta, mungkin kalimat ini
ada benarnya kalau kita sudah kesana bisa merasakan keunikan Yogyakarta, yang pasti nama jalan ini
sudah hampir sama dengan kota Yogyakarta itu sendiri. Konon, ada yang bilang Jalan Malioboro
yang terletak 800 meter di utara Kraton Yogyakarta ini, dulunya dipenuhi karangan bunga setiap kali
kraton melaksanakan perayaan.

C. Penutup
A. Simpulan
Setelah menyusun jurnal ilmiah akademik ini, penulis menyimpulkan:
Kota Yogyakarta sangat terkenal di dunia internasional karena memliki keindahan alam dan seni
budaya yang sangat beragam dan menarik, dan menjadi sasaran utama berkunjung karena keindahan
Kota Yogyakarta dan masyarakat Yogyakarta tidak terpengaruh dengan kebudayaan luar negri
walaupu banyak turis mancanegara datang ke Yogykarta. Masyarakat Yogyakarta tidak meninggalkan
kebudayaan adat istiadat dan tradisi.
Sebelum berubah menjadi jalanan yang ramai, Malioboro hanyalah ruas jalan yang sepi
dengan pohon asam yang tumbuh di kanan dan kirinya. Jalan ini hanya dilewati oleh masyarakat yang
hendak ke Keraton atau kompleks kawasan Indhisce pertama di Yogyakarta seperti Benteng
Vredeburg, Gedung Agung atau Kantor DPRD.
B. Saran
Saran dari penulis :
1. Tetap menjaga kebersihan disetiap sudut bagian kota Yogyakarta
2. Memperbanyak toilet umum
3. Menertibkan lahan parkir dan memperbanyak area parkir sehingga lebih tertata rapi
4. Perlu adanya pengawasan yang lebih dari pihak terkait agar keamanan dan kenyamanan lebih
terjaga sehingga membuat masyarakat dan pengunjung menjadi nyaman untuk berkeliling
Malioboro
5. Tetap menjaga warisan nenek moyang kita

References
[1] Data seminar “Sinkronisasi Pengembangan Destinasi Pariwisata dan SDM Pariwisata Menyongsong
Era Masyarakat Ekonomi (MEA) 2015” pada tanggal 13 Oktober 2014 di Jogja Expo Center (JEC)
Yogyakarta.
[2] Haruna, K., Akmar Ismail, M., Suhendroyono, S., Damiasih, D., Pierewan, A. C., Chiroma, H., &
Herawan, T. (2017). Context-Aware Recommender System: A Review of Recent Developmental
Process and Future Research Direction. Applied Sciences, 7(12), 1211.
[3] Suhendroyono, S. (2014). Implementasi Filosofi Pendidikan Nasional Tut Wuri Handayani dalam
Pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi di STIPRAM Yogyakarta. Jurnal Kepariwisataan, 8(2), 1-
14.
[4] Susilo, Y. S., & Soeroso, A. (2014). Strategi pelestarian kebudayaan lokal dalam menghadapi
globalisasi pariwisata: Kasus Kota Yogyakarta. Jurnal Penelitian BAPPEDA Kota Yogyakarta, 4, 3-11
[5] Isdarmanto, I. (2015). Structuring Malioboro Yogyakarta Environmentally Friendly Refers To The
Tourism Behavior. Jurnal Kepariwisataan, 9(2), 89-97.
[6] Soeroso, A., & Susuilo, Y. S. (2008). Strategi Konservasi Kebudayaan Lokal Yogyakarta. Jurnal
Manajemen Teori dan Terapan| Journal of Theory and Applied Management, 1(2).
[7] Ben, S. M. (2010). Paradigma Baru Pariwisata Sebuah Kajian Filsafat. Yogyakarta: Kaukaba
[8] Susetyarini, O., & Masjhoer, J. M. (2018). PENGUKURAN TINGKAT KEPUASAN WISATAWAN
TERHADAP FASILITAS UMUM, PRASARANA UMUM, DAN FASILITAS PARIWISATA DI
MALIOBORO PASCAREVITALISASI KAWASAN. Jurnal Kepariwisataan, 12(1), 41-54
[9] SETYANINGSIH, Z., & Arch, M. (2013). PENGARUH PENGALAMAN WISATAWAN TERHADAP
CITRA DESTINASI PARIWISATA Kasus: Jl. Malioboro dan Jl. Ahmad Yani, Yogyakarta (Doctoral
dissertation, Universitas Gadjah Mada).
[10] Isdarmanto, I. (2014). Strategi psikologis pengembangan Pariwisata Yogyakarta menuju Era
Globalisasi dan Asian Economy Community Year 2015. Jurnal Kepariwisataan, 8(3), 105-118.

Anda mungkin juga menyukai