Anda di halaman 1dari 10

BIOGRAFI SLAMET

Slamet Wirasonjaya salah satu Guru Besar Arsitektur ITB. Karyanya yang terkenal dan kini masih berdiri tegak
adalah Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (MPRJB), Monumen Jogja Kembali (Monjali), Perpustakaan
Pusat ITB, dan Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB. Proyek Conefo (Conference of New Emerging Forces)
1964-1972 yang merupakan desain lansekap dan kini telah berubah menjadi Komplek DPR/MPR RI
merupakan karya pertamanya sebagai arsitek lansekap. Ruang besar (grand space) di sekitar Tugu Monas
Jakarta pun merupakan hasil buah pikirannya.

BANDUNG, itb.ac.id - Bersamaan dengan peluncuran buku mengenai dirinya yang berjudul
“SLW” sesuai dengan inisial namanya, Prof. Slamet Wirasonjaya, Guru Besar Arsitektur ITB
pun dibebastugaskan hari ini (21/5). Bertempat di Ruang Galeri Labtek IX A, Dekan Sekolah
Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB, Ir. Iwan Sudradjat, MSA.,
Ph.D., mengawali acara ini dengan sambutannya, yang dilanjutkan dengan sambutan dari
Kepala Program Studi Arstitektur ITB, Dr. Ing. Himasari Hanan, MAE. Adapun dalam acara
purnatugas yang dihadiri oleh sahabat-sahabat, kolega, murid, termasuk juga mantan Rektor
ITB Wiranto Arismunandar ini, Prof. Slamet Wirasonjaya yang merupakan lulusan Harvard
University ini membawakan pidato purnatugasnya yang berjudul “Site Planning dalam
Retrospeksi Diri”. Namun yang membuat acara purnatugas ini berkesan tentu saja adalah
penyampaian kesan para sahabat, kolega, dan murid yang bersentuhan dengan pribadi Slamet
Wirasonjaya, baik secara pribadi maupun melalui karyanya. Slamet Wirasonjaya memang
dikenal sebagai pribadi yang tak banyak cakap. Ia lebih konkret menyalurkan idenya melalui
karya-karyanya, baik itu berupa puisi, sketsa, hingga bangunan dan lanskap yang ia rancang.
Beberapa karyanya telah menjadi landmark di Indonesia, di kota Bandung sendiri sebutlah
Monumen Perjuangan dan PUSDAI. Di Jakarta, ada gedung MPR/DPR dan Plaza Senayan.
Sedangkan ITB juga mendapatkan sentuhannya lewat rancangan lanskap Sasana Budaya
Ganesha, dan Perpustakaan Pusat ITB. Prof. Jusuf Affendi dari Fakultas Seni Rupa dan Desain
ITB sewaktu membedah buku “SLW”, mengatakan bahwa setiap rancangan SLW selalu dimulai
dari hati.
Slamet Wirasonjaya: Bapak Arsitek Lansekap Indonesia

 “Ternyata Indonesia memiliki arsitek lansekap,” ujar Soekarno, ketika melihat presentasi lansekap proyek
Conefo 1965. 

Proyek Conefo (sekarang gedung MPR/DPR) merupakan karya pertama Slamet Wirasonjaya sebagai arsitek
lansekap di Indonesia. Enam bulan setelah kedatangannya dari Harvard University, USA.  Selain itu, salah
satu buah pikirannya merancang ruang besar (grand space) di sekitar tuga Monas yang tidak ditanami pohon.
Sehingga pandangan ke tugu Monas lepas dan tak terhalang.  Hingga Monas Nampak anggun dan juga
berfungsi untuk berbagai kegiatan.

