Anda di halaman 1dari 23

Perkembangan Kota Yogyakarta

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Morfologi Kota


(TKP 347)

Dosen Pengampu:
Ir. Retno Susanti, M.T.
Diah Intan Kusuma D, ST, MEng
Dr. Musadun, ST, Msi

Disusun Oleh:
Kelompok 1C
Regita Sania N 21040116120006
Nurmaristia Indriastuti 21040116120009
Nia Lestari Nugraha 21040116120014
I Gusti Agung Made Andikawiratmaja 21040116120033
Khuruin Saidah 21040116130050
Tiufano Nugroho 21040116140071

DEPARTEMEN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
Pendahuluan

Gambar 1. Peta Administrasi Kota Yogyakarta

Kota Yogyakarta merupakan ibukota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang berada di
dataran lereng gunung Merapi. Kota Yogyakarta terletak di antara 1102419 sampai 1102853
Bujur Timur dan 071524 sampai 074926 Lintang Selatan. Kota Yogyakarta berbatasan dengan
Kabupaten Sleman di sebelah utara, Kabupaten Sleman dan Bantul di sebelah timur, Kabupaten
Bantul di sebelah selatan, serta Kabupaten Bantul dan Sleman di sebelah barat.
Perkembangan Kota Yogyakarta dari waktu ke waktu dapat dilihat dari peta, foto, arsip, dan
dokumen lainnya. Salah satu hal yang terlihat dari perkembangan Kota Yogyakarta yaitu
permukiman. Saat dulu permukiman cenderung memusat pada poros besar selatan utara dan
permukiman yang berkembang berupa kampung yang tumbuh di sekitar poros melintasi istana, alun-
alun utara, jalan Malioboro, hingga ke Tugu. Sehingga pada awal abad ke-20 pola permukiman
penduduk dan struktur kota tampak semakin memusat dan padat.
Perkembangan Kota Yogyakarta tidak hanya dipengaruhi oleh keberadaan keraton, akan
tetapi juga dipengaruhi pusat pendidikan. Pusat perkembangan Kota Yogyakarta diprediksi
terintegrasi di daerah utara karena adanya universitas-universitas yang terkenal di Yogyakarta.
Sehingga dalam menganalisis perkembangan Kota Yogyakarta akan sesuai dengan teori Pusat Ganda
(multiplenucleitheory).
Pembahasan

1. Pola Jaringan Jalan


1.1 Pola Jaringan Jalan Sebelum Kemerdekaan
Pada tahun 1756 pola jaringan jalan Kota Yogyakarta sudah terbentuk terfokus pada
kraton Yogyakarta membentuk sumbu utara selatan dan timur. Selanjutnya pada masa kolonial
Belanda (1756-1876) jaringan jalan mulai berkembang lebih menjangkau persebaran
permukiman disekitar sumbu kraton, namun terdapat gempa besar yang terjadi pada tahun 1812
menyebabkan kerusakan kondisi jaringan jalan. Di era kemerdekaan jaringan jalan Kota
Yogyakarta masih berpusat pada keraton

Gambar 2. Jaringan Jalan Kota Yogyakarta Sebelum Kemerdekaan

1.2 Pola Jaringan Jalan Sesudah Kemerdekaan


Secara umum jaringan jalan pasca kemerdekaan (1950-1970) tidak memiliki perubahan
yang berarti. Jaringan jalan mulai kompleks, berpusat di kraton dengan membentuk lingkaran
konsentris.
Gambar 3. Kota Yogyakarta Tahun 1970

Saat ini jaringan jalan sudah kompleks pola utama atau struktur utama masih terpusat di
Kraton dengan lingkaran konsentris. Dengan sumbu utama menghubungkan Kraton\, Krapyak,
Pantai selatan, Tugu dan arah gunung Merapi.

Gambar 4. Jaringan Jalan Kota Yogyakarta Tahun 2015

Jaringan kereta api juga mengalami perubahan dapat dilihat pada masa Kolonial Belanda
mengalami perubahan pada jalurnya, walaupun sejak dulu sudah bisa double track.

Gambar 5. Jembatan Kewek pada Masa Kolonial Belanda


Gambar 6. Jembatan Kewek pada Tahun 2017

Walaupun sejak sebelum kemerdekaan model jaringan jalan tetap konsentris, terpusat
pada Kraton namun terdapat perubahan perubahan dari segi fisik yang terjadi seperti perubahan
lebar jalan, diantaranya Jalan Malioboro atau Jalan Ahmad Yani, perempatan tugu, Jl Senopati
dll . Sebelum kemerdekaan Jalan Malioboro atau Jalan Ahmad Yani, perempatan tugu, Jl
Senopati lebih lebar dibandingkan yang sekarang, dikarenakan persempitan jalan akibat
pembangunan.

