Anda di halaman 1dari 10

KATA PENGANTAR

Segala puji  dan syukur kepada Allah SWT. Semoga kita semua selalu mendapat rahmat-Nya.
Salawat dan salam kita persembahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW
beserta segenap keluarga dan sahabat-sahabat belaiau. Kami bersyukur atas petunjuk dan
hidayah Allah SWT pada akhirnya berhasil juga menyusun makalah yang berjudul “Tarekat
Syattariyyah” makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Ahlak Tasawuf .
Makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan tentang Tarekat Syattariyyah. Sepanjang
pengamatan penulis yang pendek ini, makalah yang khusus menguraikan Tarekat
Syattariyyah. Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu
perpustakaan dan Informasi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen kami yang telah membimbing dan semua
pihak yang telah ikut berpartisipasi untuk selesainya makalah ini, semoga Allah SWT
membalasnya dengan pahala yang belipat ganda. Kami menyadari bahwa keseluruhan uraian
di dalam makalah ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami akan terus memperbaikinya.
Saran dan kritik yang bersifat perbaikan dan penyempurnaan akan diterima dengan segala
senang hati.
Akhirnya kepada Allah SWT kita berserah diri semoga apa yang kita lakukan ini ada
manfaatnya.

Darussalam,    1 Juli 2013

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang................................................................................... .... 1
1.2.  Rumusan Masalah................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Akar Historis Dan Ajaran Syattariyah.................................................... 3
2.2.  Ajaran Zikir Tarekat Syattariyyah........................................................... 6
2.3.  Tentang Talqin........................................................................................ 6
2.4.  Baiat dan Tata Caranya........................................................................... 7

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan............................................................................................. 13
3.2. Saran....................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam konteks dunia Melayu-Indonesia, tarekat sejak awal telah memainkan peran
penting, terutama karena Islam yang masuk ke wilayah ini pada periode awal adalah yang
bersorak tasawuf, sehingga karenanya tarekat sebagai organisasi dalam dunia tasawuf
senantiasa dijumpai di wilayah manapun di Melayu-Indonesia ini Islam berkembang.
Pada makalah ini, penulis akan mencoba membahas salah satu Tarekat Muktabaroh,
yakni Tarekat Syattariyah, dimulai dari melacak sejarahnya, ajarannya, penyebarannya dan
seorang biografi penyebar di Indonesia yakni Abdur Rauf al-Sinkli, meskipun tidak
komprehensif.
Tarekat Syattariyah yang merupakan salah satu jenis tarekat terpenting dalam proses
islamisasi di dunia Melayu-Indonesia, sejauh ini diketahui bahwa persebarannya berpusat
pada satu tokoh utama, yakni Abdur Rauf al-Sinkli di Aceh. Melalui sejumlah muridnya,
ajaran Tarekat Syattariyah kemudian tersebar ke berbagai wilayah di dunia Melayu-
IndonEsia. Diantara murid-murid al-Sinkli adalah Syeikh Burhanudin dari Ulakan, Pariaman,
Sumatera Barat dan Syeikh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Keduanya berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah di wilayahnya masing-masing.
Kebenaran aliran Tarekat Syattariyah jika ditinjau dari segi syariat, sering menarik
perhatian dari beberapa pengamat. Satu pihak menganggap tarekat itu sebagai ajaran yang
sesat, di lain pihak menganggapnya sebagai suatu aliran yang sesuai dengan syariat Islam.
Ulama yang membenarkan ajaran tarekat tersebut diperkirakan karena dua hal: pertama,
mereka berasal dari kelompok aliran tersebut sehingga penilaiannya bersifat subjektif. Kedua,
ulama yang memberikan pandangannya itu dengan membedakan antara ajaran tarekat dengan
penganutnya, dengan asumsi bahwa ajarannya tetap dipandang sebagai ajaran yang benar
tetapi penganutnya yang diperkirakan terpengaruh oleh unsur kepercayaan lain.
Berdasarkan data-data yang ada, maka penulis merasa perlu mengadakan pembahasan
lebih dalam terhadap tarekat Syattariyah, meskipun sepenuhnya adalah kajian teks-teks yang
sudah itulis oleh ahlinya. Dengan harapan agar kajian ini berfaedah bagi pembangunan
bidang spiritual, khususnya bagi penulis.
Itulah sekilas tentang Tarekat Syattariyah, lebih lanjut tentang Tarekat Syattariyah
insya Allah akan dibahas dalam makalah ini. Semoga makalah ini bisa menambah khazanah
keilmuan kita tentang dunia tarekat.

1.2. Rumusan masalah
Dalam makalah ini kami akan merumuskan beberapa rumusan masalah yang menjadi
landasan dalam pembuatan makalah ini antara lain:
1)      Sejarah perkembangan tarekat syattariyah?
2)      Toko-tokoh besar dalam perkembangan tarekat syattariyah?
3)      Akar ajaran tarekat syattariyah?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Akar Historis Dan Ajaran Syattariyah


Secara kelembagaan, tarekat pada dasarnya tidak dikenal dalam Islam hingga abad ke-
8 H atau abad ke-14 M. artinya, tarekat sebagai organisasi dalam dunia tasawuf, dapat
dianggap sebagai hal yang baru yang tidak pernah dijumpai dalam tradisi Islam periode awal,
termasuk pada masa nabi. Tidak heran jika hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini
selalu dinisbahkan kepada nama-nama para wali atau ulama belakangan yang hidup berabad-
abad jauh setelah masa nabi[1].
Demikian halnya dengan Tarekat Syatariyah, nama Syatariyah dinisbahkan kepada
Syaikh ‘Abd Allah al-Syaththari (w.890 H/1485 M), seorang ulama yang masih memiliki
hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh, Umar Suhrawardi (539-632
H/1145-1234 M), ulama yang mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyan.[2]
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoxiana (Asia Tengah) dengan
nama Insyiqiah sedangkan di wilayah Turki Usmani tarekat ini disebut Bistamiyah. Kedua
nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid Al-Isyqi yang dianggap sebagai tokoh utamanya.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syatariyah tidak menganggap sebagai
cabang dari persatuan sufi manapun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri
yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktek.
Nisbah asy-Syatar yang berasal dari kata Syatara artinya membelah dua dan
nampaknya dibelah dalam hal ini adalah kalimat tauhid yang dihayati dalam zikir nafi itsbat,
La ila (nafi) dan ilaha (itsbat), juga merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual
yang dicapainya, yang kemudian membuatnya berhak mendapat perlimpahan hak dan
wewenang sebagai washitah (mursyid).
Namun karena popularitas tarekat isyqiyah ini tidak berkembang di tanah
kelahirannya, dan bahkan semakin memudar akibat perkembangan tarekat Naqsyabandiyah,
Abdullah Asy-Syatar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur,
kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah
ia mempeoleh popularitas dan berhasil mengembangkan tarekatnya tersebut.
Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula
ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal
kedatangannya di India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai
akhir hayatnya (1428).
Sepeninggal Abdullah Asy-Syatar, Tarekat Syatariyah disebarluaskan oleh murid-
muridnya, terutama Muhammad Al-A’la, yang dikenal sebagai Qazan Syatiri. Dan muridnya
yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai
tarekat yang berdiri sendiri adalah Muhammad Ghauts dari Gwalior (w. 1562), keturunan
keempat dari sang pendiri dari seorang pendiri.
Tradisi tarekat yang bernafas India dibawa ke tanah Suci oleh seorang tokoh sufi
terkemuka, Sibgatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid Wajihudin dan mendirikan
zawiyah di Madinah. Tarekat ini kemudian disebar luaskan dan dipopulerkan dengan bahasa
Arab oleh muridnya Ahmad Syimnawi. Begitu juga oleh salah seorang khilafahnya, yang