Dulu, zaman aku masih kuliah di Arsitektur Lansekap Universitas Trisakti, nama Slamet sudah mengema. Ia
menjadi acuan setiap bicara lansekap.  Dan pernah satu kali aku mengikuti seminar Ruang Terbuka Hijau
(RTH) yang diadakan Dinas Pertamanan DKI Jakarta, ia pembicara. Setelah itu, tidak pernah bertemu lagi,
hanya mendengar dan melihat beberapa karyanya.  Sampai kemudian mendapat kabar akan terbit sebuah
buku karya Slamet Wirasonjaya.  Wah.  Seperti apa ya…, bagaimana pemikiran Slamet dalam berkarya, saya
ingin menulis tentangnya untuk majalah.

Menarik karena Slamet arsitek dan juga arsitek lansekap.  Ia berorientasi pada bangunan tapi juga peduli pada
lingkungan sekitarnya.

Pernah dalam satu obrolan santai dengan Gunawan Tjahjono, guru besar arsitektur UI, “Salah satu pemikiran
Slamet adalah papan iklan dengan posisi vertical dengan lebar maksimal 5 meter di sepanjang jalan kota
Jakarta, agar tidak menutupi pemandangan kota. Sketsa Slamet juga bagus lo, saya pernah dikasi,” kata
Gunawan menambahkan info.  Saya juga akui sketsa-sketsa Slamet terlihat nyata.
Saya temui Slamet di TPAK, Jakarta, tiap kamis periode yang lalu ia selalu ke sana. Jadi tinggal memilih salah
satu Kamis.

Awalnya ia memberi saya foto copy pidatonya pada saat peluncuran buku SLW itu, “Ambil bahan tulisannya
dari sini saja.  Ini sudah lengkap” katanya sambil menjulurkan foto copian itu. Nampaknya ia enggan untuk
bicara lebih banyak.  Bukan tipe orang yang suka bicara. Yah….mana seru, Dengan tenang saya melihat
pidato itu sekilas, lalu tersenyum dan bicara dengan pelan,”Saya ingin mendapat info tambahan tentang
pemikiran bapak dalam berkarya”.  Hasilnya luar biasa, Slamet bicara banyak tanpa sadar dan isinya sangat
mengesankan. Tulisan ini tentu berbeda dengan tulisan yang saya tulis untuk majalan tersebut karena
pangsanya beda.  Di sini.  Di blog ini saya bisa lebih bebas.

Tulisan ini mengarah pada kondisi lingkungan kota.

“Kita Negara tropis.  Pada masa colonial Belanda dari Jakarta Utara-Jatinegara-Lapangan Banteng -Menteng
banyak pohon/taman.  Eranya waktu itu era kembali ke alam. Sekarang bagaimana mempertahankan itu.
Memang tidak mudah karena taman berubah jadi pos. Jadi tempat sampah. Tempat gelandangan. Tidak aman
dan tidak sesuai fungsinya.”

“Sekarang trotoar panas. Tidak ada yang mau jalan kaki.  Ada taman lingkungan, taman kota seperti taman
Suropati, banyak pohon.  Namun harus dibuat konsep taman trotoar.  Sehingga setiap orang bisa berjalan ke
mana saja (seperti Orchad Road, Singapura).  Dan masing-masing pekarangan di depan rumah dapat
memberikan kontribusi bagi taman trotoar.”
“Bukan lagi taman-taman kota tetapi taman linear seperti trotoar sehingga dapat dinikmati setiap hari/jam.  
Pohon-pohon yang ditanan semakin banyak. Begitu keluar kantor, ada taman. Keluar rumah ada taman.  Tidak
hanya sekedar jalan kaki,tapi juga menikmati taman. Itulah kontribusi masing-masing kavling sepadan
bangunan, digunakan untuk menanam tanaman agar dapat dinikmati oleh orang yang melewati kavling
tersebut.”

”Dulu di Bandung GSB(Garis Sepadan Bangunan) itu tidak dipagari. Orang tidak boleh masuk tetapi boleh
melihat. Harus ditanami. Ada bunga. Ada rumput yang bagus.”

“Masyarakat kita masyarakat agraris bukan masyarakat industri, buat apa sibuk cari tempat rekreasi. 
Masyarakat agraris lebih banyak santai, misalnya di jalan/ trotoar, dipakai untuk menjemur padi.”

“Hijau itu sekunder, yang penting itu apresiasi masyarakat, ada tanah kosong lalu dibuat taman untuk
kepentingan bersama.”

“Kalau Barat dan Timur beda. Kalau Barat monumental itu asal kelihatan saja. Tapi kalau di kita (Timur)
monumental itu harus di cari.  Di Bali ada aling-aling, kita harus jalani. Jalan. Surprise. Jalan lagi. Surprise lagi. 
Misalnya music. Dari gong ke gong. Masuk kapan saja dari gong itu tidak masalah, karena dari episode ke
episode.”

“Menguasai genius loci itu adalah dengan bertanya pada masyarakat setempat.”

“Pohon jangan ditebang, ya kita hormati.  Ini membutuhkan waktu yang panjang dan harus jalan sama-sama
apalagi menghadapi zaman sekarang.  Di Barat ada peraturan dan mengenalkan kesadaran pribadi. Jangan
mengandalkan kepentingan pribadi. Jadi harus di-undang-kan di-perda-kan supaya sama-sama.”

“Ruang untuk taman, saat ini merupakan ruang sisa. Dibalik. Seharusnya taman itu jadi pionir. Jangan jadi
sisa.  Sekarang kan sisa, jadi tidak nyambung.  Kalau kita ingin ruang luar yang berkonsep, itu dimulai dari
awal.  Dimana tidak boleh dibangun.”

“Ruang kosong itu dianggap tidak kreatif, padahal kita harus mengerti masalah ekosistim, mengerti ekologi,
mengerti dulu bagaimana terjadinya pusat-pusat pertumbuhan.  Harus mengerti, agar nanti kalau punya ide
membuat taman, dapat membuat konsep yang bisa dibaca. Yang bisa dijadikan guideline bagi yang lainnya.
Ruang kosong yang dirancang seperti pocket-pocket , kalau sudah seperti ini jadi tidak kreatif nanti”
“Ada sebidang tanah.  Apa peranan ini di lingkungan.  Apa peranan ini bagi kota.”

“Jangan sampai menunggu puluhan tahun agar bisa menikmati taman.”

“Ini daerah tropis, kita butuh bayangan.  Perlu pemeliharaan. Style-nya juga perlu dijaga.”

“Seorang site planner harus berlatih, mencari, dan memanfaatkan genius loci sebagai infrastruktur


kota.  Regional park system lebih strategis dari pada urban park.   Lahan sulit maka ada paham baru
mengenai linear park dan Coridor genius loci yang harus dilindungi.”

“Melontarkan gagasan : dimana tidak boleh membangun harus didahulukan dari pada dimana boleh
membangun. Small is beautiful program dalam bidang perencanaan fisik dalam site yang terbatas.  Site
plan dan neighborhood  adalah jawab terbaik dalam proses bottom up.  Program site planning dapat
menampung pembangunan skala mikro dengan wawasan makro.”

“Kerjasama dengan pemerintah kota tentang studi pola grid kota sebagai usaha untuk memperbaiki jaringan
sirkulasi yang liar yang nanti akan terstruktur ke dalam sistim bangunan, kota dan transportasi dalam satu
organic tunggal.” 

“Dalam berkarya, bapak sangat memperhatikan kaitan “sesuatu” yang dibuat, terhadap masa lalu, sekarang,
dan yang akan datang. Di masa lampau sesuatu itu untuk apa. Mestinya sekarang untuk apa. Dan masa
depannya akan menjadi seperti apa. Jadi punya nilai sejarah di masa depan. Karena tidak dirusak oleh apa
yang kita buat sekarang”,

“Namun tidak semua orang mempunyai cara pikir seperti bapak.”

