Anda di halaman 1dari 7

Artikel

Thariqah muktabarah: Sejarah dan Perkembangannya

DISUSUN OLEH :

Rizka Yanuarti Wulandari

200606110128

TEOSOFI D

JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

TAHUN AKADEMIK 2020-2021


Tarekat yang diakui sah oleh jam’iyah NU. Berbagai thariqah yang dikategorikan mu’tabarah
ini boleh diikuti oleh masyarakat luas. Kata thariqah mu’tabarah sendiri terdiri dari dua kata,
yaitu thariqah dan mu’tabarah. Kata thariqah artinya “jalan” atau “cara”. Kata mu’tabarah
adalah isim maf’ul yang berarti “sesuatu yang dianggap atau diperhitungkan”. Jadi,
maksudnya adalah (jalan spiritual yang diperhitungkan sah untuk diikuti)
Beberapa organisasi thariqah mengandung ke-mu’tabarah-an karena ia memiliki sanad
muttashil sampai kepada Rasulullah. Kebersambungan ini dipandang bahwa wirid-wirid yang
diamalkan kalangan thariqah mu’tabarah diajarkan langsung oleh Rasulullah lewat orang-
orang dekat beliau. Kebersambungan sanad thariqah menunjukkan guru-guru thariqah dalam
silsilah sanad, sebagai mata rantai penyambung wirid-wirid itu dari Rasulullah.

Kemu’tabarahan beberapa organisasi thariqah tidak hanya diakui di kalangan NU. Di dunia
Islam pun mereka diakui sebagai salah satu khazanah yang memperkukuh tradisi Islam dan
diamalkan secara luas. Karena pengamal thariqah mu’tabarah di kalangan Nahdliyin begitu
banyak, maka dirasa penting untuk diwadahi dalam organisasi payung

1. Tarekat Naqsyabadiah
Tarekat ini telah menyebar ke seantero dunia, tak terkecuali di Indonesia. Pada abad
ke-19 M jamaah haji dan pelajar dari nusantara di Makkah mengenal tarekat ini dari seorang
sufi bernama Sulaiman Zuhdi. Dua dari mereka yang berjasa menyebarkan tarekat ini di
nusantara adalah Sulaiman Hutapungkut dari Kota Nopan, Tapanuli Selatan, dan Muhammad
Hadi Girikusumo dari Demak, Jawa Tengah.

Seiring dengan perjalanan sejarah, tarekat ini berkembang menjadi Tarekat


Naqsyabandiah Khalidiah, Naqsyabandiah Muzhariyah, dan Qadiriah-Naqsyabandiah.
Tarekat yang terakhir paling berpengaruh di Pulau Jawa. Pusatnya terletak di lima pesantren
besar, yaitu Pesantren Pegentongan di Bogor, Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya, Pesantren
Mranggen di Semarang, Pesantren Rejosa di Jombang, dan Pesantren Tebuireng di Jombang.
Dari namanya sudah tampak bahwa Tarekat Qadiriah-Naqsyabandiah merupakan hasil
simbiosis dari dua tarekat, yaitu Qadiriah dan Naqsyabandiah. Menurut Kharisuddin Aqib
dalam artikel ''Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Di Indonesia'', penggabungan tersebut
terjadi karena kedua tarekat memiliki inti ajaran yang saling melengakapi, terutama jenis
zikir dan metodenya. Di samping itu keduanya sama-sama menekankan pentingnya syariat
Perkembangan tarekat Naqsabandiyah pada abad 19 memang tidak dapat dilepaskan dari
peranan haji yang pulang dari Makkah. Mereka turut membawa semangat keanggotaan mistik
dari syekh atau mursyid yang berpengaruh. Melalui mereka, organisasi tarekat menjadi lebih
berkembang ke hampir seluruh pelosok Jawa. Seperti jamaah haji, peningkatan keanggotaan
tarekat yang sangat signifikan pada abad ini adalah salah satu bagian dari karakteristik
kebangkitan beragama di Indonesia.

Pandangan pemerintah Belanda terhadap tarekat diantaranya didasari dari ketakutan


adanya perlawanan seperti yang pernah dilakukan oleh tarekat Sanusiyah terhadap
kolonialisme Perancis. Kekhawatiran ini juga muncul seiring dengan semangat Pan Islam
yang sudah berkembang pada masa itu. Sekalipun pemerintah bersikap netral dalam masalah
agama, tetapi praktek-praktek keagamaan yang mengarah kepada instabilitas politik tidak
dapat dibiarkan. Seperti kiyai dan haji, kedudukan pemimpin tarekat dianggap mampu
menciptakan fanatisme berlebihan anggotanya, yang karena itu dapat meningkatkan
kebencian rakyat kepada pemerintah kafir.

Dalam menghadapi gerakan tarekat dan semangat Pan Islamisme, pemerintah Belanda
tidak mentolerir sedikitpun karena dianggap dapat menggoyahkan kewibawaan mereka.
Ketakutan ini timbul karena tarekat dianggap dapat membawa pengikutnya menjadi
pemberontak. Dalam peristiwa Cianjur tahun 1885, pemberontakan Cilegon tahun 1888, dan
di kemudian waktu persitiwa Garut 1919, kita dapat melihat betapa takutnya pemerintah
terhadap aktivitas gerakan tarekat. Di Banten sendiri, setelah kejadian 1888, para haji dan
anggota tarekat banyak yang ditangkap dan kemudian diasingkan.

Sebelum pemberontakan tahun 1888, upaya untuk membendung tarekat pernah


dilakukan oleh Holle, seorang pejabat pemerintah Belanda. Atas bantuan Muhammad Musa
dan sebuah tulisan ringkas dari Sayyid USman, Holle mengkritik tarekat Naqsabandiyah di
daerah Priyangan yang saat itu (tahun 1885) sedang berkembang cukup pesat dan melibatkan
beberapa pejabat pribumi. Holle mengkhawatirkan bahwa keberadaan tarekat dapat
mengganggu pemerintah, mengingat mereka yang ikut di dalamnya memperlihatkan
fanatisme yang luar biasa kepada seorang syeh
2. Tarekat Qodiriyah wan Naqsabandiyah

Sejarah Berdiri Tarekat Qodiriyah wan Naqsabandiyah


Secara historis tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah adalah sebuah tarekat yang
merupakan hasil penggabungan dari dua tarekat besar, yaitu Tarekat Qadiriyah yang didirikan
Syekh Abd al-Qadir al-Jailani (w. 561 H/1166 M di Baghdad) dan Tarekat Naqsabandiyah
yang didirikan Syekh Baha al-Din al-Naqsabandi dari Turkistan (w. 1399 M di Bukhara).
Penggabungan kedua tarekat tersebut kemudian dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga
terbentuk sebuah tarekat yang mandiri dan memiliki perbedaan dengan kedua tarekat
induknya. Perbedaan itu terutama terdapat dalam bentuk-bentuk UL\DGKDK dan ritualnya.
Penggabungan dan modifikasi yang seperti ini memang suatu hal yang sering terjadi di dalam
Tarekat Qadiriyah, seperti tradisi manaqiban dan diba’an dalam tarekat Qodiriyah dilakukan
pula dalam Tarekat

Qodiriyah wan Naqsabandiyah.


Tarekat ini didirikan oleh seorang ulama besar, yaitu Syekh al-Makarramah Ahmad
Khathib ibn Abdul Ghaffar al- Sambasi, imam besar Masjid al-Haram di Makkah. Ia berasal
dari Sambas Nusantara, yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah tahun 1878. Syekh
Ahmad Khatib adalah seorang mursyid Tarekat Qadiriyah, di samping juga mursyid Tarekat
Naqsabandiyah. Akan tetapi ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Tarekat
Qadiriyah. Sampai sekarang belum ditemukan informasi secara pasti dari sanad mana Syekh
Ahmad Khatib menerima bai’at Tarekat Naqsabandiyah, tetapi yang jelas pada saat itu telah
ada pusat penyebaran Tarekat Naqsabandiyah di Makkah dan Madinah. Sehingga sangat
dimungkinkan ia mendapat bai’at Tarekat Naqsabandiyah dari kemursyidan tarekat tersebut.
Kemudian ia menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Tarekat Qadiriyah dan
Tarekat Naqsabandiyah dan mengajarkan pada murid-muridnya khususnya yang berasal dari
Nusantara Penggabungan inti ajaran kedua tarekat itu, dimungkinkan atas dasar pertimbangan
logis dan strategis bahwa kedua ajaran itu bersifat saling melengkapi, terutama dalam hal
jenis dzikir dan metodenya. Tarekat Qadiriyah menekankan ajarannya pada dzikir jahr
(bersuara), sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah menekankan model dzikir sirr (diam), atau
dzikir lathaif.
3. Tarekat Syattariyah
Tarekat Syattariyah muncul pertama kali di India pada sekitar abad ke- 15. Nama
Syattariyah dinisbatkan kepada Abdullah Asy-Syattari. Tarekat Syattariyah pernah
menduduki posisi penting, karena tarekat ini merupakan salah satu tarekat yang besar
pengaruhnya di dunia Islam, termasuk di Indonesia. kalau dilacak dari awal lagi, tarekat ini
memiliki hubungan keterkaitan dengan tradisi Transoksiana, karena silsilahnya terhubung
dengan Abu Yazid al-Ishqi, yang terhubung lagi dengan Abu Yazid al-Busthomi (w. 260
H/873 M), dan Imam Ja‟far al-Siddiq (w. 146 H/763 M). Sehingga, tidak mengherankan jika
kemudian tarekat ini dikenal dengan nama Tarekat Ishqiyyah di Iran, atau Tarekat
Busthomiyyah di Turki Utsmani, yang sekitar abad ke-5 cukup populer di wilayah Asia
Tengah, sebelum ahirnya memudar dan pengaruhnya digantikan oleh Tarekat
Naqsabandiyyah.

Penisbahan nama al-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah dua, dan
nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang dihayati didalam dzikir
nafi isbath, laa ilaaha (nafi‟) dan illa Allah (isbat). Nisbah al-Syattar juga merupakan
pengukuhan dari guru atas derajat spiritual yang dicapai, yang kemudian berhak mendapat
pelimpahan hak dan wewenang sebagai wasitah (mursyid). Ditambah juga menurut Najmudin
Kubro, adalah tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah akhyar dan abror. Ketiga istilah
ini, dalam hirarki yang sama, kemudian juga dipakai didalam tarekat Syattariyah ini. Syattar
dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu meniadakan zat, sifat, dan af‟al diri
(wujud jiwa raga).

Perkembangan selanjutnya, setelah Syaikh Abdullah Asy-Syattar mengembangkan di


wilayah India, Tarekat Ishqiyyah atau Busthomiyyah tersebut mengalami kebangkitannya
kembali, yang kemudian menyebutnya sebagai Tarekat Syattariyah. Semenjak itulah Tarekat
Syattariyah selalu dihubungkan dengan jenis tasawuf India, kendati nama Abu Yazid al-Ishqi
dan Abu Yazid al-Busthomi masih menjadi sandaran dalam tradisi silsilahnya untuk
menghubungkan sampai kepada Imam Ja‟far al-Siddiq, dan yang ahirnya sampai kepada
Nabi Muhammad SAW. Syaikh Abdullah asy-Syattar dikirim ke India oleh gurunya, Syaikh
Muhammad Arif. Di Jaunpur, ibukota sebuah Kerajaan Islam kecil di India bagian utara,
wilayah ini merupakan tempat pertama Syaikh asy-Syattar setelah perpindahannya dari
pendidikannya di Persia. Karena mendapat berbagai kesulitan, dia pindah ke Mandu, ibukota
Kerajaan Islam kecil disebelah timur Gujarat. Disinilah ia mendirikan khanqoh 24 dan
mengajarkan tarekat-nya hingga wafat.

4. Tarekat Chisytiyah
Tarekat chisytiyah adalah salah satu tarekat sufi utama di asia selatan. asal-usul
tarekat ini dapat di lacak hingga abat ke-3 H./9 M., di kota Chist-dari kata inilah tarekat itu
menamakan diri yang dalam wilayah afganistan modern terletak beberapa ratus kilometer di
timur harat. Tarekat ini menyebar ke seluruh kawasan india, Pakistan, dan Bangladesh.
Namun tarekat ini hanya terkenal di india saja. Cabang-cabang lainya yang sempat menyebar
ke transoxiana dan khurasan tidak dapat bertahan lama. Chisytiyah memiliki silsilah spiritual
yang jejaknya dapat ditelusuri sampai kepada hasan al-basri (21-110 H./642-728 M.). mereka
menyakini bahwa hasan merupakan murid ali ibn abi tholib, sebuah klaim yang validitasnya
mereka temukan secara spiritual. Kemudian, mereka memberikan tempat terhormat dalam
silsilah mereka terhadap abu said ibn abi al-khair (357-440 H./967-1049 M.), yang lahir dan
meninggal di maihan (sekarang menjadi mana, dekat sarakhs), tetapi hidup dalam jangkah
waktu yang lama di nishapur.latihan asketik yang keras di praktikkan sejumlah pengikut
Chisytiyah. Seperti mengantung diri di di sumur dengan kepala beradah di di bawah, ajaranya
memberikan inspirasi kepada pengikutnya agar setia terhadap mursyid (pembimbing
spiritual) tanpa banyak bertanya, mengeletak tak berdaya di hadapanya, melakukan
penyangkalan diri, serta melayani keperluan orang lain.

Kesimpulan
Kata thariqah mu’tabarah sendiri terdiri dari dua kata, yaitu thariqah dan mu’tabarah.
Kata thariqah artinya “jalan” atau “cara”. Kata mu’tabarah adalah isim maf’ul yang berarti
“sesuatu yang dianggap atau diperhitungkan”. Ada 45 Thariqah Mu’tabarah dan Berstandar
di Lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) diantaranya Tarekat Naqsyabadiah, Tarekat Qodiriyah
wan Naqsabandiyah, Tarekat Syattariyah dan tarekat chistiyah
Tarekat chisytiyah ini merupakan tarekat sufi yang berasal dari asia selatan yaitu kota chist
dan berkembang sangat cepat di Negara india. Pendiri tarekat ini di india adalah khawajah
mu’in al-din hasan. Dan Tarekat ini termasuk dalam aliran sunni.
Saran
Masih banyak tarekat yang berbeda faham dan keyakinan dalam mencari jalan
menuju Allah SWT. Maka dari itu tidak cukup kiranya kita mempelajari satu jenis tarekat
saja, akan jauh lebih baik jika kita mempelajari semua tarekat agar pandangan kita lebih luas
dalam mata kuliah tasawuf, lebih dari itu agar kita juga dapat mencari jalan menuju tuhan.

Anda mungkin juga menyukai