kemudian memegang pucuk kepemimpinan tarekat tersebut, seorang guru asal Palestina
Ahmad al-Qusyasyi. Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal Ibrahim al-Kurani asal Turki
tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan pengajar Tarekat Syatariyah yang
terkenal di wilayah Madinah.
Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani  adalah guru dari Abdul Rauf Singkel yang
kemudian berhasil mengembangkan Syatariyah di Indonesia. Namun sebelum Abdul Rauf
Singkel, telah ada seorang toko sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran
Syatariyah yang berkembang di nusantara lewat bukunya Tuhfat Al-Mursalat Ila Ar-Ruh An-
Nabi, sebuah karya yang relative pendek tentang Wahdat al-Wujud.  Ia adalah Muhammad
bin Fadlullah al-Burhanpuri, yang juga salah seorang murid Wajihuddin[3].
Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia
pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf
ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan
berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi
meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya.
Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-
muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera
Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan; di Jawa
Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini
kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh
salah seorang tokoh Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari
Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699).[4]
Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini kita temukan di Jawa dan
Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat ini, lanjut Martin,
relatif dapat dengan gampang berpadu dengan berbagai tradisi setempat; ia menjadi tarekat
yang paling “mempribumi” di antara berbagai tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui
Syattariyah-lah berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang
didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.
[5]
2.2. Ajaran Zikir Tarekat Syattariyyah
Dalam kitab al-simt al-majid, Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, khalifah Tarekat
Syattahriyyah di haramayn, menjelaskan berbagai tuntutan dan ajaran bagi para penganut
tarekat, termasuk didalamnya Tarekat Syattariyah.[6] Kitab ini berisi aturan dan tata tertib
menjadi anggota tarekat, serta juga berisi tuntunan tentang tata cara zikirnya.
Menurut al-Qusyasyi, gerbang pertama bagi seseorang untuk masuk ke dunia tarekat
adalah baiat dan talqin. Oleh karenanya, dalam kitab ini, al-Qusyasyi menjelaskan secara
detail tata cara baiat dan talqin tersebut, bahkan al-Qusyasyi membedakan antara tata cara
baiat bagi laki-laki, perempuan, dan anak-anak.
Menurut Qusyasyi, tata cara zikir, baiat, dan talqin yang dikemukakannya itu tidak
khusus bagi para penganut Tarekat Syattariyyah saja, melainkan bagi semua al-muridin li al-
suluk, siapapun yang menempuh dunia tasawuf. Ini bisa dimaklumi karena al-Qusyasyi
memang bergabung dengan tidak kurang dari selusin jenis tarekat, meskipun ia lebih
menonjol peranannya dalam penyebaran Tarekat syattariyyah ke berbagai penjuru dunia
melalui murid-muridnya, termasuk ke dunia Melayu-Indonesia. Meski demikian, dikemudian
hari, model zikir, baiat, dan talqin yang dikemukakan al-Qusyasyi ini hampir secara
keseluruhan di ikuti oleh para ulama Tarekat Syattariyyah di dunia Melayu-Indonesia.

2.3. Tentang Talqin


Talqin merupakan langkah yang harus di lakukan terlebih dahulu sebelum seseorang dibaiat
menjadi anggota tarekat dan menjalani dunia tasawuf (suluk).
            Menurut al-Qusyasyi, di antara tata cara talqin adalah calon murid terlebih dahulu
menginap di tempat tertentu yang ditunjuk oleh syaikhnya selama tiga malam dalam keadaan
suci (berwudhu).
            Dalam setiap malamnya, ia harus melakukan shalat sunat sebanyak enam rakaat,
dengan tiga kali salam. Pada rakaat pertama dari dua rakaat pertama dari dua rakaat pertama,
setelah surah al-Fatihah, membaca surah al-qadr dua kali. Pahala shalat tersebut dihadiahkan
kepada Nabi SAW. Seraya berharap mendapat pertolongan dari Allah SWT. Selanjutnya,
pada rakaat pertama dari dua rakaat kedua, setelah surah al-fatihah membaca surah al-kafirun
lima kali, dan pahalanya dihadiahkan untuk arwah para nabi, keluarga, sahabat, serta para
pengikutnya.
            Terakhir, pada rakaat pertama dari dua rakaat ketiga, setelah surah al-fatihah
membaca surah al-ikhlas empat kali, dan pada rakaat kedua, setelah al-fatihah membaca
surah al-ikhlas dua kali. Kali ini, pahalanya dihadiahkan untuk arwah guru-guru tarekat,
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Rangkaian shalat sunat ini kemudian diakhiri
dengan pembacaan shalawat kepada Nabi sebanyak sepuluh kali.
2.4. Baiat dan Tata Caranya
            Setelah menjalani talqin, hal yang harus ditempuh oleh seseorang yang akan
menjalani suluk adalah baiat. Secara hakiki, baiat menurut al-Qusyasyi merupakan ungkapan
kesetiaan dan penyerahan diri dari seorang murid secara khusus kepada syaikhnya, dan secara
umum kepada lembaga tarekat yang dimasukinya (al-Simt al-Masjid, h. 36 ). Seorang murid
yang telah mengikrarkan diri masuk kedalam dunia tarekat tersebut.
            Dalam dunia tarekat, baiat memiliki konsekuensi adanya kepatuhan mutlak dari
seorang murid kepada syaikhnya, karena syaikhnya adalah perwakilan dari Nabi yang
diyakini tidak akan membawa kepada kesesatan. Kendaki demikian, maka al-Qusyasyi tidak
menganjurkan untuk mematuhinya, karena masuk kepada dunia tarekat sama artinya dengan
masuk pada kewajiban syariat.
Meskipun teknis dan tatacara bai’ah dalam berbagai jenis tarekat sering kali bebeda satu
sama lain, tetapi umumnya terdapat tiga hal penting yang harus dilalaui oleh seorang calon
murid yang akan melakukan bai’ah yakni: talqin al-uikr (mengulang-ulang zikir tertentu ),
akhu al-‘ahd (mengambil sumpah), dan libs al-khirqah (mengenakan jubah).
            Dalam tahap talqan al-zikir, selama beberapa hari calon murid diminta mebgulang-
ulang kalimat zikir la ilaha illah hingga ratusan kali dalam sehari di tempat yang sunyi;
kemudian, dia diminta memberikan “laporan) kepada syaikhnya berkaitan dengan firasat atau
mimpi yang barangkali dia alami; berdasarkan laporan tersebut sang syaikh akan menentukan
apakah calon murid tersebut sudah boleh menerima kalimat zikir berikutnya. Dalam hal ini
perlu kita ketahui bahwa secara keseluruhan, ada 7 kalimat zikir yang harus dilalui oleh
seorang calon murid dalam tahap talqin al-uikr, yaitu: la illa Allah, Ya Allah, Ya Huwa, Ya
Haqq, Ya Hayy, Ya Qayyum, dan Ya Qahhar.
            Kemudian, hal berikutnya yang harus dilalui dalam proses baiat adalah akhu al-‘ahd,
yakni mengambil sumpah. Pada dasarnya, rumusan kalimat sumpah seorang calon murid
dalam setiap jenis tarekat berbeda-beda satu dengan yang lain, kendati semuanya
mengisyaratkan pada ikrar kesetiaan daro calon murid tersebut untuk patuh kepada
syaikhnya, dan kepada berbagai aturan serta tuntunan tarekat yang diajarkan. Selain itu,
dalam bai’ah, apapun jenis tarekatnya, ada satu ayat al-Quran yang senantiasa menjadi bagian
tak terpisahkan dari lafaz bai’ah. Ayat yang dikenal sebagai ayat al-mubaya’ah itu merupakan
kutipan dari ayat ke-10 dari al-Qur’an surah al-Fath yang berbunyi:
bÎ) šúïÏ%©!$# y7tRqãè΃$t6ム$yJ¯RÎ) šcqãè΃$t7ム©!$# ß‰tƒ «!$# s-öqsù öNÍk‰É¨
‰÷ƒr& 4 `yJsù y]s3¯R $yJ¯RÎ*sù ß]ä3Ztƒ 4’n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR ( ô`tBur 4’nû÷rr& $yJÎ/ y
  ‰yg»tã çmø‹n=tæ ©!$# Ïm‹Ï?÷sã‹|¡sù #·ô_r& $VJ‹Ïàtã ÇÊÉÈ
“ Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji
setia kepada Allah[1396]. tangan Allah di atas tangan mereka[1397], Maka Barangsiapa
yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri
dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang
besar.”
            Terakhir, hal yang biasa dilakukan dalam proses baiat adalah libs al-khirqah, yakni
sang syaikh memberikan  dan mengenakan jubah (khirqah) kepada murid yang baru saja
mengucapkan ikrar bai’ah sebagai tanda masuknya murid tersebut ke dalam organisasi
tarekat. Selain itu, khirqah juga diberikan kepada murid yang dianggap telah menyelesaikan
perjalanan spiritual (sulnk)-nya.
            Proses inisiasi melalui bai’ah ini sedemikian penting dan menentukan dalam
organisasi tarekat, karena bai’ah mengisyaratkan terjalinnya hubungan yang tidak akan
pernah putus antara murid dengan mursyidnya. Begitu bai’ah diikrarkan, maka sang murid
dituntut untuk mematuhi berbagai ajaran dan tuntunan sang mursyid, dan meyakini bahwa
mursyidnya itu adalah wakil dari Nabi. Lebih dari itu, bai’ah juga diyakini sebagai sebuah
bentuk perjanjian antara murid sebagi hamba dengan al-Haq sebagai Tuhannya.
            Seorang murid yang telah secara resmi menjadi anggota tarekat akan memulai
perjalanan spiritual (sulnk) nya dengan mempelajari berbagai ilmu tasawuf. Dalam dunia
tarekat, tidak ada ketentuan tentang berapa lama orang lain, karena hal itu sangat tergantung
kepada kemampuan sang murid sendiri dalam menjalani berbagai tahapan pengalaman
spiritual ( maqamat) hingga sampai pada pengetahuan tentang al-Eaqlqat ( kebenaran Ilahi ).
Beberapa murid bisa saja menyelesaikan pelajaran mistisnya dalam waktu singkat, sementara
murid lain mungkin lebih lama.
            Biasanya, sang murid lah yang nantinya menentukan murid mana yang sudah bisa
dianggap lulus dalam pelajaran spiritualnya. Jika seorang murid telah dianggap sampai pada
tingkat tertentu. Dalam memahami pengetahuan tentang al-Haqiqat, maka sang murid akan
mengangkatnya sebagai khalifah, yang prosesi pengangkatannya biasanya ditandai dengan
pemberian Ijazah (otorisasi, atau lisensi).
            Penting dicatat bahwa dalam dunia tarekat, selain jenis Ijazah yang diberikan kepada
seorang murid yang naik derajatnya menjadi khalifah tersebut, juga terdapat dua jenis Ijazah
lain yang bobotnya lebih ringan., yakni Ijazah yang diberikan kepada seorang murid yang
sudah di izinkan untuk mengamalkan ritual atau zikir tertentu yang diajarkan oleh
mursyidnya; dan Ijazah yang diberikan kepada seorang murid yang dianggap telah
menyelesaikan tahap tertentu dari ajaran tarekat dari mursyidnya itu, Berbeda dengan yang
pertama, dua jenis Ijazah yanfgf disebut terakhir ini tidak memberikan wewenang kepada
yang menerimanya untuk menahbiskan orang lain menjadi anggota tarekat, melainkan hanya
untuk yang bersangkutan saja.
            Sejauh ini, tampaknya tidak ada rumusan kalimat tertentu yang dianggap baku dalam
sebuah Ijazah, kendati umumnya berisi penegasan bahwa Syaikh tertentu (disebutkan nama
lengkapnya ) telah mengangkat murid tertentu (disebut pula nama lengkapnya) menjadi
khalifah, dan oleh karenanya murid tersebut memiliki wewenang penuh menyampaikan
ajaran Tarekat, dan bahkan menakbiskan seseorang menjadi murid.

Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai pelataran atau
tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam
nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk
kembali dan sampai ke Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh
macam dzikir itu sebagai berikut:
1.      Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu
kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan,
nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya
kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
2.      Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara
nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara
ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
3.      Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke
dalam hati sanubari.
4.      Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah
dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
5.      Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan
Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar
pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
6.      Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur,
dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa
memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.
7.      Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan
kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-
Mukminun ayat 17: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh
buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya
tujuh buah jalan tersebut)".

Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma' al-husna), tarekat ini membagi dzikir
jenis ini ke dalam tiga kelompok. Yakni,

a)      menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-
Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain;

b)       menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik,
al-Quddus, al-'Alim, dan lain-lain; dan

c)       menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut,
seperti al-Mu'min, al-Muhaimin, dan lain-lain. Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan
secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas.

 Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi
bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan
dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.

Satu hal yang harus diingat, sebagaimana juga di dalam tarekat-tarekat lainnya, adalah
bahwa dzikir hanya dapat dikuasai melalui bimbingan seorang pembimbing spiritual, guru
atau syekh. Pembimbing spiritual ini adalah seseorang yang telah mencapai pandangan yang
membangkitkan semua realitas, tidak bersikap sombong, dan tidak membukakan rahasia-
rahasia pandangan batinnya kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya.

Di dalam tarekat ini, guru atau yang biasa diistilahkan dengan wasithah dianggap
berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari
Nabi Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai
kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah Puji Wali Kutub; dan memiliki empat martabat
yakni mursyidun (memberi petunjuk), murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat),
dan kamilun (sempurna dan menyempurnakan).

Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani dzikir di


dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai berikut:

a)      makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal;


b)       selalu berkata benar;

c)      rendah hati;

d)      sedikit makan dan sedikit bicara;

e)      setia terhadap guru atau syekhnya;

f)       kosentrasi hanya kepada Allah SWT;

g)       selalu berpuasa;

h)      memisahkan diri dari kehidupan ramai;

i)        berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi bersih;

j)        menundukkan ego dengan penuh kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri;

k)      makan dan minum dari pemberian pelayan;

l)        menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar, dan mencium segala sesuatu
yang haram;

m)     membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu, dan bangga diri;

n)      mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji,
seperti berhias dan memakai pakaian berjahit.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Demikianlah, hingga saat ini, Tarekat Syattariyah masih bertahan di berbagai wilayah
di Indonesia, dan menjadi salah satu tarekat yang senantiasa memperjuangkan rekonsiliasi
antara ajaran tasawuf dengan ajaran syariat,  atau apa yang disebut sebagai neosufisme. Tentu
saja, saat ini, perkembangannya tidak sedahsyat pada masa awal kemunculannya, tetapi,
setidaknya Tarekat Syattariyah masih dapat bertahan di tengah kuatnya arus modernisasi dan
globalisasi.
Makalah ini dibuat secara global saja, artinya hanya sebagai pembuka wacana bagi
yang tertarik untuk menggali informasi lebih dalam lagi tentang Syattariyah. Karena
pembahasan tentang Syattariyah sangatlah luas, di Indonesia dikenal tokoh-tokoh penyebat
tarekat syattariyah seperti Syeh Abdur Rauf as-Sinkli, syeh Abdul Muhyi Pamijahan, Syeh
Burhanuddin Ulakan dan lain-lain yang mengembangkan Tarekat Syattariyah ini nusantara,
dan hal itu tidak dibahas banyak disini.
Sebagai penulis, saya memohon maaf jika terdapat kekeliruan dalam penulisan
makalah ini. Demikianlah telah kita torehkan, semoga bisa kita pertanggungjawabkan. Fal-
haqqu ahaqqu ay-yuttaba’. Ma’as salamah! Happy ending full barokah.
Wallahu A’lam.

3.2.Kritik Saran
Dizaman modern ini manusia kurang sekalimemperhatikan hal-hal yang menyangkut
akhirat, manusia lupa siapa yang menciptakan dirinya, dunia beserta isinya, manusia terlena
akan kecanggihan teknologi sebenarnya belum terlambat untuk bertaubat dan banyak jalan
untuk melaksanakannya salah satunya beribadah dengan tekun serta bisa juga dengna masuk
tarekat karena di dalam tarekat akan diajarkan jalan untuk beribadah serta dekat dengan Allah
dan di antara tarekat-tarekat yang ada salah satunya adalah tarekat Syattariyah yang sejak
zaman Nabi sudah ada, padaera sekarang ini tarekat Syattariyah ini masih cocok  untuk
diterapkan dan dianut karana tarekat ini adalah salah satu tarekat yang muktabarah.

[1]           Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII XVIII, (Bandung: Mizan, 1994), hal 109
[2]              Sri mulyati, tarekat-tarekat muktabarah di indonesia, (jakarta:kencana,2004)
hal.153
[3]              Ahmad tafsir, kamus tasawuf, (bandung: Remaja Rosdakarya,2002)Hlm.197
[4]              Ahmad tafsir, kamus tasawuf, (bandung: Remaja Rosdakarya,2002)Hlm.198

[6] Sri mulyati, Tarekat-tarekat muktabarah, (Jakarta: Prenda media Group), Hal 174

Anda mungkin juga menyukai