“Dimana (area/lokasi/kawasan) yang tidak boleh dibangun harus didahulukan dari pada dimana
(area/lokasi/kawasan) yang boleh dibangun, dan untuk apa.  Ini menjadi isu yang mengemuka. Ruang luar
(yang tidak dibangun) dapat dijadikan guideline bagi yang lainnya (safety environment, struktur, sirkulasi).”

“Kavling-kavling itu ada yang bagus. Jelek. Sembarangan. Semua orang bisa membuat kavling.   Bukan itu
yang kita inginkan. Yang kita inginkan bangunan itu jadi bagus.  Kavling itu kerangka dasar bagi sebidang
tanah dibangun  untuk apa dalam satu lingkungan yang bagus.  Arsiteknya membangun.  Di bangun rumah-
rumah di dalamnya.” 

“Bila kavling seadanya, acak-acakan, itu jadi sulit. Bangunannya juga akan acak-acakan.  Dasar
pemikirannya : Pemandangan bagus, sungai, pohon, itu merupakan potensi bagi lingkungan, tapi juga bisa
membahayakan seperti banjir.  Bagusnya apa. Jeleknya apa, Tidak asal.”

“Real estate dengan kavling-kavling kecil lebih berat. Pengap. Belum ada aturan untuk keselamatan ( safety
environment) pemadam kebakaran tidak bisa masuk dengan mudah.  Udara tidak bisa mengalir dengan bagus,
Bagaimana kehidupan privasi?” 

“Rumah bapak dulu enak. Tiba-tiba orang di depan rumah taruh jemuran atau tetangga membuat garasi di
dekat kamar tidur Bapak.  Hal-hal semacam itu ada aturannya.  Aturan mencegah gangguan yang diterapkan
dengan ekosistem. Tetangga menanam pohon, mereka dapat buahnya, kita mendapat daunnya.”

“Kalau di Negara maju harus didukung UU dan peraturan.  Tidak secara build in kita mau begitu.  Kenapa bikin
jemuran di depan sehingga mengganggu orang sehingga terlihat oleh orang dari jalan/luar. Bagaimana kita
membuat sesuatu agar tidak membuat gangguan pada orang lain?”

“Masyarakat kita mempunyai latar belakang yang macam-macam. Bekas penjajahan. Struktur masyarakat,
feudal.  Orang kaya tapi tidak intelek. Miskin tapi intelek. Orang kaya tidak mau campur dengan orang miskin.  
Orang kaya tidak peduli dengan lingkungan.  Taman lingkungan di satu RT digunakan oleh warga RT lain. 
Tidak punya lapangan.  Main di jalan, di mall tiap hari.”

“Yang terpenting adalah bagaimana kita membuat sesuatu agar tidak membuat gangguan pada orang lain,
dengan berlatih mencari dan memanfaatkan genius loci.”
“Bahasa adalah inti untuk membuat, menggunakan, dan memahami bangunan.” (Tom Narkus)

Bagaimana cara kita mengetahui proses perancangan suatu arsitektur? Perlukah kita mengetahui bagaimana proses
perancangan suatu arsitektur?

Menurut John Evelyn, ada beberapa aspek yang membuat kita bisa menikmati arsitektur dengan baik, yaitu: Ingenio
(a man of idea), Sumptuarius (the patron), Manuarius (workmen), dan Verbarum (word). Tiga aspek pertama yang
disebutkan, hanya berpengaruh hingga suatu bangunan berdiri saja, kecuali adanya revonasi.
Dari teori yang dikemukakan oleh John Evelyn tersebut, izinkan saya untuk melakukan pembahasan di aspek
keempat, yaitu: Verbarum. Kenapa verbarum? Karena seperti kuot yang dituturkan Tom Narkus di awal tulisan: tanpa
adanya tulisan, kita tidak bisa menikmati arsitektur secara hakiki.
Banyak bangunan di belahan Bumi ini yang digunakan secara tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh sang
arsitek dalam desainnya. Salah satu sebab yang membuat hal itu terjadi adalah tidak ada tulisan yang membahas
konsep rancangan bangunan tersebut. Tidak semua orang bisa membaca arsitektur tanpa ada penjelasan tertulis.
Maka dari itu, kita bisa simpulkan bahwa Verbarum memang aspek penting dalam arsitektur, karena dari situ kita bisa
tahu hal implisit dari suatu karya.
Salah satu hal yang sangat menarik untuk dibahas dalam arsitektur adalah bagaimana proses desain itu bisa kita
temukan. Kita sering menemukan bangunan yang dikritik secara negatif ketika dilihat dengan mata telanjang. Akan
tetapi ketika kita tahu seperti apa proses dan konsep perancangannya. Kita akan bergumam “Ooo…”
Mungkin, itulah yang dialami oleh Campus Center (CC) di Institut Teknologi Bandung (ITB) ketika awal berdirinya.

