KELAS D
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui latar belakang dan sejarah berdirinya Masjid Agung Samarra.
2. Untuk mengetahui makna filosofis yang terkandung dalam arsitektur Masjid Agung
Samarra.
3. Untuk mengetahui nilai nilai islam dan hikmah yang dapat diambil dari arsitektur
Masjid Agung Samarra.
4. Untuk mengetahui agenda membangun islam dalam berarsitektur.
BAB II
PEMBAHASAN
Arsitektur atau ilmu bangunan adalah seni yang dilakukan oleh setiap individu
untuk mengimajinasikan diri dan ilmu mereka dalam merancang bangunan. Dalam
artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan
lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan
perkotaan, arsitektur lanskap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain
interior dan desain produk. Arsitektur juga merujuk pada hasil-hasil proses perancangan
tersebut.
Pada abad pertengahan, Kairo yang menjadi pusat pemerintahan Dinasti
Fatimiyah memainkan peranan yang hampir sama pentingnya dengan Baghdad di
Persia yang dikuasai Dinasti Abbasiyah serta Cordoba di Eropa yang dipimpin Dinasti
Umay yah.
Pada masa keemasan tiga dinasti ini, mereka tak hanya membangun istana dan
pusat-pusat intelektual, tapi berlomba-lomba membangun masjid. Dinasti Abbasiyah di
Baghdad bangga memiliki Masjid Samarra, Dinasti Umayyah membangun Masjid
Cordoba, dan Fatimiyah memiliki Masjid Al-Azhar.
Kota Baghdad, Irak, dikenal sebagai Negeri 1001 Malam. Disebut demikian,
karena berbagai keunikan yang ada di kota tersebut. Mulai dari bidang kesusasteraan,
cerita unik, hingga peradaban. Karena itu, tak lengkap rasanya, bila punya kesempatan
berkunjung ke Irak, tanpa menyaksikan keindahan kota tersebut. Salah satu tempat
yang layak dijadikan tujuan wisata adalah Masjid Agung Samarra. Masjid ini merupakan
salah satu tempat ibadah terbesar yang pernah dibangun di dunia Islam.
Masjid Agung Samarra adalah masjid yang terletak di kota Samarra, Irak,
sekitar 120 km sebelah utara Baghdad, di tepi Sungai Tigris. Dibangun pada abad ke-9.
Masjid ini diperintahkan untuk dibangun pada tahun 848 dan konstruksinya selesai
tahun 852. Masjid ini dibangun oleh khalifah Bani Abbasiyah, Al-Mutawakkil, yang
pindah ke Samarra untuk menghindari konflik dengan penduduk setempat di Baghdad
dan kemudian tinggal di sana selama 56 tahun (dari tahun 847 sampai tahun 861)
berikutnya - periode dimana dia membangun banyak istana termasuk masjid terbesar di
seluruh dunia Islam pada saat itu
Dalam makalahnya yang berjudul The Mosque of al-Mutawakkil, dosen Arkeologi
Universitas Durham, Dr Derek Kennet, memaparkan, Masjid Agung Samarra mulai
dibangun pada 836 M dan konstruksinya selesai dalam waktu 52 tahun.
Al-Mutawakkil adalah khalifah ke-10 dari Dinasti Abbasiyah. Ia diangkat sebagai
khalifah menggantikan saudaranya, Al-Wasiq. Menurut Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam: Khilafah, Al-Mutawakkil berkuasa dari tahun 847 hingga 861 M. Namun, versi lain
menyebutkan, ia memerintah selama periode 833 hingga 861 M.
Saat berkuasa, Al-Mutawakkil melakukan berbagai langkah untuk memastikan
basis kekuatannya. Antara lain, dengan menyingkirkan tokoh yang kurang
menyenanginya, mengangkat para pendukungnya, dan menunjuk ketiga putranya untuk
menjadi calon khalifah bertingkat. Ketiga anaknya itu, untuk sementara diangkat
menjadi gubernur. Putra sulungnya, Al-Muntasir, diangkat menjadi gubernur di Mesir.
