Anda di halaman 1dari 31

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur tidak lupa kita panjatkan kehadirat Allah Subhahu Wa Ta’ala yang berkat
anugerah dari-Nya kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “Ma’rifat” ini.
Sholawat serta selama kita haturkan kepada junjungan agung Nabi Besar Muhammad
Shallallahu `alaihi Wa Sallam yang telah memberikan pedoman kepada kita jalan yang
sebenar-benarnya jalan berupa ajaran agama islam yang begitu sempurna dan menjadi rahmat
bagi alam semesta.

Penulis sangat bersyukur karena mampu menyelesaikan makalah ini tepat waktu sebagai
pemenuh tugas Pendidikan Agama islam yang bertemakan “Ma’rifat”. Selain itu, kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang membantu kami untuk
merampungkan makalah ini sampai selesai.

Demikian yang bisa kami sampaikan, semoga makalah ini bisa memberikan manfaat kepada
semua pihak. Dan jangan lupa kritik serta sarannya terhadap makalah ini dalam rangka
perbaikan makalah-makalah yang akan datang.

Bandung, Mei 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.............................................................................................................................

Daftar Isi.......................................................................................................................................

BAB I : Pendahuluan.................................................................................................................

Latar Belakang..............................................................................................................

Rumusan Masalah.........................................................................................................

Tujuan ..........................................................................................................................

BAB II : Pembahasan...................................................................................................................

Jenis-jenis Ma’rifat........................................................................................................

Ma’rifatulloh.................................................................................................................

Ma’rifatul Rosul............................................................................................................

Ma’rifatul Kitab............................................................................................................

Ma’rifatusy Syahadatain...............................................................................................

Ma’rifatul Insan.............................................................................................................

BAB III : Penutup........................................................................................................................

Kesimpulan..................................................................................................................

Daftar Pustaka..............................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Ma’rifat berasal dari kata `arafa, yu’rifu, irfan, berarti: mengetahui,


mengenal,1 atau pengetahuan Ilahi. Orang yang mempunyai ma’rifat disebut arif.
Menurut terminologi, ma’rifat berarti mengenal dan mengetahui berbagai ilmu secara
rinci, atau diartikan juga sebagai pengetahuan atau pengalaman secara langsung atas
Realitas Mutlak Tuhan. Dimana sering digunakan untuk menunjukan salah satu
maqam (tingkatan) atau hal (kondisi psikologis) dalam tasawuf. Oleh karena itu,
dalam wacana sufistik, ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan
melalui hati sanubari. Dalam tasawuf, upaya penghayatan ma’rifat kepada Allah SWT
(ma’rifatullah) menjadi tujuan utama dan sekaligus menjadi inti ajaran tasawuf.
Ma’rifat merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat
eksoteris (zahiri), tetapi lebih mendalam terhadap penekanan aspek esoteris
(batiniyyah) dengan memahami rahasia-Nya. Maka pemahaman ini berwujud
penghayatan atau pengalaman kejiwaan. Sehingga tidak sembarang orang bisa
mendapatkannya, pengetahuan ini lebih tinggi nilai hakikatnya dari yang biasa
didapati orang-orang pada umumnya dan didalamnya tidak terdapat keraguan
sedikitpun.

II. RUMUSAN MASALAH


1. Sebutkan jenis-jenis dari Ma’rifat?
2. Jelaskan hal-hal mengenai Ma’rifatulloh?
3. Jelaskan hal-hal mengenai Ma’rifatul Rosul?
4. Jelaskan hal-hal mengenai Ma’rifatul Kitab?
5. Jelaskan hal-hal mengenai Ma’rifatusy Syahadatain?
6. Jelaskan hal-hal mengenai Ma’rifatul Insan?

III. TUJUAN
1. Untuk menyelesaikan tugas Pendidikan Agama Islam.
2. Untuk memberikan informasi seputar jenis-jenis Ma’rifat.
3. Untuk lebih mengenalkan Agama Islam kepada pembaca.
BAB II

PEMBAHASAN

I. Jenis-jenis Ma’rifat

Ma’rifat terdiri dari:


1. Ma’rifatulloh
2. Ma’rifatulRosul
3. Ma’rifatul Kitab
4. Ma’rifatusy Syahadatain
5. Ma’rifatul Insan

II. Ma’rifatulloh

Ma’rifatullah (mengenal Allah) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini
tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana
mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas?. Segelas
susu yang dibikin seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah orang yang
telah membuatnya menjadi segelas susu.
Menurut Ibn Al Qayyim : Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah
(orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan
apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”.
Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah
dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat
dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan
mendekatkan diri kepada Allah.

 CIRI-CIRI DALAM MA’RIFATULLAH

Seseorang dianggap ma’rifatullah (mengenal Allah) jika ia telah


mengenali,
1. Asma (nama) Alloh
2. Sifat Alloh, dan
3. af’al (perbuatan) Allah, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam
kehidupan alam.

Mengenal Alloh   merupakan perkara fitrah bagi semua manusia yang berada di
dunia ini. Ilmu tentang mengenal Alloh   merupa-kan ilmu yang paling agung dan
mulia. Tak ada ilmu yang sebanding dan setara dengannya. Ia merupakan pondasi dan
dasar segala ilmu.   Imam Ibnul Qoyyim   mengatakan, “Kemuliaan sebuah ilmu
mengikuti kemuliaan objek yang dipela-jarinya.”. Dan tentunya, tidak diragukan lagi
bahwa pengetahuan yang paling mulia, paling agung dan paling utama adalah
pengetahuan tentang Alloh   di mana tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah
kecuali Dia semata, Robb semesta alam. Ilmu tentang Alloh   adalah pokok dan
sumber segala ilmu. Maka barangsiapa mengenal Alloh  , dia akan mengenal yang
selain-Nya dan barangsiapa yang jahil tentang Robb-nya, niscaya ia akan lebih jahil
terhadap yang selainnya.

 Hakikat Ma’rifatulloh

Ibnul Qoyyim   berkata, “Mengenal Alloh ada dua macam;

Pertama, ma’rifatu iqrar (mengenal Alloh dalam bentuk pengakuan). Hal ini
terjadi pada semua manusia, baik orang yang berbuat baik dan jahat  ataupun orang
yang taat dan bermaksiat.

Kedua, mengenal Alloh yang mengandung konsekuensi tumbuhnya rasa malu,


cinta, keterkaitan hati, kerinduan jiwa, rasa takut, kembali, dan lari dari mahluk
menuju kepada-Nya.

 Bentuk Ma’rifatulloh

Ibnu Qoyyim mengklasifikasikan manusia yang mengenal Alloh   dalam


dua kategori: 
a) Kategori pertama adalah manusia secara umum, baik orang yang
memiliki akidah dan moralitas yang lurus ataupun menyimpang. 
Tingkat ma’rifat kepada Alloh semacam ini meru-pakan tingkatan
dasar. Sehingga, tidak menghantarkan manusia untuk mewujudkan
peribadatan kepada Alloh   secara sempurna dan totalitas.
b) Kategori kedua adalah manusia secara khusus, yaitu orang-orang yang
beriman dan bertakwa kepada Alloh  . Mereka mengenal Alloh  
dengan sebenar-benarnya. Dengan demikian,  mampu melahirkan amal
peribadatan hati dan anggota badannya. Mereka mengenal Alloh  
bahwa Dia-lah Dzat yang menyiksa dengan siksaan yang pedih. Oleh
karena itu, mereka takut untuk berbuat maksiat kepada-Nya sedikitpun.
Apabila ada keinginan dan tekad untuk berbuat maksiat, maka mereka
segera mengingat Alloh dan segera beristigfar serta bertaubat kepada –
Nya.
 URGENSI MA’RIFATULLAH
a. Ma’rifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan
hidup manusia selanjutnya. Karena ma’rifatullah akan menjelaskan tujuan
hidup manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatullah membuat banyak
orang hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana
makhluk hidup lain (binatang ternak). QS.47:12
b. Ma’rifatullah adalah asas (landasan) perjalanan ruhiyyah (spiritual) manusia
secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Allah akan merasakan kehidupan
yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar.
Sabda Nabi : Amat mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak
terdapat pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan
jika diberi karunia ia bersyukur” (HR.Muslim)
Orang yang mengenali Allah akan selalu berusaha dan bekerja untuk
mendapatkan ridha Allah, tidak untuk memuaskan nafsu dan keinginan
syahwatnya.
c. Dari Ma’rifatullah inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan
rasul, untuk mempelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah. Karena
para Nabi dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat
dengan Allah.
d. Dari Ma’rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi,
seperti Malaikat, jin dan ruh.
e. Dari Ma’rifatullah inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan
bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzahiyyah (alam
kubur) dan kehidupan akherat.
 SARANA MA’RIFATULLAH

Sarana yang mengantarkan seseorang pada ma’rifatullah adalah :


a. Akal sehat
Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Banyak sekali ayat-ayat
Al Qur’an yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan)
terhadap pengenalan al Khaliq (pencipta) seperti firman Allah : Katakanlah
“Perhatikanlah apa yang ada di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan
Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak
beriman.” (QS 10:101, atau QS 3: 190-191). Sabda Nabi : “Berfikirlah tentang
ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Allah, karena kamu tidak
akan mampu” HR. Abu Nu’aim.
b. Para Rasul
Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-
jelasnya tentang ma’rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka
inilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah. Firman Allah :
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan
neraca (keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..” (QS.
57:25)
c. Mengenali asma (nama) dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan
pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah.
Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk memperkenalkan diri
kepada makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia
untuk mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan
menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan
seksama pancaran cahaya Allah. Firman Allah : “Katakanlah : Serulah Allah
atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai al asma’ al husna (nama-nama yang terbaik)” (QS. 17:110).
Asma’ al husna inilah yang Allah perintahkan pada kita untuk
menggunakannya dalam berdoa. Firman Allah : “Hanya milik Allah asma al
husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al husna itu…”
(QS. 7:180) 

Inilah sarana efektif yang Allah ajarkan kepada umat manusia untuk
mengenali Allah SWT (ma’rifatullah). Dan ma’rifatullah ini tidak akan realistis
sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu : tauhid
rububiyyah, tauhid asma dan sifat. Kedua tauhid ini sering disebut dengan tauhid al
ma’rifah wa al itsbat ( mengenal dan menetapkan) kemudian tauhid yang ketiga
yaitu tauhid uluhiyyah yang merupakan tauhid thalab (perintah) yang harus
dilakukan.

III. Ma’rifatur Rosul

Pengertian Ma’rifatur rasul yaitu mengetahui bahwasanya Muhammad adalah


rasul Allah; penyampai ajaran dari Allah, beliau jujur (benar) di dalam
menyampaikan ajarannya baik dalam masalah Iijab (mewajibkan suatu perkara),
Tahrim (mengharamkan suatu perkara) dan dalam mengabarkan tentang peristiwa
yang terjadi pada masa lampau dan yang akan terjadi di masa mendatang di dunia, di
alam barzakh dan alam akherat.

 Ciri-ciri Rasulullah :

1. Memiliki sifat-sifat asasiyah. Sifat asasiyah ini terdiri dari sidiq, amanah, tabligh
dan fathanah. Sifat ini harus dimiliki oleh setiap rasul yang mengemban atau
membawa risalah dari Allah SWT.

2. Memiliki mu’jizat. Salah satu contohnya adalah mu’jizat Rasulullah SAW ketika
membelah bulan. Allah berfirman dalam (QS. 54 : 1 – 2): “Telah dekat
(datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang
musyrikin) melihat sesuatu tanda (mu`jizat), mereka berpaling dan berkata: “(Ini
adalah) sihir yang terus menerus“.

3. Berita kedatangannya. Dalam al-Qur’an Allah mengatakan (QS. 61 : 6): “Dan


(ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku
adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku,
yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul
yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)“. Maka tatkala
rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka
berkata: “Ini adalah sihir yang nyata“.

4. Berita kenabian. Setiap rasul senantiasa membawa perintah Allah untuk mengajak
umatnya ke jalan yang baik. Perihal kerasulan mereka pun Allah beritahukan.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman (QS. 7 : 158): “Katakanlah: “Hai manusia
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang
mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada
Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada
kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat
petunjuk“.

5. Adanya hasil dari da’wah yang dilakukannya. Hal ini dapat kita lihat, pada hasil
da’wah Rasulullah SAW yang dari segi kualitas, mereka memiliki keimanan yang
sangat kokoh, tidak tergoyahkan oleh apapun juga. Kemudian dari segi kuantitas,
jumlah mereka demikian banyaknya, tersebar ke seluruh pelosok jazirah Arab,
bahkan melewati jazirah Arab.

 Sifat-sifat Rasulullah :

1. Manusia sempurna.

Allah berfirman (QS. 14 : 11): “Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka:


“Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi
karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan
tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan
izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin
bertawakkal.”

2. Terpelihara dari kesalahan.

Allah berfirman (QS. 5 : 67): “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan
kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan
itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu
dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir.”

3. Benar.

Allah berfirman (QS. 53 : 3-4): “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al
Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

4. Cerdas.

Allah berfirman (QS. 48 : 27): “Sesungguhnya Allah akan membuktikan


kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu)
bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah
dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya,
sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu
ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.”

5. Amanah.

Allah berfirman (QS. 69 : 44-46): “Seandainya dia (Muhammad) mengada-


adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami. Niscaya benar-benar kami
pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali
jantungnya.”

6. Menyampaikan.

Allah berfirman (QS. 5 : 67): “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan
kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan
itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu
dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir.”

7. Komitmen yang sempurna.

Allah berfirman (QS. 17 : 73): “Dan sesungguhnya mereka hampir


memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu
membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu
tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.”

 Hikmah Mempelajari Sirah Nabawiyah :

Dalam konteks diri kita sebagai umat Nabi Muhammad Saw, maka setiap kita
tentu saja harus mengenal beliau agar kita bisa meneladaninya, tapi upaya
mengenal ini bukanlah sekedar mempelajarinya secara kronologis dari sebelum
lahir hingga wafatnya, tapi juga harus dapat mengambil pelajaran dari berbagai
peristiwa yang terjadi, inilah hakikatnya memahami sirah Nabawiyah.

Secara umum manfaat yang bisa kita petik hikmahnya dalam mengkaji dan
memahami sirah nabawiyah, adalah:

1. Memahami pribadi Rasulullah saw. sebagai utusan Allah (fahmu syakhshiyah ar-
rasul).

Dengan mengkaji sirah kita dapat memahami celah kehidupan Rasulullah saw.
sebagai individu maupun sebagai utusan Allah swt. Sehingga, kita tidak keliru
mengenal pribadinya sebagaimana kaum orientalis memandang pribadi Nabi
Muhammad saw. sebagai pribadi manusia biasa. “Hai nabi, sesungguhnya kami
mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi
peringatan, Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan
untuk jadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada
orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari
Allah.” (Al-Ahzab: 45-47).

2. Mengetahui contoh teladan terbaik dalam menjalani kehidupan ini (ma’rifatush


shurati lil mutsulil a’la).

Contoh teladan merupakan sesuatu yang penting dalam hidup ini sebagai
patokan atau model ideal. Model hidup tersebut akan mudah kita dapati dalam
kajian sirah nabawiyah yang menguraikan kepribadian Rasulullah saw. yang
penuh pesona dalam semua sisi. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-
Ahzab: 21).

3. Dapat memahami turunnya ayat-ayat Allah swt. (al-fahmu ‘an-nuzuli aayatillah).

Mengkaji sirah dapat membantu kita untuk memahami kronologis ayat-ayat


yang diturunkan Allah swt. Karena, banyak ayat baru dapat kita mengerti
maksudnya setelah mengetahui peristiwa-peristiwa yang pernah dialami
Rasulullah saw. atau sikap Rasulullah atas sebuah kejadian. Melalui kajian sirah
nabawiyah itu kita dapat menyelami maksud dan suasana saat diturunkan suatu
ayat.

4. Memahami metodologi dakwah dan tarbiyah (fahmu uslubid da’wah wat-


tarbiyah).

Kajian sirah juga dapat memperkaya pemahaman dan pengetahuan tentang


metodologi pembinaan dan dakwah yang sangat berguna bagi para dai.
Rasulullah saw. dalam hidupnya telah berhasil mengarahkan manusia
memperoleh kejayaan dengan metode yang beragam yang dapat dipakai dalam
rumusan dakwah dan tarbiyah.

5. Mengetahui peradaban umat Islam masa lalu (ma’rifatul hadharatil islamiyatil


madliyah).

Sirah nabawiyah juga dapat menambah khazanah tsaqafah Islamiyah tentang


peradaban masa lalu kaum muslimin dalam berbagai aspek. Sebagai gambaran
konkret dari sejumlah prinsip dasar Islam yang pernah dialami generasi masa lalu.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik.” (Ali Imran: 110).
6. Menambah keimanan dan komitmen pada ajaran Islam (tazwidul iman wal
intima’i lil islam).

Sebagai salah satu ilmu Islam, diharapkan kajian sirah ini dapat menambah
kualitas iman. Dengan mempelajari secara intens perjalanan hidup Rasulullah,
diharapkan keyakinan dan komitmen akan nilai-nilai islam orang-orang yang
mempelajarinya semakin kuat. Bahkan, mereka mau mengikuti jejak dakwah
Rasulullah SAW.

IV. Ma’rifatul Kitab

 Secara Etimologi

Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang
berarti “bacaan” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. Kata Al-Qur’an adalah
bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara’a yang artinya membaca. Konsep
pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur’an sendiri yakni
pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan)
bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami
telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18)

 Secara Termonologis
Firman Allah yang mengandung mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi dan
Rasul terakhir, dengan perantara Malaikat Jibril, yang tertulis dalam mushhaf, yang
disampaikan kepada kita secara mutawatir, yang membacanya dianggap sebagai
ibadah, yang dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Naas.

 Nama-nama lain Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain
yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur’an itu sendiri. Berikut adalah nama-
nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:

1. Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2)


2. Al-Furqan (pembeda benar salah) QS(25:1)
3. Adz-Dzikr (pemberi peringatan) QS(15:9)
4. Al-Mau’idhah (pelajaran/nasehat) QS(10:57)
5. Al-Hukm (peraturan/hukum) QS(13:37)
6. Al-Hikmah (kebijaksanaan) QS(17:39)
7. Asy-Syifa’ (obat/penyembuh) QS(10:57), QS(17:82)
8. Al-Huda (petunjuk) QS(72:13), QS(9:33)
9. At-Tanzil (yang diturunkan) QS(26:192)
10. Ar-Rahmat (karunia) QS(27:77)
11. Ar-Ruh (ruh) QS(42:52)
12. Al-Bayan (penerang) QS(3:138)
13. Al-Kalam (ucapan/firman) QS(9:6)
14. Al-Busyra (kabar gembira) QS(16:102)
15. An-Nur (cahaya) QS(4:174)
16. Al-Basha’ir (pedoman) QS(45:20)
17. Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
18. Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)

 Fungsi Al Qur’an

1. Kitab Berita dan Kabar


2. Kitab Hukum dan Perundang-undangan (QS. 5:49-50)
3. Kitab Jihad
4. Kitab Tarbiyah
5. Pedoman Hidup
6. Kitab Ilmu Pengetahuan (QS. 96:1-5)

 Hakikat Al Qur’an

A. Al-Qur’an telah Ditinggalkan

Untuk bisa mencapai derajat orang yang bertakwa yang sesungguhnya,


maka umat Islam, baik secara individu maupun kelompok dituntut harus
senantiasa berinteraksi dengan Al-Qur’an, sebab ia akan selalu menunjukkan
kepada jalan yang benar.

Interaksi yang dengan Al-Qur’an adalah salah satu ciri dari orang-
orang yang bertakwa, sebagaimana dikatakan oleh sebagian Ulama, bahwa
esensi daripada takwa yang sesungguhnya adalah senantiasa berupaya untuk
mengamalkan Al-Qur’an.

Namun apabila melihat fenomena yang berkembang di masyarakat,


ternyata sebagian masyarakat, bahkan kitapun terkadang melakukannya, Al-
Qur’an tidak lagi dijadikan sebagai sahabat dalam kesehariannya. Al-Qur’an
tidak lagi dijadikan lagi sebagai teman untuk bercengkrama bersama, Al-
Qur’an tidak lagi dijadikan obat kegalauan hatinya, padahal ia adalah sebagai
kisah yang menyenangkan, sebagai sya’ir yang indah untuk dinikmati dan
sekaligus sebagai acuan dalam hidup dan kehidupan, sebagaimana telah
dicontohkan oleh Baginda Rasulullah SAW beserta para sahabatnya.

Realita sebagian masyarakat ini, padahal mereka sebagai Muslim,


adalah realita yang sangat menyedihkan dan menghawatirkan untuk masa
depan umat ini, sekaligus menunjukkan bahwa mereka telah menjauhkan al-
Qur’an dari kehidupannya. AlQur’an hanya dijadikan sebagai pajangan di
lemari buku untuk melengkapi buku-buku yang lainnya, atau Al-Qur’an hanya
dibuka seminggu sekali setiap malam jum’at, atau bahkan sebagian dari
mereka dekat dengan Al-Qur’an hanya ketika ada yang meninggal. Dan masih
banyak lagi realita yang lainnya yang menunjukkan bahwa al-Qur’an sudah
benar-benar dijauhkan dari kehidupan mereka.

Rasulullah SAW pernah mengadukan keadaan sebagian umatnya yang


meninggalkan Al-Qur’an sebagaimana disinyalir dalam firman Allah SWT,
“Berkatalah Rasul:”Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-
Qur’an ini sesuatu yang diacuhkan”. (QS. Al-Furqan (25) : 30)”

Yang termasuk kategori meninggalkan Al-Qur’an sebagaimana


ditegaskan dalam tafsir Ibnu Katsir adalah, tidak mau mendengarkan, tidak
membacanya, tidak mau mentadaburi dan tidak mengamalkannya. Dengan
demikian, maka interaksi dengan al-Qur’an yang sesungguhnya yang harus
dilakukan oleh umat Islam adalah diawali dengan semangat untuk selalu
mendengarkan ayat-ayat Allah, kemudian diikuti dengan upaya keras untuk
meningkatkan interaksi tersebut dengan membaca, mentadaburi kemudian
mengamalkannya.

B. Turunnya Al-Qur’an (Nuzulul Qur’an)

Allah SWT telah memuliakan umat Islam dengan menurunkan Al-


Qur’an yang luar biasa, ia sebagai kitab penutup dari kitab-kitab samawi yang
menjadi undang-undang kehidupan, pemecah segala persoalan, sebagai tanda
keagungan dan keluhuran umat pilihan (khaira ummah) untuk bisa
mengemban tugas risalah samawiyyah yang paling mulia, di mana Allah
memuliakannya dengan bekal kitab yang mulia. 

Turunnya Al-Qur’an merupakan bukti kesempurnaan ikatan risalah


samawiyyah yang dibawa melalui perantaraan Malaikat Jibril a.s yang
memantapkannya ke dalam lubuk hati Rasulullah SAW. Dia
menyampaikannya sebagai wahyu dari Rabbul A’la, Allah SWT. Hal tersebut
ditegaskan dalam firman Allah SWT,

“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan


semesta alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril). Ke dalam
hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang
yang memberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang jelas.”
 Al-Qur’an diturunkan melalui tiga tahapan, yaitu :

1. Tahap pertama ( At-Tanazzulul Awwalu ),

Al-Qur’an diturunkan atau ditempatkan di Lauh Mahfudh,


yakni suatu tempat di mana manusia tidak bisa mengetahuinya secara
pasti. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam QS Al-Buruj : 21-22.
Artinya : Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur’an yang
mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.
Penjelasan mengenai sejak kapan Al-Qur’an ditempatkan di
Lauh Mahfudh, dan bagaimana caranya adalah merupakan hal-hal gaib
yang menjadi bagian keimanan dan tidak ada yang mampu
mengetahuinya selain dari Allah swt. Dalam konteks ini Al-Qur’an
diturunkan secara sekaligus maupun secara keseluruhan. Hal ini di
dasarkan pada dua argumentasi. 
Pertama: Karena lahirnya nash pada ayat 21-22 surah al-Buruj
tersebut tidak menunjukkan arti berangsur-angsur. Kedua: karena
rahasia/hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur
tidak cocok untuk tanazul tahap pertama tersebut. Dengan demikian
turunnnya Al-Qur’an pada tahap awal, yaitu di Lauh Fahfudz dapat
dikatakan secara sekaligus dan tidak berangsur-angsur.

2. Tahap kedua (At-Tanazzulu Ats-Tsani), 

Al-Qur’an turun dari Lauh Mahfudh ke Baitul `Izzah di Sama’


al-Dunya (langit dunia), yakni setelah Al-Qur’an berada di Lauh
Mahfudh, kitab Al-Qur’an itu turun ke Baitul `Izzah di langit dunia
atau langit terdekat dengan bumi ini. Banyak isyarat maupun
penjelasannya dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW.
antara lain sebagai berikut dalam Surat Ad-Dukhan ayat 1-6 :
“Artinya: Ha-Mim. Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan,
sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu)
urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang
mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya
Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Ad-
Dukhan 1-6).”
Hadis riwayat Hakim dari Sa`id Ibn Jubair dari Ibnu Abbas dari
Nabi Muhammad saw bersabda: Al-Qur’an itu dipisahkan dari
pembuatannya lalu diletakkan di Baitul Izzah dari langit dunia,
kemudian mulailah Malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi
Muhammad saw.
Hadis riwayat al-Nasa’i, Hakim dan Baihaki dari Ibnu Abbas
ra. Beliau berkata: Al-Qur’an itu diturunkan secara sekaligus ke langit
dunia pada malam Qadar, kemudian setelah itu diturunkan sedikit demi
sedikit selama duapuluh tahun.

3. Tahap ketiga (At-Tanazzulu Ats-tsaalistu),

Al-Qur’an turun dari Baitul-Izzah di langit dunia langsung


kepada Nabi Muhammad SAW., yakni setelah wahyu Kitab Al-Qur’an
itu pertama kalinya di tempatkan di Lauh Mahfudh, lalu keduanya
diturunkan ke Baitul Izzah di langit dunia, kemudian pada tahap ketiga
Al-Qur’an disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad saw
dengan melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dalam hal ini antara lain
tersebut dalam QS Asy-Syu`ara’ : 193-194, Al-Furqan :32 sebagai
berikut:
  Artinya : Ia (Al-Qur’an) itu dibawa turun oleh Ar-Ruh al-
Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah
seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (Asy-
Syu`ara’: 193-194).
Artinya : Berkatalah orang-orang kafir, mengapa Al-Qur’an
itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja. Demikianlah supaya
Kami perbuat hatimu dengannya dan Kami (menurunkan) dan
membacakannya kelompok demi kelompok (Al-Furqan ayat 32).
Menurut As-Suyûthi berdasarkan tiga laporan dari Abdullâh bin
‘Abbâs, dalam riwayat al-Hakim, al-Bayhaqi dan an-Nasa’i, telah menyatakan,
bahwa al-Qur’an telah diturunkan melalui dua tahap:

o Pertama, al-Qur`an diturunkan dari Lauh Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah.

Pertama kali Al-Qur`an diturunkan dari Lauh Mahfuzh ke


Baitul ’Izzah dengan sekaligus pada malam Lailatul Qadar, dan ini
merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari
Malaikat akan kemuliaan umat Nabi Muhammad SAW. Terkait
turunnya al-Qur’an secara sekaligus, Allah SWT berfirman,

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,


bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil) ..” (QS. Al-Baqarah
(2) :185)

Dan firman-Nya,”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-


Qur’an) pada malam kemuliaan. (QS. 97:1)”

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang


diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (QS.
Ad-Dukhan (44) :3)”

o Kedua, Al Qur’an diturunkan dari Baitul ‘Izzah ke hati Rasulullah

Ketiga ayat di atas tidak bertentangan, karena malam yang


diberkahi adalah malam lailatul qadar dalam bulan Ramadhan. Tetapi,
zhahir ayat-ayat tersebut bertentangan dengan kejadian nyata dalam
kehidupan Rasulullah SAW, di mana al-Qur’an turun kepadanya
pertama kali pada bulan Ramadhan dan selama 23 tahun kenabian
Muhammad SAW, yang diturunkan melalui malaikat jibril .
C. Meningkatkan Keimanan dengan Al-Qur’an

Dr. Abdullah Nasih ‘Ulwan mengatakan, bahwa untuk salah satu


upaya dalam meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan adalah dengan
cara interaksi yang baik bersama Al-Qur’an (mendengarkan, membaca,
mentadaburi dan mengamalkannya).

Al-Qur’an adalah sumber ketenangan hati juga sebagai obat bagi


penyakit yang ada di dalamnya. Ketika kita membaca Al-Qur’an, berarti kita
sedang mengingat dan berkomunikasi dengan Allah SWT, ketika kita sedang
berkomunikasi dengan Allah, maka sudah barang tentu melalui firman-firman-
Nya dalam Al-Qur’an yang kita baca sambil ditadabburi, kita akan
mendapatkan nilai-nilai akhlakul karimah yang akan menjadikan kualitas amal
kita semakin baik. 

Dengan kualitas amal yang semakin baik, maka kualitas iman pun akan
semakin meningkat; karena dengan ketaatan atau amal shalih lah keimanan ini
akan terus meningkat.

Dalam kehidupan para sahabat, kita dapat melihat betapa mereka


memiliki semngat untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an, baik mendengarkan,
membaca, menghafal, mentadabburi bahkan mengamalkannya. Kita
mengetahui dari sejarah kehidupan mereka, bahwa apabila diajarkan kepada
mereka sepuluh ayat dari AL-Qur’an, mereka tidak ditambah lagi kecuali
setelah mengamalkan sepuluh ayat tersebut.

Kita juga tahu, bahwa mereka untuk setiap bulannya tidak kurang dari
tiga kali untuk mengkhatamkan Al-Qur’an, dan mereka juga sangat
bersemangat untuk membaguskan bacaan Al-Qur’an. Maka Rasulullah SAW
sebagai satu-satunya suri tauladan bagi kita yang telah diikuti terlebih dahulu
oleh para sahabat, cukuplah bagi kita sebagai acuan utama bagaimana
seharuskah kita berinteraksi dengan al-Qur’an dalam rangka meningkatkan
keimanan dengan al-Qur’an.
D. Keutamaan Al-Qur’an 
 Al-Qur’an adalah mukjizat yang abadi 

‫ْض‬ ُ ‫انَ بَع‬XX‫وْ َك‬XXَ‫ ِه َول‬Xِ‫أْتُونَ بِ ِم ْثل‬XXَ‫رْ آ ِن ال ي‬XXُ‫ َذا ْالق‬Xَ‫ ِل ه‬X‫ت اإل ْنسُ َو ْال ِج ُّن َعلَى أَ ْن يَأْتُوا بِ ِم ْث‬
ٍ ‫هُ ْم لِبَع‬X‫ْض‬ ِ ‫قُلْ لَئِ ِن اجْ تَ َم َع‬
‫ظَ ِهيرًا‬.

Katakanlah:”Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat


yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang
serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi
sebagian yang lain. (QS. Al-Israa` (17) : 88) 

 Bernilai ibadah bagi siapa yang membacanya

‫ف َواَل ٌم‬ ٌ Xِ‫ف َولَ ِك ْن أَل‬


ٌ ْ‫ ر‬X‫ف َح‬X ٌ ْ‫ ر‬X‫ب هَّللا ِ فَلَهُ بِ ِه َح َسنَةٌ َو ْال َح َسنَةُ بِ َع ْش ِر أَ ْمثَالِهَا اَل أَقُو ُل الم َح‬
ِ ‫َم ْن قَ َرأَ َحرْ فًا ِم ْن ِكتَا‬
ٌ ْ‫ف َو ِمي ٌم َحر‬
‫ف‬ ٌ ْ‫ َحر‬.

Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur’an, maka ia akan


memperoleh satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dilipatgandakan menjadi
sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan bahwa Alif Lam Mim itu satu huruf,
melainkan Alif satu hufuf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.”(HR.
Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud) 

 Sebagai penawar (obat) penyakit hati

َ‫ُور َوهُدًى َو َرحْ َمةٌ لِ ْل ُم ْؤ ِمنِين‬


ِ ‫يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَ ْد َجا َء ْت ُك ْم َموْ ِعظَةٌ ِم ْن َربِّ ُك ْم َو ِشفَا ٌء ِل َما فِي الصُّ د‬.

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu


dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus (10) :57)

 Kitab yang dipelihara

ْ ُ‫إِنَّا نَحْ ن‬.


َ‫نزلنَا ال ِّذ ْك َر َوإِنَّا لَهُ لَ َحافِظُون‬

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya


Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr (15): 9)
 Kitab yang diturunkan untuk seluruh alam

‫ك الَّ ِذي نز َل ْالفُرْ قَانَ َعلَى َع ْب ِد ِه لِيَ ُكونَ لِ ْل َعالَ ِمينَ نَ ِذيرًا‬ َ َ‫تَب‬.
َ ‫ار‬

Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (yaitu al-Qur’an) kepada
hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (QS.
Al-Furqaan (25) : 1)

E. Kisah Teladan Seputar Ma’rifatul Qur`an 

Dikisahkan, bahwa Abdullah bin Amer r.a dia seorang yang sudah
hafal Al-Qur’an, pada suatu ketika ia berkata kepada Rasulullah SAW,”Aku
adalah seorang yang sudah hafal Al-Qur’an, maka aku mampu menyelesaikan
bacaan Al-Qur’an selama satu malam.” Mendengar hal itu Rasulullah SAW
berkata kepadanya,”Aku hawatir, seandainya kamu menyelesaikan bacaan Al-
Qur’an dalam satu malam, kamu akan merasa bosan, maka dari itu, cukuplah
bagi kamu menyelesaikan bacaan Al-Qur’an itu satu kali dalam sebulan.”
Abdullah menjawab,Wahai Rasulullah! Biarkanlah aku menyelesaikan bacaan
Al-Qur’an seperti itu (dalam satu malam); karena aku masih kuat dan masih
muda. Rasulullah SAW bersabda,”Selesaikanlan olehmu bacaan Al-Qur’an
pada setiap sepuluh hari.” Jawab Abdullah,”Biarkanlah aku menyelesaikannya
dalam satu malam; karena aku masih kuat dan masih muda, ia tetap dalam
pendiriannya. 

Dari kisah tersebut, kita bisa melihat betapa Abdullah bin Amer
memiliki semangat untuk senantiasa dekat dengan Al-Qur’an, sehingga ia
tetap berisi keras untuk menyelesaikan bacaan Al-Qur’an dalam satu malam,
meskipun Rasulullah SAW telah memberikan rukhshah untuk menyelesaikan
bacaan Al-Qur’an tidak dalam satu malam.
V. Ma’rifatusy Syahadatain

Makna Syahadat

(a) Makna Syahadat Tauhid : “َ‫ش َه ُد أنْ الَّ إِلَهَ إِالَّ هللا‬


ْ ‫“أ‬
Maka arti syahadat Tauhid ini adalah : “ Aku senantiasa bersaksi,
menyatakan, mengakui, bersumpah bahwa tidak ada “ilah” yang berhak di
sembah selain Allah.”

(b) Makna Syahadat Rosul  :  ِ‫س ْو ُل هللا‬


ُ ‫ش َه ُد أنَّ ُم َح َّمدًا َّر‬
ْ ‫أ‬  
Berarti : “ Aku senantiasa bersaksi, menyatakan, mengakui, bersumpah
bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah.”

 Haqiqat Makna Syahadah


Syahadah dalam makna haqiqi adalah kecenderungan, kecintaan dan
keridho’an kepada  : 
o Allah sebagai Robb. (‫) هللا َرًب\[ًّا‬. Q.S. 6/162-164.
o Islam sebagai Diin. (‫سالَ َم ِد ْينًا‬
ْ ‫ إ‬ ). Q.S. 5/3.
ُ ‫) ُم َح َّم ٌد نَبًِي\[ًّا َو َر‬.
o Muhammad sebagi Nabi dan Rosul / Uswatun hasanah. ( ً‫س[ ْوال‬
Q.S. 33/21.
 
a) Syahadat dalam makna “ Taklifi ”
Adalah : Awal mula seseorang di bebani tanggung jawab untuk melaksanakan
hukum-hukum Allah ( Mukallaf )

b) Syahadat dalam makna “Sababi”. 


Adalah : Syahadah menjadi bukti seseorang  menerima da’wah Islam.
 
c) Makna kalimat tauhid   “َ‫“الَّ إِلَهَ إِالَّ هللا‬
 Tidak ada yang berhak di sembah, di ibadahi, dihambakan dengan sebenar-
benarnya kecuali Allah. QS. 51/56, 98/5.
 Tidak ada yang ta’ati kecuali kepada Allah SWT. QS. 4/59, 64
 Tidak ada yang di cintai kecuali Allah. QS. 2/165
 Tidak ada yang memberikan ketenangan kecuali Allah.         QS. 13/28.
 Tidak ada pemimpin, penolong, kecuali Allah.  QS. 5/57.
 Tidak ada hukum kecuali hukum Allah SWT.  QS. 5/44-45, 47 & 50.
 Tidak ada Raja kecuali Allah SWT. QS. 114/2, 1/4 

 Rukun Syahadat 

o An-Nafyu (‫ النَّ ْف ُي‬ ) : Penafian atau peniadaan yang terletak pada kalimat “ َ‫ الَ إِلَه‬ “ yaitu
meniadakan segala ilah, pengabdian, penghambaan, perbudakan dll.
ِ ‫ ا ِ ْإل ْثبَا‬ ) : Penetapan / pengkuhan yang terletak pada kalimat “  َ‫ “ إِالَّ هللا‬yaitu
o Al-Itsbat (‫ت‬
mengukuhkan dan menetapkan  bahwa Allah saja yang di ibadahi, di sembah dan di
abdikan 

VI. Ma’rifatul Insan

Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dari tanah kering yang hina
namun Allah memberikan potensi kepada manusia yaitu potensi akal, pendengaran,
penglihatan, dan hati. Hal itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Akal
digunakan manusia untuk berpikir mengenai yang benar dan yang bathil (salah),
sedangkan hati diciptakan untuk merasakan cinta dan kasih sayang yang telah Allah
Swt berikan kepada setiap manusia. Pendengaran dan Penglihatan merupakan alat
yang dibutuhkan oleh manusia untuk mengetahui tanda-tanda kebesaran Allah Swt.
Manusia dalam bahasa arab adalah Insan. Dalam kajian kali ini mari kita mengenal
lebih dalam tentang manusia yang disebut dengan Ma’rifatul Insan.
 Ma’rifatul insan ada 3 definisi, yaitu ;

1. Hidroqu Jajibun, artinya mengenal dan memahami manusia sampai


kedalamnya tidak hanya mengetahui kulitnya saja tetapi isi didalam kulitnya.

2. Pemahaman yang sudah menempel didalam diri tidak akan bisa untuk dilepas
sampai ajal menjemputnya atau sesuatu yang tidak pernah berubah dan tetap
berkomitmen hanya itulah yang diyakininya. Seperti halnya mati itu terjadi
jika nyawa/ruh dicabut dari jasadnya oleh malaikat Izrail aras izin Allah Swt,
semua orang meyakini bahwa itu adalah mati.
3. Keyakinan yang kita dapat dan kita pahami akan menjadi realita dalam
kehidupan.

 Hal-hal yang harus di ma’rifatkan adalah;

a. Insan atau manusia


“Barang siapa yang mengenal dirinya maka diapun akan mengenal
Tuhannya” Al-Hadist. Dalam QS. Am-Naas ayat 1-6 menjelaskan bahwa
Allah Swt adalah Tuhannya manusia, Tuhan yang disembah oleh manusia dari
kejahatan syaitan yang bersembunyi dan membisikkan kejahatan dalam dada
manusia dari golongan jin dan manusia. Allah Swt menciptakan manusia ke
muka bumi bukan untuk main-main tetapi Allah Swt mempunyai prinsip dan
manusia diciptakan ke dunia.

b. Prinsip Penciptaan Manusia


Dalam Al-Quran surat Maryam : 67 “Dan tidakkah manusia itu
memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, sedang
ia tidak ada sama sekali?”. Manusia   ada, diadakan oleh Allah Swt atas
Qudhrah dan Iradhah Allah Swt. Qudhrah artinya berkuasa, Allah adalah
penguasa yang sempurna karena kekuasaan Allah Swt tidak terbatas, Allah
juga bisa melakukan sesuatu tanpa ada yang bisa menghalanginya sedangkan
Iradhah artinya berkehendak, Allah melakukan sesuatu sesuai dengan
kehendak-Nya tidak ada yang mempengaruhi dan tidak pula dengan
keterpaksaan.
Dalam QS. Al-Araf : 54 “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang
telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam
di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya
dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-
bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan
dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.”
Allah menciptakan manusia beserta isi alam ini maka hanya Allahlah yang
mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus manusia.
c. Proses Penciptaan Manusia
Manusia yang ada di bumi ini merupakan dari satu enenk moyang
yaitu nabi Adam As. Manusia dilahirkan ke duina ada 2 cara yaitu secara
alami dan secara azali. Secara alami, manusia dilahirkan ke dunia ada sebab
akibat dan keturunannya yaitu dari nabi Adam dan Siti Hawa terlahirlah bani
Adam. Hal ini dijelaskan dala QS. Al-Mu’minun : 12-15, “Dan sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal
daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.”
Sedangkan secara Azali yaitu kelahiran manusia tanpa adanya proses
perpaduan antara laki-laki dan wanita, tidak ada penyebabnya namun
kehendak dari Allah Swt lah terciptalah seorang anak manusia seperti halnya
terciptanya nabi Isa As dalam QS. Al-Imran : 59 bahwa nabi Isa diciptakan
seperti penciptaan Adam. Allah swt menciptakan Adam dari tanah kemudian
Allah swt berfirman kepadanya “Jadilah” seorang manusia, maka jadilah dia”.
Nabi Isa dilahirkan dari rahim seorang wanita yang suci lagi beriman kepada
Allah Swt yaitu Maryam (QS. Maryam : 1-36).
Setelah  manusia lahir, manusia akan tumbuh menjadi anak-anakm
remaja, dewasam kemudian tua lalu meninggal. Dari proses manusia menjadi
dewasa lingkunganlah yang dapat mempengaruhi kedewasaannya.
Lingkungan bisa berasal dari keluarga, oramg tua, bahkan sahabat atau teman
yang dikenalinya. Dalam kehidupan yang nyata ini Allah swt menciptakan
manusia bersama dengan syaitan. Syaitan adalah musuh Allah yang nyata,
sedangkan teman sejati manusia yaitu manusia yang mempunyai komitmen
yang sama hanya Allahlah yang patut disembah dan meyakini Rasulullah
Muhammad saw adalah utusan Allah.
Hal ini dijelaskan dalam QS. Al-Mujaadalah : 22 dan Al Imran : 118,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa
yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa
yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah
Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”

d. Tujuan Penciptaan Manusia


Dalam QS Adz-Zariyat : 56 “Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. “ . Manusia
diciptakan ke dunia oleh Allah Swt  bertujuan untuk beribadah hanya kepada
Allah Swt. Fungsinya manusia diciptakan ke dunia adalah sebagai Khalifah
hal ini dijelaskan dalam QS. Al Baqarah : 30 “Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Peran manusia di bumi ini adalah memikul amanat yang Allah swt
berikan yaitu menjalankan Al-Quran  dan memenangkan agama Allah
terhadap semua agama yang ada di dunia ini, hal ini dijelaskan dalam Qs. Al-
Fath : 28, “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan
agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan
cukuplah Allah sebagai saksi.”

 Hakikat Ma’rifatul Insan

Pertama, manusia adalah makhluqun -makhluk ciptaan /hasil kreasi


Allah Ta’ala-. Ia diciptakan oleh-Nya ‘alal fitrah  (berada di atas fitrah ).
Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama
yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum, 30: 30)
Manusia diciptakan ‘alal fithrah maksudnya adalah diciptakan oleh
Allah Ta’ala berada dalam kecenderungan kepada kebenaran dan patuh kepada-
Nya. Sebagian ulama mengatakan bahwa arti fitrah adalah “Islam”. Hal ini
dikatakan oleh Abu Hurairah, Ibnu Syihab, dan lain-lain. Pendapat tersebut dianut
oleh kebanyakan ahli tafsir.

 Manusia juga diciptakan oleh Allah Ta’ala dalam keadaan dhaif (lemah).


Kelemahannya terutama dalam menghadapi godaan hawa nafsunya. Kadangkala
mereka mengalami lemah ‘azam (tekad), lemah iman dan lemah kesabaran.

 Manusia juga diciptakan oleh Allah Ta’ala dalam keadaan jahil (bodoh).


Allah Ta’ala mengungkapkan kondisi manusia ini dengan firman-Nya,
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzaab, 33:
72)

 Manusia juga diciptakan oleh Allah Ta’ala dalam


keadaan faqir (butuh/berkehendak) kepada pemberian-Nya. “Hai manusia,
kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia- lah Yang Maha Kaya
(tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir, 35: 15)

Kedua, manusia adalah makhluk yang mukarramun (dimuliakan).


Allah Ta’ala memuliakan anak-anak Adam karena nafkhur ruhi -telah ditiupkan ruh
ciptaan Allah Ta’ala  kepadanya-. Dia berfirman, “Kemudian Dia menyempurnakan
dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS.
As-Sajdah, 32: 9)
Di dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan,

َ XX‫ ْث‬X‫م‬Xِ Xً‫ ة‬XXXَ‫ ق‬Xَ‫ ل‬X‫ع‬


X‫ل‬ Xَ X‫ن‬X‫و‬
Xُ XXX‫ك‬X ُ Xَ‫َّ ي‬X‫ م‬Xُ‫ ث‬X،XXً‫ة‬XXXَ‫ ف‬X‫ط‬ ْ Xُ‫ ن‬X‫ ا‬XX‫ ًم‬X‫و‬X Xِ Xَ‫ ب‬X‫ر‬Xْ Xَ‫ أ‬X‫ِّ ِه‬X‫ م‬XX‫ ُأ‬X‫ ِن‬X‫ط‬
Xْ Xَ‫ ي‬X‫ن‬Xَ X‫ ي‬X‫ع‬X ْ Xَ‫ ب‬X‫ي‬XXِ‫ ف‬XُX‫ ه‬Xُ‫ ق‬X‫ ْل‬X‫ َخ‬XُX‫ ع‬X‫ َم‬X‫ج‬X
Xْ Xُ‫ ي‬X‫ ْم‬X‫ ُك‬XَX‫ د‬X‫ َح‬XX‫ َأ‬Xَّ‫ ن‬Xِ‫إ‬
Xَ ‫ و‬X‫ر‬XX‫ل‬X
X‫ح‬X ُّ ‫ ا‬X‫ ِه‬XX‫ي‬XXِ‫ ف‬X‫خ‬X Xَ XXXَ‫ ل‬X‫ َم‬X‫ ْل‬X‫ ا‬X‫ ِه‬X ‫ْي‬X Xَ‫ل‬XXِ‫ إ‬Xُ ‫ هَّللا‬X‫ ُل‬X‫س‬
Xُ Xُ‫ ف‬X‫ ْن‬Xَ‫ ي‬Xَ‫ ف‬X، X‫ك‬ Xِ X‫ر‬Xْ Xُ‫َّ ي‬X‫ م‬Xُ‫ ث‬X، X‫ك‬ Xَ X‫ث‬Xْ X‫ ِم‬Xً‫ ة‬X‫غ‬Xَ X‫ض‬
َ Xِ‫ ل‬X‫ َذ‬X‫ل‬ Xْ X‫ ُم‬X‫ن‬Xُ X‫ و‬X‫ ُك‬Xَ‫َّ ي‬X‫م‬XXُ‫ ث‬X، X‫ك‬X Xَ Xِ‫ ل‬X‫ذ‬Xَ
Xٌ‫د‬X‫ ي‬X‫ع‬Xِ X‫ َس‬X‫و‬Xْ Xَ‫ أ‬X‫ ٌّي‬Xِ‫ ق‬X‫ َش‬X‫و‬Xَ X‫ ِه‬Xِ‫ ل‬X‫ج‬X
Xَ Xَ‫ أ‬X‫و‬Xَ X‫ ِه‬Xِ‫ ل‬X‫ َم‬X‫ع‬ Xِ Xِ‫ ق‬X‫ز‬Xْ X‫ ِر‬X‫ب‬
Xَ X‫ َو‬X‫ه‬X ِ X‫ ْت‬X‫ َك‬Xِ‫ ب‬X: X‫ت‬ Xِ Xَ‫ ب‬X‫ر‬Xْ Xَ‫ أ‬Xِ‫ ب‬X‫ ُر‬X‫ َم‬X‫ؤ‬X
ٍ X‫ ا‬X‫ َم‬Xِ‫ ل‬X‫ َك‬X‫ع‬X Xْ Xُ‫ ي‬X‫َو‬

“Sesungguhnya salah seorang dari kalian disempurnakan penciptaannya di perut


ibunya selama empat puluh hari  dalam bentuk air mani, kemudian menjadi alaqah
(segumpal darah) selama itu pula, kemudian menjadi sepotong daging selama itu
pula, kemudian Allah mengirim malaikat kepadanya lalu malaikat tersebut
meniupkan ruh ke dalamnya dan diperintah dengan empat hal; menulis rezki, amal
perbuatan, ajalnya, dan ia orang celaka atau orang bahagia…” (HR. Bukhari dan
Muslim)

Manusia pun dimuliakan karena telah diberi imtiyazat -berbagai


keistimewaan- oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala telah memuliakan Adam dan anak
cucunya dengan raut muka yang indah, potongan yang serasi dan diberi akal, agar
dapat menerima petunjuk, untuk berbudaya dan berpikir guna mencari keperluan
hidupnya, mengelola kekayaan alam serta menciptakan alat pengangkut di darat, di
lautan maupun di udara. Dan Allah Ta’ala telah memberikan rezeki yang baik-baik
kepada mereka itu, yang terdiri dari makanan yang di dapat dari tumbuh-tumbuhan
dan hewan. Allah Ta’ala telah melebihkan mereka itu dengan kelebihan yang
sempurna, dari kebanyakan makhluk yang lain yang diciptakan-Nya.

Ketiga, manusia adalah makhluk yang mukallafun –dibebani tanggung jawab-.


Di pembahasan madah ta’riful insan telah diulas bahwa manusia diberi
amanah ibadah dan khilafah oleh Allah Ta’ala. Silahkan merujuk kembali ke
pembahasan tersebut.

Keempat, manusia adalah makhluk yang  mukhayyarun -diberi pilihan oleh


Allah Ta’ala apakah memilih al-iman atau al-kufru–. Allah Ta’ala telah
menunjukkan kepada manusia jalan kebaikan dan jalan kejahatan. Dan telah
diberikan-Nya pula kepada mereka akal untuk membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk, sehingga ia dapat memilih yang baik untuk dikerjakannya, dan
yang buruk untuk ditinggalkan.
Kelima, manusia adalah makhluk yang  majziyun –mendapatkan balasan
amal-. Mereka yang beriman dan berbuat kebajikan akan mendapatkan balasan dari
Allah Ta’ala berupa al-jannah (surga), Sedangkan mereka yang ingkar akan
mendapatkan balasan dari Allah Ta’ala  berupa an-nar (neraka).

Sebagaimana firman-Nya, “Adapun orang-orang yang beriman dan


mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka jannah tempat kediaman, sebagai
pahala terhadap apa yang mereka kerjakan. Dan adapun orang-orang yang fasik
(kafir) maka tempat mereka adalah jahannam. Setiap kali mereka hendak keluar
daripadanya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka:
“Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya.” (QS. As-Sajdah,
32: 19-20)

 Sifat-sifat Dasar Manusia :

1. Manusia mempunyai sifat berkeluh kesah lagi kikir QS. Al-Maarij : 19

2. Manusia bersifat Dhoif 9lemah) QS. Annisa : 28

3. Manusia bersifat Ka’bad (susah payah)

Keistimewaan manusia ini penuh dengan konsekuensi yang menyertai misi


keberadaannya di muka bumi ini. Selain dikaruniai banyak kelebihan dan
keistimewaan , manusia juga dikaruniai banyak kelemahan yang merupakan sifat
dasar manusia, kelemahan itu antara lain:

 Tergesa – gesa (QS. Al Isra’ : 11, QS. Al Anbiya’ 21)


 Lemah (QS. An Nissa’: 28)
 Bodoh (QS.AL Ahzab : 72)
 Suka membantah (QS. Al Kahfi: 54)
 Kikir dan keluh kesah (QS. Al Ma’arij : 19, QS. Al Isra’ : 100)
 Ingkar (QS. Al ‘Aadiyaat : 6, QS. Al Hajj : 66, Ibrahiim (14) : 34, Az
Zukhruf (43) : 15
 Putus Asa (QS. Haa Mim Assajdah : 49, QS. Al Isra’ : 83)
 Berlebih – lebihan (QS. Yunus : 39)
 Lalai (QS Al A’raf :179)Susah payah (QS. Al Balad :4), dan seterusnya.
 Manusia diabagi menjadi 2 kelompok yaitu:
1. Pola hidup mu’min (mu’min sejati) balasannya adalah Syurga dijelaskan dalm
QS. Al baqarah : 107-108 dan QS Al Imran : 102-103, “Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya;
dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama
Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-
orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu
Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
2. Pola hidup kafir dibagi mejadi munafik dan kafir balasan orang yang pola
hidupnya seperti ini adalah neraka, hal ini dijelaskan dalam QS. Al-Hajj : 11
dan Al Baqarah : 165 “Dan diantara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya
sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman
amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang
berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat),
bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat
siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”

Anda mungkin juga menyukai