Gambar 7. Malioboro Tahun 2017

Gambar 8. Malioboro Tahun 1940


2. Transportasi
2.1 Transportasi Sebelum Kemerdekaan
a. Andhong

Gambar 9. Andhong

Andhong merupakan alat transportasi khas Yogjakarta. Nama lainnya yaitu


delman, bendi, maupun sado. Andhong Yogjakarta berbeda dengan daerah lain seperti
Surakarta dan Cirebon, perbedaan ini terlihat pada bentuknya yang lebih kecil.
Berdasarkan sejarah yang ada, andhong merupakan kereta kuda beroda empat yang
hanya digunakan oleh para bangsawan dan kerabat keraton. Awal abad XIX hingga awal
abad XX, ketika Mataram dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono VII (sekitar awal
abad ke-19) keberadaan andhong menjadi petunjuk stasus sosial. Rakyat biasa hanya
menggunakan gerobak sapi ataupun kereta kuda (dokar) beroda dua sebagai alat
transportasi. Akan tetapi pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono VIII
keberadaan andhong sudah dapat digunakan oleh rakyat umum, meskipun hanya
kalangan pengusaha atau pedagang.
Pada masa sekarang, andhong dapat digunakan oleh semua kalangan tanpa harus
memandang status sosial. Jenis andhongpun ada 2, yaitu andhong wisata dan non-wisata
(biasa). Andhong wisata umumnya memiliki tampilan lebih bersih, terawat, dan relatif
baru. Bagian depan andhong terdapat nomor andong yang bertuliskan angka Jawa. Selain
itu, pak kusir andhong berpenampilan pakaian jawa seperti blangkon, sorjan lurik, celana
panjang kaki berwarna hitam. Andhong wisata ini dapat ditemui di Kota Yogyakarta,
seperti di depan komplek pertokoan Malioboro. Selain itu juga di sekitar Pasar
Beringharjo dan alun-alun utara karena hanya terdapat 100 andhong saja. Jumlah
andhong wisata ini hanya 100 unit dan tarifnya sekitar Rp. 20.00030.000 (data
Februari 2008).
Andhong non-wisata (biasa) dapat ditemui di hampir seluruh pasar tradisional di
Yogyakarta., Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, dan
Kabupaten Kulon Progo di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tarifnya tergantung
jauh-dekatnya tempat yang dituju penumpang.

b. Becak

Gambar 10. Becak

Seorang sejarawan Sartono Kartodiarjo (1981) mengatakan bahwa keberadaan


becak di Yogyakarta ada sebelum Perang Dunia II. Selain itu, menurut pengusaha becak
di Yogyakarta, becak masuk ke Yogyakarta melalui Semarang yaitu pada masa
penjajahan Jepang. Hal itu karena becak pertama kali masuk berasal dari Jepang yang
beredar di Semarang terlebih dahulu. Diperkirakan becak hadir sekitar tahun 1940-an.
Tampilan ban becak saat itu terbuat dari karet mati dan atap becak berbetuk kotak. Selain
digunakan sebagai alat transportasi mengangkut penumpang becak juga digunakan untuk
angkutan jenazah. Hal tersebut karena keberadaan ambulans pada saat itu langka.
Seiiring berjalannya waktu, perkembangan becak sangat pesat pada tahun 1970-an
karena beriringan juga dengan pembangunan ekonomi di masa awal orde baru.
Perkembangan becak yang pesat juga membuat industri becak maupun industri
persewaan becak mengalami perkembangan yang sama pesatnya. Moda transportasi
becak sekarang ini mulai menggunakan mesin motor, namun masih terdapat juga becak
yang menggunakan tenaga kayuhan. Akan tetapi, seiring modernisasi transportasi, becak
semakin lama semakin tidak diminati.
Becak di Yogyakarta pada masa modern sekarang ini memiliki nomor seperti
kendaraan bermotor dengan berplat kuning, yang dipasang didepan dan belakang badan
becak. Hal ini sesuai dengan peraturan walikota Yogyakarta Nomor 25 Tahun 2010
tentang mewajibkan becak dan andhong/kereta kuda memiliki Surat Ijin Operasional
Kendaraan Tidak Bermotor (SIOKTB) untuk dapat beroprasi. Selain itu, becak juga
harus dilengkapi dengan Tanda Nomor Kendaraan Tidak Bermotor (TNKTB) yang
bentuknya mirip dengan plat motor dan mobil dan bertuliskan YB (Yogya Becak). YB
tersebut disertai angka yang menunjukkan nomor urut, sedangkan di sisi kanan bawah
bertuliskan tahun dan bulan berlakunya TNKTB. Akan tetapi, masih terdapat juga becak-
becak ilegal yang ikut beroprasi di kawasan Yogyakarta.