Sementara Al-Mu'tazz menjadi gubernur di wilayah timur, dan Al-Muayyad menjadi
gubernur di Suriah dan Palestina.
Di samping itu, secara sistematis Al-Mutawakkil melanjutkan kebijakan untuk
merombak struktur pemerintahan lama. Salah satunya adalah dengan tidak lagi
menjadikan ajaran Mu'tazilah sebagai ideologi resmi kekhalifahan. Ia juga berusaha
menyingkirkan golongan Alawiyah (Syiah) dan sebaliknya berusaha membina basis
dukungan di kalangan Suni, terutama pengikut mazhab Syafii dan Hanbali.
Langkah ini memicu pergolakan dan pemberontakan. Karena kecewa dan putus
asa atas tindakan khalifah, kalangan militer Turki melakukan kudeta. Dalam kudeta
yang terjadi pada 10 Desember 861 Masehi tersebut, Al-Mutawakkil terbunuh oleh para
pemberontak. Konon, pembunuhan terhadap Al-Mutawakkil ini merupakan bagian dari
plot yang direncanakan oleh putranya sendiri, pangeran Al-Mustansir. Peristiwa ini
menandai dimulainya masa anarki Dinasti Abbasiyah yang berkobar hingga tahun 870.
Masjidil Haram berdiri di atas lahan seluas 17 hektar; Bangunan itu sendiri
meliputi area seluas 38.000 meter persegi. Masjid ini tetap menjadi masjid terbesar di
dunia selama 400 tahun ke depan sebelum dihancurkan oleh tentara Mongol dari
Hulagu Khan selama invasi ke Irak pada tahun 1278. Tembok luar yang mengesankan
dan menara setinggi 52 meter adalah sisa-sisa dari masjid yang megah ini.
Bangunan Masjid Agung Samarra berada di dalam lahan berpagar yang
berukuran 374 meter kali 443 meter. Dengan luas 239 meter kali 156 meter menjadikan
bangunan masjid ini sebagai yang terluas yang pernah ada dalam sejarah masjid di
dunia Islam. Untuk memudahkan akses ke lokasi masjid, Pemerintah Irak membuat tiga
jalan masuk seluas 52 meter.
Masjid ini memiliki tata letak persegi panjang dengan tinggi 10 meter dan dinding
bata bakar setebal 2,65 meter. Masjid ini memiliki 16 pintu masuk, dengan 17 jalur yang
terhubung dengan mushola dan serambi masjid. Serambi masjid ini dihiasi dengan tiga
pilar. Pada saat shalat Jumat, foyer juga digunakan untuk menampung jamaah sholat
Jumat yang tidak tertampung di dalam masjid.
Desain interior mushola Masjid Agung Samarra didekorasi dengan marmer yang
membentuk pola segi delapan di sudut-sudut ruangan. Sedangkan bagian mihrab,
dihiasi mozaik kaca. Sekarang hanya sebagian kecil dari potongan mozaik yang tersisa.
Di bagian belakang mihrab terdapat sebuah bangunan kecil. Pada masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, bangunan tersebut biasa digunakan sebagai tempat
menerima kunjungan khalifah, selain sebagai tempat peristirahatan para imam masjid.
27 meter dari sisi utara masjid berdiri Menara Malwiya dengan spiral berbentuk
kerucut setinggi 52 meter. Basis menara berbentuk persegi. Sedangkan di bagian atas
menara terdapat pendopo yang berfungsi sebagai tempat para muazin untuk
membunyikan azan. Seluruh dinding dalam ruangan tempat muazin ini terbuat dari
bahan kayu. Diceritakan bahwa Khalifah Al-Mutawakkil pernah mencapai puncak
menara ini dengan menunggangi keledai putihnya.
Kota Baghdad, Irak, dikenal sebagai Negeri 1001 Malam. Disebut demikian,
karena berbagai keunikan yang ada di kota tersebut.
Mulai dari bidang kesusasteraan, cerita unik, hingga peradaban. Karena itu, tak
lengkap rasanya, bila punya kesempatan berkunjung ke Irak, tanpa menyaksikan
keindahan kota tersebut. Salah satu tempat yang layak dijadikan tujuan wisata adalah
Masjid Agung Samarra. Masjid ini merupakan salah satu tempat ibadah terbesar yang
pernah dibangun di dunia Islam.
Masjid tersebut dibangun pada sekitar abad ke-9 Masehi atas perintah Khalifah
Al-Mutawakkil, yakni khalifah ke-10 dari Dinasti Abbasiyah, yang berkuasa di Samarra
dari tahun 833 hingga 842 M. Masjid ini terletak di sisi timur Sungai Tigris, tepatnya
sekitar 125 kilometer ke arah utara ibu kota Irak, Baghdad. Dan, antara tahun 836 M
(221 H) hingga 892 M (279 H), Samarra merupakan ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah.
Dalam makalahnya yang berjudul The Mosque of al-Mutawakkil, dosen Arkeologi
Universitas Durham, Dr Derek Kennet, memaparkan, Masjid Agung Samarra mulai
dibangun pada 836 M dan konstruksinya selesai dalam waktu 52 tahun. Seiring dengan
perjalanannya, masjid ini sempat mengalami kerusakan.
Namun, kemudian dibangun kembali antara tahun 849 dan 852 M. Dan, karena
faktor usia, masjid ini dipergunakan sebagai tempat ibadah hingga akhir abad ke-11 M.
Secara sepintas, bangunan lebih mirip benteng pertahanan dibandingkan dengan
masjid. Mengapa, karena tak ada simbol-simbol khusus yang tampak dari kejauhan
yang menandakan bahwa bangunan tersebut adalah tempat ibadah.
Mengapa? Karena, bentuknya memang sangat tidak mirip dengan masjid.
Seperti benteng pertahanan, bangunan ini secara keseluruhan konstruksinya
menggunakan batu bata yang telah melalui proses pembakaran terlebih dahulu.
Arsitektur masjid ini meniru struktur bangunan dari Menara Babel yang
melambangkan keangkuhan, kesombongan manusia, disebut-sebut dalam Kitab
Kejadian, Kitab Suci Perjanjian Lama. Namum masjid ini memiliki arti bahwa, semakin
ke atas maka hanya ada Allah SWT sebagai Tuhan segala makhluk yang ada di langit
dan bumi, yang nyata maupun yang gaib.
Secara sepintas, bangunan lebih mirip benteng pertahanan dibandingkan
dengan masjid. Mengapa, karena tak ada simbol-simbol khusus yang tampak dari
kejauhan yang menandakan bahwa bangunan tersebut adalah tempat ibadah.
Mengapa? Karena, bentuknya memang sangat tidak mirip dengan masjid. Seperti
benteng pertahanan, bangunan ini secara keseluruhan konstruksinya menggunakan
batu bata yang telah melalui proses pembakaran terlebih dahulu.
Menara berbentuk spiral ini disebut juga dengan Malwiyya. Tingginya mencapai
52 meter. Bagian dasar menara berbentuk empat persegi. Sedangkan pada bagian atas
menara terdapat sebuah paviliun yang difungsikan sebagai tempat muazin
mengumandangkan suara azan. Keseluruhan dinding pada ruang tempat muazin ini
terbuat dari material kayu.
Penggalian yang dilakukan oleh Direktorat Pemeliharaan Bangunan Kuno
Pemerintah Irak pada1960 silam berhasil menemukan sebuah panel berupa
potongan-potongan kaca berwarna biru tua yang berderet di dinding masjid.
Di bagian belakang mihrab, terdapat sebuah bangunan kecil. Pada masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, bangunan tersebut biasa digunakan sebagai tempat
untuk menerima kunjungan khalifah, di samping sebagai tempat istirahat untuk para
imam masjid.
Serambi masjid ini berhiaskan tiang-tiang pilar rangkap tiga. Pada waktu salat
Jumat, bagian serambi masjid biasanya juga dipergunakan untuk menampung para
jemaah.
2.3 Nilai - Nilai Islam dan Hikmah dari Arsitektur Islam Masjid Agung Samarra
Bangunan perlu dikembangkan adalah bangunan bertema islam, sesuai tujuan islam,
semata hanya sara untuk beribadah kepada Allah SWT. Oleh karena itu, bangunan
yang didirikan atas dasar nafsu atau watak “aku” semata harus dihindari.Tujuannya
adalah untuk meningkatkan ketakwaan,keimanan, dan senantiasa berada pada jalan
yang lurus atau benar .
Ciri ketakwaan yang perlu dikembangkan, merujuk kepada QS Al-Baqarah/: 2-4,
yakni:
1. Selalu mengimani Zat Yang AlGhaib (yaitu selalu berzikir kepada-Nya, selalu
mengingat-ingat-Nya)
2. Selalu mendirikan salat dengan khusyuk yakni salat yang ada zikirnya (selama
salat mengingat Tuhan, tidak mengingat selain Tuhan) agar terhindar dari salat
sāhun (lalai, tidak ada zikirnya) sehingga salat yang dilaksanakan berdampak
yaitu dapat menghindarkan perbuatan keji dan mungkar
3. Selalu meng-infāqkan harta (milik Tuhan yang dititipkan kepadanya) sehingga
dirinya sadar bahwa harta dunia itu hanyalah ujian dari Allah untuk dipergunakan
di jalan Tuhan, bukannya untuk besenang-senang memperturutkan nafsu dan
syahwat
4. Menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup (untuk berjalan di atas shirāthal
mustaqīm) dan sebagai pedoman mati, agar ketika mengalami kematian – yang
hanya satu kali terjadi – dapat mati dengan selamat (ḫusnul khātimah) dan
terhindar dari mati sesat (su`ul khātimah)
5. Mempersiapkan bekal yang maksimal untuk memasuki hari akhir, sebagaimana
bekal yang dipersiapkan oleh para nabi dan para wali kekasih Allah. Bekal yang
dimaksud terutama: (a) iman yang benar dan kokoh, (b) ibadah yang benar,
ikhlas, dan sungguh-sungguh, serta bebas dari watak sombong (takabbur),
bangga diri („ujub), riya` (derajatnya ingin diakui orang), dan sum’ah (amal-amal
baiknya ingin terdengar oleh orang), (c) amal saleh yang mencapai tingkat ihsan,
dan (d) selalu berusaha memerangi nafsu dan watak „aku‟nya.
3.1 Kesimpulan
Kota Samarra sebagai ibukota baru dibangun pada masa khalifah al Muttasim,
karena melihat terjadinya perang saudara di Baghdad dan merusak beberapa bagian
kota. Sehingga Al Muttasim bermaksud untuk menciptakan suasana kondusif warganya
di wilayah baru. Sebagai anak dari al Mutassim, al Mutawakkil diberikan tanggungjawab
untuk mengembangkan kota Samarra. Masjid Agung al Mutawakkil menjadi bukti
kekuasaan kekhalifahan Islam. Arsitektur masjid yang raksasa menyiratkan kebesaran,
kemegahan dan eksistensi kekhalifahan terhadap kota Samarra kala itu. Peradaban
kota yang maju ditunjukkan melalui rekayasa struktur minaret Malwiya yang unik. Dari
peperangan yang terjadi, minaret Malwiya dapat berfungsi untuk mengawasi lingkungan
sekitar, hal ini didukung oleh tinggi minaret minaret yang mencapat 52 meter,
mendukung maksud al Mutassim dalam memberikan kota yang layak bagi
masyarakatnya.
3.2 Saran
Dengan mempelajari pengaruh budaya lain pada desain arsitektur masjid
Samara di Irak, maka kita akan lebih mengetahui hal-hal mengenai Arsitektur di masa
lampu. Hal tersebut bertujuan agar kita lebih mengenal perkembangan seni bina yang
terjadi. Dengan sejarah ini setidaknya kita bisa mengambil intisari ataupun
pemahaman-pemahaman yang berkaitan dengan desain-desain masjid ini ataupun
menerapkan hal-hal yang ada di dalam arsitektur masjid ini ke dalam desain-desain
yang akan kita buat. Dan lebih mengetahui bahwa desain masjid itu tidak mutlak harus
sesuai dengan apa yang telah terstigma oleh masyarakat pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA