Latar belakang
Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah adalah sebuah tarekat yang berdiri pada
abad XIX M. oleh seorang sufi besar asal Indonesia, Syaikh Achmad Khotib Al-
Syambasi. Hal ini menunjukkan bahwa dinamika intelektual
umat Islam Indonesia pada saat itu cukup memberikan sumbangan yang berarti
bagi sejarah peradaban Islam, khususnya di Indonesia. Kemunculan tarekat ini
dalam sejarah sosial intelektual umat Islam Indonesia dapat dikatakan sebagai
jawaban atas keresahan umat akan merebaknya ajaran wihdah al-wujud yang lebih
cenderung memiliki konotasi panteisme dan kurang menghargai syariat Islam.
Jawaban ini bersifat moderat, karena selain berfaham syari'at sentris juga
mengakomodasi kecenderungan mistis dan sufistis masyarakat Islam Indonesia.
Pesatnya perkembangan tarekat ini rupanya tidak terlepas dari corak dan
pandangan kemasyarakatan. Contoh kiprah kemasyarakatan termasuk dalam
masalah politik yang diperankan oleh mursyid tarekat ini memberikan isyarat
bahwa tarekat ini tidak anti duniawi (pasif dan ekslusif). Dengan demikian, kesan
bahwa tarekat adalah lambang kejumudan sebuah peradaban tidak dapat
dibenarkan.
Pendiri tarekat baru ini adalah seorang Syekh Sufi besar yang saat itu
menjadi Imam Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah, Syaikh Achmad
Khotib Al-Syambasi al-Jawi (w.1878 M). Dia adalah ulama besar nusantara yang
tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Syaikh Achmad Khotib Al-
Syambasi adalah mursyid Thariqah Qadiriyah.
Sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil Syaikh Achmad Khotib
Al-Syambasi sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri
bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi thariqoh Qadiriyah memang
ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada
masanya telah jelas ada pusat penyebaran Thariqah Naqsabandiyah di kota
suci Makkah maupun di Madinah, maka sangat dimungkinkan dia mendapat bai'at
dari tarekat tersebut. Kemudian dia menggabungkan inti ajaran kedua tarekat
tersebut, yaitu Thariqoh Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah dan
mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Indonesia.
Syaikh Ahmad Khatib memiliki banyak wakil, di antaranya adalah: Syaikh
Abdul Karim dari Banten, Syaikh Ahmad Thalhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad
Hasbullah dari Madura, Muhammad Isma'il Ibn Abdul Rahim dari Bali, Syaikh
Yasin dari Kedah Malaysia, Syaikh Haji Ahmad dari Lampung dan Syaikh
Muhammad Makruf Ibn Abdullah al-Khatib dari Palembang. Mereka kemudian
menyebarkan ajaran tarekat ini di daerah masing-masing.
Pendidikan
Di mana sejak kecil, Ahmad khatib Sambas diasuh oleh pamannya yang
terkenal sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut. Ahmad Khatib Sambas
menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, ia berguru
dari satu guru-ke guru lainnya di wilayah kesultanan Sambas. Salah satu gurunya
yang terkenal di wilayah tersebut adalah, H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid
Jami’ Kesultanan Sambas.
Karena terlihat keistimewaannya terhadap penguasaan ilmu-ilmu
keagamaan, Ahmad Khatib Sambas kemudian dikirim oleh orang tuanya untuk
meneruskan pendidikannya ke Timur Tengah, khususnya ke Makkah. Maka pada
tahun 1820 M. Ahmad Khatib Sambas pun berangkat ke tanah suci untuk
Ajaran
Ajaran Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah Tarekat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyahmemiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-
hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini
bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien. Karena ajaran dalam
tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para
'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah mempunyai peranan penting dalam
kehidupan muslim Indonesia. Dan yang sangat penting adalah membantu dalam
membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan karena Syekh Ahmad Khatib
Sambas sebagai pendiri adalah orang lokal (Indonesia) tetapi para pengikut
kedua Tarekat ini ikut berjuang dengan gigih terhadap imperialisme Belanda dan
terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah
kemerdekaan.
Survei tentang sejarah Tarekat Qadiriyah dan Tarekat
Naqsyabandiyah mempunyai hubungan yang erat dengan pembangunan
masyarakat Indonesia. Thariqat ini merupakan salah satu keunikan masyarakat
muslim Indonesia, bukan karena alasan yang dijelaskan di atas, tetapi praktik-
praktik Thariqat ini menghiasi kepercayaan dan budaya masyarakat Indonesia.
Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah secara substansial merupakan
aktualisasi seluruh ajaran Islam (Islam Kaffah); dalam segala aspek kehidupan.
Tujuan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah adalah tujuan Islam itu sendiri.
Menurut sumber utamanya, Alquran, Islam sebagai agama diturunkan untuk
membawa umat manusia ke jalan yang lurus, jalan keselamatan yang bermuara
pada kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (hasanah fi al-dunya dan
hasanah fil al-akhirat).
Pandangan Filosofis
Kewafatan
Umar Abdul Jabbar, menyebut bulan Safar 1217 H (kira-kira bersamaan
1802 M.) sebagai tanggal lahirnya demikian pun Muhammad Sa’id al-Mahmudi.
Namun mengenai tahun wafatnya di Mekah, terdapat perbedaan. Abdullah Mirdad
Abul Khairmenyebut bahwa Syeikh Ahmad Khatib wafat tahun 1280 H. (kira-kira
bersamaan 1863 M.), tetapi menurut Umar Abdul Jabbar, pada tahun 1289 H. (kira-
kira bersamaan 1872 M.).
Tahun wafat 1280 H. yang disebut oleh Abdullah Mirdad Abul Khair sudah
pasti ditolak, karena berdasarkan sebuah manuskrip Fathul Arifin salinan Haji
Muhammad Sa'id bin Hasanuddin, Imam Singapura, menyebutkan bahwa
Muhammad Sa'ad bin Muhammad Thasin al-Banjari mengambil tariqat (berbaiat)
dari gurunya, Syeikh Ahmad Khatib sedang berada di Makkah menjalani khalwat.
Manuskrip ini menyebutkan bahwa baiat ini terjadi pada hari Rabu ketujuh bulan
Dzulhijjah, tahun 1286 H. Jadi berarti pada tanggal 7 Dzulhijah 1286 H. Syeikh
Ahmad Khathib Sambas masih hidup. Oleh tanggal wafat Syeikh Ahmad Khatib
Sambas, yang wafat tahun 1289 H. yang disebut oleh Umar Abdul Jabbar lebih
mendekati kebenaran.