c. Kereta Api

Gambar 11. Stasiun Lempuyangan

Kereta api di KotaYogyakarta ada ketika jaman kolonial Belanda. Stasiun kereta
api pertama kali di Yogyakarta yaitu stasiun Lempuyangan yang diresmikan 2 Maret
1872 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Stasiun tersebut dibangun diatas tanah milik
Kraton Yogyakarta yang awalnya berfungsi stasiun barang. Sejak 1 Desember 1997,
stasiun Lempuyangan mulai menjadi stasiun pemberangkatan dan akhir perjalanan kereta
api kelas ekonomi. Hal tersebut karena mendapat limpahan dari stasiun Tugu
Yogyakarta. Rute kereta api ini awalnya hanya menghubungkan Yogyakarta Semarang.
Akan tetapi, seiiring perkembangan waktu rute kereta api ini semakin bertambah dan
telah terhubung dengan kota-kota lain di Pulau Jawa. Stasiun Lempuyangan ini masih
digunakan sebagai stasiun barang. Kereta api kelas bisnis atau eksekutif tersedia di
Stasiun Tugu Yogyakarta. Stasiun Tugu ini muncul setelah 15 tahun munculnya stasiun
Lempuyangan yaitu pada 2 Mei 1887. Pada jaman sekarang ini, stasiun Tugu merupakan
stasiun terbesar di Indonesia.
d. Kapal

Gambar 12. Kapal

Sejarah keberadaan kapal di Yogyakarta ditemukan di Rawa Kalibayem.


Rawa tersebut digunakan untuk uji coba kapal selam yang merupakan kapal
pemesanan Angkatan Laut Surabaya pada tahun 1948. Perusahaan besi (Perbi)
merupakan perusahaan pembuatan kapal tersebut. Fungsi lain Rawa Kalibayem
yaitu sebagai tempat kegiatan Angkatan Laut RI (BKR Laut), hal ini dibuktikan
dengan ditemukannya kerangka perahu, mesul, dan granat tangan. Bukti tersebut
menunjukkan moda transportasi kapal telah digunakan setelah kemerdekaan
Indonesia terutama di Yogyakarta. Akan tetapi, moda transportasi kapal ini juga
digunakan sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Hal ini diperkuat dengan
ditemukannya perahu, dua torpedo kapal, granat yang masih aktif, dan peluru
tajam. Sebenarnya Rawa Kalibayam ini dulunya merupakan bendungan yang
dibuat saat masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono ke-7 atau pada
tahun 1890.
e. Pesawat

Gambar 13. Bandara Adi Sucipto

Munculnya pesawat juga diikuti pembangunan bandara. Bandara Yogyakarta yaitu


Bandara Adisutjipto yang dibangun pada tahun 1940 dan dimulai digunakan pada 1942
oleh tentara Jepang. Tujuan pembangunan bandara ini untuk meningkatkan pertahanan
masa penjajahan. Tahun 1945 Indonesia berhasil mengambil alih bandara sehingga
digunakan oleh BKR (TNI) untuk meningkatkan pertahanan RI. Lapangan terbang ini
digunakan Angkatan Udara Republik Indonesia untuk kegiatan militer, dan pada tahun
1964 digunakan kegiatan militer dan juga komersil. Hal itu sesuai dengan arahan dari
Jendral Departemen Perhubungan. Tahun 1972 terjadi perluasan terminal bandara dan
tahun 1977 untuk meningkatkan kapasitas penumpang dan pesawat. Pada tahun 2000-
sekarang jalur bus traans Jogyakarta dibuka di Bandara Adisutjipto untuk membantu
mobilitas transportasi penunjang menuju dan dari bandara. Tahun 2008 diresmikan
sebagai bandara internasional.

2.2 Transpotasi Sesudah Kemerdekaan


a. Bus

Gambar 14. Bus


Perusaahaan otobus (PO) pertama kali di Yogyakarta yaitu PO Peni. Keberadaan
PO Peni tidak luput dari campur tangan pemerintah dalam pengadaan moda transportasi
ini. Pemerintah menyekolahkan para veteran yang berjumlah 32 veteran untuk
bersekolah menjadi montir, yaitu pada tahun 1953. Selanjutnya, pemerintah memberikan
dana untuk para veteran tersebut agar mendirikan usaha angkutan penumpang yang tidak
lain diberi nama NV. Peni. Jumlah armada PO Peni awalnya 5 buah dengan
menggunakan mesin ford. PO Peni melayani jalur Yogyakarta-Solo PP, sehingga dapat
dikatakan PO Peni merupakan PO pertama non plat merah (subsidi pemerintah-red) yang
melakukan rute Yogyakarta-Solo.
Terdapat jasa angkutan PO lain yang melayani rute Yogyakarta-Solo seperti PO
Kidang Mas (tahun 1975 gulung tikar), PO Kilat (tahun 1980 gulung tikar), dan Damri
(Kantor Yogyakarta). Keberadaan PO Peni berkembang pesat dibandingkan PO lainnya,
terbukti dengan tahun 1960-an armada PO Peni sudah mencapai belasan. Selain itu, dana
dari pemerintah yang awalnya merupakan pinjaman untuk usaha angkutan tersebut dapat
dikembalikan dalam waktu satu tahun saja. Tahun 1970-an PO Peni mulai menyewa
trayek perusahaan otobus lainnya untuk mengembangkan usahanya ke luar Jawa Tengah,
yaitu jalur Surabaya-Malang atau Surabaya-Jombang. Akan tetapi, banyak kerugian yang
didapatkan karena pendapatan yang diterima tidak sebanding dengan pengeluaran biaya
operasional penyewaan trayek PO tersebut. Po. Peni kemudian berfokus pada daerah
Jawa Tengah saja. Tahun 1990-an PO Peni banyak menjual armada busnya, hal ini
karena banyak pesaing bus lainnya yang menawarkan fasilitas serta bentuk bus yang
lebih modern dengan tampilan baru. Hal inilah yang tidak dapat dilakukan PO Peni,
akhirnya tahun 1998 karir PO Peni berakhir.
Seiring bergantinya tahun, moda transportasi bus semakin modern dan pada tahun
2008 yaitu bulan Maret muncul bus trans Jogyakarta. Bus trans Yogyakarta merupakan
transportasi bus cepat, murah dan ber-AC. Trans Jogja merupakan salah satu bagian dari
program penerapan Bus Rapid Transit (BRT) yang dicanangkan Departemen
Perhubungan. Sitem bus ini yaitu sistem tertutup, penumpang tidak bisa memasuki bus
tanpa melewati gerbang pemeriksaan. Terdapat 3 macam tiket yang digunakan, yaitu
tiket sekali jalan, tiket pelajar, dan tiket berlangganan umum. Bus trans ini
menghubungkan 6 titik penting moda perhubungan di sekitar Kota Yogyakarta.
3. Fasilitas Umum
3.1 Benteng Vredeburg

Gambar 15. Benteng Vredeburg

Berdirinya Benteng Vredeburg erat kaitannya dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta.


Pada masa kolonial Belanda, lokasinya yang menghadap ke jalan utama menuju keraton
dimanfaatkan sebagai benteng strategi, penyerangan, dan blokade. Pada masa pendudukan
Jepang (1942-1945) bangunan Benteng Vredeburg difungsikan sebagai markas tentara
Kempeitei, gudang mesiu, dan rumah tahanan bagi orang Belanda, Indo-Belanda, serta kaum
politisi RI yang menentang Jepang.
Benteng Vredeburg terletak di Jalan Margo Mulyo. Surat Keputusan Mendikbud RI Prof.
Dr. Fuad Hasan pada tanggal 23 November 1992, secara resmi menetapkan Benteng Vredeburg
sebagai Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum Benteng Yogyakarta.
Benteng Vredeburg saat ini memiliki fungsi khusus sebagai museum yang melaksanakan
pengumpulan, perawatan, pengawetan, penelitian, dan memberikan bimbingan edukatif kultural
mengenai sejarah perjuangan Bangsa Indonesia di wilayah Yogyakarta.