Pada tahun 1970, Prof. Slamet Wirasonjaya dengan timnya ditugaskan untuk menyusun masterplan dan melakukan
proyek renovasi sekaligus pembangunan ITB hingga menjadi seperti yang kita kenal sekarang. Masterplan ini disusun
berdasarkan sense of identity, sejarah masa lalu tempat tersebut, dan visi tempat tersebut di masa depan. Dari konsep
tersebut, Prof. Slamet Wirasonjaya dengan timnya menyusun kampus ITB yang dibagi menjadi 3 zona:
zona heritage atau zona tradisional, zona transisi, dan zona modern.

Zona heritage dimulai dari gerbang depan ITB hingga daerah Teknik Sipil dan Fisika. Di sini kita bisa melihat gaya
arsitektur Indisch yang terkarakterisasi dengan kuat dalam bentuk atap-atap bangunannya. Zona heritage terdiri dari
beberapa bangunan asli kompleks THS Bandung waktu itu yang masih berdiri hingga sekarang, di antaranya adalah
Aula Barat dan Aula Timur.
Zona transisi sendiri diwakili oleh keempat labtek kembar di daerah Plaza Widya (Labtek V, VI, VII, VIII) yang
memiliki bentuk atap yang masih mengadopsi bentuk atap tradisional Aula Barat dan Aula Timur, namun pemilihan
materialnya sendiri telah mencerminkan masa modern, yaitu: bahan sintesis mirip sirap yang dibuat di pabrik.

Zona modern yang dimulai dari pusat gema hingga Sasana Budaya Ganesha, menggambarkan visi ITB di masa
depan. Bangunan yang bisa kita sebut adalah Labtek Biru dengan tangga double helix-nya, gedung PAU, dan
Perpustakaan Pusat ITB.
Hanya saja, saat ini ada yang ‘merusak’ pembagian zona dari kampus ITB tersebut, yaitu bangunan yang sekarang
disebut dengan CC yang berdiri diantara zona heritage dan transisi, namun berlanggam modern.
Apa maksud sang arsitek memilih desain seperti itu tidak akan kita pahami bila hanya melihat bangunan itu saja. Kita
tidak akan pernah mengerti meski memelototinya selama bertahun-tahun.

“Sebagai etalase ITB,” demikian penuturan Baskoro Tedjo, arsitek CC yang juga merupakan salah satu dosen
program studi arsitektur, “tempat ITB memamerkan semua hasil pencapaiannya hingga sekarang dan cita-cita masa depan.
Sebagai Ruang tamu ITB, menerima tamu-tamu dari luar. Sebagai tempat wakil-wakil mahasiswa dan kegiatan-kegiatannya.”
Gedung CC dimaksudkan untuk menjadi livingroom ITB. CC dirancang semaksimal mungkin untuk menampilkan citra
ang bagus di mata para pengunjung dan masyarakat ITB sendiri. Keluarnya konsep unik dari perancangan CC, tidak
lepas dari proses perancangannya.
J. Christopher Jones, penulis buku Design Methods: Seed of Human Futures, menyebutkan sedikitnya ada tiga
tahapan dalam proses merancang, yaitu: Divergence, Transformation, dan Convergence.
Divergensi adalah tindakan yang memperluas sebuah batasan dalam mendesain sehingga memiliki ruangan yang
cukup besar untuk mencari sebuah solusi. Tahap ini adalah waktu untuk mencari data sehingga didapatkan konteks
isu, batas, dan konsekuensi dalam merancang. Maka dari itu, setiap usaha dilakukan untuk menghindari asumsi
lama dan menyerap data baru.

Bila kita perhatikan dengan seksama, bangunan-bangunan di ITB memiliki beberapa benang merah. Diantaranya
adalah atap, kolom, selasar, dan koridor. Namun, bila melihat bangunan-bangunan di zona modern, hanya kolom,
selasar, dan koridor yang dipertahankan. Hal-hal yang telah disebutkan itulah yang sangat mempengaruhi rancangan
CC.

Selain kontekstual bangunan, isu kontekstual terkait sejarah seharusnya dijadikan pertimbangan dalam desain.
Sebelum CC dibangun, di lahan ini tadinya berdiri sebuah bangunan bernama Student Center (SC). Bisa dibilang
gedung SC merupakan pusat segala kegiatan mahasiswa pada zamannya. Di dalamnya ada kantin, sekretariat unit,
sekretariat Dewan Mahasiswa, serta livingroom tempat mahasiswa biasa membaca dan belajar.
Goris Mustaqim, sarjana Teknik Sipil ITB angkatan 2001 yang juga menjadi inisiator peresmian CC versi mahasiswa,
mengatakan bahwa ada kesepakatan awal yang didapat antara pihak mahasiswa dan rektorat sebelum proses
pemindahan sekretariat dari SC. Hal itu adalah janji rektorat bahwa pemindahan sekretariat unit di lokasi yang
ditempati sekarang bersifat sementara dan posisinya akan dikembalikan lagi ke CC setelah gedung tersebut
rampung dibuat. Hal ini seharusnya membuat desain CC mampu menampung berbagai macam kegiatan mahasiswa
di dalamnya.

Tahapan kedua dalam merancang menurut J. Christopher Jones adalah Transformation. Transformasi adalah
pembuatan pola, kreativitas tingkat tinggi, kilatan wawasan, perubahan tata cara, dugaan penuh inspirasi, dan segala
sesuatu yang membuat merancang jadi menyenangkan.
Dari tahap divergensi, kita tahu bahwa: Pertama, kampus ITB memiliki kesamaan dalam hal atap, kolom, selasar,
dan koridor. Kedua, bangunan di zona modern hanya mempertahankan kolom, selasar, dan koridor.

Keputusan desain dari sang perancang adalah CC merupakan bangunan modern yang menjadi gerbang kedua
setelah gerbang utama di jalan Ganeca, sehingga bentuk bangunannya seolah replika dari gerbang utama.

Itulah sebabnya mengapa CC menggunakan atap datar, karena bangunan-bangunan di zona modern menggunakan
atap yang cenderung datar sebagai ciri khas bangunan modern. Bila masih menggunakan atap miring tradisional
seperti Aula Barat dan Aula Timur, kesan gerbangnya kurang terasa dibandingkan dengan penggunaan atap datar
bangunan modern.

Gerbang kedua ini membuka jalan menuju zona transisi. Bentuk dua persegi panjang adalah pintu gerbangnya,
sedangkan bentuk lingkaran di tengahnya adalah ruang melingkar setelah pintu gerbang utama. Maka dari itu,
terciptalah sebuah kesan yang menggugah dengan menciptakan pola berulang dari gerbang kampus hingga CC.

Desain CC juga mempertahankan kolom-kolom bulat, sistem selasar, dan sistem koridor seperti yang ada pada
bangunan lainnya di ITB. Hanya saja, alih-alih memakai batu kali seperti kebanyakan kolom di ITB, CC memakai
beton yang dicampur dengan bebatuan kecil, mirip kerikil sebagai finishing-nya. Sedangkan sistem selasar dan
koridor tetap dipakai sebagaimana bangunan lainnya di ITB, meski koridor yang menghubungkan CC dengan
bangunan lainnya hanya satu.
Akan tetapi, saya tidak menemukan isu kontekstual terkait sejarah dalam desain CC. Ruangan CC yang tidak begitu
banyak sehingga kurang bisa menampung berbagai kegiatan mahasiswa. Apalagi bangunan modern yang dipenuhi
oleh kaca dengan rangka baja, tidak tepat bila dijadikan sekretariat unit kegiatan mahasiswa karena akan
mengganggu privasi unit kegiatan yang bersangkutan.

Kemudian, tahap terakhir dalam proses merancang kali ini adalah Convergence. Pada tahap konvergensi,
perancangan hampir seluruhnya selesai meski berada di bawah pengaruh otomasi desain. Tujuannya adalah untuk
mengurangi ketidakpastian sekunder progresif sampai hanya satu dari sekian banyak alternatif desain yang mungkin
yang tersisa.
Konsep, massa, bentuk, dan grid kolom telah ditentukan. Tahapan ini tinggal membuat pola dari ruangan di dalam
CC. Disebut di bawah pengaruh otomasi desain karena memang ruangan yang terbentuk sangat identik dan tinggal
mengikuti bentuk bangunan dan grid kolom.
Pada tahap ini pun terjadi evaluasi. Desain awal rotunda yang berbentuk lingkaran di tengah CC ternyata terlalu
tinggi sehingga mengganggu pemandangan ke Gunung Tangkuban Perahu. Oleh karena itu, rotunda tersebut
diturunkan ketinggian bangunannya menjadi satu lantai saja.

Itulah penelusuran singkat jejak langkah proses perancangan gedung Campur Center ITB yang sungguh
mengasyikan. Dan dari situ kita bisa tahu tingkat keberhasilan suatu rancangan: ternyata CC hanya berdialog
dengan bangunan lainnya saja. Sedangkan dengan mahasiswa, dia kurang bersahabat. Oleh karena itu, tugas
mahasiswalah untuk menghidupkan kembali semangat Student Center di gedung CC ini.
Pada masa modernisme pasca kemerdekaan di Indonesia, Slamet Wirasonjaya merupakan arsitek dan
dosen di ITB. Selain terlibat di ITB, beliau juga terlibat dalam perencanaan Monumen Nasional di Jakarta.
Karya-karyanya cenderung berbentuk dinamis, ekspresionis, dan sebagian besar merupakan bangunan
publik seperti Sasana Budaya Ganesa (Sabuga), Pusat Da’wah Islam (PUSDAI), Monumen Perjuangan Rakyat
Jawa Barat, Monumen Yogya Kembali, dan lain-lain. Beliau juga pernah menerbitkan sebuah buku yang
berjudul “SLW”.

Selain terkenal menjadi arsitek, beliau juga menggeluti arsitektur lansekap. Setelah kuliah di ITB
mengambil jurusan Arsitektur, beliau melanjutkan kuliah Arsitektur Lansekap di Harvard. Beliau
merupakan orang Indonesia pertama yang mendapat gelar Magister Arsitektur Lansekap. Beberapa bulan
setelah lulus, beliau membuat karya pertamanya sebagai arsitek lansekap di Indonesia yaitu proyek
Gedung Conefo atau Gedung MPR/DPR. Namanya cukup terkenal di kalangan arsitektur lansekap di
Indonesia.

Arsitektur ruang publik menjadi fokus utama yang ingin diwujudkan oleh Slamet. Menurut beliau, ruang
publik adalah sebuah tempat untuk orang berkumpul dan bersosialisasi. Prinsip kebersamaan menjadi
salah satu penyebab suksesnya bangunan-bangunan rancangan seorang Slamet Wirasonjaya. Oleh karena
itu, dalam merancang bangunan atau ruang publik, beliau pasti melibatkan orang-orang sekitar karena
rancangan tersebut juga akan digunakan oleh orang-orang tersebut.

Sejarah PUSDAI

Ide awal PUSDAI dibangun yaitu dalam rangka menyambut abad ke 15 tahun Hijriah, yaitu tahun 1400
Hijriah pada tahun 1977. Pada masa tersebut, kebangkitan islam cukup terasa sehingga perayaan menuju
abad ke 15 ini cukup meriah dengan merayakan kegiatan-kegiatan yang islami dan seperti halnya
merayakan pesta menuju abad milenium. Kalangan ulama sendiri melakukan diskusi untuk membuat
sesuatu yang berkaitan dengan Islamic Center. Usulan ide ini disampaikan kepada gubernur pada saat itu.
Kemudian, gubernur pun menyutujuinya. Hal ini juga bernilai nasionalisme karena sebagai simbolisasi
dalam mengingat para pejuang kemerdekaan tahun 1945.
Pada tahun 1982, Surat Keputusan mengenai pembebasan Islamic Center ini baru disetujui dan ditetapkan
bersamaan dengan Surat Keputusan untuk Monumen Perjuangan Rakyat yang sesuai dengan keinginan
pemerintah. Setelah 10 tahun kemudian, dan telah melalui tiga masa gubernur, pada tahun 1992
perencanaan PUSDAI ini mulai dibangun. Perancang dari PUSDAI ini yaitu Slamet Wirasonjaya, yang saat itu
merupakan dosen Arsitektur ITB. Pembangunan berlangsung selama 5 tahun. Peresmian selesainya
pembangunan yaitu tanggal 2 Desember 1997.
Konsep awal rencana bangunan PUSDAI yaitu mengambil dari pemukiman Sunda. Area yang terbuka yang
terletak di tengah tapak dianalogikan sebagai kolam. Selain itu, bangunan ditinggikan seperti konsep
rumah panggung. Bentuk atap yaitu tropis khas Sunda sesuai dengan keadaan lokasi. Interiornya pun
menggunakan ukiran dan hiasan khas alam Sunda pada bagian dinding dan beberapa furnitur seperti
hanjuang, patra komala, dan lain-lain. Ciri khas komponen lain yang diterapkan yaitu banyaknya unsur
lengkung seperti konsep Islam Timur Tengah yang sekaligus diperkirakan sebagai bagian dari struktur
bangunan berupa balok. Struktur utama bangunan menggunakan material beton, sedangkan struktur
untuk rangka atap menggunakan baja.

Ulasan dimulai oleh Prof. Slamet Wirasonjaya, yang bercerita bahwa di dalam berkarya arsitek Soejoedi dapat
memaksa konstruksi baja untuk mengikuti bentuk bangunan yang dibuatnya. Sebagai arsitek, Soejoedi
berpendapat bahwa konstruksi harus mengikuti bentuk, bukan bentuk mengikuti konstruksi.

Menurut Prof. Slamet, saat ini sebutan ARSITEK telah tenggelam. Arsitek
tidak lagi dikenal sebagaimana di masa lalu. Masyarakat sekarang lebih mengenal istilah konsultan, bukan lagi
arsitek. Pertanyaan yang sering terdengar saat ini “siapa konsultannya?” bukan “siapa arsiteknya?”.
Hal ini diperparah oleh UUJK (Undang-Undang Jasa Konstruksi) yang ikut pula menghancurkan arsitek. UUJK
menyebut konsultan, bukan ARSITEK, sebagaimana hal ini diungkap oleh Ridwan Kurnia, mantan ketua IAI
daerah Jawa Barat.
Mereka berdua menekankan agar kita harus mengembalikan posisi arsitek ke tempatnya semula, bahwa yang
merancang bangunan itu ARSITEK bukan konsultan.

Anda mungkin juga menyukai