A. PENDAHULUAN
Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani dilahirkan pada 1116 Hijriyah (1704
Masehi) di Palembang. Di dalam buku Ensiklopedi Islam nama lengkap beliau
ditulis Abdus Samad Al-Jawi Al-Palimbani. Di dalam sumber-sumber
berbahasa Melayu, sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A
dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, nama lengkap beliau dituliskan Abdul Samad bin Abdullah Al-
Jawi Al-Palimbani.1
Abdussomad al-Palimbani adalah Ulama Nusantara yang kiprahnya
dalam dunia intelektual tidak bisa diragukan lagi, dia menimba ilmu dari
berbagai guru ternama, bukan saja dari kedua tanah suci Makkah dan
Madinah tetapi juga hampir keberbagai negara Timur Tengah. Menjadi guru
atau pengajar di Haramain serta aktif menulis dengan berbagai karya tulisnya
yang sampai saat ini tetap dikaji untuk menimba mutiara-mutiara ilmu yang
terkandung di dalamnya. Dari banyak karya yang telah diwariskannya
tersebut terlihat berbagai disiplin keilmuan yang dikuasainya. Sairus Salikin,
Hidayatus Salikin dan sebagainya.2
1
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII:
Melacak akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994). hal. 82
2
Choiriyah Choiriyah, “Pemikiran Syekh Abdussomad Al-Palimbani Dalam Kitab Faidhal Ihsani
(Tinjauan Terhadap Tujuan Dakwah),” Ghaidan 1, no. 1 (2017): 41–49. hal. 41
Al Falembani, merupakan seorang ulama yang namanya lebih dikenal di
luar dibanding di tanah kelahiranya sendiri. Bahkan jika diperhatikan
namanya lebih “harum” di luar. Begitu banyak “sepak terjangnya” yang tidak
dapat dilacak, melainkan pada saat kita menemukan hasil pikirannya
tersebut dalam beberapa karyanya.
Studi sejarah Islam kawasan Asia Tenggara diyakini bahwa Islam
pertama yang dikenal di Nusantara adalah Islam yang disebarkan dengan
pendekat sufistik. Hal ini sangat wajar, karena melalui pendekatan sufistik
tersebut lebih mudah diterima oleh masyarakat saat itu.
Pendapat di atas didukung juga oleh H.A.R Gibb yang menyatakan
bahwa penyebaran Islam yang spektakuler di Asia Tenggara adalah berkat
usaha keras kaum suffi, yang dalam banyak hal cenderung kompromistis
terhadap adat istiadat dan tradisi setempat.3
Syech Abd al Shamad al Falembani adalah salah satu ulama sufi yang
juga mempunyai peran dalam penyebaran Islam di Nusantara. Untuk
menanggulangi penyimpangan dan pengamalan ajaran keagamaan di
Nusantara, beliau menterjemahkan dua buah karya Al Ghazaliy, Lubab Ihya
Ulum al Din dan Bidayat al Hidayat. Dua karya tersebut menyajikan sebuah
sistem ajaran tasawuf, yang dikemudian hari al Falembaniy banyak juga
mengarang kitab-kitab tasawuf beberapa kitab terkenal diantaranya adalah
Kitab Hidayat al Salikin dan Siarus Salikin yang masih digunakan sampai saat
ini.4
Dalam artikel ini akan membahas tentang isi dari dua kitab terkenal
karangan Syech Abd al Shamad al Falembani yakni Hidayat al Salikin dan
Siarus Salikin.
B. PEMBAHASAN
1. Biografi Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani
Beberapa referensi menyatakan bahwa sejarah hidup Syekh Abdus
Shomad al-Palimbani masih belum banyak diketahui, karena di dalam
3
Sulaiman Mohammad Nur, “Hidayat Al Salikin (Analisa Hadis Dalam Mempengaruhi Budaya Melayu
Palembang),” Jurnal Ilmu Agama 17, no. 1 (2016): 79–95. hal. 1
4
Mohammad Nur.ibid.
tulisan- tulisannya ia tidak memberikan keterangan tentang dirinya. Namun
kehidupan beliau tidak seluruhnya tidak diketahui, karena di dalam tulisan-
tulisannya ia selalu mencantumkan tempat dan tanggal. 5
Nama lengkapnya sebenarnya adalah Syekh Abdus Somad bin
Abdurrahman al-Jawi al-Palembani. Lahir di Palembang pada tahun 1150 H
atau bertepatan dengan tanggal 1737 M dalam lingkungan “Keraton Kuto
Cerancangan” (antara 17 dan 20 ilir sekarang). Beliau tidak hanya dikenal di
Palembang saja, di Mekkah pun namanya cukup kesohor. 6 Ayahnya menjabat
sebagai seorang kepala penjaga Istana Kuto Cerancangan Kesultanan
Palembang Darussalam pada masa Sultan Agung dan Sultan Mahmud
Badaruddin I. Ibunya telah meninggal ketika beliau berusia satu tahun. 7
Sebagai putra Palembang dan telah bertahun-tahun di Mekkah mempelajari
Islam, kemudian pada abad ke-18 M kembali ke Palembang dengan membawa
metode baru dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Beliau adalah anak
didik dari ulama terkenal di kota Madinah yaitu Syekh Muhammad Ibn
Abdulkarim as-Sammani al-Madani. Ketika Abdus Shomad berada di Mekkah,
beliau pernah mengadakan komunikasi dengan Pangeran Mangkubumi di
Yogyakarta, Mangkunegaraan di Susuhunan Prabu Djaka di Surakarta.
Melaui surat-surat, beliau tidak hanya menyampaikan hal yang berkaitan
dengan ilmu agama saja, tetapi juga berhubungan dengan politik dalam
kaitannya dengan penjajahan Belanda.
5
Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005). hal. 92
6
Abdullah Syukri bin Idrus Shahab, Ziarah Kubra & Sekilas Mengenai Ulama dan Auliya Palembang
Darussalam (Palembang: Panitia Pelaksana Ziarah Kubra Ulama dan Auliya Palembang Darussalam, 2005).
hal. 69
7
Syekh Abdus Shomad al-Palimbani, Hidayatus Shalikin, terj. oleh Kemas Andi Syarifudin, Cetakan Ke
3. (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2013). hal. ix
Kitab Hidayatus Salikin merupakan uraian dari kitab Bidayatul
Hidayah, yaitu ringkasan kitab Ihya Ulumuddin karangan Hujjatul Islam
Imam al-Ghazali. Berisikan berbagai-bagai amalan berdasarkan al-Quran,
Hadist dan pendapat para ulama. Dalam penyusuan kitab ini, pengarang
membagi kepada Muqaddimah dan 7 Bab serta diakhir dengan penutup. Isi
kitab ini berjumlah 190 halaman.8
Adapun isi kitab Hidayatus Salikin antara lain:
1) Kata Pengantar
2) Mukaddimah tentang ilmu yang memberi manfaat
3) Kelebihan ilmu yang bermanfaat
4) Kelebihan orang yang menuntut ilmu
5) Tentang akidah ahlus sunnah
6) Perbuatan taat dan ibadah zahir
7) Adab buang hajat
8) Adab mengambil air sembahyang
9) Mandi junub
10) Adab tayamum
11) Adab keluar masjid
12) Adab masuk masjid
13) Adab yang dikerjakan ketima matahari tewrbit
14) Sembahayang sunat isyraq
15) Memelihara kedua belah tangan
16) Memelihara kedua belah kaki
17) Menjauhkan diri dari maksiat batin
18) Saat gemar kepada makanan
19) Saat gemar berangan-angan
20) Tentang marah
21) Tentang dengki
22) Bakhil dan cinta harta
23) Cinta pada kemewahan
24) Cinta dunia
25) Tentang sombong
26) Tentang ujub
27) Tentang riya
8
Sahriansyah, Hidayat Ma’ruf, dan M. Adriani Yulizar, “Pendidikan Aqidah dan Akhlak dalam
Perspektif Muhammad Zaini Ghani,” Tashwir 1, no. 1 (2013): 63–73. hal. 70
28) Hadits tentang hasad, sombong, ujub, dan riya. 9
13
al-Palimbani. Ibid. hal. 17.
14
al-Palimbani. Ibid. hal. 17.
merayap. Begitulah gambaran mereka sesuai dengan amal
masing-masing.”15
15
al-Palimbani. Ibid. hal. 18.
16
al-Palimbani. Ibid. hal. 18.
17
al-Palimbani. Ibid. hal. 18.
Mengenai sholat tasbih dan keutamaannya, Syekh Abdus
Shomad merujuk pada kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-
Ghazali.18
b. Shalat Istikharah
Jika kita mengerjakan shalat sesuai aturan syara‟ dengan
segala kekhusyukan dan ketundukan kepada Allah SWT. maka ia
akan memberikan pengaruh yang signifikan dalam mendidik diri
dan meluruskan akhlak sehingga tercapailah kesuksesan dan
keuntungan.
Syekh Abdus Shomad mengutip perkataan Al-Ghazali dalam
Ihya Ulumuddin yaitu : “Barangsiapa menginginkan suatu
pekerjaan dan ia tidak dapat mengetahui apakah berdampak baik
jika ditinggalkan ataukah baik jika dilaksanakan. Maka
sesungguhnya telah disuruh oleh Rasulullah SAW untuk
19
mengerjakan shalat dua rekaat dengan niat istikharah.”
c. Shalat Hajat
Syekh Abdus Shomad mengutip Al-Ghazali yang mengatakan
barang siapa mempunyai beberapa pekerjaan yang sangat
diharapkannya untuk kebaikan agama dan dunia tetapi susah
dicapai, hendaklah ia mengerjakan shalat hajat. Lalu Wahab Ibnul
Warad telah meriwayatkan yang dikutip Abdus Shomad bahwa ia
berkata : Termasuk do‟a yang tidak ditolak yaitu seorang hamba
menunaikan sholat dua belas rekaat, dibaca pada tiap-tiap rekaat
tersebut surah fatihah, ayat kursi dan Qulhuwallahu ahad.20
d. Fadhilat Zikir
Dalam Hidayatus Shalikin disebutkan sabda Nabi SAW yang
artinya:
“Maukah kuberi tahukan kepadamu tentang amalmu terbaik
dan paling bersih dalam pandangan Allah SWT, serta orang yang
tertinggi derajatnya di antaramu, yang lebih baik dari
menyedekahkan emas dan perak serta memerangi musuh-
18
al-Palimbani. Ibid. hal. 75.
19
al-Palimbani. Ibid. hal. 83.
20
al-Palimbani. Ibid. hal. 85.
musuhmu dan memotong leher mereka dan mereka juga
memotong lehermu ? Para sahabat bertanya, apakah itu, wahai
Rasulullah ? Beliau menjawab: Zikir kepada Allah SWT.” (HR.
Baihaqi)21
Dalam Hidayatus Shalikin, Syekh Abdus Shomad al-Palimbani
mengutip dari Syekh Ali al-Murshafi dalam kitabnya Manhajus
Salik ila Asyarafil Masalik, ada 35 kemuliaan dan kelebihan zikir
dibanding ibadah-ibadah lain.22
b. Riya’
Riya’ dinamakan syirik khafi (syirik tersembunyi) dan para
ulama sepakat hukumnya haram dan tercela. Syekh Abdus
Shomad mengatakan dalam Hidayatus Shalikin:
Yang demikian itu adalah riya’ lagi haram. Imam Al-Ghazali
berkata : Hakekat riya’ itu mengharap pujian di hati orang lain
dengan bertopeng pada ibadah dan beberapa amalan baik. Orang
21
al-Palimbani. Ibid. hal. 202.
22
al-Palimbani. Ibid. hal. 202.
23
al-Palimbani. Ibid. hal. 152.
yang riya’ berbuat demikian agar mendapat pujian, diagungkan,
dihormati, dicintai, dekat dengan orang shaleh dan sebagainya.
Semua perilaku ini haram dan termasuk dosa besar. 24
Menurut Al-Ghazali yang dikutip dalam Hidayatus Shalikin
bahwa orang yang ibadah dengan dua tujuan yaitu ibadah dan
riya’, maka ibadahnya tidak mendapaat pahala karena tertutup
dengan kejahatannya.25 Sedangkan menurut Syekh Abdus Shomad
al-Palimbani masalah ini tidak akan lepas dari dosa dan siksa.
Sebagaimana dalam Hidayatus Shalikin : Sedang menurutku
masalah ini tidak akan sepi dari dosa dan siksa. Adakalanya lebih
dimaksudkannya kepada ibadah ketimbang riya”. Kata Imam Al-
Ghazali : Masalah ini kuharap pahalanya tidak akan hilang sekedar
ibadah dan sah serta diberi pahala. Namun akan disiksa jika
tujuannya riya‟ atau setidaknya dikurangi pahala ibadahnya.26
c. Hasud
Hasud adalah dengki, yang merupakan sebesar-besar
kejahatan manusia dan dicela oleh syara serta haram hukumnya.
Dalam Hidayatus Shalikin dijelaskan seperti berikut : Imam
Al-Ghazali berkata : Ketahuilah, bahwa dengki itu haram, sebab
engkau suka atas hilangnya kenikmatan orang lain atau engkau
suka dia mendapat musibah. Dan tidak haram munafisah yakni
engkau suka untuk mendapatkan nikmat sebagaimana milik orang
lain dan engkau juga tidak senang bila temanmu kehilangan
nikmat itu. Harus engkau menyukai agar nikmat orang zalim itu
hilang agar berhenti dari perbuatan zalimnya itu.27
d. Ujub
Ujub itu juga bisa dikatakan menganggap dirinya paling
sempurna. Namun ada beberapa batasan ujub, seperti yang
disebutkan dalam Hidayatus Shalikin :
Imam Al-Ghazali berkata di dalam Mukhtashar Ihya
Ulumuddin: Hakekat ujub itu adalah takabbur yang di dalam
hati dengan menyangka dirinya bersifat sempurna dengan ilmu
24
al-Palimbani. Ibid. hal. 157.
25
al-Palimbani. Ibid.
26
al-Palimbani. Ibid.
27
al-Palimbani. Ibid. hal. 145.
dan amalnya, serta lupa bersandar kepada Allah. Jika ia
mengkhawatirkan kelenyapannya, maka ia pun tidak ujub.
Bilamana ia gembira atas kedudukannya sebagaimana nikmat
dari Allah, maka ini bukan ujub. Bilamana ia melihat
kepadanya sebagai sifat tanpa memperhatikan kemungkinan
lenyapnya ilmu dan amal perbuatannya, maka tidak termasuk
ujub. Bila seseorang bergembira terhadap nikmat Allah yang
diberikan ini juga termasuk tidak ujub. 28
e. Syukur
Dalam Hidayatus Shalikin, disebutkan sabda Nabi SAW. :
“Pahala orang makan yang bersyukur sama dengan orang puasa
yang sabar.”
Kemudian dalam Hidayatus Shalikin, dijelaskan ada yang namanya
hakikat syukur, yaitu :
1) Ilmu, yakni engkau mengetahui bahwa segala nikmat dari Allah
bukan dari yang lainnya. Jika engkau lihat nikmat dari lainnya
sekedar sebab. Dan engkau harus yakin dalam hati atas hal itu.
2) Hal, yakni engkau terima dan engkau menghormati nikmat dari
Allah, lantas engkau senang kepada Tuhan yang memberinya,
lalu engkau mengagungkan-Nya serta engkau rendahkan dirimu.
3) Amal, yakni engkau gunakan nikmat tersebut untuk apa yang
disenangi oleh Allah dan engkau hindari segala yang dibenci
Allah, sebab segala anggota tubuhmu nikmat Allah. Segala
ibadah akan disenangi oleh Allah dan semua maksiat akan
dibenci-Nya. Engkau gunakan matamu untuk melihat al-Qur‟an,
kitab ilmu agama, langit, bumi, dan seluruh makhluk agar
hatimu mengerti bahwa Allah lah yang menjadikannya. Engkau
gunakan telingamu untuk mendengarkan zikir, al-Qur‟an, ilmu
agama yang dapat memberikan manfaat ke akhirat dan jangan
sampai mendengarkan perkara haram, makruh dan segala yang
sia-sia. Engkau gunakan lidahmu untuk zikir, membaca al-
Qur‟an, mengucap syukur dan Alhamdulillah bagi Allah karena
menyatakan rasa syukur kepada Allah yang telah mendatangkan
nikmat kepadamu. Demikian pula dengan seluruh anggotamu
seperti tangan, kakimu dan lainnya, hendaklah engkau
mengerjakan yang disukai Allah dan engkau jauhi apa-apa yang
dibenci-Nya.29
28
al-Palimbani. Ibid. hal. 155.
29
al-Palimbani. Ibid. hal. 179-180.
1) Mendengar dan patuh kepada perkataan Ibu dan Bapaknya,
serta segala apa yang disuruh oleh Ibu Bapaknya wajib
diterima dan haram ditolak. Apa yang dilarang harus dihindari.
2) Berdiri jika Ibu dan Bapak berdiri karena mengtakzimkannya.
3) Jangan berjalan di hadapan Ibu dan Bapaknya.
4) Jangan meninggikan suara melebihi suara Ibu dan Bapak.
5) Apabila Ibu dan Bapak memanggil hendaklah dijawab dengan
kalimat yang sopan, yang mengesankan penghormatan seperti :
Labbaik atau na‟am, sayyidi atau siti jika dengan bahasa Arab.
6) Bersungguh-sungguh dalam menuntut keridhaan orang tua
dengan perkataan atau perbuatan serta merendahkan diri.
7) Berbuat kebajikanlah kepada Ibu dan Bapak dengan pekerjaan
atau ucapan.
8) Jangan memandang kepada Ibu dan Bapak dengan pandangan
yang menyakitkan atau membikin mereka marah.
9) Jangan bermuka masam di hadapan kedua orang tua karena
akan membuat keduanya marah.
10) Jangan pergi sebelum mendapat izin dari keduanya kecuali jika
berpergiannya untuk berangkat haji yang fardhu ain, maka
tidak usah untuk minta izin, tetapi sunnat belaka. Apabila
menjalankan haji sunnat maka harus minta izin kepada
keduanya. Demikian juga pergi untuk berziarah ke makam
anbiya‟, aulia atau untuk menuntut ilmu.
g. Adab Jum‟at
Dalam Hidayatus Shalikin disebutkan adab Jum’at itu ada 20.
Nilai Pendidikan Islam di adab Jum‟at ini mengajarkan kita untuk
serius dalam beribadah kepada Allah SWT. Kita dianjurkan
berpuasa sunnat hari Kamis, dating ke masjid lebih awal, memakai
wangi-wangian, membersihkan diri dengan sungguh-sungguh,
membaca shalawat, menempati saf terdepan, dan lain-lain.
h. Adab Pelajar
Dalam Hidayatus Shalikin, Syekh Abdus Shomad al-Palimbani
mengutip dari Al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah yaitu:
1) Bila bertemu guru, hendaklah mendahulukan memberi salam
dan minta izin masuk.
2) Jangan banyak bicara di depan guru.
3) Jangan berkata sesuatu yang tidak ditanya oleh guru.
4) Jangan bertanya kepada guru melainkan minta izin terlebih
dahulu
5) Jangan menyangkal perkataan guru dengan mengatakan si fulan
berbeda dengan perkataanmu.
6) Tidak menyanggah pendapat guru bila berbeda denganmu,
sehingga menjatuhkan martabatnya dan mengurangi barokah.
7) Jangan berbisik dengan orang di muka guru.
8) Jangan menoleh ke kanan dan ke kiri di muka guru, tetapi
duduk sambil menundukkan pandangannya dengan tenang dan
sopan seakan-akan ia di dalam shalat.
9) Jangan memperbanyak pertanyaan kepada guru atau ketika
beliau lelah.
10) Apabila guru berdiri, maka murid pun berdiri untuk
menghorrmatinya. Tidak bertanya di jalan, tetapi tunggulah
sampai ia tiba di rumahnya atau tempat duduknya.
11) Jangan berburuk sangka kepada guru bila melihat perbuatannya
berlainan dengan itikadmu, atau berlainan dengan
perbuatanmu, karena guru lebih mengetahui rahasia-rahasianya
seperti hikayat nabi Musa dan nabi Khidir (balya ibnu mulkan).
Dimana Khidir merusak sampan yang dinaiki, membunuh anak
kecil yang kenyataannya menyalahi syariat. Oleh sebab itu, nabi
Musa ingkar kepadanya. Namun hakekatnya tidak menyalahi
aspek batin dan syariat. Dan akhirnya nabi Musa juga
membenarkan nabi Khidir.30
i. Adab Berteman.
Dalam Hidayatus Shalikin, Syekh Abduus Shomad kembali
mengutip Al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah tentang adab dalam
berteman, yaitu :
1) Mendahulukan teman dengan memberi harta, sekalipun kita
sangat membutuhkan.
2) Bila tidak mampu berbuat demikian, berikan sesuatu yang
lebih dari kebutuhan diri bila temannya berkehendak.
3) Memberikan pertolongan secepat mungkin kepada teman
untuk mencapai tujuannya, sekalipun teman tidak minta
tolong.
4) Menutup rahasia.
5) Menutup aib teman.
6) Bila ada orang yang mengatakan aib temannya, jangan
didengar.
7) Apabila mendengar orang memuji teman atau mendengar
sesuatu yang menyenangkannya, sampaikanlah hal itu
kepadanya.
8) Apabila si teman memberi kabar, dengarkanlah
dengan sungguh-sungguh.
9) Jangan suka berdebat.
10) Panggilah nama temanmu dengan nama kesenangannya.
11) Apabila teman berbuat baik, bersyukurlah dan berterima
kasih kepadanya.
12) Melarang orang yang mencela teman yang tidak ada (ghibah)
13) Memberi nasihat kepada teman dengan lemah lembut.
14) Memaafkan kesalahan teman.
30
al-Palimbani. Ibid. hlm. 226-227
15) Mendo’akan kepada teman waktu shalat, atau diwaktu qunut,
baik masih hidup atau sudah mati.
16) Hendaklah berbuat baik kepada keluarga teman.
17) Jangan membebani teman untuk melaksanakan suaatu hajat
agar senang hatinya.
18) Menyatakan gembira atas keberhasilan teman dan sedih atas
musibahnya.
19) Memberi salam ketika bertemu dengan teman.
20) Bila teman datang di suat majelis, berilah tempat yang luas
untuknya.
21) Antarkan bila teman bangkit.
22) Diamlah bila teman berkata.
23) Tidak mencampuri perkataannya.31
31
al-Palimbani. Ibid. hlm. 230-231.
32
al-Palimbani. Ibid. hlm. 227.
33
al-Palimbani. Ibid. hlm. 233.
2) Teman bagi dunia. Maka jangan engkau pelihara di dalamnya
melainkan perangai yang baik dan pekerjaan yang membawa
kebajikan.
3) Teman bagi berbaik-baikan dengannya. Maka jangan engkau
pelihara di dalamnya melainkan terhindar dari tipu daya dan
kejahatannya.34
j. Adab Berkenalan.
Adab berkenalan adalah adab bagaimana kita ketika bertemu
dengan orang yang belum kita kenal, yaitu ketika pertama kali
berkenalan. Dalam Hidayatus Shalikin disebutkan adab-adab itu,
antara lain terdapat dalam berbagai paragraf di bab terakhir
(penutup) Hidayatus Shalikin.
c) Zuhud
Zuhud pada hakikatnya adalah meninggalkan sesuatu yang
dikasihi dan berpaling darinya. Karena itu sikap seseorang yang
“meninggalkan kasih akan dunia” karena menginginkan “sesuatu di
dalam akhirat,” dikatakan zuhud. Tetapi tingkat zuhud yang tertinggi,
menurut dia, ialah meninggalkan “gemar daripada tiap-tiap sesuatu
yang lain daripada Allah, hingga engkau tinggalkan gemar daripada
sesuatu yang di dalam akhirat”.37
Dengan demikian, pengertian zuhud itu ada tiga macam:
Pertama, meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang
lebih baik dari padanya; Kedua, meninggalkan keduniaan karena
mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan; dan Ketiga,
meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencintai-Nya.
Al-Palimbani menjelaskan ada tiga tingkatan yang
mencerminkan proses kejiwaan seorang salik dalam menempuh
kehidupan zuhud, yakni: Pertama, zuhud “orang mubtadi”
(permulaan) yang baru menjalani jalan yang menyampaikan (kepada)
makrifah akan Allah itu, “yaitu orang yang di dalam hatinya masih
ada rasa kasih dan cenderung kepada keduniaan, tetapi ia
bersungguh-sungguh untuk melawan hawa nafsunya. Kedua, “orang
yang mutawassith (pertengahan), yaitu orang yang telah mudah
hatinya meninggalkan akan dunia itu, tiada lagi ia sangat kasih akan
dunia itu”. Ketiga, orang yang muntahi, yakni ‘arifin (orang-orang
arif), yang bagi mereka dunia itu “seperti kotoran saja”, tidak ada
nilainya lagi, sehingga segenap hati mereka sudah menghadap ke
akhirat.
Namun di atas itu masih ada satu tingkat lagi, yaitu orang yang
“meninggalkan daripada hatinya yang lain daripada Allah Taala,” baik
dunia maupun akhirat.38
36
Noor Al-Sajidi. Ibid. hlm. 8.
37
Noor Al-Sajidi. Ibid. hlm. 7.
38
Noor Al-Sajidi. Ibid. hlm. 8
Zuhud dalam arti dan tingkatan seperti tersebut itu adalah
satu maqam dalam perjalanan seorang salik yang menurut Al-
Palimbani terdiri dari tiga perkara : ilmu, hal dan amal.
Dalam hal ini al-Palimbani menjelaskan secara rinci batas-
batas kebutuhan duniawi yang boleh dipenuhi oleh seorang zahid.
Patokan yang digunakannya adalah “bahwa orang yang zuhud, dalam
mengambil sesuatu dari dunia (hanya mengambil) akan sekedar
darurat hajatnya yang mendirikan akan dia pada kehidupan
badannya”. Dengan kata lain, seorang zahid hanya boleh memenuhi
kebutuhan jasmaninya yang pokok saja dan dalam kadar yang tidak
mungkin dihindari untuk menyangga kelangsungan hidupnya.
Mengenai hal ini, orang-orang zahid dibaginya dalam tiga tingkatan :
“Derajat yang terlebih tinggi, derajat pertengahan dan derajat yang
terbawah (rendah).39
Orang zahid pada derajat yang tertinggi hanya memiliki
makanan untuk satu kali makan saja, tidak mempunyai simpanan
untuk jam makan berikutnya berupa makanan pokok dalam kadar
minimal untuk dapat mengerjakan ibadah. Ia hanya makan satu kali
dalam tiga hari atau satu kali dalam tujuh hari, atau lebih jarang lagi.
Pakaian yang dimilikinya hanya cukup untuk mengelak kedinginan
atau kepanasan, di samping menutup aurat; dan tempat tidurnya
hanya di pojok-pojok mesjid atau di tempat gurunya memberikan
pelajaran. Meskipun demikian, orang zahid boleh juga kawin,
sepanjang perkawinan itu tidak mengganggu kebulatan hatinya
kepada Tuhan.
Ukuran-ukuran ini semakin longgar untuk kehidupan zuhud
yang pertengahan dan yang paling rendah. Seorang zahid pada
tingkat yang disebut terakhir ini boleh menyimpan makanan untuk
keperluan pokoknya selama satu tahun; ia boleh makan satu kali
sehari, meskipun dalam ukuran sederhana sekali; ia boleh memakai
seperangkat pakaian yang terdiri dari baju, celana, kopiah dan sapu
tangan, meskipun semuanya itu hanya boleh dimiliki selembar saja;
dan ia boleh memiliki rumah kediaman yang layak, baik dibeli atau
disewanya, selama tidak melebihi taraf kesederhanaan.
39
Noor Al-Sajidi. Ibid. hlm. 8
Namun tingkat zuhud tertinggi, menurut Al-Palimbani bukan
tidak memiliki sesuatu, tetapi tidak menginginkan sesuatu selain
Allah. Ciri seorang zahid menurutnya ada tiga perkara : 1) Ia tidak
gembira dengan adanya sesuatu dan tidak sedih dengan hilangnya
sesuatu. 2) Orang yang memuji dan orang yang mencelanya
dianggapnya sama saja. 3) Ia merasa intim dengan Tuhan dan merasa
lezat dalam mentaati-Nya. (Al-Palimbani, Jilid IV : 99). 40
Semua ini mungkin bisa dipertahankan oleh seorang zahid
yang di dalam hatinya tidak ada lagi sesuatu selain Allah, walaupun
ia memiliki kekayaan dan kebesaran. Karena itu, maqam zuhud ini,
nampaknya adalah pendahuluan dari maqam syukur yang
mencerminkan kejiwaan seorang muslim yang selalu memandang
Tuhan dalam semua nikmat yang dilimpahkan kepadanya. Tetapi,
sebelum mencapai maqam tersebut masih ada satu maqam lagi yang
harus dilewati, yaitu maqam sabar.
d) Sabar
Menurut Al-Palimbani, sabar adalah menahan diri dalam
memikul suatu penderitaan, baik dalam kedatangan sesuatu yang
tidak diingini maupun dalam hal kepergian sesuatu yang disenangi.
Sabar terbagi dalam tiga tingkatan: Pertama, sabar “orang
awam” yang disebutnya tashabbur (bersabar), yaitu “menanggung
kesusahan dan menahan kesakitan” dalam menerima hukum Allah;
Kedua, sabar “orang yang menjalani tarikat,” yaitu “jadi biasa ia
dengan bersifat dengan sabar telah mudah atasnya segala yang susah
yang datang akan dia itu”. Ketiga, sabar orang arif yang telah
mengenal Allah, yang disebutnya ishthibar, yaitu “bersedap-sedap
dengan kena bala dan suka ia dengan ikhtiar (pilihan) Tuhannya. 41
Sifat sabar ini adalah suatu hal yang harus dimiliki oleh
seorang salik sejak ia menginjakkan kakinya di maqam zuhud, karena
untuk menempuh kehidupan zuhud yang telah disampaikan
sebelumnya diperlukan kesabaran yang tinggi.
e) Syukur
40
Noor Al-Sajidi. Ibid. hlm. 9.
41
Noor Al-Sajidi. Ibid. hlm. 10.
Hakikat syukur menurut Al-Palimbani adalah “engkau ketahui
tiada yang memberi nikmat itu melainkan Allah Ta’ala jua, kemudian
engkau ketahui pula akan kelebihan segala nikmat Allah atasmu di
dalam segala anggotamu dan segala jasadmu dan roh dan segala yang
engkau berkehendak kepadanya di dalam kehidupanmu, niscaya di
dalam hatimu suka dengan Allah dan nikmat-Nya dan dengan
anugerah-Nya atasmu”.42
Berbeda dengan maqamat sebelumnya, maqam syukur ini
memerlukan amal perbuatan yang mengandung kebaikan bagi semua
manusia; kalau pada maqam zuhud tadi seorang salik membelakangi
kehidupan dunia ini untuk membulatkan hatinya kepada Allah, pada
maqam ini ia harus melahirkan rasa syukurnya kepada Allah dalam
bentuk pengabdian kepada masyarakat. Hal ini memerlukan
keikhlasan yang tinggi agar semua amal kebajikan yang dilakukan itu
mencapai tujuannya sebagai pengabdian kepada Allah. Karena itu,
sebagaimana halnya maqam zuhud tadi diiringi oleh maqam sabar,
maqam syukur ini pun diiringi pula oleh maqam ikhlas.
f) Ikhlas
Ikhlas bagi al-Palimbani adalah suatu maqam yang harus
dilalui oleh seorang salik dalam perjalannya kepada Allah. Maqam
ikhlas adalah maqam yang paling dekat untuk menjangkau makrifah
yang menjadi tujuan akhir orang-orang sufi, yang dalam tingkatan
permulaannya mungkin telah dicapai pada maqam syukur tadi. 43
Dalam penjelasannya mengenai fadhilat ikhlas ini, Al-Palimbani
mengutip sebuah Hadits Nabi SAW yang menerangkan bahwa apabila
seorang hamba Allah beramal dengan ikhlas karena Allah selama
empat puluh hari, pasti mengalir mata air hikmah dari dalam hatinya
melalui lisannya.
g) Tawakkal
Al-Palimbani membagi tawakal dalam tiga tingkatan: Pertama,
menyerah diri kepada Allah seperti seorang yang menyerahkan
kekuasaan kepada wakilnya dalam suatu perkara. Kedua,
42
Noor Al-Sajidi. Ibid. hlm. 11.
43
Noor Al-Sajidi. Ibid. hlm. 11.
menyerahkan diri kepada-Nya seperti anak kecil menyerahkan segala
persoalan kepada ibunya; Ketiga, menyerahkan diri kepada Allah
seperti mayat di tangan orang yang memandikannya. 44
h) Mahabbah
Cinta kepada Tuhan dalam pandangan Al-Palimbani seperti
halnya Al-Ghazali adalah maqam yang terakhir dan derajat yang
paling tinggi; segala maqam yang sesudahnya adalah buah dari segala
maqam yang sebelumnya adalah hanya pendahuluan untuk
mencapainya. Di samping itu ia juga menambahkan bahwa “tiada
derajat yang di atas mahabbah itu melainkan martabat makrifah
Allah Taala; dan dengan derajat mahabbah Allah Taala itu sampai
kepada makrifah Allah; dan itulah kesudahan martabat orang yang
salik.45
Makrifah yang hakiki lahir dari rasa cinta (mahabbah); tetapi
cinta yang hakiki kepada Allah itu hanya lahir dari makrifah. Dengan
demikian, mahabbah dan makrifah itu adalah dua hal yang masing-
masing merupakan sebab tetapi juga adalah akibat dari yang lain.
i) Ridha
Al-Palimbani menganggap ridha sebagai maqam tertinggi yang
merupakan buah dari mahabbah. Menurutnya, arti ridha itu “tidak
menyangkali akan segala perbuatan yang diperlakukan Allah atasnya
dan atas orang yang lain padanya; karena sekalian perbuatan yang
wuqu’ (terjadi) di dalam dunia ini perbuatan-Nya dan wajib ia ridha
akan perbuatannya. Dalam hubungan ini, antara lain ia mengutip
sebuah cerita bahwa Rabi’ah Al-Adawiyyah pernah ditanya, “Bilakah
seorang hamba Allah ridha kepada-Nya?” Jawabnya, “apabila
kegembirannya menerima musibah sama dengan kegembirannya
menerima nikmat.”46
Menurut Al-Palimbani, ridha yang lahir dari cinta kepada Allah
itu adalah pintu yang amat besar yang merupakan jalan masuk
kepada makrifah Allah Ta’ala, dan merupakan maqam yang terlebih
44
Noor Al-Sajidi. Ibid. hlm. 12.
45
Noor Al-Sajidi. Ibid. hlm. 13.
46
Noor Al-Sajidi. Ibid. hlm. 14.
tinggi, maqam orang yang muqarrabin, yakni orang yang sangat dekat
kepada Allah Ta’ala.
j) Makrifah
Al-Palimbani menganggap makrifah sebagai tujuan akhir yang
ingin dicapainya di dunia ini, karena hal itu menurut dia adalah
“surga”, “barang siapa yang masuk ia akan dia niscaya tiada ingat ia
akan surga yang di akhirat” nanti. Semua maqamat yang tersebut itu,
dari taubat sampai kepada ridha dianggapnya sebagai jalan yang
menyampaikan kepada makrifah Allah Ta’ala. 47
Intisari makrifah hanya dapat dicapai setelah seorang salik
melewati maqam mahabbah dan maqam ridha, karena dua maqam ini
dianggapnya sebagai “jalan” menuju makrifah.
C. KESIMPULAN
Kitab Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin tidak dapat disebut sebagai
terjemahan dari kitab karya Al-Ghazali, yaitu Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul
47
Noor Al-Sajidi. Ibid. hlm. 14.
48
Noor Al-Sajidi. Ibid. hlm. 15.
Hidayat. Para peneliti yang pernah membaca dua kitab monumental karya Al-
Ghazali itu tentu dapat secara kontras membedakannya dengan Sairus
Salikin dan Hidayatus Salikin.
Al-Palimbani dengan Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin telah secara
sangat cerdas mengupas Lubab Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul Hidayat karya
Al-Ghazali. Al-Palimbani tidak menempuh jalur kritik kepada kelemahan-
kelemahan karya Al-Ghazali, melainkan dia menyatakan kekaguman kepada
sang ulama ahli tasawuf akhlaqi yang masyhur itu. Untuk kekaguman itulah
Al-Palimbani menyempurnakan beberapa kelemahan itu, misalnya
menjelaskan status Alhadits yang dipakai Al-Ghazali sebagai dalil naqli di
dalam dua kitab tersebut.
Faktor lain yang juga tidak boleh diabaikan pada Sairus Salikin dan
Hidayatus Salikin adalah sumbangan berharga Al-Palimbani dalam
mempertemukan ajaran dari beberapa ulama. Dalam konteks ini kembali Al-
Palimbani menunjukkan posisinya sebagai ulama yang berhikmat kepada
sesama ulama. Al-Palimbani melakukan rekonstruksi dan revitalisasi
terhadap ajaran Al-Ghazali dan secara sekaligus bisa menerima secara
tertib/bersyarat untuk lalu membahas secara sistematis dan komprehensif.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII
dan XVIII: Melacak akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia.
Bandung: Mizan, 1994.
Choiriyah, Choiriyah. “Pemikiran Syekh Abdussomad Al-Palimbani Dalam Kitab
Faidhal Ihsani (Tinjauan Terhadap Tujuan Dakwah).” Ghaidan 1, no. 1 (2017):
41–49.
Idrus Shahab, Abdullah Syukri bin. Ziarah Kubra & Sekilas Mengenai Ulama dan
Auliya Palembang Darussalam. Palembang: Panitia Pelaksana Ziarah Kubra
Ulama dan Auliya Palembang Darussalam, 2005.
Mohammad Nur, Sulaiman. “Hidayat Al Salikin (Analisa Hadis Dalam Mempengaruhi
Budaya Melayu Palembang).” Jurnal Ilmu Agama 17, no. 1 (2016): 79–95.
Noor Al-Sajidi, Syamsul. Filsuf dan Ulama Tassawuf dari Palembang. Malaysia:
Halaqah Melayu, 2015.
Palembani, Abdus Samad al. Sair As Salikin. Diterjemahkan oleh A. Muin Umar,.
Banda Aceh: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Kebudayaan Museum Negeri Aceh, 1985.
Palimbani, Syekh Abdus Shomad al-. Hidayatus Shalikin. Diterjemahkan oleh Kemas
Andi Syarifudin. 3 ed. Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2013.
Sahriansyah, Hidayat Ma’ruf, dan M. Adriani Yulizar. “Pendidikan Aqidah dan Akhlak
dalam Perspektif Muhammad Zaini Ghani.” Tashwir 1, no. 1 (2013): 63–73.
Solihin. Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005.