3.2 Kampung Pecinan Ketandan

Gambar 16. Kampung Pecinan


Eksistensi etnis Cina di Kota Yogyakarta mulai diakui sejak pemerintahan Sultan
Hamengkubuwono VII dengan didirikannya kawasan permukiman kaum Cina Ketandan.
Kampung Ketandan merupakan saksi sejarah akulturasi budaya Tionghoa, keraton, dan warga
Kota Yogyakarta. Kampung Pecinan Ketandan merupakan salah satu kampung Cina bersejarah
yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Jalan Suryatmajan, Jalan Suryotomo, dan Jalan Los Pasar
Beringharjo. Kampung Ketandan lahir pada akhir abad 19 sebagai pusat permukiman orang Cina
pada masa kolonial Belanda.
Kampung Pecinan Ketandan menjadi salah satu objek vital bagi perkembangan
perekonomian Kota Yogyakarta, khususnya kawasan Timur Malioboro yang saat ini menjadi
sentra perdagangan Kota Yogyakarta. Perubahan Kampung Ketandan terlihat dari perubahan
fisik, ekonomi, dan sosial yang disebabkan karena adanya tuntutan perkembangan zaman oleh
arus modenisasi. Arsitektur bangunan di kawasan Pecinan Ketandan berbentuk ruko dengan atap
berbentuk gunungan, namun seiring perkembangan, atap-atap tersebut direnovasi berbentuk
lancip. Akses transportasi yang mudah serta sarana dan prasarana yang memadai menyebabkan
semakin banyaknya pengunjung yang mendatangi kawasan Kampung Pecinan Ketandan.

3.3 Tamansari

Gambar 17. Tamansari

Tamansari merupakan kebun istana Keraton Yogyakarta yang dibangun pada zaman
Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1758-1769. Mulanya, taman dengan sebutan The
Fragrant Garden tersebut memiliki luas lebih dari 1- hektare dengan 57 bangunan berupa
gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, danau buatan, dan lorong bawah air.
Kebun istana digunakan secara efektif antara 1765-1812. Keraton yang didirikan oleh Susuhunan
Paku Buwono II tersebut difungsikan sebagai tempat istirahat kereta kuda yang akan pergi ke
Imogiri. Meskipun resmi sebagai kebun kerajaan, namun beberapa bangunan berfungsi sebagai
benteng pertahanan terakhir apabila istana diserang oleh musuh.
Saat ini, kawasan Tamansari dijadikan sebagai tempat wisata. Di samping itu, kawasan
Tamansari dikenal dengan kerajinan batiknya sehingga banyak dikunjungi wisatawan lokal
maupun mancanegara. Tidak jauh dari Tamansari, dapat dijumpai Pasar Ngasem yang
merupakan pasar burung terbesar di Yogyakarta. Beberapa daya tarik pendukung inilah yang
menyebabkan Tamansari menjadi salah satu tujuan wisata Yogyakarta.

3.4 Masjid Kotagede

Gambar 18. Masjid Kotagede

Masjid Kotagede merupakan masjid tertua di Yogyakarta yang berlokasi di selatan


kawasan Pasar Kotagede saat ini, tepatnya di Kelurahan Jagalan, Kecamatan Banguntapan,
Bantul. Masjid Kotagede dibangun pada zaman Kerajaan Mataram (1640) oleh Sultan Agung dan
masyarakat setempat yang umumnya Hindu dan Budha. Di sekitar pohon beringin terdapat parit
yang mengelilingi masjid. Pada masa lalu, parit digunakan sebgai tempat wudhu, namun saat ini
digunakan sebagai tambak. Masjid Kotagede digunakan sebagai tempat melaksanakan kegiatan
keagamaan dan masih difungsikan dengan baik hingga saat ini.
Setelah kemerdekaan hingga saat ini, Masjid Kotagede masih digunakan sebagaimana
fungsinya yaitu sebagai tempat ibadah umat Islam serta biasa digunakan untuk acara-acara
keagamaan. Masjid Kotagede berlokasi di Jalan Watu Gilang, Kotagede Yogyakarta. Akses
menuju masjid dari Pasar Kotagede tidak terlalu jauh, sehingga mudah dijangkau dengan
berbagai moda transportasi. Selain menjadi tempat ibadah, Masjid Kotagede dijadikan sebagai
tempat wisata sejarah di mana pengunjung dapat beribadah sekaligus menyusuri sejarah Mataram
di Yogyakarta.

3.5 Keraton Yogyakarta

Gambar 19. Keraton Yogyakarta


Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kompleks bangunan keraton masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga
istananya serta tempat menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton Yogyakarta
didirikan oleh Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1775. Keraton Yogyakarta memiliki fungsi
utama sebagai tempat tinggal para raja. Terdapat pula kompleks kesariaan yang digunakan ebagai
sekolah putra-putra sultan.
Setelah kemerdekaan hingga saat ini, Keraton Yogyakarta dijadikan sebagai salah satu
sentra kebudayaan Jawa dan tempat wisata yang dapat dikunjungi wisatawan domestik maupun
mancanegara. Selain itu, fungsi Keraton Yogyakarta yang bertahan hingga saat ini yaitu sebagai
tempat tinggal sultan.

3.6 Stasiun Tugu

Gambar 20. Stasiun Tugu

Stasiun Tugu merupakan stasiun kereta api kelas besar yang terletak di Kelurahan
Sosromenduran, Kecamatan Gedongtengen, Yogyakarta. Stasiun tersebut dibuka pada tahun
1887 dengan nama sebelumnya yaitu Djokdjakarta Toegoe. Stasiun Tugu merupakan stasiun
terbesar di Yogyakarta. Stasiun Tugu pernah menjadi tujuan akhir perjalanan Ir. Soekarno saat
memindahkan ibukota negara ke Yogyakarta. Mulanya, Stasiun Tugu memiliki dua percabangan
jalur di sisi barat stasiun yang saat ini sudah tidak aktif beroperasi. Jalur pertama ke arah Utara
menuju Magelang dan berakhir di Parakan. Jalur kedua ke arah Selatan menuju Palbapang di
Kabupaten Bantul.
Stasiun Tugu merupakan stasiun terbesar di Yogyakarta hingga saat ini. Stasiun tersebut
memiliki dua emplasemen dengan 8 jalur kereta. Tersedianya fasilitas serta sarana dan prasarana
yang memadai mendorong semakin pesatnya perkembangan stasiun tersebut, sehingga Stasiun
Tugu menjadi salah satu stasiun dengan pengunjung paling banyak di Indonesia.

3.7 Pasar Beringharjo

Gambar 21. Pasar Beringharjo

Setelah berdirinya Keraton Yogyakarta pada tahun 1758, wilayah Pasar Beringharjo
dijadikan sebagai tempat transaksi ekonomi oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya. Pasar
Beringharjo merupakan pasar tertua di Yogyakarta. Nama Beringharjo diberikan saat bertahtanya
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada tanggal 24 Maret 1925. Pasar Beringharjo merupakan
salah satu bagian dari rancang bangun pola tata kota Kesultanan Yogyakarta. Pasar Beringharjo
terletak di Jalan Jenderal Ahmad Yani No. 16, Ngupasan, Gondomanan.
Pasar Beringharjo hingga saat ini memiliki fungsi yang sama, yaitu sebagai pusat
perdagangan dan pusat kegiatan ekonomi masyarakat Yogyakarta. Perkembangan yang pesat
baik dari segi fisik maupun pelayanannya, letaknya yang strategis, serta penyediaan sarana dan
prasarana yang semakin lengkap menyebabkan Pasar Beringharjo menjadi semakin ramai
dikunjungi. Pasar Beringharjo sebagai pasar tradisional memiliki peranan penting karena
memiliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung.
3.8 Masjid Gedhe Kauman

Gambar 22. Masjid Gedhe Kauman

Masjid Gedhe Kauman terletak di Jalan Kauman Alun-Alun Keraton Yogyakarta. Masjid
Gedhe Kauman dibangun pada 29 Mei 1773 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama Kyai
Faqih Ibrahim Diponingrat dan Kyai Wiryokusumo sebagai arsiteknya di atas tanah Keraton
Yogyakarta. Seiring bertambah banyaknya jamaah yang beribadah, pada tahun 1775 Masjid
Gedhe Kauman diperluas dengan menambahkan serambi. Serambi masjid difungsikan sebagai
tempat pertemuan ulama dan pengajian. Pada saat pembangunan Masjid Gedhe Kauman tidak
memilikii gerbang dan pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V baru dibangin
gerbang.
Setelah kemerdekaan hingga saat ini, Masjid Gedhe Kauman masih digunakan
sebagaimana fungsinya yaitu sebagai tempat ibadah umat Islam serta sering digunakan untuk
acara-acara keagamaan. Masjid Gedhe Kauman berlokasi di sebelah Barat Alun-Alun Utara
Yogyakarta yang secara simbolis merupakan tendensi untuk menunjukkan keberadaan Sultan.
Akses menuju masjid mudah, sehingga dapat dijangkau dengan berbagai moda transportasi. Di
sekitar masjid terdapat kawasan permukiman santri dan ulama.

3.9 Grand Hotel De Djokdja (Hotel Yogyakarta)

Gambar 23. Hotel Yogyakarta


Pemerintah kolonial Belanda ingin membangun sebuah hotel di lokasi yang strategis di
pusat Yogyakarta, di Jalan Malioboro. Hotel De Djokdja dibangun pada tahun 1908 dan mulai
beroperasi pada tahun 1911. Hotel tersebut merupakan hotel terbesar dan termewah di
Yogyakarta yang hanya menampung tamu-tamu militer Belanda. Pada tahun 1938, dibangun dua
sayap di sisi kanan dan kiri hotel. Pada tahun 1942, Jepang mengubah nama hotel menjadi Hotel
Asahi. Hingga proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Hotel De Djokdja telah
mengubah namanya sebanyak enam kali.
Saat ini, Hotel Grand De Djokdja memiliki fungsi yang sama dengan hotel pada
umumnya. Letaknya yang berada di dekat Malioboro menyebabkan hotel tersebut banyak
dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara. Sarana dan prasarana yang dimiliki hotel
tersebut semakin lengkap seperti agen pos, bank, ATM, dan beberapa fasilitas pendukung
lainnya.

3.10 RS Bethesda

Gambar 24. RS Bethesda

RS Bethesda diresmikan pada tanggal 20 Mei 1899 oleh Dr. J. Gerrit Schuere dengan
nama Petronella Zienkenhuis. Oleh masyarakat disebut sebagai RS Toeloeng. Pada jaman
penjajahan Jepang 1942-1945 nama rumah sakit tersebut diganti dengan Yogyakarta Tjuo
Bjoin dan kemudian setelah terlepas dari penjajahan Jepang dikenal sebagai Rumah Sakit Pusat.
Pada tanggal 28 Juni 1950, namanya diubah lagi menjadi RS Bethesda agar masyarakat umum
mengetahui bahwa Rumah Sakit Pusat tersebut adalah Rumah Sakit Kristen.
Saat ini, RS Bethesda merupakan rumah sakit swasta terbesar di Yogyakarta dengan tipe
B non pendidikan. Lokasi RS Bethesda berada di Jalan Jend. Sudirman 70 Yogyakarta. Rumah
sakit tersebut merupakan salah satu rumah sakit dengan fasilitas layanan kesehatan yang lengkap.
RS Bethesda terus berupaya mengembangkan dan memberdayakan SDM serta meningkatkan
fasilitas serta sarana dan prasarana.
3.11 Alun-alun Utara Yogyakarta

Gambar 25. Alun-alun Utara Yogyakarta

Alun-Alun Utara dulunya merupakan pasir halus yang cocok digunakan sebagai tempat
latihan para prajurit. Alun-Alun Utara juga digunakan untuk Tapa Pepe, suatu bentuk unjuk diri
dari rakyat agar didengar dan mendapat perhatian sultan. Di sisi Timur Alun-Alun terdapat
pendopo-pendopo kecil yang disebut perkapalan. Perkapalan tersebut digunakan oleh para bupati
untuk menginap dan beristirahat ketika menghadap sultan. Pada zaman dahulu, Alun-Alun Utara
merupakan wilayah sakral di mana tidak sembarang orang diperkenankan untuk memasukinya.
Terdapat peraturan yang wajib dipatuhi jika ingin memasukinya. Misalnya, tidak diperkenankan
mengenakan sepatu, sandal, mengendarai kendaraan, dan mengembangkan payung. Hal tersebut
merupakan wujud penghormatan kepada Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Lokasi Alun-Alun Utara Yogyakarta berada di sebelah Selatan kawasan Titik Nol
Kilometer Kota Yogyakarta. Saat ini Alun-Alun Utara Yogyakarta dikelilingi jalan beraspal yang
salah satunya menuju ke Jalan Kauman dan Jalan Yudonegaran. Di salah satu sudutnya terdapat
Museum Sonobudoyo dan Masjid Besar Keraton Yogyakarta. Kawasan alun-alun telah
mengalami renovasi dengan pembangunan taman di tepian jalan. Alun-Alun Utara Yogyakarta
saat ini difungsikan sebagai kawasan umum untuk acara publik seperti konser, pentas seni, pasar
malam, dan sebagainya.

4. Pusat Kegiatan
4.1 Pusat Aktivitas Ekonomi

Gambar 26. Keramaian Jl. Malioboro Tahun 1940


Gambar 27. Keramaian Jalan Malioboro Tahun 2017

Pusat perkembangan dan kegiatan masyarakat Yogyakarta yang masih ramai dikunjungi
sejak masa kolonial adalah Jalan Malioboro. Malioboro jadi pusat kehidupan masyarakat.Selain
menjadi pusat pariwisata dan perekonomian.Banyak terdapat toko-toko dan penjual yang
meramaikan Jl Malioboro sejak dahulu.

4.2 Pusat Aktivitas Pendidikan

Gambar 28. Letak Sekolah di Masa Kolonial Belanda


Pada masa kolonial Belanda terdapat sekolah-sekolah yang didirikan di Yogyakarta antara
lain seperti HIS (Holland-Inlandsche School) setara dengan Sd masa kini yang sekarang menjadi
SMPN 6 setara dengan Sd masa kini yang sekarang menjadi SMPN 6 Yogyakarta. Selain HIS, juga
terdapat AMS (Algemeene Middelbare School) setara SMA yang sekarang menjadi gedung SMAN 3
Yogyakarta dan juga terdapat juga taman siswa.

Gambar 29. Persebaran Universitas di Yogyakarta

Baru baru ini terlihat perkembangan di daerah utara maupun di wilayah timur,
keduanya mempunyai ciri khas yang potensial sebagai pusat perkembangan. Bukti bahwa
kampus-kampus di bagian utara Yogyakarta merupakan salah satu pusat perkembangan kota
saat ini makin terlihat jelas.
Beberapa pusat perbelanjaan juga tumbuh dengan pesat di sekitar kampus atau jalan-
jalan menuju kampus. Kasus pertumbuhan pusat perbelanjaan semakin jelas. Indikator arah
perkembangan kota semakin nyata apabila mengamati tumbuhnya jalan Uripsumoharjo
sebagai salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Yogyakarta. Daerah ini letaknya merupakan
titik pertemuan antara perkembangan kearah utara dan kearah timur. Indikator lain yang bisa
menunjukkan pesatnya perkembangan kota kearah utara dan timur adalah jumlah jalur bis
kota yang lebih banyak. Hampir semua angkutan kota lewat jalur disekitar Bulaksumur, salah
satu pusat kampus. Apabila dibandingkan dengan terminal bus di daerah selatan, daerah
Bulaksumur lebih banyak dilewati angkutan penumpang dalam kota. Terminal bus terbatas
dilewati oleh angkutan kota golongan bus dari arah selatan, sedangkan Bulaksumsur tidak
hanya dilalui bus-bus tersebut tetapi juga angkutan yang ukurannya lebih kecil dan bus dari
terminal utara (Sleman).
Secara umum hanya pusat Pendidikan sedikit bergeser dari sebelum kemerdekaan RI
di Jawa dengan kondisi yang sekarang.
4.3 Pusat Pemerintahan
Pusat Pemerintahan di Yogyakarta sebelum kemerdekaan sempat dibedakan mennjadi 3,
yang pertama adalah Pusat pemerinahan Kraton Yogyakarta, Pusat Pemerintahan Republik
Indonesia dan Pusat Pemerintahan Kolonial.
Pusat Pemerintahan Kota Yogyakarta tentunya berada pada Kraton Jogjakarta, Pusat
Pemerintahan Republik Indonesia berada pada Gedung Agung (Gedung Karisidenan) yang
dijadikan sebagai istana negara. Untuk pemerintahan Kolonial Belanda memilih tempat di
kawasan Benteng Vedenburg, dan membangun lagi di kawasan Kota Baru.

Gambar 30. Kota Baru sebagai Pusat Aktivitas Belanda Tahun 1937

Gambar 31. Gedung Agung sebagai Pusat Aktivitas Pemerintahan RI Tahun 1937

Gambar 32. Benteng Bredeburg sebagai Pusat Aktivitas Belanda


Setelah kemerdekaan banyak hal yang berubah dari pusat pemerintahan yang dulu
mengingat sebelum kemerdekaan terdapat juga pusat pemerintahan kolonial danpusat
pemerintahan Republik Indonesia. Sekarang pusat pemerintahan Kota Yogyakarta berpusat di
sekitar Kraton Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai