TERMINOLOGI TASAWUF
(Istilah kata-kata dalam bahasa tasawuf)
W A K T U
M A Q A M
3
terhadap kedudukan Allah swt. terhadap dirinya dengan maqam
tersebut, yang dengannya strutur bangunan ruhaninya benar
menurut pondasi yang shahih.
Saya mendangar Abu ali- al-Daqqaq r.a. berkata : “Ketika
al-Wasithy masuk ke Naisabur, bertanyalah ia kepada santri Abu
Utsman, : “Apa yang diperintahkan Syeikh kalian kepada kalian?
Mereka menjawab : “Kami diperintah untuk menetapi taat serta
melihat dan meneliti penyimpangan di dalamnya.” Maka al-
Wasithy berkata, “Syeikh kalian memerintah dengan cara Majusi
murni? Apakah Syeikh kalian tidak memerintah diri kalian dengan
hal yang gaib dengan memandang ke pada Yang Memunculkan dan
Menjalankan yang gaib? Maksud al- Wasithy dengan kta-kta itu,
agar mereka menjaga diri dari posisi takjub. Bukannya menaiki
ke arah wilayah penyimpangan atau keteledoran (taqshir), karena
yang demikian bisa merusakkan adanya cacat dalam adab.
H A A L
5
Ar-Raja’ : Membayangkan sang kekasih di masa depan atau
sesuatu yang ditampakkan akan hilangnya yang ditakuti, serta
yang dibenci, bagi mereka yang pemula (dalam dunia Sufi).
Al-Qabdh : Tahap ruhani yang maknanya yang dihasilkan dalam
waktu seketika, begitu juga al-Basth.
Orang yang mempunyia khauf dan raja’, hatinya bergantung
dalam dua kondisi waktu di depannya. Sedangkan yang memiliki
qabdh dan basth, waktunya diambil oleh yang mengalahkan dalam
kekinian. Hanya saja predikatnya terpaut dalam qabdh dab bats
menurut keterpaduan ihwal mereka. Dari segi yang datang, qabdh
menjadi keharusan, namun menetapi sesuatu yang lain, karena tak
terpenuhi. Dan ddari segi yang tergenggam (al-maqbudh), tidak
ada jalan selain dominsai pendatang di dalam dirinya. Karena
diambil secara keseluruhan dari pihak pendatang tersebut.
Demikian pula yang dileluasakan (al-mabsuth), Kadang-
kadang di dalamnya ada basth yang membuat sang makhluk menjadi
luas, sehingga tidak takut terhadap segala hal. Ia menjadi
mambsuth, tiada sesuatu pun berpengaruh di dalamnya, dari satu
ihwal ke ihwal lain.
Saya mendengar Abu ali al-Daqqaq r.a. berkata : “Sebagian
orang memasuki tempat Abu Bakr al-Qihthy. Di sana ada seorarng
anak sedang bermain sebagaimana permainan anak-anak muda
lainnya (yang bisa merusak hatinya). Orang-orang itu melewati
tempat anak tersebut, dan tampaknya ia tenggelam dalam
permainan dengan teman-temannya. Mereka merasa ibi kepada al-
Qihthy, serayaa berkata, ‘Kasihan Syeikh, bagaimana digoda
oleh anak-anak jelek itu? Ketika mereka memasuki rumah al-
Qihthy, ia menemuinya seakan-akan tak ada berita sedikit pun
soal mainan-mainan itu, lalu mereka pun heran. Mereka berkata.
‘Anda menebus orang yang tidak dapat dipengaruhi puncak-puncak
bukit?’ Al-Qihthy menjawab : “Sesungguhnya kami telah
dibebaskan dari belenggu segala hal dalam azali.” (artinya, ia
telah tenggelam dalam keparipurnaan ubudiyah kepada Allah swt.
sehingga tidak ada yang berpengaruh selain Allah swt.).
Kewajiban terendah dalam qabdh, adanya subyek dalam hatinya
yang mengharuskan bentuk isyarat cacat pada diri, atau adanya
6
rumus yang di dalamnya seseorang berhak untuk bersopan santun
(adab), sehingga dalam kalbunya mendapatkan qabdh.
Terkadang yang datang dalam kalbunya merupakan isyarat
untuk mendekat, atau yang diterima merupakan kelembutan dan
ketentraman, sehingga kalbu mendapatkan basth. Secara global,
wabdh masing-masing pelaku tergantung kualitas basth-nya,
begitu juga basth-nya diukur menurut qabdh-nya.
Terkadang sebab musabab qabdh menimbulkan musykil bagi
pelakunya. Dalam kalbunya ditemukan qabdh yang tidak dimengerti
apa keharusan dan sebabnya. Keharusan yang dijalani pelaku
seperti ini alah taslim, sehingga waktu seperti itu berlalu.
Sebab jika dicari, justru akan menghalanginya. Atau ia
menghadap waktu sebelum jatuh padanya, lewat ikhtiarnya,
sehingga berharap wabdh-nya bertambah. Barangkali hal itu
tergolong su’ul adab. Jika menyerahkan diri pada hukum waktu,
maka dari dekat akan menghilangkan al-qabdh. Sesungguhnya Allah
swt. berfirman :
“Dan sesungguhnya Allah menyempitkan dan melapangkan, dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan,” (Qs. Al-Baqarah : 245).
Terkadang basth datang seketika, tanpa si pelaku tahu
sebabnya, sehingga ia pun terkejut. Jalan yang harus ditempuh,
jika demikian, ia harus tenang dn menjaga adab. Pada waktu itu,
ia sedang mengalami bisikan yang besar. Karena itu, si pelaku
harus menghindari makar yang samar di daamnya. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh sebagian Sufi, “Telah dibuka
padaku, pintu basth, kemudian diriku terguncang hebat, lantas
aku pun tertutup dari maqamku.” Karenanya berkatalah mereka,
“Bertetaplah apda kelapangan (al-bisath) dan hati-hatilah,
berupaya melapangkan.”
Ada ahli hakikat (tahqiq) mengategorikan perilaku qabdh dan
basth tergolong sesuatu yang mereka mohonkan perlindungan.
Karena keduanya disandarkan pada yang diatasnya berupa tahap
kehancuran hamba, sedangkan upaya hamba memasukinya dalam dunia
hakikat dapat melahirkan fakir dan bahaya.
Al-Junayd berkta : “Al-Khauf dari Allah membuatku
tergenggam, Dan ar-Raja’ dari Allah membuatku lapang. Hakikat
telah mengumpulkan diriku. Dan Al-Haq memisahkanku. Apabila Dia
7
membuatku tergenggam adalah khauf, Dia menjadikan diriku fana’
dari diriku. Apabila ar-Raja’ melapangkanku, Dia mengembalikan
kepadaku. Apabila diriku terintegrasi hakikat, maka Dia
menghadirkanku. Apabila aku dipisahkan Al-Haq, aku disaksikan
oleh selain diriku, kemudian menutupiku, Allah swt. dalam semua
hal itu adalah penggerakku tanpa mengekangku, Dia yang
membuatku takut tanpa genmbiraku. Aku dengan kehadiranku,
merasakan rasa wujud-ku. Fana’ku datang dari diriku, membuatku
nikmat, atau mengabaikan dariku, sehingga aku ringan.
9
Kalau engkau dari ahli wujd yang hakiki
Pastilah engkau gaib dari Jagad, Arasy dan Kursy
Sedang engkau tanpa kondisi ruhani bersama Allah
Jauh dari mengingat
Pada jin dan manusia.
11
Pernyataan ini relevan pula dengan ucapan al-Junayd, “Ilmu
Tauhid” merupakan wahana penjelasan bagi wujud-nya, dan wujud-
nya merupakan wahana bagi ilmunya.” Dalam konteks artian ini,
penyair berkata :
Wujud-ku ada ketika aku gaib dari wujud
Karena yang tmpak padaku
Dalah syuhud (penyaksian).
Tawajud merupakan permulaan, dan wujud adalah tujuan akhir.
Sedangkan wujd sebagai perantara antara permulaan dan tujuan
akhir.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Tawajud
mengharuskan adanya kecelaan hamba. Sedang wujd mengharuskan
ketenggalaman hamba. Demikian pula wujud mengharuskan kesirnaan
mengarungi lautan itu, lantas tenggelam di dalamnya. Struktur
persoalan ini dikatakan secara berurutan, mulai dari : Qusyud
(bermaksud), wurud (sampai), kemudian Syuhud (penyaksian), lalu
Wujud, terakhir Khumud (sirna). Dengan kadar kriteria wujud-
lah, khumud dapat dicapai.
Bagi orang yang ber-wujud memiliki kesadaran (shahw) dan
ketidaksadaran (mahw). Kondisi shahw adalah kebadiannya dengan
Al-Haq, sedang kondisi mahw-nya adalah kefana’annya dengan Al-
Haq. Keduanya saling berkelindan selamanya. Apabila shahw
dengan Al-Haq yang lebih unggul, ia telah sampai *wushul).
Karena itu, Rasulullah saw. bersabda (hadis Qudsi), “Dengan-Ku
ia mendengar dan dengan-Ku ia melihat.”
Manshur bin Abdullah berkata : “Seseorang berada dalam
halaqah asy-Syibly, dan orang itu kemudian beretanya. “Apakah
pengaruh keabsahan wujd itu tampak pada diri orang-orang yang
mencapai al-wujud? Benar. Cahaya yang memancar, bersama dengan
sinar kerinduan, sehingga pengaruhnya mewarnai lubuk hatinya.”
Demikian jawab asy-Syibly.”
Gambaran ini jelas dalam syair Ibnul Mu’tazz :
Gelas yang dibasai iar karena cemerlang beningnya,
Llau mutiara tumbuh dari bumi emas,
12
Sedang kaum menyucikan karena kagum
Pada cahaya air di dalam api dari anggur yang ranum,
Diwarisi ‘Aad dari negeri Iram
Sebagai simpanan Kisra, mulai dari nenek moyangnya.
Suatu kisha berkenaan dengan Abu Bakr ad-daqqy : “jahm ad-
Duqqy mengambil kayu di tangannay ketika sedang menyimak dalam
gairahnya, kemudian ia mencabut dari akarnya. Kemudian keduanya
berkumpul ketika secara bersamaan saling memanggil. Ad.-Duqqy
sendiri sorang yang buta, lalu Jahm berdiri sambil berkeliling
dengan penuh emosi. Abu Bakr ad-Duqqy berkata : “Jika mendekat
kepadaku, ulurkan kayu itu!’ Sementara Jahm ad- Duqqy adalah
manusia lemah, lantas ia menemukan sepotong kayu di dekatnya,
seraya berkata, ‘Ini ia!’ Lalu ad-Duqqy memegang kaki Jahm,
hingga membuatnya tidak dapat bergerak lagi. “Wahai Syeikh,
tobat! Tobat!” teriak Jahm ad-Duqqy. Barulah kemudian Abu Bakr
ad-Duqqy meelpaskannya.”
Semangat Jahm benar, dan pengekangan ad-Duqqy juga benar.
Ketika Jahm menyadari bahwa tindakan ad-Duqqy di atas kondisi
ruhaninya, seketika itu pun ia insaf dan berdamai.
Begitu pula orang yang tidak berbuat maksiat, ia benar.
Namun demikian, apabila yang mengalahkan dirinya adalah
kesirnaan diri, maka ia tidak berilmu dan tidak pula berakal,
tidak paham serta tidak merasa.
Isteri Abu Abdullah at-Targhundy berkata : “Ketika bencana
kelaparan sedang melanda, sementara manusia dijemput maut
karena paceklik itu, tiba-tiba Abu Abdullah at-Targhundy masuk
ke dalam rumah. Ia melihat ada dua kilogram gandum. Berkatalah
ia, ‘Orang-orang mati karena kelaparan, sedang aku masih
mempunyai simpanan gandum di rumah.’ Lalu ia pun kehilangan
akal. Dan sejak saat itu ia tidak pernah bangkit, kecuali pada
waktu-waktu shalat fardhu. Usai shalat kembali pada tingkah
laku semula, dan begitu seterusnya sampai ia meninggal dunia.”
Kisah ini menunjukkan, bahwa laki-laki tersebut selalu
menjaga diri dalam adab syariat, ketika dilanda oleh hukum-
hukum hakikat. Demikian sifat ahli hakikat. Mengenai faktor
penyebab hilangnya akal pada dirinya, dikarenakan kepeduliannya
13
(syafaqah) terhadap nasib semua kaum Muslimin. Ini derajat yang
lebih kuat dalam sikap perilakunya.
16
Toh Engkau buat keserasian dari dalam
Yang mendekatku.
Mereka bersyair lagi :
Jika telah tampak padaku
Keagungan, lalu keluar dalam tingkah orang
Yang tak dikehendaki
Maka aku berkumpul dan berpisah dengan-Nya
Sedang ketunggalan yang saling bertemu
Adalah dua dalam satu bilangan.
17
Siapa yang berupaya meninggalkan perbuatan kehinaan dengan
bahasa syariat, maka ia telah fana’ dari syahwatnya. Jika
telah fana’ dari syahwatnya, akan kekallah bangunan dirinya
serta keikhlasan dalam ubudiyahnya. Sipa yang zuhud di dunia
dengan hatinya, maka ia telah faa’ dari kesenangannya. Dan
jika telah fana’ kesenangannaya, berarti telah kekal melalui
kejujuran kembali dirinya. Barangsiapa menerapi (mengobati)
akhlaknya dari penyakit kalbu seperti dengki, angkuh, bakhil,
sangat bakhil, marah, sombong dan sebagainya dari kenakguhan
nafsu, maka berarti telah fana’ dari kebejatan akhlak. Kalau
sudah demikian, yang kekal dalam dirinya adalah
ketidakpeduliannya kepada kepentingan pribadinya (futuwwah) dan
kejujuran pada diri sendiri. Barangsiapa menyaksikan berlakunya
qudrat dalam mekanisme hukum dan aturan, maka dapat dikatakan :
Ia telah fana’ dari tanggungan perkara pertama dari makhluk.
Jika ia fana’ dari pengaruh-pengaruh imaji makhluk, maka ia
kekal bersama sifat-sifat Al-Haq. Dan siapa yang terlimpahi
kerajaan hakikat, sehingga tiada sedikitpun yang disaksikan,
baik alam kenyataan, pengaruh, rumus, atau penundaan, maka ia
telah fana’ dari makhluk, dan abadi bersama Al-Haq. Ke-fana’-
an hamba dari segala perbuatannya yang hina, dan tingkahlakunya
yang buruk, telah menghilangkan perbuatan-perbuatan seperti
itu. Ke-fana’-an mereka atas dirinya dari makhluk lainnya,
dengan cara menghilangkan rasa untuk diri sendiri dan mereka.
Kalau telah fana’ dari perbuatan, akhlak dan tingkah laku,
maka subyek ke-fana’an dari semua itu tidak boleh di-maujud-
kan.
Apabila dikatakan, “,Manusia benar-benar fana’ dari
dirinya dan dari makhluk, maka dirinya maujud dan makhluk juga
maujud, tetapi ia tidak tahu dirinya dan juga juga tidak
mereka. Tidak ada rasa maupun berita. Maka dirinya ada, dan
makhluk menjadi ada, berikutnya. Namun ia lupa dari dirinya
maupun semua makhluk, sama sekali tidak merasakan adanya
dirinya dan makhluk lainnya (karena keparipurnaan yang penuh
dalam kesibukannya terhdap sessuatu yang lebih luhur dari
semuanya.)”
Terkadang Anda melihat seseorang memasuki tempat penguasa
atau orang yang kejam, lalu orang tersebut merendahkan diri
atau merendah pada majelis di sana. Alangkah jauh jauh hati
18
itu, juga dirinya, hingga tak mungkin untuk mengatakan sesuatu.
Allah berfirman :
“Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum
kepada (keelokan)nya, dan mereka melukai jari-jari tangannya.”
(Qs. Yusuf 31).
Suatu gambaran ketika mereka sama sekali tidak menemukan
rasa sakit ketika (pertama kali menyaksikan raut muka Yusuf
a.s.). Mereka adalah wanita-wanita yang lemah, dan mereka
berkata :
“Dan mereka berkata : “Maha Sempurna Allah, ini bukanlah
manusia. Sesungguhnya ini tidak lain, hanyalah malaikat yang
mulia.” (Qs. Yusuf : 31).
Inilah kealpaan makhluk atas perilakunya sendiri ketika
bertemu dengan sesamanya. Bagaimana menurut dugaan Anda dengan
orang yang dibuka untuk menyaksikan Al-Haq? Kalaupun mereka
lupa dari rasa dalam dirinya dan orang-orang sejenisnya, maka
adakah lebih menakjubkan lagi ketimbang melihat-Nya?
Barangsiapa fana’ dari kebodohannya, yang kekal adalah
ilmunya. Siapa yang fana’ dari kesenangannya, yang kekal
adalah zuhudnya. Siapa yang fana’ dari angan-angannya, yang
kekal adalah kehendaknya. Demikian juga seluruh konotasi
kiprahnya. Apabila hamba fana’ dari sifatnya yang bisa
diingat, kemudian menaiki tahap lebih tinggi dengan fana’nya
dari melihat ke-fana’-an itu sendiri. (Inilah yang disebut
Fana’u Fana’ ). Sebagaimana digambarkan penuyair :
Ada kaum yang tersesat di padang gersang
Aa pula yang tersesat di padang cintanya
Mereka fana’, kemudian fana’ lalu fana’
Lantas mereka kekal dengan kekal dari kedekatan Tuhan-nya.
Yang pertama adalah fana’ dari dirinya, fana’ dari
sifatnya karena Baqa’-Nya Sifat-sifat Al-Haq. Kemudian
fana’nya dari sifat-sifat Al-Haq karena penyaksiannya terhadap
Al-Haq itu sendiri, kemudian fana’-nya dari melihat penyaksian
fana’, melalui keleburan dirinya dalam Wujud Al-Haq.
19
GHAIBAH DAN HUDHUR
20
Saya mendengar Abu Nashr, muadzin di Naisabur. Ia dikenal
sebagai laki-laki saleh. Ia mengisahkan, “Aku sedang membaca
Al-Qur’an di majelis Ustadz Abu Ali ad.Daqqaq di Naisabur. Dan
Ustadz sendiri sedang membahas soal haji, sampai hatiku
terpengaruh karenanya. Pada tahun ini pula aku pergi haji, dan
meninggalkan kedai serta pekerjaan. Sementara Ustadz Abu Ali
r.a. juga pergi menunaikan haji pada tahun yang sama. Ketika di
Naisabur aku menjadi pelayannya dan ikut membaca Al-Qur’an di
majelisnya. Suatu hari di desa, aku melihatnya sedang bersuci
dan lupa akan kendil bawaannya. Aku pun membawanya. Sesampai di
tempat tujuan kuletakkan di sisinya. Ia berkata, “Semoga Allah
membalas kebaikan kepadamu, ketika kamu membawa ini.” Lalu ia
menatapku dalam-dalam, seakan-akan itu sebagai tatapan
terakhir. Tiba-tiba ia berkata, “Pernah sekali, aku bertemu
denganmu, siapa kamu? Aku menjawab, “Aku adalah orang yang
memohon pertolongan kepada Allah swt, aku menyertaimu
sekedarnya, dan kutinggalkan hunianku, karenamu. Aku merasa
teputus oleh kemenangan dan waktu, ketika engkau berkata,
“Pernah sekali, aku beertemu denganmu...!”
Sedangkan Hudhur, bisa berarti, seseorang sebagai pihak
yang hadir bersama Al-Haq. Sebab ketika ia ghaib dari makhluk,
ia hadir bersama Al-Haq. Artinya, seakan-akan ia hadir, kaerna
limpahan dzikir pada yang haq di dalam kalbunya, yang berarti
ia hadir dengan kalbunya, di antara sisi Tuhannya. Dalam batas
kegaibannya dari makhluk, maka kehadirannya dikategorikan
bersama Al-Haq. Namun apabila ia gaib secara universal, maka
kehdiran tersebut menurut kegaibannya. Manakala dikatakan “ Si
Fulan hadir. Berarti, ia hadir dengan kalbunya untuk Tuhannya.
Ia tidak lupa dari-Nya dan tidak pula alpa. Lalu ia mukasyafah
dalam hudhur-nya menurut derajatnya, dengan segala makna yang
dikhusukan oleh Al-Haq kepadanya.
Kadang-kadang hudhur dikatakan, karena kembalinya hamba
pada dimensi rasa terhadap perilaku dirinya dan makhluk
lainnya. Ia kembali pada kesadaran dari kegaibannya. Ini
disebut hadir bersama makhluk. Yang pertama disebut hadir
bersama Al-Haq, dan frekuensi kegaibannya beragam. Ada yang
pendek gaibnya, adapula yang abadi.
21
Iriwayatkan bahwa Dzun Nuun mengutus salah seorang muridnya
ke Abu Yazid al-Bisthamy, untuk menyampaikan pesan agar Abu
Yazid mengubah sifatnya. Ketika murid Dzun Nuun telah sampai di
daerah Bau Yazid, ia menanyakan rumah Abu Yazid, lalu ia pun
menuju ke rumah yang dimaksud. “Apa maksud kedatanganmu?”
tanya Abu Yazid. “Aku ingin menemui Abu Yazid.” Kata orang
itu. “Siapa Abu Yazid? Di mana Abu Yazid? Aku juga sedang
mencari Abu Yazid.” Kata Abu Yazid. Orang itu pun segera pergi
berlalu sambil bergumam, “Laki-laki itu pasti gila!” Kemudian
ia kembali pulang ke rumah Dzun Nuun, mengabarkan apa yang
disaksikan. Tiba-tiba Dzun Nuun menangis, sambil berkata,
“Saudaraku Abu Yazid benar-benar telah pergi bersama mereka
yang pergi kepada Allah swt.”
27
Kehidupan orang-orang awam itu berada dalam penampakan
(tajalli), sementara cobaan mereka ada dalam ketertutupan
(sitr). Bagi orang-orang khawash, mereka selalu berada di
antara ketidak pedulian dan kehidupan nyata. Karena ketika
menampakkan diri kepada mereka, justru mereka acuh, namun
ketika mereka tertutup, mereka dikembalikan pada dunia,
sehingga mereka hidup.
Ada yang mengatakan, ketika Allah swt. berfirman kepada
Musa, “Apa yang ada pada tanganmu wahai Musa.” (Qs. Thaaha :
17), justru agar Musa tertutupi sebagian apa yang menjadi sebab
langsung yang berpengaruh akibat mukasyafah, lewat kejutan
penyimakan.
Mohon ampunan (istighfar) itu sendiri merupakan upaya
pencarian sitr. Dan ampunan (maghfirah) adalah sitr. Seakan-
akan ia mengabarkan, bahwa ia mecari str pada hatinya ketika
didatangi keperkasaan hakikat. Sebab bagi makhluk, tidak
sedikit pun ada keabadian di sisi Wujdu Al-Haq. Dalam hadis
disebutkan : “Apabila dibuka Wajah-Nya, pastilah kesucian
Wajah-Nya (Cahaya-Nya) membakar apa yang dilihat oleh
pandangannya.” (Hr. Muslim).
28
Tidak ada tambahan lagi dalam penjelasan musyahadah lebih
dari apa yang dikatakan oleh Amr bin Utsman al-Makky r.a. Arti
dari yang diucapkan, bahwa cahaya-cahaya yang melingkupi
kalbunya, tanpa adanya tutup dan faktor yang memutus di
celahnya. Sebagaimana perkiraan dalam kiltan yang bersambung.
Seperti malam yang gelap dilampaui cahaya, dan cahaya itu tidak
terputus, maka jadilah cahaya siang. Begitupun kalbu, apabila
keabadian Tajalli tampak terus menerus, akan menjadi siang yang
nikmat, tiada malam samak sekali.
Dalam syair yang mereka lantunkan :
Malamku, dengan Wajah-Mu terang benderang
Dan kegelapannya merambah manusia
Manusia berada dalam kegulitaan,
Sedang kami ada di cahaya benderang siang
An-Nury berkata : “Seorang hamba tidak sah ber-musyahadah,
sepanjang masih hidup. “Apabila subuh telah terbit, tak perlu
lagi lampu.”
DaKetika terang subuh tiba,
Beredarlah cahayanya, dengan cahayanya
Cahaya-cahaya gemerlap bintang
Cahayatertelan gelas,
Jika saja tersimpan bara karena menelannya
Terbanglah secepat-cepatnya
Gelas piala, dan gelas piala manakah yang menghancurkan dan
menyirnakan, menghanguskan mereka dari diri mereka sendiri,
sementara tak satu pun gelas piala yang mengabadikan dan
memercikan mereka. Gelas yang menghapus mereka secara
menyeluruh dan tiada menyisakan tulang belulang dari pengaruh-
pengaruh sifat-sifat kemanusiaan. Sebagaimana diucapkan :
Mereka berjalan, namun tidak tetap, tidak teratur dan tidak ada
pengaruh.
31
Buwadah adalah sesuatu yagn seketika datang mengejutkan
kalbu Anda dari dimensi ghaib, terkadang karena adanya faktor
kesukacitaan atau kedukacitaan. Sedangkan Hujum, sesuatu yang
datang pada hati dengan kekuatan waktu tanpa rekayasa dari diri
Anda.
Berbagai ragam bentuknya berbeda sesuai dengan kekuatan dan
kelemahan sesuatu yang tiba. Di antaranya ada orang yang diubah
oleh Buwadah, namun pada kesempatan berikutnya diaplikasikan
oleh Hujum. Dan diantaranya ada yang berada di atas apa yang
mengejutkannya, baiks ecara potensi maupun aktual. Mereka
adalah kaum yang dipenuhi kebajikan dan kemuliaan. Sebagaimana
dikatakan :
Jangan kau membuat petunjuk
Pengganti zaman kepada mereka
Bagi mereka ada kendali
Pada setiap Khitab yang agung
34
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka itu
tidur dan Kami balik-balikan mereka ke kanan dan ke kiri.”
(Qs. Al-Kahfi:18).
37
Cintamu adalah kebencian
Dekatmu adalah jauh
Damaimu adalah perang
Abu Husain an.Nury sebagaian murid Abu Hamzah : “Apakah
Anda salah seorang murid Abu Hamzah yang mengisyaraktkan pada
al-Qurb? Kalau Anda bertemu dengan belaiu sampaikan, bahwa Abul
Husain an-Nury berkirim salam, dan mengatakan kepadanya :
“Dekatnya dekat dalam perspektif kamia dalah setelah jauh (al-
bu’d). Jika yang dimaksud adalah dekat dengan Dzat, maka,
Allah Maha Luhur (jauh) dari segala Kedekatan seperti itu.
Karena Allah Maha Suci dari segala batas dan wilayah, pangkal
dan ukuran Allah tidak berssentuhan dengan makhluk, begitu juga
tidak terpisah dengan sesuatu yang didahului. Sefat keagungan
Shamadiyah-Nya jauh dari temu dan pisah. Dekat sebagaimana
kedekatan materi, dalah mustahil. Sedangkan dekat di sini
adalah keharusan sifat-Nya yaitu dekat melalui Ilmu dan
Pandangan. Dekat adalah kewenangan dalam Sifat-Nya, yang
dikhususkan kepada hamba yang dikehendaki-Nya, yakni dekat
dalam perspektif keutamaan melalui sifat kelembutan.
N A F A S
Nafas adalah hembusan kalbu melalui kelembutan-kelembutan
kegaiban. Orang yang memiliki nafas (ruhani), lebih lembut dan
lebih jernih dibading yang memiliki ahwal ruhani. Pemilik waktu
adalah pemula, dan pemilik nafas, adalah pangkalnya. Pemilik
tingkah kesufian (ahwal) berada di antara keduanya. Orang-orang
yang berada pada tahap awal adalah pemelihara ruh, sedangkan
pemilik nafas adalah ahli dalam rahasia-rahasia Ketuhanan.
Para Sufi berkata : “Sebaik-baik ibadat adalah menghitung
nafas (hati) bersama Allah swt.”
Mereka juga berkata : “Allah swt. menciptakan kalbu, dan
dijadikan kalbu itu sebagai tambang ma’rifat. Allah swt.
mencipta rahasia di balik kalbu, dan dijadikan sebagai tempat
tauhid. Setiap nafas yang tidak muncul dari bukti-bukti
ma’rifat dan setiap isyarat tauhid dalam bentangan kerumitan,
adalah mayat, yang pemiliknya akan dimintai pertanggung
jawaban.”
Syeikh Abu Ali ad. Daqqaq r.a. berkata : “Bagi orang
Arif” nafas tidak berserah kepadanya, karena tidak ada
toleransi yang mengalir menyertainya. Sedangkan bagi sang
pecinta, nafas adalah keharusan. Kalau tidak ada nafas,
pastilah ia akan musnah.”
39
AL-KHAWATHIR
W A R I D
SYAAHID
42
Arti asy=Syaahid adalah yang hadir (al-haadhir). Jadi
setiap yang hadir dalam hati Anda berarti yang menjadi
bukti Anda.
Asy-Syibly ditanya tentang musyahadah. Katanya, “Dari
mana kita mendapatkan musyahadah al-Haq? Padahal Allah
Yang Maha Haq menyaksikan kita.” Beliau mengisyaratkan,
dengan kata, “Allah swt. yang menyaksikan.” Dengan
menggunakan faktor dominan dalam hatinya. Dan yang dominan
pada dirinya adalah dzikir kepada Allah swt. Sedangkan
yang hadir dalam hati senantiasa juga dzikir kepada Allah
swt. Siapa pun yang memperoleh sesuatu dari sesama
makhluk, maka hatinya akan berkait. Dikatakan, “Ia
menjadi saksinya.” Artinya, hatinya hadir. Rasa cinta
mendorong seseorang untuk selalu ingat kepada sang kekasih
dan mengutamakan kekasihnya dibanding dirinya.
Sebagian Sufi sangat jeli dalam mencari akar kata asy-
Syaahid ini.
Disebutkan demikian karena bermula dari asy-Syaahid.
Seakan-akan jika melihat sosok dengan sifat-sifat
keindahannya – apabila sifat manusiawinya gugur dari
dirinya, dan tidak disibukkan oleh penyaksian pada keadaan
sosok tokoh, dan tidak pula ada pengaruh persahabatan di
dalamnya dalam satu sisi – maka ia disebut saks
“bagi”” sosok tersebut karena ke-fana’an dirinya.
Tetapi bila ada pengaruh di dalam menyertai sosok
tersebut, ia disebut sebagai saksi “atas” ssosok itu,
sedangkan dirinya masih ada, dan masih menegakkan hukum
naluri manusia, baik sebagai saksi bagi sosok atau saksi
atas sosok di atas. Dalam kontens inilah relevan dengan
sabda Nabi saw. “Aku melihat Tuhanku pada malam Mi’raj,
dalam rupa yang paling bagus. Yakni rupa paling bagus yang
kulihat malam itu. Sama sekali tidak menyakitkan diriku
untuk melihat-Nya. Bahkan aku melihat Perupa dalam rupa,
dan Kreator dalam kreasi.” (H.r. Thabrani, riwayat dari
Ubaidullah bin Au Rafi’ dan ayahnya dan dari Ibnu Abbas.
Demikian pula riwayat dari Ummu Thufail dari Mu’adz bin
‘Afra’).
43
Yang dimaksud hadits tersebut adalah penglihatan ilmu,
bukan penglihatan mata.
NAFSU
R U H
45
SI IR
Sirr juga temasuk nuansa halus dalam hati manusia,
sebgaimana arwah. Akarnya menunjukkan bahwa sirr adalah
temepat musahadah, sebagaimana arwah temWApat mahabbah.
Sedangkan kalbu tempat ma’rifat.
Para Sufi berkata: “Sirr adalah sessuatu yang membuat
Anda mulia. Sedangkan rahasia sirr, adalah sesuatu yang
tidak bisa terungkap selain Allah Yang Haq.”
Dari kesimpulan para kaum Sufi, kita memandang bahwa
sirr lebih lembut dibanding ruh. Dan ruh lebih mulia
dibanding kalbu.
Mereka berkata : “Sirr selalu merdeka dari belenggu
tipudaya, baik dari pengaruh dunia maupun kesenangan.”
Kata sirr diucapkan bagi segala hal yang terjaga dan
termasuk antara hamba dengan Allah swt. dalam ihwal
ruhani. Dalam hal ini, ucapan seseorang yang mengatakan,
“Rahasia-rahasia kami adalah keperawwanan yang masih
suci. Sedang mereka ragu,” masuk kategori ucapan sirr.
Mereka mengatakan : “Hati orang-orang merdeka, selalu
menerima rahasia-rahasia jiwa (asraar).
1. MA’RIFATULLAH
46
Ibnu Abbas’ menafsiri Illa liya’buduun dimaksudkan
adalah Illa liya’rifuuun(kecuali untuk ma’rifat kepada-Ku).
Al-Junayd berkata : “Haat hikmah
pertama yang dibutuhkan oleh hamba adalah Ma’rifat makhluk
terhadap Khalik, mengenal Sifat-sifat Pencipta dan yang tercita
bagSang makhluk merasa hina ketika dipanggil-Nya dan mengakui
kewajiban taat kepada-Nya. Barangsiapa tidak mengenal Rajanya,
maka ia tidak mengakui terhadap raja, kepada siapa kewajiban-
kewajiban harus diberikan.
Abu Thayib –Maraghy berkata : “Akal mempunyai bukti,
hikmah mempunyai isyarat, dan Ma’rifat mempunyai Syahadat.
Akal menunjukkan, hikmah mengisyaratkan, dan ma’rifat
menyaksikan; bahwa sanya kejernihan ibadat tidak akan tercapai
kecuali melalui kejernihan tauhid.”
Al-Junayd ditanya soal tauhid, jawabnya : “Menunggalkan
Yang Maha Tunggal dengan mewujudkan Wahdaniyah-Nya lewat
keparipurnaan Ahadiyah-Nya. Bahwa Dia-lah Yang Esa yang tiada
beranak dan tidak diperanakkan. Dengan kontra terhadap
antagoni, keraguan dan keserupaan tanpa upaya menyerupakan dan
bertanya bagimana, tanpa proyeksi dan pemisalan; tidak ada
sesuatu pun yang menyami-Nya. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
Abu Bakr az-Zahir Abady ditanya tentang Ma’rifat. Jawabnya
: “Ma’rifat adalah nama. Artinya, wujud pengagungan dalam
kalbu yang mencegah dirimu dari penyimpanngan dan
penyerupaan.”
2. SIFAT-SIFAT
48
terproyeksi dalam khayal Anda, maka Allah justru berbeda
dengannya.”
Al-Junayd mengatakan : “Tauhid adalah ilmu Anda, dan ikrar
Anda behwa sesungguhnya Allah swt, adalah Tunggal dalam Azali-
Nya, tak ada dua-Nya, dan tak sesuatu pun yang mengerjakan
pekerjaan-Nya.”
3. I M A N
4. R E Z E K I
51
Dan makna ma’a secara umum sebagai predikat ilmu dan
liputan. Allah swt. berfirman :
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan
Dialah yang keempat.” (Qs. Al-Mujaadilah : &).
Ibnu Syahin berkomentar : “Orang seperti Anda benar-benar
layak untuk menyampaikan petunjuk kepada ummat, mengenai Allah
swt.”
5. ARASY
52
Al-Kharraz berkata : “Hakikat mendengar adalah hilangnya
sentuhan sesuatu dari kalbu dan penenangan rasa menuju kepada
Allah swt.”
Ibrahim al-Khawwas menegaskan : “Suatu ketika secara tidak
sengaja aku mendapati seorang lai-laki yang direkadaya setan,
sehingga aku harus mengumandang adzan ke telinganya. Tiba-tiba
terdengar setan memanggilku dari lubang telinganya. “Biarkan
ia, aku akan membunuhnya, karena ia berkata : Al-Qur’an adalah
makhluk.”
Ibnu Atha’ (Washil bin Atha’ al-Mu’tazily) berkata :
“Sesungguhnya Allah swt. ketika menciptakan huruf-huruf. Dia
membuat rahasia bagi-Nya. Ketika Allah mencipta Adam as.
Diuraikan-Nya rahasia itu, dan rahasia itu tidak tersebar di
kalangan Malaikat-Nya satu pun. Kemudian hruf-huruf itu
meluncur dari lisan Adam as. Melalui struktur yang berlaku dan
struktur bahasa. Kemudian Allah menjadikan bentuk pada huruf
tersebut.”
Ibnu Atha’ menjelaskan bahwa huruf-huruf tersebut adalah
makhluk. Menurut Sahl bin Abdullah, huruf sebenarnya merupakan
ucapan perbuatan, bukan ucapan substansi (dzat). Sebab huruf
tersebut merupakan perbuatan dalam obyek yang diperbuat.
Al-Junayd menegaskan soal dua masalah urgen : “Tawakal
adalah perbuatan kalbu, dan tauhid merupakan ucapan kalbu.”
Al-Husain bin Mansur berkata : “Siapa yang mengenal
hakikat dalam tauhid, maka gugurlah pertanyaan : Mengapa dan
bagaimana.”
Al-Wasithy menegaskan bahwa, tidak ada yang lebih mulia
dari makhluk Allah ketimbang ruh.”
54
Allah juga tidak bisa dipertanyakan : Apakah Dia? Karen
Allah bukanlah jenis yang ditandai oleh sejumlah tanda
bentuknya. Dia melihat bukan dengan cara berhadapan. Dan Dia
melihat kepada selain Diri-Nya, bukan dengan penyerupaan. Dia
mencipta, tidak dengan langsung dan mencoba-coba.
Dia memiliki Asmaul Husnah dan Sifat-sifat Luhur. Dia
melakukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan memberi kehinaan
kepada hamba-Nya lewat hukum-Nya. Dalam kerajaan-Nya tidak ada
yang berjalan kecuali atas kehendak-Nya, dan tidak terjadi
dalam kerajaan-Nya melainkan yang telah didahului Qadga’. Apa
yang diketaui dari ciptaan-Nya, maka hal itu dikehendaki-Nya.
Dan apa yang diketahui sebagai sesuatu yang tidak terjadi dari
apa yang wenang. Dia berkehndak untuk tidak terjadi.
Allah adalah Pencipta rezeki hamba-hamba-Nya, kebaikan dan
keburukan rezeki itu. Allah pula yang menciptakan alam dari
materi dan submateri. Allah yang mengutus utusan untuk para
ummat bukan sebagai kewajiban bagi-Nya. Allah sebagai Dzat Yang
disembah manusia melalui lisan Para Nabi as, tidak seorang pun
berpeluang untuk mencaci dan mentang-Nya. Dan Nabi kita
Muhammad saw. ditetapkan melalui mukjizat yang nyata dan ayat-
ayat yang cemerlang, yang tidak memberi keuzuran, dan memberi
penjelasan meyakinkan serta mengenalkan mana yang mungkar.
Khulafaur Rasyidin yang menjaga kemilaunya Islam setelah wafat
Nabi saw. selanjutnya dijaga oleh generasi yang memagari
kebenaran dan penolongnya yang menjelaskan lewat hujjah agama
melalui lisan para Auliya-Nya. Umat Nabi saw. terjaga dari
kesesatan ketika melakukan “IJMA”. Dan rekayasa kebatilan
sirna melaui dalil-dalil yang ditegakkan. Semuanya dilakukan
oleh para pejuang agama, karerna firman Allah swt :
“Agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama, meskipun
orang-orang musyrik benci.” (Qs. As-Shaff : ).
PENJELASAN TENTANG
TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN “SUFI”
1. T AU B A T
55
“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-
orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (Qs. An-Nuur :
31).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik (10 H-93 H/612 M – 712 M)
dari suku Khazraj golongan Anshar. Meriwayatkan 2286 hadis.
Lahir di Madinah dan kemudian pergi ke Damaskus dan meninggal
di Bashrah), bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang tidak
berdosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa
tidak melekat pada dirinya.” (H.r. Ibnu Majah, Tirmidzi dan
Hakim).
Selanjutnya, membacakan ayat : “Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang menyucikan diri.” (Qs. Al-Baqarah : 222).
Ketika belaiau ditanya : “Waha Rasulullah, apa pertanda
bertaubat.?”, beliau menjawab : “Menyesali kesalahan.”
Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda
: “Tiada sesuatu yang dicintai oleh Allah selain pemuda yang
bertaubat.” (as-Syuyuti dalam kisah ash-Jami’ah as-Shaghir,
Jilid II, hlm. 8050, mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan
Abul Mudzaffar as-Sam’any, dari Salman. Menurut as-Suyuthy,
hadis tersebut hadis dha’if).
Oleh karena itu, taubat merupakan tingkat pertama di antara
tingkat-tingkat yang dialami oleh para Sufi dan tahapan pertama
di antara tahapan-tahapan yang dicapai oleh penempuh jalan
Allah (salik).
Makna taubat dalama Bahasa Arab adalah “Kembali”. “Ia
bertaubat” beraarti “Ia kembali”. Jadi taubat adalah kembali
dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju sesuatu yang
dipuji olehnya. Rasulullah saw. bersabda “Menyesali kesalahan
merupakan sutu taubat.” (H.r. Bukhari dan Ahmad).
Para Ahli Ushul di kalangan Ahli Sunnah mengatakan :
“Terdapat tiga syarat taubat yang musti dipenuhi agar taubat
itu sah : Menyesali pelanggaran yang telah dilakukan;
meninggalkan secara langsung penyelewengan; dan dengan mantap
56
seseorang memutuskan tidak kembali pada kemaksiatan yang
sama.”
Hadis di atas menunjukkan betapa agungnya taubat itu,
sebagaimana ketika Rasulullah saw. bersabda : “Haji adalah
Arafah”, maksudnya, adalah menyampaikan pesan bahwa bukannya
tidak ada unsur-unsur haji yang yang lain selain wukuf di
Arafah, melainkan bahwa bagian terbesar unsurnya adalah wukuf
di Arafah. Demikian pulalah maksud dari pesan yang disampaikan
Rasulullah saw. bahwa, “Menyesali kesalahan merupakan suatu
taubat.” – bahwa bagian utama taubat adalah menyesali
keselahan.”
“Menyesali kesalahan adalah cukup untuk memenuhi
persyaratan taubat.” Demikian kata mereka yang telah
melaksanakannya, karena tindakan tersebut mempunyai akibat
berupa dua persyaratan yang lain. Artinya, orang tidak mungkin
bertaubat dari suatu tindakan yang tetap dilakukan atau yang ia
mungkin bermaksud melakukannya. Inilah makna taubat secara
global.
Sebagai penjelasan lebih lanjut, kami katakan bahwa taubat
mempunyai sebab-sebab, urutan, aturan dan bagian-bagian. Sebab
langsung taubat yang pertama ialah kebangunan hati dari
kealpaan, menyadari bahwa hamba tersebut berada dalam perilaku
buruk. Ia mencapai ini dengan batuan Allah swt. terhadap
pikirannya. Ini berlangsung dengan cara mendengarkan kata hati,
lantaran sebuah hadis menyatakan : “Allah mengingatkan pada
kalbu Muslim.” Hadis yang menyatakan : “Ada segumpal daging
di dalam jasad, yang apabila ia bagus, maka keseluruhan jasad
akan bagus, dan apabila ia rusak, maka keseluruhan jasad akan
rusak. Ketahuilah, itu adalah hati.” (H.r. Bukhari-Muslim).
Apabila seseorang merenungi perbuatan-perbuatan jahatnya,
niscaya ia akan memahami tindakan-tindakan tercela yang
dilakukannya, dan keinginan untuk bertaubat akan datang ke
lubuk hatinya, bersamaan dengan tindakan menahan diri dari
tindakan-tindakan tercela tersebut. Kemudan Allah swt. akan
membantunya dalam melaksanakan niatnya yang kukuh ini, dalam
menempuh jalan kembali menuju kebaikan.
57
Cara bertaubat pertama adalah, memisahkan diri dari orang-
orang yang berbuat jahat, karena mereka akan mendorong untuk
mengingkari tujuan ini, dan keraguan atas kelurusan niat yang
telah teguh. Dan hal ini tidak akan lengkap kecuali dibarengi
keteguhan dalam bersyahadat, secara terus menerus, dan
dibarengi motif-motif yang mendorong pelaksanaan ketetapan
dalam hati, yang darinya dapat memperkuat rasa khauf dan
raja’. Selanjutnya, tindakan-tindakan tercela, yang membentuk
simpul kebandelan dalam hati akan mengendor, ia akan
menghentikan perbuatan-perbuatan yang terlarang, dan kendali
diri akan terjaga dari memperturutkan hawa nafsu. Kemudian, ia
harus segera meninggalkan dosanya dan berketetapan hati untuk
tidak kembali ke dosa-dosa serupa di masa mendatang. Apabila
terus bertindak sesuai dengan tujuan yang selaras dengan
kehendaknya ini, berarti bahwa ia telah dianugerahi rasa aman
yang sebenarnya.
Apabila sekali waktu meredup dan hasratnya mendorong untuk
melakukan penyelewengan kembali, suatu hal yang mungkin
seringkali terjadi, kita harus tetap berharap orang seperti itu
akan bertaubat lagi karena : “Bagi tiap-tiap masa ada
ketentuannya.” (Qs. Ar.Ra’ad : 38).
Abu Sulaiman ad-Darany mengtakan : “Aku seringkali
mengunjungi majelis seorang ahli kisah, kemudia kata-katanya
membekas di kalbu. Tetapi, ketika aku pulang, kata-katanya itu
pun lenyap. Aku menghadiri majelis untuk kedua kalinay,
mendengar uacapnnay dan membekas di kalbu, lalu hingga di jalan
aku lupa kembali. Bahkan aku pun hadir di majelisnya untuk yang
ketiga kalinya, berulah kata-katanya membekas hingga di rumah.
Selnjutnya kuhancurkan segala peralatan yang mengarah pada dosa
dan aku meneguhi Jalan. Setelah itu, kisah ini kusampaikan
kepada Yahya bin Mu’adz, sembari memberi komentar atas kisah
ini. :”Seekor burung pipit mengkap seekor burung gbangau :
“Dengan burung pipit yang dimaksudkannya adalah si pengisah
itu dan burung bangau adalah Abu Sulaiman ad-Darany sendiri.
Abu Hafs al Haddad mengatakan : “Aku meninggalkan suatu
perbuatan tercela, lalu kembali padanya. Kemudain perbuatan itu
meninggalkanku, dan sesudah itu aku tidak kembali lagi
padanya.”
58
Abu Amr bin Nujayd pada awal perjalanan spiritualnya,
seringkali mengunjungi majelis Abu Utsman. Kata-kata Abu
Utsmman amat berkesan di dalam hatinya, hingga membuatnya
bertaubat. Selanjutnya ia mendapat cobaan. Ia meninggalkan Abu
Utsman, dengan mengundurkan diri dari majelisnya. Pada suatu
hari ketika Abu Utsman berpapasan dengannya, Abu Amr segera
berpaling dan mengambil jalan lain. Abu Utsman mengikutinya,
berjalan di belakangnya, seraya berkata : “Wahai anakku,
jangan menjadi sahabat orang yang tidak mencintaimu, kecuali ia
seorang yang bersih dari dosa! Hanya Abu Utsman yang mau
membantumu dalam keadaanmu seperti sekarang ini.” Selanjutnya
Abu Amr bertaubat dan kembali sebagai murid setia.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. mengatakan : “Salah seorang
murid bertaubat, kemudian menerima cobaan. Ia bertanya dalam
hati, ‘Jika aku bertaubat, bagaimana hukuman atas diriku
nanti?’ Maka terdengarlah bisikan dalam jiwanya, “Hai Fulan,
engkau taat kepada kami, lalu Kami terima syukurmu, kemudian
engkau tinggalkan Kami, maka Kami biarkan saja dirimu. Bila
engkau kembali kepada Kami, pasti Kami terima.” Akhirnya si
pemuda itu pun bertaubat, kembali ke cita-cita semula.”
Apabila ia meninggalkan kemaksiatan dan melepaskan diri
dari ikatan kebandelan dalam hati, lalu bertekad untuk tidak
kembali pada perbuatan odsa, maka pada saat itulah taubat
sejati menyeleusup ke lubuk hati. Ia menyesali terhadap segala
sesuatu seperti telah dilakukannya, menjauhi tindakan-tindakan
tercela, sehingga taubatnya sempurna, mujahadahnya haq, dan
diganti dengan upaya uzlah. Ia menghindari sekawanan orang-
orang yang jahat lewat kahlwat, ia bekerja sepanjag siang dan
malam dalam keadaan sengsara, dan bertaubat dalam situasi
bagaimanapun, menghapus jejak-jejak dosanya dengan linangan air
mata, dan mengobati hati dengan taubatnya. Ia dikenal di antara
sejawatnya karena kesintingannya, namun kurus-kering tubuhnya
memberikan kesaksian kengenai kewarasannya.
Tahap Tahap pertama pertaubatana seseorang adalah
menghadapi iri hati para musuhnya sebisa mungkin, dengan
harapan nahwa yang dimilikinya cukup untuk memenuhi hak-hak
mereka atau bahwa mereka sepakat untuk meninggalkan klaim yang
bekenaan dengan dirinya dan bersedia menerimanya. Dan apabila
59
harapannya tidak terpenuhi, ia harus menerima klaim-klaim
mereka, dan kembali kepada Allah swt. dengan penuh kejujuran,
disamping itu juga mendoakan mereka.
Saya mendengar Ustadz Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Taubat
dibagi menjadi tiga tahap, tahap awal adalah taubat (tawbah),
tahap tengah adalah kembali (inabah) dan ketiga awbah.” Ia
menempatkan tawabh di awal, awbah di akhir, dan inabah di
antara keduanya.
Barangsiapa bertaubat karena takut siksa, maka ia tergolong
orang yang taubat. Siapa pun yang bertaubat karena ingin
mendapatkan pahala Ilahi, berada dalam keadaan inabah. Siapa
pun yang bertaubat lantaran mematuhi printah Ilahi, bukan
karena ingin mendapatkan pahala maupun takut akan hukuman,
berada dalam keadaan awbah.
Juga dikatakan, taubat adalah sifat kaum Mukminin.” Allah
swt. berfirman : “Ia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia
amat taat (kepada Tuhannya).” (Qs. Shaad:30).
Inabah adalah sifat para Auliya’ dan Muqarrabun. Allah
swt. berfirman : “Ia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia
amatlah taat (kepada-Nya).” (Qs. Shaad : 44).
Al-Junayd berkata : “Taubat itu mempunyai tiga makna.
Pertama, menyesali kesalahan; kedua, berketatapan hati untuk
tidak kembali pada apa yang telah dilarang Allah swt.; dan
ketiga adalah menyelesaikan/membela orang yang teraniaya.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Taubat adalah menghentikan
sikap suka menunda-nunda.”
Al-Junayd berkunjung kepada as=Sary pada suatu hari, dan
mendapatinya sedang kebingungan. Ia bertanya : “Apa yang telah
terjadi atas dirimu?” As-Sary menjawab : “Aku bertemu dengan
seorang pemuda, dan ia bertanya tentang taubat kepadaku.
Kukatakan kepadanya. “Taubat adalah bahwa engkau tidak
melupakan dosa-dosamu.” Lantas ia menyanggahnya dengan
mengatakan, ‘Taubat adalah justru engkau benar-benar melupakan
dosa-dosamu.” Al-Junayd menjawab, “Karena apabila aku berada
dalam kondisi kering, lantas aku dipindahkan ke kondisi dingin,
60
maka menyebut masa kering di masa dingin, adalah kekeringan itu
sendiri.” Dan akhirnya as-Sary pun terdiam.
Abu Nashr as-Sarraj dilaporkan mengatakan : “Sahl sedang
memberitahukan kondisi ruhani murid-murid dan pendatang baru,
yang terus menerus berubah. Al-Junayd merujuk taubatnya orang-
orang yang telah mencapai kebenaran, yang tidak ingat akan
dosa-dosa mereka lagi karena keagungan Allah Swt. yang telah
meluapi hati mereka, dan senantiasa mengingat (dzikr) kepada-
Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry memberi komentar : “Taubat kalangan
awam adalah taubat dari dosa, dan taubat kaum kahwash adalah
taubat dari kealpaan.”
Abul Husain an-Nury mengatakan : “Taubat adalah bahwa
engkau berpaling dari segala sesuatu selain Allah swt.”
Abdullah bin Ali bin Muhammad al-Tamimi mengatakan :
“Betapa besar perbedaan antara orang yang bertaubat dari dosa,
orang yang bertaubat dari kealpaan, dan orang yang bertaubat
dari kesadaran akan perbuatan baiknya sendiri.”
Al-Wasithy berkata : “Taubat sejati adalah taubat yang
tidak menisakan pengaruh maksiat, baik secara batin maupun
lahir.”
Yahya bin Mu’adz berdoa, “ahai Tuhanku, aku tidak akan
mengatakan, “Aku telah bertaubat” dan aku tidak kembali
kepada-Mu hanya karena sesuatu yang menurutku adalah
kecenderunganku, aku tidak bersumpah bahwa aku tidak aka
berbuat dosa lagi, karena aku mengetahui kelemahanku sendiri.”
Dzun Nuun berkata : “Permohonan ampun yang diajukan dengan
tidak disertai pencabutan dosa adalah taubat para pendusta.”
Ketika al-Busyanjy ditanya soal taubat, ia menjawab :
“Ketika dirimu ingat dosa, lantas tidak engkau temui manisnya
ketika mengingatnya, itulah taubat.”
Dzun Nuun mengatakan : “Esensi taubat adalah bahwa bumi
ini terlalu sempit bagimu meskipun ia luas sehinngga engkau
tidak menjumpai tempat untuk beristirahat. Lalu engkau
merasakan jiwamu terhimpit, karena Allah swt. telah menyatakan
61
di dalam Kitab-Nya, “Dan jiwa mereka pun telah sempit (pula
terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak
ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.
Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam
taubatnya.” (Qs. At-Taubah :118).
Ibnu Atha’ berkata: “Terdapat dua jenis taubat : Inabah
(kembali) dan istijabah (menjawab atau memenuhi). Dalam inabah
sang hamba bertaubat karena takut akan hukuman; dalam istijabah
ia bertaubat karena malu akan kemurahan-Nya.”
Abu Hafs ditanya : “Mengapa orang yang bertaubat membenci
dunia?” Ia menjawab : “Karena ia merupakan tempat di mana
dosa-dosa dikejar.” Dan dikatakan kepadanya : “Ia juga tempat
tinggal yang dijunjung tinggi oleh Allah karena taubat.”
Dikatakannya pula, “Sungguh dunia termasuk bagian dosa dengan
amat yakin, tetapi mendapatkan bahaya dari penerimaan atas
taubatnya.”
Sebagian kalangan Sufi mengatakan : “Taubat para pendusta
berada di bibirnya, karena mereka hanya membatasi ucapannya
pada Astaghfirullah.”
Diriwayatkan bahwa Allah swt. berfirman kepada Adam :
“Wahai Adam, Aku telah mewariskan kepada anak cucumu beban dan
penderitaan. Aku menjawab salah seorang di antara mereka, yang
berdoa dengan sungguh-sungguh kepada-Ku, persis sebagaimana Aku
menjawabmu. Wahai Adam, Aku akan membangkitkan orang-orang yang
bertaubat dari kubur-kubur mereka dalam keadaan gembira; doa
mereka akan Kujawab.”
Seseorang bertanya kepada Rabi’ah Adawiyah : “Aku telah
sering berbuat dosa dan menjadi semakin tidak taat. Tetapi,
apabila aku bertaubat, akankah Dia mengampuninya?” Dijawab
oleh Rabi’ah, “Tidak. Tetapi apabila Dia mengampunimu, maka
engkau akan bertaubat.”
Ketahuilah bahwa Allah swt. berfirman : “Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-
orang yang menyucikan diri.” (Qs. Al-Baqarah :222). Orang yang
membiarkan dirinya larut dalam kesalahan, benar-benar identik
dengan menggelincirkan diri sendiri. Tetapi apabila ia
bertaubat, niscaya penerimaan taubatnya oleh Tuhan diragukan,
62
terutama karena kecintaan Tuhan kepadanya adalah satu syarat
bagi penerimaan itu. Dan itu bakal terjadi pada suatu waktu
sebelum si pendosa sampai pada satu titik dimana ia menjumpai
tanda-tanda kecintaan Allah kepada dirinya dalam sifatnya.
Tugas hamba tersebut, ketika mengetahui bahwa dirinya telah
melakukan suatu tindakan yang mengharuskan taubat, ialah
bertaubat secara sungguh-sungguh, dengan menolak secara gigih
perbuatan odsa dan memohon ampunan, sebagaimana tertuang dalam
ucapan mereka, “Seperti kesadaran akan rasa takut menjelang
ajal.”
Firman Allah swt. “Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.” (Qs. Ali Imran : 31).
Di antara Sunnah Nabi saw. adalah beristighfar terus
menerus.
Beliau bersabda :
“Hatiku terasa dahaga, oleh karena itu aku memohon ampunan
Allah tujuhpuluh kali dalam sehari.” (Hr. Muslim dan Abu
Dawud).
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Satu penyelewengan saja
sesudah bertaubat lebih buruk ketimbang tujuhpuluh
penyelewengan sebelum bertaubat.”
Abu Utsman berkata : “Akan halnya firman-Nya : “Kepada-
Nya-lah mereka dikembalikan.” (Qs. Al-An’am :36), maknanya
jika mereka bebas berkeliaran melakukan perbuatan dosa.”
63
mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri, lalu pergi ke
Mekkah, dan menetaplah ia dikota suci itu.
2. MUJAHADAH
68
Masuk Islam tahun 7 H. Dan senantiasa mendampingi Nabi saw.
serta meriwayatkan 5.374 hadits), Bahwa Nabi saw. besabda :
“Di antara cara-cara terbaik bagi manusia dalam mencari
penghidupan adalah seseorang mengendarai kuda di jalan Allah,
dan apa bila ia mendengar suara manusia-manusia yang panik atau
ketakutan dalam peperangan, ia memacu kudanya mencari mati
syahid atau kemenangan di medan jihad; atau seseorang
menggembalakan biri-biri dan kambing-kambingnya di puncak
gunung atau di kedalamanan lembah, namum tetap mendirikan
shalat, membayarkan zakat, dan beribadat kepada Tuhan sampai
datang suatu keyakinan. Tidak ada urusan dengan sesama manusia
kecuali didasarkan pada kebaikan.” (H.r. Muslim).
Menyendiri dari pengaruh duniawi (khalwat) adalah sifat
orang-orang suci. Sedangkan mengasingkan diri (‘uzla) adalah
lambang orang yang ber-wushul kepada-Nya. Memisahkan diri dari
manusia sangat diperlukan bagi murid pada awal kondisi
ruhaninya, dan selnjutnya mengasingkan diri pada akhir kondisi
ruhani, karena telah mencapai keakraban sukacita ruhani. Sikap
seorang yang layak ketika memutuskan untuk memisahkan diri dari
manusia adalah meyakini bahwa masyarakat akan terhindar dari
kejahatannya (dengan tindakannya memisahkan diri dari mereka),
bukan bahwa ia akan terhindar dari kejahatan mereka. Sikap
pertama adalah hasil dari seseorang yang memandang rendah
dirinya sendiri; sikap kedua adalah akibat seseorang merasa
bahwa dirinya lebih baik dari masyarakat. Orang yang
mengganggap dirinya tiak berharga adalah rendah hati, dan orang
yang menganggap dirinya lebih bergarga ketimbang orang lain
adalah takabur.
Seseorang melihat seorang rahib dan berkata kepadanya :
“Anda seorang rahib.” Ia menjawab : “Bukan, aku adalah
anjing penjaga. Jiwaku adalah seekor anjing yang menyerang
ummat manusia. Aku telah menjauhkannya dari mereka supaya
mereka aman.”
Seseorang lewat di hadapan syeikh yang shaleh. Sementara
syeikh itu bergegas merapatkan jubahnya supaya tidak
bersentuhan dengan pakaian orang tersebut. Orang tersebut
bertanya : “Mengapa Anda menarik jubah Anda?” Pakaian saya
tidak kotor.” Sang Syeikh menjawab : “Dugaan Anda salah. Saya
69
menarik jubah supaya tidak menyentuh pakaian Anda karena jubah
saya kotor, kalau tidak, jubah saya pasti mengotori pakaian
Anda. Jadi bukan karena saya bermaksud menjaga jubah saya
supaya tidak kotor.”
Untuk dapat ber-Uzlah dengan tepat, seseorang harus
mempunyai pengetahuan agama untuk memantapkan tauhidnya, agar
setan tidak menggodanya dengan bisikan-bisikannya. Ia juga
harus mempunyai pengetahuan yang dapat diperolehnya dari
syariat – tentang kewajibannya, sgar segala urusannya berada
di atas dasar yang kokoh. Sesungguhnya, ‘uzlah adalah menjauhi
sifat-sifat hina, mengubah sifat-sifat hina tersebut, bukannya
amenjauhkan diri lewat jarak tempat. Itulah sebabnya mengapa
lahir pertanyaan : “Siapakah orang ‘arif itu?” Mereka
menjawab : “Orang yang ada dan yang jelas, yakni ada bersama
makhluk, jelas namun jauh dari mereka lewt rahasianya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Aku memakai
pakaian sebagaimana orang banyak memakaianya, makan makanan
yang seperti mereka makan. Namun aku menyendiri dari mereka
dalam rahasia.” Saya mendengar ia berkata : “Ada orang yang
datang kepadaku dan bertanya, ‘engkau datang dari jarak yang
jauh?” saya menjawabnya, ‘Pembicaraan ini bukannya peristiwa
bepergian dengan jarak dan ukuran perjalanan.Berpisahlah dari
diri Anda sendiri dalam satu langkah saja, dan Anda pasti
mencapai tujuan Anda.”
Abu Yazid mengatakan : “Aku melihat Tuhan dalam mimpi,
lalu aku bertanya : “Bagaimana aku musti menjumpai-Mu?” Tuhan
menjawab : “Tinggalkan dirimu dan kemarilah.”
Abu Utsman al-Maghriby berkomentar : “Adalah wajar bagi
seseorang yang memutuskan memisahkan diri dari kesertaan
bersama sesamanya supaya bebas dari segala jenis pengingatan,
kecuali pengingatan kepada Tuhan, terbebas dari semua hawa
nafsu kecuali keinginan mencari ridha Tuhan, dan terbebas dari
tuntutan diri akan segala sebab duniawi. Apabila tidak
demikian, maka tindakannya berkhalwat hanya akan melemparkannya
ke dalam cobaan atau petaka.”
Dikatakan bahwa sendiri dalam khalwat sangat dekat pada
ketenangan jiwa.
Seseoarng mengunjungi Abu Bakr al-Warraq, dan sewaktu akan
pulang, ia berkata : “Saya telah menemukan yang terbaik dari
70
dunia dan akhirat dalam khalwat dan kemiskinan, dan saya telah
menemukan yang terjelek dari keduanya (dunia dan akhirat) dalam
pergaulan dengan manusia dan kemewahan.
Ditanya tentang ‘uzlah, Abu Muhammad al-Jurairy menjawab :
“’Uzlah adalah Anda masuk ke dalam kumpulan orang banyak
sambil menjaga batin Anda supaya tidak diharu-biru oleh mereka.
Anda menjauhkan diri dari dosa-dossa, dan batin Anda
berhubungan dengan al-Haq.”
Ada yagn mengatakan : “Siapa pun memlih ‘Uzlah akan
mencapai kemuliannya.”
Sahl mengatakan : “Khalwat tidak sah, kecuali dengan
memakan makanan haalal, dan memakan makanan halal tidak
sempurna kecuali menunaikan Hak Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Aku tidak menemukan
sesuatu hal pun yang lebih baik yang dapat melahirkan
keikhlasan selain kahlwat.”
Abu Abdullah ar-Ramly bekata : “Gantilah sahabat Anda
dengan khalwat, makanan Anda adalah lapar, dan ucapan Anda
menjadi munajat. Maka Anda akan mati atau mencapai Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Orang yang
menyembunyikan dirinya dari sesama manusia melalui khalwat
tidaklah seperti orang yang menyembunyikan dirinya dari
sesamanya melalui Tuhan.”
Al-Junayd berkata : “Kesulitan dalam ‘uzlah lebih mudah
diatasi ketimbang kesenangan berada bersama orang lain.”
Makhul asy-Syaami mengatakan : “Memang bergaul dengan sesama
manusia ada baiknya, tetapi ada rasa aman dalam ‘uzlah.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Keheningan adalah sahabat
orang jujur.”
Abu Bakr asy-Syibly selalu mengatakan : “Rusak ... rusak,
wahai sahabt!” Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Abu
Bakr, apa pertanda kerusakan?” Ia menjawab : “Satu dari
sekian kerusakan adalah berakrab-akrab dengan orang banyak.”
Yahya bin Abu Katsir berkata : “Barangsiapa bergaul dengan
orang banyak haruslah menyenangkan hati mereka, dan barangsiapa
menyenangkan hati mereka, berarti telah bertindak munafik.”
Sa’id bin Harb mengatakan : “Aku berangkat menemui Malik
Bin Mas’ud di Kufah, dan ia sendirian di dalam rumahnya. Aku
bertanya, “Apakah Anda tidak merasa takut sendirian?” Ia
menjawab : “Aku tidak menganggap bahwa seseorang yang bersama
Allah swt. adalah ketakutan.”
Al-Junayd berkata : “Barangsiapa menginginkan agamanya
sehat dan raga serta jiwanya tenteram, lebih baik ia memisahkan
71
diri dari orang banyak. Sesungguhnya zaman yang penuh
ketakutan, dan orang yang bijak adalah yang memiliki
kesendiriannya.”
Abu Ya’qub as-Susy mengatakan : “Hanya orang-orang yang
sangat kuat sajalah yang harus menyendiri. Akan halnya orang-
orang seperti kita, bergaul dengan orang banyak lebih
menguntungkan.”
Asy-Syibly memerintah Abu Abbas ad-Dimaghani demikian :
“Praktikkan kesendirian dan hapuslah nama Anda dari khalayak,
hadapkan muka Anda ke dinding sampai Anda meninggal dunia.”
Seseorang menemui Syu’aib bin Harb, yang bertanya :
“Mengapa Anda ke sini?” Orang tersebut menjawab : “Wahai
sahabatku! Sesungguhnya ibadat tidaklah lestari lewat bergabung
dengan yang lain. Seseorang yang belum menjalin kemesraan
dengan Allah swt. tidak akan menjadi mesra dengan apa-pun.”
Seseorang ditanya : “Hal mengagumkan apakah yang telah
Anda temukan dalam perjalanan Anda?” Ia menjawab : “AlKhidhr
menjumpaiku dan ia ingin menyertaiku. Aku khawatir ia
mengacaukan tawakalku kepada Allah swt.”
Salah seorang Sufi ditanya : “Adakah seseorang atau
sesuatu di tempat ini yang dengannya Anda merasa akrab?” Ia
menjawab : “Ada”. Dengan meletakkan Al-Qur’an di atas
pangkuannya, ia menjawab : “Ini”, Berkenaan makna ucapannya
itu, para Sufi membacakan baris-baris berikut :
Buku-bukumu di sekitarku
Tidak meningglakan tempat tidurku
Di dalamnya terdapat obat pelipur
Bagi sakit yang kusembunyikan.
Salah seorang Sufi ditanya Dzun Nuun al-Mishry : “Kapan
‘uzlah yang tepat bagi diriku?” Ia menjawab : “Ketika Anda
sanggup memisahkan diri Anda dari diri Anda sndiri.”
Ditanyakan kepada Ibnul Mubarak : “Apakah obat bagi hati yang
sakit?” Ia menjawab : “Berjumpa dengan sesama manusia
sejarang mungkin.”
Dikatakan : “Apabila Tuhan hendak memindahkan hamba-Nya
dari kehinaan kekafiran menuju kemuliaan ketaatan, Dia
menjadikannya intim dengan kesendirian, kaya dalam
kesederhanaan, dan mampu melihat kekurangan dirinya.
Barangsiapa telah dianugerahi semua ini berarti telah
mendapatkan yang terbaik dari dunia dan akhirat.”
4. T A Q W A
72
Allah berfirman :
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.”
(Qs. Al-Hujarat :13).
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id ak-Khudry, bahwa seseorang
menghadap Nabi saw. dan berkata : “Wahai Rasulullah,
nsehatilah saya!.” Beliau menjawab :
“Engkau harus mempunyai ketakwaan kepada Allah, karena
ketakwaan adalah kumpulan seluruh kebaikan. Engkau harus
melaksanakan jihad, karena jihad adalah kerahiban kaum
Muslimin. Dan engkau harus dzikir kepada Allah, karena dzikir
adalah cahaya bagimu.” (H.r. Ibnu Dharies, dari Abu Said).
Anas r.a. meriwayatkan, seseorang bertanya kepada
rasulullah saw. “Siaakah keluarga Muhammad?” Beliau menjawab
“Setiap orang yang takwa.”
Takwa merupakan kumpulan seluruh kebaikan, dan hakikatnya
adalah seseorang melindungi dirinya dari hukum Tuhan dengan
ketundukan kepada-Nya. Asal-Usul taqwa adalah menjaga dari
syirik, dosa dan kejahatan, dan hal-hal yang meragukan
(syubhat), serta kemudian meninggalkan hal-hal utama (yang
menyenangkan).
Menurut Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. masing-masing bagian
tersebut memiliki bab tersendiri. Dan dinyatakan di dalam
tafsir menganei firman Allah swt. “Bertakwalah kepada Allah
dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (Qs. Ali Imran : 102),
ayat ini mempunyai makna bahwa Dia harus dipatuhi dan tidak
ditentang, diingat dan tidak dilupakan, dan bahwa kita harus
bersyukur kepada-Nya, dan tidak mengufuri-Nya.
Sahl bin Abdullah menegaskan : “Tiada penolong sejati
selain Allah; tidak satu pun pembimbing yang sebenarnya selain
Utusan Allah; tak satu pun perbekalan yang mencukupi selain
takwa, dan tidak satu pun amal yang langgeng keteguhannya
selain bersabar.
Al-Jurairy mengatakan : “Dunia dibagi secara adil sesuai
dengan cobaan, dan akhirat dibagi secara adil sesuai dengan
takwa.”
AL-Jurairy mengatakan : “Orang yang belum menjadikan taqwa
dan muraqabah sebagai hakim, antara dirinya dan Tuhan tidak
akan memperoleh musyafah dan musyahadah.”
An-Nashr Abadzy menjelaskan : “Taqwa adalah bahwa hamba
waspada terhadap segala sesuatu selain Allah swt. Barangsiapa
menginginkan takwa yang sempurna, hendaknya menghindari setiap
dosa. Siapa pun yang teguh dalam taqwa akan merindukan
73
pepisahan dengan dunia, karena Allah swt berfirman : “Dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya.” (Qs. Al-An’am :
32).
Sebagian Sufi berkata : “Tuhan menjadikan berpaling dari
dunia dengan mudah bagi orang yang benar-benar bertaqwa.” Abu
Abdullah ar-Rudzbary mengatakan : “Takwa adalah menghindarkan
diri dari segala sesuatu yang menjadikan diri jauh dari Allah
swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Orang yang bertakwa
kepada Allah adalah orang yang tidak menodai aspek lahirian
dirinya dengan sikap keras kepala, tidak pula aspek batiniahnya
dengan alamat-alamat keruhanian. Ia berdiri di sisi Allah dalam
keadaan selaras.”
Abul Hasan al-Farisy berkata : “Takwa mempunyai dimensi
lahir dan batin. Dimensi lahir adalah pelaksanaan syariah, dan
aspek batinnya adalah niat dan mujahadah.”
Dzun Nuun membacakan baris-baris sejak berikut :
Tak ada kehiduan
Selain bersama mereka
Yang hatinya mendambakan takwa
Dan yang istirahat dalam dzikir
Tentram dalam ruh keyakinan
Seperti anak menyusu di pangkuan ibunya.
Dikatakan : “Takwa seseorang ditandai oleh tiga sikap yang
baik : Tawakal terhadap apa yang belum dianugerahkan, berpuasa
diri dengan apa yang telah dianugerahkan, dan bersabar dalam
menghadapi milik yang hilang.”
Thalq bin Habib menjelaskan : “Takwa adalah bertindak
sesuai dengan ketundukan kepada Allah sesuai dengan cahaya
Allah swt.”
Abu Hafs mengatakan : “Takwa adalah sikap seseorang
membatasi dirinya terhdap hal-hal yang jelas diperbolehkan,
hanya itu.”
Abu Husyn az-Zanjany mengatakan : “Barangsiapa yang modal
hartanya adalah takwa, ia akan lelah menghitung labanya.”
Al-Wasithy menegaskan : “Takwa adalah sikap seseorang
menjauhi ketakwaannya; artinya menghindari kesadaran akan
taqwa. Contoh orang yang bertakwa adalah Ibnu Sirin. Suatu saat
Ibnu Sirin membeli empat puluh kaleng mentega. Ketika salah
seorang membantunya menyingkirkan seekor tikus dari salah satu
gucinya, Ibnu Sirin bertanya kepadanya, “Guci mana yang
darinya tikus itu kamu singkirkan? Ia menjawab : “Saya tidak
74
tau! Selanjutnya Ibnu Sirin memutuskan mengosongkan semua guci
dengan menuang seluruh mentega ke atas tanah. Contoh orang
saleh adalah Abu Yazid al-Bisthamy. Pada suatu hari ia membeli
kunyit jingga di Hamadhan. Ia menjumpai hanya sedikit kunyit-
jingga, dan ketika kembali ke Bistham, ditemukannya dua ekor
semut di kunyit tersebut. Maka, ia kembali ke Hamadhan dan
melepaskan kedua semut itu.”
Abu hanifah tidak pernah mau berteduh di bawah kerindangan
pohon milik orang yang gberhutang kepadanya. Ia menjelaskan,
“sebuah hadits menyatakan :
“Setia hutang yang pengembaliannya disertai kelebihan
adalah riba” (Riwayat al-Ajluni, namun as-Suyuti menganggap
hadits ini dha’if).
Abu Yazid sedang mencuci jubah di luar kota bersama seorang
sahabat, ketika sahabatnya berkata : “Kita jemur jubah di
dinding pagar kebun buah itu.” Abu Yazid menjawab : “Jangan
menancapkan paku di dinding orang.!” Sahabatnya menyarankan :
“Jemur saja di atas pohon.” Abu Yazid menjawab : “Aku
khawatir ia akan menyebabkan cabang-cabangnya patah.” Ia
berkata : “Bentangkanlah ia di atas rerumputan!” Abu Yazid
menjawab : “Rerumputan itu makanan hewan ternak. Jangan kita
menutupi dengan jubah ini!>” Selanjutnya, ia menghadapkan
punggungnya hingga satu sisi jubahnya mengering, lantas
membalik sisi yang lain hingga mengering pula.
Dikisahkan, pada suatu hari Abu Yazid memasuki masjid dan
menancapkan tongkatnya ke tanah. Tongkat itu roboh dan menimpa
tongkat seseorang yang berusisa lanjut, yang juga
menancapkannya di tanah, dan menyebabkan tongkat orang tersebut
roboh. Orang tua itu membungkuk, lalu mengambil tongkatnya. Abu
Yazid pergi ke rumah orang tua tersebut dan minta maaf
kepadanya, dengan mengatakan : “Anda tentu merasa terganggu
disebebkan oleh kelalaian saya, ketika Anda
terpaksa membungkuk.
Utbah al-Ghulam tampak bercucuran keringat di musim dingin.
Ketika orang-orang di sekitarnya menanyakan hal itu kepadanya,
ia memberikan penjelasan. “Ini adalah tempat di mana aku telah
bermaksiat kepada Allah swt.” Ketika diminta memberikan
penjelasan lebih lanjut, ia mengatakan : “Aku mengambil
sebongkah lempung dari dinding ini, supaya tamuku dapat
membersihkan tangan dengannya, tetapi aku tidak meminta izin
terlebih dahulu kepada pemilik dinding ini.”
Ibrahim bin Adham berkaa : “Pada suatu malam aku menggisi
waktu di bawah kubah Masjid Kubah Batu Karang di Baitul Maqdis.
75
Di tengah malam sepi turun dua malaikat. Malaikat pertama
bertanya kepada sahabatnya : “Siapakah orang yang berdiam di
sini? Sahabatnya menjawab : “Ibrahim bin Adham.” Malaikat
pertama itu berkata : “Inilah orang yang derajatnya telah
diturunkan Allah swt. satu tingkat! Maka, Malaikat ke dua
bertanya : “Mengapa? Ia menjawab : “Karena ketika ia membeli
sedikit kurma di Nashrah, sebutir kurma bercampur menjadi satu
dengan kurma yang dibelinya, ia tidak mengembalikan kepada
pemiliknya.”
Kemudia Ibrahim melaporkan : “Aku berangkat ke Bashrah,
membeli kurma dari orang tersebut, dan menjatuhkan se butir
kurma ke dalam kurma-kurma miliknya. Aku kembali ke Yerusalem
dan dan mengisi malam hariku di Masjid Kubah Batu Karang.
Ketika sebagian malam berlalu, aku melihat dua malaikat turun
dari langit, dan malaikat yang satu bertanya kepada
sahabatnya : “Siapakah orang yang berdiam di sini? Sahabatnya
menjawab : “Ibrahim bin Adham.” Malaikat yang bertanya
berkata lagi : “Ini adalah orang yang telah dikembalikan dan
dinaikan derajatnya oleh Allah swt.”
Dikatakan bahwa takwa mempunyai bermacam-macam aspek; bagi
kaum awam taqwa adalah menghindari syirik, bagi kaum terpilih
(khawash) adalah menghindari dosa-dosa, bagi para auliya’
adalah menghindari ketergantungan pada amal, dan bagi para Nabi
menghindari menisbatkan amal kepada selain Allah swt. Sebab
taqwa mereka datang dari-Nya dan kembali kepada-Nya.
Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a. berkata : “Kaum
termulia di dalam dunia adalah kaum dermawan dan yang paling
mulia di akhirat adalah kaum yang taqwa.”
Diriwayatkan oleh Abu Umamah, bahwa Nabi. Saw. menegaskan :
“Apabila seseorang menatap kecantikan seorang wanita dan
kemudian menundukkan matanya setelah tatapan pertama, maka
Allah menjadikan tindakannya itu suatu ibadat yang rasa
manisnya dirasakan oleh hati orang yang melakukannya.” (Hr.
Ahmad dalam Musnad-nya).
Al-Junayd sedang duduk-duduk bersama Ruwaym, Al-Jurairy dan
Ibnu Atha’. Al-Junayd berkata : “Seseorrang tidak akan
selamat kecuali bila berlindung secara ikhlas kepada Allah.”
Allah swt. berfirman : “Dan terhadap tiga orang yang tidak
ikut serta (berjihad), hingga ketika bumi telah menjadi sempit
bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah
sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui
bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan
kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar
76
mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
tobat lagi Maha Penyayang.” (Qs. At-Taubah :118).
“Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa kaena
kemenagan mereka, mereka tiada disentuh oleh azab (neraka dan
tidak pula) mereka berduka cita.” (Qs. Az-Zumar :61).
Al-Jurairy berkata : “Seseorang akan selamat hanya dengan
tekun beribadat. Allah swt. berfirman : “.... (yaitu) orang-
orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian.”
(Qs. Ar-Ra’ad :20).
Ibnu Atha’ menegaskan : “Seseorang akan tidak selamat
kecuali dengan sikap malunya di hadapan Allah swt. Allah swt.
berfirman : “Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
melihat segala perbuatannya.” (Qs. Al’Alaq :14). “Bahwa
sanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang
baik dari kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.: (Qs. Al-
Anbiya :101).
Dikatakan, seseorang tidak akan selamat kecuali dengan
pilihan yang telah ditetapkan atas dirinya. Allah swt.
berfirman : “Dan kami telah memilih mereka (untuk menjadi
Nabi-nabi dan Rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan
yang lurus.” (Qs. Al-An’am :87).
5. W A R A’
78
Sufyan ats-tsaury berkomentar : “Aku belum pernah melihat
sesuatu yang mudah selain wara’. Apap pun yang diinginkan oleh
hawa nafsu Anda, tinggalkanlah!.”
Ma’ruf al-Karkhy mengajarkan : “Jagalah lidah Anda dari
pujian, sebagaimana Anda menjaganya dari cacian.”
Bisyr ibnul Harits berkata : “Hal-hal paling sulit untuk
dilaksanakan, ada tiga : Dermawan di masa-masa sulit, wara’
adalah khalwat, dan menyampaikan kebenaran kepada seseorang
yang Anda takuti dan Anda jadikan harapan.
Saudara wanita Bisyr al-Hafi mengunjungi Ahmad bin Hanbal
dan memberitahukan kepadanya : “Kami sedang memintal di atas
atap rumah, ketika obor kaum Dzahiriyah berlalu dan cahayanya
menyinari kami. Apakah diperbolehkan bagi kami memintal di
dekat cahaya mereka?” Ahmad bertanya : “Siapakah Anda,
(semoga Allah menjaga kesehatan Anda)?” Ia menjawab : “Saya
adalah saudara wanita Bisyr al-Hafi.” Ahmad menangis, lau
berkata, “Wara’ yang jujur muncul dari keluarga Anda. Jangan
memintal di dekat cahaya itu!.”
Ali al-Atthar berkata : “Suatu ketika aku sedang berjalan
melewati Bashrah melintasi sebuah jalan, dan aku melihat
beberapa orang Syeikh sedang duduk, sementara beberapa pemuda
bermain di dekatnya. Oleh karena itu aku bertanya kepada
mereka, ‘Apakah Anda sekalian tidak malu bermain di depan
Syeikh-Syeikh ini? Salah seorang pemuda tersebut menjawab,
‘Wara’ para syeikh ini demikian kecil sehingga kami memandang
kecil mereka.”
Dikatakan bahwa Malik Bin Dinar tinggal di Bashrah selama
empatpuluh tahun, ia tidak pernah memakan kurma kering maupun
yang masih segar dari kota tersebut. Sampai saat musim berlalu,
ia berkata, ‘Wahai penduduk Bashrah, inilah perutku, tidak
kurang juga tidak pernah bertambah!.”
Seseorang bertanya kepada Ibrahim bin Adham, “Mengapa Anda
tidak minum Zam-zam?” Ia menjawab : “Apabila aku mempunyai
timba, aku akan meminumnya.”
Apabila al-Harits al-Muhasiby mengambil makanan yang
syubhat, maka urat di ujung jarinya berdenyut, dan ia
menganggap bahwa makanan tersebut syubhat.
Suatu ketika Bisyr al-Hafi diundang ke jamuan makan, dan
dihidangkan makanan di depannya. Ia hendak menyantap makanan
itu, tetapi tangannya tidak dapat digerakkan, Ia berusaha
menggerakkannya hingga tiga kali. Seseorang yang akrab dengan
situasi ini mengatakan : “Tangannya tidak pernah mengambil
79
makanan yang syubhat. Percuma saja tuan mengundang Syeikh
ini.”
Ketika Sahl bin Abdullah ditanya tentang halal yang murni,
ia menjawab : “Yaitu yang di dalamnya tidak pernah dicampuri
maksiat kepada Allah swt. Dan Halal yang murni adalah yang
Allah tidak dilupakan di dalamnya.”
Hasan al-Bashry memasuki Mekkah, ia melihat salah seorang
keturunan Ali bin Abi Thalib r.a. bersandar ke Ka’bah dan
berceramah di hadapan sekumpulan orang. Hasan bergegas
menghampirinya, lalu bertanya : “Siapakah yang menguasai
agama-agama?” Ia menjawab : “Orang wara’.” Hasan bertanya
lagi : “Apakah yang merusak agama?” Ia menjawab :
“Kesereakahan.” Maka Hasan mengaguminya, seraya berkata :
“Bobot sebutir wara’ yang cacat adalah lebih baik ketimbang
bobot seribu hari berpuasa dan shalat,”
Abu Hurairah mengatakan : “Sahabat-sahabt dalam majelis
Allah swt, di akhirat adalah orang-orang yang wara’ dan
zuhud.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Apabila wara’ tidak
menyertai seseorang, ia tidak akan pernah merasa kenyang,
sekalipun diwajibkan baginya makan kepala gajah.”
Sedikit minyak kasturi yang berasal dari rampasan perang
dibawa ke hadapan Umar bin Abdul Aziz. Katanya : “Manfaat
satu-satunya adalah aroma keharumannya, dan aku tiak ingin
hanya diriku sendiri yang mencium aromanya, sementara seluruh
kaum Muslim tidak berbagi mambauinya.”
Ketika ditanya tentang wara’ Abu Utsman al-Hiry berkata :
“Abu Shalih Hamdunal al-Washshar berada bersama salah seorang
sahabatnya yang sedang menjelang maut. Orang tersebut
meninggal, dan Abu Shalih memadamkan lampu. Seseorang bertanya
kepadanya tentang hal ini, lalu ia mengatakan. “Sampai
sekarang minyak yang di dalam lampu ini menjadi milik para ahli
warisnya. Carilah minyak yang bukan miliknya!.”
Hamisan berkata : “Aku meratapi dosaku selama empatpuluh
tahun. Salah seorang sauddara mengunjungiku, dan kubelikan
sepotong ikan rebus untuknya. Ketika ia selessai memakannya,
aku mengambil sebongkah lempung dinding milik tetanggaku,
sampai ia dapat membersihkan tangannya, dan aku belum meminta
haalnya.”
Seseorang sedang menulis suatu catatan saat ia tinggal di
sebuah rumah swa dan ingin mengeringkan tulisannya dengan debu
yang dapat diperoleh dari dinign rumah tersebut. Ia teringat
bahwa rumah yang ditempatinya adalah ruamh sewa, akan tetapi ia
80
bependapat bahwa hal itu tidaklah penting. Karenanya, ia pun
menegeringkan tulisan tersebut dengan debu. Kemudian ia
mendengar sebuah suara mengatakan : “Orang meremehkan debu
akan melihat betapa lama perhitungan amalnya kelak.”
Ahmad bin Hanbal – semoga Allah melimpahkan kasih sayang
kepadanya – menggadaikan sebuah ember kepada seorang penjual
bahan makanan di Mekkah. Ketika ingin menebusnya, penjual bahan
makanan tersebut mengeluarkan dua ember, sembari mengatakan
“Ambillah, yang mana ember milik Anda.?” Ahmad menjawab :
“Saya ragu. Oleh karena itu, simpan saja, baik kedua meber
maupun uang itu untuk Anda!” Penjual makanan tersebut memberri
tahu, “Inilah ember Anda. Saya hanya ingin menguji Anda.”
Ahmad menyahut : “Saya tidak akan mengambilnya.” Lalu pergi,
dengan meninggalkan ember kepunyaannya kepada si penjual bahan
makanan.
Sayyab Ibnul Mubarak membiarkan kudanya yang mahal
berkeliaran dengan bebas ketika ia sedang melkukan shalat
dzuhur. Kuda tersebut merumput di ladang milik Kepala Desa.
Akhirnya, Ibnul Mubarak meninggalkan kuda tersebut dengan tidak
mengandarainya. Dikatakan bahwa Ibnul Mubarak sutu ketika pergi
pulang dari Marw ke Syria, gara-gara telah meminjam sebuah pena
dan lupa mengembalikannya.
An-Nakha’y menyewa seekor kuda. Ketika cambuknya terlepas
dari tangan dan jatuh, ia pun turun seraya mengikat kudanya,
dan berjalan untuk memungut cambuk tersebut. Seseoang
berkomentar, “Akan lebih mudah sandainya Anda mengendalikan
kuda Anda menuju tempat di mana cambuk itu jatuh dan kemudain
mengambilnya.” An-Nakha’y menyahut : “Aku menyewa kuda itu
untuk pergi ke arah sana, bukan ke arah sini.”
Abu Bakr ad-Daqqaq berkata : “Aku berkelana di padang
belantara bani Israil selama limabelas hari, dan ketika tiba di
sebuah jalan, seorang prajurit menemuiku dan memberi seteguk
air minum. Air itu menumbuhkan penderitaan dalam hatiku, dan
aku menderita selama tigapuluh tahun.”
Rabi’ah Adawiyah menjahit bajunya yang sobek di dekat
lampu sultan, tiba-tiba ia tersentak den kemudian sadar. Maka,
Rabi’ah pun menyobek pakaiannya, dan menemukan hatinya.
Sufyan ats-tsaury suatu ketika bermimpi mempunyai sepasang
sayap yang dapat digunakan untk terbang ke surga. Kemudian ia
ditanya : “Dengan apa hingga Anda dianugerahi ini?”
Dijawabnya : “Wara.”
Ketika Hissan bin Abi Sinan menghampiri murid-murid al-
Hasan, ia bertanya : “Hal apakah yang paling sulit bagi
81
Anda?” Mereka menjawab : “Wara”, Ia berkata : “Tiada
sesuatu yag paling mudah bagiku selain ini (wara’). Mereka
bertanya : “Mengapa demikina?” Hissan bin Abi Sinan
menanggapi : “Aku belum pernah minum air dari mata air milik
Anda semua selama empatpuluh tahun.”
Hissan bin Abi Sinan tidak tidur terlentang atau makan-
makanan berlemak atau minum air dingin selama empat puluh
tahun. Seseorang bermimpi bertemu dengan Hissan bin Abi Sinan,
lalu bertanya kepadanya tentang apa yang telah Allah lakukan
atas dirinya. Dijelaskan oleh Hissan bin Abi Sinan : “Baik,
kecuali bahwa pintu surga tertutup bagiku, karena jarum yang
pernah kupinjam belum ku kembalikan.”
Abdul Wahid bin Zaid mempunyai seorang pembantu rumah
tangga yang bekerja kepadanya selama bertahun-tahun dan
beribadah secara khusyu’ selama empat puluh tahun. Sebelumnya
ia adalah seorang penimbang gandum. Dan ketika ia meninggal,
seseorang bermimpi bertemu dengannya. Ditanya tentang apa yang
telah Allah lakukan atas dirinya?” Dijawabnya : “Baik,
kecuali bahwa aku dihalangi memasuki pintu surga, disebabkan
oleh debu pada timbangan gandum yang dengannya aku menimbang
empatpuluh porsi gandum.
Ketika Isa putra Maryam a.s. melewati sebuah makam,
seseorang berteriak dari dalam kuburnya. Allah swt.
menghidupkannya kembali dan Isa bertanya kepadanya : “Siapakah
Anda? Ia menjawab : “Aku adalah seorang kuli, dan pada suatu
hari, saat aku mengantarkan kayu bakar untuk seseorang, aku
mematahkan sepotong kayu kecil. Sejak aku meninggal, aku
dianggap bertanggung jawab atas hal itu.”
Abu Sa’id al-Kharraz berbicara tentang wara’, ketika
Abbas bin la-Muhtadi berlalu dihadapannya. Ia bertanya :
“Wahai Abu Sa’id, apakah anda tidak mempunyai rasa malu? Anda
duduk di bawah atap Abu ad-Dawaniq, minum dari penampungan air
Zubaydah, berniaga dengan riba, tetapi berbicara tentang
wara’.
6. ZUHUD
84
faktor pembangkit zuhud dan makna esensial yang mencakup
disiplin zuhud itu sendiri.
Abdullah ibnul Mubarak berkomentar : “Zuhud adalah
tawakkal kepada Alalh swt. dipadu dengan kecintaan kepada
kefakiran.
Syaqiq al-Balkhy dan Yusuf bin Asbat juga mengatakan
demikian. Jadi, ini juga merupakan satu dari tanda-tandan
zuhud, lantaran si hamba tidak mampu merelakan kecuali dengan
tawakkal kepada Allah swt.
Abdul Wahid bin Zaid memberikan penjelasan : “Zuhud,
adalah menjauhkan diri dari apa pun yang memalingkan Anda dari
Allah swt.”
Ketika AL-Junayd bertanya soal zuhud, Ruwaym menjawab,
“Zuhud adalah meremehkan dunia dan menghapus bekas-bekasnya
dari hati.”
As-Sary berkata : “Kehidupan seorang zahid tidak akan baik
apabila dirinya terpalingkan dari kepedulian terhadap jiwanya,
dan kehidupan seorang ‘arif tidak akan baik apabila terlalu
mementingkan jiwanya.”
Al-Junayd berkata : “Zuhud adalah mengosongkan tangan dari
harta dan mengosongkan hati dari kelatahan.”
Ditanya tentagn zuhud, asy-Syibli menjawab : “Zuhud adalah
hendaknya Anda menjauhkan diri dari segala sessuatu selain
Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Tidak akan sempurna zuhud
seseorang, kecuali memiliki tiga karakter ini : Berbuat tanpa
diserta keterikatan, berbicara tanpa disetai ambisi, dan
kemudian tanpa adanya kekuasaan atas orang lain.”
Abu Hafs mengatakan : “Tidak ada zuhud kecuali dalam
perkara yang halal, dan di dunia ini tiada yang halal, karena
tiada pula zuhud.”
Abu Utsman berkata : “Allah swt. memberi seorang zahid
sesuatu lebih daripada sekedar yang diinginkannya, dan Dia
memberikan sesuatu kepada hamba yang dicintai-Nya kurang dari
yang ia inginkan, Dia memberi hamba yang mustqim sesuai yang
diinginkannya.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Orang zuhud adalah yang
mengusik hidung Anda dengan bau cuka, tetapi kaum ‘arif
menyebarkan keharuman minyak kasturi.”
Hasan al-Bashry berkata : “Zuhud di dunia, hendaknya Anda
membenci muatan dan pendukungnya.”
85
Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun al-Mishry : “Kapan aya
dapat menjauhkan diri dari dunia?” Daun Nuun menjawab :
“Ketika Anda menjauhkan diri dari Nafsu.”
Muhammad ibnul Fadhl mengatakan : “Sikap memprioritaskan
orang lain bagi kaum zuhud adalah pada waktu mereka
berkecukupan, sedangkan kaum ksatria adalah pada waktu sangat
membutuhkan.”
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (Qs. Al-
Hasyr : 9).
Al-Kattany mengatakan : “Sesuatu yang tidak ditentang oleh
orang Kufah, tidak oleh orang Madinah, orang Irak, juga tidak
oleh orang Syria, adalah zuhud terhadap dunia, kedermawanan dan
berdoa supaya ummat manusia mendapatkan kebaikan.” Artinya,
tidak seorang pun yang mengatakan bahwa hal-hal ini tidak
terpuji.”
Seseorang bertanya kepada Yahya bin Mu’adz : “Bilakah
saya akan memasuki kedai tawakal, mengenakan jubah zuhud dan
duduk dalam majelis bersama kaum zuhud?” Yahya menjawab :
“Ketika Anda tiba pada suatu keadaan dalam olah ruhani
(riyadhah) dalam diri Anda secara rahasia, sehingga sampai pada
batas ketika Allah memutuskan rezeki kepada Anda sebelum tiga
hari tidak merasakan lemah. Tetapi apabila tujuan ini tidak
tercapai, maka duduk di atas karpet kaum zuhud hanyalah
kebodohan, dan saya tidak dapat menjamin bahwa diri Anda tidak
akan terhinakan di tengah-tengah mereka.”
Bisyr al-Hafi menegaskan : “Zuhud adalah seorang raja yang
tidak menempati suatu tempat selain hati yang kosong.”
Muhammad ibnul Asy’ats al-Bikandy berkata : “Barangssiapa
berbicara tentang zuhud dan menyeru manusia kepada zuhud
disamping juga menginginkan sesuatu yang mereka miliki, maka
Allah swt. akan melepaskan kecintaan pada akhirat dari
hatinya.”
Dikatakan : “Manakala seoarang hamba menjauhkan diri dari
dunia, maka Allah swt. mempercayakan dirinya kepada malaikat
yang menanamkan kebijaksanaan di dalam hatinya.”
Seorang ‘Sufi ditanya : “Mengapa Anda menolak dunia>” Ia
menjawab : “Karena ia telah menolakku.”
Ahmad bin Hanbal memberikan penjelasan : “Ada tiga macam
zuhud : Bersumpah menjauhi perkara yang haram adalah zuhud kaum
awam; Bersumpah menjauhi sikap berlebih-lebihan dalam perkara
yang halal adalah zuhud kaum terpilih (Khawash), dan bersumpah
86
menjauhi apa pun yang memalingkan sang hamba dari Allah swt.
adalah zuhud kaum ‘Arifin.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Salah seorang Sufi
ditanya : “Mengapa Anda menolak dunia ?” Dijawab sang Sufi :
“Karena aku menarik diri dari kemewahan dan menolak
menginginkannya barang sedikit pun.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Dunia ini bagaikan pengantin
wanita. Orang yang menerimanya akan membelai rambutnya penuh
kelembutan. Sedang bagi si zahid, di dalamnya akan tampak
kusam, mengacak-acak rambutnya, dan membakar gaunnya. Kaum
‘Arifin, senantiasa sibuk dengan Allah swt. tidak sedikit pun
menoleh pada sang pengantin wanita.”
As-Sary berkata : “Aku melaksanakan seluruh aturan zuhud
dan dianugerahi segala sesuatu yang kuminta dalam doa, keculai
zuhud terhadap masyarakat. Aku belum mencapai ini, dan aku pun
belum sanggup menanggungnya.”
Dikatakan : “ Kaum zuhud teleh mengucilkan diri dan
berkumpul hanya dengan sesama mereka saja, sebab mereka
menjauhi nikmat-nikmat sementara, demi nikmat-nikmat yang
abadi.”
An-Nashr Abadzy berkomentar : “Zuhud adalah memelihara
darah kaum zahidin dan menumpahkan darah kaum ‘Arifin.”
Hatim al-Asham mengatakan : “Kaum zuhud menghabiskan isi
dompetnya sebelum dirinya, dan orang yang berperilaku zuhud
menghabiskan dirinya sebelum dompetnya.”
Al-Fudhailbin ‘Iyadh berkata : “Allah swt. menempatkan
seluruh kejahatan dalam satu rumah dan menjadikan kecintaan
kepada dunia sebagai kuncinya. Dia amenempatkan seluruh
kebaikan di rumah yang lain dan menjadikan zuhud sebagai
kuncinya.
7. D I A M
87
Beliau menjawab : “Jagalah lidahmu, berpuaslah dengan
rumahmu, dan menangislah untuk dosa-dosamu.” (Hr.Tirmidzi).
Syeikh ad.Daqqaq berkata : “Diam mencerminkan rasa aman
dan merupakan aturan yang mesti dilaksanakan; penyesalan akan
mengikutinya apabila orang terpaksa mencegahnya. Seharusnya
dalam diam, mempertimbangkan di dalamnya hukum syara’,
perintah-perintah dan larangan-larangan harus dipatuhi di dalam
sikap diam. Dalam waktu yang tepat adalah termasuk siffat para
tokoh. Begitu pun bicara pada tempatnya merupakan karakter yang
mulia.”
Selanjutnya Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan :
“Barangsiapa menahan diri untuk mengucapkan kebenaran dalah
setan yang bisu.”
Diam adalah salah satu sikap yang layak dalam menghadiri
majelis Sufi, karena Allah swt. berfirman : “Dan apabila
dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rakhmat.” (Qs.
Al-A’raf :204). Dan Allah swt. menjelaskan pertemuan jin dan
Rasul saw. Firman-Nya, “ ..... maka tatkala mereka menghadiri
pembacaan(nya) lalu mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk
mendengarkannya)” (Qs. Al-Ahqaf :29). Allah swt. berfirman :
“...... dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha
Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.” (Qs.
Thaaha :108).
Betapa besar perbedaan antara seorang hamba yang diam,
menjaga dirinya dari kebohongan dan fitnah, dengan hamba yang
diam karena takut kepada raja yang menakutkan. Mengenai makna
pernyataan ini, dibacakan baris-baris syair berikut ini :
Aku merenung, apa yang akan kukatakan saat kita berpisah,
Dan terus menerus kusempurnakan ucapan hiba,
Tiba-tiba kulupakan ketika kita berjumpa,
Dan, kalau toh aku bicara, kuucapkan kata-kata hampa.
Para Sufi juga mendendangkan nada-nada ini :
Betapa banyak kata-kata yang inginn kucurahkan padamu,
Hingga ketika kesempatan bertemu denganmu,
Segalanya jadi kelu.
Juga baris berikut ini :
Kulihat bicara menghiasi orang muda,
Sedang diam adalah paling baik bagi yang tenang,
Karenanya, betapa banyak huruf yang membawa maut,
Dan betapa banyak pembicara yang berangan
Seandainya ia bisa DIAM.
88
Ada dua jenis diam : Diam lahir dan diam batin. Hati orang
yang tawakal adalah diam pada ketentuan rezeki yang diberikan.
Sedang orang arif, hatinya diam untuk berhadapan dengan
ketentuan melalui sifat keselarasan. Yang pertama adalah dengan
senantiasa memperbagus pebuatannya secara kokoh, dan yang
kedua, adalah merasa puas terhadap semua yang ditetapkan oleh-
Nya.
Alasan untuk diam boleh jadi merupakan ketakjuban yang
disebabkan oleh pemahaman secara mendadak, lantaran apabila
masalah tertentu tiba-tiba tampak jelas, maka kata-kata menjadi
bisu dan tidak ada kefasihan maupun ucapan. Dalam situasi
seperti ini, kesaksian terhapuskan dan tidak dijumpai baik
pengetahuan maupun penginderaan.
Allah saw. berfirman :
“(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan pra Rasul,
lalu Allah bertanya (kepada mereka), ‘Apa jawaban kamu
terhadap (seruan)mu?” Para Rasul menjawab, ‘Tidak ada
pengetahuan kami (tentang itu)” (Qs. Al-Maidah :109).
Prioritas dalam mujahadah adalah diam, sebab mereka
mengetahui bahaya yang terkandung dalam kata-kata. Mereka juga
menyadari bahaya nafsu bicara, memamerkan sifat-sifat
mengundang pujian manusia dan ambisi untuk meraih popularitas
di kalangan sejawatnya karena keindahan tutur katanya. Mereka
menyadari bahwa ini semua termasuk dalam kelemahan-kelemahan
manusia. Ini merupakan gambaran orang yang terlibat dalam olah
ruhani. Diam sebagai salah satu prinsip bagi aturan tahapan dan
penyempurnaan akhlak.
Ketika Dawud ath-Tha’y berkeinginan tetap tinggal di
rumah, ia memutukan untuk menghadiri majelis Abu Hanifah,
sebab ia adalah salah seorang muridnya. Ia duduk bersama ulama
yang lain, dan tidak memberikan komentar berkenan dengan
masalah-masalah yang didiskusikan. Ketika jiwanya menjadi kuat
dengan diam dan praktik diam yang dilakukan selama setahun, ia
lalu tinggal di rumah dan memutuskan ber’uzlah.
Bisyr ibnu Harits mengajarkan : “Apabila berbicara
menyenangkan Anda, diamlah. Apabila diam menyenangkan Anda ,
berbicaralah.”
Sahl bin Abdullah menegaskan : “Diam seorang hamba tidak
akan sempurna, kecuali sesudah ia memaksakan diam atas
dirinya.”
Abu Bakr al-Farisy mengatakan : “Apabila tanah kelahiran
seorang hamba bukanlah diam, maka hamba tersebut akan berbicara
berlebihan, meskipun tidak mempergunakan lidahnya. Diam tidak
89
terbatas pada lidah, tetapi meliputi hati dan semua anggota
badan.”
Salah seorang Sufi berkata : “Orang yag tidak menggunakan
diam ketika berbicara, adalah tolol.”
Mumsyad ad-Dinawary berkata : “Orang-orang bijak mewarisi
kebijaksanaan dengan diam dan kontemplasi.”
Ketika Abu Bakr al-Farisy ditanya tentang diam sirri,
dijawabnya : “Diam sirri adalah menjauhkan diri dari kepedihan
terhadap masa lampau dan masa depan.” Dikatakannya pula :
“Apabila seorang hamba berbicara hanya mengenai sesuatu yang
menyangkut kepentingannya, dan keharusan-keharusan bicaranya,
maka ia termasuk diam.
Mu’az bin Jabal r.a. berkata : “Kurangilah berbicara
berlebihan dengan sesama manusia dan perbanyaklah berbicara
dengan Tuhanmu, mudah-mudahan hatimu akan (dapat) melihat-
Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry ditanya : “Di antara manusia, siapakah
pelindung terbaik bagi hatinya?” Dijawab Dzun Nuun : “Yaitu
orang yang paling mampu menguasai lidahnya.”
Ibnu ma’ud berkata : “Tidak ada sesuatu pun yang patut
diikat berlama-lama lebih dari lidah.”
Ali bin Bukkar mencatat : “Allah menjadikan dua pintu bagi
segala sesuatu, tetapi Dia menjadikan empat pintu bagi lidah,
yaitu dua bibir dan dua baris gigi.”
Konon Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. (Abu Bakr ash-Shiddiq r.a.
adalah Abdullah bin Abi Quhaah (51 s.H – 13 H/ 573 – 634 M)
Khalifah pertama dari Khulafaur Rasyidin. Orang pertama yang
masuk Islam. Lahir di Mekkah, merupakan tokoh Quraisy. Beliau
memerangi orang murtad dan membuka syria dan Irak), biasa
engulum sebutir batu selama beberapa tahun dengan tujuan agar
lebih sedikit berbicara.
Abu Hamzah al-Baghdady adalah seorang pembicara ulung. Pada
suatu ketika sebuah suara menyeru kepadanya : “Engkau
berbicara, dan bicaranya sangat bagus. Sekarang tinggalah
bagimu untuk berdiam, sehingga engkau menjadi bagus!” Akhirnya
ia tidak pernah lagi berbicara sampai wafat menjemputnya.
Manakalah asy-Syibly sedang duduk di tengah lingkaran
murid-muridnya dan mereka tidak mengajukan pertanyaan, maka ia
bermaksud akan mengatakan : “Dan jatuhlah perkataan (azab)
atas mereka disebabkan kezaliman mereka, maka mereka tidak
dapat berkata (apa-apa).” (Qs.An-Naml:85). Terkadang seseorang
yang terbiasa berbicara menjadi diam, karena ada kaum Sufi yang
lebih layak dari dirinya untuk berbicara.
90
Ibnu Sammak menuturkan, bahwa Syah al-Kirmany dan Yahya bin
Mu’adz berteman, dan mereka tinggal di kota yang sama, tetapi
Syah tidak menghadiri majelisnya. Ketika ditanya alasannya, ia
menjawab : “Sudah sepatutnya begini.” Orang-orang pun lantas
mendesaknya terus hingga suatu hari al-Kirmany datang ke
majelis Yahya dan duduk di pojok di mana Yahya tidak akan dapat
melihatnya. Yahya pun mulai berbicara, naum secara tiba-tiba ia
diam. Kemudian Yahya mengumumkan : “Ada seseorang yang dapat
berbicara lebih baik dariku.” Dan ia tidak mampu melanjutkan
perkataannya itu. Maka al-Kirmany berkata : “Sudah kukatakan
kepada Anda semua bahwa, adalah lebih baik jika aku tidak
datang ke majelis ini.”
Terkadang seoarng pembicara memaksakan diri untuk diam
karena keadaan tertentu yang ada pada salah seorang yang hadir.
Barangkali seseorang gyang hadir tidak layak mendengar
pembicaraan terkait, hingga Allah swt. mencegah lidah si
pembicara demi ketentraman dan perlindungan dari mendengar
pembicaraan itu. Shingga Allah swt. menjaganya terhadap
pendengar yang bukan kompetennya.
Para Syeikh yang ahli mengenai tharikat ini telah
menjelaskan, “Terkadang alasan diamnya seseoang adalah karena
ada jin yang hadir, yang bukan kompetennya. Karena majelis para
Sufi tidak pernah sepi dari kehadiran sekelompok jin.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika aku
jatuh sakit di Marw, dan ingin kembali ke Naisabur. Aku
bermimpi bahwa sebuah suara menyeru kepadaku : “Engkau tidak
dapat meninggalkan kota ini. Ada sekelompok jin yang menghadiri
majelis-majelis dan mereka memperoleh manfaat dari ceramah-
ceramah yang engkau berikan. Demi mereka, tinggallah di
tempatmu!.”
Salah seorang ahli hikmah berkata : “Manusia diciptakan
hanya dengan satu lidah, namun dianugerahi dua mata dan dua
telinga, agar ia mendengar dan mau melihat lebih banyak dari
berbicara.”
Ibrahim bin Adham diundang ke sebuah pesta. Ketia ia duduk,
orang-orang mulai bergunjing dan memfitnah satu sama lain. Ia
lalu berkata : “Kebiasaan kami adalah makan daging sesudah
makan roti. Anda ini malah makan daging lebih dahulu.”
Ucapannya ini merujuk kepada firman Allah swt. :
“Maukah salah seorang di antaramu memakan daging
saudaranya yang mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepada
perbuatan itu.” (Qs. Al-Hujurat :12).
91
Salah seorang Sufi berkata : “Diam adalah bahasa
ketabahan.”
Sebagian mereka mengatakan : “Belajarlah diam sebagaimana
kamu belajar berbicara. Jika bicara menjadi pembimbingmu, maka
diam menguatkanmu.”
Dikatakan : “Menjaga lisan adalah lewat diamnya.” Ada
yang mengatakan : “Lisan ibarat binatang buas, jika tidak kamu
ikat, akan menyerangmu.”
Abu Hafs ditanya : “Keadaan manakah yang lebih baik bagi
seorang wali, diam atau berbicara?” Ia menjawab : “Jika si
pembicara mengetahui ada efek negatif dari pembicaraannya,
hendaklah ia tinggal diam, bila mungkin selama usia Nabi Nuh
as. Tetapi jika orang yang diam mengetahui efek negatif dari
diamnya, hendaklah berdoa kepada Allah swt. agar diberi waktu
dua kali usia Nabi Nuh as. Agar dapat berbicara (agar bisa
menunjukkan kebaikan).”
Dikatakan : “Diam bagi kaum awam dengan lidahnya; diam
bagi kaum yang ma’rifat kepada Allah swt, dengan hatinya, dan
diam bagi para pecinta (muhibbin) adalah menahan pikiran
menyimpang yang menyelusup pada hati sanubari meraka.”
Sebagian Sufi mengisahkan : “Aku mengekang lidahku selama
tigapuluh tahun, sehingga aku tidak mendengar ucapan kecuali
dari kalbuku. Kemudian aku mengekang kalbuku tiga puluh tahun,
sehingga tidak mendengar kalbuku kecuali ucapanku.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Jika lidah Anda
didiamkan, maka belum tentu Anda telah diselamatkan dari kata
hati Anda. Jika Anda telah menjadi batang tubuh yang kering
kerontang, Anda masih belum terbebas dari kata-kata hawa nafsu
Anda. Dan bahkan jika Anada berjuang dengan susah payah, jiwa
Anda masih belum akan berbicara dengan Anda, sebab ia adalah
tempat tersimpannya batin.”
Dikatakan : “Lidah seorang tolol adalah kunci menuju
kematiannya.” Dikatakan juga : “Jika seorang pecinta berdiam
diri, maka ia akan binasa, dan jika seorang ‘arif berdiam
diri, ia akan berkuasa.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Barangsiapa
memperhitungkan kata-katanya dibanding amalnya, maka kata-
katanya akan menjadi sedikit, kecuali apa yang berarti (menurut
kebutuhannya).”
8. KHAUF
92
Allah swt. berfirman :
“Mereka menyeru kepada Tuhan mereka dengan penuh rasa
takut (khauf) dan harap.” (Qs. As-Sajdah :16).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
“Tidak akan masuk neraka, orang yang menangis karena takut
kepada Allah swt, selama air susu masih mengalir dari susu
seorang Ibu. Dan debu dari jalan Allah tidak akan pernah
bercampur dengan asap api neraka pada batang hidung seorang
hamba selamanya.” (H.r. Ar-Rafu’y).
Anas r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Seandainya kamu semua tahu apa yang kuketahui, niscaya kamu
akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (H.r. Bukhari dan
Tirmidzi).
Saya katakan bahwa takut (al-khauf) adalah masalah yang
berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang
hanya merasa takut jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai
sirna. Dan realita demikian hanya terjadi di masa depan.
Apabila dalam seketika timbul rasa takut, maka ketakutan itu
tidak ada kaitannya. Takut kepada Allah swt. berarti takut pada
hukum-Nya, “Maka takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang
yang beriman.” (Qs. Ali Imran :175). Dia juga berfirman :
“Maka hendaklah kepada-Ku saja kamu menyembah>” (Qs. An-
Nahl :51). Juga firman-Nya : ereka takut kepada Tuhan mereka
yang berkuasa atas mereka.” (Qs. An-Nahl:50).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan : Takut memliki
berbagai tahapan. Yaitu, Khauf, khasyyah dan haibah.”
Khauf merupakan salah satu syarat iman dan hukum-hukumnya.
Allah swt. berfirman : “Takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-
orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran :75). Sedangkan Khasyyah
adalah salah satu syarat pengetahuan, karena Allah swt.
berfirman : “Sesungguhnya yagn takut kepada Allahdi antara
hamba-hamba-Nya hanyalah para Ulama.” (Qs. Fathir :28).
Sedangkan Haibah adalah salah satu syarat pengetahuan
ma’rifat, sebab Allah swt. berfirman : “Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)Nya.” (Qs. Ali
Imran : 28).
Abu Hafs menegaskan : “Takut adalah cambuk Allah swt. yang
digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak ke luar
dari ambang pintu-Nya.”
Abul Qasim al-Hakim mencatat : “Ada dua jenis takut, yaitu
gentar (Rahbah) dan takut (Khasyyah). Orang yang merasa gentar
mencari perlindungan dengan cara lari ketika takut, Tetapi
93
orang yang merasa takut (khasyyah) akan berlindung kepada Allah
swt.”
Memang benar kata-kata rahaba dan lari (haraba) memliki
arti yang sama, sebagaimana halnya kata menarik (jadzaba) dan
jabadza. Jika seseorang melarikan diri (rahaba), maka ia
ditarik kepada hasratnya sendiri, seperti halnya para rahib
(ruhban) yang mengikuti hasrat nafsu mereka sendiri. Tetapi
jika kendali mereka adalah pengetahuan yang didasarkan pada
kebenaran hukum, maka itu adalah takut (khasyyah).
Abu Hafs berkata : “Takut adalah pelita hati, dengan takut
akan tampak baik dan buruk hati seseorang.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar : “Takut adalah bahwa
Anda berhenti mengemukakan dalih dengan kata-kata
“seandainya” (‘asaa) dan “mungkin sekali akan” (saufa).”
Abu Umar ad-Dimasqi menegaskan : “Orang yang takut aalah
yang takut akan dirinya sendiri. Lebih takut dari rasa takutnya
kepada setan.”
Ibnul Jalla’ berkata : “Manusia yang takut (kepada Allah
swt) adalah yang dirinya merasa aman dari hal-hal yang
membuatnya takut.”
Ditanyakan kepada Ibnu ‘Iyadh. “Mengapa kita tidak pernah
melihat orang-orang yang takut?” Ia menjawab : “Jika Anda
termasuk orang-orang yang takut, niscaya Anda akan melihat
mereka, sebab hanya orang-orang yang takut saja yang melihat
orang yang takut.” Hanya Ibu yang kehilangan anaknya saja yang
mau memandang kepada ibu-ibu yang berkabung.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Alangkah malangnya anak
Adam. Seandainya ia takut pada neraka sebesar rasa takutnya
pada kemiskinan, niscaya ia akan masuk surga/.”
Syah al-Kiramny berkata “Tanda takut adalah sedih yang
terus menerus.”
Abul Qaim al-Hakim berkata : “Orang yang takut kepada
sesuatu akan lari darinya, tapi orang yang takut kepada Allah
swt. akan lari kepada-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry – semoga Allah merahmatinya –
ditanya, “Bilakah jalan takut menjadi mudah bagi seorang
hamba?” Ia menjawab : “Apabila ia mengibaratkan dirinya dalam
keadaan sakit dan menghindari dari segala sesuatu yang
dikhaatirkan justru akan menjadikan penyakit berkepanjangan.”
Mu’adz bin Jabal r.a. menuturkan : “Seoang beriman tidak
akan merasa tenteram, dan rasa takutnya tidak dapat ditenangkan
sampai ia melewati jembatan sirathal mustaqim di atas neraka.”
94
Bisyr al-Hafi berkomentar : “Takut kepada Allah swt.
adalah raja yang hanya bersemayam di dalam hati seorang yang
saleh.”
Abu Utsman al-Hiry mengatakan : “Kekurangan yang dihadapi
oleh seorang yang takut adalah justru dalam rasa takutnya.”
Al-Wasithy mengatakan : “Takut adalah tabir antara Allah
swt. dan hamba.” Pernyataan ini mengandung kemusykilan, tetapi
maknanya ialah bahwa seorang yang takut menunggu-nunggu saat
yang akan datang, sementara “anak-anak waktu kini” tidak
punya harapan akan masa depan. Sedag keutamaan orang saleh
adalah dosa bagi kaum yang dekat dengan Allah swt.
(Muqarrabun).”
Ahmad an-Nury menegaskan : “Seorang yang takut adalah
orang yang lari dari Tuhannya kepada Tuhannya.”
Salah seorang Sufi berkata : “Tanda rasa takut adalah
kebingungan dan menunggu-nunggu di pintu gerbang kegaiban.”
Ketika al-Junayd ditanya mengenai takut, ia menjawab :
“Takut adalah datangnya deraan dalam setiap hembusan nafas.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Manakala takut telah
meninggalkan hati, maka binasalah ia.”
Abu Utsman berkata : “Ketulusan dalam takut adalah wara’
lahir maupun batin.”
Dzun Nuun berkata : “Manusia akan tetap berada di jalan
selama tiakut tidak tercabut dari hati, sebab jika takut telah
hilang dari hati mereka, maka mereka akan tersesat.”
Hatim al-Asham menjelaskan : “Setiap sesuatu ada
perhiasannya, dan perhiasan ibadat adalah takut. Tanda takut
adalah membatasi keinginan.”
Seseorang mengatakan kepada Bisyr al-Hafi : “Saya lihat
Anda takut mati.” Bisyr al-Hafi menjawab : “Datang ke hadirat
Allah swt. adalah suatu perkara yang sangat dahsyat.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq bertutur : “Aku
pergi mengunjungi Abu Bakr furak ketika ia sakit. Ketika
melihatku, air matanya amengalir bercucuran. Lalu aku pun
berkata kepadanya : “Semoga Allah mengembalikan kesehatanmu
dan menyembuhkanmu dari sakit.” Ia memprotes : “Anda pikir
aku takut mati? Sebaliknya aku takut akan apa yang ada di balik
kematina.”
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. (Aisyah putri Abu Bakr ash-
Shiddiq r.a. (wafat 58 H/678 M.) merupakan salah seorang wanita
paling pandai di bidang agama. Beliau Istri Rasulullah saw. dan
paling dicintainya. Disamping itu beliau terbanyak meriwayatkan
hadits, dibanding istri-istri Rusalullah yang lain). Yang
95
bertanya : “Wahai Rasulullah, (sambil membaca ayat) ‘dan
orang-orang yang memberikan hartanaya dengan hati penuh rasa
takut (karena mereka akan kembali kepada Tuhannya)’ (Qs. Al-
Mu’minun : 60-1), apakah mereka itu orang-orang yang pernah
mencuri dan berzina serta minum-minuman keras? Beliau
menjawab : “Bukan, mereka adalah orang-orang yang berpuasa dan
shalat dan membayar zakat, namun takut kalau-kalau semua amal
mereka itu tidak diterima. ‘Mereka adalah orang-orang yang
bergegas pada kebajikan dan sangat berpacu (menuju kebajikan
itu”’ (Qs. Al-Mu’minun :60-1).”
Abdullah ibnul Mubarak berkata : “Sesuatu yang menimbulkan
rasa takut hingga bersemayam dalam hati adalah mengabadikan
muraqabah secara terus menerus, baik secara lahir maupun
batin.”
Ibrahim bin Syaiban berkomentar : “Manakala takut menetap
dalam hati, maka obyek nafsu akan terbakar habis darinya dan
hasrat atas dunia akan terusir,” Dikatakan : “Takut adalah
supramasi ilmu sesuai dengan hukum-hukum.”
Dikatakan : “Takut adalah gerak kalbu dari keagungan Allah
swt.”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Seyogyanya kalbu
tidak dikalahkan, kecuali oleh rasa takut. Sesungguhnya apabila
harapan telah melimpah dalam kalbu, musnahlah kalbu.” Kemudian
ia katakan : “Wahai Ahmad (muridnya), mereka naik melalui
takut, dan jika mereka mengabaikan, mereka akan jatuh.”
Al-Wasithy menegaskan : “Takut (khauf) dan harap (raja’)
adalah kendali bagi diri agar ia tidak dibiarkan dengan kesia-
siaan.” Ia pun berkata : “Jika Tuhan menguasai wujud manusia
yang paling dalam (sirr), maka harapan dan ketakutan tidak akan
tersisa lagi. Sebab takut dan harap itu sendiri merupakan
akibat-akibat belaka dari rasa indera hukum kemanusiaan.”
Al-Husain bin Manshur berkata : “Barangsiapa takut akan
sesuatu selain Allah swt. atau berharap akan sesuatu selain
Dia, maka semua pintu akan tertutup baginya dan rasa takut akan
mendominasinya, menabiri hatinya dengan tujuhpuluh tabir, yang
paling tipis diantaranya adalah keragguan. Yang membuatnya
takut adalah perenungannya atas akibat-akibat nanti dan
ketakutannya jika perilakunya berubah.”
Firman-Nya :
“Dan jelaslah bagi mereka azan dari Allah yang belum
pernah mereka perrkirakan.” (Qs. Az-Zumar :47).
Alalh swt. berfiman : “Katakanlah, Apakah akan Kami
beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
96
perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Q.s. Al-Kahfi
:103-4).
Maka, betapa banyak orang yang akan merasa senang dengan
keadaan mereka dan mereka diuji, sehingga perilakunya berbalik
secara antagonis. Ketika itulah muqarabah dengan perbuatan
keji, dan hudhur menjadi ghaib.
Saya sering mendengar Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a.
mendendangkan syair :
Engkau duga hari-hari penuh kebaikan jika engkau baik
Tapi engkau tak pernah takut tentang takdir buruk yang
bakal tiba
Malam-malam hari memberikan ketentraman kepadamu
Hingga engkau tertipu olehnya,
Sesudah malam yang cerah datanglah kesedihan.
Saya mendengar Manshur bin Khalaf al-Maghriby, membacakan
sebuah kisah :
“Ada dua orang yang saling menemani dalam menempuh cita-
cita spiritual. Kemudian salah seorang diantaranya pergi
meninggalkan sahabatnya. Seiring perjalanan waktu yang cukup
lama, tidak terdengar lagi kabar berita mengenainya. Sahabat
yang ditinggal pergi itu kemudian ikut berperang bersama
tentara Muslim memerangi balatentara Romawi. Dalam pertempuran
itu, seorang tentara musuh yang memakai baju besi menyerang
tentara Muslim dan menantang duel. Seorang ksatria Muslim maju
ke depan dan tentara musuh itu membunuhnya. Kemudian maju lagi
seorang ksatria Muslim, dan ia pun terbunuh. Kasatria Muslim
yang ketiga maju ke depan, juga terbunuh. Kemudian majulah Sang
Sufi ke depana dan keduanya lalu terlibat dalam pertempuran.
Topeng yang menutupi wajah tentara Romawi itu terlepas, dan
ternyata aia adalah sahabat sang Sufi yang dulu telah
menemaninya beribadah selama bertahun-tahun! Maka berserulah
san Sufi : Model apa ini?”
Musuhnya menjawab : “Aku telah murtad dan menikah dengan
sorang wanita dari kaum ini. Aku sudah memiliki anak-anak dan
harta kekayaan.”
Sang Sufi berteriak : “Dan engkau adalah orang yang dahulu
bisa membaca Al-Qur’an dengan berbagai gaya bacaannya!.”
Ia menjawab : “Satu huruf pun aku tidak ingat lagi dari
padanya.”
Maka, sang Sufi lalu berkata kepadanya : “Berhentilah dari
sikap perilakumu itu, bertobatlah!>”
97
Ia menjawab dengan ketus : “Aku tidak mau, sebab aku telah
memperoleh kemasyhuran dan kekayaan. Tinggalkan saja diriku,
atau aku akan melakukan atas dirimu sebagaimana yang telah
kulakukan terhadap ketiga orang temanmu!.”
Sang Sufi berkata : “Ketahuilah, bahwa engkau telah
membunuh tiga orang Muslim. Tidak ada malu yang akan menimpamu
jika kamu pergi saja dari sini. Karena itu, pergilah dan aku
akan memberimu tenggang waktu!.”
Maka, orang itu pun mundur ke belakang dan berbalik. Sang
Sufi mengikutinya dan membunuh dengan pedangnya. Sungguh
ironis, setelah menempuh perjuangan dan disiplin spiritual yang
cukup lama dan berat, orang itu akhirnya mati sebagai orang
Nasrani!.”
Dikatakan : “Ketika iblis tampail sebagaimana dirinya,
Jibril dan Mikail – semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada
mereka – tiba-tiba menangis cukup lama hinggal Allah swt
berfirman kepada mereka : “Wahai kalian berdua, mengapa
menangis sedemikian itu?” Mereka menjawab : “”Wahai Tuhan
kami, kami tidak merasa aman dari cobaan-Mu.” Allah swt.
berfirman : “Nah, kalian berdua ternyata tidak bisa aman dari
cobaan-Ku.”
Riwayat dari Sary as-Saqathy yang menjelaskan : “Aku
melihat hidungku beberapa kali dalam sehari dengan cara seperti
ini, karena takut hidungku menghitam karena hukuman yang
kutakuti.”
Abu Hafs menuturkan : “Selama empat puluh tahun aku benar-
benar yakin bahwa Allah swt. memandangku dengan murkan dan
semua amal perbuatanku membuktikan hal itu.”
Hatim al-Asham menegaskan : “Janganlah kamu tertipu oleh
tempat-tempat yang saleh, sebab tidak ada tempat yang lebih
saleh daripada surga, dan pikirkanlah apa yang telah menimpa
Adam as. Di tempat yang begitu saleh! Jangan Jangan pula kamu
tertipu oleh banyaknya amal ibadat. Sebab, setelah iblis
melakukan ibadat begitu lama, ternyata ia harus mengalami
nasibnya seperti itu. Juga, janganlah kamu tertipu oleh
banyaknya ilmu, sebab Bal’am pun mengetahui Nama Allah Yang
Teragung (Al-Ismul A’dzham), tapi lihatlah apa yag terjadi
padanya? Jangan pula kamu tertipu karena bertemu dengan seorang
yang saleh, sebab tidak ada orang yang takdirnya lebih agung
daripada al-Musthafa Muhammad saw, sebab para kerabat dan
musuh-musuhnya tidak mengambil manfaat atas perjumpaan
dengannya.”
98
Ketika bertemu dengan sahabt-sahabtnya pada suatu hari,
Ibnul Mubarak melaporkan : “Aku begitu memberanikan diri
kepada Allah swt. kemarin. Dan aku benar-benar meminta surga.”
Dikatakan bahwa Isa as. Sedang bepergian, dan bersamanya
ada seorang saleh dari bani Israil. Seorang yang terkenal
karena kebobrokan akhlaknya, mengikuti mereka. Duduk agar jauh
dari mereka berdua, ia beseru kepada Allah swt. dengan penuh
kerendahan hati : “Wahai Tuhanku, ampunilah aku!” Sedang si
orang saleh berdoa : Ya Allah, bebaskan aku dari orang berdosa
yang mengikuti aku ini, mulai besok pagi.” Maka Allah swt. pun
mewahyukan kepada Isa as. : “Aku telah menjawab doa keda orang
yang berdoa ini; telah Ku tolak doa orang yang saleh ini, dan
telah Kuampuni sipendosa ini.”
Dzun Nuun al-Mishry menuturkan : “Aku bertanya kepada
seorang yang alim : “Mengapa orang-orang mengatakan Anda
gila?” Ia menjawab : “Ketika Dia mengusirku dari sisi-Nya
untuk waktu yang lama, aku menjadi gila karena takut
terpisahkan dari-Nya di akhirat.”
Mengenai makna ucapan ini, para Sufi membacakan bait-bait
berikut ini :
Bahkan kalaupun aku terbuat dari batu,
Niscaya aku akan meleleh
Maka, bagaimana satu makhluk
Yang terbuat dari tanah
Akan menahannya?
Salah seorang Sufi berkomentar : “Aku tidak pernah melihat
seorang yang lebih besar harapannya di tengah-tengah ummat ini,
dan lebih takut berkenaan dengan dirinya sendiri daripada Ibnu
Sirin.”
Sufyan ats-Tsauri jatuh sakit. Ketika alasan sakitnya
diberitahukan kepada tabib, tabib itu berkata : “Ini adalah
orang yang hatinya telah tersobek karena rasa takut.” Tabib
itu datang dan memeriksa denyut nadinya, lalu berkata : “Aku
tidak tahu bahwa di kalangan orang beragama ada manusia yang
seperti ini.”
Syibly ditanya : “Mengapa matahari warnanya pucat ketika
akan terbenam?” Ia menjawab : “Sebab matahari telah
tergelincir dari tempat kesempurnaan. Ia menjadi kekuning-
kuningan karena ketakutannya terhadap tahapannya sendiri. Bagi
orang yang beriman, saat menjelang keberangkatannya dari dunia
ini telah dekat, warna kulitnya akan menjadi pucat karena ia
takut akan berdiri di hadapan Tuhannya. Dan ketika matahari
terbit, ia bersinar cemerlang. Sama halnya dengan seorang
99
beriman, ketika dibangkitkan dari kubur, ia muncul dengan wajah
yang bersinar.”
Ahmad bin Hanbal r.a. berkata : “Aku memohon kepada
Tuhanku swt. agar membukakan pintu takut. Dia membukakannya,
dan aku pun lalu mengkhawatirkan kewarasan pikiranku. Karena
itu aku beroda : “Ya Allah, anugerahkan kepadaku rasa takut
sebatas yang bisa kumampui.” Kemudian ketenangan menghapus
kekhawatiranku.”
9. ROJA’
105
Si budak menjawab : “Saya minta didoakan supaya bebas dari
perbudakan.” Tuannya berrkata : “Kamu telah kubebaskan. Dan
apa permintaanmu yang kedua?”
Si budak menjawab : “Agar Allah memberi saya ganti uang
empat dirham itu.” Tuannay berkata : “Ini, kuberi engkau uang
empatribu dirham. Lalu, apa permintaanmu yang keteiga?”
Si budak menjawab : “Agar Allah menyadarkan tuan untuk
segera bertobat.” Tuannya mengatakan : “Aku bertobat kepada
Allah swt. Apa permintaanmu yang ketiga ?”
Si budak mengatakan : “Agar Allah mengampuni Anda, saya,
orang-orang yang ada di rumah ini, dan juga Manshur.” Si tuan
berkata. “Ini adalah permintaan yang berada di luar
kemampuanku untuk memenuhinya.”
Malam itu, ketika si tuan tidur, ia bermimpi mendengar
sebuah suara yang mengatakan : “Engkau telah melakukan apa
yang berada dalam batas kemampuanmu. Apakah engkau mengira
bahwa Aku tidak akan melakukan apa yang berada dalam kemampuan-
Ku? Kuampuni dosamu, dosa budakmu itu, dosa Manshur bin ‘Ammar
dan dosa semua orang yang berkumpul di rumahmu.”
Dikatakan bahwa Rabah al-Qaysi mengerjakan Haji beberapa
kali. Suatu ketika ia berdiri (dekat Ka’bah) di bawah talang
air dan berdoa : “Wahai Tuhanku, aku menghadiahkan sejumlah
sekian dan sekian dari ibadat Hajiku kepada Rasulullah saw.
sepuluh ibadat Haji bagi sepuluh orang sahabt beliau, dua
iabdat haji untuk kedua oarng tuaku, dan sisanya untuk semua
kaum Muslimin.” Dihadiahkannya semua ibadat hajinya tanpa
menyisakan satu pun bagi dirinya sendiri. Kemudian ia mendengar
suara bisikan yang mengatakan : “Inilah orang yang menunjukkan
kemurahan hatinya kepada Kami! Aku ampuni dosamu, dosa kedua
orang tuamu, dan dosa semua orang yang memeluk Islam.”
Muhammad bin Abdul Wahhab ats-Tsaqafy menuturkan : “Pada
suatu hari aku melihat iringan keranda yang dipikul oleh tiga
orang laki-laki dan seorang wanita. Aku maju dan menggantikan
si wanita. Kami terus berjalan menuju ke kuburan. Kami
melaksanakan shalat untuk simayit, lalu menguburkannya. Setelah
itu aku bertanya kepada si wanita : “Apa hubungan Anda dengan
orang yang meninggal ini?” Ia menjawab : “Ia anakku.” Aku
bertanya : “Apakah Anda tidak punya tetangga?” Ia menjawab :
“Ya, tetapi mereka semua memandang hina anakku yang meninggal
itu.” Aku bertanya : “Mengapa?” Ia menjawab : “Karena ia
seorang banci>” Aku merasa kasihan kepada wanita itu. Kuajak
ia ke rumahku dan kuberi sedikit uang, gandum dan pakaian.
Dalam tidurku malam itu, aku bermimpi melihat seseorang datang
106
kepadaku. Wajahnya berseri bagaikan bulan purnama. Ia
berpakaian putih dan mengucapkan terima kasih kepadaku. Ketika
aku bertanya siapa dirinya, ia menjelaskan : “Aku adalah si
orang banci yang anda kuburkan tadi siang. Tuhanku telah
melimpahkan rahmat-Nya kepadaku disebabkan hinaan orang-orang
kepadaku.”
Saya mendengar Syeikh Abi Ali ad.-Daqqaq berkata : “Abu
Amr al-Bikandy sedang melewati sebuah jalan pada suatu hari,
bersamaan itu pula menjumpai sekelompok orang beramai-ramai
menyerukan pengusiran terhadap seorang pemuda dari lingkungan
mereka karena perbuatan-perbuatannya yang tidak bermoral.
Sementara tampak seorang wanita di tempat itu sedang menangis,
konon adalah ibu sang pemuda. Abu Amr merasa kasihan kepadanya,
lalu meminta kepada orang banyak itu agar mengampuni si pemuda.
“Bebakanlah pemuda ini demi aku. Jika ia mengulang
perbuatannya sekali lagi, maka lakukanlah apa yang kalian
kehendaki terhadapnya!.” Mereka lalu melepaskan pemuda itu,
dan Amr pun pergi.
Beberapa hari kemudian, Au Amr al-Bikandy melalui jalan itu
lagi dan mendengar suara tangis wanita dari balik sebuah pintu.
Abu Amr berkata dalam hati : “Barangkali si pemuda mengulangi
lagi perbuatan odsanya, dan mereka telah mengusirnya dari
lingkungan ini. Abu Amr lalu mengetuk pintu rumah si wanita dan
bertanya apa yang telah terjadi pada si pemuda. “Ia
meninggal!” jawabnya. Ketika Abu Amr bertanya kepadanya
bagaimana keadaannya menjelang akhir hayatnya, si ibu
menjawab : “Menjelang sakaratul maut ia sempat mengatakan
padaku. “Janganlah ibu memberi tahukan kepada pra tetangga
kita tentang kematianku. Sebab, settelah mereka menderita
karena aku, mereka akan senang atas kemalanganku dan tidak mau
menghadiri pemakamanku. Jika Ibu menguburkanku, inilah cincinku
yang tertulis Bismillah, pendamlah bersamaku. Jika selesai
menguburkan diriku, pintalah syafaat dari Tuhanku buat
diriku!” Aku melakukan seperti yang diwasiatkannya. Dan
sepulang dari penguburannya, aku mendengar suaranya :
“Pergilah Ibu! Aku telah datang ke hadirat Tuhan Yang Maha
Pemurah.”
Dikatakan bahwa Allah mewahyukan kepada Daud as. Katakanlah
kepada manusia bahwa Aku menciptakan mereka bukan dengan tujuan
agar Aku memperoleh manfaat dari mereka, tapi Kuciptakan mereka
supaya mereka memperoleh keuntungan dari-Ku.”
Ibrahim al-Atrusy berkata : “Kami sedang duduk-duduk di
tepi Sungai Tigris berssama Ma’ruf al-Karkhy ketika
107
segerombolan pemuda melewati kami dengan sebuah perahu. Mereka
memukul-mukul rebana, minum anggur dan bermain-main dengan
penuh hura-hura. Kami bertanya kepda Ma’ruf, Tidakkah engkau
lihat bagaimana mereka secara terrang-terangan bermaksiat
kepada Allah swt? Berdoalah kepada Allah agar Dia menghukum
mereka!” Ma’ruf lalu mengangkat tangannya dan berdoa : “Ya
Allah, sebagaimana Engkau telah menjadikan mereka bersenang-
senang di dunia ini, jadikanlah mereka bersenang-senang di
akhirat nanti!” Kami bertanya penasaran. Tapi kami memintamu
untuk berdoa memohonkan hukuman bagi mereka!” Ia menjawab :
“Jika Dia menjadidkan mereka bersenang-senang di akhirat,
berarti Dia telah mengampuni mereka.”
Abu Abdullah al-Husain bin Sa’id mengabarkan : “Bahwa Yahya
bin Aktsam al-Qadhi adalah seorang sahabtku. Ia mencintaiku dan
aku pun mencintainya. Setelah ia meninggal, aku ingin bertemu
dengannya dalam mimpi agar aku bisa bertanya kepadanya apa yag
telah diperbuat Allah swt. terhadap dirinya. Suatu malam aku
pun bermimpi bertemu dengannya, dan aku bertanya kepadanya. Ia
menjawab : “Allah telah mengampuni dosaku. Tetapi Dia
memarahiku dengan kata-kata-Nya : “Wahai Yahya! Kau telah
berbuat kejahatan kepada-Ku di dunia. “ Aku menjawab : Itu
memang benar, wahai Tuhanku. Aku mengandalkan sebuah hadits
yang disampaikan kepadaku dengan riwayat Abu Hurairah
bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda : “Engkau telah
berfirman : “Aku malu menghukum seseorang yang telah berambut
putih di neraka.” Lalu Allah pun berfirman : “Aku
mengampunimu wahai Yahya, dan benar Nabi-Ku itu. Tetapi engkau
telah berlaku dosa kepada-Ku ketika di dunia.”
10. SEDIH
Allah swt. berfirman :
“Dan mereka akan mengatakan (ketika berada di surga),
“Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan
dari kita.” (Qs. Fathir :34).
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudry bahwa Rasulullah
saw. bersabda :
“Tidak sesuatu pun keburukan menimpa seorang hamba yang
beriman, apakah itu penderitaan, penyakit, kesedihan, atau rasa
sakit yang merisaukan, kecuali Allah swt. akan mengampuni dosa-
dosanya.” (H.r. Ahmad, Bukhari – Muslim).
Sedih (huzn) adalah keadaan yang menyelamatkan hati
tersesat di lembah kealpaan. Dan kesedihan adalah salah satu
sifat para ahli penempuh jalan ruhani (suluk).
108
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Orang yag
dipenuhi kesedihan mampu menempuh jalan Allah dalam waktu satu
bulan, sepanjang jarak yang tidak bisa ditempuh dalam waktu
satu tahun oleh orang yang tidak memiliki kesedihan.”
Dalam Hadits dikatakan : “Sesungguhnya Allah mencintai
setiap hati yang sedih.”
Dalam Kitab Taurat disebutkan : “Jika Allah mencintai
seorang hamba, maka Dia akan menempatkan suatu PENYEDIH dalam
hatinya, dan jika Dia membenci seorang hamba, maka ditempatkan-
Nya sebuah SERULING dalam hatinya.”
Dikatakan bahwa Rasulullah saw. selalu berada dalam keadaan
sedih dan merenung sepanjang masa.
Bisyr bin Haris mengatakan : “Sedih adalah raja, manakala
bertahta dalam sebuah tempat, tidak akan sudi menerima orang
lain tinggal bersamanya.”
Dikatakan : “Jika tidak ada kesedihan dalam hati, maka ia
akan menjadi rusak, sebagaimana sebuah rumah akan menjadi roboh
manakala tidak ada orang yang tinggal di dalamnya.”
Abu Sa’id al-Qurasyi berkomentar : “Air mata kesedihan
membuat orang buta, tetapi air mata kerinduan meredupkan
pandangan, namun tidak membutakannya.” Allah swt. berfirman :
“Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan ia
adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-
anaknya).” (Qs. Yunus :84).”
Ibnu Khafif menjelaskan : “Sedih adalah mencegah diri dari
bangkit mencari kesenangan.”
Rabi’ah Adawiyah mendengar seorang laki-laki meratap :
“Aduhai kesedihan!” Rabi’ah menyela : “Katakanlah; Aduhai
kecilnya kesedihan kita! Jika engkau benar-benar bersedih,
niscaya engkau tidak akan bisa bernafas.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan : “Apabila ada seorang
tertimpa kesedihan dan menangis di kalangan suatu kaum, maka
Allah swt. akan mengasihani mereka semua karena air matanya.”
Dawud ath-Tha’y ketika tertimpa kesedihan, dan di malam
hari ia akan berdoa : “Ilahi, kerinduanku terhadap-Mu membuat
diriku gelisah dan menghalangi antaraku dengan tidurku.” Dan
Allah pun menjawab : “Bagaimana mungkin bagi seorang yang
penderitaanya diperbarui setiap saat, akan mencari penghiburan
dari kesedihan?”
Dikatakan : “Sedih menahan orang dari makan, sedangkan
takut, menahannya dari dosa.”
Salah seorang Sufi ditanya : “Dengan apa kesedihan manusia
dinilai?” Ia menjawab : Dengan banyaknya ratapan.”
109
As-Sary as-Saqathy berkata : “Aku ingin seandainya
kesedihan seluruh manusia di muka bumi ini ditumpahkan
kepadaku.” Banyak oang telah berbicara tentang kesedihan, dan
mereka semua mengatakan bahwa hanya kesedihan yang diilhami
oleh kepedulian pada akhiratlah yang patut dipuji, sedang
kesedihan karena dunia ini, patut dicela. Tetapi Abu Utsman al-
Hiry menjelaskan : “Kesedihan dalam semua seginya adalah suatu
keutamaan dan peningkatan bagi seorang beriman, selama
kesedihan itu bukan karena dosa. Sekalipun kesedihan itu tidak
menghasilkan satu derajat khusus, ia akan membawakan
pengampunan.”
Seorang Syeikh tertentu, apabila murid-muridnya akan pergi
melakukan perjalanan, ia akan berpesan : “Jika engkau melihat
seorang yang sedang bersedih, sampaikan salamku padanya.”
Syeikh Abu ali ad-Daqqaq berkata : “Salah seorang Sufi
bertanya kepada matahari selagi terbenam, “Apakah hari inni
engkau telah menyinari sorang yang tertimpa kesedihan?”
Orang tidak pernha melihat Hasan al-Bashry tanpa mengira
bahwa ia baru saja mengalami bencana.
Ketika Fudhail bin ‘Iyadh meninggal dunia, Waki’
mengatakan, “Hari ini kesedihan telah lenyap dari muka bumi.”
Salah seorang dari kaum Muslimin geberasi salaf berkata :
“Sebagian besar dari apa yang ditemukan oleh seorang beriman
dalam catatan amal perbuatan baiknya adalah penderitaan dan
kesedihan.”
Fudhail bin ‘Iyadh berkomentar : “Kaum salaf mengatakan :
“Setiap sesuatu ada zakatnya, dan zakat hati adalah kesedihan
yang panjang.”
Ketika Abu Utsman al-Hiry ditanya tentang kesedihan, ia
menjawab : “Orang yang sedih adalah yang tidak punya waktu
untuk menyibukkan diri dengan pertanyaan tentang kesedihan.
Maka berjuanglah untuk mencari kesedihan, lalu bertanyalah.”
Allah berfirman :
“Dan, sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sebagian ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang
yang sabar.” (Qs. Al-Baqarah :155).
Berikanlah kabar gembira dengan pahala yang indah karena
kesabaran mereka dalam menanggung lapar. Allah swt. berfirman :
110
“Dan mereka memprioritaskan (Muhajirin) atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka beikan
itu).” (Qs. Al-Hasyr :9).
Anas bin Malik menuturkan bahwa ketika Fatimah r.a.
(Fatimah az-Zahra’ (18 s.H – 11 H/605 – 632 M). Putri
Rasulullah saw. keturunan Bani Hasyim, suku Quraisy. Ibundanya
Khadijah binti Khuwailid. Fatimah dinikahkan Ali bin Abu Thalib
r.a. melahirkan Hasan dan Husein, Ummu Kaltsum dan Zainab).
Fatimah r.a. memberikan sekerat roti bagi Rasulullah saw.
beliau bertanya : “Apa ini, wahai Fatimah?” Fatimah
menjawab : “Sepotong roti yang saya masak sendiri. Hati saya
tidak dapat tenang sebelum memberikan roti ini kepadamu.”
Beliau menjawab : “Ini adalah sepotong makanan pertama
yang masuk ke mulut ayahmu sejak tiga hari ini.” (Hadits ini
diriwayatkan oleh al-Harits bin Abu Usamah dalam Musnad-nya,
melalui sanad yang dha’if, namun memiliki bukti kebajikan
sanad dalam maknanya).
Alasan inilah yang menjadikan lapar termasuk dalam sifat
kaum Suf dan salah satu tiang mujahadah. Para penempuh suluk
selangkah demi selngkah membiasakan berlapar-lapar menahan diri
dari makan, dan mereka menemukan mata air kebijaksanaan di
dalam lapar. Cerita tentang mereka dalam hal ini cukup banyak.
Ibnu Salim berkata : “Etika berlapar diri adalah bahwa
seseorang terus menerus tidak mengurangi porsi makanannya,
kecuali sebesar telinga kucing (amat sedikit).” Dikatakan
bahwa Sahl bin Abdullah tidak makan, kecuali setiap limabelas
hari. Manakala Bulan Rmadhan tiba, ia bahkan tidak makan sampai
melihat bulan baru. Dan tiap kali berbuka hanya minum air putih
saja.
Yahya bin Mu’adz menjelaskan : “Seandainya orang dapat
membeli lapar di pasar, maka para pencari akhirat niscaya tidak
akan perlu membeli sesuatu yang lain di sana.”
Sahl bin Abdullah berkomentar : “Ketika Allah swt.
menciptakan dunia, Dia menempatkan dosa dan kebodohan di dalam
kepuasan nafsu makan dan minum, dan menepatkan kebijaksanaan
dalam lapar.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Lapar bagi para penempuh
jalan Allah (murid) adalah olah ruhani (riyadah), sebuah cobaan
bagi orang-orang yang berTaubat, dan siasat bagi para zahid,
tanda kemuliaan bagi para ahli ma’rifat.”
Yeikh Abu Ali ad.-Daqqaq menuturkan : “Seseorang datang
menjumpai salah seorang syeikh, dan ketika melihat sang syeikh
menangis, ia bertanya, ‘Mengapa Anda menangis?’ Sang Syeikh
111
menjawab : “Aku lapar.” Ia mencela, “Seorang seperti Anda,
menangis karena lapar?” Sang Syeikh balas mencela : “Diamlah!
Engkau tidak mengetahui bahwa tujuan-Nya menjadidkan aku lapar
adalah agar aku menangis.”
Dawud bin Mu’adz mengisahkan, bahwasanya Mukahllid
mengabarkan : “Al-Hajjah bin Furafishah sedang berada bersama
kami si Syam, dan selama lima puluh malam ia tidak minum air
ataupun mengisi perut dengans esuap makanan pun.”
Abu Abdulalh Ahmad bin Yahya al-Jalla’ berkata : “Abu
Turab an-Nakhsyaby datang mengarungi padang pasir Bashrah ke
Mekkah – Semoga Allah melindungi kota ini – dan kami bertanya
kepadanya tentang makanannya. Ia menjawab : “Aku meninnggalkan
Bashrah, makan di Nibaj dan kemudian di Dzat Araq. Dari Dzat
Araq aku datang kepada kalian.” Jadi, ia menyebari padang itu
dengan hanya makan sebanyak dua kali.”
Setiap kali Sahl bin Abdullah lapar, ia tegar, dans etiap
kali makan, ia menjadi lemah.
Abu Utsman al-Maghriby berkata : Orang yang mengabdi kepada
Tuhan (rabbany) hanya makan setiap empat puluh hari, dan orang
yang mengabdi kepada Yang Abadi (Shamadany) hanya makan setiap
delapan puluh hari.”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Kunci dunia ini
adalah mengisi perut, dan kunci akhirat aalah lapar.”
Sahl bin Abdullah ditanya : “Bagaimana pendpat Anda
tentang orang yang makan sekali sehari?” Dijawabnya : “Itulah
makan orang beriman.” Bagaimana dengan yang makan tiga kali
sehari?” Ia mencela : “Suruh saja orang membuat gentong
makanan untukmu.”
Yahya bin Mu’adz berkomentar : Lapar adalah pelita, dan
kenyang adalah api. Hawa nafsu adalah seperti kayu api yang
darinya muncul api yang berkobar, dan tidak akan padam sampai
ia membakar pemiliknya.”
Abu Nash as-Sarraj ath-Thausy menuturkan : “Seorang laki-
laki dari kaum Sufi datang menemui seorang syeikh dan
menyuguhkan sedikit makanan. Lalu ia bertanya : “Sudah berapa
lama Anda tidak makan?” Sang Syeikh menjawab : “Lima hari.”
Si Sufi berkata : “Lapar Anda adalah lapar orang bakhil> Anda
memakai pakaian (bagus) sementara Anda lapar. Itu bukanlah
lapar orang fakir!”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Bahwa meninggalkan
sepotong daging di waktu makan malam lebih kusukai daripada
melakukan shalat sepanjang malam.”
112
Berkata Abul Qasim Ja’far bin Ahmad ar-Razy : “Beberapa
hari Abul Khayr al-“Asqalany ingin sekali mengkonsumsi ikan.
Lalu sejumlah ikan sampai ke tangannya melalui jalan yang
halal. Tetapi ketika tangannya meraih ikan itu untuk
dimakannya, lalu ia berkata : “Ya Alalh, jika hal ini menimpa
orang yang mengulurkan tangannya karena ingin memakan barang
yang halal, apa pula yang akan terjadi kepada orang yang
mengulurkan tangannya untuk sesuatu yang haram?”
Saya mendengar Rustam asy-Syirazy as-Shufy menuturkan :
“Abu Abdullah bin Khafif sedang menghadiri jamuan makan, tiba-
tiba salah seorang muridnya bermaksud mengambil makanan
mendahului sang syeikh, karena laparnya. Salah seorang murid
syeikh, yang ingin menegus atas ketidak sopanannya itu,
meenpatkan sedikit makanan di hadapan si fakir itu. Menyadari
bahwa dirinya dicela karena kurang beradab, si fakir itu lalu
tidak mau makan selama limabelas hari sebagai hukuman dan
pendisiplinan jiwanaya, serta sebagai tanda Taubat atas ketidak
sopanannya itu. Padahal selama ini ia telah menderita
kelaparan.”
Malik bin Dinar berkata : “Barangsiapa telah mengalahkan
syahwat dunia, maka itulah tindakan yang dapat memisahkan setan
dari lindungannya.”
Abu Ali ar-Rudzbary mengajarkan : “Jika seorang Sufi
setelah lima hari tidak makan, mengatakan ‘aku lapar’ maka
kirimlah ia ke pasar agar mendapatkan pekerjaan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan ucapan
seorang syeikh, bahwa penghuni neraka telah dikalahkan oleh
syahwatnya atas kewaspadaan mereka, hingga mereka tercela.
Beliau juga berkata : “Seseorang bertanya kepada salah seorang
syeikh : “Apakah Anda tidak enginginkan sesuatu?” Sang Syeikh
menjawab, ‘Aku menginginkannya, akan tetapi aku menahan
diri.”
Syeikh yang lain ditanya : “Adakah sesuatu yang tuan
inginkan?”
Jawabnya : “Aku menginginkan untuk tidak ingin lagi.”
Abu Nashr at-Tammar mengatakan : “Pada suatu malam Bisyr
datang kepadaku, dan aku berkata : “Segala Puji Bai Allah yang
telah membawamu ke sini. Sejumlah kapas dari Khurasan telah
sampai kepada kami; budak wanita telah menenunnya, menjualnya
dan membeli sedikit daging untuk kita. Engkau bisa berbuka
puasa dengan kami. Ia menjawab : “ Jika aku mesti makan dengan
seseorang, aku akan memilih makan denganmu.” Lalu ia
menjelaskan : “Telah bertahun-tahun aku ingin makan terung,
113
tetapi aku belum ditakdirkan untuk memakannya. Lalu aku
menjawab : “Ada terung yag halal dalam makanan ini.” Ia
menjawab : “Bahkan sampai bersih dari bijinya.”
Saya mendengar Abu Ahmad ash-Shagir berkata : “Abu
Abdullah bin Khafi menyuruhku menyuguhinya sepuluh butir kismis
untuk buka puasa setiap malam. Suatu malam aku merasa kasihan
kepadanya, dan kusuguhkan limabelas butir kismis. Ia
memandangku dan bertanya : “Siapa yang menyuruhmu (memberi
lima belas kismis?)’ Lalu dimakannya sepuluh butir dan
membiarkan sisanya.”
Abu Turab an-nakhsyaby berkomentar : “Jiwaku tidak pernah
cenderung kepada hawa nafsu kecuali sekali saja : Aku ingin
sekali makan roti dan telur ketika aku sedang berada dalam
perjalanan. Lalu aku pun memasuki sebuah kampung. Seseorang
gbangkit dan memegang tanganku sambil berkata : “Orang ini
adalah salah seorang dari perampok itu!” Lalu oang-orang itu
memukuliku tujuhpuluh kali. Seseorang laki-aki di antara mereka
mengenaliku dan menyela, Ini adalah Abu Thurab an-Nakhsyaby!”
Mendengar itu, mereka cepat-cepat meminta maaf kepadaku, dan
laki-laki itu lalu membawaku ke rumahnya karena rasa hormat dan
kasihan kepadaku, dan ia menjamu aku dengan roti dan telur.
Maka aku berkata kepada diri sendiri : “Makanlah, seteelh
tujuh puluh kali pukulan!.”
114
Dalam peperangan melawan bani Quraidhah dan bai nadhir,
Rasul mengendari seekor keledai yang diberi tali kendali dari
ijuk korma dan di atasnya diberi pelana ijuk pula.”
Khsyu’ adalah berkaitan kepada Allah swt. dan tawadhu’
adalah menyerah kepada Allah dan menjauhi sikap kontra dalam
menerima hukum.”
Hudzaifah berkata : “Khusyu’ adalah hal yang pertama-tama
hilang dari agamamu.” Ketika salahs eorang Sufi ditanya
tentang khusyu’, ia menjawab : “Khusyu’ adalah tegaknya hati
di hadapan Allah swt.”
Sahl bin Abdullah menegaskan : Setan tidak akan mendekati
orang yang hatinya khusyu’. Dikatakan : “Di antara tanda-
tanda kehusyu’an hati seorang hamba adalah manakala ia
diprovokasi, disakiti hatinya atau ditolak, maka ia, semua itu
diterimanya.”
Salah seorang Sufi berkomentar : “Kekhusyu’an hati adalah
menahan mata dari melirik ke sana ke mari.
Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menjelaskan : “Khusyu’
adalah begini : Jika api hawa nafsu dalam diri seseorang padam,
asap dalam dadanya reda dan cahaya kecemerlangan bersinar dalam
hatinya, lalu hawa nafsunya mati, dan hatinya hidup khusyu’lah
semua angota badannya.”
Al- Hasan al-Bashry berkata : “Khusyu’ adalah rasa takut
yang terus menerus dalam hati.”
Ketika al-Juany ditanya tentang khusyu’, ia menjawab :
“Khusyu’ adalah jika hati menghinakan dirinya di hadapan Yang
Maha Tahu kegaiban.” Allah swt. berfirman :
“Hamba-hamba Ar-Rahman yaitu orang-orang yang bejalan di
muka bumi dengan sikap rendah hati.” (Qs. Al-Furqan :63).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : Bahwa makna ayat ini
adalah hamba-hamba Allah itu berjalan di muka bumi dengan penuh
khusyu’ dan tawa dhu’.
Saya juga mendengar beliau mengatakan, bahwa mereka adalah
orang-orang yang tidak memperdengarkan bunyi sandal mereka
ketika berjalan.
Kaum Sufi sepakat bahwa tempat khusyu’ adalah di dalam
hati.
Ketika salah seorang Sufi melihat seorang laki-laki yang
memperlihatkan sikap rendah hati dalam perilaku lahiriahnya,
dengan mata yang memandang ke bawah dan bahu yang rendah, ia
berkata kepadanya. “Wahai sahabat, khusyu’ itu di sini.”
Sambil menunjuk ke dadanya, “bukan di sini, sambil menunjuk
bagunya.
115
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. melihat seorang laki-
laki sedang mengelus-elus jenggotnya dalam shalat, dan beliau
lalu bersabda :
“Jika hatinya khsyu, niscaya anggota badannya juga akan
khusyu’.” (Hr. Tirmidzi).
Dikatakan : “Khusyu’ dalam shalat berarti seseorang tidak
menyadari siapa yang sedang berdiri di sebelah kanan atau
kirinya.”
Syeikh ad-Daqqaq berkata : “Khusyu’ mirip dengan
perkataan, bahwa hati nurani seseorang dikhidmatkan sambil
musyahadah kepada Allah swt.” Dikatakan “Khusyu’” adalah
perasaan papa dan hina yang meresap ke dalam hati manakala
menyaksikan Allah swt.”
Dikatakan pula : “Khusyu’ adalah kegentaran hati di kala
hati dikuasai hakikat.”
Khusyu’ adalah mukadimah bagi luapan anugerah.
Dikatakan : “Khusyu’ adalah kegentaran hati secara tiba-
tiba ketika Kebenaran terungkapkan secara tba-tiba.
Fudhail bin ‘Iyadh menegasskan, bahwa dirinya tidak senang
melihat seseorang terlihat lebih khusyu’ daripada batinnya.
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : Seandainya semua manusia
bersatu padu untuk menghinakan aku, niscaya mereka tidak akan
mampu mencapai kedalaman dimana aku menghinakan diriku
sendiri.”
Dikatakan : “Orang yang tidak merendahkan dirinya, orang
lain tdak akan menghormatinya pula.”
Umar bin Abdul Aziz tidak mau bersujud kecuali hanya di
tanah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda : “Tidak akan masuk surga oang-orang yang di
dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar biji
sawi.” (H.r. Abu Dawud).”
Mujahid berkata : “Ketika Allah swt. menenggelamkan kaum
Nabi Nuh, gunung-gunung bersikap congkak dan meninggikan diri,
tetapi Bukit Judy merendahkan dirinya. Karena itu Allah swt.
menjadikannya sebagai tempat mendaratnya perahu Nabi Nuh as.”
(Bukit Judy berada di sebelah timur laut Jazirah Ibnu Umar,
Ketingginya dari permukaan laut 4.000 meter. Diriwayatkan bahwa
perahu Nabi Nuh pernah melintasi bukit ini kertika terjadi
banjir bandang).
Umar bin Khaththab r.a. selalu berjalan cepat-cepat,
tentang ini dijelaskannya bahwa berjalan secara demikian akan
116
membawanya lebih cepat kepada kebutuhan dan menjaganya dari
keangkuhan.
Pada suatu malam Umar bin Abdul Aziz, r.a. sedang menulis,
lalu datanglah seorang tamu. Meliaht lampu hampir padam, si
tamu menawarkan diri : “Biarlah saya yang membesarkan
nyalanya.” Tapi Umar menjawab : “Jangan, tidaklah ramah
menjadidkan tamu sebagai pelayan.” Maka si tamu lalu berkata :
“Kalau begitu, biarlah saya panggilkan pelayan.” Umar menolak
: “Jangan, ia baru saja pergi tidur.” Lalu beliau sendiri
pergi ke tempat penyimpanan minyak dn mengisi lampu itu. Si
tamu berseru : “Tuan lakukan pekerjaan ini sendiri, wahai
Amirul Muminin?” Umar berkata kepadanya : “Aku melangkah dari
sini sebagai Umar, dan kembali ke sini masih sebagai Umar
pula.”
Abu Sa’id al-Khudry r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw.
selalu memberi makan unta-unta, menyapu lantai rumah,
memperbaiki sandal, menambal baju, memerah susu, makan bersama
pelayan dan membantunya menggiling gandum jika pelayan lelah.
Beliau tiak pernah merasa malu membawwa barang-barang beliau
sendiri dari pasar untuk keluarganya. Beliau biasa berjabat
tangan dengan orang kaya maupun miskin, dan lebih dahulu
memberi salam jika bertemu. Nabi saw. tiak pernah mencela
makanan apa yang dihidangkan kepada beliau, sekalipun hanya
berupa kurma kering. Beliau sangat sederhana dalam hal makanan,
lemah lembut dalam berperilaku, mulia dalam sikap, baik dalam
berteman, wajahnya bercahaya, tersenyum tapi tanpa terrtawa,
sedih tapi tiak cemberut, rendah hati tapi tidak lembek, murah
hati tetapi tidak boros. Rasulullah saw. juga berhati lembut
dan kasih sayang kepada setiap Muslim. Tidak pernah
memperlihatkan tanda-tanda telah makan kenyang, dan juga tidak
pernah mengulurkan tangan dengan rakus.
Fudhail bin “Iyadh berkata : “Para Umala dari Yang Maha
Pengasih memiliki sikap khusyu’ dan tawadhu’, sedangkan para
ulama penguasa memiliki sikap takjub dan sombong.” Ia juga
berkomentar : “Barangsiapa menganggap dirinya masih berharga,
berarti tidak memiliki sifat tawadhu’ sama sekali.”
Ketika Fudhail ditanya tentang tawadhu’, ia mengajarkan :
“Pasrahlah kepada kebenaran; patuh dan terimalah ia dari siap
pun yang mengatakannya.” Ia juga mengatakan : “Allah swt.
mewahyukan kepada gunung-gunung : “Aku akan berbicara dengan
soerang Nabi di salah satu puncak di antaramu.” Maka, gunung-
gunung itu lalu berlomba-lomba meninggikan diri dengan
sobongnya, sedangkan Gunung Thursina justru merendahkan dirinya
117
dengan penuh kerendahan hati. Maka Allah swt. lalu Berbicara
kepada Musa as, di puncka gunung ini, dikarenakan
ketawadhu’annya.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang tawadhu’, ia menjawab :
“Tawadhu’ adalah merendahkan sayap terhadap semua makhluk dan
bersikap lembut kepada mereka.”
Wahb berkata : “Teah tertulis dalam salah satu kitab suci,
“Sesungguhnya Aku mengambil sari zat dari tulang sulbi Adam,
dan Aku tidak menemukan hati yang lebih tawadhu’ daripada hati
Musa as. Maka Ku pilih ia dan Aku aku berbicara langsung
dengannya.”
Ibnul Mubarak mengatakan : “Kesombongan terhadap orang
kaya dan rendah hati terhadap yang miskin adalah bagian dari
sifat tawadhu’.
Au Yazid ditanya : “Bilakah seseorang mencapai sifat
tawadhu?”
Dijawabnya : “Jika ia tidak menisbatkan dirinya pada suatu
maqam dan haal, serta menganggap bahwa tidak seorang pun di
antara ummat manusia di dunia ini yang lebih buruk dari
dirinya.”
Dikatakan : “Tawadhu’ adalah anugerah Allah yang tidak
pernah diiri dengki orang dan kesombongan adalah penderitaan
yang tidak membangkitkan belas kasihan. Kemudian terletak pada
sikap tawadhu’ dan orang yang mencari kemuliaan dalam
kesombongan tidak akan pernah mendapatkannya.”
Ibrahim bin Syaiban menegaskan : “Kehormatan terletak di
dalam sikap tawadhu’, kemuliaan di dalam takwa, dan
kemerdekaan di dalam qnaah.”
Abu Sa’id A’raby mengatakan, telah sampai kepadanya
tentang Sufyan ats-Tsaury yang berkata : “Ada lima macam
manusia termulia di dunia ini : Ulama yang zuhud, seorang faqih
yang Sufi, seorang kaya yag rendah hati, seorang fakir yang
bersyukur, dan seorang bangsawan yang mengikuti sunnah.”
Yahya bin Muadz menegaskan : “Kerendahan hati adalah sifat
yang sangat baik bagi setiap orang, tapi ia paling baik bagi
seorang yang kaya. Kesombongan adalah sifat yang menjijikan
bagi setiap orang tetapi ia paling menjijikan jika terdapat
pada orang yang miskin.”
Ibnu Atha’ bekomentar : “Tawadhu’ adalah menerima
kebenaran dari siapapun datangnya.”
Dikisahkan, ketika Zaid bin Tsabit sedang mengendari kuda,
Ibnu Abbas datang mendekatinya agar dapat memegang kendali
kudanya. Maka Zaid lalu mencegahnya : “Jangan, wahai anak
118
paman Rasulullah!” Ibnu Abbas berkata : “Itulah yang
diperintahkan kepada kami terhadap para ulama kami.” Maka,
Zaid bin Tsabit meraih tangan Ibnu Abbas lalu menciuminya,
sambil berkata : “Ini adalah yang diperintahkan untuk kami
lakukan terhadap keluarga Rasulullah saw.”
Urwah bin az-Zubair menuturkan : “Ketika aku melihat Umar
bin Khaththab memikul segantang air di atas pundaknya, aku
berkata kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin, pekerjaan ini
tidak patut bagi Anda,” Beliau menjawab : “Ketika para
delegasi datang kepadaku, mendengarkan dan menaatiku, suatu
perasan sombong merasuk ke dalam hatiku, dan kini aku ingin
menghancurkannya. “ Beliau terrus memikul air an membawanya ke
rumah seorang wnita Anshar dan mengisikannya ke dalam genthong
milik wanita itu.”
Abu Nashr as-Sarraj at-Thausy mengabarkan : “Ketika Abu
Hurairah r.a. menjabat Amir di Madinah, ia pernah terlihat
sedang memikul seikat kayu di atas punggungnya, danberteriak-
teriak.” Beri jalan untuk amir.”
Abdullah ar-Razy menjelaskan : “Tawadhu adalah tidak
membeda-bedakan dalam memberikan pelayanan.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Barangsiapa yang masih
memberikan nilai kepada dirinya sendiri tidak akan merasakan
manisnya ibadat.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Keangkuhan terhadap oang
yang bersikap sombong terhadapmu dikaernakan kekayaannya,
adalah sikap tawashu’.
Seorang laki-laki datang kepada Ay-Syibly dan bertanyalah
kepadanya : “Sipakah engkau?” Ia menjawab : “Wahai tuanku,
sebuah titik di bawah (ba’).” Lalu laki-laki itu
berkata :”Engkau adalah saksiku, sepanjang engkau mengangap
rendah kedudukan dirimu sendiri.”
Ibnu Abbas r.a. mengatakan : “Salah satu bagian tawadhu’
adalah bahwa orang yang meminum sisa minuman yang ditinggalkan
oleh saudaranya.”
Bisyr mengajarkan : “Berilah salam kepada para pecinta
dunia dengan cara tidak memberi salam kepada mereka.”
Syu’aib bin Harba menuturkan : “Ketika aku sedang
melakukan thawaf di Ka’bah, seorang buruh laki-laki
menyikutku, dan aku menoleh kepdanya. Ternyata orang itu adalah
Fudhail bin ‘Iyadh, yang berkata : “Wahai Abu Shalih, jika
engkau berpikiran bahwa di antara manusia yang melakukan ibadat
haji ini ada yang lebih hina daripada dirimu atau diriku, maka
betapa buruknya pikiranmu itu.”
119
Salah seorang Sufi mengatakan : “Aku melihat seorang laki-
laki ketika sedang melakukan thawaf di Ka’bah. Ia sedang
dikelilingi oleh orang-orang yang menjunjung dan memujinya.
Karena ulah mereka itu, hingga menghalangi orang lain dari
melakukan thawaf. Sedang beberapa waktu setelah itu, kau
melihat ia meminta-minta kepada orang-orang yang lewat di
sebuah jembatan di Baghdad. Aku terkejut dan heran. IA lalu
berkata kepadaku : “Aku dulu membanggakan diri di tempat di
mana manusia-manusia mestinya merendahkan diri, maka Alalh swt.
lalu menimpakan kehinaan kepadaku di tempat di mana manusia
berbangga diri”
Ketika Umar bin Abdul Aziz mendengar bahwa salah sorang
putranya telah membeli sebuah permata yang sangat mahal seharga
seribu dirham. Beliau lalu menulis surat kepadanya : “Aku
telah mendengar bahwa engkau telah membeli sebutir permata
seharga seribu dirham. Jika surat ini telah sampai kepadamu,
juallah cincin itu dan berilah makan seribu orang miskin.
Selanjutlah buatlah sebuah cincin seharga dua dirham, dengan
batu dari besi Cina, dan tulislah padanya, “Allah mengasihi
orang yang mengetahui harga dirinya yang sebenarnya.”
Dikatakan bahwa seorang budak dijual kepada seorang
penguasa dengan seharga seribu dirham!” Si penguasa bertanya :
“Apakah sifat-sifat itu?” Si budak menjawab : “Sifat yang
paling kecil diantaranya adalah behwa seandainya tuan membeli
saya dan kemudian menyayangi saya melebihi semua budak tuan a g
lain, saya tidak akan keliru memandang posisi saya yang
sesungguhnya; saya akan tetap sadar bahwa saya adalah budak
tuanku.” Maka penguasa itu jadi membelinya.
Dikatakan bahwa Jabir bin Hayawah berkomentar : “Ketika
Umar bin Abdul Aziz sedang berkhitbah, kutaksir-taksir pakaian
yang dikenakannya berharga sekitar duableas dirham saja, yang
terdiri dari jubah luar, surban, celana , sepasang sandal, dan
selendang.”
Dikatakan bahwa ketika Abdullah bin Muhammad bin Wasi”
berjalan dengan lagak tak terpuji, ayahnya berkata kepadanya :
“Tahukan kamu dengan harga berapa aku dulu membeli ibumu? Cuma
tiga ratus dirham. Dan ayahmu ini, semoga Allah tidak
memperbanyak jumlah manusia yang sepertinya di kalangan Kaum
Muslimin. Lanatas, dengan orang tua yang semacam ini, engkau
berjalan dengan lagak begitu?”
Hamdun al-Washshar berkata : “Tawadhu’ adalah engkau
tidak memandang dirimu dibutuhkan oleh siapa pun, baik di dunia
ini maupun di dalam hal Agama.”
120
Dikataka bahwa Abu Dzar dan Bilal – semoga Allah meridhai
mereka berdua – sedang bertengkar. Abu Dzar menghina Bilal
karena kulitnya yang hitam. Bilal mengadu kepada Rasulullah
saw. yang lalu bersabda, “Wahai Abu Dzar, sungguh!. masih ada
sifat Jahiliyah dalam hatimu.” Mendengar itu, Abu Dzar
menjatuhkan dirinya ke tanah dan bersumpah tidak akan
mengangkat kepalanya sampai Bilal menginjakkan kakinya pada
pipinya. Ia tidak bangun-bangun sampai bilal melakukan hal itu.
Ktika al-Hasan bin Ali r.a. berjalan melewati sekelompok
anak-anak yang sedang makan roti, mereka mengajaknya pula
makan. Beliau pun turun dari atas kendaraan dan makan bersama
mereka. Kemudian beliau membawa mereka ke rumah beliau,
mengajak mereka makan, memberi mereka pakaian, dan berkata :
“Aku berhutang budi kepada mereka, sebab mereka tidak
memperoleh lebih dari apa yang mereka tawarkan kepadaku,
sedangkan aku memeperoleh keuntungan labih dari mereka.”
Dikatakan : “Umar bin Khaththab r.a. membagi-bagikan bahan
pakaian yang berasal dari pampasan perang kepada para
sahabtnya. Beliau mengirmkan sepotong mantel buatan Yaman
kepada Mu’adz. Oleh Mu’adz mantel tersebut dijual dan
kemudian digunakan untuk membeli enam orang budak dan
memerdekakannya. Hal ini sampai kepada telinga Umar. Pada
pembagian bahan pakaian berikutnya, kepada Mu’adz diberikannya
bahan pakaian yang harganya lebih murah. Ketika Mu’adz
memprotesnya, Umar bertanya : “Mengapa protes?” Engkau telah
menjual bagianmu waktu pembagian yang lalu.” Mu’adz tetap
menuntut, “Apa urusannya dengan Anda? Berikan bagian saya,
sebab saya telah bersumpah akan mengenakannya pada kepala
Anda!” Umar berkata : “Inilah kepalaku di depanmu. Barang
yang usang sepatutnya di pasang pada barang yang usang. Pula.”
14.D E N G K I
125
Allah set. Berfirman :
“Katakanlah : “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai
sebuah dari kejahatan makhluk-Nya.” Kemudian dia berfirman :
“Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.”
(Qs. Al-Falaq : 1,2 dan 5.).
DI sini, Allah menutup Surat, yang dijadikan sebagai
perlindungan dengan menyeburkan kata “Dengki”.
Diriwayatkan dari Ibnu Ma’ud bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Ada tiga hal yang menjadi akar semua dosa. Jagalah dirimu
dan waspadalah terhadap ketiganya. Waspadalah terhadap
kesombongan, sebab kesombongan telah menjadikan iblis menolak
bersujud kepada Adam. Waspadalah terhadap kerakusan, sebab
kerakusan telah menyebabkan Adam memakan buah dari pohon
terlarang. Dan jagalah dirimu dari dengki, sebab dengki telah
menyebabkan salah seorang anak Adam membunuh saudaranya.”
(H.r. Ibnu Asakir).
Salah seorang Sufi mengatakan : “Orang yang dengki adalah
orang yang tidak beriman, sebab ia tidak merasa puas dengan
takdir Allah Yang Maha Esa,” Dikatakan : “Orang yang dengki
tidak pernah berjaya.”
Disebutkan dalam firman Allah swt. : “Katakanlah,
“Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
tampak maupun yang tersembunyi.” (Qs. Al-A’raf :33).
Dikatakan bahwa : “perbuatan keji yang tersembunyi itu
adalah dengki.”
Dalam beberapa kitab tertulis bahwa : “Orang yang dengki
adalah musuh nikmat-Ku.”
Dikatakan pula : “Pengaruh dengki tampak padamu sebelum ia
tampak pada musuhmu.”
Al-Asmu’i menuturkan : “Aku melihat seorang Badui yang
berumur seratus dua puluh tahun, dan aku berkata : “Alangkah
panjangnya umur Anda!.” Ia menjawab : “Aku telah meninggalkan
dengki, hingga umurku panjang.”
Ibnul Mubarak mengatakan : “Segala puji bagi Allah, Yang
tidak menempatkan dengki dalam hati pemimpinku sebagaimana yang
telah ditempatkan-Nya dalam hati pendengkiku.”
Dalam satu Hadits dikatakan : “Ada seorang malaikat di
langit kelima yang amal perbuatan seseorang manusia melaluinya,
dan ia bersinar kemilau seperti matahari. Malaikat itu
memerintahkan : “Berhentilah karena kau adalah malaikat
126
dengki. Pukullah pelaku dengki pada mukanya, sebab ia adalah
seorang pendengki!.”
Mu’awiyah bin Abu Sufyan berkata : “Aku mampu
menyenangkan semua orang kecuali pendengki. Ia tidak pernah
merasa puas dengan apa pun selain berhentinya kenikmatan bagi
semua orang.”
Dikatakan : “Seorang pendengki adalah seorang yang paling
zalim. Ia tidak membiarkan sesuatu pun tetap tinggal di
tempatnya.”
Umar bin Abdul Aziz menegaskan : “Aku tidak pernah melihat
orang yang lebih zalim yang sama dengan kezaliman pendengki.
Sebab ia senantiasa berada dalam keadaa sengssara dan nafas
sesak.”
Dikatakan : “Di antara tanda-tanda seorng pendengki adalah
penjilat orang lain manakala orang itu berada di dekatnya,
memfitnahnya manakala tidak berada di dekatnya, dan merasa
senang apabila ada bencana yang menimpa diri orang lain.”
Mu’awiyah berkata : “Tidak ada sifat-sifat kejahatan yang
lebih tegak daripada dengki. Orang yang dengki binasa sebelum
orang yang didengkinya.”
Dikatakan bahwa Allah Swt. mewahyukan kepada Sulaiman putra
Daud, as. “Kuperintahkan engkau agar melakukan tujuh perkara,
“Janganlah engkau menggunjing dan mendengki salah seorang
hamba-Ku yagn ssaleh!” Sulaiman menjawab : “”Tuhanku”,
cukuplah perintah itu bagiku.”
Dikatakan bahwa Musa as. Melihat seorang manusia di dekat
“Arasy. Karena Musa ingin menempati kedudukan itu, beliau
bertanya, “Apa amalnya?” Pertanyaanya itu dijawab : “Ia
tidak pernah dengki terhadap manusia karena anugerah Allah swt.
kepadanya.”
Dikatakan : “Seorang pendengki menjadi bingung bila
melihat adanya rahmat atas diri orang lain dan merasa senang
jika melihat adanya kekurangan pada diri orang lain.”
Dikatakan : “Jika engkau ingin selamat dari seorang
pendengki, sembunyikan urusanmu darinya.”
Dikatakan pula : “Seorang pendengki sangat marah terhadap
manusia yang tidak mempunyai dosa, dan bersikap kikir terhadap
yang tidak ia miliki.”
Dikatakan juga : “Waspadalah! Jangan sampai engkau
mengharapkan untuk mencintai orang yang mendengkimu, sebab ia
pasti tidak akan menerima kebaikanmu.”
Kata salah seorang Sufi : “Apabila Allah swt. Berkehendak
memberikan kekuasaan kepada seorang musuh yang tak mengenal
127
kasihan, terhadap salah seorang hamba-Nya, maka kekuasaan itu
diberikan-Nya kepada pendengkinya.”
Dalam syair Sufi :
Cukuplah bagimu kisah tentang seorang
Yang dikasihani oleh para pendengkinya.
Mereka juga membacakan syair berikut :
Semua permusuhan terkadang diharapkan
Kematiannya
Keculai permusuhan dari orang
Ang melawanmu dengan rasa dengki.
Mereka juga membacakan syair :
Manakala Allah berkehendak menebar kebajikan
Digulunglah lidah pendengkinya.
Ibnul Mu’tazz mengatakan :
Katakan pada pendengki Ketika nafasnya terengah-engah,
“Hai si dzalim!.”
128
15.
PERGUNJINGAN
16.
QANA’AH
134
Dikaakan mengenai firman Allah swt. “Allah akan
menganugerahi mereka rezeki yang berlimpah)>” (Qs. Al-
Hajj : 88), bahwa yang dimaksud di sini adalah qana’ah.
Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menegaskan : “Qana’ah
adalah kepuasan jiwa terhadap rezeki yang diberikan.”
Dikatakan : “Qana’ah adalah menemukan kecukupan di
dalam apa yang ada dan tidak menginginkan apa yang tiada.”
Wahb menuturkan : “Kehormatan dan kekayaan berkelana
mencari teman. Mereka berjumpa dengan qaba’ah dan
mereka hinggap menetap apdanya.”
Dikatakan : “Orang yang merasa qana’ah akan
menemukan bubur yang lezat.” Dikatakan juga, “Orang yag
selalu kembali kepada Allah swt. dalam segala hal, akan
dianugerahi qana’ah.”
Dalam sebuah cerita disebutkan ketika Abu Hazim
melewati seorang penjual daging yang mempunyai sejumlah
daging berlemak, si penjual berkata kepadanya : “Ambillah
sedikit, wahai Abu Hazim, karena daging ini berlemak!.” Abu
Hazim menjawab, “Aku tidak membawa uang.” Si pedagang
berkata : “Aku beri engkau waktu untuk mebayarnya.” Abu
Hazim menjawab : “Jiwaku masih lebih baik menunggu
daripadamu.”
Salah seorang Sufi ditanaya : “Siapakah orang yang paling
qana’ah di antara ummat manusia>” Ia menjawab : “Yaitu
orang yang paling berguna bagi ummat manusia dan paling
sedikit upahnya.”
Dikatakan dalam kiab Zabur : “Orang yang Qana’ah
adalah orang yang kaya, sekalipun ia dalam keadaan lapar.”
Dikatakan : “Allah swt. menempatkan lima perkara dalam
lima tempat : Keagungan dalam ibadat, kehinaan dalam dosa,
135
kehidmatan dalam bangun malam, kebijaksanaan dalam perut
kosong, dan kekayaan/cukup dalam qana’ah.”
Ibrahim al-Maristany berkata : “Lakukanlah pembalaan
terhadap kerakusanmu dengan qana’ah sebagaimana engkau
membalas dendam kepada musuhmu dengan qisas.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Orang yang qana’ah
selamat dari orang-orang semasanya dan berjasa atas semua
orang.”
Dikatakan, Orang yang qana’ah akan menemukan istirah
dari kecemsan dan berjaya atas segala sesuatu.”
Al-Kattany mengatakan : “Barangsiapa menjual kerakusan
demi qana’ah berarti telah memperoleh keagungan dan
kebesaran.”
Dikatakan : “Kesedihan dan rasa gelisah menjadi panjang
bagi orang yang matanya mengejar apa yang dimiliki orang
lain”
Kaum Sufi sering membacakan syair berikut :
Betapa indahnya pemuda.
Dari hari-hari yang lapar
Lebih terhormat dari kekayaan yang disetai lapar.
Dalam suatu cerita disebutkan : “Seorang laki-laki melihat
seorang yang bijaksana sedang mengunyah potongan-
potongan sayur yang dibuang di tempat air, dan berka
kepadanya,: “Jika saja Anda mau mengabdi kepada Sultan,
niscaya Anda tidak perlu makan-makanan begini. Orang bijak
itu menjawab : “Dan Anda, seandainya saja Anda mau
berqana’ah dengan makanan begini, niscaya Anda tidak pelu
mengabdi kepada Sultan.”
Mengenai firman Allah swt. :
136
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-
benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan.” (Qs. Al-
Infithar :13).
Dikatakan bahwa kata na’im adalah qana’ah di dunia.
Dalam Ayat berikutnya :
“Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-
benar berada dalam neraka.” (Qs. Al-Infithar :14).
Kata Jahim berarti kerakusan di dunia.
Mengenai firman Alalh swt. :
“Tahukah kamu, apakah jalan yang mendaki lagi sukar
itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (Qs. Al-Balad
:12-3).
Dikatakan bahwa ayat ini berarti : Membebaskan orang
dari kerendahan sifat tamak.”
Dikatakan bahwa firman Allah swt. : “Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul
bait.” (Qs. Al-Ahza :33), berarti, “menghilangkan sifat kikir dan
iri.”
Dan firman-Nya selanjutnya : “Dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.” (Qs. Al-Hazab :33)) berarti : Melalui sifat
murah hati dan tidak pelit dalam memberi.”
Mengenai firman Allah Swt. : “Ia berkata : “Ya Tuhanku,
ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang
tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku.” (Qs.
Shaad:35). Berarti : “Anugerahkanlah kepadaku derajat
qana’ah yang dapat membuatku sendiri, dibanding sibuk
dengan pesoalanku, yang dengannya aku akan merasa ridha
dengan ketentuan-Mu.”
Dikatakan mengenai firman Allah swt. : “Aku (Sulaiman)
pasti akan menghukum (burung hud-hud) dengan hukuman
137
yang pedih.” (Qs. An-Naml :21), bahwa ayat ini berarti : “Aku
akan menaggalkan darinya sifat qana’ah dan memberinya
cobaan dengan sifat rakus.” Yakni : “Aku akan memohon
kepada Allah swt. agar melakukan hal ini terhadapnya.”
Abu Yazid Bisthamy ditanya : “Bagaimana Anda bisa
sampai pada kedudukan sekarang ini?” Ia menjawab : “Aku
mengumpulkan harta benda dunia ini lalu mengikatnya
dengan tali qana’ah. Lalu aku menempatkan mereka dalam
ketepil keikhlasan dan melontarkannya ka lautan putus asa.
Maka aku pun bisa istirahat.”
Abdul Wahahb, paman Muhammad bin Farhan,
menuturkan, : “Aku sedang duduk-duduk bersama al-Junayd di
sat musim haji, dan disekelilingnya ada sekelompok besar
orang non Arab, termasuk beberapa orang yang telah
dibesarkan di lingkungan rang Arab. Seseorang datang
kepadanya dengan membawa uang limaratus dinar, yang
diletakkannya di hadapan al-Junayd, lalu Junayd berkata, :
“Sebarkan pada orang-orang fakir.” Sambil bertanya
kepadanya : “Apakah kamu masih punya uang selain ini?” Ia
menjawab : “Ya, aku masih punya banyak.” Al-Junayd
bertanya kepadanya : “Apakah kamu ingin memperoleh lebih
banyak dari yang kamu miliki sekarang?” Ia menjawab : “Ya”.
Maka al-Junayd lalu berkata kepadanya : “Ambillah kembali
uangmu ini, sebab engkau lebih memerlukannya daripada
kami.” Junayd tidak menerimanya.”
17.
TAWAKKAL
140
dimudahkan kepadanya, ia melihat kemudahan dari Alalh swt.
di dalamnya.
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki
datang kepada Rasulullah saw. dengan mengendari unta, dan
ia bertanya : “Wahai Rasulullah, haruskah aku biarkan saja
unta tanpa ditambatkan atau kemudian aku bertawakal saja
kepada Allah?” Beliau menjawab “Tambatkanlah untamu dan
sesudah itu bertawakkallah.” (H.r. Tirmidzi).
Ibrahim al-Khawwas berkomentar : “Barangsiapa benar-
benar bertawakkal kepada Allah di dalam urusan dirinya
sendiri, pasti juga akan bertawakkal kepada Allah dalam
urusan dengan orang lain.”
Bisyr al-Hafi mengabarkan : “Salah seorang Sufi
mengatakan : “Aku telah bertawakkal kepada Allah swt.
padahal aku berdusta kepada Allah swt. Seandainya ia
bertawakkal tentu akan puas dengan segala sesuatu yang
diberikan Allah kepadanya.”
Yahya bin Mu’adz ditanya : “Bilakah seseorang dikatakan
bertawakkal?” Ia menjawab : “Jika ia rela menerima Allah
sebagai pelindungnya.”
Brahim al-Khawwa menuturkan : “Ketika aku sedang
melakukan perjalanan ke pedalaman, sebuah suara
memanggilku dan seorang Badui berjalan menghampiriku. Ia
berkata kepadaku : “Wahai Ibrahim di antara kami ada yang
bertawakkal kepada Allah. Tinggallah bersama kami sampai
keyakinanmu menjadi benar (Shahih). Tidakkah engkau tahu
bahwa harapanmu untuk sampai ke sebuah kota aalah dmei
memperoleh citarasa makananyang berbeda?” Berhentilah
mengharapkan kota-kota dan bertawakkalh kepada Allah.”
141
Ketika Ibnu Atha’ ditanya hakikat tawakkal, ia menjelaskan
: “Tawakkal adalah bahwa hendaknya hasrat yang menggebu-
gebu terhadap perkara duniawi tidak muncul dalam dirimu,
meskipunengkau sangat membutuhkannya, dan bahwa
hendaknya engkau senantiasa bersikap qana’ah dengan Allah,
meskipun engkau tergantung paa kebutuhan-kebutuhan
duniawi itu.”
Abu Nashr as- Sarraj berkata : “Keadaan bertawakkal
kepada Allah adalah seperti yang dikatakan oleh Abu Turab
an-Nakhsyaby : “Mengabdikan jasad untuk beribadat,
mengaitkan hati kepada Allah, dan bersikap tenang dalam
mencari kebutuhan. Jika diberi bersyukur, jika tidak, tetap
bersabar.”
Seperti dikatakan Dzun Nuun al-Mishry : “Tawakkal kepada
Allah swt. berarti meninggalkan daya upaya, sebab si hamba
hanya mampu bertawakkal kepada-Nya jika ia mengetahui
bahwa Alalh swt. Maha Tahu dan Maha Melihat akan
keadaannya.”
Abu Ja’far bin Abu Faraj menuturkan : “Aku melihat
seorang dari kalangan jahat dikenal dengan sebutan Unta
Aisyah, yang sedang menerima hukuman cambuk. Aku
bertanya kepadanya : “Pada saat bagaimana rasa sakitmu
akibat cambukkan menjadi reda?” Ia menjawab : “Manakala
orang yang menyebabkan kami dicambuk melihat kami.”
Al-Husain bin Manshur bertanya kepada Ibrahim al-
Khawwas : “Apa yag telah engkau capai dalam perjalananmu
menyeberangi padang pasir?” Ibrahim al-Khawwas
menjawab : “Aku tetap berada dalam keadaan tawakkal
kepada Allah dan menyembuhkan diriku dengannya.” Al-
Husain lalu bertanya kepadanya : “Engkau telah
142
menghabiskan usiamu demi menumbuh suburkan jiwamu.
Tapi bagaimana pendapatmu tentang pemusnahan jiwa demi
keesaan Allah.?”
Abu Nashr as-Sarraj mengatakan : “Tawakkal adaalh
sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakr ad-Daqqaq :
“Membatasi kepedulain mencari rezeki sehari saja, dan tidak
berharap suatu apa pun untuk esok hari.”
Ia menegaskan : “Tawakkal juga seperti yang dikatakan
oleh Sahlbin Abdullah : “Menyerahkan diri kepada Allah swt.
dalam apa pun yang dikehendaki-Nya.”
Abu Ya’kub an-Nahrajury berkata : “Tawakkal kepada
Allah, pada hakikatnya adalah keadaan yang dicerminkan oleh
Ibrahim as. Ketika menaggapi tawaran Jibril as. Untuk
menolongnya, Maka Ibrahim As. Menjawab : “Darimu, aku tiak
perlu bantuanmu.” Ibrahim telah lebur dalam Allah swt. dan
bersama-ya, dan karenanya tidak melihat bersama Allah
selain Allah swt.
Seorang laki-laki bertanya kepada Dzun Nuun am-Mishry :
“Apakah tawakkal itu?” dan ia menjawab : “Tawakkal adalah
menyingkirkan semua yang dipertuan (selain Alalh swt.) dan
meninggalkan hukum sebab akibat.” Orang itu meminta : “Apa
lagi?” Dzun Nuun melanjutkan : “Tawakkal aalah
menghambakan diri kepada Allah dan mengeluarkan diri dari
rububiyah.”
Ketika Hmadun al-Qashshar ditanya tentag tawakkal, ia
menjelaskan : “Tawakkal adalah jika engkau punya
sepuluhribu dirham dan engkau berhutang seperenam dirham,
engkau tetap merasa cemas kalau-kalau engkau mati
sementara hutangmu itu belum terbayar. Dan jika engkau
punya hutang sepuluh ribu dirham dan tidak mampu
143
mewariskan harta yang cukup untuk melunasi hutangmu,
engkau tidak putus asa bahwa Allah swt. niscaya akan
menyelesaikan hutangnmu itu.”
Ketika ditanay tentang tawakkal, Abu Abdullah al-Qurasyi
berkomentar : “Tawakkal berarti bergantung kepada Allah swt.
dalam setiap keadaan.” Si penanya minta penjelasan lebih
jauh, dan beliau mengatakan : “Tinggalkan ketergantungan
kepada setiap sebab yang membawa kepada sebab yang lain,
hingga Allah sendiri yang menguasai semua itu.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Tawakkal adalah
keadaan ruhani (haal) Nabi saw. dan Ikhtiar adalah
Sunnahnya. Maka, barangsiapa yang tetap keadaannya,
berarti janganlah meninggalkan Sunnahnya.”
Abu Sa’id bin Isa al-Kharraz berkata : “Tawakkal adalah
kecemasan tanpa perasaan puas dan kepuasan tanpa
kecemasan.”
Dikatakan : “Tawakkal adalah menganggap kemewahan
dan kekurangan tidak ada bedanya bagi diri sendiri.”
Ibnu Masruq menegaskan : “Tawakkal adalah
menyerahkan diri kepada alur qadha’entuan Allah.”
Abu Utsman al-Hiry menegaskan : “Tawakkal adalah sikap
cukup bersama Allah swt. dengan menggantungkan diri
kepada-Nya.”
Al Husain bin Manshur mengatakan : “Orang yang benar-
benar tawakkal kepada Allh swt. tidak akan memakan
sesuatu, karena di negara itu ada orang yang lebih berhak
akan makanan itu daripada dirinya.”
Umar bin Sinan menuturkan : “Ibrahaim al-Khawwas
berjalan melewati kami, dan kami berkata kepadanya :
“Katakan kepada kami hal paling aenh yang Anda lihat dalam
144
perjalanan-perjalanan Anda!” Ia menjawab : “Al-Khidhr as.
Menemuiku dan minta diperbolehkan menyertaiku, tapi aku
takut jika tawakkalku kepada Allah swt. menjadi rusak dengan
keberadaannya bersamaku. Karena itu, aku lalu memisahkan
diri darinya.”
Ketika Shal bin Abdullah ditanya tentang tawakkal, ia
menjelaskan : “Kalbu yang hidup bersama Allah swt.dan tidak
tertarik kepada yang lain.”
Syeikh Abu Ali ad-daqqaq berkata : “Ada tiga tingkatan
bagi orang yang bertawakkal : (1) Tawakkal (2). Taslim dan (3),
Tafwidh.” Orang yang tawakkal akan merasa tenteram denan
janji-Nya, orang yang taslim akan merasa cukup dengan
pengetahuan-Nya, dan orang yang Tafwidh kepada Allah akan
merasa puas dengan kebijaksanaan-Nya.”
Saya mendengar beliau berkata : “Tawakkal kepada Allah
adalah awal; Taslim adalah tengah-tengahnya, dan Tafwidh
segenap urusan kepada Allah adalah ujungnya.”
Ad-Daqqaq ditanya tentang tawakkal, dan ia
berkomentar : “Tawakkal adalah makan tanpa tamak.”
Yahya bin Muadz mengatakan : “Memakai pakaian dari wol
adalah sebuah toko; berbicara tentang zuhud adalah sebuah
pekerjaan, dan menyertai sebuah kaffilah adalah nafsu.
Semua ini adalah ketergantungan-ketergantungan.”
Seoang laki-laki datang kepada Asy-Syibly dan
mengeluhkan tanggungan keluarganya yang banyak. Asy-
Syibly mengatakan : “Pulanglah ke rumahmu dan usirlah
siapa-siapa yang rezekinya bukan berkat Allah swt.”
Sahl bina Abdullah menegaskan : “Barangsiapa
menghantam dalam aktivitas geraknya, berarti menghantan
145
Sunnah, dan abrangsiapa menghantam dalam tawakkal
berarti menghantam dalam iman.”
Ibrahim al-Khawwas mengisahkan : “Ketika aku sedang
dalam perjalanan menuju ke Mekkah, tiba-tiba aku melihat
seorang yang beringas. Aku bertanya kepadanya : “Engkau
seorang manusia ataukah jin?” Ia menjawab : “Aku Jin.” Aku
bertanya lagi : “Engkau hendak pergi ke mana?” Ia menjawab
tegas : “ke Mekkah, Aku kembali bertanya : “Tanpa bekal apa
pun?” Ia menjawab tegas : “Ya, Di kalangan kamijuga ada jin-
jin yang melakukan perjalanan dalam keadaan tawakkal
kepada Allah.” Aku bertanya kepadanya : “Dan apakah
tawakkal itu?” Ia menjawab : “ Menerima dari Allah swt.”
Ibrahim al-Khawwa adalah seorang yang tiada taranya
dalam hal tawakkal kepaa Allah. Ia belaku sangat cermat
dalam hal itu, Ia selalu membawa jarum dan benang, sebuah
timba kecil untuk berwudhu, dan sebuah guntung. Seseorang
bertanya kepadanya : “Wahai Abu Ishaq, mengapa anda
membawa barng-barang ini, sementara Anda mencegah diri
dari segala hal?” Ia menjawab : “Barang-barang ini tidak
merusak tawakkal kepada Allah set. Sebab Allah swt. telah
menjadikan kewajiban-kewajiban mengikat kita semua.
Seorang fakir tak memiliki kecuali hanya sepotong jubah, dan
jubahnya bisa robek. Jika ia tidak membawa jarum dab
benang dan benang, niscaya auratnya akan terbuka, maka
kesuciannya akan ternoda. Jika engkau melihat seorang fakir
yang tidak membawa timba, jarum dan benang, maka patutu
engkau ragukan kesempurnaan shalatnya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Tawakkal sifat orang
beriman, taslim sifata para wali, dan menyerahkan segenap
urusan kepaa Allah (tafwidh) adalah sifat ahli tauhid. Tawakkal
146
adalah sifat kaum awam, taslim adalah sifat manusia-manusia
khawash, dan tafwidh adalah sifat khawashul khawash.” Saya
juga mendengar beliau berkata : “Tawakkal kepada Allah
adalah sifat para Nabi, taslim adalah sifat Nabi Ibrahim as.
Dan tafwidh adalah sifat Nabi kita Muhammad saw.”
Abu Ja’far al-Haddad menuturkan : “Selama kira-kira
sepuluh tahun tetap berada dalam keadaan pasrah kepada
Allah, sementara aku juga bekerja di pasar. Setiap hari aku
menerima upah, dan tanpa menggunakan sedikit pun darinya
untuk membeli seteguk air atau pergi ke kamar mandi umum,
aku membawa upah hasil jerih payahku kepada para fakir di
Syuniziyah, dan kondisiku sendiri tetap seperti semula.”
Al-Husain, saudara Sinan, berkata : “Aku melakukan ibadat
haji empatbelas kali dengan kaki telanjang dan penuh
tawakkal kepada Alalh. Jika kakiku tercocok duri, kuingatkan
diriku bahwa aku telah mewajibkan pada jiwaku untuk
bertawakkal kepada Allah. Kugosok-gosokan kakiku ke tanah
dan kuteruskan perjalananku.”
Abu Hamzah berkata : “Aku merasa malu kepada Allah
swt. memasuki padang pasir dalam ekadaan perut kenyang,
padahal aku meyakini diriku bertawakal, karena khawatir
jangan-jangan perjalananku dengan rasa kenyang itu sendiri
merupakan bekal yang kusiapkan begi dirimu.”
Etika Hamdun al-Qashshar ditanya tentang tawwakl
kepada Allah, ia menjawab : “Tawakkal adalah derajat yang
belum kucapai, dan bagaimana seseorang yang belum
menyempurnakan kondisi imannya berbicara tentang
tawwakal?”
Dikatakan : “Orang yang bertawakkal kepada Allah swt.
seperti seorang gbayi. IA tidak tahu tempat lain di mana harus
147
berlindug, kecuali payudara ibunya. Seperti itulah keadaan
orang gyang bertawakkal kepada Allah swt. Ia dibimbing
hanya kepada Allah swt.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku sedang berada di
padang pasir dan berjalan di depan sebuah kafilah. Aku
melihat seseorang di depanku, lalu aku bergegas
menyusulnya. Ternyata ia adalah seorang wanita yang
memegang tongkat dan berjalan cukup pelan. Karena kupikir
ia seorang yang lemah, maka aku merogoh saku dan
mengeluarkan uang duapuluh dirham, dan kukatakan
kepadanya, “Ambillah ini. Tunggulah sam[ai kafilah di
belakang menyusulmu dan sewalah seekor unta dengan uang
ini!.”
Tetapi wanita itu hanya mengangkat tangannya ke udara,
dan tiba-tiba di tangannya sudah tergenggam uang-uang
dinar. Katanya : “Engkau mengambil dirham dari kantung
bjumu, tetapi aku mengambil dinar dari Yang Gaib.”
Abu Sulaiman ad- Darany melihat seorang laki-laki di
Mekkah – semoga Allah memuliakan tempat ini --- yang tidak
mengonsumsi apa pun selain air Zam-zam. Setelah beberrapa
hari, Sulaiman bertanya kepadanya.” Bagaimana pendapat
Anda, jika sumur Zam-zam kering, apa yang akan Anda
minum?” Orang itu berdiri, mencium kening Sulaiman, dan
berkata : “Semoga Allah membalas kebaikanmu karena
engkau telah memberi petunjuk kepadaku; sebab sungguh
aku telah menyembah Zam-zam selama beberpa hari ini.”
Kemudian laki-laki itu un berlalu.”
Ibrahim al-Khawwas mengabarkan : “Aku melihat seorang
pemuda di jalan yang menuju ke Syam dengan perilaku
menawan hati. Ia bertanya kepadaku : “Apakah Anda ingin
148
ditemani?” Aku menjawab : “ Tapi aku orang yang lebih lapar.”
Ia berkata : “Jika Anda lapar, saya juga akan berlapar-lapar
bersama Anda.” Maka kami pun berrjalan bersama-sama
selama empat hari. Kemudian sesuatu dihadiahkan orang
kepada kami, dan aku mengajaknya makan.” Mari kita
makan!”
Ia berkata : “Saya telah bertekad untuk tidak menerima
apa pun melalui seorang perantara.” Maka aku lalu berkata :
“Wahai anak muda, betapa ketatnya engkau berlaku atas
dirimu sendiri.” Ia menjawab : “Wahai Ibrahim, janganlah
Anda memujiku, sebab Dia yang membuat perhitungan
melihat kita.” Apa yang engkau ketahui tentang tawakkal?”
Lalu ia menjawab : “Permulaan tawakkal adalah bahwa jika
Anda merasakan sesuatu kebutuhan, Anda menolak, dan Anda
tidak menginginkan sesuatu pun selain Dia yang memiliki
segala kecukupan.”
Dikatakan : “Tawakkal kepada Allah berarti menafikan
keraguan dan menyerahkan segala urusan kepada Sang Maha
Diraja.”
Dikatakan juga : “Sekelompok orang datang kepada al-
Junayd dan bertanya : Ke manakah kita harus mencari
rezeki?” Ia menjawab : “Jika kalian semua tahu, pergi dan
carilah di sana!” Mereka berkata : “Tetapi kami memang
meminta kepada Allah swt.” Al-Junayd mengajarkan : “Jika
kalian mengira bahwa Dia melupakan diri kalian, maka
ingatkanlah Dia.” Mereka bertanya : “haruskah kita pulang
dan bertawakkal kepada Allah?” Al-Junayd menjawab :
“Menguji berarti meragukan.” Mereka bertanya : “Lantas,
apakah rekayasa itu?” Al-Junayd menjawab : “Yaitu
meninggalkan rekayasa itu sendiri.”
149
Abu Sulaiman ad-Darany berkata kepada Ahmad bin al-
Hawary : “Wahai Ahmad, sesungguhnya jalan menuju ke
akhirat itu banyak, dan Syeikhmu mengetahui banyak
diantaranya, kecuali jalan tawakkal yang diberkati ini, sebab
aku belum pernah mencium baunya.”
Dikatakan : “Tawakkal adalah mengandalkan apa yang
ada di tanagn Allah swt. dan berputus-asa apa yang ada di
tangan manusia.”
Dikatakan juga : “Tawakkal adalah mengosongkan batin
dari pikiran untuk menuntut terpenuhinya kebutuhan dalam
upaya mencari rezeki.”
Al-Harits al-Muhasiby – semoga Allah merahmatinya –
ditanya tentang orang yang beratawakkal : “Apakah nafsu
mempengaruhinya?”
Ia menjawab : “Kebinasaan yang disebabkan oleh watak
yag mempengaruhi, tetapi hal itu tidak membahayakan
dirinya sama sekali, dan berputus asa dari semua yang ada di
tangan manusia memberinya kekuatan untuk mengatasi
tamak.”
Dikatakan bahwa an-Nury sedang berada di apdang pasir
dalam keadaan lapar ketika sebuah suara membisikan
kepadanya : “Manakah yang lebih engkau cintai, penyebab
kecukupan ataukah kecukupan itu sendiri?” An-Nury
menjawab : “Kecukupan. Sebab tidak ada lagi selain itu.”
Maka ia pun selama tujuhbelas hari tidak makan.”
Abu Ali ar-Rudzbary berkata : “Jika setelah lima hari
seorang fakir mengatakan : “Aku lapar,” Maka kirimlah ia ke
pasar untuk mencari pekerjaan dan memperoleh sesuatu
untuk dimakan.”
150
Dikatakan bahwa Abu Turab an-Nakhstaby sekali waktu
melihat seorang Sufi memungut kulit semangka untuk
dimakan setelah tiga hari menahan lapar. Maka an-Nakhsyaby
lalu berkata kepadanya, : “Tidak cocok untukmu perilaku Sufi.
Pergi saja ke pasar (Untuk kerja)!.
Abu Ya’kub al-Aqtha’ al-Bashry menuturkan : “Suatu ketika
aku kelaparan selama sepuluh hari di Masjdil Haram, dan aku
merasa lemah, Nafsu menggodaku. Maka aku pergi ke lembah
sungai untuk mencari sesuatu yang menguatkan tubuhku. Aku
melihat sebuah saljamat (sejenis sayuran) dibuang seseorang,
lalu aku memungutnya. Aku merasakan suatu kegelisahan
yang menakutkan dalam hati karena perbuatanku itu, seolah-
olah ada suara yang mengatakan kepadaku : “Engkau telah
lapar selama sepuluh hari, dan sekarang bagianmu hanya
sebuah saljamat yang busuk!” Maka saljamat itu pun
kubuang. Aku masuk ke Masjid, kemudian duduk. Tiba-tiba
ada seorang non Arab di hadapanku seraya meletakkan
sebuah bingkisan dan berkaa : “Ini untuk Anda!” Aku bertanya
kepadanya : “Bagaimana Anda telah memilih saya, untuk
memberikan bingkisan ini?” Ia berkata kepadaku : “Ketahuilah
bahwa kami telah berada di laut selama sepuluh hari. Dan
ketika kapal yang kami tumpangi nyaris tenggelam, masing-
masing dari kami bernadzar bahwa jika Allah swt.
menyelamatkan, kami akan memberikan sesuatu sedekah.
Saya sendiri bernadzar, bahwa jika Allah swt. menyelamatkan
saya, saya akan memberikan bingkisan ini kepada orang
pertama yang saya temui di antara mereka yang tinggal di
dekat Masjid ini, dan Andalah orang pertama yang saya
temui.” Aku lalu meminta orang itu agar membuka
bingkisannya. Ia pun membukanya dan kudapati di dalamnya
151
ada kue-kue samid Mesir, buah kenari berbalut tepung, dan
daging manis yag dipotong kotak-kotak kecil. Aku mengambil
sedikit dari masing-masing jenis makanan itu dan berkata :
“Bawalah sisa makanan ini kepada para pelayan Anda! Ini
adalah hadiah saya untuk Anda, karena saya telah menerima
hadiah Anda.” Kemudian aku berkata kepada diri sendiri :
“Selama sepuluh hari, rezekimu sedang diperjalanan menuju
ke tempatmu, tapi engkau malah mencarinya ke lembah.”
Abu Bakr ar-Razy mengabarkan : “Aku sedang berada
bersma Mumsyad ad-Dinawary ketika mencuat pembicaraaan
tentang hutang . Ia berkata : “Suatu ketika aku punya hutang,
dan pikiranku terganggu memikirkannya. Kemudian aku
bermimpi bertemu seseorang yang berkata kepadaku : “Wahai
orang yang kikir, engkau merampas hak kami sebesar jumlah
itu. Kewajibanmu adalah mengambil dan kamilah yang
memberi.” Maka sejak saat itu aku tidak pernah lagi
berurusan dengan tukang sayur, tukang daging, ataupun
pedagang lainnya.”
Diceritakan tentang Bannan al-Hammal bahwa ia
menuturkan : “Aku sedang berada di tengah perjalanan
menuju ke Mekkah --- semoga Allah menjaganya – datang dari
Mesir, dengan membawa bekal. Tiba-tiba seorang wanita
mendatangiku dan berkata : “Wahai Bannan, engkau seorang
kuli, engkau memikul perbeklan di atas punggungmu, dengan
membayangkan bahwa Dia tidak akan memberikan rezeki
kepadamu!.” Mendengar itu, aku lalu meletakkan bawaanku.
Tapi kemudian tiga kali melintas dalam pikiranku bahwa aku
belum makan. Aku menemukan sebuah gelang kaki di tengah
jalan dan aku berkata dalam hatiku : “Barang ini akan terus ku
pegang sampai pemiliknya datang. Mungkin ia akan
152
memberiku sesuatu manakala aku mengembalikannya.”
Kemudain muncullah wanita tadi, yang kemudian berkata
kepadaku : “Nah, sekarang engkau adalah seorang pedagang!
Engkau mengatakan, mungkin pemiliknya akan datang dan
aku akan mempeoleh sesuatu darinya!” Lalu dilemparkannya
uang bebeerapa dirham kepadaku, sambil berkata :
“Belanjakanlah uang ini!” Ternyata uang itu mencukupi
kebutuhanku hingga aku sampai ke Mekkah.”
Dalam suatu riwayat tentang Bannan disebutkan, bahwa
ia memerlukan seorang budak wanita untuk melayaninya.
Maka ia lalu mengungkapkan keperluannya itu kepada
saudara-saudaranya. Mereka pun mengumpulkan uang untuk
membeli seorang budak, dan memberitahu kepadanya :
“Inilah uang untuk membeli budak itu! Sekelompok budak
sedang dibawa orang kemari. Pilihlah mana yang engkau
sukai!” Ketika rombongan budak itu tiba, semua mata tertuju
kepada salah seorang budak, dan mereka berkata : “Itulah
budak yang cocok untuknya.” Mereka bertanya kepada
pemiliknya : “Berapa harga budak ini?” Ia menjawab “Ia tidak
dijual.” Mereka meminta dengan sangat agar budak itu dijual
kepada mereka, tapi pemiliknya mengatakan : “Ia telah
didperuntukkan bagi Bannan al-Hammal!. Seorang wanita dari
Samarkand mengirimkan kepadanya sebagai hadiah.” Dan
kemudian budak itu pun dibawa kepada Bannan, dan si budak
tersebut lalu menuturkan perihal dirinya kepada Bannan.
Al-Hasan al-Khayyath meriwayatkan : “Aku sedang berada
bersama Bisyir al-Hafi ketika serombongan musyafir datang
dan memberi salam kepadanya. Ia bertanya kepada mereka :
“Dari mana Anda sekalian?” Mereka menjawab : “Kami dari
Syam. Kami datang untuk memberi salam kepada Anda dan
153
sekaligus untuk menunaikan ibadah haji.” Bisyr berkata :
“Semoga Allah swt. menerima syukur Anda sekalian.” Mereka
bertanya : “Maukah Anda pergi bersama kami? Bisyr
menjawab : “Dengan tiga syarat : Kita tidak usah membawa
(bekal) apa pun; kita tidak akan meminta apa pun kepada sipa
pun; dan jika ada orang memberikan sesuatu kepada kita, kita
tidak akan menerimanya.” Mereka menjawab : “Mengenai
persyaratan pertama, kami setuju. Persyaratan kedua juga
kami setuju. Tapi mengenai persyaratan ketiga, kami tidak
setuju.” Maka Bisyr lalu berkata : “Anda semua telah datang
dengan bertawakkal pada perbekalan untuk berhaji.”
Kemudian ia menjelaskan : “Wahai Hasan,a da tiga macam
fakir. Ada fakir yang tidak meminta-minta, tapi jika diberi ia
tidak mau menerimanya, dialah tergolong fakir ruhani. Lalu,
ada fakir yang tidak meminta-minta dan jika diberi sesuatu
mau menerimanya, sebagai tawadhu.” Baginya di hadirat
Yang Maha Suci. Dan si fakir yang meminta-minta, jika diberi
menerimanya sebatas kebutuhan. Tebusannya adalah dengan
memeberikan sedekah.”
Habib al-‘Ajamy ditanya : “Mengapa Anda berhenti
berdagang?” Ia menjawab : “Aku telah mendapati bahwa
jaminan Allah swt. itulah yang patut diandalkan.”
Diceritakan bahwa pada masa dahulu ada seorang laki-
laki yang sedang melakukan perjalanan membawa sepotong
roti. Ia berkata : “Jika aku memakan roti ini, aku akan mati.”
Maka Allah lalu menyerahkannya kepada seorang malaikat,
dengan perintah : “Jika ia memakan roti itu berilah ia rezeki.
Jika ia tidak memakannya, maka janganlah engkau beri apa
pun.” Sepotong roti itu tetap dipegangnya sampai ia
154
meninggal (karena kelaparan), tanpa pernah dimakannya. Dan
ketika ia meninggal, roti itu masih ada bersamanya.
Dikatakan : “Orang yang berjalan di medan tafwidh, maka
tujuannya akan datang kepadanya sebagaimana pengantin
wanita diiringkan kepada keluarga pengantin laki-laki.
Perbedaan antara menyia-nyiakan anugerah Allah (tadhyi”)
dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah (tafwidh)
aalah bahwa tadhyi’ berkaitan terhadap hak-hak Allah swt.
dan merupakan tindakan tercela, sedangkan tafwidh berkaitan
dalam hak-hak Anda, dan merupakan tindakan yang terpuji.”
Abdullah ibnul Mubarak mengatakan : “Barangsiapa
menerima uang satu sen dari sumber yang tidak halal,
beraarti ia tidak bertawakkal kepada Allah.”
Abu Sa’id al-Kharraz menuturkan : “Suatu ketika aku
berjalan menelusuri padang pasir tanpa membawa bekal dan
tiba-tiba aku memerlukan kebutuhan yang sangat. Jauh di
sana, kulihat sebuah tempat perhentian, aku senang karena
aku telah sampai. Maka aku berpikir : “Aku telah menjadi
tenang, dan bertawakkal kepada sesuatu selain Dia.”
Karenanya aku pun lalu bersumpah, bahwa aku tidak akan
masuk ke suha tempat kecuali jika aku dibawa ke dalamnya.
Aku menggali lubang dan mengubur badanku hingga sebatas
dada. Tengah malam, terdengar suara bergema yang
mengatakan : “Wahai penduduk desa, salah seorang wali
Alalh telah menguburkan dirinya di pasir. Cari dan temukanlah
ia!” Lalu jamaah datang kepadaku, mengeluarkanku dan
membawaku ke Desa.”
Abu Hamzah al-Khurasany mengabarkan : “Suatu ketika
aku pergi menunaikan ibadat haji. Di tengah perjalanan aku
jatuh tercebur ke dalam sebuah sumur. Jiwaku mendesak agar
155
aku segera minta tolong, tapi aku berkata : “Tidak, demi Allah,
aku tidak akan minta tolong!.”Begitu aku berpikir demikian.
Lewatlah dua orang laki-laki. Salah seorang diantaranya
berkata : “Mari kita tutup lobang sumur ini agar tidak ada
orang orang yang masuk jatuh ke dalamnya.” Mereka
membawakan jerami dan anyaman, dan menutupi bibir sumur
itu dengan tanah. Aku ingin berteriak, namun aku berkata
kepada diri sendiri : “Aku hanya akan berteriak kepada Dia
yang lebih dekat daripada kedua orang ini.” Maka aku pun
tetap diam. Setelah satu jam, tiba-tiba datanglah sessuatu
yang membuka tutup lubang itu dan menjulurkan kakinya.
Saat itulah kudengar suara raungan pelan yang seolah-olah
mmerintahkan aku : “Berpeganglah kepadaku!” Aku tahu apa
yang dimaksudkan. Maka aku pun berpegang paa kakinya dan
makhluk itu lalu menarikku ke luar dari lubang sumur.
Ternyata ia seekor singa! Dan binatang itu lalu mneruskan
perjalanannya. Sebuah suara gaib berseru kepadaku : “Wahai
Abu Hamzah, tidakkah ini lebih baik? Satu kebinasaan
menyelamatkanmu dari kebinasaan yang lain.” Aku pun terus
berjalan, sambil bersyair :
Aku berteriak keras-keras kepada-Mu agar aku tampak.
Kepada-Mu apa yag kusembunyikan.
Rahasiaku mengatakan apa yang dikatakan mataku
kepadanya.
Maluku terhadap-Mu mencegahku menyembunyikan
nafsu,
Dan Kau buat aku paham, dari-Mu tersingkapnya tabir
Membuat kelembutan-Mu dalam persoalanku
Lalu Engkau tampakkan kesaksianku pada gaibku
Sedang kelembutan bertemu kelembutan
156
Engkau hadirkan Diri-Mu secara gaib kepadaku,
Seakan-akan Engkau beri daku kabar gembira,
Bahwa Kau dalam genggaman.
Kini kulihat Engkau, dan bagiku
Dari gentarku kepada-Mu.
Lalu Kau anugerahi sukacita kelemah-lembutan dari-Mu
Dan kasih-sayang-Mu.
Dan Kau hidupkan kembali seorang pecinta yang cintanya
Pada-Mu berarti kematian baginya
Duhai mengagumkan; hidup ada pada kematian.”
Hudzaifah al-Mar’asyi, yang telah emlayani dan menemani
Ibrahim bin Adam dan para muridnya, ditanya : “Apakah
kejadian paling aneh yang Anda saksikan bersamanya?” Ia
menjawab : “Kami pernah menempuh perjalanan menuju
Mekkah selama beberapa hari tanpa menemukan makanan.
Kami datang ke kufah dan mencari tempat berteduh di sebuah
reruntuhan masjid. Ibrahim melihat kepadaku dan berkata :
“Wahai Huzaifah, kulihat tanda-tanda lapar pada dirimu.” Aku
menjawab : “Seperti yang tuan guru lihat.” Ia lalu berkata
kepadaku : “Bawalah kepadaku tinta dan selembar kertas!.”
Kubawakan apa yang yang dimintanya itu, dan ia
menulis : “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha
Penyayang. Engkau adalah Dia yang diinginkan dalam setiap
keadaan.” Maksud keseluruhannya adalah :
Aku pemudi, aku bersyukur, aku pengingat..
Aku lapar, aku haus, aku telanjang.
Inilah enam sifat, dan aku akan menjamin yang
setengahnya.
Maka Engkau-lah penjamin yang setengahnya wahai
Pencipta.
157
Pujiku, selain Diri-Mu bagaikan api,
Janganlah hamba-Mu yang kecil ini memasuki neraka
Lalu ia memberikan kertas bertulis itu kepadaku dan
memerintahkan : “Pergilah keluar dan jangan engkau lekatkan
hatimu pada sesuatu pun selain Allah swt. Berikan kertas ini
kepada orang pertama yang engkau jumpai!” Aku pun pergi
ke luar, dan orang pertama yang kulihat adalah seorang laki-
laki yang sedang mengendarai seekor keledai. Kuberikan
kertas itu kepadanya. Orang itu mengambilnya dan menangis.
Ia bertanya : “Di mana orang yang telah menuliskan kata-kata
pada kertas ini?” Kukatakan kepadanya, : “Ia berada di Masjid
Anu.” Ia memberikan kepadaku sebuah kantong berisi uang
enamratus dinar. Kemudian aku bertemu dengan seseorang
lainnya dan aku bertanya kepadanya siapa orang yang
mengendari keledai itu. Ian memberitahuku bahwa orang
tersebut adalah seorang Nasrani. Aku kembali kepada Ibahim
dan kuceritakan semuanya kepadanya. Ia berkata : “Jangan
kau sentuh uang itu, sebab ia sedang menuju ke mari!.”
Sejam kemudian orang Nasrani itu pun muncul, mencium
kepala Ibrahim dan menyatakan keislamannya.”
18.
syukur
Allah berfirman :
‘Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah
(nikmat pemberian-Ku) kepadamu.” (Qs. Ibrahim : 7).
Diriwayatkan oleh Yahya bin Ya’la dan Abu Khabab, dari
Atha’ yang berkata : “Aku bersama Ubaid bin Umair
mengunjungi Aisyah r.a. dan berkata akepadanya :
158
“Ceritakanlah kepada kami sesuatu yang paling
mengagumkan yang Anda lihat pada Rasulullah saw.” Beliau
menangis dan bertanya : “Adakah yang beliau lakukan, yag
tidak mengagumkan?” Suatu malam, beliau datag kepadaku,
dan kami tidur di tempat tidur hingga tubuh beliau
bersentuhan dengan tubuhku. Setelah beberapa saat, beliau
berkata : “Wahai putri Abu Bakr, izinkanlah aku bangun untuk
beribadat kepada Tuhanku!” Aku menjawab : “Saya senang
berdekatan dengan Anda.” Tapi aku mengijinkannya. Kemudan
beliau bangun, pergi ke tempat kantong air dan berwudhu
dengan mecucurkan banyak air, lalu shalat. Beliau mulai
menangis hingga air matanya membasahi dadanya, kemudian
beliau ruku’ dan terus menangis, lalu sujud dan terus
menangis, lalu mengangkat kepala dan terus menangis. Terus
menerus beliau dalam keadaan demikian sampai Bilal datang
dan memanggil beliau untuk shalat subuh. Aku bertanya
kepada beliau : “Apakah yang menyebabkan Anda menangis
wahai Rasulullah, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-
dosa Anda, baik yang dahulu maupun yang akan datang?”
Beliau menjawab : “Tidakkah akumenjadi seorang hamba
yang bersyukur? Bagaimana aku tidak akan menangis
sedangkan Allah telah menurunkan ayat ini kepadaku :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut
membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang
diturunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia
hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu
segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang
dikenadlikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-
159
tanda bagi kaum yang mau menggunakan akal.! (Qs. Al-
Baqarah :164).
Dengan ayat ii, Allah swt. memiliki sifat syukur. Artinya,
memberi pahala hamba yang bersyukur, sebagai balasannya
adalah diterimanya syukur itu sendiri. Sebagaimana
difimankan-Nya : “Balasan bagi tindak kejahatan adalah
kejahatan yang serrupa.” (Qs. Asy.Syura : 40).
Dikatakan bahwa bersyukurnya Allah adalah pemberian
balasan yang melimpah bagi amal yang sedikit, seperti kata
pepatah : “Seekor binatang, dikatakan bersyukur, jika ia
mencari makanan melebihi jerami yang diberikan
kepadanya.” Kita mungkin dapat mengatakan bahwa hakikat
bersyukur adalah memuji Sang Pemberi kebaikan dengan
mengingat-ingat anugerah yang telah diberikan-Nya. Jadi
bersyukurnya seorang hamba kepada Allah swt. adalah pujian
kepada-Nya dengan mengingat-ingat anugerah-Nya
kepadanya. Sebaliknya bersyukurnya Allah swt. kepada
hamba-Nya adalah dengan mengingat kebaikan hamba
kepada-Nya. Kebaikan si hamba adalah kepatuhan kepada
Allah swt. sedangkan kebaikan Allah adalah memberikan
rakhmat-Nya kepada si hamba dengan menjadikan ia mampu
menyatakan syukur kepada-Nya. Syukur seorang hamba, pada
hakikatnya mencakup syukur secara lisan maupun penegasan
dalam hati atas anugerah dan rahmat Allah swt.
Syukur dibagi menjadi : Syukur dengan lisan, yang berupa
pengakuan atas anugerah dalam derajat kepasrahan, dan
syukur denga tubuh, yang berarti mengambil sikap setia dan
mengabdi; syukur dengan hati, adalah tenteram dalam latar
musyahadah dengan erus menerus melaksanakan
pemuliaan. Dikatakan bahwa kaum cendekiawan bersyukur
160
dengan lidah mereka, kaum pencinta bersyukur dengan
perbuatan mereka, dan kaum ‘arifin beryukur dengan
istiqamah mereka terhadap-Nya di dalam semua perilaku
mereka.
Abu Bakr al-Warraq berkata : Syukur atas nikmat adalah
memberikan musyahadah terhadap anugerah tersebut dan
menjaga penghormatan.”
Hamdun al-Qashshar menegaskan : “Bersyukur atas
anugerah adalah bahwa engkau memandang dirimu sebagai
parasit dalam syukur.”
Al-Junayd berkomentar : “Ada cacat dalam bersyukur,
karena manusia yang bersyukur melihat peningkatan bagi
dirinya sendiri; jadi ia sadar di sisi Allah swt. lebih dari bagian
dirinya sendiri.”
Abu Utsan berkata : “Syukur berarti mengenal kelemahan
dari syukurnya itu sendiri.”
Dikatakan : “Bersyukur atas kemampuan untuk bersyukur
adalah lebih lengkap daripada bersyukur saja. Dengan cara
memandang bahwa rasa bersyukur Anda datang karena Dia
telah memberikan taufik-Nya, dna Taufiq-Nya itu termasuk
nikmat yang diperuntukkan bagi diri Anda. Jadi Anda
bersyukur atas kesyukuran Anda, dan kemudian Anda
bersyukur terhadap kesyukuran atas kesyukuran Anda,
sampai tak terhingga.
Dikatakan : “Bersyukur adalah menisbatkan anugerah
kepada pemiliknya yang sejati dengan sikap kepasrahan.”
Al-Junayd mengatakan : Bersyukur adalah bahwa engkau
tidak memandang dirimu layak menerima nikmat.”
Ruwayn menegaskan : “Bersyukur adalah engkau
menghabiskan seluruh kemampuanmu.”
161
Dikatakan : “Orang yag bersyukur adalah orang yang
bersyukur atas apa yang ada, dan orang yang sangat
bersyukur adalah yang bersyukur atas apa yang tidak ada.”
Dikatakan : “Orang yang bersyukur berterima kasih atas
pemberian tapi orang yang sangat bersyukur (Syakur)
berterima kasih karena tidak diberi>” Dikatakan juga : “Orang
yang bersyukur berterima kasih atas pemberian, dan orang
yang sangat bersyukur berterima kasih atas lemelaratan.”
Dikatakan : “Orang yang bersyukur berterimakasih manakala
anugerah diberikan, dan orang yang sangat bersyukur
berterima kasih manakala anugerah ditunda.”
Al-Junayd menjelaskan: “Suatu waktu, ketika aku masih
berumur tujuh tahun, aku sedang bermain-main di hadapan
as-Sary, dan sekelompok orang yang sedang berkumpul di
hadapannya, berbincang tentang syukur. Ia bertanya
kepadaku : “Wahai anakku, apakah ebrsyukur itu?” Aku
menjawab : “Syukur adalah jika orang tak menggunakan
nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya.” Ia mengatakan :
“Derajatmu di sisi Allah akan segera engkau peroleh melalui
lidahmu, nak!.” Al Junayd mengatakan : “Aku senantiasa
menangis mengingat kata-kata as-Sary itu.”
Asy-Syibli menjelaskan : “Syukur adalah kesadaran akan
Sang Pemberi Nikmat, bukan memandang nikmat itu sendiri.”
Abu Utsman berkata : “Kaum awam bersyukur karena
diberi makanan atau pakaian, sedangkan kaum khawash
bersyukur atas makna-makna yang datang di hati mereka.”
Dikatakan bahwa Daud as. Bertanya : “Ilahi, bagaimana
aku dapat bersyukur kepada-Mu, sedangkan kesyukuran itu
sendiri adalah nikmat dari-Mu.” Allah mewahyukan kepadanya
: “Sekarang, engkau benar-benar telah bersyukur kepada-Ku.”
162
Dikatakan bahwa Musa as. Mengatakan dalam doa
munajatnya, : “Ya Allah, Engkau telah menciptakan Adam
dengan Tangan-Mu, dan Engkau telah begini dan begitu.
Bagaimana ia bersyukur kepada-Mu?” Allah menjawab : “Ia
mengetahui bahwa semua itu berasal dari-Ku, dan dengan
begitu pengetahuannya tentang semua itu adalah syukurnya
kepada-Ku.”
Diriwayatkan bahwa salah seorang Sufi mempunyai
sahabat yang ditahan oleh Sultan. Sufi itu diminta supaya
datang, dan sahabtnya itu mengatakan kepadanya;
“Bersyukurlah kepada Allah swt!” Lalu sahabatnya itu didera,
dan ia menulis surat kepada si Sufi, “Bersyukurlah kepada
Allah swt!” Kemudian seorang Majusi yang sedang sakit perut
didatangkan dan dibelenggu, salah satu borgol ranatainya
dikenakan pada kaki sahabt, dan borgol lainnya dikenakan
pada kaki Majusi. Pada malam hari, si Majusi sering bangun,
yang berarti sahabt itu terpaksa ikut bangun sampai si Majusi
selesai melepaskan hajatnya. Ia lalu menulis surat kepada
sahabtnya. “Bersyukurlah kepada Allah swt!” Sahabatnya ( si
Sufi) bertanya, “Berapa lama engkau akan mengatakan
kalimat ini “ Cobaan apa yang lebih berat dari ini?”
Sahabatnya menjawab : “Jika sabuk yang dikenakan orang
kafir pada pinggangnya dikenakan pada pinggangmu,
sebagaimana belenggu kakinya juga dikenakan pada kakimu,
maka apa yang akan engkau perbuat?”
Dikatakan : “Syukurnya kedua belah mata adalah bahwa
engkau menyembunyikan cacat yang engkau lihat pada
sahabatmu, dan syukurnya kedua telinga adalah engkau
menyembunyikan cacat yang engkau dengar tentang dirinya.”
163
Dikatakan juga : “Manakala as-Sary berkehendak untuk
mengajarku, biasanya ia mengajukan sebuah pertanyaan
kepadaku. Suatu hari ia bertanya kepadaku : “Wahai Al
Junayd, apakah syukur itu?” Aku menjawab : “Syukur adalah
jika tidak satu bagian pun dari nikmat Allah swt. digunakan
untuk bermaksiat kepada-Nya.” Ia bertanya lagi : “Bagaimana
engkau sampai pada (pengetahuan ini?” Aku menjawab :
“Bersama majelis-majelis Anda.”
Diceritakan bahwa al-Hasan bin Ali pernah bergayut pada
sebuah tiang dan bermunajat : “Tuhanku, Engkau telah
memberi nikmat aku, namun tidak Engkau dapati aku
bersyukur. Engkau telah mengujiku, namun tidak Engkau
dapati aku bersabar. Namun Engkau tidak mencerabut nikmat
karena aku tidak bersyukur, dan tidak melanggengkan
bencana ketika kutinggalkan kesabaran. Tuhanku, tidak ada
yang datang dari Yang Maha Pemurah, kecuali kemurahan.”
Dikatakan : “Jika tanganmu tidak bisa engkau gunakan,
maka engkau mesti lebih banyak mengucap “SYUKUR”
dengan lisanmu.”
Dikatakan pula : “Ada empat amal yang tidak berbuah :
Mempercayakan rahasia kepada orang yang bisu; memberi
nikmat kepada orang yang tidak mau bersyukur; menebar
benih di tanah yang tandus; dan menyalakan lampu di bawah
cahaya matahari...
Juga dikatakan bahwa ketika Idris as. Memperoleh kabar
gembira pengampunan, beliau memohon diberi panjang umur.
Ketika ditanya tentang permohonannya itu, beliau menjawab :
“Agar aku dapat bersyukur kepada-Nya, karena sebelum ini
aku telah berjuang hanya untuk memperoleh
164
ampunan.” Kemudian salah satu malaikat mengembangkan
sayapnya dan membawanyan ke langit.
Diceritakan bahwa salah seorang Nabi – Semoga Allah
swt. melimpahkan salam kepadanya – berjalan melewati
sebuah batu kecil yang memancarkan air, yang membuatnya
kagum. Kemudian Allah menjadikan batu itu berbicara
kepadanya, katanya : “Ketika aku mendengar Allah swt.
berfirman : “Takutlah neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu.” (Qs. At-Tahrim : 6). Aku pun menangis
karena karena takut.” Nabi itu kemudian mendoakan, agar
Allah swt. melindungi batu iru dari api neraka, dan Allah lalu
mewahyukan kepadanya : “Aku telah menyelamatkannya dari
neraka.” Manak Nabi itu lalu meneruskan perjalanannya.
Ketika kembali melwetati batu itu, ia melihat air menyembur
darinya seperti sebelumnya, yang membuatnya heran. Allah
swt. menjadikan batu itu bisa berbicara, dan Nabi itu lalu
bertanya : “Mengapa engkau masih mengis sedangkan Allah
telah mengampunimu?” Batu itu menjawab, : “Sebelumnya
adalah tangis takut dan sedih, sekarang adalah tangis syukur
dan gembira.”
Dikatakan : “Orang yang bersyukur selalu meningkat
karena ia berada di hadapan nikmat.” Allah swt. berfirman :
“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat-
Ku) kepadamu.” (Qs. Ibrahim : 7). Orang yang sabar berada
bersama Allah, karena ia berada di hadirat kesaksian kepada-
Nya yang memberikan cobaan. Allah swt. berfirman :
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar (Qs. Al-
Nafal :46).
Diceritakan bahwa suatu delegasi datang kepada Umar
bin Abdul Aziz r.a. Di antara mereka ada seorang pemuda,
165
yang memulai membuka pembicaraan!” Umar berkata
kepadanya : “Coba yang tua-tua dulu berbicara!” Mendengar
itu si pemuda berkata : “Wahai Amirul Mukminin, jika urusan
diserahkan kepada orang berdasarkan usianya, maka banyak
dikalangan kaum Muslimin yang lebih layak menjadi khalifah
dibanding Anda.” Maka Umar berkta : “Bicaralah!” Pemuda itu
menjelaskan : “Kami bukanlah delegasi yang menyampaikan
keinginan, bukan pula delegasi yang menyampaikan rasa
takut. Mengenai keinginan, maka kemurahan Anda telah
memenuhi kebutuhan kami dari ketakutan.” Maka Umar pun
bertanya kepadanya : “Lantas, siapa kalian ini?” Ia
menjawab : “Kami adalah delegasi yang menyampaikan
syukur. Kami datang untuk menyampaikan terima kasih
kepada Anda, dan sekarang kami akan pulang.” Dan mereka
lalu bersenandung.” :
Alangkah malangnya bahwa syukurku adalah diam
Atas apa yang telah kau lakukan,
Sedangkan kebaikanmu berbicara
Aku melihat anugerah darimu
Dan aku menyembunyikan
Karenanya, di tangan yang pemurah
Jadi pencuri.
Diceritkan bahwa Allah swt. menyampaikan wahyu kepada
Musa as. : “Aku melimpahkan rakhmat kepada hamba-hamba-
Ku : Mereka yang mendapat cobaan maupun mereka yang
terampuni.” Musa bertanya : “Mengapa pula terhadap mereka
yang terampuni>\?” Allah Swti. Menjawab : “Dikarenakan
kecilnya syukur mereka atas dihindarkannya mereka dari
penderitaan itu.”
166
Dikatakan : “Pujian itu bagi anfsu, dan syukur atas
nikamat-nikmat anggota badan.”
Dikatakan pula : “Pujian sebagai permulaan dari-Nya, dan
syukur sebagai tebusan darimu.”
Dalam hadits shahih disebutkan : “Yang pertama di
panggil ke surga adalah mereka yang selalu memuji kepada
Allah swt. dalam segala hal,:
Dikatakan : “Pujian hanya bagi Allah terhadap apa yang
diberikan-Nya, dan syukur atas yang diperbuat oleh-Nya.
19.
YAKIN
20.
SABAR
176
Ruwaym berkata : “Sabar adalah meninggalkan keluh
kesah.”
Dzun Nuun berkata : “Sabar adalah meminta pertolongan
kepada Allah swt.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Sabar adalah
seperti namanya.” Syeikh Abu Abdurrahman melantunkan
syair kepada saya, dari Abu Bakr ar-Razy, dari syair Ibnu Atha’
:
Aku akan bersabar untuk ridha-Mu,
Sedang rindu menghancurkan diriku.
Cukuplah bagiku bahwa Engkau ridha.
Meskipun diriku hancur karena sabarku.
Abu Abdullah bin Khafif mengatakan : “Sabar ada tiga
macam : Sabar orang yang berjuang untuk bersabar
(mutashabbir), sabar orang yagn sabar (shabir) dan sabarnya
orang yang sangat bersabar )Shabbar).”
Ali bin Abu Thalib r.a. berkata : “Sabar adalah gunung
yang tak pernah terguling.”
Ali bin Abdullah al-bashry menuturkan : “Seorang laki-laki
datang kepada as-Syibly dan bertanya : “Sabar macam
manakah yang tersulit bagi orang bersabar?” Ia menjawab :
“Yaitu sabar terhadap Allah swt. Tetapi orang itu
menyanggah : “Bukan!” Asy-Syibly menyarankan : “Sabar
untuk Allah.” Orang itu menyanggah lagi : Bukan!” Asy-Syibly
menjawab : “Sabar bersama Allah.” Sekali lagi orang itu
menyanggah : “Bukan!” Asy-Syibly bertanya : “Lantas, sabar
yang mana?” Orang itu menjawab : “Sabar berjauhan dengan
Allah.” Mendengar jawaban itu asy-Syibly berteriak
sedemikian rupa sehingga nyaris ruhnya melayang.”
177
Abu Muhammad Ahmad al—Jurairy menjelaskan : “Sabar
tidaklah membedakan keadaan bahagia atau menderita,
disertai dengan ketenteraman pikiran dalam keduanya.
Bersikap sabar adalah mengalami kedamaian ketika
menerima cobaan, meskipun dengan adanya kesadaran akan
beban penderitaan.”
Salah seorang Sufi menyenandungkan :
Aku bersabar dan aku belum melihat kehendak-Mu atas
sabarku
Dan kusembunyikan petaka yang Kau kenakan
Pada diriku, di tempat sabar.
Takut bahwa hatiku akan mengeluh tentag deritaku.
Sampai air mataku mengalir, penuh rahasia
Dan aku tak tahu.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar : “Orang yang
sabar akan mencapai derajat yang tinggi di dunia dan di
akhirat, sebab mereka telah mendapat derajat kesertaan di
sisi Allah swt. sebagaimana firman-Nya : “Sesungguhnya Allah
berserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-Nafal :46).
Dikatakan mengenai arti firman Allah swt. : “Hai orang-orang
yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan kaitkanlah (dirimu kepada Allah)>” (Qs. Ali
Imran : 200). Bahwa sabar (shabr) adalah berada di bawah
tahap berteguh hati dalam kesabaran (mushaabarah) dan
dibawah tahap mengaitkan diri kepada Allah (muraabathah).”
Dikatakan juga : “Bersabarlah’ dengan dirimu dalam taat
kepada Alalh swt. Berteguhlah dalam kesabaran’ dengan
hatimu dalam menghadapi cobaan-cobaan yang berkaitan
dengan Allah swt. dan “kaitkanlah’ jiwamu terhadap kerinduan
kepada Allah swt. Juga dikatakan : “”Bersabarlah” kepada
178
Alalh, ‘berteguhlah dalam kesabaran’ dengan Allah, dan
‘kaitkanlah’ jiwamu dengan Allah.”
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Daud as.
: “Berakhlaklah dengan Akhlak-Ku. Di antaranya adalah bahwa
Aku adalah Yang Maha Penyabar.”
Dikatakan : “Seraplah kesabaran. Jika ia membunuhmu,
engkau akan mati sebagai syahid. Jika ia menghidupimu,
maka engkau akan hidup sebagai seorang yang mulia.”
Dikatakan juga : “Kesabaran untuk Allah adalah
kesukaran, sabar dengan Allah adalah baqa’, sabar jauh di
dalam Allah adalah cobaan, dan sabar jauh dari Allah adalah
sangat hampa.”
Para Sufi bersyair :
Kesabaran berjauhan dengan-Mu tercela akibatnya,
Namun terpujilah segala kesabaran yang lain.
Mereka juga membacakan :
Bagaimana sabar, orang yang lepas dari-Ku
Laksana utara dan selatan
Ketika orang-orang bermain-main di segala hal
Aku melihat cinta bermain dengan orang-orang itu.
Dikatakan : “Sabar dalam mencari pemenuhan hidup
adalah tanda kemenangan, dan sabar dalam kesukaran
adalah tanda keselamatan.”
Dikatakan : “Bersikap teguh dalam kesabaran adalah
sabar dalam bersabar, sampai kesabaran tenggelam dalam
kesabaran dan kesabaran berputus asa dari kesabaran,
sebagaimana dikatakan syair :
Sabar orang yang sabar hingga kesabaran meminta
Pertolongan kepadanya
Sang pecinta berseru kepada kesabaran :Sabarlah!.”
179
Suatu ketika Syibly sedang ditahan di rumah sakit jiwa,
dan sekelompok orang daang menjenguknya. Ia bertanya :
Siapakah kalian?” Mereka amenjawab : “Kami adalah sahabat-
sahabat tercintamu yang datang untuk mengunjungimu.”
Maka syibly lalu mulai melempari mereka dengan batu hingga
mereka pun berlarian. Ia berteriak, : “Wahai para pendusta,
jika kalian memang sahabt-sahabatku, niscaya kalian akan
sabar ketika aku uji.”
Dalam suatu riwayat disebutkan : “Demi penglihatan-Ku,
apa yang dipukul oleh mereka yang memikul beban demi Aku,
adalah dalam penglihatan-Ku.”
Allah swt. berfirman :
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu,
karena sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan
Kamu.” (Qs. Ath-Thuur :48).
Salah seorang Sufi mengabarkan : “Aku sedang berada di
Mekkah – semoga Allah swt. menjaganya – dan kulihat
seorang fakir sedang melakukan thawaf. Ia mengeluarkan
selembar kertas dari saku bajunya, melihatnya, kemudian
meneruskan thawafnya. Hari berikutnya kulihat ia melakukan
hal yang sama. Aku memperhatikannya selama beberapa hari,
dan ia terus berbuat demikian. Lalu pada suatu hari ia
berjalan mengelilingi Ka’bah, melihat kertas itu, mundur
beberapa langkah, kemudian jatuh dan mati. Aku mengambil
kertas yang ada di sakunya, dan dilamnya tertulis : “Dan
bersabarlah menunggu ketetapan Tuhanmu, karena
sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan kami.”
Sebagian Sufi berkata : “Aku masuk ke negeri India dan
aku melihat seorang pemuda bermata satu, yang dijuluki
orang “Si Fulan yang Sabar.” Ketika aku bertanya tentangnya,
180
orang mengatakan kepadaku, : “Semasa muda, seorang
sahabtnya berangkat untuk bepergian jauh. Ketika sahabtnya
itu berpamitan, meneteslah air mata dari salah satu kelopak
matanya, namun kelopak matanya yang sebelah lagi tidak. Ia
katakan kepada bola matanya yang tidak menangis itu :
“Mengapa engkau tidak menangis ata keberangkatan
sahabatku?” Engkau kularang melihat dunia ini!” Lalu
ditutupnya matanya itu, dan selama enampuluh tahun belum
pernah dibukanya.”
Dikatakan tentang firman Allah swt. : “Maka bersabarlah
kamu dengan sabar yang baik.” (Qs. Al-Ma’arij :5), bahwa :
Sabar yang baik” itu adalah sabar yang mencegah
diketahuinya korban yang terkena penderitaan.
Umar bin Khtahthab r.a. berkata : “Seandainya kesabaran
dan syukur itu adalah dua ekor unta, bagiku akan sama saja
mana yang akan kukendarai.”
Ketika terkena cobaan, Ibnu Syabramah – semoga Allah
swt. merahmatinya – biasa mengatakan : “Semua ini hanyalah
awan.” Dan cobaan itu akan berlalu.”
Ketika Rasulullah ditanya tentang iman, beliau
menjelaskan :
“(Iman) adalah keteguhan hati dalam bersabar dan
bersikap murah hati.” (H.r. Abu Ya’la dan Baihaqi).
As-Sary ditanya tentang sabar, dan ia mulai berbicara.
Lalu seekor kalajengking merayap ke kakinya dan
menyengatnya beberapa kali, namun ia sama sekali tidak
bergeming. Seseorang bertanya kepadanya : “Mengapa
engkau tidak mencampakkannya?” Ia menjawab : “Aku malu
kepada Allah swt. untuk berbicara tentang sabar sedang aku
sendiri tidak sabar.”
181
Dalam sebuah Hadits dikatakan : “Orang-orang miskin
yang sabar akan bersama di majelis Allah swt. di hari
Kebangkitan.”
Allah swt. mewahyukan kepada salah seorang Nabi-Nya :
“Aku menurunkan cobaan kepada hamba-Ku, lalu ia berdoa
kepada-Ku. Tetapi aku menangguhkan doanya dan ia
mengeluh kepada-Ku. Maka Aku lalu bertanya : “Wahai
hambaku, bagaimana Aku mengasihimu dari suatu yang
dengannya Aku mengasihimu?”
Ibnu “Uyaynah berkomentar megeai arti firman Allah
swt. : “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-
pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami
ketika mereka sabar.” (Qs. As-Sajdah : 24). Bahwa artinya
adalah : “Karena mereka memahami kepedulian pokok
persoalan, maka kami angkat mereka sebagai pemimpin.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan :
“Kondisi bersabar adalah jika engkau tidak berkeberatan
terhadap apa yang telah ditetapkan (takdir), sedangkan
menampakkan cobaan tanpa mengeluh, maka hal ini tidaklah
menghilangkan sabar. Allah swt. berfirman dalam kisah Nabi
Ayyub as, : “Sesungguhnya Kami dapati ia seorang yang
sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia senantiasa
berpaling (kepada Kami).” (Qs. Shaad :44). Allah
memfirmankan ini meskipun Ayyub berkata : “Sesungguhnya
aku telah ditimpa penyakit.” (Qs. Al-Anbiya : 83).” Dan saya
mendengar beliau mengatakan : “Allah menyebutkan ucapan
Ayyub ini agar ucapan tersebut menjadi jalan ke luar bagi
orang-orang yang lemah di antara ummat ini.”
Salah seorang Sufi mengatakan, Allah swt. berfirman :
“Sesungguhnya Kami dapati ia seorang yang sabar (shabir).”
182
Dia tidak berfirman : “yang paling sabar (hsabur).” Sebab
Ayyub tidaklah sabar sepanjang waktu. Sebaliknya, terkadang
beliau merasa senang terhadap cobaan yang menimmpa
dirinya dan mendapati cobaan tersebut menyenangkan. Pada
saat menyenangi cobaan tersebut, beliau bukanlah orang
yang sabar; karena itu Allah tidak menyebutnya, “yang paling
sabar.”
Syeikh Abu ali ad-Daqqaq menegaskan : “Hakikat sabar
adalah jika si hamba keluar dari cobaan dalam keadaan
seperti ketika memasukinya, sebagaimana dikatakan oleh
Ayyub as. Pada akhir cobaan yang menimpa diri beliau.
“Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau
adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yang
menyayangi.” Ayyub memperlihatkan sikap berbicara yang
layak dengan ucapannya : “Dan Engkau adalah Tuhan Yang
Maha Penyayang di antara semua yag menyayangi.” Tetapi
beliau tidak berkata secara jelas, dengan kata-kata :
“Limpahkanlah kasih sayang-Mu kepadaku.”
Sabar ada dua macam : Sabar para ahli ibadat (abidin)
dan sabar para pecinta (muhibbin). Mengenai sabar para ahli
ibadat, adalah lebih baik jika sabar macam ini dipelihara.
Mengenai sabar para pecinta, sebaiknya ditinggalkan. Tentang
makna kata-kata ini, para Sufi membacakan syair berikut :
Di Hari perpisahan, bahwa keputusannya
Untuk bersabar adalah satu di antara dua
Sangkaan-sangkaan dan dusta
Mengeni arti syair ini, saya telah mendengar Syeikh Abu
Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Ya’kub as. Telah menyiapkan
dirinya untuk bersabar. Karenanya, beliau lalu mengatakan :
“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Artinya :
183
“Sikapku adalah bersabar dengan sabar yang baik.” Namun
belum sampai malam tiba, beliau sudah mengatakan : “Aduhai
duka citaku terhadap Yunus.” (Qs. Yusuf :84).
21.
MURAQABAH
184
Jibril berkata : “Engkau benar.” (Hr. Muslim, Tirmidzi, Abu
Dawud dan Nasa’i).
Syeikh Ali ad-Daqqaq berkomentar, bahwa sabda Nabi
saw. “Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia
melihatmu.” Merupakan petunjuk mengenai keadaan mawas
diriepatnya ia dalam kesadaran ini merupakan muraqabah
kepada Allah swt, dan inilah sumber kebaikan baginya. Ia
hanya akan sampai kepada muraqabah ini setelah
sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinya sendiri
mengenai apa yang telah terjadi di masa lampau,
memperbaiki keadaannya di masa kini, tetapi berteguh di
jalan yang benar, memperbaiki hubungannya dengan Allah
swt. dengan sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat
senantiasa ingat kepada Allah swt. taat kepada-Nya dalam
segala kondisi. Baru setelah ia mengetahui keadaan-
keadaannya. Dia melihat perbuatannya, dan Dia mendengar
perkataannya. Orang yang alpa akan semua hal ini, ia akan
jatuh dari titik awal wushul, lalu bagaimana ia akan mencapai
taqarub?”
Al-Jurairy berkata : “Orang yang belum mengukuhkan
rasa takwa dan muraqabah dirinya kepada Allah swt. tidak
akan mencapai mukasyafah dan musyahadah.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq – semoga Allah merahmatinya
--- berkata : “Suatu ketika ada seorang raja mempunyai
seorang menteri yang mendampingi di hadapannya. Sang
menteri berpaling kepada salah seorang pelayan yang hadir,
bukan karena curiga, tapi karena merasa adanya bisik-bisik di
antara pelayang itu. Kebetulan sang raja juga sedang
memperhatikan menterinya itu. Sang menteri khawatir bila
sang raja akan mengira ia melihat kepada para pelayan itu
185
karena curiga. Karena itu, sang menteri tetap mengarahkan
pandangannya kepada mereka. Sejak hari itu sang menteri
selalu datang kepada raja dengan mata memandang ke satu
sisi. Inilah mawas diri seorang manusia terhadap sessamanya;
maka bagaimana pula halnya mawas diri hamba terhadap
Tuhannya?”
Saya mendengar sorang fakir mengabarkan : “Ada
seorang raja mempunyai seorang pelayan yang mendapat
perhatian lebih dari pelayan lainnya. Tidak seorang pun di
antara mereka yang lebih berharga atau lebih tampan dari
pelayan yang satu itu. Sang raja ditanya tentang hal ini, maka
ia lalu ingin menjelaskan kepada mereka kelebihan pelayan
tersebut dari pelayan lainnya dalam pengabdian. Suatu hari ia
sedang menunggu kuda bersama para pengiringnya. Di
kejauhan tampak sebuah gunung bersalju. Sang Raja menatap
ke arah salju itu dan membungkukkan kepala. Si pelayan lalu
memacu kudanya. Orang-orang tidak tau mengapa si pelayan
memacu kudanya. Tidak lama kemudian ia kembali dengan
membawa sidikit salju. Sang raja bertanya kepadanya :
“Bagaimana engkau tau bahwa aku menginginkan salju?” Si
pelayan menjawab : “Karena paduka menatapnya terus, dan
seorang raja hanya melihat sessuatu jika mempunyai niat
yang benar.” Maka sang raja lalu berkata : “Aku memberinya
anugerah dan kehormatan khusus, karena bagi setiap orang
ada pekerjaanya sendiri, dan pekerjannya adalah mengamati
pandangan mataku dan memperhatikan keadaanku.”
Salah seorang Sufi berkomentar : “Orang yang muraqabah
kepada Allah dalam benaknya, niscaya Allah swt. akan
menjaga anggota badannya.”
186
Ketika Abu Husain bin Hind ditanya : “Kapankah seorang
hamba mengusir domba-dombanya ari padang kebinasaan
dengan tongkat panjangnya?” Ia menjawab : “Manakala ia tau
bahwa seseorang sedang memperhatikannya.”
Ketika Ibnu Umar r.a. sedang berada dalam perjalanan ia
melihat seorang anak laki-laki sedang mengembalakan
kambing. Ibnu Umar bertanya kepadanya : “Maukah engkau
menjual seekor kambingmu kepadaku?” Si anak menjawab :
“Kambing-kambing ini bukan milikku.” Ibnu Umar berkata :
“Katakan saja kepada pemiliknya bahwa seekor serigala telah
melarikannya.” Si anak berkata : “Lantas di mana Allah?”
Setelah kejadian itu, untuk beberapa waktu lamanya Ibnu
Umar selalu mengatakan : “Budak itu berkata : :Di mana
Allah?”
Al-Junayd berkata : “Barangsiapa mewujudan muraqabah,
hanyalah takut akan hilangnya bagian dari Allah swt. tidak
yang lain.”
Salah seorang syeikh mempunyai beberapa murid, dan ia
lebih menyukai salah seorang muridnya dn memberinya
perhatian lebih daripada murid-murid yang lain. Ketika ditanya
tentang hal itu, ia menjawab : “Aku akan menunjukkan
kepaamu mengapa aku bersikap demikian terhadapnya.” Lalu
diberikannya kepada setiap orang muridnya seekor burung
dan memerintahkan kepada mereka : “Sembelihah burung-
burung itu di suatu tempat di mana tidak seorang pun akan
melihatnya!.” Mereka semua lalu berangkat, kemudian
masing-masing kembali dengan burung sembelihannya. Tetapi
murid kesayangannya itu kembali dengan membawa burung
pemberian sang Syeikh yang masih dalam keadaan hidup.
Ketika Syeikh bertanya : “Mengapa engkau tidak
187
menyembelihnya?” Si murid menjawab : “Tuan
memerintahkan saya untuk menyembelih burung ini di tempat
yang tidak dilihat oleh siapa pun, dan saya tidak bisa
menemukan tempat seperti itu.” Mendengar jawaban
muridnya itu sang Syeikh lalu berkata kepada murid-murid
yang lain : “Inilah sebabnya mengapa aku lebih memberikan
perhatian kepadanya.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Tanda muraqabah
adalah memilih apa yang di pilih oleh Allah swt. menganggap
besar apa yang dipandang besar oleh-Nya dan menganggap
remeh apa yang di pandang-Nya remeh.”
Ibrahim an-Nashr abadzy menegaskan : “Harapan (raja’)
mendorongmu untuk taat, takut (khauf) menghindarkanmu
dari maksiat; dan muraqabah diri membawamu kepada jalan
kebenaran hakiki.”
Ketika ditanyakan kepada Ja’far bin Nashr mengenai
muraqabah, ia berkata kepada saya : “Muraqabah adalah
menjaga diri terhadap sirri dikarenakan adanya kesadaran
akan pengawan Allah swt. terhadap setiap bisikan.”
Al Jurairy menjelaskan : “Jalan kita didbangun atas dua
bagian yaitu hendaknya engkau memaksa jiwamu untuk
muraqabah terhadap Allah swt. dan hendaknya ilmu tampak
dalam perilaku lahiriahmu.”
Abdullah al-Murta’isy berkomentar : “ Muraqabah adalah
menjaga diti atas batin sendiri dikarenakan kesadaran akan
Yang Ghaib dalam setiap pandangan dan ucaparn.”
Ketika Ibnu Atha’ ditanya : “Amal ibadat apakah yang
paling baik?” Ia menjawab : “Muraqabah terhadap Allah swt di
setiap waktu.”
188
Ibrahim al-Khawwas berkata : “Kemawasan diri
menghasilkan muraqabah; muraqabah menghasilkan
ketulusan bagin dan lahir, semata kepada Allah swt.”
Abu Utsman al-Maghriby menegaskan : “Disiplin paling
utama pada diri manusia dalam menempuh tharikat ini adalah
instropeksi dan muraqabah, sedang aplikasinya dengan ilmu.”
Abu Utsman menuturkan : “Abu Hafs mengatakan
kepadaku, : “Manakala engkau duduk mengajar orang
gbanyak, jadilah seorang penasihat kepada hati dan jiwamu
sendiri dan jangan biarkan dirimu tertipu oleh berkumpulnya
mereka di sekelilingmu, sebab mereka hanya memperhatikan
wujud lahiriahmu, sedangkan Allah swt. memperhatikan wujud
batinmu.”
Abu Sa’id al-Kharraz mengabarkan : “Salah seorang
syeikh mengatakan kepadaku : “Engkau harus mengawasi
batinmu dan bermawas diri terhadap Allah. Suaut ketika aku
sedang bepergian melalui padang pasir, dan tiba-tiba aku
mendengar suara keras yang menakutkan di belakangku. Aku
ingin menoleh tapi, hatl itu tak kulakukan. Lalu aku melihat
sesuatu jatuh ke atas pundakku, dan aku menoleh, sedang
aku menjaga batinku, lantas aku menoleh dan kulihat seekor
binatang buas yang besar.”
Muhammad al-Wasithy berkata : “Amal ibadat terbaik
adalah menjaga waktu. Artinya, si hamba tidak melihat ke luar
batas dirinya, tidak memikirkan sesuatu pun selain Tuhannya,
dan tidak menyertakan diri dengan sesuatu pun selain
waktunya.”
22.
RIDHA
189
Allah swt. berfirman :
“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha
kepada-Nya.” (Qs. Al-maidah : 119; Al-Bayyinah :8).
Jabir r.a. mengabarkan bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Para Penghuni surga akan berada di dalam sebuah
majelis ketika suatu cahaya dari pintu gerbang surga
menyinari mereka, Mereka akan mengangkat kepala dan Allah
swt. akan memandang mereka dan berfirman : “Wahai
penghuni surga, mintalah kepada-Ku apa yang kalian
inginkan!.” Mereka akan menjawab : “Kami mohon agar
Engkau ridha kepada kami.” Allah swt. menjawab :
“Keridhaan-Ku telah membawa kalian ke rumah-Ku, dan Aku
telah memberi kalian kemuliaan-Ku. Ini adalah saat yang
tepat, maka bermohonlah kepada-Ku!” Mereka menjawab :
“Kami memohon tambahan selain ini.”
Selanjutnya Rasul saw. bersabda : “Kemudian mereka
akan dibawakan kednaraan istimewa dari mutu manikam,
kendalinya dari zamrud hijau an manikam merah. Mereka
menaikinya, dan kendaraan itu akan melesat cepet melebihi
kecepatan peglihatan mata. Lalu Allah swt. memerintahkan
buah-buahan yang lezat serta bidadari supaya dibawa kepada
mereka, dan para bidadari itu akan berkata: “Kami adalah
penghibur kenikmatan yang gemulai, dan kami tidak akan
menjadi layu. Kami abadi dan tidak akan mati – jodoh bagi
kaum beriman yang mulia.” Selanjutnya Allah akan
memerintahkan agar didatangkan minyak misik putih yang
harus semerbak, dan mereka akan berputar berkeliling dibawa
angin yang disebut “al-Mutsirah” sampai akhirnya mereka di
190
bawa ke Surga “Adn, yang merupakan pusat surga. Para
malaikat akan menyerukan : “Wahai Tuhan kami, mereka telah
datang .” Allah swt. berfirman : “Selamat datang orang-orang
yang benar, selamat datang orang-orang yang taat!.”
Lalu Rasulullah saw. bersabda : “Maka tabir pun akan
disingkapkan bagi mereka. Mereka akan memandang kepada
Allah swt. dan mereka akan menikmati Cahaya Yang Maha
Pegasih hingga mereka tidak akan melihat satu sama lain.
Kemudian Allah swt. memerintahkan : “Kembalikan mereka ke
istana-istana mereka dengan hadiah.”
Rasulullah saw. menlanjutkan : “Mereka akan dibawa
kembali ke tempat tinggal mereka dan mereka akan dapat
saling pandang lagi.” Lalu Rasulullah saw. menjelaskan :
“Itulah yang dimaksud dengan firman Allah swt.” Sebagai
hadiah dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Qs. Futhshilat : 32).” (H.r. Ibnu an-Najjar dan al-
Bazzar).
Ulama Irak dan Khurasan berbeda pendapat mengenai
ridha. Apakah ia termasuk keadaan ruhani (ahwah) ataukah
maqam? Ulama Khurasan mengatakan : “Ridha adalah salah
satu maqam, sebagai puncak dari tawakkal kepada Allah swt.
Ini berarti bahwa ridha dapat dicapai oleh si hamba dengan
upayanya sendiri.” Sedang ulama Iraq mengatakan : “Ridha
adalah ssalah satu ahwal, bukan sesuatu yang diperoleh
dengan upaya si hamba. Ridha adalah sesuatu yang
memasuki hati, seperti halnya haal-haal yang lain.” Sebuah
kompromi antara dua pandangan ini dapat diajukan, dengan
pernyataan demikian : “Awal ridha adalah sesuatu yang
dicapai oleh si hamba dan merupakan maqam, meskipun
191
pada akhirnya ridha merupakan kondisi ruhani (haal) dan
bukan sesuatu yang diperoleh dengan upaya.”
Banyak orang berbicara tentang ridha, masing-masing
mengungkapkan keadaan dan konsumsi ruhaninya. Maka
ungkapan pendapat mereka berbeda-beda, sebagaimmana
berbedanya pengalaman meneguk ruhani dan bagian masing-
masing.
Sementara syarat ilmu, maka menjadi keharusan. Orang
yang ridha dengan Allah swt. adalah orang yang sama sekali
tidak menentang takdir-Nya.
Syeikh Abu ali ad-Daqqaq mengatakan : “Ridha bukanlah
bahwa engkau tidak mengalami cobaan, ridha hanyalah
bahwa engkau tidak berkeberatan terhadap hukum dan qadha
Allah swt.”
Ketahuilah, kewajiban bagi hamba adalah rela terhadap
ketentuan Alalh swt. yang telah diperintahkan agar ia ridha
dengannya. Sebab tidaklah setiap ketentuan itu
mengharuskan ia ridha, atau boleh ridha dengan qadha
tersebut, misalnya kemakssiatan dan banyaknya fitnah yang
menimpa kaum muslimin.
Para syeikh berkomentar : “Keridhaan adalah gerbang
Allah swt. yang terbesar.” Maksud mereka adalah, bahwa
barangsiapa mendapat kehormatan dengan ridha, berarti ia
telah disambut dengan sambutan paling sempurna, dan
dihormati dengan penghormatan tertinggi.”
Abdul ahid bin Zaid menjelaskan : “Keridhaan adalah
gerbang Allah yang teragung dan surga dunia.”
Ketahuilah bahwa si hamba tidak akan mendekati derajat
ridha kecuali Allah swt. ridha terhadapnya, sebab Allah swt.
192
telah berfirman : “Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun
rela kepada-Nya.” (Qs. Al-Maidah :119).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturan : “Seorang murid
bertanya kepada gurunya : “Apakah si hamba mengetahui jika
Allah ridha kepadanya?” Sang guru menjawab : “Tidak,
bagaimana dapat mengetahuinya, sedang ridha-Nya gaib?” Si
murid berkata : “Sungguh ia tahu hal ini! Jika aku mendapati
hatiku ridha kepada Alalh swt. maka aku tahu bahwa Dia ridha
kepadaku.” Maka sang guru lalu berkata : “Sungguh baik
sekali ucapanmu itu, anak muda.”
Ketika Musa as. Berdoa : “Ilahi, bimbinglah aku kepada
amal yang mendatangkan keridhaan-Mu.” Allah swt.
menjawab : “Engkau tidak akan mampu melakukannya.” Musa
bersujud dan terus memohon. Maka Allah swt. lalu
mewahyukan kepadanya : “Wahai putra Imran, keridhaan-Ku
ada pada keridhaanmu menerima ketetapan-Ku.”
Abu Abdurrahman ad-Darany mengatakan : “Jika si hamba
membebaskan dirinya dari ingatan terhadap hawa nafsu,
maka ia akan mencapai ridha.”
An-Nashr Abadzy menegaskan : “Barangsiapa ingin
mencapai derajat kerelaan, hendaklah berpegang teguh apa-
apa yang paanya Allah telah menempatkan keridhaan-Nya.”
Abu Abdullah bin Khafif menjelaskan : “Ada dua macam
ridha; ridha dengan Allah swt. dan ridha terhadap apa yang
datang dari-Nya. Ridha dengan Alalh swt. berarti bahwa si
hamba rela terhadap-Nya sebagai Pengatur. Dan ridha
terhadap apa yang datang dari-Nya berkaitan dengan apa
yang telah ditetapkan-Nya.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan :
“Jalan sang pengembara ruhani (salikin) itu lebih panjang, dan
193
itulah jalan olah ruhani. Jalan kaum terpilih (khawwash) lebh
singkat, tapi lebih sulit dan menuntut agar engkau bertindak
sesuai dengan keridhaan dan juga ridha dengan takdir.”
Riwaym mengatakan : “Keridhaan adalah jika Allah
meletakkan neraka Jahanam di tangan kanannya, maka ia
tidak akan meminta agar Dia memindahkannya ke tangan
kirinya.”
Abu Bakr bin Thahir berkomentar : “Keridhaan adalah
menghilangkan kesedihan dari hati hingga tidak sesuatu pun
yang tinggal selain kebahagiaan dan kegembiraan.”
Al-Wasithy mengajarkan : “Manfaatkanlah keridhaan
sebesar-besarnya, dan jangan biarkan ia memanfaatkan
dirimu, agar kemanisan dan wawasannya tidak menabirimu
dari kebenran batin yang menyangkut penglihatanmu.”
Ketahuilah bahwa kata-kta al-Wasithy tersebut sangat
penting. Di dalamnya terdapat peringatan yang tersirat bagi
ummat, sebab ridha terhadap keadaan ruhani belaka
merupakan tabir yang gmenabiri Si Pemberi derajat keadaan
ruhani. Jika seseorng menemukan kesenangan dalam ridha
dan mengalami nikmatnya ridha dalam hatinya, maka ia telah
tertabiri oleh keadaannya sendiri dari musyahadah kebenran
batin. Al-Wasithy juga mengingatkan, : “Waspadalah terhadap
perasaan nikmat karena amal ibadat, sebab itu adalah racun
yang membawa maut.”
Ibnu Khafifi berkta : “Ridha adalah tenangnya hati dengan
ketetapan Alalh swt. dan keserassian hati dengan apa yang
menjadikan Allah swt. ridha dan dengan apa yang dipilih-
Nya.”
Ketika Rabi’ah al-Adawiyah ditanya : “Bilakah seorang
hamba dipandang ridha?” Ia menjawab : “Apabila baginya
194
penderitaan sama menggembirakannya dengan anugerah
nikmat.”
Diceritakan bahwa asy-Syibly menegaskan di hdapan al-
Junayd : “Tidak da daya dan kekuatan selain dengan Alalh, (la
haula wa laa quwwata illa billah)” dan al-Junayd mengatakan
kepadanya : “Ucapanmu itu merupakan ungkapan dada yang
sempit, dan dada sempit (sedih) karena meninggalkan ridha
pada ketentuan-Nya.” Asy-Syibly lalu terdiam.
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Ridha adalah jika
engkau tidak meminta surga kepada Alalh swt. atau
berlindung kepada-Nya dari neraka.
Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan : Ada tiga tanda ridha,
tidak punya pilihan sebelumm diputuskannya keteapan
(Allah), tidak merasakan kepahitan setelah diputuskannya
ketetapan, dan tetap merasakan gairah cinta ditengah-tengah
cobaan.”
Dikatakan kepada al-Husain putra Ali bin Abu Thalib r.a. :
“Abu Dzar mengatakan : “Kemiskinan lebih kucintai daripada
kekayaan, dan sakit lebih kucintai daripada kesehatan.” Al-
Husain menjawab : “Semoga Allah mengasihi Abu Dzar. Kalau
aku sendiri berpendapat, Orang yang menruh pilihan baik
Allah swt. baginya, tidak akan berkeinginan selaind ari apa
yang telah dipilihkan Allah swt. baginya.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan kepada Bisyr al-Hafi :
“Ridha adalah lebih baik daripada hidup zuhud di dunia ini,
sebab orang yang rela tidak pernah berkeinginan akan
sesuatu di luar keadaannya.”
Ketika Abu Utsman ditanya tentang sabda Nabi saw. : “Aku
memohon kepada-Mu ridha setelah diputuskannya ketetapan-
Mu.” Dijelaskannya, : “Ini karena ridha sebelum diputuskannya
195
ketetapan Allah, berarti adanya niat kuat untuk ridha, tetapi
ridha setelah diputuskannya ketetapan adalah ridha itu
sendiri.”
Abu Sulaiman berkata : “Seandainya aku ingin
mengetahui sebagian kecil saja tentang ridha. Sekali pun itu
akan menyebabkan aku masuk ke neraka, aku akan menjadi
orang yang ridha.”
Abu Umar ad-Dimasyqi mengatakan : “Ridha adalah
hilangnya kesedihan terhadap perintah yang manapun.”
Al-Junayd berkata : “Ridha berarti meniadakan pilihan.”
Ibnu Atha menegaskan : “Ridha adalah mengarahkan
perhatian hati pada berlalunya qadha bagi si hamba, yaitu
meninggalkan ketidak senangan terhdapnya.”
Ruwaym berkata : “Ridha, tenangnya hati dalam
menjalani ketetapan (Allah).”
An-Nury mengatakan : “Ridha adalah senangnya hati atas
pahitnya nasib.”
Al-Jurairy mengatakan : “Barangsiapa ridha tanpa batas,
Allah swt. akan mengangkat derajatnya di luar batas.”
Abu Turab an-Nakhsyaby menjelaskan : “Siapa pun tidak
akan pernah mendapatkan ridha manakala dalam hatinya ada
seberat biji sawi dunia.”
Diriwayatkan oleh al-Abbas bin Abdul Muthalib, bahwa
Rasulullah saw. menjelaskan : “Orang yang ridha Allah sebagai
Tuhannya, akan merasakan nikmatnya iman.” (Hr. Muslim,
Tirmidzi dan Ahmad).
Diceritakan bahwa Umar bin Khaththab menulis surat
kepada Abu Musa al-Asy’ary, “Amma ba’du”... bahwa segala
kebaikan terletak di dalam keridhaan. Maka jika engkau
196
mampu, jadilah orang yang ridha, jika tidak mampu jadilah
orang yang sabar.
Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa Utbah al-Ghulam
biasa menghabiskan malam-malamnya hingga pagi dengan
berucap : “Jika Engkau menghukumku, aku akan mencintai-
Mu, dan jika Engkau mengasihi aku, aku pun tetap
mencintamu.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan :
“Manusia dibuat dari lempung, dan lempung itu tiada bernilai
untuk menentang keputusan Allah swt.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “ Seorang laki-laki
mrah kepada salah seorang budaknya, maka si budak lalu
minta bantuan seorang laki-laki lainnya untuk menjadi
penengah. Ketika tuannya telah memaffkannya, si budak lalu
menangis, dan si penengah bertanya : “Mengapa engkau
menangis, sedangkan tuanmu telah memaafkanmu?” si tuan
berkata kepadanya : “Ia menginginkan ridhaku, dan tidak ada
jalan lagi baginya untuk memperolehnya. Karena itu ia
menangis.”
23.
UBUDIYAH
197
“Ada tujuh golonga manusia yag akan dinaungi Allah swt.
dalam naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan selain
naungan-Nya : Imam yang adil; pemuda yang bersemangat
dalam ibadat kepada Allah swt; seseorang yang hatinya
berkait dengan masjid sejak saat ia keluar hingga kembali (ke
masjid); dan dua orang yang saling mencintai karena Allah,
yang bertemu dan berpisah karena Allah, seseorang yang
mengingat Allah swt. hingga air matanya mengalir; serta
seseorang yang digoda seorang wanita baik dan cantik, lantas
menjawab dengan ucapan : “Aku takut kepada Allah Tuhan
semesta alam; dan seseorang yang bersedekah dengan diam-
diam hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan
oleh tangan kanannya.” (H.r. Bukhari – Muslim, Tirmidzi dan
Nasa’i).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Ubudiyah adalah
lebih sempurna daripada ibadat. Karena itu, pertama-tama
adalah ibadat. Lalu ubudiyah, dan akhirnya abudah.” Ibadat
adalah amalan kaum awam; Ubudiyah adalah amalam kaum
terpilih (khawwash); dan Abudah adalah amalan kaum yang
sangat terpilih (khawwashul khawwash).” Beliau juga
mengatakan : “Ibadat adalah untuk orang yang memiliki ilmu
yaqin, ubudiyah untuk orang yang memiliki ‘ainul yaqin, dan
abudah untuk orang yang memiliki haqqul yaqin.” Beliau juga
berkomentar : “Ibadat adalah untuk orang yang sedang
berrjuang keras (mujahadah), ubudiyah untuk orang yang
sangat tahan menanggung kesukaran (mukabidat) dan
abudah adalah sifat ahli musyahadah. Jadi, orang yang tidak
mengeluh kepada Allah, jiwanya berada dalam keadaan
ibadat, dan siapa yang tidak bakhil jiwanya dialah pemilik
198
ubudiyah, dan siapa yang tidak bakhil ruhnya, dialah pemilik
abudah.”
Dikatakan : “Ubudiyah adalah menegakkan tindak-tindak
ketaatan yang sejati, dengan khusyu’, memandang diri
dengan mata yang terbatas, dan menydari bahwa amal-amal
kebajikan hanya dapat terlaksana berkat ketentuan takdir.”
Dikatakan pula : “Ubudiyah berarti meninggalkan ikhtiar
sendiri ketika menghadapi takdir ilahi.”
Dikaakan pula : “Ubudiyah adalah mengosongkan diri dari
keyakinan akan kekuatan dan kemampuan diri sendiri dan
mengakui kekayaan serta anugerah yang diberikan-Nya
kepadamu.”
Juga dikatakan : “Ubudiyah adalah menyambut apa pun
perintah yang diberikan kepadamu dan memisahkan dirimu
dari apa pun yang engkau dilarang atasnya.”
Muhammad bin Khafifi ditanya : “Bilakah ubudiyah itu
sah?” Ia menjawab : “Apabila seseorang telah menyerahkan
diri sepenuhnya kepada Allah swt. dan memiliki kesabaran
terhadap-Nya dalam menjalani cobaan-Nya.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Bagi siapa pun, ubudiyah
tidaklah shahih sampai ia tidak memperdulikan empat hal :
Kelaparan, ketelanjangan, kemiskinan dan kehinaan.”
Dikaakan : “Ubudiyah adalah hendaknya engkau
menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya dan
menanggungkan segala perbuatan kepada-Nya.
Dikatakan pula : “Salah satu tanda ubudiyah adalah
bahwa engkau meninggalkan angan-angan sendiri dan
mempersaksikan takdir.”
199
Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan : “Ubudiyah adalah
bahwa engkau menjadi hamba-Nya dalam setiap kondisi,
seperti halnya Dia adalah Tuhanmu di setiap kondisi.”
Ahmad Jurairy menjelaskan : “Penghamba kenikmatan
banyak sekali, tapi sedikit sekali yang menjadi penghamba
Sang Pemberi nikmat.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Engkau akan
menjadi hamba dari siapa pun yang mengikatmu. Jika engkau
teerikat kepada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi
hamba bagi dirimu sendiri. Jika engkau terikat kepda
kehidupan duniawi, maka engkau akan menjadi hamba bagi
kehidupan duniawimu.” Rasulullah saw. bersabda :
“Celakalah hamba dirham, celakalah hamba dinar,
celakalah hamba pakaian bagus.” (H.r. Bukhari).
Ismail bin Nujayd menegaskan : “Tidak satu pun langkah
dapat murni di jalan ubudiyah sampai seseorang melihat
bahwa amal-amal baiknya adalah riya’ dan keadaan-keadaan
ruhani (haal)-nya adalah berpura-pura.”
Abdullah bin Munazil mengatakan : “Hamba adalah
hamba, selala ia tidak menuntut apap pun untuk tunduk
kepada dirinya. Jika ia telah menuntut pelayan bagi dirinya, ia
benar-benar gugur dari batas ubudiyah dan telah
meninggalkan adab ubudiyah.”
Sahl bin Abdullah berkomentar : “Ubudiyah hanya dapat
dipandang benar pada seorang hamba manakala pengaruh
kemiskinan dalam kefakiran tidak tampak, tidak ada tanda
kekayaan ketika ia kaya.”
Dikatakan : “Ubudiyah adalah penyaksian rububiyah.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Aku
mendengar Ibrahim an-Nashr Abadzy mengatakan : “Nilai
200
seorang penghamba karen Yang Dihamba, seperti nilai
seorang ‘Arif karena Allah Yang Dima’rifati.”
Abu Hafs berkata : “Ubudiyah adalah hiasan yang indah
atas diri seorang hamba. Barangsiapa meninggalkan ubudiyah
berarti terlarang dari perhiasan.”
An-Nibajy mengatakan : “Prinsip ibadat itu didasarkan
pada tiga hal : Hendaknya engkau tidak menolak aturan-Nya
yang mana pun; tidak menahan sesuatu pun yang diminta-
Nya; dan hendaknya Dia tidak mendengar engkau meminta
kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhamu.”
Ibnu Atha’ menjelaskan : “Ubudiyah ada empat perilaku :
Kesetiaan pada janji, menjaga batas-batas yang telah
ditetapkan Allah; ridha terhadap apa pun yang dimiiki; dan
kesabaran terhadap apa pun yang hilang.”
Amru bin al-Makky menuturkan : “Tidak pernah kutemui
banyak manusia di Mekkah dan di tempat lain, atau yang
datang mengunjungiku di berbagai waktu, tak seorang pun
yang lebih besar mujahadahnya dan lebih memelihra
ibadatnya dari al-Muzany – semoga Allah merahmatinya. Aku
tidak pernah menjumpai seorang pun yang lebih baik dalam
mengagungkan perintah-perintah Allah swt. daripadanya,
yang lebih mengendalikan diri, atau yang sama pemurahnya
kepada sesamanya, dibanding al-Muzany.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan :
“Tiada sesuatu pun yang lebih mulia dalam ubudiyah, juga
tiada gelar yang lebih sempurna bagi seorang beriman selain
sebuah nama , :ubudiyah”. Karena alsan ini Allah swt. ketika
menggambarkan sifat Rasulullah saw. pada malam Mi’raj –
saat paling mulia di dunia ini – berfimran “Maha suci Allah,
yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam
201
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.” (Qs. Al-Isra’ :1).
Kemudian Allah swt. berfirman : “Lalu ia menyampaikan
kepada hamba-Nya apa yang telah Allah wahyukan.” (Qs. An-
Najm : 10). Maka seandainya ada gelar yang lebih agung
daripada sifat ke “hamba” an, tentulah Dia telah
menggunkanannya untuk beliau.”
Dalam konteks inilah syair dialntunkan :
Wahai Amru, membalaskan tumpahnya darahku
Demi Zahra’ku
Mata dan telinga tahu semua ini.
Jangan panggil diriku
Kecuali “wahai hamba Zahra’”
Sungguh nama termulia
Panggilan itu bagiku.
Salah seorang Sufi berkomentar. “Ada dua hal :
Ketenangan sampai pada kelezatan, dan keterkaitan Anda
atas gerakan. Jika Anda menggugurkan diri dari dua hal
tersbut, Anda bakal mendapati hak ubudiyah.”
Muhammad al-Wasithy memperingatkan : “Waspadalah
terrhadap anugerah yang ditimbulkan oleh pemberian, karne
abagi manusia Sufi, itu merupakan tabir.”
Abu Ali al-Jurjany berkata : “ Merasa ridha adalah rumah
ubudiyah. Sabar adalah pintunya, penyerahan total adalah
rumahnya. Suara di atas pintu, kegaduhan di dalam tempat
tiggal, dan keringanan jiwa ada di rumah.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Sebagaimana
rububiyah sebagai sifat Allah swt. yang tak pernah sirna,
maka ubudiyah adalah sifat hamba yang tak penah pisah.
Sebagian Sufi bersyair :
Jika kau tanya padaku,
202
Aku berkata, “Inilah, aku hamba-Nya.”
Dan jika mereka tanya kepada-Nya,
Dia berkata, “Inilah, dia hamba-Ku.”
AN-Nashr Abadzy menegaskan : “Amal-amal ibadat lebih
dekat pada pencarian maaf dan ampunan atas kekurangan-
kekurangan daripada permohonan imbalan dan pahala.” Ia
juga mengatakan, “Ubudiyah berarti kehilangan kesadaran
akan pengabdian ketika menyaksikan Yang Maha Disembah.”
Al-Junayd mengatakan : “Ubudiyah adalah meninggalkan
semua aktivitas dan kesibukan dengan cara menyibukkan diri
pada hal-hal yang merupakan dasar kebebasan.”
23.
UBUDIYAH
208
25.
ISTIQAMAH
209
Orang yang tidak istiqamah dalam keberadaannya tidak
akan pernah meningkat dari satu tahapan ke tahapan maqam
berikutnya, dan suluknya tidak akan kokoh.
Salah satu persyartan istiqamah dalam hukum
kepemulaan. Sebagaimana bagi ‘arifin, istiqamah merupakan
pangkalnya. Tanda istiqamah dari mereka yang mulai
menempuh suluk adalah bahwa amal-amal lahiriah mereka
tidak tercemari oleh kesenjangan. Bagi mereka yang berada
pada tahap pertengahan (ahlul wasaith) adalah bahwa tidak
ada kata “berhenti”. Tanda istiqamah mereka yang berada
pada tahap akhir adalah, bahwa tidak ada tabir yang
melindungi mereka dan kelanjutan wushulnya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan :
“Ada tiga derajat istiqamah. Menegakkan segala sesuatu
(takwim), meluruskan segala sesuatu (iqamah) berlaku
teguh (istiqamah). Taqwim menyangkut disiplin jiwa; iqamah
berkaitan dengan penyempurnaan hati; dan istiqamah
berhubungan dengan tindak mendekat kepada Allah dengan
jalan sirri.”
Abu Bakr ash-Shiddiq. Ra. Berkomentar : “Makna firman-
Nya .... kemudian mereka ber istiqamah.’ Adalah bahwa
mereka tidak menyekutukan Allah swt. dengan sessuatu pun.”
Umar bin Khaththab r.a. mengajarkan : “:Artinya : “mereka
tidak menipu orang lain seperti rubah.”
Pendpat Abu Bakr merujuk pada pelaksanaan prinsip-
prinsip tauhid, sedangkan pendapat Umar merujuk kepada
sikap mencegah diri dari penafsiran-penafsiran yang
dipaksakan, dan pelaksanaan syarat-syarat perjanjian.
210
Ibnu Atha’ mengatakan bahwa ayat di atas berarti :
“Mereka istiqamah dalam membatasi hati mereka kepada
Tuhan.”
Abu Ali al-Juzajany berkata : “Jadilah pemilik istiqamah,
bukan pencari karamah. Sebab nafsumu masih berkutat
mencari karamah, padahal Allah swt, menuntutmu istiqamah.
Abu Ali asy-Syabbuwy menuturkan : “Aku bermimpi
bertemu dengan Nabi saw. dan aku berkata kepada Beliau :
“Dikabarkan bahwa Paduka bersabda : “Surat Huud telah
membuat rambutku menjadi putih.” Apakah (rambut Paduka
menjadi putih karena) kisah-kisah para Nabi ataukah karena
dimusnahkannya ummat-ummat (zaman dahulu?) Beliau
menjawab : “Bukan, melainkan karena firman Allah swt.”
“Maka beristiqamahlah kamu sebagaimana kamu telah
diperintah!.” (Qs. Huud :112).
Dikatakan : Hanya orang-orang besar saja yang dapat
memelihara istiqamah, sebab hal ini meninggalkan perkara
yang sebelumnya disepakati dan meninggalkan adat serta
kebiasaan, menegakkan ketulusan secara esensial di sisi Allah
swt. Karena itu, Nabi saw. bersabda : “Beristiqamahlah kamu,
mekipun kamu sekalian tidak akan mampu melakukan
sepenuhnya!.”
Al-Wasithy mengatakan :Istiqamah adalah sifat akhlak
sempurna, tanpa istiqamah akhlak akan menjadi buruk.”
Asy-Syibly mengatakan : “Istiqamah berarti engkau
menghadapi setiap waktu, sebagai wahana bangkitnya.”
Dikatakan : “Istiqmah dalam berbicara berarti
meninggalkan perbuatan menggunjing orang, dalam tindakan
berarti menjauhi bid’ah, dalam amal saleh berarti
211
meninggalkan kemalasan dan dalam keadaan (haal) batin ia
berarti menyingkap hijan.”
Saya mendengar Syeikh Abu Bakr Muhammad bin al-
Hasan bin Furak menjelaskan : “Huruf siin dalam lafadz
‘istiqamah’ adalah siin pencapaian. Artinya, mereka memohon
istiqamah dalam bertauhid, kemudian dalam menepati janji,
dan dalam menjaga batas-batas perilaku mereka sesuai
dengan ketetapan Allah swt.”
Ketahuilah bahwa istiqamah melahirkan ketetapan akan
karamah. Allah swt. berfirman :
“Jikalau mereka tetap berjalan lurus (istiqamah) di atas
tharikat itu, niscaya Kami akan memberi mereka minum
dengan air yang berlimpah.” (Qs. Al-Jin :16),
Allah swt, tidak berfirman : “Kami akan membairkan
mereka minum.” Melainkan : “Kami akan memberi mereka
minum dengan air yang berlimpah.” Yang menunjukkan
keabadiannya.
Al-Junayd berkata : “Aku berjumpa denegan salah seorang
penempuh jalan Allah (salik) di padang pasir di bawah
sebatang, dialah Ummu Ghailan. Kutanyakan kepadanya :
“Mengapa Anda duduk di situ? Ia menjawab : “Ada peristiwa,
aku kehilangan sesuatu, dan aku berlalu meninggalkannya.
Ketika aku kembali dari ibadat haji, aku bersama pemuda,
kutemukan barang tersebut telah berpindah ke sebuah
tempat yang lebih dekat ke pohon itu.” Aku bertanya :
“Mengapa Anda duduk di sini?” Ia menjawab : “Aku telah
menemukan apa yang telah kucari di tempat ini, jadi tetap
saja aku duduk di sini.” Al-Junayd berkata : “Aku tidak tahu
mana yang lebih mulia, kegigihannya karena kehilangan
212
keadaan, atau keteguhan hatinya tinggal di tempat di mana ia
telah mencapai kehendaknya.”
26.
IKHLAS
Friman Allah swt. :
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih
(dari syirik).” (Qs. Az-Zumar :3).
Anas bin Malik r.a menuturkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Belenggu tidak akan masuk ke dalam hati seorang
Muslim jika ia menetapi tiga perkara. Ikhlas beramal hanya
bagi Allah swt. memberikan nasihat yang tulus kepada
penguasa, dan tetap berkumpul dengan masyarakat Muslim.”
(Hr. Ahmad, dikategorikan shahih oleh Ibnu Hibban dan Ibnu
Hajar).
Ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah swt. Sebagai
Satu-satunya sesembahan. Sikap taat dimaksudkan adalah
taqarrub kepada Allah swt. mengesampingkan yang lain dari
makhluk, apakah itu sifat memperoleh pujian atau pun
peghormatan dari manusia. Atatupun konotasi kehendak
selain taqarrub kepada Allah swt. semata. Dapat dikatakan :
“Keikhlasan berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari
campur tangan sesama makhluk.” Dikatakan juga “Keikhlasan
berarti melindungi diri sendiri dari urusan individu-individu
manusia.”
Nabi saw. ditanya, apakah ikhlas itu? Nabi saw. bersabda :
“Aku bertanya kepada Jibril as. Tentang ikhlas, apakah
ikhlas itu? Lalu Jibril berkata : “Aku bertanya kepada Tuhan
Yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah sebenarnya? Allah swt.
213
menjawab “Suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan
di hati hamba-hamba-Ku yang kucintai.” (Hr. Al-Qazwini,
riwayat dari Hudzaifah).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Keikhlasan adalah
menjaga diri dari campur tangan makhluk, dan sifat shidq
berarti membersihkan diri dari kesadaran akan diri sendiri.
Orang yang ikhlas tidaklah bersikap riya’ dan orang yang jujur
tidaklah takjub pada diri sendiri.”
Dzun Nuun al-Mishry berkomentar : “Keikhlaan hanya
tidak dapat dipandang sempurna, kecuali dengan cara
menetapi dengan sebenar-benarnya dan bersabar untuknya.
Sedangkan jujur hanya dapat dipenuhi dengan cara berikhlas
secara terus menerus.”
Abu Ya’qub as-Susy mengatakan : “Apabila mereka
melihat keikhlasan dan dalam keikhlasannya, maka keikhlasan
mereka itu memerlukan keikhlasan lagi.”
Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan : “Ada tiga tanda
keikhlasan. Manakala orang yang bersangkutan memandang
pujian dan celaan manusia samasaja; melupakan amal ketika
beramal; dan jika ia lupa akan haknya untuk memperoleh
pahala di akhirat karena amal baiknya.”
Aengenai ikhlas manusia pilihan (khawwash), keikhlasan
datang kepada mereka bukan dengan perbuatan mereka
sendiri. Amal kebaikan lahir dari mereka tetapi mereka
amenyadari perbuatan baiknya bukan dari diri sendiri, tidak
pula peduli terhadap amalnya. Itulah keikhlasan kaum
pilihan.”
Abu Bakr ad-Daqqaq menegaskan : “Cacat keikhlasan dari
masing-masing orang yang ikhlas adalah penglihatannya akan
keikhlasannya itu. Jika Allah swt. menghendaki untuk
214
memurnikan keikhlasannya. Dia akan menggugurkan
keikhlasannya dengan cara tidak memandang keikhlasannya
sendiri dan jadilah ia sebagia orang yang diikhlaskan Allah
swt. (mukhlash) bukannya berikhlas (mukhlish).”
Sahl berkata : “Hanya orang yang ikhlas (mukhlish)
sajalah yang mengetahui riya.”
Abu Sa’id al-Kharraz menegaskan : “Riya kaum ‘arifin
lebih baik daripada ikhlas para murid.”
Dzun Nuun berkata : “Kekikhlasan adalah apa yag
dilindungi dari kerusakan musuh.”
Abu Utsman mengatakan : “Keikhlasan adalah melupakan
padnangan makhluk melalui perhatian yang terus menerus
kepada khlaik.”
Huszaifah al-Mar’asyi berkomentar : “Keikhlasan berarti
bahwa perbuatan-perbuatan si hamba adalah sama, baik lahir
maupun batinnya.”
Dikatakan : “Keikhlasan adalah sesuatu yang dengannya
Allah swt. berkehendak dan dimaksudkan tulus dalam ucapan
serta tindakan.”
Dikatakan pula : “Keikhlasan berarti mengikat diri sendiri
pada kesadaran akan perbuatan baik.”
As-Sary mengatakan : “Orang yang menghiasi dirinya di
hadapan manusia dengan sesuatu yang bukan miliknya,
berarti tercampak dari penghargaan Allah swt.”
Al-Fudhail berkata : “Menghentikan amal-amal baik karena
manusia adalah riya’, dan melaksanakannya karena manusia
adalah musyrik. Ikhlas berarti Allah menyembunyikan dari dua
penyakit ini.”
Al-Junayd mengatakan : “Keikhlasan adalah rahasia antara
Allah dengan si hamba. Bahkan malaikat pencatat tidak
215
mengetahui sedikit pun mengenainya untuk dapat
dituliskannya, setan tidak mengetahuinya hingga tidak dapat
merusaknya, nafsu pun tidak menyadarinya sehingga ia tidak
mampu mempengaruhinya.”
Ruwaym menjelaskan : “Ikhlas dalam beramal kebaikan
berarti bahwa orang yang melakukannya tidak menginginkan
pahala baik di dunia maupun di akhirat.”
Dikatakan kepada Sahl bin Abdullah : “Apakah hal terberat
pada diri manusia? Ia menjawab : “Keikhlasan, sebab diri
manusia tidak punya bagian di dalamnya.”
Ketika ditanya tentang ikhlas, salah seorang Sufi
menjawab : “Ikhlas berarti engkau tidak memanggil siapa pun
selain Allah swt. untuk menjadi saksi atas perbuatanmu.”
Salah seorang Sufi menuturkan : Aku menemui Sahl bin
Abdullah pada hari Jum’at di rumahnya sebelum shalat. Ada
seekor ular di rumahnya, hingga aku ragu-ragu berdiri di
pintu. Ia berseru : Masuklah! Tidak seorang pun dapat
mencapai hakikat iman jika ia masih takut pada sesuatu pun
di atas bumi.” Kemudian ia bertanya. “Apakah engkau hendak
mengikuti shalat Jum’at? Aku menjawab “Jarak dari sini ke
masjid di depan kita adalah sejauh perjalanan sehari
semalam. Maka Sahl lalu menggandeng tanganku, dan sesaat
kemudian kami telah berada di masjid itu. Kami masuk ke
dalam dan shalat, kemudian keluar. Sahl berdiri di sana,
melihat ke arah orang banyak, dan berkata : Banyak orang
mengucapkan “Laa ilaaha Illallaah”. Tapi yang ikhlas amatlah
sedikit.”
Makhul berkata : “Tidak seorang pun hamba yang ikhlas
seama empat puluh hari, kecuali akan mendapatkan sumber
hikmah memancar dari hati pada lisannya.”
216
Yusuf bin al Husain berkomentar : “Milikku yang paling
berharga di atas dunia ini adalah keikhlasan. Betapa
seringnya aku telah berjuang untuk membebaskan hatiku dari
riya’ namun setiap kali aku berhasil, ia muncul dalam warna
yang lain!.”
Abu Sulaiman berkata : “Jika seorang hamba berikhlas,
maka terpotonglah waswas dan riya”.
27.
KEJUJURAN
Allah swt. berfirman :
“Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (Qs.
At-Taubah :19).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasululah
saw. bersabda :
“Jika seorang hamba tetap bertindak jujur dan berteguh
hati untuk bertindak jujur, maka ia akan ditulis di sisi Allah
sebagai orang yang jujur, dan jika ia tetap berbuat dusta dan
berteguh hati untuk berbuat dusta, maka ia akan ditulis di sisi
Allah sebagai pendusta.” (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Kejujuran (shidq) adalah tiang penopang segala
persoalan, dengannya kesempurnaan dalam menempuh jalan
ini tercapai, dan melaluinya pula ada tata aturan. Kejujuran
mengiringi derajat kenabian, sebagaimana difirmankan Allah
swt. :
“.... Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-
orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu para Nabi dan
orang-orang yang menetapi kejujuran (Shiddiqin) para
syuhada’ dan orang-orang ssaleh.” (Qs. An-Nisa’ :69).
217
Kata Shidq (orang yang jujur) berasal dari kata Shidq
(kejujuran). Kata Shiddiq adalah bentuk penekanan
(mubalaghah) dari shadiq, dan berarti orang yang didominasi
oleh kejujuran. Demikian juga halnya dengan kata-kata lain
yang bermakna penekanan, seperti sikkir dan pemabuk, yang
penuh anggur (khimmir). Derajat terendah kejujuran adalah
bila batin seseorang selaras dengan perbuatan lahirnya.
Shadiq adalah orang yang benar dalam kata-katanya.
Shiddiqy adalah orang yang benar-benar jujur dalam semua
kata-kata, perbuata dan keadaan batinnya.
Ahmad bin Khadhrawaih mengajarkan : “Barangsiapa
ingin agar Allah bersamanya, hendaklah ia berpegang teguh
pada kejujuran, sebab Allah swt. bersama-sama orang yang
jujur.”
Al-Junayd berkata : “Orang yang jujur berubah empat
puluh kali dalam sehari, sedangkan orang riya’ tetap berada
dalam satu keadaan selama empat puluh tahun.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Jika orang yang
jujur ingin menggambarkan apa yang ada dalam hatinya,
maka lisannya tidak akan mengatakannya.”
Dikatakan : “Bersikap jujur berarti menegaskan
kebenaran, meskipun terancam kebinasaan.”
An-Naqqad mengatakan : “Sikap jujur berarti mencegah
kedua rahang (syidq) dari mengucapkan apa yang terlarang.”
Abdul Wahid bin Zaid berkomentar : “Sikap benar adalah
setia kepada Allah swt. dalam tindakan,”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Seorang hamba yang
menipu diri sendiri atau orang lain tidak akan mencium harum
semerbaknya kebenaran.”
218
Abu Sa’id al-Qurasyi mengatakan : “Orang yang jujur
adalah orang yang siap mati dan tidak akan malu jika
rahasianya diungkapkan. Allah swt. berfirman : “Maka,
inginkanlah kematian, jika kamu orang-orang yang jujur.” (Qs.
Al-Baqarah :94).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu hari Abu
Ali ats-Tsaqafy sedang memberikan pelajaran, tiba-tiba
Abdullah bin Munazil berkata kepadanya : “Wahai Abu Ali,
siapkanlah diri Anda untuk mati, sebab tidak ada jalan untuk
lari darinya. “Abu Ali menjawab : “Dan Anda, wahai Abdullah,
siapkanlah diri untuk mati, sebab tidak ada jalan lari darinya.
‘Maka disaat itulah Abdullah merebahkan diri,
membentangkan kedua tangannya, menundukkan kepalanya
dan mengatakan : “Aku mati sekarang.” Abu Ali pun diam
terpaku karenanya, dimana dirinya tidak mampu menandingi
apa yang dilakukan Abdullah, karena Abu Ali masih terpaut
pada dunia, sedangkan Abdullah telah terbebas dari ikatan
dunia.”
Ahmad bin Muhammad ad-Dainury sedang berbicara di
hadapan sekumpulan orang ketika seorang wanita di antara
mereka berteriak, Abu Abbas memarahinya dengan kata-
kata : “Matilah engkau!” Wanita itu bangkit, maju beberapa
langkah, berpaling kepadanya dan berkata, “Aku telah mati.”
Kemudian ia jatuh ke tanah dan mati.”
Al-Wasithy berkata : “Kejujuran adalah keyakinan yang
kokoh terhadap tauhid bersama-sama dengan niat.”
Dikatakan : “Abdul Wahid bin Zaid memandang kepada
seorang pemuda di antara para sahabtnya, yang bertubuh
kurus kering, dan Abdul Wahid bertanya kepadanya : “Apakah
engkau telah terlalu lama memperpanjang puasamu?”
219
Pemuda itu menjawab : “Aku juga bukan memperpanjang
berbuka. Kemudian Abdul Wahid bertanya : Apakah engkau
telah memperpanjang waktu bangun untuk shalat malammu?”
Pemuda itu menjawab : Bukan, bukan pula aku telah
memperpanjang tidur.” Lalu Abdul Wahid pun bertanya :
Apakah yang telah membuatmu begitu kurus?” Pemuda itu
menjawab : “Hasrat yang selalu berkobar dan rahasia
terpendam yang abadi.” Abdul Wahid berseru, Dengarlah!
Betapa beraninya pemuda ini!. Pemuda itu lalu berdiri, maju
dua langkah dan berteriak : “Ya Allah, jika aku memang tulus,
ambillah nyawaku sekarang juga!” lalu ia pun jatuh dan
meninggalkan dunia ini.”
Abu Amr az-Zajjajy menuturkan : Ibuku meninggal, dan
aku mewarisi sebuah rumah beliau. Aku menjualnya dengan
harga limapuluh dinar dan kemudain berangkat menunaikan
ibadah haji. Setiba di Babilonia, seorang penggali saluran air
bertanya kepadaku : “Apa yang engkau bawa ?” Aku berkata
dalam hati : “Kejujuran adalah yang terbaik.” Dan aku
menjawab : “Uang lima puluh dinar.” Ia berkata :
“Serahkanlah kepadaku!” Maka akupun memberikan kantong
uangku kepadanya. Dihitungnya jumlah semua uang di
dalamnya, dan ternyata memang ada limapuluh dinar.
Berkatalah ia : “Ambillah kembali uangmu!” Kejujuranmu
menyentuh hatiku.” Lalu ia turun dari kudanya dan berkata :
“Niaklah kudaku” Aku balik berkata : Aku tidak
menginginkannya.” Ia berkata : “Harus...!” dan terus
memaksaku menaiki kudanya. Kahirnya setelah aku bersedia
naik di atasnya, ia berkata : Aku di belakangmu.” Satu tahun
kemudian ia berhasil menyusulku, dan tinggal bersamaku
hingga akhir hayatnya.”
220
Ibrahim al-Khawwas menjelaskan : “Orang jujur tidak
memandang kecuali kewajiban yang harus ditunaikan, atau
ibadat utama bagi Allah swt.”
Al-Junayd berkata : “Inti kejujuran adalah bahwa engkau
berkata jujur di wilayah yang, apabila seseorang berkata jujur
tidak akan selamat kecuali berdusta.”
Dikatakan : “Tiga hal tidak penah lepas dari seorang jujur
ucapannya, kehadiran yang kharismatis dan pancaran taat di
wajahnya.”
Dikatakan pula “Allah swt. bersabda kepada Daud as. :
“Wahai Daud, barangsiapa menereima apa yang kukaakan
dengan sejujurnya dalam hatinya niscaya Aku akan
mengukuhkan sifat jujur di kalangan makhluk manuisa dalam
lahiriahnya.”
Dikatakan Ibrahim bin Dawhah memasuki padang pasi
bersma Ibrahim bin Sitanbah. Kata Ibnu Dawhah : “Ibnu
Sitanbah mengatakan kepadaku : “Campakkanlah segala apa
yang mengikatmu!.” Aku melemparkan segala sesuatu yang
ada padaku, kecuali uang satu dinar. Lalu ia berkata : “Wahai
Ibrahim, janganlah engkau membebani pikiranku!.
Campakkanlah keerikatanmu! Maka dinar itu pun lalu
kulemparkan. Tapi lagi-lagi ia mengatakan. Wahai Ibrahim,
campakkanlah keterikatanmu!” Lalu aku ingat bahwaaku
masih memiliki beberapa tali sandal cadangan, yang lalu
kulemparkan juga. Selanjutnya, dalam perjalananku, setiap
kali aku memerlukan tali sandal, maka muncullah seutas tali
sandal di hadapanku. Ibrahim bin Sitanbah mengatakan :
“Inilah orang yang beramal dengan Allah swt. secara jujur.”
221
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Kejujuran adalah pedang
Allah, tidak satu pun di letakkan padanya, kecuali akan
terpotong.
Sahl bin Abdullah mengataka : “Awal penghianatan orang-
orang jujur adalah menculnya keraguan dengan dirinya.”
Ketika ditanya tentang kejujuran, Fath al-Maushaly
memasukkan tangannya ke dalam bara api seorang tukang
besi. Mengambil sebatang besi yang merah membara,
meletakkannya di telpak tangannya dan berkata : “Inilah
kejujuran!”
Yusuf bin Asbat berkata : “Aku lebih suka menghabiskan
waktu semalam bersama Allah swt. dalam kejujuran jiwa
daripada berperang dengan pedangku di Jalan-Nya.”
Abu Ali ad-Daqqaq menegaskan : “Kejujuran adalah
seperti engkau menganggap dirimu sebagaimana adanya,
atau engkau dilihat seperti apa adanya dirimu.”
Ketika al-Harits al-Muhasiby ditanya tentang tanda-tanda
kejujuran, ia menjawab : “Orang yang jujur adalah orang yang
manakala tidak peduli akan ketergantungan kalbu manusia
kepada dirinya, tidak pula senang atas ketergantungan kalbu
manusia kepada dirinya, tidak pula senang atas jasanya
kepada manusia untuk dilihat, dan juga tidak peduli apakah
popularitasnya di antara manusia akan lenyap. Ia bahkan
tidak membenci bila perbuatan buruknya dilihat oleh orang
banyak, Jika ia benci, ia perlu menambah imannya. Dan yang
demikian itu bukanlah ciri akhlak orang-orang jujur.”
Salah seoran Sufi berkomentar : “Jika seseorang tidak
memenuhi satu kewajiban agama yang abadi, maka
pelaksanaan keajiban-kewajiban agamanya sesuai dengan
222
waktu yang telah ditetapkeseorang bertanya : “Apakah
kewajiban agama yang abadi itu?” Ia menjwab : “Kejujuran.”
Dikatakan : “Jika engkau mencari Allah swt. dalam
kejujuran, niscaya Dia akan memberimu cermin yag di
dalamnya engkau akan melihat semua keajabiban dunia dan
akhirat.”
Dikatakan : “Engkau harus berlaku jujur ketika merasa
takut bahwa hal itu akan mencelakakanmu, padahal itu akan
bermanfaat bagimu. Janganlah menipu ketika engkau mengira
hal itu akan menguntungkanmu, padahal pasti ia akan
merugikanmu.”
Dikatakan juga : “Tiap-tiap sesuatu punya arti, tapi
persahabatan seorang pendusta tidak berarti apa-apa.”
Dikatakan : “Tanda seorang pendusta adalah
kegairahannya untuk bersumpah sebelum hal itu dituntut
darinya.”
Ibnu Sirin mengatakan : “Lingkup pembicaraan itu
demikian luas hingga (sebetulnya) orang tidak perlu
berdusta.”
Dikatakan : “Seorang pedagang yang jujur tidak pernah
melarat.”
28.
MALU
Firman Allah swt. :
“Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
melihat segala perbuatannya?” (Qs. Al-‘Alaq :14).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
“Malu adalah sebagian dari iman.” (H.r. Tirmidzi).
223
Juga sabda beliau suatu hari kepada para sahabtnya :
“Malulah kamu sekalian di hadapan Allah dengan malu
yang sebenar-benarnya.” Mereka berkata : “Tapi kami sudah
merasa malu, wahai Nabi Allah, dan segala puji bagi-Nya!.”
Beliau bersabda : “Itu bukanlah malu yang sebenarnya. Orang
yang ingin malu dengan sebenar-benarnya di hadapan Allah
swt. hendaklah menjaga pikiran dan bisikan hatinya,
hendaklah ia menjaga perutnya dan apa yang dimakannya,
hendaklah ia mengingat mati dan fitnah kubur. Orang yang
menghendaki Akhirat hendaklah meninggalkan perhiasan-
perhiasan kehidupan duniawi. Orang yang melakukan semua
ini. Berarti ia memiliki rasa malu yang sebenarnya di hadapan
Allah.” (H.r. Tirmidzi dan Hakim dan dishahihkan oleh Al-
Hakim).
Sebagian hukama’ mengajarkan : “Jagalah agar malu
tetap hidup dalam hatimu dengan cara berteman dengan
orang yang dipermalukan orang lain.”
Ibnu Atha’ menegaskan : “Bagian terbesar dari ilmu
adalah rasa gentar dan malu. Jika yang dua ini lenyap, tiada
lagi kebaikan.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Malu berarti bahwa
engkau merasakan kegentaran dalam hatimu, sangat takut
akan masa lalu yang telah engkau lakukan di hadapan Allah
swt.” Ia juga mengatakan : “Cinta membuat orang berbicara,
malu membuat orang terdiam, dan takut membuat orang
gelisah.”
Abu Utsman mengatakan : “Orang yang berbicara tentang
malu, namun tidak merasa malu di hadapan Allah swt, berarti
telah terkena istidraj.”
224
Abu Bakr bin Asykib menuturkan bahwa al-Hasan bin al-
Haddad datang kepada Abdullah bin Munazil, yang
menanyakan kepadanya, “Anda datang dari mana?” Ia
menjawab : “ Dari majelis Abul Qasim sang pengingat.”
Abdullah bertanya kepadanya : “Apa topik pembicaraannya?”
Dijawabnya : “Tentang malu.” Abdullah berkomentar :
“Menkajubkan sekali, bahwa orang yang belum pernah
merasa malu di hadapan Allah dapat berbicara tentang
malu?”
As-Sary berkata : “Malu dan sukacita ruhani masuk ke
dalam hati seseorang. Jika keduanya menemukan wara’ dan
zuhud, maka mereka akan menetap. Jika tidak, mereka akan
meneruskan perjalanan.”
Al-Jurairy mengabarkan : “Pada generasi pertama Kaum
Muslimin, orang mengamalkan agama sampai agama menjadi
lemah. Pada generasi kedua, merekea menekankan kesetiaan,
sampai kesetiaan lenyap. Pada generasi ketiga, mereka
menekankan keksatriaan (muru’ah) sampai ia lenyap. Pada
generasi keempat, mereka menekankan rasa malu sampai
malu itu lenyap. Sekarang orang beramal karena hasrat dan
takut.”
Dikatakan tentang firman Allah swt. : “Dia (istri al-Aziz)
telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf,
dan Yusuf pun bermaksud (melakukannya pual) dengan
wanita itu andaikata ia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.”
(Qs. Yusuf :24), pengertian : “Tanda” di sini adalah, bahwa di
saat wanita itu menutupkan selembar kain ke wajah patung
yag ada di sudut ruangan. Ketika Yusuf bertanya : “Apa yang
engkau lakukan?” Ia menjawab : “ “Aku merasa malu di
225
hadapannya.” Yusuf berkata : “Aku lebih punya alasan lagi
untuk malu di hadapan Allah swt.”
Dikatakan mengenai firman Allah swt. : “Kemudian
datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu
berjalan malu-malu.” (Qs. Al-Qashash :24), bahwa ia malu
Kepada Musa karena menawarkan jamuan malu seandainya
Musa tidak menjawab salamnya. Malu sebagai sifat tuan
rumah, adalah jenis malu yang muncul dari penghormatan
kepada tamu.
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Allah swt. berfirman :
“Wahai hamba-Ku, selama engkau malu di hadapan-Ku, Aku
akan membuat manusia lupa akan kekuranganmu, Aku akan
membuat muka bumi lupa akan dosa-dosamu. Aku akan
menghapus kesalahan-kesalahanmu dan buku catatan induk,
dan Aku tidak akan meneliti amalanmu pada Hari
Kebangkitan.”
Seseorang bertanya kepada seorang laki-laki yang terlihat
shalat di luar masjid. “Mengapa engkau tidak masuk dan
shalat di dalam?” Laki-laki itu menjawab : “Saya malu
memasuki rumah Allah karena telah bermaksiat kepada-Nya.”
Salah satu tanda bahwa seseorang memiliki rasa malu
adalah, bahwa ia tidak pernah terlihat dalam situasi yang
membuatnya malu.
Sebagian Sufi menuturkan : “Suatu malam kami keluar
dan melwetti rimba. Tiba-tiba mendapati seseorang tidur di
tempat itu, sedang kudanya merumput dekat kepalanya. Kami
membangunkan orang itu dan bertanya kepadanya. “Tidakkah
engkau takut tidur di tempat yang mengerikan dan penuh
binatang busa ini?” Ia mengangkat kepalanya dan menjawab :
“Di hadapan-Nya, aku malu menakuti apa pun selain Dia.”
226
Kemudian diletakkan kembali kepalanya dan meneruskan
tidurnya.”
Allah swt. mewahyukan kepada Isa as. : “Nasihatilah
dirimu. Jika engkau menghirauikan ansihat itu, maka
nasihatilah manusia. Jika tidak, maka malulah kepda-Ku untuk
menasihati manusia.”
Diaktakan bahwa ada beberapa macam malu. Yang
pertama adalah malu dikarenakanpelanggaran, seperti malu
Nabi Adam as. Ketika ditanya : “Apakah engkau berniat lari
dari Kami?” Beliau menjawab : “Tidak, karena malu di
hadapan-Mu.” Yang kedua adalah malu karena terbatas,
seperti malu para malaikat yang mengatakan : “Maha Suci
Engkau! Kami telah menyembah-Mu tidak sebagaimana
layaknya Engkau disebah.” Yang ketiga adalah malu karena
mengagungkan, seperti malu Israfil as. Yang menutupkan
sayapnya ke tubuhnya karena malu kepada Allah, Yang
keempat adalah malu karena kemuliaan hati, seperti malu
rasulullah saw. ketika malu untuk mempersilahkan pergi tamu-
tamu beliau, dan Allah swt. lalu berfirman : “.... dan jika kamu
selesai makan, keluarlah kamu semua tanpa asyik
memperpanjang percakapan.” (Qs. Al-Ahzab :53). Yang kelima
adalh malu karena enggan, seperti malu Ali bin AbuThalib ra.
Ketika menyruh Miqdad bin al-Aswad untuk menanyakan
kepada Nabi saw. tentang hukumnya madzy (lendir yang
mengalir dari alat kelamin laki-laki, keluar air mani) karena
mengenai Fatimah r.a. Yang keenam adalah malu karena
terlalu remeh untuk diungkapkan, seperti malu Musa as.
Ketika munajat : “Aku mengajukan suatu kebutuhan dari dunia
ini, dan aku malu meminta kepada-Mu, wahai Tuhanku.” Dan
Allah lalu menjawab kepadany : “Minalah kepada-Ku, bahkan
227
untuk adonan roti dan jerami untuk domba-dombamu.”
Akhirnya, ada malu karena sifat pemberi kenikmatan, yang
merupakan malu Allah swt. Dia memberikan buku yang
distempel kepada seorang hamba setelah melewati Jembatan
di akhirat. Di dalam buku itu tba-tiba tertulis : “Engkau telah
melakukan (dosa) ini dan itu. Aku malu menunjukkannya
kepadamu, karena itu pergilah; Aku telah mengampunimu.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq saya dengar berkata : “Yahya
bin Muadz berkata, Maha Suci Dzat Yang didustai hamba,
sedang Dia mereasa mau, padahal dosa itu datang dari sang
hamba.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh menjelaskan : “Ada lima tanda celaka
seorang manusia. Kerasnya hati, bengisnya mata, tiadanya
rasa malu, hasrat terhadap dunia, dan lamunan yang tiada
terbatas.”
Dalam salah satu kitab, Allah swt. berfirman : “Hamba-Ku
telah mempermalukan Aku dengan tidak adil. Ia berdoa
kepada-Ku dan Aku merasa malu jika tidak mengabulkan
doanya, tapi ia bermaksiat kepada-Ku tanpa merasa malu
kepada-Ku.”
Yahya bin Muadz mengatakan : “Bagi manusia yang malu
di hadapan Allah swt. ketika ia taat, mka Allah akan malu
ketika ia melakukan dosa.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Ketahuilah, bahwa
malu menebabkan pencairan, sebab dikatakan bahwa rasa
malu adalah mencairnya organ-organ tubuh manusia sebelah
dalam ketika ia menyadari tatapan Tuhan kepadanya.
Dikatakan : “Malu adalah mengkerutnya hati manusia
untuk mengagungkan kebesaran Tuhan.”
228
Dikatakan juga : “Manakala seseorang duduk di hadapan
sekumpulan manusia, memperingatkan dan menasihati
mereka, maka kedua malaikatnya berseru kepadanya :
“Peringatkanlah dirimu sebagaimana engkau memperingatkan
saudaramu. Jika tidak, maka malulah engkau di hadapan
Tuhanmu, sebab Dia melihatmu.”
Al-Junayd ditanya tentang malu, ia menjawab :
“Penglihatan pada rahmat Allah swt. terus tercurah dan
penglihatan terhadap keterbatasan diri. Di antara keduanya
kemudian melahirkan apa yang disebut “malu”,
Muhammad al-Wasithy berkomentar : “Orang tidak akan
pernah merasakan sengatan malu, yang memakai robekan
batas-batas yang ditetapkan Allah atau merusak janji.”
Dikatakannya pula : “Keringat mengalir keluar dari orang yang
merasa malu. Ia adalah anugerah yang ditempatkan di dalam
dirinya. Selama nafsu rendah masih ada dalam dirinya, maka
ia akan dijauhkan dari malu.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Malu berarti
meninggalkan semua tendensi di hadapan Allah swt.
Abu Bakr al- Wasithy bertutur : “Ketika aku shalat dua
rakaat kepada Allah swt. Tiba-tiba kau membatalkannya
karena merasa malu seperti seorang pencuri (yang tertangkap
basah).”
29.
KEBEBASAN
Firman Allah swt. :
“.....dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin)
atas diri mreka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa
yang mereka berikan itu).” Qs. Al-Hasyr :9).
229
Syeikh berkata : “Mereka (kaum Anshar) memberikan
dengan penuh kemurahan hati kepada kaum Muhajirin, sebab
mereka (kaum Anshar) bebas dari keterikatan pada (harta
benda) yang diterima oleh kaum Muhajirin itu, dan dengan
demikian mereka mampu memberi dengan penuh kemurahan
hati.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. R.a bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
“Apa pun yang mencukupi kebutuhan seseorang , adalah
apa yang cukup untuk dirinya. Semua hanya akan berakhir
pada empat hasta dan sejengkal tanah kuburan, dan segala
sesuatu akan kembali pada tempat kembalinya.”
Syeikh berkata : “Kebebasan berarti bahwa si hamba
bebas dari belenggu sesama makhluk; kekuasaan makhluk
tidak berlaku atas dirinya. Tanda absahnya kebebasan adalah,
bahwa tersingkirnya pembedaan tentang segala hal dalam
hatinya, sehingga semua gejala duniawi sama di
hadapannya.”
Haritsah r.a. mengatakan kepada Rasulullah saw. : “Saya
telah menjauhi dunia. Batu dan emas yang ada di bumi tidak
da bedanya bagi saya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Orang yang
datang ke dunia ini dalam keadaan bebas darinya, akan
berangkat ke akhirat dalam keadaan bebas pula.” Dalam
sebuah ucapannya pula : “Orang yang hidup di dunia dalam
keadaan bebas dari dunia, akan bebas pula dari akhirat.”
Syeikh berkata : “Ketahuilah bahwa hakikat kebebasan
diperoleh dari kesempurnaan ubudiyah, sebab jika
ubudiyahnya benar, maka kebebasannya dari belenggu akan
sempurna. Mengenai mereka yang menghayalkan bahwa ada
230
waktu dimana seseorang boleh melepaskan ibadat dan
berpaling dari hukum yang tersirat dalam perintah dan
larangan Allah swt. sementara dirinya dalam keadaan
mukallaf, maka tindakan itu keluar dari agama.”
Allah swt. berfirman kepada Rasulullah saw. :
“Beribadahlah kepada Tuhanmu hingga datang kepadamu
keyakinan.” (Qs. Al-Hijr :99).
Para ahli tafsir sepakat bahwa “keyakinan” di sini berarti
“saat kematian.”
Manakala para sufi berbicara tentang kebebasan, yang
mereka maksud adalah, bahwa si hamba tidak berada di
bawah perbudakan oleh sesama makhluk ataupun diperbudak
oleh perubahan keadaan kehidupan duniawi ataupun ukhrowi;
ia akan menunggalkan diri kepada Allah Yang Esa. Tidak
sesuatu pun yang memperbudaknya, baik perkara duniawi
yang bersifat sementara, pencarian kepuasan bawa nafsu,
keinginan, permintaan, niat, kebutuhan ataupun ambisi.
Asy-Syibly pernah ditanya : “ tidak tahukan Anda bahwa
Allah Maha Penyayang?” Beliau menjawab : “Tentu. Tapi,
karena aku telah tahu bahwa Dia Maha Penyayang, maka aku
tidak pernah meminta kepada-Nya agar menyayangiku. Dan
maqam kebebasan sungguhlah mulia.”
Abul Abbas as-Sayyary pernah bika shalat sah selain
membaca Al-Qur’an, tentu sah pula membaca bait syair ini :
Setiap zaman aku menginginkan yang mustahil.
Agar kelopak mataku bisa melihat wajah kebebasan.
Para Syeikh telah berbicara banyak tentang kebebasan.
Al-Husain bin Manshur mengatakan : “Barangsiapa
menghendaki kebebasan, hendaklah meraih ubudiyah.”
231
Ketika al-Junayd disodori kasus seseorang yang kekayaan
duniawinya hanya sebesar embun yang menempel di burtir
kurma, ia berkata : “Hamba yang masih terikat kontrak akan
tetap menjadi hamba selama ia masih memiliki satu dirham
sekalipun.” Ia juga mengatakan : “Engkau tidak akan dapat
mencapai kebebasan sejati selama masih ada sisa dunia
dalam hakikat ubudiyah.”
Bisyr al-Hafi berkta : “Barangsiapa menginginkan rasa
kebebasan dan ringan dalam ubudiyah, maka bersihkanlah
batinnya, antara ia dan Allah swt.”
Al-Husain bin Mnashur berkomentar : “Ketika orang
mencapai maqam ubudiyah, segalanya tampak bebas dari
belenggu ubudiyah, Lalu ia melakukannya tanpa beban, Itulah
maqam para Nabi dan kaum shiddiqin. Maksudnya, ia sendiri
dipikul oleh maqam tersebut; tanpa kesusahan, walaupun
tetap konsisten dengan syariat.”
Manshur al-Faqih membacakan syair berikut :
Tak ada seorangpun manusia atau jin yang bebas
Kebebasan baginya berlalu
Kemanisan hidup adalah kegetiran
Ketahuilah bahwa jenis kebebasan paling besar justru
ketika melayani orang-orang miskin.
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, bahwa Allah telah
mengajarkan kepada Daud as. : “Jika egkau menjumpai
seorang manusia yang mencari-Ku, maka jadilah dirimu
sebagai pelayan.”
Nabi saw. bersabda : “Pemimpin suatu kaum adalah
pelayan mereka.”(H.r. Abu Abdurrahman as-Sulami).
232
Yahya bin Muadz mengatakan : “Generasi duniawi
dilayani budak-budak laki-laki dan wanita, generasi akhirat
dilayani mereka yang merdeka dan saleh.”
Ibrahim bin Adham berkata : “Orang bebas yang mulai
telah keluar dari dunia lebih sbeleum ia dikeluarkan dari dunia
(wafat).”
Dikatakannya pula : “Janganlah bersahabt, kecuali dengan
orang mulia yang bebas, ia hanya mendengar namun tidak
banyak bicara.”
30
DZIKIR
Allah swt. berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada
Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (Qs. Al-
Ahzab :41).
Diriwayatkan bawah Rasulullah saw. Bersabda :
“Maukah kuceritakan kepadamu tentang amalan terbaik
dan paling bersih dalam pandangan Allah swt. serta orang
yang tertinggi derajatnya di antaramu, yang lebih baik dari
menyedekahkan emas dan perak serta memerangi musuh-
musuhmu dan memotong leher mereka, dan mereka juga
memotong lehermu?” Para sahabat bertanya : “Apakah itu?
Nabi menjawab: Berdzikir kepada Allah swt. (H.r. Baihaqi).
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah
saw. bersabda :
“Hari kiamat tidak akan datang kepada seseorang yang
mengucapkan : “Allah, Allah.” (Hr. Muslim).
233
Anas ra. Juga menuturkan, bahwa Rasulullah saw.
bersabda : “Kiamat tidak akan datang sampai lafazh, Allah,
Allah,’ tidak lagi disebut-sebut di muka bumi.” (H.r. Tirmidzi).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : Dzikir adalah tiang
penopang yang sangat kuat atas jalan menuju Allah swt.
Sungguh, ia adalah landasan bagi tharikat itu sendiri. Tidak
seorang pun dapat mencapai Allah swt. kecuali dengan terus
menerus dzikir kepada-Nya.”
Ada dua macam Dzikir : Dzikir lisan dan dzikir hati. Si
hamba mencapai taraf dzikir hati dengan melakukan dzikir
lisan. Tetapi dzikir hati lah yang membuahkan pengaruh sejati.
Manakala seseorang melakukan dzikir dengan lisan dan
hatinya sekaligus, maka ia mencapai kesempurnaan dalam
suluknya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar : “Dzikir adalah
tebran kewalian. Seseorang yang dianugerahi keberhasilan
dalam dzikir berati telah dianugerahi taburan itu, dan orang
yang tidak dianugerahinya berarti telah dipecat.
Dikatakan bahwa pada awal perjalanannya, Dulaf asy-
Syibly biasa berjalan di jalan raya setiap hari dengan
membawa seikat cambuk di punggungnya. Setiap kali kelaian
memasuki hatinya, ia akan melecut badannya sendiri dengan
cambuk sampai cabuk itu patah. Kadang-kadang bekal
cambuk itu habis sebelum malam tiba. Jika demikian ia akan
memukulkan tangan dan kakinya ke tembok manakala
kelalaian mendatanginya.”
Dikatakan : “Dzikir hati adalah pedang para pencari yang
dengannya mereka membantai musuh dan menjaga diri dari
setiap ancaman yang tertuju pada mereka. Jika si hamba
berlindung kepada Allah swt. dalam hatinya, maka manakala
234
kegelisahan membayangi hati untuk dzikir kepada Allah swt,
semua yang dibencinya akan lenyap darinya seketika itu
juga.”
Ketika al-Wasithy ditanya tentag dzikir, menjelaskan :
“Dzikir berarti meninggalkan bidang kealpaan dan memasuki
bidang musyahadah mengalahkan rasa takut dan disertai
kecintaan yang luar biasa.”
Dzun Nuun al-Mishry menegaskan : “Seorang yang benar-
benar dzikir kepada Allah akan lupa segala sesuatu selain
dzikirnya. Allah akan melindunginya dari segala sesuatu, dan
ia diberi ganti dari segala sesuatu.”
Abu Utsman ditanya : “Kami melakukan dzikir lisan
kepada Allah saw. tetapi kami tidak merasakan kemanisan
dalam hati kami?” Abu Utsman measihatkan : “Memujilah
kepada Allah swt, karena telah menghiasi anggota badanmu
dengan ketaatan.”
Sebuah hadits yang mashur menuturkan, bahwa
Rasulullah saw. mengajarkan :
“Apabila engkau melihat surga, maka merumputlah kamu
semua di dalamnya.” Ditanyakan kepada Beliau : “Apakah
taman suraga itu, wahai Rasulullah?” Beliau mennjawab :
“Yaitu kumpulan orang-orang yang melkukan dzikir kepada
Allah>” (H.r. Tirmidzi).
Jabir bin Abdullah menceritakan : “Rasulullah saw.
mendatangi kami dan beliau bersabda :
“Wahai umat manusia, merumputlah di taman surga!.”
Kami bertanya : “Apakah taman surga itu?” Beliau menjawab :
“Majelis orang melakukan dzikir.” Beliau bersabda :
“Berjalanlah di pagi dan petang hari, dengan berdzikir. Siapa
pun yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah swt.
235
melihat pada derajat mana kedudukan Allah swt. pada dirinya.
Derajat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sepadan
dengan derajat dimana hamba mendudukan-Nya dalam
dirinya.”
Asy-Syibly berkata : “Bukanlah Allah swt. telah berfirman :
“Aku bersama yang duduk berdzikir kepada-Ku?” Manfaat apa,
wahai manusia dari orang yang duduk dalam majelis Allah
swt?” Lalu ia bersyair berikut :
Aku mengingta-Mu bukan karena aku lupa pada-Mu
sesaat;
Sedang bagian yang paling ringan adalah dzikir lisanku.
Tanpa gairah rindu aku mati karena cinta,
Hatiku bangkit dalam diriku, bergetar
Ketika wujud memperlihatkan Engkau adalah hadirku,
Kusaksikan Diri-Mu di mana saja,
Lalu aku bicara kepada yang ada, tanpa ucapan,
Dan aku memandang yang kulihat, tanpa mata.
Di antara karakter dzikir adalah, bahwa dzikir tidak
terbatas pada waktu-waktu tertentu, kecuali si hamba
diperintahkan untuk ber dzikir kepada Allah di setiap waktu,
entah sebagai kewajiban ataupun sunnah saja. Akan
tetapi,shalat sehari-hari, meskipun merupakan amal ibadah
termulia, dilarang pada waktu-waktu tertentu. Dzikir dalam
hati bersifat terus menerus, dalam kondisi apa pun, Allah
swt. berfirman :
“Yaitu orang-orang yang dzikir kepada Allah, baik sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring (tidur).”
(Qs. Ali Imran :191).
236
Imam Abu Bakr bin Furak mengatakan : “Berdiri berarti
menegakkan dzikir yang sejati, dan duduk berarti menahan
diri dari seikap berpura-pura dalam dzikir.”
Syeikh Abu Abdurrahman bertanya kepada Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq : “Manakah yang lebih baik, dzikir atau tafakur?”
Bagaimana yang lebih berkenan bagimu?” Beliau berkata :
“Dalam pandanganku dzikir adalah lebih baik dari tafakur,
sebab Allah swt. menyifati Diri-Nya sebagai Dzikir dan
bukannya fikir. Apap pun yang menjadi sifat Allah adalah lebih
baik dari sesuatu yang khusus bagi manusia.” Maka Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq setuju dengan pendapat yang bagus ini.
Muhammad al-Kattany berkata : “Seandainya bukan
kewajibanku untuk berdzikir kepada-Nya, tentu aku tidak
berdzikir karena mengagungkan-Nya. Orang sepertiku
berdzikir kepada Allah swt? Tanpa membersihkan mulutnya
dengan seribu Taubat karena berdzikir kepada-Nya.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan
syair :
Tak pernah aku berdzikir kepada-Mu
Melainkan hatiku, batinku serta ruhku mencela diriku.
Sehingga seolah-olah si Raqib dari-Mu berbisik padaku,
“Waspadalah, celakalah engkau. Waspadalah terhadap
dzikir!.”
Salah satu sifat khas dzikir adalah, bahwa Dia memberi
imbalan dzikir yang lain. Dalam firman-Nya :
“Dzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku akan dzikir kepadamu.”
(Qs. Al-Baqarah :152).
Sebuha Hadits menyebutkan bahwa Jibril as. Mengatakan
kepada Rasulullah saw. bahwasanya Allah swt. telah berfirman
: “Aku telah memberikan kepada ummatmu sesuatu yang
237
tidak pernah Kuberikan kepada ummat yang lain.” Nabi saw.
bertanya kepada Jibril : “Apakah pemberian itu?” Jibril
menjawab : “Pemberian itu adalah firman-Nya, “Berdzikirlah
kepadaKu, niscaya Aku akan berdzikir kepadamu.” Dan belum
pernah memfirmankan itu kepada ummat lain yang mana
pun.”
Dikatakan : “Malaikat maut minta izin dengan orang yang
berzikir sebelum mencabut nyawanya.”
Tertulis dalam sebuah kitab bahwa Musa as. Bertanya :
“Wahai Tuhanku, di mana engkau tinggal?” Allah swt.
berfirman : “Dalam hati manusia yang beriman.” Firman ini
merujuk pada dzikir kepada Allah, yang bermukim di dalam
hati, sebab Allah Maha Suci dari setiap bentuk “tinggal” dan
penempatan. “Tinggal” yang disebutkan di isni hanyalah dzikir
yang tetap dan sekaligus menjadikan dzikir itu sendiri kuat.
Ketika Dzun Nuun ditanya tentang dzikir, ia menjelaskan :
Dzikir berarti tiadanya ingatan pelaku dzikir terhadap
dzikirnya.” Lalu ia mebacakan syair :
Aku banyak berdzikir kepada-Mu bukan karena
Aku telah melupakan-Mu;
Itu hanyalah apa yag mengalir dari lisanku.
Sahl bin Abdullah mengatakan : Tiada sehari pun berlalu,
kecuali Allah swt. berseru : “Wahai hamba-Ku, engkau telah
berlaku zalim kepada-Ku. Aku mengingatmu, tapi engkau
melupakan-Ku. Aku menghilangkan penderitaanmu, tapi
engkau terus melakukan dosa. Wahai anak Adam, apa yang
akan engkau katakan besok jika engkau bertemu dengan-Ku?”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Di surga ada lembah-
lembah di mana para malaikat menanam pepohonan, ketika
seseorang mulai berdzikir kepada Allah. Terakdang salah
238
seorang malaikat itu berhenti bekerja dan teman-temannya
bertanya kepadanya : “Mengapa engkau berhenti?” Ia
menjawab : “Sahabatku telah kendur dzikirnya.”
Dikatakan : “Carilah kemanisan dalam tiga hal : shalat,
dzikir dan membaca Al-Qur’an. Kemanisan hanya dapat
ditemukan di sana , atau jika tidak sama sekali, maka
ketahuilah bahwa pintu telah tertutup.”
Ahmad al-Aswad menuturkan : “Ketika aku sedang
melakukan perjalanan bersama Ibrahim al-Khawwas, kami tiba
di suatu tempat yang dihuni banyak ular. Ibrahim al-Khawwas
meletakkan kualinya dan duduk begitu pun denganku. Ketika
malam tiba dan udara menjadi dingin, ular-ular pun
berkeliaran. Aku berteriak kepada Syeikh, yang lalu berkata,
“Dzikirlah kepada Allah!” Aku pun berdzikir, dan akhirnya ular-
ular itu akhirnya pergi menjauh. Kemudian mereka datang
lagi. Aku berteriak lagi kepada Syeikh, dan beliau menyuruhku
berdzikir lagi. Hal itu berlangsung terus sampai pagi. Ketika
kami bangun, Syeikh berdiri dan meneruskan perjalanan, dan
aku pun berjalan menyertainya. Tiba-tiba seekor ular besar
jatuh dari kasur gulungnya, Kiranya semalam ular itu telah
tidur bergulung bersama beliau. Aku bertanya kepada Syeikh :
“Apakah Anda tidak merasakan adanya ular itu?” Beliau
menjawab : “Tidak. Sudah lama aku tidak merasakan tidur
nyenyak seperti tidurku semalam.”
Abu Utsman berkata : “Seseorang yang tidak dapat
merasakan keganasan alpa, tidak akan merasakan sukacita
dzikir.”
As-Sary menegaskan : “Tertulis dalam salah satu kitab
suci : “Jika dzikir kepada-Ku menguasai hamba-Ku, maka ia
telah asyik kepada-Ku dan Aku pun asyik kepadanya.”
239
Dikatakan pula : “Allah mewahyukan kepada Daud as. :
“Bergembiralah kepada-Ku dan bersenang-senanglah dengan
dzikir kepada-Ku!.”
Ats-Tsaury mengatakan : “Ada hukuman atas tiap-tap
sesuatu, dan hukuman bagi seorang ahli ma’rifat adalah
terputus dari dzikir kepada-Nya.”
Tertulis dalam Injil : “Ingatlah kepada-Ku ketika engkau
dipengaruhi oleh kemarahan, dan aku akan ingat kepadamu
ketika aku marah, Bersikap ridhalah dengan pertolongan-Ku
kepadamu, sebab itu lebih baik bagimu dari pertolonganmu
kepada dirimu sendiri.”
Seorang pendeta ditanya : “Apakah engkau sedang
berpuasa?” Ia menjawab : “Aku berpuasa dengan dzikir
kepada-Nya. Jika aku mengingat selain-Nya, maka puasaku
batal.”
Dikatakan : “Apabila dzikir kepada-Nya menguasai hati
manusia dan setan datang mendekat, maka ia akan
meggeliat-geliat di tanah seperti halnya manusia menggeliat-
geliat manakala setan-setan mendekatinya. Apabila ini terjadi,
maka semua setan akan berkumpul dan bertanya : “Apa yang
telah terjadi atas dirinya?” Salah seorang dari mereka akan
menjawab : “Seorang manusia telah menyentuhnya.”
Sahl berkata : “Aku tidak mengenal dosa yang lebih buruk,
dari lupa kepada Allah swt.”
Didkatakan bahwa malaikat tidak membawa dzikir batin
seorang manusia ke langit, sebab ia sendiri bahkan tidak
mengetahuinya. Dzikir batin adalah rahasia antara si hamba
dengan Allah swt.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku mendengar cerita
tentang seorang laki-laki yang berdzikir di sebuah hutan. Lalu
240
aku pergi menemuinya. Ketika ia sedang duduk, seekor
binatang buas mengigitnya dan mengoyak dagingnya. Kami
berdua pingsan. Ketia ia siuman, aku bertanya akepadanya
tentang hal itu, dan ia berkata kepadaku : “Binatang itu diutus
oleh Allah. Apabila engkau kendor dalam berdzikir kepada-
Nya, ia datang kepadaku dan mengigitku sebagaimana yang
engkau saksikan.”
Abdullah Al-Jurairy mengabarkan : “Di antara murid-murid
kami ada seorang laki-laki yang selalu berdzikir dengan
mengucap “Allah” “Allah”. Pada suatu hari sebatang cabang
pohon patah dan jatuh menimpa kepalanya. Kepalanya pun
pecah dan darah mengalir ke tanah mebentuk kata-kata Allah-
Allah.”
31.
FUTUWWAH
Allah swt. berfirman :
“Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang
beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada
mereka petunjuk.” (Qs. Al-Kahfi :13).
Rasulullah saw. bersabda :
“Allah swt. memberikan perhatian kepada seorang hamba
selama hamba itu memperhatikan kebutuhan saudaranya
yang Muslim.”
(Hr. Thabrani, riwayat dari Abu Hurairah dan Zaid bin
Tsabit).
Menurut Syeikh ad-Daqqaq : “Futuwwah pada prinsipnya
adalah kepedulian secara terus menerus yang dilakukans
eorang hamba kepada orang lain.”
241
Syeikh berkomentar : “Tidak ada kesempurnaan sifat
Futuwwah. Kecuali hanya ada pada diri Rasulullah saw. saja,
sebab pada hari Kebangkitan semua orang akan mengatakan :
“Nafsi.... nafsii... (aku hanya mengurus diriku, aku hanya
mengurus diriku), sementara Rasulullah saw. akan
mengatakan : “Ummati .... Ummati.... (ummatku ...
ummatku...)”
Al Junayd mengatakan : “Futuwwah dapat ditemukan di
Syam, kefasihan bahasa di Iraq, dan kejujuran di Khurasan.”
Al-Fudhail menegaskan : “Futuwwah berarti memafkan
kesalahan sesama manusia.”
Dikatakan pula : “Futuwwah berarti seseorang tidak
menganggap dirinya lebih tinggi dan orang lain.”
Abu Bakr al-Warraq menegaskan : “Orang yang bersifat
Futuwwah adalah mereka yang tidak punya musuh.”
Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menjelaskan : “Futuwwah
berarti engkau adalah musuh bagi dirimu sendiri, demi
Tuhanmu.”
Dikatakan : “Manusia yang memiliki sifat Futuwwah tidak
akan pernah memusuhi siap pun.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mendengar an-Nashr Abadzy
mengatakan : “Ashabul Kahfi (Mereka meninggalkan
keluarganya, menuju kepada Tuhannya. Mereka kontra
duniawinya, sehingga mereka dipuji karena meninggalkan
duniawi demi Allah swt. Karenanya, mereka menentang arus
kebiasaan, dan lelap di gua selama 309 tahun, sama sekali
tidak ada perubahan fisiknya). Mereka disebut fityah karena
mereka beriman kepada Allah tanpa perantara.”
Dikatakan : “Manusia yang futuwwah adalah orang yang
menghancurkan berhala, sebab Allah swt. berfirman : “Kami
242
dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala
ini, yang bernama Ibrahim: (Qs. Al-Anbiya :60) dan : “Maka
Ibrahm membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-
potong (Qs. Al-Anbiya :58). Berhala setiap manusia adalah
hawa nafsunya sendiri. Jadi, orang yang melawan hawa
nafsunya sendiri adalah orang yang benar-benar futuwwah.
Al-Harits al-Muhasiby berkata : “Futuwwah menuntut agar
engkau berlaku adil kepada orang lain, tapi juga mau diadili
oleh orang lain.”
Amr bin Utsman al-Makky mengatakan :”Futuwwah adalah
memliki akhlak yang baik.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang futuwwah, dijawabnya,
“Futuwwah artinya engkau tidak membenci orang miskin tapi
juga tidak konfontrasi dengan orang kaya.”
AN-Nashr Abadzy berkomentar : “Muru’ah merupakan
bagian dari futuwwah. Ia berarti berpaling dari dunia dan
akhirat, dengan bangga menjauhi kedunya.”
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi mengatakan : “Futuwwah
berarti bahwa ha-hal yang langgeng maupun yang musnah
sama saja bagi diri Anda.”
Ahmad bin Hanbal ditanya : “Apakah futuwwah itu?” dan
beliau menjawab : “Futuwwah artinya meninggalkan apa yang
engkau inginkan demi apa yang engkau takuti.”
Ditanyakan kepada salah seorang Sufi : “Apakah futuwwah
itu?” Ia menjawab : “Futuwwah artinya engkau tidak
membedakan makan bersama dengan seorang wali ataukah
seorang kafir.”
Saya mendengar salah seorang ulama mengabarkan :
“Sorang Majusi mengundang Ibrahim as. Makan. Ibrahim
menjawab : “Aku mau menerima undanganmu dengan satu
243
syarat, yaitu bahwa engkau memeluk Islam.” Mendengar
jawaban demikian, si orang Majusi itu lalu pergi. Kemudian
Allah swt. menurunkan wahyu kepada Ibrahim : “Selama lima
puluh tahun Kami telah memberinya makan sekalipun ia kafir.
Apa salahnya jika engkau meneriema seporsi makanan
darinya tanpa menuntutnya mengganti agama? Ibrahimm lalu
mengejar si orang Majusi itu sampai tersusul, lalu minta maaf
kepadanya. Ketika si Majusi bertanya kepadanya mengapa
meminta maaf, Ibrahim menceritakan kepadanya apa yang
telah terjadi, dan orang Majusi itu pun akhirnya msuk Islam.
Al-Junayd mengatakan : “Futuwwah artinya menahan diri
dari menyakiti hati orang dan menawarkan kemurahan hati.”
Sahl bin Abdullah menjelaskan : “Futuwwah artinya
mengikuti sunnah.”
Dikatakan : “Futuwwah artinya setia dan menjaga
ketetapan Allah.”
Dikatakan juga : “Futuwwah adalah perbuatan bijak yang
engkau lakukan tanpa melihat dirimu dalam perbuatan itu.”
Dikatakan : “Futuwwah artinya engkau tidak berpaling
manakala seorang yang membutuhkan datang
mendekatimu.”
Ada yang berpendapat : “Futuwwah artinya engkau tidak
menutup diri dari orang yang mencarimu.”
Pendapat lain : “Futuwwah artinya engkau tidak
menumpuk-numpuk harta kekayaanmu dan tidak mencari-cari
alasan (jika diminta).”
Dikatakan : “Futuwwah artinya menampakkan nikmat, dan
menyembunyikan cobaan.”
Yang lain berkata : “Futuwwah artinya bahwa jika engkau
mengundang sepuluh orang tamu, maka engkau tidak akan
244
terpengaruh jika yang datang sembilan atau pun sebelas
orang.”
Dikatakan : “Futuwwah artinya meninggalkan segala
bentuk perbedaan.”
Ahmad bin Khadhrawaih berkata kepada isterinya : “Aku
ingin mengadakan pesta dengan mengundang seorang
luntang-lantung yang terkenal di daerahnya dengan sebutan
‘pemimpin orang-orang muda.” Isterinya berkeberatan, ‘Itu
tidak benar, mengundang seorang preman muda datang ke
rumah.” Ahmad bersikeras. “Keinginanku mesti
dilaksanakan!.” Istrinya berkata : “Jika demikian, maka
smbelihlah kambing, sapi dan keledai, dan lemparkan saja
dagingnya dari pintu orang itu ke pintu rumahmu!.” Ahmad
bertanya : “Aku mengerti apa yang engkau maksudkan
dengan kambing dan sapi, tapi apa maksudmu dengan
menyembelih keledai?” Istrinya menjawab : “Engkau
mengundang seorang preman muda ke rumah kita, maka
paling tidak, lebih baik engkau membuat pesta bagi anjing-
anjing di tempat ini.
Dalam suatu kisah diceritakan, pada sebuah perjamuan
yang dihadiri oleh beberapa orang Sufi, termsuk seorang
Syeikh dari Syiraz. Ketika acara penyimakan (ceramah)
dimulai, tamu-tamu tertidur. Syeikh dan Syiraz bertanya
kepada tuan rumah : “Mengapa mereka tertidur?” Si tuan
rumah menjawab : “Aku tidak tahu. Aku telah ebrtindak
cermat dan memastikan semua makanan, kecuali terung.”
Keesokan paginya mereka pergi mencari tahu tentang terung
itu kepada pedagang sayuran, yang mengatakan kepada
meraka : “Aku tidak punya sayuran. Maka aku lalu mencurinya
dari kebun si Fulan dan menjualnya.” Merka lalu membawa si
245
pedagang ke pemilik kebun untuk menebus halalnya. Si
pemilik kebun berkata dengan heran : “Anda bersussah paya
mendatangiku hanya untuk urusan seribu biji terung?”
Baiklah, aku hadiahkan kepada pedagang ini kebunku ini,
ditambah dua ekor sapi, seekor keledai dan bajak, agar ia
tidak perlu mencuri terung lagi.”
Dikatakan, bahwa seorang laki-laki menikahi seorang
wanita. Sebelum bersetubuh, ia melihat adanya cacar pada
tubuh istrinya itu. Laki-laki itu berseru kepada orang banyak :
“Mataku terkena penyakit. Aku telah menjadi buta!” Pengantin
wanita itu pun lalu dibawa ke rumah suaminya. Setelah dua
puluh tahun berselang wanita itu meninggal. Laki-laki itu
mendadak membuka matanya. Ketika seseorang bertanya
kepadanya apa yang telah terjadi, ia menjelaskan, : “Aku
sesungguhnya tidak pernah buta. Aku berpura-pura buta agar
istriku tidak merasa malu.” Seseorang berkata kepadanya :
“Engkau telah melampaui semua orang dalam hal
futuwwah!.”
Dzun Nuun al-Mishry mengajarkan : “Orang yang
menginginkan perllaku yang utama hendaklah mencontoh
para pemikul air dari Baghdad!>” Seseorang bertanya
kepadanya : “Bagaimana mereka itu?” Ia menjawab : “Ketika
aku dibawa ke hadapan khalifah atas tuduhan sebagai zindiq,
aku melihat seorang pemikul air yag memakai sorban,
berpakaian kain Mesir yang bagus, memebawa kendi-kendi
tanah liat yang bagus. Aku berkata kepada seseorang : Ini
pasti pelayan minum Sutan!” Ia berkata kepadaku : “Bukan,
ini adalah pelayan minum orang banyak>” Aku mengambil
sebuah cangkir, minum darinya dan menyuruh sahabt-
sahabtku : Berilah ia satu dinar!” Pembawa air itu menolaknya
246
seraya berkata : “Anda adalah seorang tahanan. Bukanlah
sikap futuwwah bila menerima sesuatu dari Anda.”
Dikatakan oeh sebagian teman-teman kami : “Tidak da
tempat dalam futuwwah bagi tindakan mengambil
keuntungan dari sahabt sendiri.” IA adalah seorang pemuda
bernama Ahmad bin Sahl si pedagang, dan saya membeli
sepotong jubah linen darinya. Ia hanya memintaku membayar
seharga modal yang dikeluarkannya untuk membeli jubah itu.
Saya bertanya kepdanya : “Apakah Anda tidak mau
mengambil sedikit keuntungan?” Ia menjawab : “Tentang
harga jubah itu, aku mau menerima pembayaran Anda, tapi
aku tidak mau membebankan kewajiban apa pun terhadap
Anda. Aku tidak akan mengambil keuntungan, sebab tidak ada
tepat dalam futuwwah bagi tindakan mengambil keuntungan
dari sahabt sendiri.”
Dikisahkan, seorang laki-laki yang mengaku futuwwah
datang dari Naisabur ke Nasa, dimana seseorang
mengundangnya makan bersama sekelompok orang yang
memiliki sifat futuwwah. Ketika mereka selesai makan,
seorang budak wanita datang untuk menuangkan air guna
membasuh tangan mereka. Laki-laki dari Naisabur itu menarik
tangannya dan berkata : “Berdasarkan aturan futuwwah,
tidaklah diperbolehkan seorang gadis menuangkan air untuk
laki-laki.” Tetapi orang lainnya yang hadir di sana berkata, :
“Aku telah datang ke sini selama bertahun-tahun tanpa
mengetahui apakah laki-laki atau wanita yang menuangkan
air untuk membasuh tangan kita?”
Manshur al-Maghriby menuturkan : “Seseorang ingin
menguji Nuh al-Ayyar an-Naisabury. Ia menjual kepada Nuh
seorang budak wanita yang diberi pakaian laki-laki, dengan
247
pernyataan tersirat bahwa budak itu adalah budak laki-laki.
Budak itu mempunyai wajah cantik yang bersinar cemerlang.
Nuh membelinya dengan perkiraan bahwa budak itu laki-laki.
Budak itu tinggal bersamanya selama berbulan-bulan.
Seseorang bertanya kepadanya : “Apakah tuanmu tahu bahwa
engkau adalah seorang gadis?” Ia menjawab : “Tidak, ia
belum pernah menyentuhku, karena mengira bahwa aku laki-
laki.”
Dikatakan, seorang laki-laki beringas diperintahkan untuk
menyerahkan seorang budak laki-laki miliknya kepada sultan,
tapi ia menolak. Ia lalu dihukum dera seribu kali, namun
demikian masih tetap menolak menyerahkan budaknya.
Malam itu udara sangat dingin dan ia terkena junub. Setelah
bangun, ia pun segera mandi dengan air yang sangat dingin.
Seseorang mengatakan kepadanya : “Engkau mengambil
resiko mati dengan dengan mandi air dingin ini.” Dijawabnya :
“Aku malu kepda Alalh swt. karena aku rela menderita seribu
kali pukulan cambuk demi seorang makhluk, tapi tidak
bersedia menahan dinginnya mandi demi Dia.”
Sekelompok ahli ahli futuwah pergi mengunjungi seorang
laki-laki yang terkenal karena futuwwahnya. Laki-laki itu
menyuruh pelayannya membawa tilam makanan. Si pelayan
tidak mengerjakan perintahnya, maka orang itu lalu
memanggilnya hingga berulang-ulang. Para tamu saling
berpandangan seraya berkata : “Ini tidak benar. Dalam aturan
futuwwah, seseorang tidak boleh mempekerjakan
perintahnya, maka orang itu lalu memanggilnya sekali lagi
dan sekali lagi.” Laki-laki itu bertanya kepda pelayannya :
“Mengapa begitu lama engkau baru datang membawakan
tilam itu?” Si pelayan menjawab : “Ada seekor semut pada
248
tilma itu. Tidaklah patut menurut futuwwah, membentangkan
tilam uantuk para tamu yang ahli futuwwah manakala ada
semut di atasnnya, sebalikya, tidaklah benar pula
mencampakkan semut dari kain tilam itu. Jadi, saya meunggu
sampai semut itu merayap meninggalkan tilam.” Para tamu
berkata kepaa pelayan itu : “Engkau telah menunjukkan
pemahaman yang tinggi. Orang sepertimu patut dilayani para
ahli futuwwah.”
Suatu ketika ada seorang jamaah haji yang bermalam di
Madinah. Ia mengira kantong berisi uangnya dicuri orang. Ia
keluar, melihat Ja’far ash-Shadiq dan memegang tangannya
serta bertanya : “Apakah engkau yang mencuri kantongku?”
Ja’far bertanya : “Apakah isi kantongmu itu?” Laki-lai itu
menjawab : “Uang sebanyak seribu dinar!” Ja’far lalu
membawa laki-laki itu ke rumahnya dan memberinya uang
seribu dinar. Laki-laki itu kembali ke penginapan dan
menemukan pundi-pundi yag dikiranya hilang tadi. Lalu ia pun
pergi menemui Ja’far ash-Shadiq dan minta maaf kepdanya
serta mengembalikan uangnya. Tapi Ja’far menolak
mengambil uangnya kembali dan berkata : “Aku tidak pernah
menuntut kembali barang yang telah aku berikan.” Orang itu
bertanya kepda seseorang yang ada di tempat itu : “Siapa
laki-laki itu?” Yang daitanya menjawab : “Ja’far ash-Shadiq.”
Diriwayatkan bahwa Syaqiq al-Balkhy bertanya kepada
Ja’far bin Muhammad (ash-Shadiq) tentang futuwwah. Kata
Ja’far balik bertanya : “Apakah pendapatmu?” Syaqiq
menjawab : “Futuwwah, jika kita diberi sesuatu, kita bersyukur
dan jika tidak diberi, kita bersabar.” Ja’far berkata : “anjing-
anjing kita di Madinah juga bersikap begitu.” Syaqiq
bertanya : “Wahai cucu Putri Rasulullah, kalau begitu apakah
249
futuwwah itu dalam pandangan Anda?” Ja’far menjawab :
“Futuwwah adalah, jika kita diberi sesuatu, kita berikan
kepada orang lain, dan jika tidak diberi, kita bersyukur.”
Al-Murta’isy mengabarkan : “Kami bersama Abu Hafs
menjenguk seorang yang sedang sakit, dan kami berangkat
serombongan. Abu Hafs bertanya kepada si sakit : “Apakah
engkau ingin sembuh?” Ia menjawab : “Ya, Maka si sakit lalu
bangkit dan berjalan bersama kami, demi kami semua lalu
jatuh sakit dan dikunjungi orang-orang lain.”
32.
FIRASAT
Allah berfirman :
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memperhatikan
tanda-tanda (firasat)” (Qs. Al-Hijr :75).
Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan : “Orang-orang
yang memperhatikan tanda-tanda” adalah orang-orang yang
mempunyai firasat.
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khurdy, bahwa Rasulullah
saw. bersabda :
“Waspadalah terhadap firasat seorang Mukmin, sebab ia
melihat dengan nur Allah swt.” (H.r. Bukhari dan Tirmidzi).
Firasat adalah nuansa yang datang meyelusup secara
tiba-tiba ke dalam hati, yang menafikan segala sesuatu yang
berlawanan dengannya; dengan demikian ia memiliki
ketentuan hukum dalam hati. Firasat mempunyai akar kata
yang sama dengan kata farisah, yang berarti mangsa
binatang buas. Jiwa si hamba tidak dapat menetang firasat,
250
yang merupakan kriteria potensi keimanan. Siapa pun yang
lebih kuat imnnya, lebih tajam pula firasatnya.
Abu Sa’id al-Kharraz berkomentar : “Seseorang yang
melihat dengan cahaya firasat identik melihat dengan cahaya
Al-Haq; muatan ilmunya datang dari Al-Haq, tidak bercampur
dengan kealpaan ataupun kelalaian. Bahkan, ketentuan Allah
mengalir melaui lisan si hamba.”
Adapun perkataan al-Kharraz : “Ia melihat dengan cahaya
Al-Haq.” Adalah cahaya yang dikhususkan Allah kepadanya.
Muhammad al-Wasithy mengatakan : “Firasat terdiri dari
cahaya yang cemerlang dalam hati, yang membuat si ahli
ma’rifat mampu membawa rahasia-rahasia dari satu alam
ghaib lainnya, sedemikian rupa, hingga ia dapat melihat hal-
hal dengan cara dimana Allah swt, memperlihatkan kepdanya,
hingga ia dapat berbicara melalui sukma budinya..”
Diriwayatkan bahwa Abul Hasan ad-Dailamy menuturkan :
“Aku pergi ke Anthakia karena mendengar keberadaan
seorang kulit hitam yang berbicara tentag hal-hal rahasia. Aku
tinggal di sana sampai ia turun dari Gunung Lukam. Ia
membawa barang-barang halal yang dijualnya. Aku lapar
karena sudah dua hari tidak makan. Maka aku lalu bertanya
kepadanya; Berapa harganya ini?” Kubuat ia percaya bahwa
aku akan membeli barang dagangannya. Ia berkata kepadaku,
‘Duduklah di situ, jika barang-barang ini sudah terjual aku
akan memberimu uang yang dengannya engkau dapat
membeli makanan!” Maka aku lalu meninggalkannya dan
pergi ke pedagang yang lain untuk membuatnya mengira
bahwa aku sedang menawar dagangannya. Kemudian aku
kembali kepadanya dan berkata : “”Jika engkau bermaksud
menjual barang ini, maka katakanlah kepadaku berapa
251
harganya!.” Ia menjawab : “Engkau sudah dua hari kelaparan.
Duduklah! Jika barang ini telh terjual, aku akan memberimu
uang untuk membeli sesuatu.” Maka ku pun duduk, dan ketika
barangnya telah terjual, ia memberiku uang dan pergi
meninggalkanku. Aku mengikutinya, dan ia berpaling
kepadaku serta berkata : “Jika engkau membutuhkan sesuatu,
mintalah kepada Allah swt! Tetapi bila hawa nafsumu
memperoleh sesuatu dari terpenuhinya kebutuhan itu, maka
engkau terhijab dari Allah swt.”
Muhammad al-Kattany berkata : “Firasat adalah
mukasyafah dalam tahap yakin, dan menyatakan kegaiban. Ia
adalah salah satu tahapan keimanan.”
Dikatakan bahwa asy-Syafi’y dan Muhammad bin al-Hasan
– semoga Allah swt. merahmati mereka – sedang berada di
Masjidil Haram ketika seseorang masuk ke Masjid. Muhammad
bin al-Hasan berkata : “Aku punya firasat bahwa ia adalah
seorang tukang kayu.” Dan asy-Syafi’y berkata : “Aku punya
firasat bahwa ia adalah seorang tukang besi.” Ketika mereka
bertanya kepada orang itu, ia menjawab, “Dahulu, aku pernah
menjadi tukang besi, namun sekarang aku adalah tukang
gkayu.”
Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Orang gyang mampu
menyimpulkan (al-mustanbith) adalah orang yang selalu
menaruh perhatian kepada yang gaib. Tiada sesuatu pun yang
tersembunyi atau terjaga dari pandangannya. IA adalah orang
yang ditunjuk dalam firman Allah swt.
“......tentulah orang-orang yang mampu menemukan
kebenaran akan mengetahui persoalannya.” (Qs. An-Nisa’ :
83).”
252
Orang yang membaca firasat, akan mengetahui intuisi
dan juga mengetahui apa yang ada di lubuk hati yang dalam
dengan cara menyimpulkan dan melalui alamat-alamat. Allah
swt. berfirman, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
memperhatikan tanda-tanda (firasat).” (Qs. Al-Hijr :75), yakni
bagi orang-orang ma’rifat terhadap tanda-tanda yang
diungkapkan Allah mengenai dua kelompok manusia, yaitu
wali-wali Allah dan musuh-musuh-Nya.
Seseorang yang memiliki firasat, melihat dengan cahaya
Allah swt, yang mendaklah kamu menjadi orang-orang gyang
mengenal Tuhan (rabbaniyyin)” (Qs. Ali Imran :9), yakni para
ulama ahli hikmah yang berakhlak dengan Allah swt. Yang
Haq, baik secara ideologis maupun moral. Mereka bebas dari
apa yang telah dikatakan orang lain, atau memberi perhatian
kepada mereka, atau dipedulikan oleh mereka.
Dalam suatu riwayat disebutkan, Abdul Qasim al-Munady
sedang menderita sakit. Ia adalh syeikh besar di kalangan
syeikh di Naisabur. Maka Abul Hasan al-Busyanjy dan al-Hasan
al-Haddad pun pergi menjenguknya. Di tengah jalan mereka
membeli sebutir apel setengah dirham dengan menghutang.
Ketika mereka telah sampai ke rumahnya, Abul Qasim
bertanya : “Kegelapan apa lagi ini?” Mereka lalu pergi ke luar
dan saling bertanya, kesalahan apa yang telah mereka
lakukan. Mereka berpikir dan kemudian menyimpulkan,
barangkali kesalahan itu adalah bahwa mereka belum
membayar harga apel itu. Maka mereka pun lalu pergi kepada
si penjual buah, membayar apel itu dan kembali ke rumah
Abul Qasim. Ketika Abul Qasim melihat mereka, ia berkata :
“Aneh sakli. Orang dapat keluar dari kegelapan dengan begitu
253
cepat. Ceritakan kepadaku apa yang telah kalian lakukan!”
Ketika mereka telah menceritakan apa yang telah terjadi. Abul
Qasim membenarkan, Ya” masing-masing dari kalian berdua
mengharapkan yang lain membayar apel itu, tapi malu
memintanya. Jadi pembelian apel itu tidak tuntas. Alasan
pembelian apel itu adalah karena diriku, dan hanya aku saja
yang melihat kegelapan itu pada diri kalian berdua.”
Sementara Abul Qasim sendiri pun biasa pergi ke pasar setiap
hari untuk berjualan. Apabila ia telah memperoleh keuntungan
yang cukup baginya .. antara seperenam hingga setengah
dirham --- maka ia akan pulang dan kembali pada kesibukan
utamanya, yaitu waktu utama dan mewaspadai hatinya.”
Al Husain bin Manshur berkata : “Apabila Allah
berkehendak untuk melimpahkan rahasia maka, Dia akan
mengamanatkan rahasia-rahasia kepada hati, yang kemudian
dipahaminya dan dipermaklumkannya.”
Ketika salah seorang Sufi ditanya tentang firasat, ia
menjawab, “Firaat berarti ada ruh-ruh yang bekeliling di dalam
langit dan mengamati makna hakiki dari masalah-masalah
gaib. Mereka berbicara tentang rahasia-rahasia penciptaan
dengan bahasa nyata, bukan kata-kata yang bersifat
speklulasi atau dugaan.”
Diceritakan bahwa Zakariya asy-Syikhtany terlibat
perselingkuhan dengan seorang wanita sebelum ia berTaubat.
Suatu ketika setelah menjadi salah seorang murid terkemuka
Abu Utsman al-Hiry, ia berdiri di depan gurunya sambil
berpikir tentang si wanita itu. Abu Utsman menganggkat dan
memandangnya sambil bertanya : “Apakah engkau tidak
merasa malu.”
254
Pada awal hubungannya saya dengan Syeikh Abu Ali ad-
Daqqaq -- Semoga Allah merahmatinya -- sebuah majelis
pengajian diadakan untuk diri saya di Masjid al-Mutarriz. Suatu
ketika saya minta izin untuk pergi selama beberapa waktu ke
Nasa, dan beliau mengizinkan. Suatu hari saya berjalan
dengan beliau ke tempat pengajiannya, tiba tiba saya
berpikir : “Seandainya beliau mau menggatikan saya
mengajar di pengajian-pengajianku ketika saya pergi.” Beliau
berpaling kepada saya dan berkata : “Aku akan
menggantikanmu di pengajian salama engkau pergi.” Saya
terus berjalan. Sejenak terlintas dalam pikiran bahwa beliau
sakit, dan akan menyushkan jika beliau mengajar dua hari
dalam seminggu. Saya ingin agar beliau mengurangi kelas
dan dan mengajar menjadi sekali (sehari) seminggu> Beliau
berpaling kapda saya dan berkata : “Kalau aku tidak dapat
menggantikanmu mangajar dua kali seminggu, aku hanya
akan melakukannya sekali seminggu.” Selagi saya berjalan
terus, sejenak pikiran lain terlintas dalam hati, dan beliau pun
berpaling kepada saya dan mengatakan masalahnya
sebagaimana yang sedang saya pikirkan.
Syah al-Kirmany memiliki firasat sangat tajam dan tidak
pernah keliru. Bilau mengatakan :Firasat akan selalu benar
bagi orang yang merendahkan pandangannya dari keinginan
hawa nafsu, membiasakan wujud batinnya dari keinginan
hawa nafsu, membiasakan wujud batinnya dengan
muraqabah yang terus menerus dan lahiriahnya selaras
denga Sunnah, dan membiasakan diri makan makanan yang
halal saja.”
Abul Husain an-Nury ditanya : “Darimana datangnya
firasat ahli firasat? Ia menjawab, dengan menyebut firman
255
Allah swt. ini, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku.” (Qs.
Al-Hijr :29). Jadi, bagi orang yang jatah cahayanya lebih besar,
maka musyahadahnya lebih kuat, dan penilaian firatsatnya
pun lebih dapat dipercaya. Apakah engkau tidak melihat
bagaimana ruh ditiupkan ke dalam tubuh Adam menjadi
sebab sujudnya para malaikat kepadanya dalam firman-
Nya : “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya
dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah
kamu kepadanya dengan bersujud.” (Qs. Al-Hijr :29).”
Pendapat Abul Husain an-Nury ini mengundang
kesamaran. Ia menyebutka peniupan ruh oleh Allah swt. ke
dalam tubuh Adam bukan untuk mendukng pendapat mereka
yang mempercayai qadimnya ruh, bukan pula seperti yang
tampak bagi orang-orang berhati lemah. Apa pun yang
dibenarkan adalah peniupan ruh, pertemuan dan
perpisahan, maka ia juga dapat dikenai pengaruh dan
perubahan yang pada gilirannya merupakan sifat-sifat
makhluk. Allah swt. menganugerahi orang-orang beriman
dengan kemampuan penglihatan batin dan firasat, yang
sesungguhnya adalah ma’rifat. Inilah maksa sabda Nabi saw. :
“Sebab ia (orang beriman) melihat dengan nur Allah swt.”
yaitu dengan pengetahuan dan kearifan. Dia memberikan
kepada Mukmin kedudukan yang unik dan berbeda dari
semua makhluk lainnya. Penamaan ilmu pengetahuan dan
kearifan hati ini bisa disebut dengan “Cahaya-cahaya.”
Bukanlah suatu yang bid’ah. Juga, diskripsi cahaya tersebut
sebagai “peniupan ruh.”, bukanlah hal yang mengada-ada,
yang dimaksudkan adalah penciptaan.
256
Al-Husain bin Manshur mengatakan : “Orang yang
mempunyai firasat dapat mengenai sasarannya dengan panah
pertama yang dilepasakannya. Ia tidak penah berpaling pada
penafsiran, spekulasi, ataupun dugaan.”
Dikatakan : “Firasat para murid adalah spekulasi
yang menghasilkan keyakinan, dan firasat ahli ma’rifat
adalah pembenaran yang melahirkan hakikat.
Ahmad bin Ashim al-Anthaky mengajarkan : “Jika engkau
bermajelis dengan orang-orang jujur, maka berlaku jujurlah
terhadap mereka, sebab mereka adalah mata-mata hati.
Mereka masuk ke dalam hatimu dan meninggalkannya tanpa
engkau sadari.”
Abu Ja’far al-Haddad berkata : “Firasat adalah kilasan
pertama intuisi tanpa kontra hati. Jika suatu intuisi datang
kemudian dan berlawanan, itu tidak lebih dari kata hawa
nafsu.”
Diceritakan bahwa Abu Abdullah a-Razy an Naissabury
mengabarkan : “Ibnu Anbary memberi pakaian wol untukku.
Kulihat asy-Syibly memakai sebuah sorban yagn sangat serasi
dengan wolku. Diam-diam aku menginginkan agar dapat
memiliki jubah dan sorban itu sekaligus. Ketka asy-Syibly
meninggalkan kumpulan pengajiannya, ia berpaling padaku,
Aku pun mengikutinya, sebab sudah menjadi kebiasaannya
untuk berpaling kepadaku jika menginginkan agar aku ikut
dengannya. Ketika ia masuk ke dalam rumahnya, aku
mengikutinya. “Lepaskan wol itu” katanya. Aku pun
melepaskan wolku, yang kemudian dilipatnya. Setelah itu
dilemparkan sorbannya ke atas wolku, disuruhnya orang
menyalakan api, lalu dibakarnya wol dan sorban itu.”
257
Abu Hafs an-Naisabury menegaskan : “Adalah keliru bagi
siapa pun untuk mengikuti orang yang memiliki firasat. Tetai
maksudnya adalah berwaspada kepada orang yang memiliki
firasat, sebab Rasulullah saw. telah bersabda. “Waspadalah
terhadap firasat orang Mukmmin.” Beliau tidak bersabda :
“Gunakanlah firasat kamu sekalian!.” Bagaimana mungkin
dibenarkan pengakuan firasat, bagi orang yang berada pada
tahap waspada terhadap firasat.?”
Abul Abbas bin Masruq menuturkan : “Ketika aku pergi
menjenguk seorang tua yang merupakan salah seorang
sahabat kami, kutemukan ia tinggal di lingkungan yang
kumuh. Aku bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimana orang
tua ini menolong dirinya?” Si orang tua itu lalu berkata
kepadaku : “Wahai Abul Abbas, campakkanlah bisikan kotor
itu! Allah memiliki kebaikan-kebaikan lembut yang
tersembunyi.”
Az. Zubaidy mengabarkan : “Aku sedang berada di dalam
sebuah masjid di Baghdad bersama sekelompok fakir, sudah
berhari-hari kami tidak menerima sesuatu pun. Aku datang
kepada al-Khawwas untuk meminta sesuatu. Ketika
pandangannya jatuh kepadaku, ia bertanya : “Kebutuhan yang
membawamu ke sini, diketahui Allah atau tidak?” Aku
menjawab : “Tentu saja Dia mengetahuinya.” Maka al-
Khawwas pun memerintahkan : Kalau begitu, jagalah
ketenanganmu dan jangan perlihatkan kebutuhanmu kepada
sesama makhluk! Aku pun pergi, dan tidak alma kemudian
kami diberi makanan yang melebihi kebutuhan kami.”
Dikatakan, “Suatu hari Sahl bin Abdullah sedang berada di
dalam masjid jami.” Ketika seekor burung merpati jatuh dari
angkasa karena panas dan lelah. Sahl berseru : “Syeikh al-
258
Kirmany baru saja wafat atas kehendak Allah swt. Orang-
orang yang berada di tempat itu menuliskan ucapannya, dan
memang benarlah apa yang dikatakannya itu.”
Dikatakan : “Abu Abdullah at-Targhundy, salah seorang
pembesar pada masanya, bepergian ke Thous. Sesampai di
kHarwa, ia menyuruh temannya : “Belilah sedikit roti!.”
Temannya itu pun membeli roti secukupnya untuk merek
berdua, tetapi Abu Abdullah berkata kepadanya : “Belilah
lebih banyak lagi!.” Temannya dengan segera membeli roti
lagi sekiranya cukup untuk sepuluh orang, seolah-olah ia
sengaja menganggap ucapan Abu Abdullah sebagai isapan
jempol semata. Ketika mereka tiba di atas gunung,
bertemulah dengan sekelompok orang yang telah diikat oleh
kawanan penyamun. Karena sudah agak lama mereka tidak
menelan sesuap makanan, orang-orang tersebut pun meminta
makanan kepada mereka berdua. Abu Abdullah berkata :
“Bentangkanlah tilam untuk mereka!.”
Aku berada bersama Syiekh Imam Abu Ali ketika orang-
orang yang hadir mulai membicarakan tentang bagaimana
Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy bangit dari tempat
duduknya ketika acara penimakan, sebagaimana layaknya
para fakir. Syeikh Abu Ali berkata, : “Mengenai erilaku Abu
Abdurrahman, apakah diam tidak lebih baik baginya?”
Barangkali beliau memerintahkan kepadaku : “Pergilah kepada
as-Sulamy! Engkau akan menemukannya sedang duduk di
perpustakaannya. Di atas buku-buku itu ada sebuah buku
empat persegi yang kecil berwarna merah birisi puisi-puisi
karya al-Husain ban Manshur. Ambillah buku itu, tanpa
berkata apapun kepadanya dan bawalah kepadaku!” Waktu
itu siang hari. Ketika aku pergi kepada as-Sulamy, ia sedang
259
berada di perpustakaannya, dan buku yang disebutkan Abu Ali
ada di tempat yag beliau sebutkan.
Ketika aku duduk, Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy
mulai berkata, Suatu ketika ada seseorang yang mencela
salah seorang ulama karena perilakunya dalam penyimakan.
Orang yang sama ini pada suatu hari terlihat sedang berada
sendirian di rumahnya, menari berputar-putar seperti halnya
orang yang sedang mengalami keleburan ruhani. Ketika
seseorang bertanya akepadanyamengapa ia berlaku
demikian, ia menjawab : “Aku menemui sebuah masalah yang
membingungkan. Tiba-tiba penyelesaiannya diungkapkan
kepadaku. Aku begitu gembira sehingga tidak mampu
menguasai diri dan mulai menari berputar-putar.
Mereka berkata tentang orang ini : “Seorang dengan
kedudukan seperti itu bertindak seperti biasanya.”
Ketika kuperhatikan apa yag diperintahkan oleh Syeikh
Abu Ali kepadaku dan semuanya dalam keadaan seperti yang
beliau gambarkan, maka aku menyadari apa yang
dikatakaApa yang harus kulakukan, dalam keadaan terjepit di
antara mereka begini?” Aku berpikir-pikir dan memutuskan
bahwa tidak ada pandangan lain selain kejujuran.”
Syeikh Abu Ali mengabarkan sebuah buku tertentu
kepadaku dn menyuruhku mengambilnya tanpa meminta izin
kepada Anda. Aku takut kepada Anda. Tapi juga tidak mau
menurut Anda. Apa yang harus aku lakukan?”
As-Sulamy mengambil jilid keenam dri buku wacana al-
Husain dimana terdapat juga sebuah bab karangannya sendiri
yang diberi judul Ash-Shayhur fi Naqdid Duhur dan berkata :
“Bahwalah ini kepadanya dan katakan : “Saya menelaah buku
260
ini, dan saya menyalin beberapa baris darinya ke dalam
tulisan saya.” Maka aku pun pergi dari hadapannya.”
AL-Hasan al-Haddad menuturkan : “Aku sedang berada
bersama Abul Qasim al-Munady dan sekelompok fakir (Sufi)
yang sedang menjadi tamunya ketika ia menyuruhku pergi ke
luar dan mencarikan makanan untuk mereka. Aku merasa
senang menerima tugas ini, sekalipun Abul Qasim tahu bahwa
bila aku adalah seorang yang sangat miskin. Aku membawa
sebuha keranjang besar dan pergi ke luar.
Di jalan menuju ke pasar Sayyar, aku berjumpa dengan
seorang syeikh yang berpakaian sangat bagus. Aku
mengucapkan salam kepadanya dan berkata : Ada
sekelompok sufi yang sedang berkumpul di dekat sini.
Mungkin anda punya sesuatu untuk diberikan kepada
meraka?” Syeikh itu lalu menyuruh pelayannya membawa
keluar persediaan makanannya berupa roti, daging dan angur.
Ketika aku kembali ke rumah Aul Qasim al-Munady, ia
menghmabur dari dalam rumah sambil berseru kepadaku :
“Kembalikan makanan itu ke asalnya di mana engkau
memperolehnya tadi!”
Aku kembali dan meminta maaf kepada syeikh yang
memberi makanan itu dan berkata : “Saya tidak menemukan
Sufi-sufi itu. Mungkin mereka sudah pergi.” Kukembalikan
makanan itu kepadanya dan kuteruskan langkahku pergi ke
pasar. Aku berhasil memperoleh sedikit makanan, yang segera
ku bawa ke rumah Abul Qasim. Ia menyuruhku masuk ke
dalam. Ketika aku menceritakan kepadanya semua yang
terjadi, ia berkata : “Ya itulah Ibnu Sayyar, seorang pecinta
dunia yang dekat dengan penguasa, Kalau engkau mencari
261
makanan untuk para Sufi, carilah seperti ini, bukan seperti
tadi itu.”
Abul Husain al-Qarafi mengisahkan : “Aku mengunjungi
Abul Khayr at-Tinaty, dan ketika aku berpamitan kepadanya, ia
mengantarku sampai ke pintu masjid dan berkata : “Wahai
Abul Husain, aku tahu engkau tidak membawa bekal,
karenanya bawalah dua butir apel ini!” Kuterima apel itu,
kumasukan ke dalam saku, lalu aku berangkat. Tiga hari
lamanya aku tidak memperoleh makanan, karena itu kuambil
satu apel dan kumakan. Kemudian aku berpikir-pikir mau
memakan apel yang kedua, dan kudapati kedua apel itu masih
ada dalam kantongku. Aku terus memakan apel-apel itu, dan
kedua apel itu ada terus dalam kantongku sampai aku tiba di
pintu gerbang kota Mosul.
Aku berkata dalam hati : “Kedua apel ini telah merusak
kondsi tawakkalku kepada Allah, karena keduanya telah
menjadi semacam bekal bagiku.” Maka aku terakhir kalinya
kuambil kedua apel itu dan melihat sekelilingku. Tiba-tiba
kulihat seorang fakir memakai jubah sedang meratap.” Aku
sangat menginginkan apel itu.” Maka kuberikan kedua apel itu
kepadanya. Ketika aku merenung masalah apel tersebut,
terlintas dalam pikiranku bahwa Syeikh Abu Khayr mungkin
telah mengirim kedua apel itu kepada orang ini, dan aku
hanya menjadi perantara kebaikannya itu. Kucari orang kafir
itu, tapi ia sudah lenyap.
Ada seorang pemuda yang belajar kepada Junayd. IA
mampu membaca pikiran orang . Al-Junayd diberitahu akan
hal ini, dan ia lalu bertanya kepada pemuda itu :Benarkah apa
yang dikatakan orang tentang dirimu?” Pemuda itu lalu
berkata kepada al-Junayd : “Yakinlah tentang sesuatu.” Al-
262
Junayd menjawab : “Aku telah yakin.” Pemuda itu berkata :
“Anda sedang meyakini ini dan itu.” AL-Junayd berkata,
“Bukan.” Pemuda itu meminta al-Junayd mengulangi
keyakinannya dua kali lagi, dan setiap kali Al-Junayd
mengatakan bahwa tebakan si pemuda salah, dan saya yakin
akan hati saya.” Al-Junayd mengakui : “Kamu memang benar
ketika tiga kali kamu mengatakan apa yang sedang kuyakini,
tetapi aku ingin menguji apakah hatimu akan berubah atau
tidak.”
Ibrahim ar-Raqqy jatuh sakit. Dibawakanlah obat
kepadanya dalam sebuah mangkok, yang lalu diminumnya.
Kemudia ia berkata : “Sebuah insiden yang besar telah terjadi
di kerajaan hari ini. Aku tidak akan makan atau minum
sebelum aku tahu insiden apa itu.” Setelah beberapa hari
datanglah kabar bahwa al-Qurthuby telah memasuki Mekkah
al-Mukarramah pada saat itu, dan ia terbunuh pada perang
besar-besaran tersebut.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa ia
mengabarkan : “Aku datang kepada Utsman bin Affan r.a.
Setelah eku melihat seorang waniat di jalan. Aku telah
membayangkan wajahnya yang cantik. Utsman berkata :
“Salah seorang di antara kamu telah datang kepadaku hari ini
dengan bekas-bekas zina di matanya.” Aku bertanya
kepadanya : Apakah mungkin ada wahyu setelah Rasulullah
saw. wafat?” Beliau berkata : “Tidak, tapi adan kemampuan
mata hati, bukti dan firasat yang benar.”
Ahmad al-Kharraz mengatakan : “Aku masuk ke Masjidil
Haram di mana aku melihat seorang fakir yang memakai dua
potong jubah, sedang meminta-minta kepada orang gbanyak.
Aku berkata dalam hati : “Orang seperti ini merupakan beban
263
bagi orang banyak.” Si fakir itu melihat kepadaku dan
berkata : “Ketahuilah bahwa Allah mengetahui semua yang
ada di dalam jiwamu, karena itu berhati-hatilah terhadap-
Nya.” (Qs. Al-Baqarah : 235). Setelah aku minta maaf
kepadanya di dalam hati, lantas ia berkata : “Dan Dia-lah yang
menerima Taubat dari hamba-hamba-Nya.” (Qs. Asy-Syuura :
25).”
Ibrahim al-Khawwas berkata : “Suatu hari ketika aku
sedag berada di masjid besar Baghdad, ada sekelompok fakir
di sana. Tiba-tiba,seorang pemuda gagah perkasa dengan
keharumannya yang menyebar di samping juga sanat ramah
serta tampan rupawan datang kepada kami sambil
tersenyum. Aku berkata kepada sahabt-sahabtku : “Pikirankau
mengatakan bahwa anak muda ini seorang Yahudi.” Mereka
semua tidak setuju dengan ucapanku itu. Aku keluar dan begi
juga pemuda itu. Kemudian ia kembali kepada mereka dan
bertanya : “Apa yang dikatakan syeikh itu tentang diriku?”
Mereka semua merasa malu untuk mengatakan kepadanya,
tetapi pemuda itu terus mendesak hingga akhirnya mereka
mengungkapkan. : “Ia mengatakan bahwa engkau seorang
Yahudi.” Setelah itu anak muda itu datang kepadaku,
membungkuk di hdapanku, dan berikrar masuk Islam.”
Ketika seseorang bertanya tentang perbuatannya tadi, ia
berkata, “Kami membaca dalam kitab suci kami bahwa firasat
orang-orang yang jujur tidak pernah keliru.” Lalu aku berkata :
“Sebenarnya, aku menguji orang-orang Islam. Aku mencari-
cari di antara mereka dan memutuskan, jika da seorang kyang
jujur di antara mereka, maka ia adalah seorang Sufi, sebab
para Sufi berbicara dengan firman Alalh swt. Aku
menyembunyikan identitasku dan mengelabui mereka. Ketika
264
Syeikh ini mengetahui siapa diriku sebenarnya dengan
firasatnya, maka tahulah aku bahwa ia adalah penegak
kebenaran yang jujur.” Dan pemuda ini kemudian menjadi
salah seorang Sufi besar.”
Ahmad al-Jurairy bertanya : “Adakah di antara kalian yang
tahu apabila Alalh berkehendak membuat peristiwa besar di
kerajaan memberitahunya, sebelum kejadian itu terjadi?”
Kami menjawab : “Tidak”. Ia berkata : “Menangislah kamu
sekalian karena adaya hati yang belum pernah menemukan
sesuatu dari Allah swt!.”
Abu Musa ad-Dailamy mengatakan : “Ketika aku bertanya
kepada Abdurrahman bin Yahya tentang tawakkal, ia
menjelaskan, Tawakkal berarti bahwa jika engkau memasukan
tanganmu sebatas pergelangan tangan ke dalam mulut ular,
engkau tidak merasa takut kepada apa-pun selain Allah swt.
Kemudian aku pergi kepaa Abu Yazid untuk bertanya
kepadanya tentang tawakkal. Aku mengetk pintu rumahnya,
dan dari balik pintu ia menjawab : “Apakah kata-kata
Abdurrahman tidak cukup untukmu?” Aku meminta :
“Bukakan pintu!.” Ia menjawab : “Engkau tidak datang untuk
mengunjungiku, dan jawabannya sudah ada di balik pintu.”
Pintu pun tidak dibukakan untuk-ku. Aku lalu pergi dan
menunggu hingga satu tahun lamanya. Kemudian aku ingin
pergi kepadanya lagi dan ia berkata. “Selamat datang.
Sekarang engkau datang kepadaku sebagai tamu. “ Aku
tinggal bersamanya selama sebulan, dan tidak ada bisikan
hatiku yang tertuang, melainkan ia selalu mengatakannya
kepadaku. Ketika mengucapkan selamat berpisah kepadaku,
aku meminta kepadanya : “Berikanlah sepatah kata lagi yang
bermanfaat!” Ia berkata : Ibuku mengatakan kepdaku bahwa
265
ketika ia mengundang aku, setip kali ada makanan halal yang
disuguhkan kepadanya, maka tangannya dapat mengambil
makanan itu, tetapi jika ada sesduatu yang syubhat di
dalamnya, tangannya tidak mau diulurkan.”
Ibrahim al-Khawwas mengabarkan: “Aku pergi ke padang
pasir, di mana kau mengalami banyak cobaan. Ketika tiba di
Mekkah, aku menemukan keajaiban. Secara tidak terduga ada
seorang tua berseru kepdaku : “Wahai Ibrahim, aku ada
bersamamu ketika engkau di padang pasir, tetapi aku tidak
berbicara kepadamukarena takut kalau-kalau aku menggangu
keadaan batinmu. Sekarang, keluarlah waswas dari dirimu!.”
Diakbarkan bahwa meskipun a-Furghani al-Murghinany
pergi setiap tahun menunaikan ibadat haji, melewati Naisabur
tanpa singgah ke kediaman Abu Utsman al-Hiry. Ia
menjelaskan : “Suatu ketika aku pergi menjenguknya dan
memberi salam kepadanya, tetapi ia tidak membalas salamku.
Aku bertanya kepadanya : “Seorang Muslim datang menemui
seorang Muslim lainya dan mengucapkan salam, namun tidak
memperoleh balasan? Abu Utsman menjawab, “Apaakah
seperti itu, seseorang yang gmelakukan ibadat haji,
meninggalkan ibunya dan tidak memperlakukannya dengan
penuh horamt? Mendengar ucapannya itu, aku kembali ke
Furghanah dan tinggal di sana menemani ibuku hingga akhir
hayat beliau. Kemudian aku pergi menemui Abu Utsman, dan
ketika masuk ke rumahnya, ia menerimaku dan menyuruhku
duduk.” Setelah itu, al-Furghani tinggal bersamanya terus
menerus. Ia meminta agar ditugaskan merawat piaraannya,
yang menjadi pekerjaannya sampai Abu Utsman wafat.”
Khayr an-Nassaj berkata : “Suatu hari aku sedang duduk-
duduk di rumahku ketika instinkku mengatakan bahwa al-
266
Junayd sedang berada di depan pintu. Tapi aku mengingkari
instinkku itu. Untuk kedua dan ketiga kalinya instinkku itu
muncul lagi, hingga akhirnya aku berjalan ke arah pintu, dan
benarlah ia ada di sana. Al-Junayd bertanya : “Mengapa
engkau tidak datang pada instink yang pertama?”
Muhammad ibnul Husain al-Bisthamy mengabarkan :
“Ketika aku pergi menjenguk Abu Utsman al-Maghriby, aku
berkata dalam hati : “Barangkali ia menginginkan sesuatu
dariku.” Abu Utsman berkata : “Manusia tidak cukup puas
bahwa aku menerima pemberian mereka. Sehingga mereka
menambah permintaanku pada diri mereka,”
Salah seorang fakir menuturkan : “Aku sedang berada di
Baghdad. Terketuk olehku bahwa al-Murta’isy akan datang
kepadaku dengan membawa uang limabelas dirham hingga
aku dapat membeli kantong makanan, tali dan sandal yang
dapat kupergunakan untuk pergi ke padang pasir. Tba-tiba
kudengar pintu diketuk orang. Aku membukanya, dan kulihat
al-Murtha’isy berdiri di sana, membawa sebuah pundi-pundi
kain. Ia memerintahkan “Ambillah ini” Aku berkata : “Wahai
syeikh, aku tidak menginginkannya.” Ia bertanya, Lantas
mengapa engkau mengganggu aku? Berapa uang yang
engkau inginkan? Aku menjawab : “Limabelas dirham.” Ia
berkata : “Inilah uang itu, lima belas dirham.”
Salah seorang Sufi berpendapat mengenai firman Allah
swt. “ Dan apakah orang-orang yang sudah mati kemudian ia
Kami hidupkan?” (Qs. Al-An’am :122), dimaksudkan adalah
mati hatinya. Kemudian Allah menghidupkannya melalui
cahaya firasat, dalam hati itu pula ditampakkan cahaya
musyahadah, yang tentu tidaklah sama dengan orang yang
berjalan dalam keadaan alpa dengan kealpaannya.
267
Dikatakan : “Firasat seseorang benar, berarti ia telah naik
ke tahapan musyahadah.”
Abul Abbas Ahmad bin Masruq berkata : “Seorang yang
cukup tua datang kepada kami. IA berbicara tentang tasawuf
secara menawan, dan instinknya sanat bagus. Ia menyuruh
kami, dalam suatu ucapannya : “Katakanlah kepadaku apa
yang ada dalam benak kalian!.” Pikiranku mengatakan bahwa
ia adalah seorang Yahudi. Pikiran itu seakan-akan merupakan
peringatan yang mendesak, maka aku pun
mengungkapkannya kepada al-Jurairy. Ungkapanku itu
membuat perasaannya tertekan, tetapi aku menegaskan :
“Aku tidak punya pilihan lain, kecuali mengatakannya kepada
orang ini.” Maka aku pun berkata kepadanya : “Engkau
menyuru kami mengatakan kepadamu apa pun yang ada
dalam pikiran kami. Pikiranku mengatakan baha engkau
adalah seorang Yahudi.” Sesaat ia menundukkan kepala, lalu
mengangkatnya, dan mengaku : “Engkau benar, dan aku
sekarang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah.” Ia menjelaskan : “Aku telah
mencoba menempuh jalan semua agama, dan aku berkata
dalam hati L “Jika berada dengan suatu kaum, diantaranya
memiliki suatu kebenaran, maka kebenaran aan
bersamamnya. Maka aku lalu bergaul dengan kalian untuk
menguji kalian. Ternyata kalian berada dalam kebenaran. “ Ia
kemudian menjadi Muslim yagn sangat baik.
Diriwayatkan oleh al-Junayd bahwa as-Sary suka
mendorong al-Junayd agar berceramah kepada orang banyak.
Al-Junayd berkata, : “Aku merasa takut berbicara di depan
mereka? Pada suatu malam jum’at aku bermimpi bertemu
dengan Nabi saw. Beliau memerintahkan kepadaku
268
“Berkhutbahlah kepada orang banyak!” Aku terbangun, lalu
pergi ke rumah as-Sary sebelum subuh, dan mengetuk pint
rumahnya. Ia bertanya : “Engkau tidak percaya kepadaku,
hingga Nabi sendiri yang mengatakannya kepadamu?” Pagi
itu al-Junayd duduk di depan orang banyak di masjid, dan
tesebarlah kabar bahwa al-Junayd sedang berceramah.
Seorang pemuda Nasrani yang menyamar datang kepada al-
Junayd dan bertanya : “Katakanlah kepadaku, wahai syeikh,
apa makna perkataan Rasulullah : “Waspadalah terhadap
firasat orang Mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Alalh
swt?” LA- Junayd mendundukkan kepalanya, kemudian
menganggkatnya dan berkata “Masuklah ke dalam Islam. Saat
keislamanmu telah tiba.” Si Pemuda Nasrani itu pun masuk
Islam.
33.
AKHLAK
269
Akhlak yang baik adalah keutamaan sejarah hidup hamba;
sehingga mutiara-mutiara seseorang dapat tampak. Manusia
itu terlapisi oleh fisiknya, namun terungkap oleh akhlaknya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq juga berkta : “Allah swt.
menganugerahi Nabi-Nya saw. dengan keistimewaan sifat
beliau, dengan pujian yang sama sekali tidak pernah dipujikan
kepada makhluk lain. Karena itu Allah swt. berfirman : “Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur.”
Muhammad al-Wasithy mengatakan : “Allah swt. memberi
predikat beliau dengan akhlak yang agung, karena beliau
merelakan diri dari dunia dan akhiratnya, dan merasa puas
hanya dengan Allah swt. semata.” Al-Wasithy juga
mengatakan : “Akhlak yng mulia berarti orang tidak
bertengkar dengan orang lain, tidak memushi oleh mereka,
karena hamba itu diluapi kedahsyatan ma’rifat kepada Allah
swt.”
Al-Husain bin Manshur menjelaskan : “Akhlak mulia
adalah, bahwa engkau tidak terpengaruh kekasaran orang
banyak, setelah engkau memperhatikan Al-Haq.”
Abu Sa’id al-Kharraz mengatakan : “Akhlak mulia berarti
engkau tidak mempunyai cita-cita selain Allah swt.”
AL-Kattany menegaskan : “Tasawuf adalah akhlak.
Barangsiapa bertambah dalam akhlak berarti bertambah pula
dalam tasawuf.”
Riwayat dari Ibnu Umar r.a. yang mengatakan : “ Jika
engkau mendengar aku mengatakan kepada seorang budak.”
Semoga Allah melaknatimu.” Maka saksikanlah bahwa aku
telah memerdekakannya.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan : “Jika seseorang
bertindak dengan akhlak mulia dalam segala hal, tapi ia
270
memperlakukan ayamnya dengan buruk, maka tidak dapat
dianggap berakhlak baik.”
Dikatakan : “Apabila Ibnu Umar melihat salah seorang
budaknya melaksanakan shalat dengan baik, beliau akan
memerdekakannya. Budak-budaknya semua tahu akan hal itu,
dan mereka mengerjakan shlat dengan baik hanya semata
agar dilihat olehnya. Sekalipun demikian, Ibnu Umar masih
tetap memerdekakan mereka. Ketika seseorang hendak
menipu kami demi Allah, maka kami akan membiarkan diri
kami ditipu demi Dia.
Al-Harits al-Muhasiby mengatakan : “Kita akan merasa
rugi jika kehilangan tiga hal : Wajah cerah disertai dengan
kesantunan, kata-kata yang diucapkan dengan baik dan
disertai kejujuran, serta persaudaraan yang kuat dipadu
dengan kesetiaan.”
Abdullah bin Muhammad ar-Razy mengatakan : “Akhlak
berarti memandang rendah apa pun yang datang darimu, dan
mengagungkan yang datang dari Alalh swt.”
Al-Ahnaf bin Qays ditanya : “Siapa yang mengajarkan
akhlak kepadamu?” Ia menjawab : “Qays bin Ashim al-
Munaqqary.” Orang itu bertanya lagi :”Bagaimana
akhlaknya?” Al-Ahnaf menuturkan, “Suatu ketika ia sedang
duduk-duduk di rumahnya ketika seorang budak wanita
masuk dengan membawa tusuk daging yang membara. Benda
itu jatuh menimpa salah seorang anaknya, yang kemudian
meninggal dunia. Budak itu sangat berduka. Qays
mengatakan kepadanya : “Jangan khawatir, Engkau
kumerdekakan, karena Allah.”
Syah al-Kirmany menuturkan : “Satu tanda akhlak yang
baik adalah, bahwa engkau mencegah bahaya, dan secara
271
rela menanggung kerugian yang mereka timpakan
kepadamu.”
Rasulullah saw. bersabda :
“Engkau tidak akan dapat memberikan kebahagiaan
orang lain dengan hartamu, karenanya berilah kebahagiaan
dengan wajah yang manis dan akhlak yang baik.: (H.r. Al-
Bazzar dan Hakim).
Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun al-Mishry :
“Sipakah orang yang paling banyak cemas?” Ia menjawab :
“Orang yang paling buruk akhlaknya.”
Wagab menegaskan : “Jika seorang hamba mempraktikkn
akhlak mulia selama empatpuluh hari. Allah akan menjadikan
akhlak mulia sebagai sifat bawaan baginya.”
Ketika menafsirkan firman Allah saw. :
“Dan pakaianmu, hendaklah engkau bersihkan.” (Qs. Al-
Muddattsir :4).
Hasan al-Bashry menjelaskan bahwa ayat ini berarti :
“Dan akhlakmu itu, perindahlah.”
Seorang Sufi memiliki seekor domba betina. Ketika ia
menemukan salah satu kakinya terpotong, ia bertanya :
“Siapakah yang melakukan ini?” Salah seorang budaknya
menjawab : “Saya” Ketika ditanya mengapa ia melakukan hal
itu, si budak menjawa : “Untuk membuat tuan bersedih
karenanya.” Sufi itu menjawab : “Itu tidak terjadi, tapi aku
merasa sakit karena tindakanmu itu. Pergilah, engkau
kumerdekakan.”
Ibrahim Bin Adham ditanya : “Apakah Anda pernah senang
di dunia ini?” Ia menjawab : “Ya, dua kali. Yang pertama,
ketika aku sedang duduk-duduk dan seorang laki-laki datang
272
mengencingiku. Yang kedua, ketika aku sedang duduk-duduk
dan seorang laki-laki datang menempelengku.”
Dikatakan bahwa manakala anak-anak melihat Uways al-
Qarany, mereka selalu melemparinya dengan batu. Karena itu
ia mengatakan kepada mereka :” Jika memang kalian
memang harus melempariku, gunakanlah batu yang ekcil agar
kakiku tidak terluka, yang membuatku terhalang dhalat.”
Suatu ketika seorang laki-laki memaki Ahnaf bin Qays dan
menghinanya. Orang itu mengikuti di belakangnya. Ketika al-
Ahnaf sampai di dekat lingkungan kediamannya sendiri, ia
berhenti dn menasihati orang itu, : “Wahai anak muda, jika
engkau masih punya kata-kata untuk diucapkan, katakanlah
sekarang, sebelum salah seorang tetangga dekat yang bodoh
mendengar, dan menjawab kata-katamu.”
Hatim al-Asham ditanya : “Haruskah seseorang
menanggung beban dari setiap orang?” Ia menjawab : “Ya,
kecuai dari dirinya sendiri.”
Diceritakan bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a.
suatu ketika memanggil salah seorang budaknya, tapi si
budak tidak menjawab. Beliau mengulangi panggilannya dua
hingga tiga kali, tapi si budak masih tetap tidak menjawab.
Ketika beliau datang melihat budak itu dan menemukannya
sedang tidur-tiduran, Ali bertanya : “Apakah engkau tidak
mendengar panggilanku?” Ia menjawab : “Ya, saya
mendengar.” Beliau bertanya : “Lantas mengapa engkau tidak
datang?” Si budak menjawab : “Saya merasa aman dari
hukuman tuan, jadi saya malas.” Ali berkata kepadanya :
“Pergilah, engkau merdeka karena Allah swt.”
Diceritakan bahwa ketika Ma’ruf al-Karkhy pergi berwudlu,
ia meletakkan Al-Qur’an dan jubahnya. Seorang wanita
273
datang dan membawanya. Ma’ruf mengikutinya dari belakang.
“Wahai saudaraku, aku adalah Ma’ruf al-Karkhy, engkau tidak
apa-apa atas perbuatanmu ini. Apakah engkau punya seorang
laki-laki yang dapat membaca Al-Qur’an?” Wanita itu
menjawab : “Tidak.” Ma’ruf bertanya : “Seorang suami?”
“Tidak,” jawab wanita itu. Ma’ruf lalu berkata, “Kalau begitu,
berikanlah Al-Qur’an itu kembali kepadaku dan ambillah jubah
itu!.”
Para pencuri memasuki rumah Syeikh Abu Abdurrahman
as-Sulamy dan mencuri segala sesuatu yang berharga. Salah
seorang sahabt kami mendengar Syeikh tersebut
menuturkan : “Suatu hari aku melewati pasar dan kulihat
jubahnya sedang dilelang, tapi aku berpaling menjauh tanpa
menaruh perhatian sedikit-pun padanya.”
Al-Jurairy mengabarkan : “Aku baru saja pulang dari
Mekkah, dan hal pertama yang kulakukan adalah mengunjungi
al-Junayd agar tidak mengangan-angan diriku. Aku memberi
salam kepadanya dan pulang ke rumah. Keesokan harinya
ketika aku shalat subuh di masjid, aku melihatnya berdiri pada
shaf di belakangku. Aku berkata : “Aku mendatangimu
kemarin hanya supaya engkau tidak mengharap-hrap diriku.”
Ia menjawab : “Itulah keutamaanmu. Dan itulah hakmu.”
Ketika Abu Hafs ditanya tentang akhlak, ia mengatakan :
“Akhlak adalah pilihan Allah swt. untuk Nabi-Nya saw. dalam
firman-Nya : “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma’ruf.” (Qs. Al-A’raf :119).
Dikatakan : “Akhlak berarti engaku dekat orang banyak,
tapi asing terhadap urusan mereka.”
274
Dikatakan pula : “Akhlak yang baik adalah bagaimana
menerima perlakuan kasar manusia dan ketentuan Al-Haq
tanpa merasa sedih dan cemas.”
Dikatakan bahwa Abu Dzar memberi minum untanya di
sebuah bak kolam air. Tiba-tiba ada sebagian orang yang
menabraknya. Bak air itu pecah. AbuDzar duduk, kemudian
berbaring. Seseorang bertanya kepadanya mengapa berbuat
begitu. Ia menjawab “Rasulullah saw. memerintahkan kita,
bahwa jika seseorang merasa marah, hendaklah ia duduk
sampai marahnya reda. Jika tidak reda juga, hendaklah ia
berbaring.”
Tertulia dalam kitab Injil : “Hambaku, ingatlah kepada-Ku
ketika engkau sedang marah, maka Aku akan
mengingatkanmu ketika Aku marah.”
Luqman berkata kepada nakanya : “Ada tiga macam orang
yang tidak dikanli kecualai pada tiga perkara : “Seorang
murah hati ketika marah, seorang pemberani di saat perang,
dan seorang saudraa saat dibutuhkan.”
Musa as. Berkata : “Tuhanku, aku memohon kepada-Mu
agar tidak dikatakan kepadaku, hal-hal yang bukan diriku,
“Allah mewahyukan kepadanya : “Aku tidak pernah melakukan
hal itu untuk Diri-Ku. Bagaimana Aku bisa melakukannya
untukmu?”
Yahya bin Ziyad al-Haritsy ditanya, berkaitan dengan
seorang budak yang buruk perilakunya. “Mengapa engkau
masih tetap memeliharanya?” Ia menjawab, “Agar aku dapat
belajar bermurah hati.”
Tentang firman Allah swt. “.....dan (Dia) menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.” (Qs. Ar-Ruum:20),
275
mempunyai makna bahwa “lahir” berarti pembentukan fisik
manusia, dan “batin” adalah penyucian akhlak
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Aku lebih suka berteman
seorang penjahat penuh dosa, tapi akhlaknya baik daripada
seorang saleh yag akhlaknya buruk.”
Dikatakan : “Akhlak yang baik berarti menanggung
penderitaan dengan penuh kegembiraan.”
Diceritakan, bahwa Ibrahim bin Adham pergi ke salah satu
padang pasir yang luas. Tiba-tiba seorang tentara muncul di
hadapannya dan bertanya : “Di mana kampung paling ramai?”
Ibrahim menunjuk ke kuburan. Tentara itu lalu memukul
kepala Ibrahim bin Adham. Ketika akhirnya ia melepaskan
Ibrahim, seseorang mengatakan kepadanya, “Itu tadi Ibrahim
bin Adham, Sufi dari Khurasan.” Tentara itu lalu meminta maaf
kepada Ibrahim bin Adham. Ibrahim berkata : “Ketika engkau
memukulku aku berdoa kepada Alalh swt. agar memasukanmu
ke dalam surga.” Tentara itu bertanya, “Mengapa?” Ibrahim
menjawab : “Sebab aku tahu bahwa aku akan memperoleh
pahala karena pukulan-pukulanmu. Aku tidak ingin nasibku
menjadi baik dengan krugianmu, dan perhitungan amalmu
menjadi buruk karena diriku.”
Diriwayatkan, ada seorang laki-laki mengundang Sa’id bin
Ismail al-Hiry ke rumahnya. Ketika Sa’id muncul di muka pintu
rumah orang itu, orang itu mengatakan kepadanya, “Wahai
Syeikh, ini bukan waktu yang baik bagi tuan untuk masuk ke
dalam rumahku. Anda benar-benar menyesal. Maaf silahkan
pergi.” Ketika Sa’id datang lagi ke rumahnya, orang itu
menyuruhnya pergi lagi seraya mengatakan, “Maaf tuan, Ia
meminta maaf kepada Sa’id dan menyuruhnya supaya datang
lagi pada suatu waktu tertentu. Sa’id pun pergi. Ketika datang
276
lagi, orang itu mengatakan hal yang sama. (Persitiwa itu
sampai berulang empat kali). Akhirnya orang itu
menjelaskan : “Wahai Syeikh, aku hanya ingin menguji Anda.”
Ia lalu memintaa maaf kepada Sa’id dan memuji-mujinya.
Sa’id menjawab : “Jangan memujiku karena sifat yang juga
dimiliki oleh seekor anjing; jika anjing dipanggil, ia datang, jika
diusir, ia pergi.”
Dikdisahkan bahwa Sa’id al-Hiry sedang mewetati jalan
menjelang tengah hari ketika seseorang di atas atap
menumpahkan seember abu ke atas kepadalanya. Kawan-
kawannya menjadi marah dan mulai meneriaki orang yang
menumpahkan Abi itu. Sa’id berkata : “Jangan mengatakan
apa-apa! Orang yang layak memeperoleh neraka, tapi hanya
dikenai abu saja tidak berhak untuk marah.”
Dikatakan, Salah seorang dari fakir sedag gmenjadi tamu
di rumah Ja’fat bin Handzalah, yang leyaninya sebaik
mungkinn. Fakir itu berkata : “Anda bertul-betul orang yang
baik. Sayang Anda seorang Yahudi.” Ja’far menjawab :
“Agamaku tidak mempegaruhi caraku melayani kebutuhamu.
Berdoalah agar jiwamu disembuhkan dan aku memperoleh
hidayatnya!.”
Diceritakan bahwa Abdullah al-Khayyath mempunyai
pelanggan jahitan baju seorang Majusi. Orang itu biasa
mebayarnya dengan uang dirham palsu dan Abdullah
menerima saja uang palsu itu. Suatu hari ketika Abdullah
sedang sibuk di Suraunya, orang Majusi itu datang untuk
mengambil pakaian pesanannya dan mencoba membayarnya
dengan dirham-dirham palsu, yang diberikan kepada
muridnya, namun oleh murid itu ditolaknya. Akhirnya si orang
Majusi itu mebayar dengan uang dirham asli. Ketika Abdullah
277
kembali, ia bertanya kepada mudirnya : “Dimana pakaian
pesanan orang Majusi itu?” Si pembantu menceritakan apa
yang telah terjadi. Abdullah memarahinya. Katnya : “Engkau
telah melakukan kesalahan. Selama beberapa waktu, kami
telah melakukan bisnis dengan caranya itu, dan aku bersabar
saja. Dirham-dirham palsu itu biasanya kulemparkan ke dalam
sumur agar ia tidak menipu orang lain, selain diriku.”
Dikatakan : “Akhlak yang buruk menyempitkan hati
pelakunya. Sebab ia tidak memberikan ruang bagi apa pun
selain hawa nafsunya sendiri, dan hati menjadi seperti sebua
ruangan sempit yang hanya cukup bagi pemiliknya.”
Dikatakan pula : “Akhlak yang baik berarti bahwa engkau
tidak peduli siapa pun yang berdiri di sebelahmu dalam shaf
ketika shalat.”
Dikatakn juga : “Suatu tanda keburukan akhlak Anda,
manakala Anda hanya tertuju pada keburukan akhlak orang
lain.”
Rasulullah saw. ditanya : “Apakah yang disebut celaka itu?
Beliau menjawab : “Akhlak yang buruk.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. baha seseorang
memohon kepada Rasulullah saw. :
“Wahai Rasulullah! Mohonlah kepada Allah swt. agar
membinasakan orang-orang musyrik itu!” Beliau menjawab :
“Aku diutus sebagai rahmat, bukan sebagai penyiksa.” (H.r.
Muslim).
34.
KEDERMAWANAN HATI
290
“Sudah sampaikah kepadamu (Muhammad) cerita tentang
tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan?” (Qs. Adz-
Dzariyat :24).
Yang dimaksud bahwa tamu-tamu yang dimuliakan,
karena Ibrahim as. Sendiri yang melayani mereka. Juga
dikatakan demikian, karena si tamu seorang mulia dengan
sendirinya juga seorang yang mulia.
Ibrahim ibnul Junayd menuturkan : “Ada empat perbuatan
yang tidak boleh dihindari oleh seseorang, walaupun ia
seorang prnguasa : “Berdiri dari tempat duduknya untuk
ayahnya, melayani tamunya, melayani seorang ulama yang
pernah menjadi gurunya, dan bertanya tentang apa yang
tidak diketahuinya.”
Ibnu Ababs r.a. bekomentar tentang firman Allah swt. :
“Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama
mereka atau sendirian.” (Qs. An-Nuur :61).
Ayat ini bermakna : “Mereka akan merasa berdosa jika di
antara mereka makan sendirian. Maka Allah lalu mengizinkan
hal itu bagi mereka.”
Dikatakan bahwa Abdullah bin Amir bin Kurayz sekali
waktu sedang menjamu seorang laki-laki dengan baik. Ketika
orang itu hendak berangkat, budak-budak Abdullah menolak
membantunya. Ketika ditanya tentang hal ini, Abdullah
menjawab : “Mereka enggan membantu orang yang
meninggalkan kami.”
Abdullah bin Bakuwayh melantunkan syair al-Muntanabby
dalam konteks di atas :
Jika kau tinggalkan kaum
Padahal mereka mampu
Untuk tidak memisahkan ddirimu dengan mereka
291
Maka orang yang berangkat
Kan menjadi susah
Abdullah bin Mubarak berkata : “Kemurahan jiwa dengan
tidak menengok milik orang lain lebih baik dari kemurahan
hati dalam memberikan milik sendiri.”
Salah seorang Sufi berkata : “Pada suatu hari yang sangat
dingin aku pergi ke Bisyr ibnul Harits. Ia telah melepskan
sebagian dari pakaiannya, dan menggil kedinginan. Aku
bertanya kepadanya : “Wahai Abu Nashr, orang lain
mengenakan pakaian tambahan pada hari seperti ini.
Mengapa Anda berpakaian begitu tipis?” Ia menjawab : “Aku
ingat kepada orang-orang miskin dan keadaan mereka, dan
aku tidak punya apa pun untuk diberikan kepada mereka.
Maka aku ingin sama-sama menderita seperti halnya mereka,
kedinginan.”
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Kedermawanan hati
bukanlah jika orang kaya memberi kepada orang miskin.
Kedermawanan hakiki adalah jika orang miskin memberi
kepada orang kaya.”
35.
GHIRAH
Allah swt. berfirman :
“Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan
yang keji, baik yang lahir ataupun yang batin.” (Qs. Al-A’raf :
33).
Rasulullah saw. telah bersabda :
“Tidak ada yang lebih pencemburu daripada Allah swt.Di
antara cemburu-Nya adalah Dia melarang perbuatan keji, baik
292
kekejian yang lahir maupun keji yang batin.” (Hr. Bukhari –
Muslim, Ahmad dan Tirmidzi).
Diriwayat oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
“Allah itu pencemburu dan orang Mukmin juga
pencemburu. Cemburu Allah swt. adalah sifat yang muncul
bilamana seorang hamba yang beriman melakukan apa yang
telah dilarang-Nya.” (H.r. Bukhari-Muslim dan Tirmidzi).
Cemburu adalah rasa tidak suka jika orang lain memiliki
sesuatu. Allah digamabarkan bersifat Ghirah (cemburu),
berarti bahwa Allah tidak ridha manakala ada tuhan lain di
sisi-Nya, yang sesungguhnya adalah Hak Allah ketika hamba –
Nya taat kepadan-Nya.
Diriwayatkan dari as-Sary as-Saqathyketika dibacakan
ayat :
“Dan apabila kamu membaca Al-Qur’an, niscaya Kami
adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman
pada kehidupan akhirat suatu hijab yang tidak dapat
ditembus.” (Qs. Al-Isra’:45).
As-Sary berkata kepada murid-muridnya : “tahukah kamu
apakah yang hijab itu? Itu adalah hijab cemburu. Tidak ada
yang lebih pencemburu daripada Allah swt.”
Dengan kata-kata :”Itu adalah hijab cemburu”, maksud
as-Sary bahwa Allah swt. tidak memberikan kemampuan
kepada orang-orang kafir untuk mengetahui kebenaran
agama.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Alah swt. telah
mengingatkan beban kehinaan pada kaki orang-orang yang
malas dalam beribaddat kepada-Nya. Dia menempatkan
293
mereka pada jarak yang ajuh dari-Nya dan menajdika mereka
terlambat lagi dari kedudukan yang dekat kepada-Nya.”
Dalam makna ini mereka, para Sufi bersyair :
Aku pencinta setia kepada yang kucintai, tetapi
Pertolongan mana yang bisa kuperoleh
Dengan buruknya pandangan para tuan?
Kaum Sufi juga amengatakan tentang masalah ini :
“Sorang yang sakit tidak terjenguk, dan orang yang sangat
mengingini tidaklah diingikan.”
Al-Abbas az-Zauzany mengatakan : “Aku dianugerahi
kebaiakan dala permulaan perjalanan ruhaniku. Aku
mengetahui apa yang masih tersissa antara aku dan tujuanku.
Pada suatu malam aku bermipi tergelincir dari puncak gunung
yang ingin kucapai. Aku sangat sedih (ketika bangun).
Kemudian aku tertidur lagi, dan mendengar sebuah suara
mengatakan : “Wahai Abbas, Allah tidak menghendaki engkau
mencapai tujuan yang engku upayakan. Tetapi Dia telah
membawakan hikmah kepada lidahmu.” Ketika aku bangun
pagi aku benar-benar telah dianugerahi ilham ucapan-ucapan
yang penuh hikmah.”
Syeikh Abi Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika ada
seorang syeikh yang mengalami kondisi ruhani dan saat-saat
bersama Allah swt. Setelah itu ia tidak tampak beberapa lama
di antara orang-orang miskin. Ketika muncul kembali, tidak
dalam keadaan sebagaimana sebelumnya, mereka bertanya
kepadanya apa yang telah terjadi. Ia menjawab : “Duh, hijab
telah terjadi.”
Selama dalam majelis, tiba-tiba terjadi sesuatu yang
merasuki hati mereka yang hadir, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq
biasa berkata : “Ini adalah kecemburuan Allah swt. Dia tidak
294
menghendaki mereka mengalami nuansa lebih dari saat yang
jernih ini.”
Dalam hal ini, para Sufi bersyair berikut :
Juwita berhasrat datang kepada kami;
Sampai ketika ia memandang cermin
Keindahan wajahnya
Telah menawan dirinya.
Sebagian Sufi ditanya : “Apakah engkau ingin melihat-
Nya?” ia amenjawab : “Tidak” Ia ditanya : “Mengapa?” Ia
menjawab : “Aku ingin menyucikan Keindahan yang begitu
agung dari segala pandangan seperti persepsiku.”
Para Sufi bersyair :
Aku iri kepada mataku yang memandangmu
Hingga kutundukkan ketika aku melihatmu.
Kulihat dirimu menampakkan keindahan-keindahan
Yang membuatku terpesona.
Aku cemburu
Darimu
Padamu.
Asy-Syibly pernah ditanya : “Kapankah engkau istirahat?”
Ia menjawab : “Jika kudapati baha tiada lagi orang berdzikir
kepada-Nya.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq telah
mengomentari sabda Nabi saw. ketika beliau baru saja
menyelesaikan akad jual beli seekor kuda dengan seorang
Badui. Orang Badui itu menuntut agar penjualan dibaalkan,
maka Nabi membatalkannya. Kemudian si Badui berkata :
“Semoga Allah swt. memberimu umur panjang. Dari golong
apa engkau?” Nabi menjawab : “Seorang laki-laki dari suku
Quraisy.” Salah seorang sahabat yag hadir mencela si Badui :
295
“Kekuarang ajaran mana yang lebih besar daripada tidak
mengenali Nabimu?” Syeikh Abu Ali berkata : “Nabi saw.
bersabda : “Sorang glaki-laki dari suku Quraisy.” Itu adalah
karena cmeburu. Jika tidak, tentu beliau akan menjawab
kepda siapapun yang bertanya kepada beliau, siapa diri belaiu
yang sebenarnya. Kemudian Allah swt. menjadikan sahabt
tersebut mengungkapkan identitas beliau kepada si Badui
dengan bertanya : “Kekurang ajaran mana yang lebih besar
dariapda tidak mengenali Nabimu?”
Sebagian Sufi berkata : “Cemburu adalah sifat orang-
orang pemula. Orang yang sudah mencapai kemanunggalan
tidaklah mengalami cemburu, tidak pula memiliki predikat
ikhtiar, tidak pula peduli atas apa yang terjadi di kerajaan.
Allah swt. sematalah yang lebih utama dari segalanya, dalam
segala ketentuan yang dikehendaki-Nya.”
Sa’id bin Salam al-Maghriby mengatakan : “Cemburu
adalah amal para murid. Sedangkan mereka yang telah
mencapai hakikat kebenaran, tidak ada rasa cemburu.”
Dulaf asy-Syibly menjelaskan : “Ada dua macam cemburu;
Cemburu manusia satu sama lain dan cemburu Allah terhadap
hati manusia.” Diteaskannya juga : “Cemburu Allah
menyangkut nafas manusia, jika nafs itu dihembuskan untuk
selain Alalh swt.”
Seharusnya dikatakan : Ada dua macam cemburu :
Pertama cemburu Allah kepada manusia, artinya Dia tidak
ingin ada sesuatu yang melimpahi makhluk. Dan kedua,
cemburu hamba terhadap Allah swt. berarti penolakannya
untuk mengabdikan keadaan-keadaan atau nafasnya kepada
selain Allah.” Karenanya tidak dapat dikatakan :Aku cemburu
kepada Allah swt.” Tapi hendaklah mengatakan : Aku cemburu
296
demi Allah swt.” Cemburu kepada Allah swt, adalah
kebodohan dan mungkin dapat meninggalkan agama. Tetapi
cemburu demi Allah, melahirkan pengagungan hak-Nya dan
penjernihan amal-amal kebajikan kepada-Nya.
Ketahuilah, bahwa Sunnatullah atas wali-wali-Nya adalah –
jika mereka menemukan kepuasan pada selain Allah,
mendengarkan kepada selain Allah, atau memperbolehkan
yang selain Allah untuk bersemayam dalam hati mereka,
maka hal itu akan menimbulkan kegelisahan dalam hati
mereka – Allah bagitu cemburu akan hati mereka hingga Dia
mengembalikan mereka kepada Diri-Nya, dalam keadaan
kosong dari semua hal lain yang memberikan kepuasan
kepada mereka, dari semua yang mereka pedulikan dan dari
semua yang mereka perbolehkan bersemayam di hati mereka.
Sebagaimana Nabi Adam as. Ketika hatinya tersirat keinginan
hidup abadi di surga, justru sebaliknya beliau dikeluarkan dari
surga. Ini juga terjadi kepada Ibrahim as. Di saat keberadaan
Ismail membuat beliau bangga dan kagum, Allah
memerintahkan untuk menyembelihnya, sampai Ismail keluar
dari dalam hati Ibrahim. “Tatkala keduanya telah berserah diri
dan Ibrahim telah membaringkan anaknya atas pelipis (nya)
(untuk dikorbankan)” (Qs. Ash-Shaffaat :103), dan Ibrahim
telah menyucikan batinnya melalui perintah-Nya, lalu Allah
menggantikan dengan domba.
Muhammad bin Hissan menuturkan : “Sekali waktu, ketika
aku sedang mengelilingi pegunungan Libanon, seorang
pemuda datang kepadaku. Tubuhnya telah terbakar oleh badai
pasir dan anin, Ketika melihatku, ia berpaling dan lari. Aku
mengikutinya dan berkata : Berilah aku sepatah kata
nasihat!.” Ia menjawab : “Waspadalah, karena
297
Dia pecemburu. Dia tidak mau menemukan sesuatu
selainDiri-Nya dalam hati hamba-Nya.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Alalh swt. adalah
Pencemburu. Salah satu tanda cemburu-Nya adalah bahwa
Dia tidak menjadikan jalan menuju Diri-Nya selain Dari-Nya
sendiri.”
Diriwayatkan bahwa Alalh swt. menyampaikan wahyu
kepada sala seorang Nabi-Nya : “Si Fulan membutuhkan Aku
dan Aku pun membutuhkannya. Jika ia memenuhi kebutuhan-
Ku, Aku pun akan memenuhi kebutuhannya.” Nabi tersebut –
semoga Allah melimpahkan keselamatan kepadanya –
bertanya dalam munajatnya : “Wahai Tuhanku, abagaimana
mungkin Engkau membutuhkan sesuatu?” Allah menjawab :
“Ia telah menemukan ketenangan selain Aku. Maka
hendaknya ia mengosongkan hatinya. Aku akan memenuhi
kebutuhannya.”
Diceritakan bahwa Abu Yazid al-Bisthamy bermimpi
melihat sekelompok bidadari. IA memandang mereka,
sehingga beberapa hari waktunya terbengkelai. Kemudian ia
bermimpi melihat mereka lagi. Tetapi kali ini ia tidak menoleh
kepada mereka, seraya berkata : Kalian semua mengalihkan
perhatianku.”
Dikatakan bahwa Rabi’ah al-Adawiyah jatuh sakit paa
suatu hari, dan seseorang bertanya tentang sebab sakitnya.
IA menjawab : “Karena aku memalingkan hatiku ke surga,
maka Allah mendidikku dan bagi-Nya berhak menegcamku.
Aku tidak akan melakukannya lagi.”
Diriwayatkan bahwa as-Sary as-Saqathy mengabarkan :
“Satu ketika aku sedang mencari salah seorang sahabatku.
Aku menjelajahi beberapa gunung dan bertemu dengan
298
segerombolan orang yang semuanya berpenyakit, buta atau
lumpuh. Ketika aku bertanya kepada mereka apa yang sedang
mereka kerjakan di temepat itu, mereka menjawab : “Kami
diberitahu bahwa di sini tinggal seorang laki-laki yang keluar
(dari gua) sekali setahun. Jika ia berdoa untuk orang banyak,
mereka akan sembuh.” Aku lalu menunggu sampai orang itu
keluar. Ia berdoa untuk orang-orang itu dan mereka pun
sembuh. Aku mengikutinya, datang ke dekatnya dan
bertanya, : “Apakah obat untuk penyakit batinku? Ia
menjawab : “Wahai Sary, pergilah dariku, agar Alalh swt. Yang
Pencemburu, tidak melihatmu mencari ketenangan dari selain
Dia. Itu akkan merendahkan derajatmu di sisi-Nya.”
Sisi lain kecemburuan adalah, bahwa sebagian orang
cemburu ketika melihat orang lain berdzikir kepada-Nya
dengan alpa; sehingga tidak mungkin rasanya memandang
mereka, yang membuatnya menderita.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaqberkomentar
tentang kejadian ketika seorang badui masuk ke dalam masjid
Nabi dan kencing. Para sahabat berdatangan untuk
mengeluarkan orang itu. Abu Ali mengatakan : “Orang Badui
itu berperilaku buruk sekali, tetapi justru rasa malu justru
menimpa para sahabat. Begitu juga halnya dengan seorang
hamba. Apabila ia mengetahui kemahakuasaan dan
kebesaran Allah swt. maka ia akan marah manakala
mendengar seseorang berdzikir kepada Allah dengan ceroboh,
atau manakala melihat seseorang melakukan ketaatan ibadat
tanpa benar-benar disertai pernghormatan kepada-Nya.”
Diceritkan, bahwa salah seorang putra Abu Bakr asy-
Syibly yang bernama Abul Hasan, meinggal dunia. Sebagai
tanda berkabung, ibunya memotong seluruh rambutnya. Asy-
299
Syibly pergi ke rumah pemandian dan mencukur jenggotnya
hingga licin. Setiap orang yang datang untuk mengucapkan
dukacita bertanya : “Apa yag telah engkau lakukan, wahai Abu
Bakr?” Ia menjawab : “Aku mengikuti contoh yang diberikan
istriku.” Salah seorang di antara mereka bertanya lagi, :
“Katakanlah kepadaku, wahai Abu Bakr, mengapa Anda
melakukan hal ini?” Ia menjawab : “Aku tahu bahwa orang-
orang akan datang untuk menyatakan belassungkawa dengan
menyebut nama Allah secara sembrono dengan mengatakan :
“Semoga Allah memberikan ganti kepadamu.” Aku
mengorbankan jenggotku untuk menebus kesembronoan
mereka dalam meneyebut-nyebut nama Allah swt.”
Ketika an-Nury mendengar seseorang menyerukan adzan,
ia berteriak : “Bohong dan racun!” Sebaliknya ketika
mendengar seekor anjing menggonggong, ia berkata : “Iya,
aku siap melayanimu!.”
Seseorang berkomentar : “Ini adalah bid’ah. Ia
mengatakan kepada seorang beriman yang bersaksi atas
tauhid, “Bohong dan racun.” Sementara ia mengatakan, “Ya
siap melayanimu.” Pada anjing yang menggonggong” Ketika
ditanya alasan ucapannya itu, an-Nury menjelaskan : “Orang
itu menyebut-nyebut nama Allah swt. dengan penuh
kealpaan, sedangkan anjing itu, Allah swt. telah berfirman :
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya
bertasbih kepada Allah.” (Qs. Al-Isra :44).
Suatu ketika asy-Syibly menyerukan adzan. Usai
mengucapkan dua kalimah syahadat, ia berkata : “Seandainya
Engkau tidak memerintahkan aku menyebut demikian,
niscaya aku tidak akan menyebutkan yang lain bersama
dengan-Mu.
300
Suatu ketika seseorang mendengar seorang lainnya
berseru : “Maha Agung Allah.” Ia menjawab : “Aku lebih ska
mengagungkan-Nya, dengan cara tidak seperti itu.”
Abul Hasan al-Khazafany berkata : “Laa ilaaha illallaah
dari dalam kalbu, dan Muhammadarrasuulullaah dari
telingaku, maka orang yang hanya melihat perkataan ini pada
tekstualnya saja akan menyangka bahwa ia telah menghina
syariat. Namun sesungguhnya tidaklah demikian. Sebab,
bahaya bagi tipu daya, justru ketika disandarkan pada
Kekuasaan Allah swt. sementara justru menghina dalam
pelaksanaannya.”
36.
KEWALIAN
Allah swt. berfirman :
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.” (Qs. Ynus : 62).
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Rasulullah
saw. bersabda :
“Allah swt. berfirman : “Barangsiapa yang
menyakiri seorang wali, berarti telah memaklumkan
perang terhadap-Ku melawan dia. Seorang hamaba
bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah
Kuperintahkan kepadanya. Dia senantiasa
mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan
sunnah sampai Aku mencintainya. Tak pernah Aku
merasa ragu-ragu melakukan sesuatu seperti
keragguanku mencabut nyawa seorang hamba-Ku yang
301
beriman, karena dia tidak menyukai kematian dan Aku
tak suka menyakiti hatinya; tetapi maut itu adalah
sesuatu yang tak bisa dihindarkan!.” (H.r. Ahmad,
Hakim dan Tirmidzi).
Kata wali mempunyai dua makna. Yang
pertama berasal dari bentuk fa’iil (subyek) dalam
pengertian maf’ul (obyek). Artinya orang yang diambil
alih kekuasaannya oleh Allah swt. Sebagaimana telah
difirmankan oleh-Nya : :...... dan Dia mengambil alih
urusan (yatawalla) orang-orang saleh.” (Qs. Al-A’raf :
196). Sejenakpun si wali tidak mengurusi dirinya.
Arti yang kedua berasal dari bentuk fa’iil dalam
pengertian penekanan (mubalaghah) dari faa’il. Yaitu
orang yang secara aktif melaksanakan ibadat kepada
Allah dan mematuhi-Nya secara terus menerus tanpa
diselingi kemaksiatan. Kedua arti ini mesti ada pada
seorang wali untuk bisa dianggap sebagai wali yang
sebenarnya, dengan menegakkan hak-hak Allah swt.
atas dirinya sepenuhnya, disamping perlindungan Allah
swt. padanya, di saat senang maupun susah.
Salah satu persayaratan seorang wali adalah bahwa
Allah melindunginya dari mengulangi dosa-dosa
(mahfudz), seperti halnya salah satu persyaratan
seorang Nabi adalah bahwa dia terjaga dari segala
dosa (ma’shum). Sipa pun yang berbuat dengan cara
yang menyimpang dari stariat Allah swt. berarti telah
tertipu.
Suatu ketika Abu Yazid al-Bisthamy berangkat
untuk mencari seseorang yang oleh orang-orang lain
digambarkan sebagai seorang wali. Ketika sampai ke
302
masjid orang tersebut, dia lalu duduk dan menunggu
orang tersebut keluar. Orang itu pun keluar setelah
meludah di dalam masjsid. Abu Yazid pun pergi begitu
saja tanpa memberi salam kepadanya, dan berkata :
“Inilah orang yang tak bisa dipercaya untuk
melaksanakan adab yang benar seperti dinyatakan
dalam hukum Allah. Bagaimana mungkin dia bisa
diandalkan untuk menjaga rahasia-rahasia Allah swt.?”
Terdapat ketidakpercayaan di kalangan kaum Sufi
mengenai apakah diperbolehkan bagi seseorang untuk
menyadari bahwa dirinya adalah seorang wali atau
bukan. Sebagian mereka mengatakan : “Hal itu tidak
didperbolehkan. Sang wali harus selalu instropeksi
dirinya dengan pandangan penuh hina. Jika suatu
karamah terjadi melalui dirinya, dia merasa takut jika
keadaan akhirnya berlawanan dengan keadaan
sekarang.” Para Sufi yang berpendapat seperti ini
menjadikan syarat kewalian, harus selaras dengan
keteguhannya hingga akhir hayat.
Akan tetapi, sebagian sufi mengatakan : “Boleh
saja seorang wali mengetahui bahwa dirinya adalah
wali, dan kesetiaan pada kewalian sampai akhir hayat
sang wali bukanlah persyaratan untuk mencapai
derajat kewalian di saat ini.”
Jika kesetiaan seperti itu merupakan prasyarat
untuk mencapai derajat kewalian, bahwa seorang wali
akan dianugerahi suatu karamah tertentu yang
dengannya Allah memberitahukan kepadaanya
mengenai kepastian keadan akhirnya. Sebab,
kepercayaan terhadap karamah seorang wali adalah
303
wajib. Yakni, walaupun ia dipisahkan rasa takut akan
keadaan akhirnya, namun sikapnya mengagungkan dan
memahabessarkan bisa meningkatkan kondisi batin
secara lebih efektif daripada banyaknya rasa takut itu
sendiri.
Ketika Nabi saw. bersabda : “Sepuluh orang
sahabtku akan berada di surga.” Maka sepuluh orang
itu sangat percaya kepada sabda Rasulullah saw. dan
mengetahui kepastian nasib mereka. Hal ini tidaklah
membuat cacat keadaan mereka. Sebab di antara
syarat sahnya memahami secara benar mengenai
kenabian menuntut pemahaman mengenai definisi
mukjizat, di samping itu juga pengetahuan tentang
hakikat karamah. Karena itu tidaklah mungkin bagi
seorang wali, manakala dia menyaksikan suatu
karamah terjadi di depan matanya, tidak mungkin ia
tidak membedakan antara karamah dan lainnya. Jika
menyaksikan hal seperti itu, sang wali mengetahui
bahwa dia berada di jalan yang benar.
Sang wali juga diperkenankan mengetahui realita
yang akan datang dengan tetap konsisten pada
kekinian perilakunya. Dianugerahi pengetahuan ini
sendiri adalah suatu karamah. Ajaran tentang karamah
wali adalah benar, sebagaimana dipersaksikan oleh
banyak riwayat Sufi. Di antara syeikh yang
menyapakati hal ini dan pernah saya jumpai adalah
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq.
Ibrahim bin Adham pernah bertanya kepada
seseorang : “Apakah engkau ingin menjadi wali Allah>”
Dia menjawab : “Ya” Ibrahim bin Adham lalu berkata :
304
“Kalau begitu janganlah engkau menginginkan harta
kekayaan duniawi ataupun ukhrowi. Kosongkanlah
dirimu untuk Allah swt. semata. Palingkanlah mukamu
kepada-Nya agar Dia berpaling kepadamu dan
menjadikanmu wali-Nya.”
Yahya bin Mu’adz menggambarkan para wali
sebagai berikut : “Mereka adalah hamba-hamba yang
berpakaian kesukacitaan jiwa setelah mengalami
penderitaan, dan yang memeluk ruhani setelah
mujahadah ketika mereka mencapai tahapan
kewalian.”
Abu Yazid al-Bisthamy mengatakan : “Wali-wali
Allah adalah pengantin-pengantin-Nya, dan tak
seorang pun yang boleh melihat para pengantin selain
mereka yang termasuk dalam keluarganya. Mereka
ditabiri dalam ruang khusus di hadirat-Nya oleh
kesukacitaan jiwa (uns). Tak seorang pun yang melihat
mereka, baik di dunia ini maupun di akhirat.”
Saya mendengar Abu Bakr ash-Shaidalany, salah
seorang yang saleh menuturkan : “Suatu ketika aku
berulangkali memperbaiki batu nisan makam Abu Bakr
at.Thamastany di pekuburan al-Hirah dan mengukir
namanya pada nisan itu. Namun tiba-tiba digali dan
dicuri orang meskipun makam-makam yang lain tidak.
Karena bingung menghadapi hal ini, aku bertanya
kepda Abu Ali ad-Daqqaq, yang kemudian menjelaskan
kepadaku : “Syeikh itu lebih suka tidak dikenal orang
di dunia ini, tapi engkau ingin memberinya batu nisan
yang akan memperbaiki kenangan kepadanya. Allah
swt. tidak ingin kecuali tetap menyembunyikannya
305
sebagaimana keadaan dirinya yang lebih disukainya
waktu hidupnya.”
Sa’id bin Salam al-Maghriby mengatakan :
“Kadang-kadang seorang wali termasyhur ke mana-
mana, namun ia tidak akan tergoda oleh
kemasyhurannya itu.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Para wali tidak
mengajukan tuntutan; mereka justru merasa hina dan
tersembunyi.” Dia juga mengatakan : “Pangkal
perjalanan para wali adalah langkah pertama para
Nabi.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Wali adalah dia
yang selalu melakukan perbuatannya selaras dengan
Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz menyatakan : “Seorang wali
berbuat sesuatu tidak demi riya’, tidak pula munafik.
Betapa sedikitnya sahabat-sahabat seseorang yang
berwatak seperti itu!.”
Abu Ali al-Juzajany berkata : “Seorang wali adalah
yang fana’ keadaannya namun tetap dalam
musyahadah akan Allah swt. Allah mengambil alih
urusan-urusannya hingga, dengan pengarahan itu,
cahaya kewalian melimpah. Dia tidak tahu apa tentang
ddirinya sendiri, tak ada tempat berpijak selain Allah
swt.”
Abu Yazid mengabarkan :”Jatah para wali yang
sudah ditentukan berasal dari empat Asma Allah.
Masing-masing kelompok wali berbuat sesuai dengan
salah satu Asma tersebut : Al-Awwal (Yang Terdahulu),
Al-Akhir (Yang Akhir), Adz-Dzahir (Yang lahir) dan Al-
306
Bathin (Yang batin). Manakala seorang Wlai fana’ dari
nama-nama tersebut setelah memakainya, maka dialah
manusia kamil yang sempurna. Wali yang jatahnya
beasal dari Asma Allah Adz-Dzahir akan menyaksikan
kekuasaan-Nya; Wali yag mendapatkan bagian dari Al-
Bathin, akan menyaksikan hal-hal yang mengalir dalam
rahasia batin dari cahaya-Nya. Wali yang bagiannya
dari al-Awwal disebutkan dengan masa lampau; Wali
yang namanya berasal dari al-Akhir akan berhubungan
dengan masa yang akan datang. Masing-masing diberi
keterbukaan menurut kemampuannya, kecuali wali
yang telah dipilih oleh Alalh swt. dan dipelihara untuk
diri-Nya.”
Kata-kata Abu Yazid ini menunjukkan kelompok
terpilih di antara hamba-hamba Allah derajatnya lebih
tinggi dari bagian-bagian ini, tidak hanya sibuk dengan
masa depan, atau pun masa lalu dalam benaknya, juga
bukan karena jalan-jalan ruhani yang telah dilewatinya.
Demikian keadaan ruhani mereka yang telah mencapai
hakikat; mereka terhapus dari sifat-sifat makhluk.
Seperti difirmankan Allah swt. :
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal
mereka tidur.” (Qs. Al-Kahfi :18).
Yahyan bin Mu’adz mengatakan : “Seorang wali
adalah wewangian Allah di bumi, yang dicium banunya
oleh pafa shiddiqin, hingga bau itu menyentuh
kalbunya, smapai mereka terbelenggu rindu pada
Tuhannya. Ibarat mereka senantiasa bertambah
menurut derajat akhlaknya.
307
Muhammad al-Wasithy ditanya : “Bagaimana
seorang wali dibesarkan dalam kewaliannya?” Dia
menjawab : “Pada awalnya, dia dibesarkan dengan
ibdadatnya. Untuk mencapai kematangannya, dia
dibesarkan dengan tabir melalui kelembutan-Nya.
Kemudian Dia mengembalikan ke dalam sifat-sifatnya
yang terddahulu; dan akhirnya Dia menjadikannya
menikmati rasa ketegauhannya dalam waktu-
waktunya.”
Dikatakan : “Tanda kewalian ada tiga : Disibukkan
dengan Allah swt, dia lari kepada Allah swt, dan dia
hanya bercita-cita kepada Allah swt.”
Alh-Kharraz berkata : “Jika Allah swt. berkehendak
mengangkat salah seorang hamba-Nya menjadi wali,
maka Dia akan membuka baginya pintu gerbang dzikir
kepada-Nya. Jia dia telah merasakan manisnya dzikir,
maka Dia akan membukakan baginya pintu kedekatan.
Lantas dinaikan ke atas kesukacitaan ruhani. Kemudian
dia ditempatkan-Nya di atas tahta tauhid. Kemudian
dibukakan tabir dan dimasukan ke dalam rumah
Ketunggalan. Disibakkan baginya Keagungan dan
Kebesaran Ilahi. Manakala matanya memandang
Kebesaran dan Keagungan, ia tetap tanpa dirinya.
Pada saat seperti itu si hamba menjadi fana’. Setelah
itu ia akan berada di dalam perlindungan Allah swt,
bebas dari keccenderungan dirinya sendiri.”
Abu Turab an-Nakhsyaby mengatakan : “Manakala hati
seorang menjadi terbiasa berpaling dari Allah swt.
maka kejadian itu diketahui oleh para wali Allah swt.”
308
Dikatakan : “Salah sifat seorang wali adalah bahwa
dia tak punya rasa takut, sebab takut adalah suatu
keadaan yang dibenci yang menempati di masa datang.
Atau menunggu kekasih yang hilang di masa lalu.
Sedangkan wali adalah anak waktunya, tak ada
gambaran di depan hingga ia harus takut, atau tak ada
harapan, karena harapan itu sendiri adalah menunggu
yang tercnta untuk datang, atau bahkan yang dibenci
kelak terbuka kedoknya. Hal itu juga berada di luar
lingkup masa kini. Sang wali juga tak pernah merasa
sedih, sebab sedih adalah penderitaan dalam waktu.
Bagaimana mungkin orang yang telah merasakan
cahaya ridha dan tentramnya selaras dengan-Nya akan
tertimpa kesedihan? Allah swt. berfirman : “Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran pada mereka, dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.” (Qs. Yunus :62).
37.
DO’A
Allah swt. berfirman :
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri
dan dalam kerahasiaan.” (Qs. A-A’raf :55).
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
kuperkenankan bagimu.” (Qs. Al-Mu’min :60).
Rasulullah saw. telah bersabda :
“Doa adalah inti ibadat.” (H.r. Tirmidzi, dari Anans
bin Malik).
309
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Doa adalah
kunci bagi setiap kebutuhan. Doa adalah tempat
beristirahat bagi mereka yang membutuhkan, tempat
berteduh bagi yang terhimpit, kelegaan bagi perindu.”
Allah s”Mereka menggenggamkan tangannya.” (Qs.
At-Taubah :67).
Ditafsirka bahwa ayat ini bermakna : “Mereka tidak
mengangkat tangan mereka dengan terbuka untuk
berdoa kepada kami.”
Sahl bin Abdullah menuturkan : “Percayakanlah
rahasai-rahasiamu kepada-Ku. Kalau tidak, maka
melihatlah kepada-Ku, kalau tidak, maka dengarkanlah
Aku, Kalau tidak, maka menunggulah di pintu-Ku. Jika
tak satu pun dari ini semua yang engkau lakukan,
ketakanlah kepada-Ku apa kebutuhan-mu.”
Sahl juga berkata : “Doa yang paling dekat untuk
dikabulkan dalah doa seketika.” Yang maksudnya
adalah doa yang terpaksa dipanjatkan oleh seseorang
dikarenakan kebutuhannya yang mendesak terhadap
apa yang didoakannya.
Abu Abdullah al-Makanisy berkata : “Aku sedang
bersama al-Junayd ketika seorang wanita datang dan
meminta kepadanya : “Berdoalah untukku agar Allah
mengembalikan anakku kepadaku, karena dia telah
hilang.” Al-Junayd mengatakan kepadanya : “Pergilah,
dan bersabarlah.” Kemudian wanita itu berlalu,
kemudian kembali lagi meminta al-Junayd agar beroda
lagi. Al-Junayd menjawab : “Pergilah dan bersabarlah.”
Hal ini berlangsung berkali-kali, dan setiap kali al-
Junayd mengatakan agar wanita itu bersabar. Akhirnya
310
wanita itu berkata : “Kesabaranku telah habis. Sudah
tidak ada lagi sisa kesabaranku.” Al-Junayd menjawab :
“Jika demikian halnya, pulanglah sekarang, sebab
anakmu telah kembali.” Wanita itu pun pulang, dan
menemukan anaknya. Dia kembali kepada al-Junayd :
“Bagaimana engkau bisa tahu?” Dia menjawab : “Allah
swt. telah berfirman “Atau siapakah yang
memperkenan (doa) orang yang dalam kesulitan
apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang
menghilangkan kesusahan.” (Qs. an-Naml : 62).”
Orang berbeda pendapat mengenai mana yag lebih
baik : Berdoa atau berdiam diri dan bersikap ridha. Di
antara mereka ada sebagian yang berekata : “Doa
adalah otak ibadat.” Adalah lebih baik melaksanakan
apa pun yang merupakan amal ibadat daripada
melewatkannya. Di samping itu, berdoa adalah hak
Tuhan atas manusia. Kalaupun Dia tidak mengabulkan
doa si hamba dan si hamba tidak memperoleh manfaat
dengan doa-nya, namun sang hamba telah
melaksanakan hak Tuhannya, sebab doa adalah
ungkapan lahiriah kebutuhan penghambaan.”
Abu hazim al-A’raj berkata : “Dihalangi berdoa
adalah lebih menyedihkan hatiku daripada terhalangi
tidak dikabulkan.”
Ada orang lain yang menegaskan : “Diam dan tidak
berbuat apa-apa dalam menjalani ketetapan Tuhan
adalah lebih sempurna daripada berdoa. Bersikap ridha
atas apa pun yang dipilih Allah untuk kita adalah lebih
utama. Sehubungan dengan alasan ini, al-Wasithy
mengatakan : “Memilih apa yang telah ditetapkan
311
bagimu dalam zaman azali adalah lebih baik bagimu
daripada menentang kedaan yang ada sekarang.”
Nabi saw. berdsabda : “Allah swt. berfirman dalam
hadits qudsi : “Aku memberi kepada orang yang terlalu
sibuk mengingat-Ku hingga tak sempat berdoa, lebih
banyak daripada yang Ku-berikan kepada mereka yang
berdoa”.
Ada kelompk kaum yang berkata : “Si hamba harus
sberdoa dengan lidahnya, sementara pada saat yang
sama dia juga bersikap ridha, dan dengan demikian
menggabungkan keduanya itu.”
Pendapat yang lebih utama dalam hal ini adalah
mengatakan bahwa waktu dan situasi itu berbeda-
beda. Dala situasi tertentu, doa adalah lebih baik
daripada diam, yaitu sebagai perilaku adab seorang
hamba. Sementara dalam keadaan alin, berdiam diri
adalah lebih baik daripada doa, yaitu sebagai alasan
etika pula. Ini hanya bisa diketahui dalam waktu,
karena pengetahuan mengenai waktu, jika seseorang
mendapati hatinya condong untuk untuk berdoa, maka
berdoa adalah paling baik. Jika dia mendapati hatinya
condong kepada diam diri, maka berdiam diri lebih
baik.
Benar juga dikatakan bahwa tidaklah patut bagi si
hamba untuk tidak mengabaikan penyaksian terhadap
Tuhannya Yang Maha Luhur ketika berdoa. Dia juga
harus memberikan perhatian cermat kepada keadaan
berdoanya, maka berdoa adalah paling baik baginya.
Jika ia mengalami semacam kendala dan hatinya
merasa sempit ketika berdoa, maka yang paling baik
312
baginya adalah meninggalkan berdoa pada saat itu.
Jika dia tidak mengalamami yang manapun dari kedua
hal ini, maka terus berdoa atau pun meninggalkannya
adalah sama saja baiknya. Jika kepeduliannya yang
utama adalah pada keadaan ma’rifat dan berdiam diri,
maka menghindari berdoa adalah lebih baik baginya.
Dalam soal=soal yang menyangkut nasib kaum
Muslimin atau yang berkaitan dengan kewajiban
seseorang terhadap Allah, maka berdoa adalah lebih
baik daripada tidak, tapi dalam perkara-perkara yang
menyangkut kebutuhan diri sendiri, maka berdiam diri
adalah lebih baik.
Dalam sebuah Hadits disebutkan : “Apabila seorang
hamba yang dicintai Allah berdoa, maka Allah
berfirman : “Wahai Jibril, tundalah memenuhi
kebutuhan hamba-Ku itu, karena Aku senang
mendengarkan suaranya.” Apabila seseorang yang
tidak disukai Allah beroda, Dia berfirman : “Wahai
Jibril, penuhilah kebutuhan hamba-Ku itu, karena Aku
tak suka mendengar suaranya.”
Diceritakan bahwa Yahya bin Sa’id al-Waththan
bermimpi melihat Allah swt. dan ia berkata : “Wahai
Tuhanku, betapa banyak kami telah beroda kepadamu,
tapi Engkau tidak mengabulkan doa kami!.” Dia
menjawab : “Wahai Yahya, itu karena Aku senang
mendengarkan suaramu.”
Nabi saw. menjelaskan :
“Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya,
apabila seseorang yang dimurkai Allah berdoa, Dia
akan menolaknya. Lalu orang itu berdoa lagi, akhirnya
313
Allah swt. berfirman kepada para malaikat-Nya :
“Hamba-Ku menolak untuk beroda kepada selain pada-
Ku, maka Aku pun mengabulkan doanya.: (H.r. Ali ra.
Dan dikeluarkan oleh al-Hakim).
Al-Hasan meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a.
yang menuturkan : “Pada masa Nabi saw. ada seorang
laki-laki yang berdagang antara Syam dan Madinah
serta dari Madinah ke Syam. Dia biasa bepergian,
tanpa begabung dengan kafilah-kafilah demi tawakkal
kepada Allah swt. Sekali waktu, ketika dia bepergian
dari Syam ke Madinah, seorang penyamun
mencegatnya dan berkata kepadanya : “Berhenti!”
Pedagang itu pun berhenti dan berkata kepada si
penyamun : “Ambillah barang-barangku tapi jangan
kau rintangi jalanku!” Si penyamun menjawab :
“Urusan harta bukan urusanku, tapi dirimulah yang
kukehendaki.” Maka pedagang itu menjawab : “Apa
yang kau kehendaki dariku, bukankah urusanmu itu
hartaku?” Ambillah abrang-barang itu dan enyahlah!>”
Si penyamun mengulangi apa yang telah dikatakannya.
Si pedagang berkata : “Tunggulah sampai aku
berwudhu dan berdoa kepada Tuhanku.” Maka si
pedagang pun bangkit, berwudhu, lalu shalat empat
rakaat. Setelah itu dia mengangkat tangannya ke
langit dan beroda :
321
dan aku tidak menginginkan orang lain berdoa
untukku.”
Dikatakan : “ Doa adalah tangga bagi orang-orang
yang berdosa.”
Dikatakan juga : “Doa adalah saling bertukar
pesan. Selama kedua pihak tetap bertukar demikian,
semuanya akan baik.”
Dikatakan : “Orang-orang yang berdosa
mengucapkan doa dengan air mata.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengataka : “Jika
seorang berdoa menangis, berarti dia telah membuka
hubungan dengan Allah swt.”
Tentag hal ini, para Sufi bersyair berikut :
Air mata pemuda mengungkapkan
Apa yang disembunyikan;
Nafasmu menjelaskan hati;
Yang menyembunyikan rahasia.erdoa berarti
meninggalkan dosa-dosa.” Dikatakan : “Doa adalah
cara seorang pecinta mengungkapkan
kerinduannya.” Dikatakan : “Diizinkan berdoa, lebih
baik dari anugerah.”
AL-Kattany menyatakan : “Allah swt. tidak
menganugerahkan kaum beriman, untuk
mengungkapkan rasa bersalah, kecuali untuk
membuka pintu kemaafan.”
Dikatakan juga : “Beroda menyebabkan engkau
hadir di hadorat Allah swt. Sedang dikabulkannya
doamu menjadikan engkau berpaling menjauh. Dan
berdiri saja di pintu, lebih baik daripada pergi dengan
membawa balasan.”
322
Dikatakan : Doa berarti menghadapAllah swt.
dengan ungkapan rasa malu.”
Dikatakan : “Satu persyaratan doa adalah
bertumpu pada keputusan Allah swt. bersama ridha.”
Dikatakan pula : “Bagaimana engkau akan
menunggu ijabah doa, sedang engkau menghalangi
jalannya dengan melakukan dosa-dosa?”
Seseorang meminta kepada salah seorang Sufi agar
didoakan : “Doakan aku.” Dijawab : “Engkau cukup
dengan Allah swt. daripada unsur lain yang kau jadikan
perantara antara dirimu dengan Diri-Nya.”
Abdurrahman bin Ahmad berkata : “Aku mendengar
ayahku menceritakan bahwa seorang wanita datang
kepada Tqy bin Mukhlad dan mengatakan kepadanya :
“Orang-orang Binzantium telah menawan anakku. Aku
tak punya apa-apa lagi di rumahku selain anakku itu.
Aku juga tidak bisa menjual rumahku. Jika saja tuan
bisa membawa saya kepada seseorang yang bisa
menebusnya, sebab saya sudah tidak tahu lagi mana
siang mana malam. Saya tidak bisa tidur ataupun
beristirahat.” Taqy berkata kepadanya : “Baiklah,
pergilah sampai-sampai aku melihat masalah ini, Insya
Allah.” Kemudian Syeikh itu menundukkan kepadalnya
dan menggerak-gerakkan bibirnya. Kami menunggu
bebereapa saat lamanya. Kemudian wanita itu datang
lagi bersama anaknya dan bersseru kepada Syeikh
tersebut : “Anakku telah kembali dengan selamat, dan
dia punya cerita untuk tuan.”
Anakknya itu lalu mengisahkan : “Saya sedang
berada dalam tawanan seorang gpangeran Bizantium
323
bersama dengan sekelompok tawanan. Sang Pangeran
menegaskan seseorang untuk menyuruh kami bekerja
setiap hari. Orang itu membawa kami kembali dari
bekerja setelah matahari terbenam dengan dikawal
oleh orang itu. Tiba-tiba rantai yang mengikat saya
terputus dan jatuh dari kaki saya.”
Anak muda itu menyebutkan hari dan saat di mana
peristiwa itu terjadi, dan saat itu adalah persis ketika
wanita itu mendatangi Syeikh Taqy saat beliau berdoa.
Si pemuda melanjutkan ceritanya : “Pengawal
memukul saya dan berteriak : “Engkau telah
memutusakn rantai ini!.” Saya berkata : “Tidak, ia
jatuh sendiri dari kaki saya!.” Orang itu kebingungan
dan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia
memanggil teman-temannya, lalu memanggil pandai
besi. Mereka lalu merantai saya lagi. Tapi begitu saya
berjalan beberapa langkah, rantai itu terlepas lagi dari
kaki saya. Mereka tercengang dan kemudain
memanggil para pendeta mereka. Para pendeta itu
bertanya kepada saya : “Apakah engkau punya Ibu?”
Saya katakan “Ya”. Mereka lalu berkata : “Doa ibumu
telah dikabulkan. Alalh swt. telah membebaskanmu.
Kami tak bisa lagi merantaimu.” Kemudian mereka
memberi saya makanan dan bekal lalu menyruh
seorang pengawal mengatarkan saya sampai ke daerah
kaum Muslimin.”
38.
KEFAKIRAN
324
Allah swt. berfirman :
“(Infaq itu) untuk orang-orang fakir yang terikat
(oleh jihad) di jalan Allah; Mereka tidak dapat
(berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka
mereka orang kaya karena (mereka) memelihara diri
dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan
melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada
orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik
yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (Qs. Al-
Baqarah :273).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi saw.
bersabda :
“Orang-orang miskin akan memasuki surga
limaratus tahun sebelum orang-orang kaya. (Limaratus
tahun itu) sama dengan setengah hari (surga).” (H.r.
Tirmidzi).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa
Rasulullah saw. telah bersabda :
“Orang miskin itu bukanlah dia yang berkeliling ke
sana ke mari denegan hrapan diberi orang sesuap dua
suap, sebutir atau dua butir kurma.” Seseoarang
bertanya : “Kalau begitu, siapakah orang miskin itu
wahai Rasulullah?” Nabi saw, menjawab : “Dia adalah
orang yang tidak menemukan kepuasan atas
kekayaannya, dan malu minta manusia, tidak pula
orang banyak mengetahui hal ihwal mereka hingga
mereka bisa diberi sedekah.” (H.r. Ahmad).
325
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar, tentang
ucapan Nabi saw. : “dan malu meminta” artinya adalah
bahwa mereka malu kepada Allah swt. untuk meminta-
minta dari orang banyak, bukan malu kepada manusia.
Kefakiran adalah simbol para wali dan hiasan para
Sufi, pilihan Alalh swt. pada orang takwa piluhan dan
para Nabi. Sedangkan para Sufi fakir merupakan
pilihan Allah swt. bagi hamba-hamba-Nya. Mereka
adalah pengemban rahasia-rahasia-Nya di antara para
hamba-Nya, yang dengan mereka Dia menjaga para
makhluk dan yang dengan keberkatan mereka rezeki
disebarkan di kalngan manusia.
Orang-orang fakir yang sabar akan menjadi
sahabat-sahabat Alalh swt. pada Hari Kebangkitan,
seperti dikatakan dalam Hadits riwayat Umar bin
Khaththab r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah
saw. telah bersabda : “Segala sesuatu ada kuncinya,
dan kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin.
Kaum fakir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat
Allah swt. pada Hari Kebangkitan.” (hr. Ibnul Laal, dan
Ibnu Umar).
Diceritakan bahwa seorang laki-laki membawakan
uang sebganyak sepuluh ribu dirham kepada Ibrahim
bin Adham, tetapi Ibrahim tidak menerimanya dan
berkata : “Engkau mau mengahapus namaku dari
daftar orang-orang miskin dengan uang sepuluh ribu
dirham!. Aku tidak akan menerimanay.!”
Mu’adz an-Nasafi menegaskan : “Allah tidak
pernah membinasakan suatu kaum, apa pun kejahatan
326
yang mereka lakukan, kecuali jika mereka
merendahkan dan menghina kaum miskin.”
Dikatakan, manakala para fakir tidak memiliki
kebajikan lain dalam pandangan Allah selain keinginan
mereka agar rezeki dilimpahkan dan dimurahkan di
kalangan kaum Muslimin, niscaya itu sudah cukup bagi
mereka, sebab mereka perlu memberli barang-barang
dan orang-orang kaya perlu menjualnya. Begitulah
halnya dengan kaum miskin yang awam, maka
bagaimana pula halnya dengan kaun yang terpilih di
kalangan mereka.?”
Ketika Yahya bin Mu’adz ditanya tentang kefakiran,
dia menjawab : “Hakikat kefakiran adalah bahwa
seseorang tidak butuh lagi selain Allah, dan tanda
kefakiran adalah tidak adanya harta benda.”
Ibrahim al-Qashshar mengatakan : “Kefakiran
adalah pakaian yang mewariskan ridha, apabila fakir
memakainya.”
Seorang fakir dari Zauzan datang kepada Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq padatahun 394 atau 395 Hijriyah.
Dia memakaia pakaian yang terbuat dari kain yang
sangat kasar dan kopiah dari kain yang sama. Salah
seorang sahabat Syeikh itu bertanya dengan nada
bergurau : “Berapa harga pakaianmu ini?” Dia
menjawab : “Aku membayarnya dengan dunia ini, dan
akhirat ditawarkan kepadaku untuk ditukar
dengannya. Tapi aku tidak akan menjualnya dengan
harta tersebut.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu
ketika seorang misikin mendatangi sebuah pertemuan
327
untuk meminta sedekah, seraya berkata : “Saya sudah
tiga tidak makan.” Salah seorang syeikh yang hadir di
situ berkata : “Engkau dusta!” Kemiskinan adalah
rahasia Tuhan. Dia tidak mempercayakan rahasia-Nya
kepda orang yang memamerkannya kepada siapa pun
yang dikehendakinya!.”
Hamdun al-Qashshar menyatakan : “Manakala iblis
dan tentaranya berkumpul, mereka tidak bergembira
sebagaimana kegembiraan mereka yang disebabkan
tiga hal : “Seorang Muslim membunuh sesama Muslim,
seseorang yang mati dalam keadaan kafir, dan sebuah
hati yang menyimpan ketakutan pada kemiskinan.”
Al-Junayd berkata : “Wahai orang-orang fakir, kamu
semua dijadikan terkenal oleh Allah swt, dan dihormati
karena-Nya. Tetapi perhatikanlah bagaimana
keadaanmu manakala kamu berada sendirianbersama-
ny.” Al Junayd ditanya : “Keadaan manakah yang lebih
baik : miskin dan bergantung pada Tuhan, atau
dijadikan kaya oleh-Nya?” Dia menjawab : “Jika
kemiskinan seseorang adalah shahih, maka
kekayaannya adalah shahih di sisi-Nya. Jika
kekayaannya di sisi-Nya adalah shahih, maka
kemiskinan dan ketergantungannya pada –Nya juga
tersempurnakan. Jangan bertanya, : “Manakah yang
lebih bai?” Sebab keduanya adalah keadaan yang salah
satunya tidak akan lenyap tanpa yang lain.”
Ruwaym ditanya tentang tanda seorang miskin :
“Miskin berarti menyerahkan jiwa kepada ketentuan-
ketentuan Allah swt.” Dikatakan pula bahwa ada tiga
tanda seorang miskin : Dia melindungi batinnya, dia
328
melaksanakan kewajiban-kewajiban agamnya, dia
menyembunyikan kemiskinannya.
Seseorang bertanya kepada Abu Sa’id al-Kharraz :
“Mengapa kemurahan hati orang kaya tidak sampai
kepada orang miskin?” Dia menjawab : “Karena tiga
alasan : “Kekayaan mereka didapatkan dengan jalan
yang tidak halal, mereka tidak dimampukan untuk
memberi sedekah, dan penderiaan orang miskin itu
memang dikehendaki.”
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada
Musa as. : “Jika engkau berjumpa dengan orang-orang
miskin, tanyakanlah tentang mereka seperti engkau
tanyakan kepada orang-orang kaya. Jika hal itu tidak
engkau lakukan, maka campakkanlah ke tanah semua
yag telah Kuajarkan kepadamu.”
Diriwayatkan bahwa Abu Darda’ menegaskan : “Aku
lebih suka jatuh dari tembok istana dan remuk
daripada duduk bersama orang kaya, karena aku
mendengar Rasulullah saw. bersambda :
“Waspadalah untuk duduk-duduk bersama orang
mati!.”
Seseorang bertanya : “Siapakah orang mati itu?”
Beliau menjawab “ Orang-orang kaya.” (Hr. Tirmidzi
dan Hakim).
Seseorang berkata kepada ar-Rabi’ bin Khaitsam :
“Harga-harga telah naik!.” Dia menjawab : “Kita tidak
berharga untuk dibuat lapar oleh Allah. Dia hanya
melakukan hal itu pada wali-wali-Nya.”
329
Ibrahim bin Adham mengatakan : “Kami meminta
kemiskinan tapi diberi kekayaan; orang lain meminta
kekayaan dapi kemiskinan datang kepada mereka.”
Seorang laki-laki bertanya kepada Yahya bin
Mu’adz : “Apakah kemiskinan itu?” Dia berkata : “Takut
pada kemiskinan itu sendiri.” Orang itu lantas
bertanya lagi : “Lantas, apa kekayaan itu?” Dia
menjawab : Rasa aman di sisi Allah Swt.”
Ibnu Karainy berkata : “Orang miskin yang sejati,
menjauhi kekayaan agar kekayaan tidak
mendatanginya dan merusak kemiskinannya;
sebagaimana halnya orang kaya menjauhi kemiskinan,
agar kemiskinan tidak mendatanginya dan merusak
kekayaannya.”
Abu Hafs ditanya : “Dengan cara pa orang miskin
mendektai Allah?” Dia menjawab : “Orang miskin tidak
memiliki apa-apa selain kemiskinannya yang dengan
kemiskinan itu dia mendekati Allh swt.”
Allah swt. mewahyukan kepada Musa a.s. :
“Maukah engkau memperoleh pahala amal kebajikan
yang setara dengan pahala seluruh ummat manusia di
Hari Kiamat nanti?” Musa menjawab : “Ya” Allah swt.
berfirman : “Kunjungilah orang sakit dan pastikanlah
bahwa orang-orang miskin punya pakaian.” Musa lalu
menyisihkan tujuh hari setiap bulan untuk
mengunjungi oang-orang miskin dan memeriksa
pakaian mereka serta mengunjungi orang sakit.”
Sahl bin Abdullah menyatakan : “Ada lima mutiara
jiwa : Seorang miskin yang berpura-pura kaya, orang
lapar yang berpura-pura kenyang, seorang yang
330
bersedih yang berpra-pura bahagia, seseorang yang
punya musuh tapi memperlihatkan kecintaan
terhadapnya, seseorang yang berpuaa di siang hari
dan bangun di malam hari tanpa memperlihatkan
kelelahan.”
Bisyr ibnul Harits berkata : “Maqam yang paling
baik adalah maqam keyakinan yang kokoh dalam
kesabaran melalui kemiskinan sampai masuk liang
lahat.”
Dzun Nuun mengatakan : “Suatu tanda kemurkaan
Allah kepada seorang hamba adalah bahwa so hamba
merasa takut kepada kemiskinan.”
Asy-Syibly berkomentar : “Tanda kemiskinan yang
paling kecil adalah jika seluruh kekayaan dunia ini
diberikan kepada seseorang dan kemudian
disedekahkannya sampai habis dalam waktu satu hari,
tetapi kemudian terlintas dalam pikirannya untuk
menyimpan hartanya bagi esok hari. Yang demikian itu
tidak bisa dianggap benar dalam kemiskinannya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Orang
bertanya mana yang lebih baik; kemiskinan atau
kekayaan. Menurut pendapatku, yang paling baik
adalah bahwa seseorang diberi rezeki yang cukup
untuk menghidupinya dan dia lalu menjaga dirinya
dalam batas tersebut.”
Ibnul Jalla’ ditanya tentang kemiskinan. Dia diam
saja, kemudian mengundurkan diri dan pergi. Sesaat
kemudian dia kembali dan berkata : “Aku punya empat
keping mata uang itu, Aku amlu kepada Allah swt.
untuk membicarakan kemiskinan.” Kata Ibnul Jalla’,
331
Kemudian aku pergi dan mengeleuarkan uang itu.
Barulah aku berbicara tentang kemiskinan.”
Ibrahim ibnul Muwallad berkata : “Aku bertanya
kepada Ibnul Jalla’ : “Kapankah orang-orang miskin
patut disebut miskin?” Dia menjawab : “Jika tak ada
lagi sesuatu pun darinya yang tersisa padanya.”
Ibrahim bertanya : “Bagaimana bisa begitu?” Dia
menjawab : “Jika dia memilikinya, berarti dia tidak
memiliki kemiskinan. Tapi jika dia tak lagi memilikinya,
berarti dia memiliki sebutan kemiskinan itu.”
Dikatakan bahwa keadaan miskin yang benar
adalah jika si miskin tidak merasa puas dengan aspek
mana pun dari kemiskinannya selain dengan Dia yang
dibutuhkannya.
Abdullah ibnul Mubarak menyatakan : “Membuat
diri sendiri tampak kaya sedangkan ia dalam keadaan
miskin, adalah lebih baik daripada kemiskinan.”
Banan al-Mishry menuturkan : “Suatu ketika aku
sedang duduk-duduk di Mekkah, dan seorang pemuda
berada di depanku. Seorang laki-laki datang
kepadanya dengan membawa sebuah pundi-pundi
berisi uang dan meletakkannya di hadapan pemuda itu.
Pemuda itu berkata : “Aku tak membutuhkannya.”
Orang itu berkata : “Kalau begitu, bagi-bagikanlah
kepada orang-orang miskin.” Petang harinya kulihat
pemuda itu ada di lembah sedang mengemis. Aku
bertanya : “Alangkah baiknya jika engkau menyimpan
sedikit dari uang tadi untuk dirimu sendiri.” Dia
menjawab : “Siapa yang tahu kalau aku masih akan
terus hidup sampai petang ini.?”
332
Abu Hafs berkata : “Cara paling baik bagi seorang
hamba untuk menemui Tuhannya adalah dengan terus
menerus fakir kepada-Nya dalam setiap keadaan,
memathi Sunnah dalam semua amal perbuatan, dan
mencari rezeki dengan jalan yang halal.”
Al-Murta’isy berkomentar : “Yang paling baik adalh
bahwa cita-cita orang miskin itu tidak melampaui
langkah-langkahnya.”
Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary menuturkan :
“Ada empat orang yang merupakan model manusia
pada masa mereka. Yang pertama, yaitu Yusuf bin
Asbat, tidak mau menerima pemberian apa pun dari
saudara-saudaranya ataupun dari penguasa. Dia
mewarisi uang sebanyak tuju puluh ribu dirham dari
saudara laki-lakinya tapi dia tidak mau menerima satu
sen pun darinya. Ia hidup dengan menjual daun kurma.
Yang kedua, Abu Ishaq al-Fazzary, mau menerima
pemberian dari saudara-saudaranya ataupun dari
penguasa. Pemberian itu dihabiskannya untuk
kebutuhan orang-orang miskin yang kemiskinannya
tersembunyi dan yang tidak meminta-minta sedekah.
Adapun pemberian dari menguasa, maka itu
diberikannya kepada orang-orang yag patut
menerimanya di kalangan warga Tarsus. Yang ketiga ,
Abdullah bin Mubarak, mau menerima pemberian dari
saudara-saudaranya, lalu dibagi-bagikannya kepada
orang lain secara adil, tetapi ia tidak mau menerima
dari penguasa, Yang keempat, Makhlad bin-alHussain,
mau menerima pemberian dari penguasa, tapi tidak
dari saudara-saudaranya. Dia mengatakan : “Penguasa
333
tidak menganggap ada orang yang wajib untuk diberi,
sedangkan saudara-saudara menganggap ada.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq – semoga Allah swt.
merahmati – berkata : “Ada sebuah Hadits yang
mengatakan. “Orang yang merendahkan diri di
hadapan orang kaya dikarenakan kekayaannya, berarti
ia teleh kehilangan dua pertiga agamanya.: Ini
disebabakan bahwa seorang manusia terdiri dari hati,
lidah dan nafsu. Jika dia merendahkan diri dengan
nafsu dan lidahnya, maka dia kehilangan dua pertiga
agamanya. Tetapi jika dia merendahkan diri di hadapan
orang kaya itu dengan hatinya juga, maka dia
kehilangan seluruh agamanya.”
Dikatakan : “Seorang miskin dalam menjalani
kemiskinannya dituntut paling tidak agar dia memiliki
empat hal; ilmu yang akan menjadi pertimabngannya,
sikap zuhud yang akan mengendalikan dirinya,
keyakinan yang akan menguatkan imannya, dan dzikir
yang akan membawakan kegembiraan jiwanya.”
Dikatakan juga : “Orang yang menginginkan
kemiskinan untuk kemuliaannya, ia mati dalam
keadaan fakir. Barangsiapa ingin miskin agar tidak
disibukkan dengan selain Allah, akan mati dalam
keadaan kaya.”
Al-Muzayyin menyatakan : “Berbagai jalan kepada
Alalh swt. lebih banyak daripada bintang di langit. Tapi
sekarang tak satu pun diantaranya yang tersisa selain
kemiskinan dan kemiskinan adalah jalan yang terbaik
di antara jalan-jalan itu.”
334
Ketika ditanya tentang hakikat kemiskinan, Asy-
Syibly menjawab : “Hakikat kemiskinan adalah bahwa
si hamba tidak merasa puas selain Allah swt.”
Manshur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan : “Abu
Sahl al-Khasysyab al-Kabir mengatakan kepadaku :
“Kemiskinan adalah kemiskinan dan kehinaan.” Aku
menjawab : “Bukan, justru katakan, : “Kemiskinan dan
lumpur.” Aku membalas : “Bukan, kemiskinan dan
tahta Ilahi.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar tentang
Hadits nabi saw. :
“Hampir-hampir kefakiran itu menjadi kekufuran.”
(H.r. Abu Nu’aim dan Thabrani).
Maka Syeikh mengatakan : “Bahaya yang bisa
timbul dari sesuatu adalah berbandnig terbalik dengan
manfaat dan kebajikan yang terkandung di dalamnya.
Apa pun yang sangat bermanfaat dalam dirinya sendiri,
mengandung bahaya yang paling besar pada sisi
lainnya. Begitulah halnya dengan iman. Karena ia sifat
yang paling baik, maka kebalikannya adalah kekafiran.
Karena bahaya yang terkandung dalam kemiskinan
adalah bahwa ia bisa menjadi kufur kepada Allah swt.
menunjukkan bahwa kemiskinan adalah sifat yang
paling mulia.”
AL-Junayd mengaarkan : “Jika engkau bertemu
dengan seorng miskin, hadapilah ia dengan budimu,
bukan dengan ilmu mu. Kebaikan budi akan
mendekatkannya, sedang ilmu akan menakutkannya.”
Saya bertanya : “Wahai Abul Qasim, apakah ilmu
benar-benar menjauhkan orang miskin?” Dia menjawab
335
: “Ya, jika si orang miskin bersikap benar dalam
kemiskinannya, dan engkau mencurahkan ilmumu
kepadanya, maka ilmumu itu akan meleleh seperti
melelehnya timah kena api.”
Mudzaffar al-Qurmisainy berkata : “Orang miskin
adalah orang yang tak membutuhkan suatu kebutuhan
dirinya kepada Allah swt.” Ucapan ini mempunyai
makna yang samar-samar jika dipahami oleh orang
yang tak memahami tujuan sang Sufi. Ucapan ini
semata-mata menunjukkan dihentikannya mengajukan
tuntutan, berakhirnya pilihan, dan ridha terhadap apa
pun yang ditakdirkan Alalh swt.”
Abdullah bin Khafifi mengatakan : “Kemiskinan
berati tidak memiliki harta benda dan meninggalkan
aturan-aturan manusiawi.”
Abu Hafs berkata : “Kemiskinan tidaklah sempurna
bagi siapa pun sampai dia lebih mengutamakan
memberi daripada menerima. Kemurahan hati
bukanlah orang yang berpunya memberi kepada yang
tidak punya, melainkan orang yang tidak ebrpunya
memberi kepada orang yang punya.”
Ibnul Jalla menegaskan : “Seandainya tidak karena
adanya tujuan lebih agaug dalam tawadlu; niscaya
akan menjadi cara orng miskin untuk berjalan dengan
sikap penuh kebanggaan.”
Yusuf bin Asbat berkata : “Salam empatpuluh tahun
aku hanya memiliki dua lembar baju.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku melihat
seolah-olah Hari Kiamat sudah tiba. Sebuah suara
mengatakan : “Bahwa Malik Bin Dinar dan Muhammad
336
bin Wasi’ ke dalam surga.” Maka aku perhatikan siapa
di antara keduanya yang lebih dahulu msuk, dan
ternyata orang itu adalah Muhammad bi Wasi’. Ketika
aku bertanya mengapa dia didahulukan, dijelaskan
kepadaku : “Dia hanya memiliki selembar baju,
sedangkan Malik dua.”
Muhammad al-Masuhy berkata : “Orang miskin
adalah orang yang tidak membutuhkan terhadap
sesuatu pun bagi dirinya dari harta benda duniawi.”
Sahl bin Abdullah ditanya : “Kapankah orang miskin
bisa beristirahat?” Dia menjawab : “Jika dia tidak
mengharapkan apa pun bagi dirinya sendiri selain saat
kekiniannya.”
Di hadapan Yahya bin Mu’adz, orang-orang Sufi
berdiskusi soal kefakiran dan kekayaan, dia berkata :
“Bukanlah kemiskinan ata kekayaan yag memiliki bbot
di Hari Perhitungan. Hanya kesabaran dan syukurlah
yang akan ditimbang. Jadi kelak akan dikatakan; Orang
ini bersyukur, atau orang ini bersabar.”
Dikaakan Allah sw. Mewahyukan kepada sebgain
pra Nabi-Nya : “Jika kamu ingin mengetahui ridha-Ku
padamu, maka lihatlah bagaimana ridhanya si fakir
kepadamu.”
Abu Bakr bin Nashr az-Zaqqaq berkata : “Orang
yang tidak punya rasa takut kepada Allah swt. bersama
dengan kemiskinannya berarti seluruh makanan yang
dikonsumsinya benar-benar makanan haram.”
Dikatakan bahwa orang-orang miskin di pengajian-
pengajian Sufyan ats-Tsaury adalah laksana para
pangeran. Abu Bakr bin Thahir menyatakan, : Di antara
337
aturan-aturan orang miskin adalah bahwa dia tidak
punya keinginan, kalaupun dia berkeinginan juga,
jangan sampai keinginannya melebihi kebutuhannya.”
Ibnu Atha’ membacakan syair untuk para Sufi :
Meraka berkata, esok adalah hari raya. Apa yang
akan kau pakai?
Kukatakan, Jubah kehormatan yang diberi-Nya.
Yang mecurahkan cinta dengan penuh kemurahan
hati
Kemiskinan dan kesabaran, adalah pakaianku yang
di bawanya
Ada satu hati bagi kekasihnya, yaitu
Hari Jum’at dan hari Raya
Pakaian yang paling layak untuk menemui Kekasih
pada hari
Ziarah adalah pakaian yang dicintai-Nya.
Tahun-tahun penuh berkabung bagiku jika Kau tak
ada,
Wahai Harapanku,
Hari Raya adalah hari ketika aku melihat dan
mendengar suara-Mu.
Ketika ditanya tentang orang miskin sejati, Abu
Bakr al-Msihry menjawab : “Dia adalah orang yang
tidak memiliki sesuatu dan tidak pula berkeinginan
memiliki sesuatu.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Aku lebih menyukai
rasa fakir kepada Alalh swt. secara langgeng,
dibanding memasuki dunia Sufi dengan penuh takjub.”
Abu Abdullah al-Hushry menuturkan : “Abu Ja’far al-
Haddad bekerja selama duapuluh tahun, dengan
338
penghasilan satu dinar setiap hari. Uang itu
dibelanjakannya untuk orang-orang miskin sementara
dia sendiri berpuasa, setelah itu dia akan berkeliling
mencari sedekah setalah shalat maghrib untuk
berbuka puasa.
An-Nury menyatakan : “Tanda seorang miskin
adalah kerelaan manakala dia tidak punya apa-apa dan
memberi dengan murah hati manakala dia punya
banyak rezeki.”
Muhammad bin Ali al-Kattany berkata : “Ada
seorang pemuda bersama kami di Mekkah yang
memakai pakaian kumal dan bertambal-tambal> Dia
tidak pernah ikut serta dalam percakapan kami
ataupun duduk bersama kami. Dalam hati aku sangat
merasa sayang kepadanya. Suatu ketika aku diberi
uang duaratus dirham dari sumber yang halal. Uang itu
kubawa kepadanya. “Uang ini telah datang kepadaku
dari sumber yag halal. Belanjakanlah untuk
keperluanmu.” Saraya memandang kepadaku dengan
sikap merendahkan, dia mengungkapkan apa yang
selama ini tidak kukeetahui.” Saya membeli
kesempatan untuk bisa duduk bersama Alalh swt.
dalam pengabdian yang leluasa ini dengan harga tujuh
puluh ribu dinar dari harta benda dan kebun-kebun
saya. Sekarang Anda hendak menyesatkan saya dari
keadaan saya sekarang ini dengan uang itu ke tanah.”
Ia lalu berdiri dan menolaknya. Aku duduk dan
mengumpulkan uang itu dari tanah. Belum pernah aku
menyaksikan kegagahan seperti kegagahan pemuda
339
itu ketika ia berjalan pergi, ataupun kehinaan seperti
kehinaanku ketika aku mengumpulkan uang itu.”
Abu Abdullah bin Khafif mengatakan : “Aku belum
pernah diwajibkan membayar zakat fitrah pada akhir
Bulan Ramadhan selama empat puluh tahun,
sementara aku diterima dengan penuh penghormatan
di kalangan kaum terpilih maupun kaum awam.”
Ketika ad-Duqqy ditanya tentang perilaku buruk di
kalangan para fakir di hadapan Allah dalam urusan-
urusan mereka, dia berkata, “Perilaku buruk itu adalah
kejatuhan mereka dari upaya mencari hakikat menjadi
upaya mencari Ilmu.”
Khayr an-Nassaj menuturkan : Alu memasuki
sebuah masjid dan melihat ada seorang kafir di situ.
Ketika dia melihatku, dipegangnya bajuku sambil
memohon : “Wahai Syeikh, kasihanilah aku, karena
penderitaanku sangat besar!” Aku bertanya : “Apa
yang kau derita?” Dia menjawab : “Aku telah tidak lagi
diberi cobaan, dan selalu dalam keadaan sehat wal
afiat!.” Aku memandangnya, tiba-tiba ia telah
dibukakan sedikir harta dunia.”
Abu Bakr al-Warraq berkata : “Berbahagialah orang
yang miskin di dunia dan di akhirat.” Ketika ditanya
apa maksud perkataannya itu, dia menjawab :
“Penguasa di dunia tidak menunut pajak darinya, dan
Yang Maha Kuasa di akhirat tidak membuat hisab
dengannya.”
39.
TASAWUF
340
Kesucian (Shafa”) adalah sifat terpuji dalam setiap
ucapan, Lawannya, yakni kekotoran yang tercela.
Dari Yazid bin Abu Ziyad, dari Abu Juhaifah yang
menuturkan : “Pada suati hari rasulullah saw. keluar menemui
kami dengan roman wajah yang berubah, lalu beliau bersabda
:“
“Kesucian dunia telah lenyap, yang tinggal hanya
kekotoran. Hari ini, kematian adalah penghargaan bagi setiap
Muslim.” (H.r. Daraquthi, namun riwayat dari Jabir)>
Kata Sufi telah menjadi sebutan umum bagi kelompok ini.
Jadi seseorang dikatakan seoran Sufi dan kelompoknya
disebut Sufiyah. Orang yang berusaha menjadi Sufi
disebut mutashawwif, dan jumlahnya disebutmutashawwifah.
Tidak ada bukti etimologis ataupun analogis dengan kata
lain dalam bahasa Arab yang bisa diturunkan dari sebutan
Sufi. Penafsiran yang paling masuk akal adalah bahwa Sufi
banyak serupa dengan laqab (gelar).
Ada orang-orang gyang mengatakan bahwa kata Sufi
diambil dari kata souf (bulu). Jadi, Tashawwuf (tasawuf)
digunakan dengan artian “memakai kain bulu” sebagamana
kata taqammus digunakan dengan arti “memakai baju”
(qamis). Itu hanya satu panangan saja. Tapi sesungguhnya
kaum Sufi tidak mencirikan dirinya dengan memakai pakaian
dari bulu.
Ada pendapat mengatakan bahwa kaum Sufi
berhubungan dengan serambi (Shuffah) masjid Rasulullah
saw. Tetapi kata Shuffah tidaklah dihubungkan dengan Sufi.
Kelompok lain mengatakan bahwa kata Sufi berasal dari
kata shafa’, yang berarti “kemurnia”. Pengertian kata Sufi dan
341
shafa’ tidaklah mungkin ditinjau dari sudut bahasa. Sebagian
orang mengatakan bahwa kata Sufi berasal dari shaff, yang
berarti barisan, seakan-akan dikatakan hati mereka ada di
barisan depan dalam muhadharah di hadapan Allah swt. Ini
memang benar dalam arti. Namun kata Sufi tidak bisa
menjadi bentuk fa’il dari kata shaff.
Kesimpulannya, kelompok ini begitu terkenal sehinga
tidaklah perlu mencari analogi atau penurunan akar kata
untuk sebutan bagi mereka.
Setiap orang yang berbicara tentang arti tasawuf, selalu
bertanya, apa arti tasawuf?” Dan siapa yang disebut Sufi?”
Setiap ungkapan selalu dikaitkan denganpengamalamannya
sendiri. Kami akan menyebutkan sebagia ucapan mereka
secara sekilas ssaja. :
Ketika Muhammad al-Jurairiy ditanya tentang tasawuf, dia
menjelaskan : “Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang
mulia dan keluar dari setiap akhllak yang tercela.”
Al-Junayd ditanya soal Tasawuf, ia menjawab : “Tasawuf
artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan
menghidupkan dirimu dengan-Nya.”
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, ketika ditanya tentang
Sufi menjawab : “Kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun
yang menerimanya, dan juga tak menerima siapapun.”
Abu Hamzah al-Baghdady berkata : “Tanda Sufi yang
benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah
mulia, dan dia bersembunyi setelah terkenal. Tanda seorang
Sufi palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi
obyek penghormatan tinggi setelah mengalami kehinaan, dan
dia menjadi masyhur setelah tersembunyi.”
342
Amr bin Utsman al-Makky al-Qashshab mengatakan :
“Tasawuf adalah ahlak mulia, dari orang yang mulia, di
tengah-tengah kaum yang mulia.”
Ketika ditanaya tentag tasawuf, Sumnun berkata :
“Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula
dimiliki oleh apa pun.”
Ruwaym ditanya tentang tasawuf : “Tasawuf artinya
menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan ap pun
yang dikehendaki-Nya.”
Al-Junay ditanya tentagn Tasawuf : “Tasawuf adalah
engkau berada semata-mata bersama Allah Swt. tanpa
keterikatan apa pun.”
Ruwaym bin Ahmad berkata : “Tasawuf didasarkan pada
tiga sifat : memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat
hakikat dengan memberi, dengan cara mendahulukan
kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri; dan
meninggalkan sikap menentang dan memilih.”
Ma’ruf al-Kahkhy menjelaskan : “Tsawuf artinya memihak
pada hakikat-hakikat, dan memutuskan harapan dari semua
yang ada pada makhluk.”
Hamdun al-Qashshar berkata : “Bersahabtlah dengan para
Sufi, karena mereka melihat alasan-alasan untuk memaafkan
perbuatan-perbutan yang tak baik, dan bagi mereka
perbuatan-perbuatan baik pun bukan sesuatu yang besar,
bahkan mereka bukan menganggapmu besar karena
mengerjakannya.”
AL-Kharraz menjawab, ketika ditanya tentang hali tasawuf
: “Mereka adalah kelompk manusia yang mengalamai
pelapangan, yang mencampakkan segala milik mereka
sampai mereka kehilangan segala-galanya. Kemudain mereka
343
diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya :
“Ingatlah!” Menangislah kalian karena Kami.”
Al-Junayd berkata : “Tasawuf adalah perang tanpa
kompromi.” Dia berkata pula : “Para sufi adalah anggota dari
suatu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang
selain mereka.” Selanjutnya dia juga menjelaskan lagi :
“Tasawuf adalah dzikir bersama ekstase yang disertai
penyimakan, dan tinndakan yang didasari Sunnah.”
Al-Junayd menyatakan : “Kaum Sufi adalah seperti bumi,
selalu semua kotoran dicampakkan kepadanya, namun tidak
menumbuhkan kecuai segala tumbuhan yang baik. Dia juga
mengatakan : “Seorang Sufi adalah bagaikan bumi, yang
diinjak orang saleh maupun pendosa; Juga seperti mendung
memayungi segala yang ada; “Seperti air hujan, mengairi
segala sesuatu.” Dia melanjutkan : “Jika engkau melihat
seorang Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan
lahiriahnya, maka ketahuilah wujud batinnya rusak.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Sufi adalah orang yang
memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.”
Ahmad an-Nury berkata : “Tanda seorang Sufi adalah dia
merasa rela manakala tidak punya, dan peduli orang lain
ketika ada.”
Muhammad bin Ali al-Kattany menegaskan : “Tasawuf
adalah akhlak yang baik. Barangsiapa yang melebihimu dalam
kahlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam tasawuf.”
Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary mengatakan :
“Tasawuf adalh tinggal di pintu sang kekasih sekalipun engkau
di usir.” Dia juga mengatakan : “Tasawuf adalah sucinya
taqarrub setelah kotornya kejauhan dari-Nya.”
344
Dikatakan : “Orang yang paling kotor adalah seorang Sufi
yang amat kikir.”
Dikatakan : “Tasawuf adalah tangan yag kosong dan hati yang
baik.”
Asy-Syibly mengatakan : “Tasawuf adalah duduk bersama
Allah swt. anpa hasrat.”
Dikatakan : “Sufi adalah orang yang mengisyaratkan dari
Allah swt, sedangkan manusia mengisyaratkan kepada Alalh
swt.”
Asy-Syibly mengatakan : Sufi terpisah dari manusia dan
bersambung dengan Allah swt. sebagaimana difirmankan
Allah swt. kepada Musa : “Dan Aku telah memilihmu untuk
diri-Ku.” (Qs. Thaha :41). Dan memisahknnya dari yang lain.
Kemudian Allah swt. berfirman kepadanya : “Engkau tidak
akan melihat-Ku.” Asy-Syibly juga mengatakan : “Para Sufi
adalah anak-anak dipangkuan Tuhan Al-Haq.” Katanya :
“Tasawuf adalah kilat yang menyala.” Dan “Tasawuf terlindung
dari memandang makhluk.”
Ruway berkata : “Para Sufi akan tetap penuh dengan
kebaikan selama mereka bertengkar satu dengan yang lain.
Tapi segera setelah mereka berdamai, maka tak ada lagi
kebaikan pada mereka.”
Al-Jurairy mengatakan : “Tasaswuf berarti kesadaran atas
keadaan-keadaan diri sendiri dan berpegang pada adab.”
Al Muzayyin menegaskan : “Tasawuf adalah kepasrahan
kepada Al-Haq.”
Askar an-Naksyaby menyatakan : “Seorang Sufi tidaklah
dikotori oleh sesuatu pun, tapi menyucikan segala sesuatu.”
Dikatakan : “Pencarian tidaklah meletihkan sang Sufi, dan
hal-hal duniawi tidaklah mengganggunya.”
345
Ketika Dzun Nuun al-Mishry ditanya tentang orang-oarng
Sufi, dia menjawab : “Mereka adalah kaum yang
mengutamakan Allah swt. di atas segala-galanya dan yang
diutamakan oleh Allah swt. di atas segala makhluk yang ada.”
Muhammad al-Wasithy mengatakan : “Mula-mula para
Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan, dan
sekarang tak ada sessuatu pun yang tinggal selain
kesedihan.”
An-Nury ditanya tentang Sufi, dan dia menjawab : “Sufi
adalah manusia yang menyimak pendengaran dan yang
mengutamakan sebab-sebab yang diridhai.”
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thausy berkata : “Aku bertanya
kepada Ali-al-Hushry.’ Sipakah, menurutmu sufi itu?” Dia
menjawab : “Yang tidak dibawah bumi dan tidak dinaungi
langit.” Dengan ucapannya, menurut saya, ini al-Hushry
merujuk pkepada nuansa keleburan.”
Dikatakan : “Sufi adalah orang yang manakala ddisuguhi
dua keadaan atau dua akhlak yang baik, dia akan memilih
yang lebih baik diantaranya.”
As-Syibly ditanya : “Mengapa para Sufi itu disebut sufi?”
Dia menjawab : “Hal itu karena adanya sessuatu yang
membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya,
niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”
Ahmad ibnul Jalla’ ditanya : “Apakah yang disebut Sufi?”
Dia menjawab : “Kita tidak mengenal mereka melalui
prasyarat ilmiah, namun kita tahu bahwa mereka adalah
orang-orang yang miskin, sama sekali tak memiliki sarana-
sarana duniawi. Mereka bersamma Allah swt. tanpa terikat
pada suatu tempat, tetapi Allah swt. tidak menghalanginya
dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi.”
346
Abu Ya’qub al-Mazabily menjelaskan : “Tasawuf adalah
keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.”
Abul Hasan as-Sirwany mengatakan : “Sufi adalah yang
bersama ilham, bukan dengan wirid-wirid yang
menyertainya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Yang terbaik untuk
diucapkan tentang masalah ini adalah : “Iilah jalan yang cocok
kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt.
untuk menyapu kotoran binatang.”
Abu Ali pada suatu hari menyatakan : “Seandinya sang
fakir tak punya apa-apa lagi yag tersisa selain ruhnya, dan
ruhnya itu ditawarkannya kepada anjing-anjing di pintu ini,
niscaya tak seekor pun yang akan menaruh perhatian
kepadanya.”
Syeikh Abu Sahl ash-Sha’luky berkata : “Tasawuf adalah
berpaling dari sikap menetang ketetapan Allah swt.”
Al-Hushry berkomentar : “ Sang Sufi tiada setelah
ketiadaannya, dan tidak pula tiada setelah keberadannya.”
Ucapan ini tidak mudah dipahami. Kata-kata : “Dia tiada
setelah ketiadaannya,” berarti bahwa setelah cacat-cacatnya
hilang , cacat-cacat itu tidak akan kembali. Perkataan. : “Tidak
pula dia tiada setelah keberadaanya,” berarti bahwa dia sibuk
bersama Alalh swt. tidak akan gugur karena gugurnya
makhluk. Sluruh peristiwa dunia tidaklah mempengaryhinya.
Dikatakan : “Sang Sufi terhapuskandalam kilasan yang
diterimanya dan Alalh swt.”
Dikatakan pula : ‘Sang Sufi terkungkung dalam
pelaksanaan Rububiyah dan tertutupi melalui pelaksanaan
ubudiyah.”
347
Juga dikatakan : “Sufi itu tidak berubah. Tapi seandainya
dia berubah, dia tidak akan ternodai.”
40.
ADAB
Allah swt. berfirman :
“Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang
dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.” (Qs. An-Najm :
17).
Dikatakab bahwa ayat ini berarti : “Nabi melaksanakan
adab di hadirat Allah.”
Allah swt. berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu.” (Qs. At-Tahrim :6).
Mengomentari ayat ini, Ibnu Ababs mengatakan :
“Didiklah dan ajarilah mereka adab.”
Diriwaayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. telah
bersaabda : “Hak seorang anak atas bapaknya adalah si
Bapak hendaknya memberinya nama yang baik, memberinya
susu yang murni dan banyak, serta mendidiknya dalam adab
dan akhlak.”
Sa’id bin al-Musayyab berkata : “Barangsiapa yang tidak
mengetahui hak-hak Allah swt. atas dirinya dan tidak pula
metetahui dengan baik perintah-perintah dan larangan-
larangan-Nya, berarti tersingkir dari adab.”
Nabi saw. bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah mendidik dalam adab dan
menjadikan sangat baik pendidikanku itu.” (H.r. Baihaqi).
348
Esensi adab adalah gabungan dari semua akhlak yang
baik. Jadi orang yang beradab orang yang pada dirinya
tergabung perilaku kebaikan, dari sini munculah istilah
ma’dubah yang berarti berkumpul untuk makan-makan.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Seorang ghamba
akan mencapai surga dengan mematuhi Allah swt. Dan akan
mencapai Allah swt. dengan adab menaati-Nya.” Beliau juga
mengatakan : “Aku melihat seseorang yang mau
menggerakkan tangannya untuk menggaruk hidungnya dalam
shalat, namun tangannya terhenti.”
Jelas bahwa yang beliau maksudkan adalah diri beliau
sendiri. Syekh Abu Ali ad-Daqqaq tak pernah bersandar pada
apa pun jika sedang duduk. Pada suatu hari beliau sedang
berada dalam suatu kumpulan, dan saya ingin menenpatkan
sebuah bantal di belakang beliau, sebab saya melihat beliau
tidak punya sandaran. Setelah saya meletakkan bantal itu di
belakangnya, beliau lalu bergerak sedikit untuk menjauhi
bantal itu. Saya mengira beliau tidak menyukai bantal itu
karena tidak dibungkus sarung bantal. Tetapi beliau lalu
menjelaskan : “Aku tidak menginginkan sandaran>” Seteelah
itu saya merenung, ternyata beliau memang tidak pernah
mau bersandar pada apa pun.”
Al-Jalajily Bashry berkomenetar : “Tauhid menuntut
keimaman. Jadi orang yang tidak punya iman tidak bertauhid.
Iman menuntut syariat. Jadi orang yang tidak mematuhi
syariat berarti tak punya iman dan tauhid. Mematuhi syariat
menuntut adab. Jadi orang yang tak mempunyai adab tidak
mematuhi syarita, tidak memiliki iman dan tahud.”
Ibnu Atha’ berkata : “Adab berarti terpaku dengan hal-hal
yang terpuji.” Seseorang bertanya : “Apa artinya itu?” Dia
349
meenjawab : “Maksudku engkau harus mempraktikan adab
kepada Allah swt. baik secara lahir dan batin. Jika engkau
berperilaku demikian, engkau memiliki adab, sekalipun
bicaramu tidak seperti bicaranya orang Arab.”
Kemudian dia membacakan Syair :
Bila berkata, ia ungkapkan dengan manisnya
Jika diam, duhai cantinya
Bdullah al-Jurairy menuturkan : “Selma duapuluh tahun
dlam khalwatku, belum pernah aku melonjorkan kaki satu kali
pun ketika duduk. Melaksanakan adab pada Allah swt. adalah
lebih utama.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Orang gyang
bersekutu dengan raja-raja tanpa adab, ketololannya akan
menjerumuskan pada kematian.”
Diriwayatkan ketika Ibnu Sirin itanya : “Adab mana yang
lebih mendekatkan kepada Allah swt?” Dia menjawab :
“Ma’rifat mengenai Ktuhanan-Nya, beramal karena patuh
kepada-Nya, dan bersyukur kepada-ya atas kesejahteraan
dari-Nya, serta bersabar dalam menjalani penderitaan.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Jika seoran ‘Arif
meninggalkan adab di hadapan Yang Dima’rifati, niscaya dia
akan binasa bersama mereka yang binasa.
Syeih Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Meninggalkan
adab mengakibatkan pengusiran. Orang yang berperilaku
buruk dipelataran akan dikirim kembali ke pintu gerbang.
Orang gyang berperilaku buruk di pintu gerbang akan dikirim
untuk menjaga binatang.”
Diriwayatkan kepada Hasan al-Bashry : “Begitu banyak
yang telah dikatakan tentang berbagai ilmu sehubungan
dengan adab. Yang mana diantaranya yang paling bermanfaat
350
di dunia dan paling efektiff untuk akhirat?” Dia menjawab :
“Memahami agama, zuhud di dunia , dan mengetahui apa
kewajiban-kewajiban terhadap Allah swt.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Para sufi adalah mereka
yang meminta pertolongan Alalh swt. dalam melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan yang senantiasa memelihara adab
terhadap-Nya.”
Ibnul Mubarak berkta : “Kita lebih membutuhkan sedikit
adab daripada banyak pengetahuan.” Dia juga mengatakan :
“Kita mencari ilmu tentang adab setelah orang-orang beradab
meninggalkan kita.”
Dikatakan : “Tiga perkara yang tidak akan membuat orang
merasa asing : 1). Menghindari orang yang berakhlak buruk;
2). Memperlihatkan adab; 3). Mencegah tindakan yang
menyakitkan.”
Syeikh Abu Abdullah al-Maghriby membacakan syair
berikut ini, tentag adab :
Orang asing tak terasing
Bila dihiasi tiga pekerti
Menjalan adab, diantaranya,
Dan kedua berbudi baik.
Dan ketiga menjauhi orang-orang berakhlak buruk.
Ketika Abu Hafs tiba di Baghdad, al-Junayd berkata
kepadanya : “Engkau telah mengajar murid-muridmu untuk
berperilaku seperti raja-raja!>” Abu Hafs menjawab :
“Memperlihatkan adab yang baik dalam lahiriahnya,
merupakan ragam dari adab yang baik dalam batinnya.”
Abdullah ibnul Mubarak berkata : “Melaksanakan adab
bagi seorang ‘arif adalah seperti halnya Taubatnya pemula.”
351
Manshur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan : “Seseorang
mengharapkan kepada seorang Sufi : “Alangkah jeleknya
adabmu!.” Sang Sufi menjawab : “Aku tidak mempunyai adab
buruk.” Orang itu bertanya : “Siapa yang mengajarmu adab?”
Si Sufi menjawab : “Para Sufi.”
Abu an Nashr as-Sarraj mengatakan : “Manusia terbagi
tiga kategori dalam hal adab : “1) Manusia duniawi, yang
cenderung mempriorotaskan adabnya dalam hal kefasihan
bahasa Arab dan sastra, menghafalkan ilmu-ilmu
pengetahuan, nama-nama kerajaan, serta syair-syair Arab; 2).
Manusia religius yang mempriortaskan dalam olah jiwa,
mendidik fisik, menjaga batas-batas yang didtetapkan Allah,
dan meninggalkan hawa nafsu; 3). Kaum terpilih (ahlul
Khususiyah), yang berkepdulian pada pembersihan hati,
menjaga rahasia, setia kepada janji, berpegang pada kekinian,
menghentikan perhatian kepada bisikan-bisikan sesat,
menjaankan adab pada saat-saat memohon, dan dalam
tahapan-tahapan kehadiran dan taqarrub dengan-Nya.”
Diriwaytakan bahwa Sahl bin Abdullah mengatakan :
“Orang yang gmenundukkan jiwanya dengan adab berarti
telah menyembah Allah dengan tulus,”
Dikatakan : “Kesempurnaan adab tidak bisa dicpaai
kecuali oleh para Nabi – Semoga Allah melimpahkan salam
kepada mereka --- dan penegak kebenaran (shiddiqin).”
Abdullah ibnul Mubarak menegaskan : “Orang berbeda
pendapat mengenai apa yagn disebut adab. Menurut kami,
adab adalah mengenal diri.”
Dulaf asy-Syibly berkata : “Ketidak mampuan menahan
diri dalam berbicara dengan Allah swt. berarti meninggalkan
adab.”
352
Dzun Nuun al-Mishry berkomentar : “Adab seorang ‘arif
melampaui adab siapapun. Sebab Allah yang dima’rifati yang
mendidik hatinya.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Allah swt. berfirman :
“Barangispaa yang Aku niscayakan tegak bersama Asma dan
Sifat-Ku, maka Aku niscayakan adab padanya. Dan siapa yang
Ku-buka padanya jauh dari hakikatDzat-Ku, maka Aku
niscayakan kebinasaan padanya. Pilihlah, mana yang engkau
sukai; adab atau kebinasaan.”
Suatu hari Ibnu Atha’ yang menjulurkan kakinya ketika
sedang berada bersama murid-muridnya, berkata :
“Meninggalkan adab di tengah-tengah kaum yang memiliki
adab adalah tindakan yang beradab.” Statemen ini didukung
oleh Hadits yang menceritakan Nabi saw. sedang berada
bersama Abu Bakr dan Umar. Tiba-tiba Utsman datang
menjenguk beliau. Nabi menutupi paha beliau dan bersabda.
“Tidakkah aku malu di hadapan orang yang malaikat pun malu
di hadapannya.??” Dengan ucapannya itu, Nabi menunjukkan
bahwa betatapun beliau menghargai keadaan Utsman, namun
keakraban antara beliau dengan Abu Bakr dan Umar lebih
beliau hargai. Mendekati makna kontseks ini mereka bersyair
berikut :
Dalam diriku penuh santun nan ramah,
Maka, bila berhadapan dengan mereka
Yang memiliki kesetiaan dan kehormatan,
Kubiarkan jiwaku mengalir wujudnya yang spontan.
Aku berbicara apa adanya
Tanpa malu-malu
353
Al-Junayd menyatakan : “Manakala cinta sang pecinta
telah benar, ketentuan-ketentuan mengenai adab telah
gugur.”
Abu Utsman al-Hiry mengatakan : “Makala cinta telah
menghujam sang pecinta, adab akan menjadi
keniscayaannya.”
Ahmad an-Nury menegaskan : “Barangsiapa tidak
menjalankan adab di saat kini, maka sang waktunya akan
dendam padanya.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Jika seorang pemula
dalam Jalan Sufi berpaling dari adab, maka dia akan
dikembalikan ke tempat asalnya.”
Mengenai ayat :
“Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru kepada
Tuhannya,’ (Ya Tuhan), sesungguhnya aku telah ditimpa
penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di
antara semua yang penyayang.” (Qs. Al-Anbiya :83).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan penjelasan : “Ayub
tidak mengatakan : “Kasihanilah aku.” (Irhamny), semata
karena beradab dalam berbicara pada Tuhan.”
Begitu juga Isa as. Mengatakan :
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya
mereka adalah hamba-hamba-Mu.” (Qs. Al-Maidah :118).
“Seandainya aku pernah mengatakannya, maka tentulah
Engkau telah mengetahuinya.” (Qs. Al-Maidah :116).
Komentar Syeikh ad-Daqqaq : “Nabi Isa mengucapkan “
Aku tidak menyatakan’ (lam aqul), semata karena menjaga
adab di hadapan Tuhannya.”
Al-Junayd menuturkan : “Pada hari Jum’at di antara orang-
orang salihin datang kepadaku, dan meminta : “Kirimlah salah
354
seorang fakir kepadaku untuk memberikan kebahagiaan
kepadaku dengan makan bersamaku.” Aku pun lalu melihat ke
sekitarku, dan kulihat seorang fakir yang kelihatan lapar.
Kupanggil dia dan kukatakan kepadanya : “Pergilah bersama
syeikh ini dan berilah kebahagiaan keapdanya.” Tak lama
kemudian orang itu kembali kepadaku dan berkata : “Wahai
Abu; Qasim, si fakir itu hanya makan sesuap saja dan pergi
meninggalkan aku!” Aku menjawab : “Barangkali Anda
mengatakan sesuatu yagn tak berkenan pada benaknya.” Dia
menjawab : “Aku tidak mengatakan apa-apa.”
Aku pun menoleh, tiba-tiba si fakir duduk di dekat kami
dan aku bertanya ke padanya : “Mengapa engkau tidak
memenuhi kegembiraannya?” Dia menjawab : “Wahai Syeikh,
saya meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad tanpa makan
sesuatu pun. Saya tidak ingin kelihatan tak sopan di hadapan
Anda karena kemiskinan saya, tetapi ketika Anda memanggil
saya, saya gembira karena Anda mengeathui kebutuhan saya
sebelum saya mengatakan apa-apa. Saya pun pergi
bersamanya, sambil mendoakan kebahagiaan surga baginya.
Ketika saya duduk di meja makannya, dia menyuguhkan
makanan, dan berkata, Makanlah ini, karena aku menyukainya
lebih dari uang sepuluh ribu dirham.” Katika saya mendengar
ucapannya itu, tahulah saya bahwa citarasanya rendah sekali.
Karenanya, saya tak suka makan makanannya.” Aku
menjawab : “Tidakkah kau telah mengatakan kepadamu
bahwa engkau bertindak tak beradab dengan tidak
membiarkannya bahgia?” Dia berkata : “Wahai Abul Qasim,
saya berTaubat!.” Maka aku pun menyuruhnya kembali
kepada orang saleh itu dan menggembirakan hatinya.”
355
41.
TATA ATURAN BEPERGIAN
362
Teman tadi bicara : “Aku juga mencopot sandalku agar
sama dengan Anda, dan menjaga hak persahabatan.”
Dikatakan : “Ibrahim al-Khawwas bepergian bersama tiga
kelompok, dimana akhirnya mereka ssampai di sebuah
massjid pada suatu lembah. Mereka pun menginap di sana.
Masjid itu tak berpintu, sementara udara dingin mencekan
mereka. Ketika dini hari bangun, mereka melihat Ibrahim
berdiri di sebuah pintu. Mereka bertanya : “mengapa Ibrahim
ada di sana? Beliau menjawab : “Aku khawatir jika kalian
tercekam kedinginan (sehingga aku berdiri untuk menghalangi
udara).” Sungguh, Ibrahim telah berdiri semalam suntuk di
pintu itu.”
Dikishakan : “Muhammad al-Kattany minta izin ibunya
untuk pergi haji. Ibunya pun memberi izi. Di tengah padang
pasir bajunya terkena air kencing. Lalu ia mengatakan :
“Sungguh, ini suatu cela bagi keadaan batinku.” Kemudian ia
kembali pulang. Ketika mengetuk pintu rumahnya, ibunya
menjawab. Setelah pintu dibuka, ia melihat ibunya duduk di
belakang pintu. Ia bertanya mengapa sang ibu duduk di sana.
Ibunya menjawab : “Sejak engkau keluar, aku bertekad untuk
tidak beranjak dari tempat ini, sampai aku melihatmu lagi.”
Ibrahim al-Qashshar berkata : “Saya pergi selama tiga
puluh tahun, dalam rangka mendekatkan agar manusia peduli
dengan para fakir.”
Seorang laki-laki ziarah ke tempat Dawud ath-Tha’y. Orang
itu berkata padanya : “Wahai Abu sulaiman, pada diriku ada
rasa yang bertentangan untuk menemuimu sejak beberapa
waktu terakhir ini.” Daud menjawab : “Tidak apa-apa. Bila
tubuh tak bergerak, hati tentram, maka pertemuan lebih
gampang.”
363
Saya mendengar Abu Nashr ash-Shufy r.a. berkata : “Aku
keluar dari Selat Oman, ketika itu perutku terasa lapar. Aku
berjalan di pasar, sesampai di kedai makanan, di sana ada
beberapa makanan dan manisan. Lalu aku bermaksud minta
tolong pada seseorang. Kukatakan padanya : “Bisakah Anda
membelikan barang ini untukku?” Lelaki itu menjawab :
“Mengapa?” Apakah aku punya tanggungan padamu?” Atau
aku punya semacam uang?” Aku menjawab : “Anda harus
membelinya untukku.” Tiba-tiba ada seseorang yang
melihatku, sembari berkata : “Hai anak muda, tinggalkan dia.
Orang yang wajib membelikan apa yang kau mau adalah aku,
bukan dia. Silahkan ambil sekehendakmu.” Ia membelikan
sesuai apa yang ku maui, dan orang itu pergi begitu saja
setelah itu.
Abul Husain al-Mishry berkata : “Aku sepakat dengan asy-
Syajary dalam suatu acara bepergian dari Tharablus. Kami
berjalan selama beberpa hari, tidak makan sedikitpun.
Sejenak aku melihat kambing jantan sudah dimasak. Aku
mengambil dan memakannya. Tiba-tiba Syeikh asy-Syajary
berpaling kepadaku, sama sekali tidak berucap apa-apa. Lalu
kubuang saja makanan itu, karena aku melihat Syeikh tidak
suka. Kemudian ia membuka uang lima dinar buat kami. Kami
memasuki suatu desa. Aku berkata dalam hati : “Aku akan
dibelikan sesuatu, tidak mustahil!.” Namun syeikh tetap
berlalu dan tidak berbuat apa-apa, sembari berkata :
“Mungkin Anda akan berrkat, ‘Kita ini berjalan dalam keadaan
lapar, dan Anda tidak membelikan apa-apa buta kita, begitu?”
Kemudian di tengah jalan kami menjumpai orang Yahudi. Dan
di sana pula ada seseorang yang memiliki keluarga. Ketika
kami masuk ke rumahnya, tampak sekali mereka repot atas
364
kedatangan kami. Kemudian uang itu diberikan pada lelaki
tadi, agar membelanjakan untuk kami dan keluarganya. Ketika
kami sudah keluar, syeikh itu berkata kepadaku : “Kemana
wahai Abul Husein?” Aku menjawab : “Aku berjalan
bersamamu.” Beliau menjawab balik : “Tidak, Anda
sebenarnya mengkhianatiku ketika melihat kambing jantan
(yang masak), dan Anda masih menemaniku. Jangan begitu.”
Lantas syeikh itu menolak untuk kutemani.”
Saya mendengar dari Muhammad Abdullah asy-Syirazy
yang berkata, bahwa ia mendengar langsung dari Abu Ahmad
ash-Shaghir, yang mendengar dari Abu Abdullah bin Khafif
yang berkata : “Pada saat awal perjalanan ruhaniku, sebagian
para fakir menghadap kepadaku. Ia melihat bekas kesedihan
dan kelaparan pada mulutku. Kemudian aku dimasukkan ke
dalam rumahnya, dihidangi daging yang dimasak dengan
kisyik. Sementara daging itu mulai basi. Aku memakan roti
remuk yang direndam, dan menjauhi daging karena basinya.
Lantas kau mengambil sesuap, dan memakan dengan hati
yang berat. Begitu juga ketika suapan kedua, terasa semakin
berat hatiku. Si fakir itu melihat keresahanku, dan wajhnya
tampak berubah. Romanku juga ikut berubah melihat
perubahan roman si fakir itu. Aku lalu keluar meneruskan
perjalanan. Aku mengirim seseorng kepada ibuku agar
membawa lembaran (kertas). Ibuku tidak menolak, dan rela
atas kepergianku. Aku pun berangkat ke Qadisiah bersama
kelompok orang-orang fakir. Kami memakan apa adanya yang
ada pada kami, dan kami terancam penderitaan. Akhirnya
kami sampai ditengah kehidupan orang-orang Arab, toh, kami
tak mendapatkan apa-apa. Kami pun merasa menderita,
hingga kami ingin membeli anjing dari mereka dengan
365
beberapa dinar dan memasaknya. Mereka memberi sedikit
dagingnya. Namun ketika aku akan memakannya, aku berpikir
sejenak tentang keadaanku. Tiba-tiba perasaanku
mengatakan bahwa tindakanku membuatnya tersiksas yang
memalukan pada si fakir itu. Aku berTaubat dalam hatiku. Dan
si fakir terdiam, lantas memberi petunjuk jalan padaku. Aku
pun berlalu dari tempat itu, dan pergi berhaji. Ketika pulang,
aku mohon maaf pada si fakir tadi.”
42.
PERSAHABATAN
376
Al-Junayd mengomentarinya : “Diaksudkan oleh Abu Bakr
ash-Shiddiq r.a. bahwa Allah swt. itu tidak bisa dikenal. Sebab
menurut ahli hakikat, yang dimaksud dengan tidak berdaya,a
dalah tak berdaya dari maujud, bukan tak berdaya dalam arti
tiada sama sekali (ma’dum). Seperti tempat duduk, ia tak
berdaya dari duduknya seseorang. Karena ia tidak bisa
berupaya dan berbuat. Sedangkan duduk itu sendiri maujud di
dalamnya. Begitu pula orang yang ‘arif (mengenal Allah swt.)
tak berdaya dengan ma’rifatnya. Sedangkan ma’rifat itu
maujud di dalam dirinya, karena sifatnya yag langsung.
Menurut kalangan Sufi, Ma’rifat kepada Allah swt. pada ujung
terakhirnya adalah bersifat langsung. Ma;rifat yang dilakukan
melalui usaha hanya ada pada permulaan, walaupun ma;rifat
itu merupakan hakikat.” Ash-Shiddiq r.a. sedikitpun tidak
memperhitungkan ma’rifat yang disandarkan pada ma’rifat
langsung, seperti lampu, ketika matahari terbit dan
cahayanya membias pada lampu itu.”
Al-Junayd berkata : “Tauhid yang dianut secara khusus
oleh para Sufi, adalah menunggalkan Yang Qadim jauh dari
yang hadits, keluar meninggalkan tempat tinggal, memutus
segala tindak dosa, meninggalkan yang diketahui ataupun
tidak diketahui, dan Allah swt. berada dalam keseluruhan.”
Yusuf ibnul Husain berkata : “Siapa yang tercebur dalam
samudera tauhid, tidak akan bertambah dalam waktu yang
berlalu, kecuali rasa dahaga yang terus menerus.”
Ada seseorng berhenti, lantas bertanya kepada Husain bin
Manshur : “Siapakah Tuhan Yang Maha Benar, sebagaimana
yang ditunjukkan kaum Sufi?” Husain menjawab : “Dia-lah
Sang Penyebab hidup manusia, dan Dia tidak disebabkan oleh
apa-pun.”
377
Al-Junayd berkata : “Ilmu tauhid memisah dengan
eksistensinya, dan eksistensinya berpisah dengan ilmunya.”
Al-Junayd berkata pula : “Ilmu tauhid melipat hamparannya
sejak duapuluh tahun. Sedangkan manusia sama-sama
membincangkan dalam hatinya.”
Dulaf asy-Syibly berkata : “Siapa yag meliaht sebiji sawi
ilmu tauhid, ia akan lunglai membawa sisa-sisa kulitnya,
karena berat bebannya.”
Dulaf as-Syibly ditanya tentang tauhid yang hanya
diucapkan melalui lisan kebenaran secara tersendiri. Beliau
berkata : “Celaka Anda!” Siapa yang menjawab tauhid melalui
ungkapan ibarat, dia telah menyimpang. Dan siapa yang
menjelaskan lewat isyarat, berarti pengikut dualisme. Siapa
yang menunjukkan lewat isyaratanya pada tauhid, berarti ia
menyembah berhala. Siapa yang bicara dalam tauhid, berarti
ia alpa. Namun siapa yang diam dari tauhid, berarti dia bodoh.
Siapa yang menganggap dirinya telah sampai kepada-Nya,
berarti dia tidak sukses. Barangsiapa merasa dirinya dekat
dengan-Nya, sebenarnya ia jauh dari-Nya. Siapa yang merasa
menemukan-Nya, berarti telah kehilangan. Semua yang Anda
istimewakan melalui pandang khayal Anda, dan Anda
temukan melalui akal dalam pengertian yang lebih sempurna,
maka sebenarnya semua itu terlempar dan tertolak pada
Anda. Semua merupakan sesuatu yang dicipta dan terbuat
seperti eksistensi Anda sendiri.”
Yusuf ibnul Husain berkata : “Tauhidnya orang khusus,
yaitu tauhid itu total dengan batin, ekstase dan kalbunya.
Seakan-akan ia bediri di sisi Allah swt. mengikuti aliran yang
berlaku dalam aturan-Nya dan hukum-hukum Qudrat-Nya,
mengarungi lautan fana’ dari dirinya, hilangnya rasa karena
378
tegak-Nya al-Haq Yang Maha Suci dan Luhur dalam kehendak-
Nya, Maka, sebagaimana dikatakan, bahwa ia hendaknya
berada dalam arus ketentuan Allah swt.”
Dikatakan : “Tauhid hanya bagi Allah swt. sedangkan
makhluk hanyalah benalu.”
Dikatakan : “Tauhid berarti mengugurkan “kekuatan”
karenanya jangan bicara : “Bagiku, denganku, dariku dan
kepadaku.”
Abu Bakr ath-Thamastany ditanya : “Apakah tauhid itu?”
Beliau menjawab : “Yaitu tauhid, muwahhad dan muwahhid,
semuanya berjumlah tiga.”
Ruwaym bin Ahmad berkata : “Tauhid berarti melebur
unsur-unsur kemanusiaan, dan manunggal dengan Ketuhanan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata
menjelang akhir hayatya, di saat sakitnya mulai parah :
“Salah satu tanda keteguhan hati, adalah memelihara tauhid
dalam waktu-waktu kenetuan huku,”. Kemudian beliau
berketa seperti seorang mufassir yang mengisyaratkan apa
yang terjadi dalam perilaku ruhaninya, “Yaitu Anda dipotong
oleh gunting-gunting takdir, dalam pelaksanaan ketentuan-
ketentuan, sepotong-potong, sedang Anda tetap bersyukur
dan memuji.”
Asy-Syibly berkata : “Tak akan mencium bau tahid, orang
gyang tergambar dalam dirinya sesuatu tentang tauhid.”
Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz berkata : “Tahap mula bagi
orang yang menemukan ilmu tauhid dan membenarkannya
adalah fana’ dari ingatan atas segala hal dari hatinya, kecuali
hanya kepada Alalh swt.”
Asy-Syibly berkata pada seseorang : “Apakah Anda
mengerti, mengapa tauhid Anda tidak sah?” Maka dijawab
379
sendiri oleh asy-Syibly : “Karena Anda mencarinya melalui diri
Anda.”
Ibnu Atha’ berkata : “Tanda-tanda hakikat tauhid adalah
melupakan tauhid, yaitu bahwa yang berdiri tegak dengan
tauhid hanya Sat.”
Dikatakan : “Pada diri manusia ada golongan yang dalam
tauhidnya terbuka melalui perbuatan, melihat segala ciptaan
ini bersama Allah swt. Diantaranya ada yang terbuka melalui
hakikat, sehingga perasaannya membuang segala hal selain
Allah swt, maka dia menyaksikan kesatuan (al-Jam’u) secara
batin. Dan lahiriahnya, melalui lewat diskripsi keragman.”
Al-Junayd ditanya tentang tauhid : “Aku mendengar orang
bersayir :
Betapa kaya hatiku
Menjadi kaya seperti Dia
Kami sebagaimana mereka ada
Dan mereka sebagaimana kami ada.”
Ditanyakan kepada al-Junayd : “Keahlian Anda (di bidang)
Al-Qur’an dan Haditst?” Al-Junayd menjawab : “Tidak. Tetapi
orang yang menunggalkan-Nya meraih tauhid tertinggi dan
ucapan terendah dan teringan.”
44.
KELUAR DARI DUNIA
Allah berfirman :
“(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik
oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka)
“Salaamun’alaikum” masuklah kamu ke dalam surga itu
disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. An-Nahl :32).
380
Ayat tersebut memiliki maksud bahwa kebajikan jiwa
mereka dengan mencurahkan ruh mereka, sehingga mereka
kembali kepada Tuhannya, dengan jiwa kyang tidak berat.
Riwayat dari Anas r.a. yang berkata bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Sesungguhnya seorang hamba akan berurusan dengan
kesusahan maut dan sakaratul maut, dan sesungguhnya
sendi-sendinya akan mengucapkan salam (perpisahan) satu
sama lainya dengan kata-kata, “Alaikassalaam” engkau
berpisah denganku, dan aku berpisah denganmu, sampai
(jumpa) di hari kiamat nanti.”
Juga diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa Nabi saw.
sedang menjenguk seorang pemuda yang mendekati ajalnya.
Nabi saw. bertanya : “Bagaimana maut menemui Anda?”
Pemuda itu menjawab : “Aku berharap kepada Allah swt. dan
aku takut akan dosa-dosaku.”
Rasulullah saw. bersabda, “(Harapan bertemu Allah dan
rasa takut akan dosa-dosa) tidak akan berkumpul di hati
hamba, dalam tempat ini, kecuali Allah swt, memberikan
padanya apa yang diharapkannya, dan memberikan rasa
tentram dari apa yang ditakuti....”
Ketahuilah bahwa perilaku mereka saat menghadapi ajal
(naza’) berbeda-beda. Diantaranya ada yang terlimpahi rasa
takut namun disertai rasa hormat (haibah), adapula yang
dilimpahi rasa harapan (raja’) dan di antara mereka ada yang
dibuka oleh Allah swt. sekertika itu akan hal-hal yang
berkaitan dengan keharusan mereka untuk tentram dan
tenang serta keteguhan yang baik.
Ahmad al-Jurairy berkata : “Aku sedang di sisi al-Junyad
ketika naza’nya. Saat itu hari Jum’at dan kebetulan tahun
381
baru. Junayd sedang membaca Al-Qur’anu; Karim, hingga
mengkhatamkannya. Pada saat itu aku berkata : “Hai Abul
Qasim!” lantas dia menjawab : “Siapa yang lebih layak
(mengkhatamkan Al-Qur’an menjelang ajal) daripada aku, dan
inilah, lembaranku dibentangkan.”
Abu Muhammad Abdullah al-Ibrahim al-Harawy berkata :
“Aku menghampiri rumah asy-Syibly pada malam ketika
ajalnya tiba. Sepanjang malam itu dia mendendangkan syair
berikut :
Setiap rumah, Engkau penghuninya
Tak butuh lagi pada lentera
Wajah-Mu yang diharapkan
Adalah hujjah kami
Di hari ketika berduyun-dduyun manusia
Dengan hujjah-hujjahnya.
Bisyr al-Hafi ditanya ketika maut hendak menjemputnya :
“Tampaknya Anda mencintai dunia, wahai Abu Nashr?” Maka
al-Hafi menjawab : “Datang kepada Allah Azza wa Jalla
sungguh dahsyat.”
Dikisahkan, bila Sufyan at-Tsaury menjenguk sebagian
murid-muridnya, senantiasa berkata kepada mereka : “Bila
kalian menemukan maut, belikan untukku.” Ketika wafatnya
akan tiba, beliau berkata : “Kami sungguh mengharapkannya,
tetapi, tiba-tiba maut itu sungguh dahsyat.”
Didkatakan : “Ketika al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib
mendekati wafatnya, beliau menangis. Maka ditanya : “Apa
yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab : “Aku bakal
datang kepada Tuan Yang bernah kulihat.”
Ketika Bilal mendekati ajalnya, sang istri meratap : “Duhai
betapa sedihnya ....” maka Bilal menimpali : “Oh, betapa
382
girangnya, esok kami menemui para kekasih : Muhammad dan
tentaranya.”
Dikatakan : “Abdullah ibnul ubarak membuka kedua bola
matanya menjelang wafat, dan tiba-tiba tertawa, sembari
mengumandangkan ayat suci : “Untuk kemenangan serpa ini
hendaklah berusaha orang-orang yang beramal.” (Qs. Ash-
Shaffat : 61).
Dikatakan bahwa Abdullah ibnul Mubarak sedang
dirundung duka, kemudian, kemudian orang-orang
menjenguknya saat menjelang kematiannya, sedangkan ia
tampak tertawa. Kemudian ia ditanya soal tertawanya itu :
“Mengapa aku tidak boleh tertawa?” Sedangkan perpisahan
dengan yang paling kujauhi telah dekat, sementara tiba lebih
cepat pada Dzat Yang benar-benar kuharapkan begitu
mendekat?”
Ruwaym bin Ahmad berkata : “Aku hadir pada saat
menjelang wafatnya Ahmad bin Isa al-Kharraz. Ketika itu, pada
detik-detik terakhir nafasnya ia menguntaikan syair :
Ratapan rindu kalbu ‘arifin ketika mengingta
Kenangan mereka di waktu munajat bagi rahasia
Ketika piala diputar di antara mereka para pengharap
Mereka terapung dari dunia, melayang
Bagai para pemabuk yang kepayang
Cita-citanya mengembara di kemah-kemah
Di sana para pecinta Allah bagai binntang-bintang
cemerlang
Tubuh-tubuhnya mati di muka bumi karena cintanya
Sedangka arwahnya dalam tirai membubung tinggi
Tiada kemesraan pengantin mereka, kecuali Kedekatan
Sang Kekasih
383
Sedang bencana dan keburukan
Tak pernah menyentuh.”
Dikatakan pada la-Junayd, bahwa Abu Sa’id al-Kharraz
banyak ekstase di saat menjelang mautnya. Al-Junayd
menjawab : “Bukan hal yang menakjubkan, jika ruhnya
terbang menggapai kerinduan.”
Sebagian Sufi berkata, saat-saat dekat ajalnya : “Hai
Ghulam! Cincanglah ketiakku, dan pendamlah pipiku dalam
debu ...! Selanjutnya mengatakan : “Perjalanan telah dekat,
dan susngguh bagiku tak terbebas dari dosa, tiada keringanan
yang bisa dilakukan, tiada kekuatan yang bisa menolong,
Engkau hanya untukku, Engkau hanya bagiku....? Kemudian si
Sufi berteriak, lantas mati. Tiba-tiba orang-orang di
sekelilingnya mendengar suara : “Seorang hamba hidup tena
g di sisi Tuhannya, dan diterima oleh-Nya.”
Dikatakan kepada Dzun Nuun al-Moshry menjelang
wafatnya : “Apa keinginan Anda?” Jawabnya : “Aku ingin
mengenal-Nya sebelum kematianku, walaupun sejenak.”
Dikatakan kepada salah seorang Sufi menjelang ajalnya :
“Ucapkan : “Allah” Ia menjawab : “Sampai kalian semua
menyuruhku begitu, sedangkan aku sendiri terbakar dalam
Allah swt.?”
Sebagian mereka berkata : “Suatu ketika aku sedang
berada di tempat Mumsyad ad-Dinawary, tiba-tiba ada
seorang fakir datag seraya berucap : “Assalamu’alaikum”.
Mereka yang hadir menjawab salamnya. Si Fakir itu berkata :
“Apakah di sini ada tempat yag bersih, yang memungkinkan
bisa ditempati oleh manusia yang mati?” Mereka
menunjukkan sebuah tempat dan sebuah mata air. Si fakir itu
lantas mendatangi tempat tersebut, mengambil air mudhu,
384
shalat dan ... masya Allah Azza wa Jalla --- mendatangi
tempat yang ditunjukkan oleh mereka, kemudian menjulurkan
kakinya, lalu mati.”
Suatu hari Abul Abbas Ahmad ad-Dinawary sedang
berbicara dalam majelisnya. Tiba-tiba seorang wanita
berteriak, karena ekstase. Ahmad berkata padanya : “Suatu
kematian?” Lalu wanita itu berdiri, dan ketika sampai di pintu
rumah, wanita itu menoleh pada Ahmad sembari berkata :
“Aku telah mati, dan aku benar-benar menjadi mayit.”
Salah seorang Sufi mengisahkan : “Aku sedang berada di
rumah Mumsyad ad-Dinawary menjelang wafatnya, lalu
dikatakan kepadanya : “Bagimana dengan penyakit Anda?”
Dia menjawab : “Lupakanlah dariku penyakit itu, bagaimana
Anda menemukan diriku?” Lalu dikatakan padanya :
“Ucpakanlah Laa Ilaaha Illallaah”. Kemudian ia palingkan
wajahnya ke tembok, sambil mengucapkan : “Aku telah
musnah kesseluruhanku pada-Mu, inilah balasan bagi orang
yang mencintai-Mu.”
Dikakatakan kepada Muhammad ad-Dubaily ketika
menjelang wafatnya : “Ucapkan, Laa Ilaaha Illallaah.” Lalu dia
menjawab : “Ucapan ini sudah kami kenal, bahkan dengan
ucapan tersebut kami fana’”
Kemudian beliau membacakan syair :
Engkau memakai pakaian linglung,
Ketika engkau terpesona dengan-Nya
Dia menolak dan tak rela
Tak sudi dirimu adalah hamba-Nya.
Dikatakan kepada asy-Syibly menjelang wafatnya :
“Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah.” Lalu asy-Syibly
mendendangkan syair :
385
Berkatalah penguasa cintanya
Aku tak menerima yang lain
Bertanyalah dengan yang lain
Mengapa kematian ia berurusan?
Ahmad bin Atha’ berkata : “Aku mendengar salah seorang
fakir berkata : “Ketika Yahya al-Ashtakhry akan meninggal,
kami duduk di sekitarnya, lantas alah seorang di antara kami
berkata : “Ucapkalah Asyhadu an-Laa Ilaaha Illallaah.” Lantas
beliau duduk lurus, kemudian meraih tangan salah ssatu dari
kami, dan berucap : Katakanlah, Asyhadu an-Laa Ilaaha
Illaallaah.” Lalu meraih tangan yang lain sampai syahadt
tersebut merata pada semua hadirin. Barulah kemudian beliau
meninggal.”
Diriwayatkan dari Fatimah saudari Muhammad ar-
Rudzbary : “Ketika saudaraku (Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary)
mendekati ajal, kepalanya ada di pangkuanku, sedangkan
kedua bola matanya terbuka, sembari berkata : “Inilah, pintu-
pintu langit terbuka, dan surga itu benar-benar telah dihiasi,
dan inilah orang yang berkata padaku : “Wahai Abu Ali, kami
telah menghantarkanmu ke tahapan yang tinggi, walaupun
engkau belum sampai ke sana.” Lalu Abu Ali membacakan
syair :
Demi Hak-Mu, sungguh tak kupandang selain Diri-Mu.
Dengan mata cinta, sehingga aku melihat-Mu
Aku melihat-Mu, ketika hilang sejenak menjadi siksaan
Dan dengan pipi bertulip mawar merah petikan-Mu.
Salah satu Sufi berkata : “Aku melihat seorang fakir asing
yang membiarkan dirinya, sementara lalat mengerumuni
wajahnya. Lalu aku duduk mengibaskan lalt-lalat itu dari
wajahnya, sampai kemudian matanya terbuka, dan berkata :
386
“Siapakah engkau? Sejak sekian tahun aku mencari waktu
yang menjernihkan diriku, dan selalu begitu, kecuali sekarang
ini. Engkau datang, menceburkan dirimu di dalamnya.
Pergilah, semoga Allah swt. mengampunimu.”
Saya mendengar Abu Hatim as-Sijistany berkata : “Aku
mendengar Abu Nashr as-Sarraj berkata : “Penyebab wafatnya
Abul Husain Ahmad an Nury adalah dikarenakan
mendengarkan sebuah syair ini :
Aku senantiasa menempati
Lembah dari cinta-Mu
Ketika sematam, lubuk jiwa menjadi lingling.”
Ahmad an-Nury mengalami ekstase dan linglung di tengah
padang pasir. Lalu jatuh di rimba belukar yang sudah
ditebang, namun akar-akarnya masih menonjol, tajam seperti
pedang. Anehnya, an-Nury berjalan di atas akar-akar itu,
kembali pulang sampai esok hari. Darah mengalir dari kedua
kakinya, kemudian ia tersungkur seperti orang yang mabuk.
Kedua telapan kakinya membengkak, dan akhirnya meninggal
dunia. Pada riwayat lain diceritakan, ketika beliau menjelang
wafat, dikatakan padanya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah,”
lalu beliau menjawab : Bukankah pada ucapan itu aku
kembali.”
Saya juga mendengar Ab Manshur al-Maghriby berkata :
“Yusuf ibnu Husain menjenguk Ibrahim al-Khawwas, setelah
sekian lama Yusuf tak pernah mengunjunginya. Ketika melihat
Ibrahim, Yusuf bertanya kepadanya : “Apakah engkau ingin
sesuatu?” Ibrahim menjawab : “Benar, sepotong limpa
panggang.”
387
Maksud ucapan Ibrahim tersebut, kemungkinan adalah :
“Aku inginkan hati yang lembut terhadap si fakir, dan limpa
panggang yang menghangatkan orang asing.”
Dikisahkan : “Sebab kematian Ahmad bin Atha’, yakni
ketika ia memasuki rumah seorang menteri, lantas sang
menteri bicara dengan ucapan kasar. Lalu Ibnu Atha’ berkata :
“Tenanglah Anda ....!” Tiba-tiba sang menteri itu memukulnya
dengan sepatu dan mengenai kepalanya, hingga wafat pun
menjemputnya.”
Abu Bakr Muhammad ad-Duqqy berkata : “Kami sedang
berada di tempat Abu Bakr az-Zaqqaq pada pagi hari, lalu az-
Zaqqaq berkata, “Tuhanku, berapa lama lagi diriku Engkau
tempatkan di sana?” Dan keesokan pagi, ia telah meninggal
dunia.”
Diriwayatkan dari Abu Ali ar-Rudzbary, yang
mengisahkan : “Aku melihat di padangpasir seorang pemuda.
Ketika ia melihatku, ia berkata, “Adapun yang mencukupinya,
pesonanya padaku dengan cintanya, hingga membuatku
menderita.” Lalu aku melihatnya dalam keadan jiwa yang
lembut, sembari kukatakan padanya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha
Illallaah.” Lanatas ia mendendangkan syair :
Wahai yang tiada bagiku jauh dari-Nya
Bila ia menyiksaku, memang itulah setimpalnya
Wahai yang meraih hatiku
Sepadan yang tiada batasnya.”
Dikatakan kepada al-Junayd : “Ucapkalah Laa Ilaaha
Illallaah.” Lantas Junayd menjawab : “Aku tak pernah
melupakannya, dan selalu mengingatnya.” Dia kemudian
bersayir :
Yang selalu hadir dalam gairah di hatiku
388
Tak pernah kulupakan, maka selalu kuingat.
Dia-lah Tuanku dan Sandaranku
Bagianku dari-Nya lebih sempurna.
Ja’far bin Nashr bertanya pada Bakran ad-Dinawary – di
mana dia sedang melayani asy-Syibly – “Apa yang Anda lihat
dari Asy-Syibly?” Ia menjawab : “Asy-Syibly pernah berkata : “
“Aku punya dirham gelap, dan kau telah menyedekahkannya
beberapa ribu. Dalam hatiku tak ada rasa mengganjal yang
lebih besar dari dirham itu.” Lantas dia berkata : “Wudhukan
aku untuk shalat.” Aku pun mewudhukannya. Ketika itu aku
lupa menyela-nyela air pada jenggotnya, padahal aku
menahankan air pada mulutnya, lantas beliau menahankan air
itu pada tanganku dan kemudian menyelakan pada
jenggotnya, lantas beliau wafat.” Mendengar kisha itu Ja’far
menangis tersedu, dan berkata : “Apa yang kalian katakan itu,
tentang seorang lelaki yang tak pernah melewatkan adab dari
adab-adab syariat, hingga akhir hayatnya.”
Ali-al-Muzayyin berkata : “Saat sedang berada di Mekkah
al-Mukarramah --- semoga Alalh swt. menjaganya --- Tiba-tiba
aku merasa gelisah. Lantas aku ingin berangkat ke Madinah al
Munawarah. Ketika aku sampai ke Bi’ru Maimun, tiba-tiba
seorang pemuda terlempar. Aku mencoba menggugahnya,
namun ia kelihatan naza’. Kukatakan padanya : “Ucapkalah
Laa Ilaaha Illallaah!.” Lantas kedua matanya terbuka, dan
kemudian menguntaikan syair :
Aku, bila mati, cintaku telah memenuhi hatiku
Sedang awal asmara telah mematikan kemuliaan.
Selanjutnya pemuda itu menjerit dengan sekali jeritan,
lantas mati. Aku memandikan, mengafani dan menshalatinya.
Ketika selesai memendamnya, aku tidak berhasrat untuk
389
meneruskan perjalanan. Aku pun kembali ke Mekkah ---
Semoga Allah swt. menjaganya.”
Dikatakan kepada salah seorang Sufi :”Apakah Anda
mencintai maut?” Ia menjawab : “Datang kepada orang yang
diharapkan kebaikannya itu llebih baik daripada menetap
bersama orang yang tidak percaya keburukannya.”
Diriwayatkan dari al0Junayd, yang mengatakan : “Aku
sedang berada di tempat guruku, Ibnu Karainy, ketika
beliausudah merelakan ddirinya. Lalu kulihat langit, dan beliau
berkata : “Jauh!” lalu kulihat bumi, beliau pun berkata :
“Jauh!” Yakni, Dia itu lebih dekat dibandign Anda memandang
ke langit maupun k bumi. Bahkan Dia ada sebelum langit dan
bumi.”
Saya mendengar ssalah seorang sahabt kami berkata :
“Abu Yazin berkata menjelang wafatnya : “Aku tak pernah
ingat pada-Mu kecuali ketika lupa, dan Engkau tak pernah
menggenggamku, kecuali saat jeda.”
Abu Ali Muhammad ar-Rudzbary berkata : “Aku memasuki
negeri Mesir, dan kulihat orang-orang berkumul, seraya
berkata : “Kita sedang berada dalam iringan jenazah seorang
pemuda yang meninggal karena mendengar orang
menguntaikan syair :
Betapa besar dosa hamba
Yang ambisi sekali melihat-Mu.
Lalu pemuda itu menjerit dengan sekali teriakan, lantas
mati.”
Dikisahkan : “Sekelompok orang menjenguk Mumsyad ad-
Dinawary yang sedang sakit. Mereka berkata padanya : “Apa
yang dilakukan Allah swt. pada Anda?” Ad-Dinawary
menjawab : “Sejak tigapuluh tahun ini aku ditawari surga dan
390
seisinya, namun aku tak pernah menolehkan pandanganku.”
Mereka bertanya di saat dia sedang naza’ : “Bagaimana Anda
menemukan hati Anda?” Dia menjawab : “Sejak tigapuluh
tahun, aku kehilangan hatiku.”
Sebab kematian Abul Husain bin Bannan, adalah ganjalan
dalam hatinya yang menyebabkan kebingungan arahnya.
Orang-orang menjumpainya tersesat di daerah kalangan Bani
Israil, dalam keadaan tertimpa pasir. Kemudian ia membuka
matanya dan berkata : “Bermewah-wewahlah, sebab inilah
kemewahan para kekasih.” Lalu nyawanya keluar dari
tubuhnya.
Abu Ya’qub Ishaq an-Nahrajury berkata : “Ketika aku
sedang berada di Mekkah al Mukarramah – semoga Allah swt.
menjaganya – tiba-tiba datang seorang fakir dengan
membawa dinar. “Bila besok tiba, aku pun mati. Tolong
butakan kuburanku dari separo dinar ini, separo lainnya untuk
persiapanku.” Aku berkata dalam hati; anak muda ini tidak
waras, dan dia sedang tertimpa kekuranagn. Ketika esok hari
tiba, ia datang kembali, masuk ke masjid dan tawaf. Kemudian
berlalu dan menjejak-jejakan kakinya pada tanah. “Itu dia,
pura-pura mati.” Kaaku. Aku pun menghampirinya dan
menggerakkannya. Ternyata ia benar-benar mati. Akhirnya
sebagaimana pesannya, aku pun menguburkannya.”
Dikatakan : “Ketika keadaan Abu Utsman Sa’id al-Hiry
mengalami perubahan, anaknya, Abu Bakr merobek gamis.
Lalu Abi Utsman membuka matanya, berkata : “Hai anakku,
menetang sunnah dalam bentuk lahiriah tergolong riya’dalam
batin.”
Dikatakan : “Ketika Ahmad memasuki rumah al-Junayd,
sedangkan Junayd telah rela untuk mati, Ahmad menucapkan
391
salam. Namun jawabannya terlambat, walau akhirnya
menjawab pula. Setelah itu al-Junayd berkata : “Maaf, aku
sedang dalam wiridku.” Setelah itu al-Junayd meninggal.”
Diriwayatkan oleh Abu Ali ar-Rudzbary : “Ada seorang fakir
datang pada kami, lalu mati. Aku pun menguburkannya, dan
ketika wajahnya kubuka untuk kuletakkan di atas tanah, agar
Alalh swt. mengasihi dalam pengasingannya, tiba-tiba kedua
matanya terbuka, dan berucap : “Wahai Abu Ali, apakah
engkau menghinakan diriku di sisi Dzat Yang memanjakanku?”
Aku berkata : “Saudaraku, apakah ada kehidupan setelah
mati?” Ia menjawab : “Bahkan aku ini hidup. Dan orang yang
mencintai Allah swt. selalu hidup. Esok nanti tiada yang
membahayakanmu, demi kebesaranku, wahai Rudzbary.”
Diriwayatkan dari Abul Hasan Ali al-Ashbahany, yang
berkata : “Apakah kalian semua melihat diriku mati seperti
orang-orang yang mati itu, ada sakit dan ada pula orang-
orang yang menjenguk. Ketika aku dipanggil “Wahai Ali” aku
pun menjawabnya.” Pada suatu hari Ali sedang berjalan,
sembari menjawab panggilan orang : “Labbaik.” Kemudian ia
mati.
Abul Hassan Ali al-Muzayyin berkata : “Ketika Abu Ya’qub
Ishaq an-Nahrajury sakit menjelang wafatnya, di sat naza’nya
aku mengatakan padanya : “Ucapkan : “Laa Illaha Illallaah>”,
lalu beliau tesenyum padaku sembari berucap : “Yang kau
maksud itu aku? Demi Keagungan Dat Yang tak pernah
merasakan kematian, tak ada antara diriku dengan-Nya,
kecuali hijab keagungan.” Lalu saat jadi padam (wafat).”
Selanjutnya Ali al-Muzayyn memegangi jenggotnya dan
berkata : “Pembekam seperti diriku ini, menuntun syahadat
392
para wali Allah swt?” Al-Muzayyin merasa malu, dan ia selalu
menangis bila ingat kisah ini.
Abul Husain al-Maliky berkata : “Aku berguru pada an-
Nassaj beberpa tahun. Delapan hari menjelang kewafatannya;
beliau berbicara padaku : “Hari Kamis tepat waktu maghrib
aku akan mati. Aku akan dimakamkan hari Jum’at, sebelum
Shalat Jum’at. Kamu jangan lupa itu!” Ternyata wasiat itu
kkulupakan, hingga hari Jum’at. Tiba-tiba ada orang yang
memberi kabar atas kewafatannya. Aku bergegas keluar
menghadiri jenazahnya. Kulihat serombongan manusia
sedang pulang, sambil berkata : “Beliau dimakamkan setelah
shalat.” Namun aku tidak bergeming dan aku pun haidr.
Kutemani jenazah, ternyata telah dikeluarkan sebelum waktu
shalat sebagaimana diucapkannya padaku dulu. Aku bertanya
pada hadirin yang hadir saat wafatnya. Salah seorang di
antara mereka berkata : “Beliau pingsan, lalu sadar kembali.
Kemudian menoleh ke arah rumah dan berkata, : “Berhenti,
semoga Allah memaafkanmu. Kamu adalah hamba yang
diperintah, dan aku pun hanya diperintah. Yang diperintahkan
padamu, tidak membuat kesenjangan bagimu, sedangkan
yang diperintahkan padaku, membuat senjang diriku. Lantas
beliau meminta air, untuk memperbarui wudhu, kemudian
shalat. Setelah shalat, tubuhnya kejang dan matanya
terpejam (wafat).” Maka, setelah beliau wafat, Abul Husain
bermimpi bertemu dengan an-Nassaj : “Bagaimana
keadaannya?” Tanya Abul Husain. “Jangan kamu lupakan,
tetapi, sebenarnya kau telah membersihkan duniamu yang
kotor.”
Pengarang kitab Bahjatul Asrar, menuturkan, bahwa
ketika Sahl bin Abdullah meninggal, manusia berduyun-duyun
393
mendatangi jenazahnya. Di daerah itu ada sekelompok
Yahudi, sekitar tujuh puluh orang. Salah seorang Yahudi itu
mendengar kegaduhan, lalu keluar untuk melihat apa yang
terjadi. Ketika melihat jenazah, tiba-tiba ia berteriak : “Hai,
apakah kalian semua melihat seperti apa yang kulihat?”
Mereka menjawab : “Tidak!” Apa yang Anda lihat?” Yahudi itu
berkata : “Aku melihat serombongan kaum yang turun dari
langit, mereka saling menyentuh dan mengusap jenazah itu.”
Setelah kejadian itu, Yahudi tersebut membaca syahadat,
memeluk Islam, dan menjadi Muslim yang taat.
Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Aku sedang berada di
Mekkah al-Mukarramah semoga Allah swt. menjaganya. Suatu
hari aku melewati pintu Bani Syaibah. Kulihat seorang pemuda
yang tampan dalam keadaan meninggal dunia. Kulihat
wajahnya, dia tersenyum dalam wajahku, dan berkata padaku,
: “hai Abu Sa’id, ketahuilah bahwa sesungguhnya para kekasih
Allah itu hidup, walaupun mereka mati. Mereka hanya
dipindahkan dari satu rumah ke rumah lain.”
Ahmad al-Jurairy berkata : “Ada berita sampai padaku
bahwa Dzun Nuun al-Mishry, ketika sedang naza’ diminta
untuk berwasiat. Beliau malah menjawab : “Jangan ganggu
aku. Aku ini sedang terpesona oleh keindahan-keindahan
kelembutan-Nya.”
Abu Utsman al- Hiry berkata : “Abu Hafs ditanya mengenai
situasi wafatnya, ‘Apa yang bisa engkau nasihatkan pada
kami, mengenai kematian?” Beliau menjawab : “Aku tak
mampu untuk menjelaskan.” Kemudian tapak bahwa dirinya
terasa kuat untuk menerangkan, dan aku pun bertanya
padanya : “Katakanlah, sehingga aku bisa mengisahkan ini
394
darimu.” Beliau menjawab : “Patah semangat telah
meletihkan hati dari sikap ceroboh.”
45.
MA’RIFAT
397
Muhammad al-Wasithy berkata : Ma’rifat tidak dibenarkan
jika dalam diri si hamba masih ada rasa kepuasan dengan
Allah swt. dan kebutuhan terhadap-Nya.”
Dengan ucapan ini al-Wasithy memaksudkan bahwa
kebutuhan dan kepuasan adalah sebagai tanda-tanda
kesadaran jiwa pada diri si hamba dan tanda-tanda tetapnya
sifat-sifatnya, karena keduanya merupakan sifat-sifatnya.
Sang ‘arif terlebur dalam obyek ma’rifatnya. Bagaimana
mungkin ma’rifatnya, shahih – bila kebutuhan dan kepuasan
dengan-Nya masih meelkat – sementara dia lebur dalam
Wujudn-Nya atau terserap dalam musyahadah pada-Nya,
tetapi belum sepenuhnya mencapai wujud dan masih
dipisahkan oleh kesadaran akan sifat apa pun yang mungkin
dimilikinya? Karena alasan inilah al-Wasithy juga
mengatakan : “Barangsiapa ma’rifat kepada Alalh swt. berarti
terputus, bahkan bisa dan hampa.”
Nabi saw. menyabdakan :
“Aku tak bisa memuji-Mu sepenuhnya.” (Hr. Baihaqi).
Inilah sifat-sifat mereka yang perspektifnya jauh.
Sementara mengenai mereka yang puas dengan batasan
tersebut, mereka telah banyak berbicara dengan ma’rifat
dengan panjang lebar.
Ahmad bin Ashim al-Anthaky berkata : “Siapa yang lebih
ma’rifat (terhadap) Allah swt. semakin dia takut pada-Nya.”
Salah seorang Sufi berkata : “Barangsiapa ma’rifat
(terhadap Allah swt. akan dikokohkan oleh keabadian, dan
dunia seisinya terasa sempit.”
Dikatakan : “Barangsiapa ma’rifat kepada Allah swt. Dia
akan menjernihkan hidupnya, dan memberikan kebajikan
hidup padanya. Segala sesuatu gentar kepadanya, dia sendiri
398
tidak takut pada sesuatu pun di antara makhluk, dan dia
mengalami sukacita yang luas biasa dengan Allah swt.”
Dikatakan : “Barangsiapa ma’rifat (terhadap) Allah swt.
hilangah keinginan akan segala yang ada, dan dia tidak terikat
ataupun terpisah dari mereka.”
Dikatakan : Ma’rifat mendatangkan rasa malu dan sikap
pengagungan, sebagaimana tauhid mendatangkan keridhaan
dan kepasrahan kepada Allah swt.”
Ruwaym bin Ahmad berkomentar : “Ma’rifat adalah
cermin sang ‘arif. Bila dia menatap cermin itu. Tampaklah
Tuhannya.”
Dzun Nuun al-Mishry menuturkan : “Ruh pra Nabi berlomba di
padang ma’rifat dan ruh Nabi kita Muhammad saw.
memenangkan arwah para Nabi --- Semoga Allah
melimpahkan kesejahteraan kepada mereka – ke taman
wishaal.” Dia juga mengatakan : “Pergaulan sang ‘arif
(terhadap orang lain) adalah seperti perlakuan Allah swt,
dia bersabar terhasapmu karena dia meniru Akhlak Allah
swt.”
Hasan bin Yazdaniyar ditanya : “Kapakah seorang ‘arif
menyaksikan Allah swt.?” Dia menjawab : “Ketika Penyaksi
Tampak, maka sarana penyaksian lenyap, indera pun musnah
dan keikhlasan melebur.”
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj berkata : “Apabila si
hamba mencapai tahapan ma’rifat, Allah swt. membisikan
melalui bisikan-bisikan dan menjaga batinnya, agar tidak
dicampuri oleh bisikan yang tidak haq.” Al-Hallaj juga
mengatakan : “Tada seorang ‘arif adalah bahwa dia kosong
dari dunia dan akhirat.”
399
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Pangkal ma’rifat ada dua
: “Kedahsyatan dan kebingungan.”
Dzun Nuun al-Mishry menegaskan : “Orang yang paling
ma’rifat (terhadap) Allah adalah yang paling besar
kebingungannya.”
Seorang laki-laki berkta kepada al-Junyad : “Di antara ahli
ma’rifat, ada sebagian yang mengatakan, ‘Meninggalkan
setiap macam gerakan (lahiriah) adalah bagian dari kebajikan
dan takwa.” Al-Junayd menjawab : “Mereka itu adalah orang-
orang yang mengusulkan agar meninggalkan semua amalan,
yang menurut pendapatku merupakan kekeliruan besar.
Pencuri dan pezina lebih baik perilakunya daripada mereka
yag berucap demikian. Sebab sang ‘arif memperoleh amal-
amal dari Allah swt. dan mereka kembali kepada Allah swt.
melalui amal-amal tersebut. Seandainya aku hidup seribu
tahun, aku tidak akan mengurangi pelaksanaan amal
kebajikan sekecil biji sawi sekalipun.”
Ditanya kepada Abu Yazid al-Bisthamy : “Dengan apa
engkau mencapai ma’rifat?” Dia menjawab : “Melalui erut
yang lapar dan tubuh yang telanjang.”
Abu Ya’kub an-Nahrajury menuturkan : “Aku bertanya
kepada Abu Ya’kub as-Susy : “Apakah sang ‘arif bersedih
karena sesuatu selain Allah swt?” Dia menjawab : “Dan
apakah dia melihat sesuatu selain Dia yang membuatnya
bersedih?” Aku lalu bertanya : “Lantas dengan mata yang
mana dia melihat segala alam ini?” Dia menjawab : “Dengan
mata fana’ dan kehangusan.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Sang ‘arif terbang dan
sang zahid berjalan.” Dikatakan : “Mata sang ‘arif menangis,
tetapi hatinya tertawa.”
400
AL Junayd menyatakan : “Sorang ‘arif tidak akan menjadi
‘arif sampai dia menjadi seperti bumi : diinjak oleh orang yang
baik maupun jahat, dan sampai dia menjadi seperti hujan;
menyirami segala sesuatu, baik yang mencintainya maupun
membencinya.”
Yahya bin Muadz berkata : “Sang ‘arif keluar dari dunia ini
tanpa mencapai tujuannya dalam dua hal : menangisi diri
sendiri dan pujiannya pada Tuhannya Yang Maha Agung dan
Lihur.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Merekan mencapai
ma’rifat hanya dengan mengorbankan apa yang mereka miliki
dan tinggal dengan apa yang jadi milik-Nya.”
Yusuf bin Ali menegaskan : “Seseorang tidak akan menjadi
‘arif sejati sampai seandainya kerajaan Sulaiman diberikan
kepadanya, kerajaan itu tidak memalingkan perhatiannya
sekejap mata pun dari Allah swt.”
Ahmad bin Atha’ menjelaskan : “Ma’rifat dibangun dengan
tiga tiang : Rasa gentar (haibah), malu (haya’) dan
kesukacitaan (Uns).”
Dzun Nuun al-Mishry ditanya : “Degan apa engkau
mengenal Tuhanmu?” Dia menjawab : “Aku mengenal Tuhanku
dengan Tuhanku. Kalaulah tidak karena Tuhanku, niscaya aku
tidak akan menganl Tuhanku.”
Dikatakan : “Ulama menjadi panutan, sedangkan seorang
‘arif adalah sumber petunjuk.”
Asy-Syibli mengatakan : “Sang ‘arif tidaklah berurusan
selain dengan Dia. Dan tidak pula dia berbicara dengan
pembicaraan tentang sesuatu selain-Nya, dan tidak melihat
satu pelindung pun bagi dirinya selain Allah swt.”
401
Dikatakan : “Sang ‘arif memperoleh kesenangan dengan
dzikir kepada Allah swt. dan ditakuti oleh makhluk-Nya. Dia
membuatnya tidak butuh pada makhluk. Sang ‘arif selalu
merasa hina di hadapan Allah swt. lantas Allah memuliakan di
hadapan makhluk-Nya.”
Abu ath Thayyib as-Samary mengatakan : “Ma’rifat adalah
munculnya Al-Haq di lembah batin melalui cahaya terus
menerus memancar.”
Dikatakan : “Sang ‘arif itu di atas apa yang dikatakannya,
dan sang ulama di bawah apa yang diucapkannya.”
Abu Sulaiman Abdurrahman ad-Darany berkata : “Allah
swt. menyingkapkan kepada sang ‘arif di tempt tidurnya, yang
tidak Dia ungkakan kepada orang lain, padahal orang lain itu
sedang shalat.”
Al-Junayd mengatakan : “Sang ‘arif adalah yang berbicara
haq dari batinnya, sedangkan ia sendiri dalam keadaan diam.”
Dzun Nuun menyatakan : “Bagi setiap orang ada hukuman
tertentu, dan hukuman bagi seoang ‘arif adalah terputus dari
dzikir kepada Allah swt.
Ruwaym berkata : “Riya’nya orang-orang ‘arif lebih utama
daripada keikhlasan para murid (pencari).”
Abu Bakr Muhammad al-Warraq berkata : “Diamnya
seorang ‘arif adalah paling bermanfaat, dan bicaranya adalah
paling simpatik dan paling menyenangkan.”
Dzun Nuun al-Mishry menegaskan : “Meskipun para zahid
adalah raja-raja di akhirat, padahal mereka adalah paling
fakirnya ‘arifin.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang san ‘arif, dia menjawab :
“Warna air adalah warna wadahnya.” Artinya, sifat orang ‘arif
selalu ditentukan oleh waktunya.
402
Abu Yazid al-Bisthamy ditanya tentang sang ‘arif. Dia
mengatakan, : “Dia tidak melihat sesuatu pun selain Allah swt.
dalam tidurnya dan tidak melihat satu pun selain Allah swt. di
saat bangunnya. Dia tidak sesuai dengan selain Allah swt, dan
dia tidak memandang kepada selain Alalh swt.”
Abdullah bin Muhammad ad-Dimasyqy berkisah, bahwa
salah seorang syeikh ditanya : “Dengan apa Anda mengenal
Allah swt.?” Dia amenjawab : “Dengan kilatan cahaya yang
memancar melalui lisan yang diambil dari pembedaan biasa
dan dengan satu kata yang meluncur melalui lisan seseorang
yang binasa dan musnah.: Ia menunjuk kepada suatu ekstase
yang muncul dan menuturkannya dari rahasia yang tertutup.
Dirinya adalah apa yang diungkapkannya dari rahasia yang
tertutup. Dirinya adalah apa yang diungkapkan-Nya;
sedangkan yang lain-Nya adalah faktor yang menyulitkannya.
Kemudian ia mendendangkan lagu-lagu :
Engkau bicara tanpa ucapan, adalah bicara yang sungguh
Hanya bagi-Mu, apakah tertulis atau lebih jelas
Dan sekedar bicara
Engkau Tampakkan, agar aku tersembunyi, padahal
Aku adalah orang yang bersembunyi
Engkau kilatkan cahaya padaku,
Aku pun bicara dengan kilatan.
Ketika ditanya sifat seorang ‘arif, Abu Turab Askar an-
Nakhsyaby menjelaskan : “Tak sesuatu pun mengotorinya,
justru segala sesuatu menjadi bersih karenanya.”
Abu Utsman Sa’id Maghriby berkata : “Cahaya
pengetahuan bersinar bagi sang ‘arif, hingga dia melihat
dengannya keajaiban-keajaiban yang gaib.”
403
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menyatakan : “Sang ‘arif
hancur dalam lautan hakikat. Sebagaimana dikatakan oleh
salah seorang Sufi, “Ma’rifat adalah ombak yang
membumbung, naik dan turun.”
Yahya bin Mu’adz ditanya tentang sang ‘arif, dan
menjawab : “Seseorang yang ada dan terpisah.” Ia katakan
sekali lagi : “Mula-mula ada, kemudian terpisah.”
Dzun Nuun adl-Mishry mengatakan : “Tanda seorang ‘arif
ada tiga : Cahaya ma’rifatnya tidak meniup cahaya wara’-nya;
dia tidak percaya pada pengetahuan batin; apabila merusak
hukum-hukum lahir; dan melimpahnya rahmat Allah swt.
kepadanya tidak mendorongnya untuk merobek tirai yang
menutupi kehormatan Alalh swt.
Dikatakan : “Orang yang ‘arif bukanlah orang yang
berbicara tentang ma’rifat di hadapan generasi akhirat, dan
lebih-lebih lagi bukan a’rif jika dia berbicara hal itu di hadapan
orang-orang yang terikat pada dunia.”
Abu Sa’id al-Kharraz menyatakan : “Ma’rifat datang dari
sebuah mata kedermaan dan curahan usaha serius.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang perkataan Dzun Nuun al-
Mishry mengenai sifat seorang ‘arif, (Dia ada di sana,
kemudian menghilang pergi), maka al-Junayd menjawab :
“Seorang ‘arif tidak dibatasi oleh kondisi ruhani satu ke
kondisi lain, tidak pula ditirai oleh tahap yang berpindah dari
satu ke lainnya. Jadi, dia berada bersama orang banyak dari
setiap tempat seperti halnya mereka, dia mengalami apa pun
yang mereka alami, dan dia berbicara dengan bahasa mereka
agar mereka bisa memberikan manfaat dengan
pembicaraannya.”
404
Muhammad ibnul Dadhl berkata : “Ma’rifat adalah
hidupnya hati bersama Allah swt.”
Abu Sa’id al-Kharraz ditanya : “Apakah sang ‘arif sampai
pada kondisi, dimana air mata telah kering?” Dia menjawab :
“Memang Menangis termasuk dalam masa ketika mereka
melakukan perjalanan menuju Allah swt. Ketika mereka turun
menuju lembah hakikat taqarub, dan mengalami rasa wushul
dan anugerah-Nya, tangisan itu akan sirna.”
46.
CINTA
Allah swt. berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu
yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-
Nya.” (Qs. Al-Maidah :54).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
“Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun
mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa tidak mencintai
pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan
dengannya.” (H.r. Bukhari).
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Nabi saw. dari Jibril as.
Yang memberitahukan bahwa Tuhannya – Subhanahu wa Ta’ala, telah
berfirman :
“Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah
memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah aku merasa ragu-ragu
dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk
mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci
405
kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian harus
terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Ku-cintai bagi seorang
hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah
Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati-Ku dengan
melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa
yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang
penopang yang kokoh baginya.” (Haditst dikeluarkan oleh : Ibnu
Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Madarwieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu
Asaakir, riwayat dari Anas r.a.).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi telah
bersabda : “Apabila Allah swt. mencintai seorang hamba-Nya, maka
Dia berfirman kepada Jibril : “Wahai Jibril, Aku mencintai si Fulan,
maka cintailah dia.” Jibril pun lalu mencintai Fulan itu, dan dia
berseru kepada para penghuni langit lainnya : “Allah swt. mencintai
Fulan, maka hendaklah kalian juga mencintainya.” Para penghuni
langit pun lalu mencintai orang itu, dan dia pun diterima oleh
manusia di muka bumi. Apabila Allah swt. marah pada seorang
hamba....” Malik berkata, “Aku tak menduganya kecuali beliau (Nabi
saw.) mengatakan yang sama seperti di atas mengenai kebencian
Allah swt. kepada seorang hamba.” (H.r. Muslim dan Tirmidzi).
Cinta (mahabbah) adalah kondisi yang mulia yang telah
disaksikan Allah swt. melalui cinta itu bagi hamba, dan Dia telah
mempermaklumkan cinta-Nya kepada si hamba pula. Dan karenanya
Allah swt. disifati sebagai Yang Mencintai hamba, dan si hamba
disifati sebagai yang mencintai Allah swt.
Cinta menurut para ulama berarti kehendak. Tetapi yang
dimaksud kaum Sufi bukan kehendak. Karena kehendak hamba tidak
tidak ada kaitannya dengan yang Qadim, kecuali jika menggunakan
perkataan itu si hamba memaksudkan kehendak untuk membawa
406
pada kehendak mendekat kepada-Nya dan mengagungkan-Nya. Kami
akan membahas masalah ini dalam dua pangkal, Insya Allah.
Cinta Allah swt. kepada hamba adalah kehendak-Nya untuk
melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana
kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-
Nya. Jadi, cinta (mahabbah) lebih khusus daripada rahmat.
Kehendak Allah swt. dimaksudkan untuk menyampaikan pahala dan
nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat. Sedangkan
kehendak-Nya untuk mengkhususkan pada hamba, suatu kehendak
dan ihwal ruhani yang luhur disebut sebagai mahabbah.
Cinta Allah swt. kepada hamba adalah kehendak-Nya untuk
melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana
kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-
Nya. Jadi, cinta (mahabbah) lebih khusus daripada rahmat.
Kehendak Allah swt. dimaksudkan untuk menyampaikan pahala dan
nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat. Sedangkan
kehendak-Nya untuk mengkhususkan apda hamba, suatu kedekatan
dan ihwal ruhani yang luhur disebut sebagai mahabbah.
Kehendak Allah swt. adalah satu sifat, dimana menurut kadar
keterkaitannya, terjadi perbedaan dalam nama-namanya. Jika
dikatkan dengan hukuman, maka ia disebut ghadab. Jika ia dikaitkan
secara umum atas nikmat-nikmat-Nya, disebut rahmat. Jika ia
dikaitkan dengan kekhususan nikmat disebut sebagai Mahabbah
atau cinta.
Sebagian kaum Sufi mengatakan : “Cinta Allah swt. kepada
hamba adalah pujian Allah swt. kepada hamba-Nya, dan Allah
memujinya dengan sifat Indah-Nya.” Maka Cinta Allah kepada
hamba menurut pandangan ini, yaitu kembali kepada Kalam-Nya, dan
Kalam-Nya adalah Qadim.”
407
Sebagia Sufi berkata : “Cina-Nya kepada si hamba termasuk
sifat-sifat tindakan-Nya, yaitu sebagai manisfestasi Ihsan-Nya,
dimana Allah menemui Hamba-Nya. Sekaligus adalah ihwal ruhani
khusus, dimana sang hamba menaiki tahapannya, sebagai
diungkapkan kaum Sufi : “Rahmat-Nya kepada si hamba adalah
nikmat-Nya menyertai-Nya.”
Sekelompok ulama salaf berkata : “Mahabbah-Nya merupakan
sifat-sifat kebajikan. Mereka mengucapkan melaui teks dan
menghindar dari penafsiran. Selain itu semua, termasuk hal yang
rasional dalam sifat-sifat cinta makhluk, semisal kecondongan hati
pada sesuatu atau menyenangi sesuatu, seperti juga situasi
kemesraan antara pecinta dan yang dicintainya antar sesama
manusia; Maka Allah swt. Yanga Maha Qadim jauh dari semua itu.
Mengenai cinta si hamba terhadap Alah swt. itu adalah keadaan
yang dialami dalam hatinya, yang terlalu lembut untuk dikatakan.
Keadaan ini mendorong si hamba untuk ta’zim kepada-Nya,
memperioritaskan ridha-Nya, hanya memiliki sedikit saja kesabaran
dalam berpisah dengan-Nya, merasakan kerinduanyang mendesak
kepada-Nya, tidak menemuka kenyamanan dalam sesuatu pun selain-
Nya, dan mengalamai keceriaan hatinya dengan melakukan dzikir
yang terus menerus kepada-Nya dalam hatinya.”
Cinta si hamba kepada Allah swt. tidaklah berupa
kecenderungan manusiawi. Bagaimana bisa? Sedang hakikat
kemandirian Allah swt. itu suci dari segala sentuhan, pemahaman
dan pelampauan? Menggambarkan si pecinta sebagai yang musnah
dalam Sang Kekasih adalah lebih tepat daripada menggambarkannya
sebagai memperoleh bentuk simpati pada-Nya. Cinta tidak bisa
disifati dengan sesuatu diskripsi, tidak bisa dibatasi dan dijelaskan
kecuali dengan cinta itu sendiri. Terlibat dalam pembicaraan yang
mendalam di saat timbulnya kesulitan-kesulitan, maka, ketika
408
kesamaran dan kerancuan menghilang, tidak ada lagi kebutuhan
untuk meneggelamkan diri dalam penguraian kalam.
Ungkapan orang tentang cinta cukup banyak. Mereka berbicara
menurut prinsip-prinsip bahasa. Di antara mereka mengatakan, Cinta
(hubb) adalah nama bagi kemurnian cinta kasih, sebab orang Arab
mengatakan tentang gigi yang paling putih dengan habab al-asnaan.”
Dikatakan : “Al-Hubab adalah gelembung-gelembung yang
terbentuk di atas permukaan air ketika hujan lebat. Jadi, cinta
(mahabbah) adalah menggelembungnya hati ketika ia haus dan
berputus asa untuk bersegera bertemu dengan sang kekasih.
Dikatakan juga : “Hubb, berakar dari kata Hababul Maa’, adalah
air bah besar. Cinta dinamakan mahabbah karena ia adalah
kepedulian yang paling besar dari cinta hati.”
Dikatakan : “Cinta bersumber dari akar kata yang memiliki arti
keteguhan dan kemantapan. Dikatakan ahabbal ba’iir untuk
menggambarkan seekor unta yang berlutut dan menolak untuk
bangkit lagi. Seakan-akan san pencinta (muhibb) tidak akan
menggerakkan hatinya, jauh dari mengingat sang kekasih (mahbub).”
Dikatakan : “Cinta (hubb) berasal dari kata habb, yang berarti
anting-anting. Penyair berkata :
Ular menjulur-julurkan lidahnya,
Mengabiskan malam di sisi anting-anting,
Mendengarkan rahasia-rahasia.
Dalam syair di atas, digunakan kata habb untuk anting-anting,
dikarenakan posisinya yang tetap di telinga, atau karena goyangnya.
Kedua makna tersebut relevan pada kata cinta.”
Dikatakan : “Cinta dari kata habb (biji-bijian) yang merupakan
jama’ dari habbat. Dan habbabul qalb adalah sesuatu yang menjadi
penopangnya. Dengan demikian cinta dinamakan hubb dikarenakan ia
tersimpan dalam kalbu.”
409
Dikatakan : “Kata hubb berasal dari kata hibbah, yang berarti
biji-bijian dari padang pasir. Cinta dinamai Hubb adalah lubuk
kehidupan, seperti hubb sebagai benih tumbuh-rumbuhan.”
Dikatakan : “Hubb adalah keempat sisi tempat air. Cinta
dinamakanhubb karena ia memikul beban dari yang dicintai, dari
segala hal yang luhur maupun yang hina.”
Dikatakan juga : “Cinta berasal dari kata hibb, tempat yang di
dalamnya ada air, dan manakala ia penuh, tidak ada lagi tempat bagi
lainnya. Demikian pula, manakala hati diluapi cinta, tak ada lagi
tempat lagi selain sang kekasih.”
Sementara ungkapan-ungkapan para tokoh sufi, antara lain :
“Cinta berarti mengutamakan sang kekasih di atas semua yang
yang dikasihi.”
“Cinta adalah senantiasa condong kepada sang kekasih dengan
hati bimbang.”
“Cinta adalah bahwa kesesuaian diri dengan Sang Kekasih, di
alam nyata maupun gaib.”
“Cinta adalah peleburan si pecinta aats sifat-sifatnya dan
peneguhan Sang Kekasih dengan Dzat-Nya.”
“Cinta adalah relevansi hati dengan Kehendak Tuhan.”
“Cinta berarti ketakutan bila berlaku kurang hormat ketika
menegakkan baktinya.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Cinta adalah membebaskan
hal-hal sebesar apa pun yang datang dari dirimu, dan membesar-
besarkan hal-hal kecil yang datang dari kekasihmu.”
Sahl mengatakan : “Cinta berarti memeluk ketaatan dan
berpisah dari sikap kontra.”
Al-Junayd ditanya tentang cinta, dia menjawab : “Cinta berarti
merasuknya sifat-sifat Sang Kekasih mengambil alih sifat-sifat
pecinta.” Di sini al-Junayd menunjukkan betapa hati si pencinta
410
direnggut oleh ingatan kepada Sang Kekasih, hingga tak satu pun
yang tertinggal selain ingatan akan sifat-sifat Sang Kekasih, hingga
si pecinta lupa dan tidak sadar akan sifat-sifatnya sendiri.”
Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary mengatakan : “Hakikat cinta
berarti bahwa engkau memberikan segenap dirimu kepada Dia yang
kau cintai, hingga tak satu pun yang tersisa.”
Dulaf asy-Syibly menjelaskan : “Cinta disebut “mahabbah”
karena ia melenyapkan segala sesuatu dari hati, selain Sang
Kekasih.”
Ahmad bin Atha’ menegaskan : “Cinta berarti menegakkan
cacian selamanya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menegaskan pula : “Cinta adalah
kelezatan, tetapi kedudukan hakikatnya adalah kedahsyatan.” Saya
mendengar beliau juga mengatakan : “Asyik masyuk cinta adalah
melampaui semua batas cinta. Dan Allah swt. tidak bisa digambarkan
sebagai melampaui batas, Jadi Dia tidak bisa disifati sebagai
memiliki sifat asyik (‘isyq). Jika seluruh cinta manusia dikumpulkan
pada satu pribadi orang, maka cinta itu akan masih sangat jauh dari
kadar cinta yang seharusnya dipersembahkan kepada Allah swt.
Tidak bisa dikatakan, Orang ini telah melampaui semua batas dalam
mencintai Allah swt. Allah tidak bisa dikatakan memiliki sifat cinta
yang asyik masyuk. Tidak pula si hamba bisa digambarkan sebagai
memiliki Sifat-sifat-Nya, bahwa Allah swt. berkobar cinta-Nya.
Cinta yang berkobar-kobar (‘isyq) tidak bisa digunakan dalam
menggambarkan hubungan antara manusia dengan Allah swt. Sebab
tidak ada dasar untuk mengaitkan hal itu dengan Allah swt. baik dari
Dia kepada si hamba ataupun dari hamba kepada Allah swt.” (Al-Haq
tidak asyik dalam masyuk hamba-Nya, begitu pula hamba, tidak
dalam asyiknya al-Haq, ed).
411
Asy-Syibly berkata : “Cinta berarti engkau cemburu demi Sang
Kekasih, bila seorang manusia sepertimu juga mencintai-Nya.”
Ketika ditanya tentang cinta, Ahmad bin Atha’ menjawab :
“Cinta adalah pohon yang ditanamkan dalam hati, yang berbuah
sesuai dengan kadar akal.”
Manshur bin Abdullah mengisahkan bahwa Nashr Abadzy
berkomentar : “Satu macam cinta bisa mencegah pertumpahan
darah, sedangkan macam yang lain menyebabkan pertumpahan
darah.”
Sumnun bin Hamzah al-Khawwas menyatakan : “Para pecinta
Allah swt. telah pergi membawa akemuliaan di dunia dan akhirat,
sebab Nabi saw. bersabda : “Seseorang akan bersama dengan orang
yang dicintai.” (H.r. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi). Dan mereka pun
bersama Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Hakikat cinta adalah bahwa ia
tidak akan berkurang manakala seseorang mengalami kekeringan,
tidak pula bertambah jika dia disuguhi kebaikan. “Katanya pula :
“Orang yang mendakwakan diri mencintai Allah swt. adalah pendusta
jika dia mengabaikan hukum-hukum yang ditetapkan-Nya.”
Al-Junayd menegaskan : “Jika cinta seseorang itu benar, maka
anturan adab telah gugur.”
Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq bersyair dalam kaitan ucapan
Junayd :
Jika telah murni kasih sayang manusia,
Dan cinta mereka lestari,
Memuji telah menjadi kasar.
Al-Junyad juga mengatakan : “Anda tidak akan menjumpai
seorang ayah yang baik memanggil anaknya dengan panggilan yang
penuh penghormatan, sementara orang lain menggunkana sebutan
412
yang penuh kesantunan untuk memanggil anaknya itu. Si ayah
biasanya memanggil “Hai Fulan”.
Muhammad bin Ali al-Kattany berkata : “Cinta adalah
mengutamakan segalanya bagi Sang Kekasih.”
Bundal ibnul Husian berkata : “Seseorang bermimpi melihat
Majnun dan Banu Amir dan bertanya kepadanya : “Apa yang telah
dilakukan Allah swt. terhadapmu?” Majnun menjawab : “Dia telah
mengampuniku dan menjadikanku sebagi hujjah bagi para pecinta.”
Abu Ya’qubas-Susuy mengatakan : “Hakikat cinta adalah bahwa
si hamba melupakan bagian dari Allah swt. dan juga lupa akan
kebutuhannya terhadap Allah swt.”
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj mengatakan : “ Hakikat cinta
adalah tegakmu bersama Kekasihmu dan mencopot sifat-sifatmu.”
Saya mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy
mengisahkan, bahwa seseorang mengatakan kepada an-Nashr
Abadzy : “Engkau belum pernah mengalami cinta!” Dia menjawab :
“(Orang yang berkata begitu), benar. Tetapi aku menanggung
kesedihan mereka, dan di sana lah aku terbakar di dalamnya.” Dia
juga mengatakan : “Cinta adalah menghindari kelalaian dalam semua
keadaan.”
Kemudian dia bersyair :
Orang yang hasrat cintanya panjang
Akan merasakan kelupaan,
Sungguh, dari Layla, diriku bukan perasa.
Semakin banyak menemuinya
Harapanku tak tergapai
Berlalu secepat kilatan cahaya.
Muhammad ibnu Fadhl al-Farawy mengatakan : “Cinta berarti
gugurnya semua cinta, kecuali cinta Sang Kekasih.”
413
Al-Junayd mengatakan : “Cinta adalah mengabaikan hasrat
tanpa harap.”
Dikatakan : “Cinta adalah gangguan yang ditempatkan oleh Sang
Kekasih dalam hati.”
Dikatakan juga : “Cinta adalah cobaan besar yang ditempatkan
dalam hati dari yang dihasrati.”
Ahmad bin Atha’ membacakan syair :
Kutanam satu cabang cinta para pecinta “
Cinta menumbuhkan cabang-cabang, dan hasrat rindu yang
mematang
Dan meninggalkan aku dari rasa pahit dari buah-buahan yang
manis,
Hasrat dari semua perindu adalah cintanya,
Jika mereka menelusurinya, ternyata dari akar itu.
Dikatakan : “Awal mula cinta adalah penipuan, dan akhirnya
pembunuhan.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan komentar tentang
hadits Nabi saw. : “Cinta terhadap sesuatu, membutakan dan
menulikan.” (H.r. Abu Dawud, dari Anas bin Malik), bahwa cinta
membutakan seseorang terhadap orang lain karena cemburu,
sedangkan terhadap sang kekasih karena rasa kharisma.
Kemudian beliau membacakan syair :
Jika kebesan-Nya yang tidak tampak padaku,
Aku akan terusir kembali dalam keadaan sama
Dengan orang belum pernah berhasrat.
Al-Harits al-Muhasiby menjelaskan : “Cinta adalah
kecenderunganmu kepada sesuatu dengan sepenuhnya, kemudian
engkau mengutamakan padanya dibanding dirimu, jiwamu dan harta
bendamu, kemudian berada dalam keserasian dengannya, baik secara
414
lahir maupun batin, kemudian menginformasikan atas kekuranganmu
dalam mencintai-Nya.”
As-Sary as-Saqathy mengatakan : “Tidak bisa dikatakan cinta
yang sebenarnya jika dua pihak tidak bisa mengatakan kepda
amasing-masing dengan ungkapan “Wahai diriku”.
Asy-Syibly berkata : “Sang pecinta akan binasa jika diam,
tetapi sang ‘arif akan binasa jika tidak berdiam diri.”
Dikatakan : “Cinta adalah api dalam hati yang membakar segala
sesuatu selain kehendak sang kekasih.”
Dikatakan juga : “Cinta adalah upaya besar sementara sang
pecinta melaksanakan kehendak sang kekasih.”
Ahmad an-Nury mengatakan : “Cinta berarti merobek tabir dan
menyingkap rahasia-rahasia.”
Abu Ya’qub as-Susy berkata : “Cinta tidak sah tanpa keluar dari
melihat cinta menuju penglihatan Sang Kekasih, dengan kefana’an
ilmu cinta.”
Al-Junayd menuturkan : “As-Sary memberikan sepotong kertas
kepadaku dan tertulis : “Ini lebih baik bagimu daripada tujuhratus
kisah atau hadits.’ Dan di sana ada bait-bait syair :
Ketika aku mengaku cinta
Ia berkata : “Engkau bohong padaku”
Lalu apa bagiku, ketika kulihat tubuhmu nan bulat nan elok?
Tiada cinta, melainkan sampai hati melekat pada urat di dalam
Sedang engkau layu sampai tak tersisa
Untuk menjawab sang penyeru
Dan engkau terpatah-patah sampai tak ada lagi hasrat cinta
Selain mata yang menangis dan ..
Penuh Munajat.....
Ibnu Masruq berkomentar : “Aku hadir ketika Samnun sedang
berbicara tentang cinta, dan semua lampu di masjdi lalu pecah.”
415
Dikatakan : “Suatu ketika aku sedang mendengarkan Samnun
berbicara tentang cinta di masjdi, tiba-tiba seekor burung kecil
datang dan mendekat ke arahnya. Ia terus mendekat hingga
akhirnya hinggap di tangannya. Kemudian ia mematuk-matukkan
paruhnya ke lantai sampai darah mengalir dari mulutnya, kemudian
mati.”
Al-Junayd menjelaskan : “Semua cinta dengan satu tujuan. Jika
tujuan itu hilang, maka cinta pun akan hilang pula.”
Diceritakan bahwa sekelompok orang datang mengunjungi Asy-
Syibly ketika dia sedang ditahan di rumah sakit jiwa. Dia bertanya,
“Siapa kalian ini?” Mereka menjawab : “Kami adalah orang-orang
yang mencintaimu, wahai Abu Bakr!.” Syibly menghadap mereka
lantas melempari mereka dengan batu, sembari berkata : “Jika
kalian mengaku benar-benar mencintaiku, tentu kalian akan
bersabar atas ujian yang menimpaku.” Lalu dia mendendangkan syair
:
Wahai Tuhan Mulia, cinta kepadamu tersimpan daam hati.
Wahai Engkau yang menghilangkan tidur dari kelopak mataku,
Engkau tahu semua yang menimpaku.
Yahya bin Mu’adz menulis kepada Abu Yazid al-Bisthamy : “Aku
mabuk karena terlalu banyak meminum dari cangkir cinta-Nya.” Abu
Yazid membalas suratnya : “Orang lain meminum lautan langit dan
bumi namun rasa hausnya belum terpuaskan, sembari berkata, Apa
masih ada lagi?”
Para Sufi bersyair :’Aku kagum bagi yang berkata,
‘Aku mengingat-ingat kekasihku.’
Adakah aku bisa melupakan, lalu aku masih ingat yang kulupa?”
Aku mati, tapi apa aku mengingat-Mu, aku hidup kembali.
Kalau-lah bukan karena husnudzanku pada-Mu
Aku tak kan hidup
416
Aku hidup dengan harapan, dan aku mati karena rindu.
Berapa kali aku hidup melalui harapan pada-Mu,
Dan berapa kali aku telah mati!
Aku meminum air cinta dan piala ke piala
Namun piala tetap penuh jua
Hausku tak henti-hentinya.
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Isa as. : “Jika
Aku melihat kepada hati seorang hamba dan Aku tidak menemukan
cinta terhadap dunia ataupun akhirat, maka Aku akan memenuhinya
dengan cinta-Ku.”
Saya melihat tulisan Syeikh Abu Ali ad- Daqqaq : “Salah satu
kitab wahyu menegaskan : “Wahai hamba-Ku, Aku demi hakmu
bagimu, sebagai Pecinta, maka demi hak-Ku jadilah engkau bagi-Ku
sebagai pecinta.”
Abdullah ibnul Mubarak mengatakan : “Barang siapa dianugerahi
satu bagian cinta tapi tidak dianugerahi sejumlah rasa takut yang
sama, berarti tertipu.”
Dikatakan : “Cinta menghapus semua bekas dirimu.”
Dikatakan pula : “Cinta adalah kemabukkan; kesadaran hanya
datang dengan melihat Sang Kekasih. Keetika melihat Kekasih
justru tak bisa dibayangkan.”
Para Sufi membacakan syair berikut :
Piala berputar, mereka pun mabuk,
Sedang mabukku datang dari si pemutar piala
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq sering membacakan syair berikut :
Aku menikmati dua mabuk
Sedangkan teman-teman minumku hanya satu
Sesuatu yang istimewa bagiku di antara mereka
Yang mendapat anugerah itu
417
Ibnu Atha’ mengatakan : “Cinta berarti mengundang celaan yang
terus menerus.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mempunyai seorang budak perempuan
bernama Fairuz yang beliau cintai, karena telah berbakti begitu
lama. Beliau mengatakan kepadaku : “Pada suatu hari Fairuz
menghinaku, dengan mengucapkan kata-kata nyerocos. Abu Hasan
al-Qari’ bertanya kepadanya : “Mengapa engkau menyakiti Syeikh?”
Dia menjawab, “Karena saya mencintainya.”
Yahya bin Mu’adz menyatakan : “Aku lebih suka memiliki cinta
sebesar biji sawi daripada ibadat selama tujuhpuluh tahun tanpa
cinta.”
Diceritakan bahwa seorang pemuda memandang kepada orang-
orang yang berkumpul pada hari hari taya dan bersyair :
Siapa yang mati dalam keluhan cinta
Matilah seperti itu,
Tak baik dalam cinta tanpa kematian
Kemudian dia melemparkan dirinya dari atas rumah dan mati.
Diceritakan bahwa seorang laki-laki dari India menaruh cinta
yang berkobar-kobar kepada seorang budak perempuannya. Pada
suatu hari si budak meninggalkannya, dia keluar untuk mengucapkan
selamat berpisah kepadanya. Airmata mengalir dari salah satu
matanya, tapi matanya yang satu lagi tidak mengeluarkan airmata.
Selama delapanpuluh empat tahundia menutup matanya yang tak
menangis itu sebagai hukuman karena tidak menangis ketika
kekasihnya pergi. Mengenai hal ini para Sufi bersyair :
Sebelah mataku menangis di pagi hari ketika berpisah,
Namun mata yang lain kikir pada kami untuk menangis.
Maka kuhukum mata yang kikir airmata
Dengan menutupnya di hari ketika kami saling bertemu.
418
Salah seorang Sufi berkata : “Pada suatu hari ketika kami
sedang berbincang-bincang dengan Dzun Nuun al-Mishry tentang
cinta, dia meminta, dengan bersyair :
Takut lebih utama daripada terjerumus pelaku kejahatan
Ketika dia meratap, dan sedih
Sementara cinta cocok buat mereka yang saleh dan benar-
benar suci.”
Yahya bin Muadz mengatakan : “Siapa yang menyebarkan cinta
di kalangan orang-orang yang bukan ahlinya, adalah pendusta dalam
pernyataan-pernyataannya.”
Samnun lebih mengutamakan ma’rifat atas cinta. Menurut
mereka yang telah mencapai hakikat, cinta berarti lebur ke dalam
keadaan kemanisan, dan ma’rifat berarti menyaksikan dalam
keadaan bingung dan terhapus dalam kegentaran.
Abu Bakr al-Kattany menuturkan : “Persoalan cinta sedang
dibicarakan di antara para syeikh di Mekkah selama musim haji. Al-
Junayd adalah orang termuda yang hadir. Mereka memanggilnya
suatu kali, dan bertanya kepadanya : “Hai orang Irak, kaakanlah
kepada kami apa pendapatmu. Al-Junayd menundukkan kepalanya
dan menangis, kemudian menjawab : “Cinta adalah seorang pelayan
yang meninggalkan jiwanya dan meletakkan dirinya pada dzikir
kepada Tuhannya, mengukuhkan diri dalam melaksanakan perintah-
perintah Tuhan dengan kesadaran yang terus menerus akan Dia
dalam hatinya. Cahaya Dzatnya membakar hatinya dan dia ikut
meminum minuman suci dari cangkir cinta-Nya. Yang Maha Kuasa
terungkapkan kepadanya dari balik tabir alam gaib-Nyam hingga
manakala dia berbicara, dia berbicara dengan perintah Allah, dan
apa yang dikatakannya adalah dari Allah. Manakala ia bergerak, dia
bergerak dengan perintah Allah, dan manakala dia diam, maka
diamnya adalah bersama Allah. Dia akan selalu dengan Allah, bagi
419
Allah dan beserta Allah.” Mendengar kata-kata al-Junayd itu, semua
syeikh itu pun menangis, dan berkata, “Tak ada lagi yang perlu
dikatakan. Semoga Allah menguatkanmu, wahai mahkota para
‘Arifin!.”.
Diriwayatkan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Daud
as : “Aku telah melarang cinta untuk-Ku memasuki hati manusia jika
cinta kepada selain Aku juga punya tempat di dalamnya.”
Abul Abbas, pelayan Fudhail bin ‘Iyadh, menuturkan : “Suatu
ketika Fudhail menderita sakit kencing. Dia mengangkat kedua
tangannya ke atas dan berdoa : “Ya Allah, demi cintaku kepada-Mu,
lepaskanlah penyakit ini dariku.” Kami tidak meninggalkannya sampai
akhirnya ia pun sembuh.”
Saya mendengar Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan bahwa cinta
berarti lebih mengutamakan orang lain, seperti cinta permaisuri
Raja Aziz ketika dia menyesali perbuatannya : “Akulah yang
menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan
sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” (Qs. Yusuf :
51). Sebelumnya dia telah mengatakan : “Apakah pembalasan
terhadap orang yang bermaksud serong dengan isterimu, selain
dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?” (Qs. Yusuf :
25). Jadi, mula-mula dia menuduh Yusuf telah berbuat dosa, tetapi
akhirnya dia menyalahkan dirinya sendiri atas penghianatannya itu.
Abu Sa’id Hamdun al-Kharraz mengatakan : “Aku bermimpi
bertemu dengan Nabi saw. dan aku berkata kepada beliau : “Wahai
Rasulullah, maafkanlah saya. Sebab cinta saya kepada Allah swt.
telah memenuhi kalbu saya dan tidak menyisihkan cinta bagimu.”
Beliau menjawab : “Wahai orang gyang diberekati, barangsiapa
mencintai Allah swt. berarti ia emncintaiku.”
Diceritakan tentang munajat Rabi’ah Adawiyah : “Tuhanku,
akankah Engkau membakar hati yang mencintai-Mu dengan api?”
420
Tiba-tiba muncul bisikan : “Kami tidak akan melakukan hal seperti
itu, Engkau jangan menyanggka buruk kepada Kami.”
Dikatakan : “Kata cinta (hubb) terdiri dari dua huruf “Ha” dan
“ba”, yang mengisyaratkan bagi pecinta, hendaknya meninggalkan
ruh, kalbu dan badannya.” Sebagai dinyatakan oleh pendapat Ijma’
di kalangan para Sufi, cinta adalah penyesuaian dengan hati,
sedangkan cinta menafikan secara psti adanya pertentangan.
Pecinta selalu bersama Sang Kekasih. Dalam hal ini didukung oleh
sebuah hadits, riwayat Abu Musa al-Asy’ary yang mengatakan bahwa
seseorang bertanya kepada Nabi saw. : “Dapatkah seseornag
mencintai suatu kaum tapi tidak pernah bertemu dengan mereka?”
Nabi menjawab : “Seseorang akan bersama dengan orang yang
dicintai.”
Abu Hafs menegaskan : “Kerusakan kondisi ruhani, rata-rata
karena tiga perkara : Kefasikan para arifin, penghgianatan para
pecinta (muhibbin), dan dustanya para muridin (pemula).”
Abu Utsan berkata : “Dosa para ‘arifin adalah menggunakan
ucapan, penglihatan, dan pendengaran mereka untuk kepentingan
duniawi dan memperoleh keuntungan darinya. Penghianatan para
pencinta adalah mengutamakan hawa nafsu mereka sendiri dibanding
keridhaan Allah swt. dalam urusan-urusan yang mereka hadapi.
Dusta para pemuda adalah bahwa mereka lebih peduli terhadap
kesadaran akan manusia dan perhatian mereka daripada dzikir dan
memandang kepada Allah swt.”
Abu Ali Mumsyad bin Sa’id al-Ukbary menuturkan : Seekor
burung pipit jantan mencoba mencumbu seekor burung pipit betina
di bawah kubah Nabi Sulaiman as, tetapi si betina menolak. Si
jantan bertanya kepadanya : “Bagaimana kamu bisa menolakku
sedangkan jika aku mau, aku bisa membuat kubah ini runtuh
menimpa Suaiman?” (Sementara Sulaiman mendengar pembicaraan
421
kedua burung itu, karena memang beliau diberi kemampuan oleh
Allah swt. untuk mengerti dialog burung), lalu beliau memanggilnya
dan menanyakan kepadanya : “Apa yang membuatmu berkata
begitu?” Si burung menjawab : “Wahai Nabi Allah, para perindu yang
masyuk tidak bisa dituntut melalui kata-katanya.” Sulaiman
menjawab : “Anda benar.!”
47.
RINDU
Allah swt. berfirman :
“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka
sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang, Dan
Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.: (Qs. Al-Ankabut : 5).
Atha’ bin as-Sa’ib menuturkan bahwa ayahnya menceritakan
kepadanya : “Suatu ketika Ammar bin Yasir mengimami kami shalat
dan dia mempercepatnya. Aku berkata : “Anda tergesa-gesa dalam
mengimami shalat, wahai Abul Yqzan.” Dia menjawab : “Hal itu tidak
ada salahnya, karena aku memanjatkan kepada Alalh sebuah doa
yang pernah kudengar dari Rasulullah saw.” Ketika hendak beranjak,
salah seorang jamaah mengikutinya dan bertanya kepadanya tentang
doa yang dibacanya itu. Dia pun mengulanginya : “Ya Allah dengan
ilmu-Mu yang gaib dan dengan kekuasaanmu atas semua makhluk,
hidupkanlah aku jika Engkau tahu bahwa hidup itu membawa
kebaikan untukku, dan matikanlah aku jika Engkau tahu bahwa mati
itu membawa kebaikan untukku. Ya Allah, aku meminta kepada-Mu
agar aku takut kepada-Mu dalam semua perkara, baik yang nyata
maupun yang gaib. Aku memohon kepada-Mu ungkapan yang benar
ketika aku senang maupun ketika aku marah. Aku mohon kepada-Mu
kesederhanaan dalam kekayaan amupun kemiskinan. Aku mohon
422
kepda-Mu kesenangan yang tak abadi, dan kesejukan jiwa yang tak
terputus. Aku mohon kepda-Mu keridhaan dengan apa yang telah
ditentukan. Dan aku mohon kepada-Mu kehidupan yang sejuk
sesudah mati. Aku mohon agar bisa melihat Wajah-Mu yang Mulia,
dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu tanpa bahaya yang
mengancam, ayau menjadi korban fitnah yang menyesatkan. Ya
Allah, hiasilah kami dengan keindahan iman. Ya Allah, jadikanlah
kami sebagai pemberi petunjuk maupun penerima petunjuk.”
Rindu adalah keadaan gairah hati yang berharap untuk
berjumpa dengan Sang Kekasih. Kadar rindu tergantung besar
volume cinta.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq membedakan antara
rindu dan hasrat yang bergolak, katanya : “Rindu ditentramkan oleh
perjumpaan dan memandang. Sedangkan hasrat yang bergolak tidak
sirna karena pertemuan.”
Mengenai konteks ini pra Sufi bersyair :
Mata tak pernah berpaling ketika memandang-Nya.
Sehingga kembali kepada-nya, penuh gelora.
An-Nashr Abadzi menyatakan : “Semua orang mempunyai tahap
kerinduan. Namun tidak semuanya mengalamai tahap gelora, dan
siapa yang memasuki gelora itu, justru akan linglung, sehinggaia
tidak dipandang lagi pengaruh atau kesan dan keteguhan.”
Diceritakan bahwa Ahmad bin Hamid al-Aswad datang kepada
Abdullah ibnul Mubarak dan berkata kepadanya : “Aku bermimpi
engkau akan meninggal setahun lagi. Barangkali engkau harus
bersiap-siap untuk keluar dari dunia.” Abdullah ibnul Mubarak
menjawab : “Engkau memberiku waktu yang lama, aku hidup sampai
setahun penuh! Padahal aku selalu menyukai syair yang kudengar
dari Abu Ali ats-Tsaqafy :
Wahai yang tercekam rindu karena perpisahan panjang
423
Bersabarlah, siapa tahu esok
Engkau bertemu Sang Kekasih.”
Abu Utsman menuturkan : “Tanda rindu adalah mencintai
kematian dengan hati yang ringan.”
Yahya bin Mua’dz menyatakan : “Tanda rindu adalah
membebaskan tubuh dari hawa nafsu.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Pada suatu hari Daud
as. Pergi sendirian ke padang pasir, kemudian Allah swt. menurunkan
wahyu kepadanya : “Wahai Daud, Aku tidak memandangmu sebagi
orang yang sendirian!” Daud menjawab : “Tuhanku, aku terpengaruh
oleh kerinduan dalam hatiku untuk bertemu dengan-Mu, lantas
terhalang antara diriku untuk bergaul sesama manusia.” Maka Allah
swt. lalu berfirman : “Kembalilah kepada mereka. Sebab, bila engkau
mendatangi-Ku bersama seorang hamba yang lari dari tuannya, Aku
tetapkan dirimu di Laih Mahfudz sebagai seorang arih yang bijak.”
Diceritakan, ada seorang wanita tua yang didatangi oleh pemuda
yang termasuk kerabatnya. Keluarga lainnya merasa gembira, namun
wanita itu justru menangis tersedu. Ia ditanya : “Apa yang engkau
tangisi?” Wanita itu menjawab : “Aku teringat kedatangan pemuda
itu, jika kelak di hari kedatangan kita kepada Allah swt.”
Ketika Ahmad bin Atha’ ditanya tentang rindu, dia menjawab,
“Jiwa yang terbakar, kalu yang berkobar, dan jantung yang
berkeping-keping.”
Pada kesempatan lain dia ditanya : “Manakah yang lebih utama,
rindu ataukah cinta?” Ibnu Atha’ menjawab : “Cinta, karena rindu
terlahir dari cinta.”
Salah seorang Sufi menyatakan : “Rindu adalah kobaran dari
jiwa, dan apinya menjilat-jilat ketika berpisah. Bila pertemeuan
tiba, api itu jadi padam. Bila yang dominan pada rahasia batinnya
adalah penyaksian sang kekasih, kerinduan tak melintas lagi.”
424
Seorang Sufi ditanya : “Apakah Anda pernah mengalami
kerinduan?” Dia menjawab : “Tidak. Rindu hanya bagi pecinta yang
tak bersama kekasihnya. Sedangkan Kekasih sebenarnya, senantiasa
hadir.”
Saya mendengar Syeikh Abi Ali ad-Daqqaq memberi komentar
atas firman Allah swt. “ .... dan aku bergerak kepadamu, wahai
Tuhanku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)” (Qs. Thaha :84).
Arti ayat ini : “Aku bergerak kepada-Mu karena indu kepada-Mu.”
Namun disamarkan melalui kata ridha.”
Ad-Daqqaq juga berkata : “Salah satu tanda rindu adalah
harapan pada kematian dalam hamaparan ampunan yang sejahtera.
Begitulah Nabi Yusuf as. Ketika dilemparkan ke dalam sumur, beliau
tidak berkata : “Biarkanlah aku mati saja!” Ketika dimasukkan ke
dalam penjara, beliau juga tidak mengatakan : “Biarkanlah aku mati
saja!”. Tetapi keetika orangtuanya datang kepadanya dan semua
saudaranya bersujud kepadanya, beliau berkata : “Wafatkanlah aku
dalam keadaan Islam (Qs. Yusuf :1010).” Mengenai hal ini para Sufi
bersyair :
Kami dalam puncka kegembiraan,
Namun tak bisa sempurna,
Kecuali dengan kalian
Cacat yang ada pada kami,
Wahai orang-orang yang kucintai,
Engkau semua digaibkan
Sedang kami telah hadir.
Mereka juga bersyair :
Siapakah yang memeriahkan pesta raya,
Padahal aku sungguh berduka,
Kegembiraan telah penuh bagiku
Bila kekasih-kekasihku tiba.
425
Abu Abdullah bin Khafif mengatakan : “Rindu adalah hembusan
kalbu yang muncul karena pesona, kecintaan untuk bertemu dan rasa
ingin berdekatan.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Allah swt. mempunyai hamba-
hamba tertentu, jika Dia menutup tirai bagi mereka, maka mereka
akan memohon agar dikeluarkan dari surga sebagaimana para
penghuni neraka minta dikeluarkan dari neraka.”
Al- Husain al-Anshary berkata : “Aku bermimpi bahwa hari
Kiamat telah tiba. Kulihat ada seseorang yang berdiri di bawah
‘Arasy, Alalh swt. lalu bertanya : “Wahai para malaikat-Ku, siapakah
orang ini?” Menereka menjawab : “Engkau lebih Maha Mengetahui.”
Maka Allah swt. pun berfirman : “Inilah Ma’ruf al-Karkhy. Dia
mabuk karena mencintai-Ku; dan tak akan sadar kecuali berjumpa
dengan-Ku.” Riwayat lain mengatakan : “Inilah Ma’ruf al-Karkhy. Dia
meninggalkan dunia dalam keadaan rindu kepada Alalh. Maka Alalh
lalu memperkenankannya menatap Wajah-Nya.”
Farais menegaskan : “Hati para perindu disinari dengan cahaya
Alalh swt. Manakala Gairah kerinduan mereka membara, cahaya itu
menerangi langit dan bumi, dan Allah swt. menunjukkan kepada
malaikat-malaikat-Nya, seraya berfirman : “Mereka adalah perindu-
perindu kepada-Ku, Aku bersaksi pada kalian bahwa Aku pun
sesungguhnya lebih rindu kepada mereka.”
Syeikh Abu Ali ad- Daqqa pernah menjelaskan mengenai sabda
Nabi saw. : “Aku memohon kepada-Mu agar diberi rindu untuk
berjumpa dengan-Mu.” Komentar Abu Ali : “Rindu itu terdiri dari
seratus bagian. Nabi memiliki sembilan puluh sembilan bagian, dan
yang satu bagian dibagi-bagi di kalangan umat manusia.” Abu Ali juga
menginginkan yang satu bagian itu, karena beliau cemburu jika satu
bagian rindu diberikan kepada orang lain.”
426
Dikatakan : “Kerinduan orang-orang yang muqarrabun lebih
sempurna dibanding kerinduan mereka yang terhijab dari
kehadiran-Nya.”
Demikianlah dikatakan penyair :
Sebutuk kerinduan suatu ketika
Bila tanda-tanda saling mendekat.
Dikatakan juga : “Para perindu saling merasakan manisnya
kematian, ketika menjemputnya, semata karena jiwa pertemuan
telah terbuka melebihi manisnya penyaksian.”
As-Sary menyatakan : “Rindu adalah maqam teragung bagi
seorang ‘arif manakala telah terwujud di dalamnya. Manakala dia
mencapai kerinduan, dia menjadi lupa akan segala sesuatu yang
menjauhkan dari yang dirindukannya.”
Abu Utsman bin Sa’id al-Hiry berkomentar mengenai firman
Allah swt. “Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka
sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang.” (Qs.
Al-Ankabut :5). “Ayat ini sebagai penentram bagi para perindu.
“Tafsirnya : “Aku tahu bahwa rindu kalian kepada-Ku begitu kuat.
Aku telah menetapkan satu waktu bagi kalian untuk berjumpa
dengan-Ku. Kalian semua akan segera datang kepada Yang kalian
rindukan.”
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Daud as. :
“Katakanlah kepada para pemuda Bani Israil : “Mengapa kalian
menaruh kepeduan selain kepada-Ku, sedangkan Aku merindukanmu?
Dusta macam apa ini?”
Allah swt. juga menurunkan wahyu kepada Daaud as. : “Jika saja
mereka yang telah berpaling dari-Ku mengetahui bagaimana Aku
telah menunggu mereka, melimpahkan kasih sayang kepada mereka,
dan kerinduan-Ku agar mereka meninggalkan kemaksiatan terhadap-
Ku, pasti mereka mati semua karena rindu mereka, dan sendi-sendi
427
mereka remuk karena cinta kepada-Ku. Wahai Daud, inilah
Kehendak-Ku terhadap mereka yang telah berpaling dari Ku, lalu
bagaimana kemauan-Ku terhadap mereka yang menghadap kepada-
Ku?”
Dikatakan bahwa dalam kitab Taurat tertulis : “Kami sangat
merindukan kalian semua, namun kalian tidak saling membalas rindu;
Kami tanamkan rasa takut dalam dirimu, tapi kalian sendiri tidak
merasa takut. Dan kami memberi ratapan kepada kalian, sayangnya
kalian semua tidak pernah meratap.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika Syu’aib
menangis hingga matanya buta. Allah swt. mengembalikan
penglihatannya. Dia menangis lagi sampai buta kembali, dan Allah
swt. mengembalikan lagi penglihatannya. Kemudian ia menangis
sampai buta, lantas Allah swt. mewahyukan : “Jika engkau menangis
karena neraka, maka Aku pun telah menjadidkanmu selamat
darinya.” Syu’aib menjawab : “Bukan itu. Aku menangis karena rindu
kepada-Mu.” Lalalu Allah berfirman padanya : “Karena itu Aku
menunjuk Nabi-Ku dan Kalimat-Ku untuk melayanimu selama sepuluh
tahun.”
Dikatakan : “Barangsiapa rindu kepada Alalh swt. maka segala
sesuatu merindukannya.”
Dan dalam Hadits disebutkan : “Surga merindukan tiga orang :
Ali, Ammar dan Salman.”
Malik bin Dinar mengatakan : “Aku membaca dalam Taurat
begini : “Kami bangkitkan rindu dalam dirimu, tetapi kamu sekalian
tidak rindu kepada Kami. Kami mainkan seruling untukmu, tetapi
engkau tidak menari.”
Al-Junayd ditanya : “Apa yang membuat seorang pecinta
menangis ketika bertemu dengan Kekasihnya?” Dia menjawab : “Itu
428
hanya karena kegembiraannya pada ang Kekasih, dan kepesonaan
karena kedahsyatan rindu kepada-Nya.”
48.
MENJAGA PERASAAN HATI SYEIKH
Allah swt. berfirman dalam kisah Nabi Musa as. Bersma al-
Khidhr as. :
“Musa berkata kepada Khidhr : “Bolehkah aku mengikutimu
supaya kamu mengajarkan kepada ilmu yang benar di antara ilmu-
ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” (Qs. Al-Kahfi :66).
Al-Junayd berkata : “Ketika Musa ingin berguru kepada Khidr,
beliau menjaga syarat-syarat etika. Pertama, mohon izin dalam
berguru, lantas al-Khidhr memberi syarat kepadanya agar tidak
menentangnya dalam segala hal, dan tidak mengajukan protes atas
keputusannya. Namun ketika Musa as. Mulai kontra terhadapnya,
dibiarkanlah sikapnya yang pertama dan kedua. Tetapi kontra untuk
ketiga kalinya – dan yang ketiga merupakan batas minim dari jumlah
banyak dan awal dari batas banyak – maka terjadilah perpisahan.
Khidhr berkata :
“Inilah perpisahan antara aku dan antara kamu.” (Qs. Al-
Kahfi:78).
Rasulullah saw. bersabda : “Orang muda yang tidak
menghormati seorang guru (Syeikh) karena usianya, melainkan Allah
akan menakdirkan baginya, kelak orang akan menghormati dirinya
saat usianya sudah tua.” (H.r. Tirmidzi).
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Awal
segala perpisahan adalah pertentangan. Yakni, orang yang kontra
dengan syeikhnya, berarti ia tidak menetapi tharikatnya. Hubungan
antara keduanya telah terputus, walaupun keduanya terkumpul
429
dalam satu bidang tanah. Barangsiapa berguru kepada salah satu
syeikh, kemudian dalam hatinya ada kinflik, maka janji pertalian
guru dan murid telah rusak, dan ia wajib berTaubat.”
Salah satu syeikh berkata : “Menyakiti para guru, tidak ada lagi
Taubatnya.”
Saya mendengar Abu Abdurrahman as-Sulamy berkata : “Aku
pergi ke Marw apda saat syeikhku, Abu Sahl ash-Sah’luky masih
hidup. Sebelum aku keluar dulu, pada hari-hari Jum;at pagi selalua
da majelis Khtamul Qur’an. Tetapi ketika aku kembali, majelis
tersebut telah tiada. Diganti dengan suatu forum diskusi yang
dipimpin oleh Abul Ghaffany. Kenyataan itu membuatku gelisah, dan
aku berkata padaku : “Hai Abu Abdurrahman, apa yang
diperbincangkan banyak orang tentang diriku?” Aku berkata
padanya : “Mereka mengatakan; majleis Al-Qur’anul Karim telah
dihilangkan dan diganti majelis diskusi.” Lantas syeikh berkata :
“Siapa saja yang berrkata kepada gurunya : “Mengapa? Maka dia tak
akan bahagia selamanya.”
Uccapan yang populer dari al-Junayd antara lain : “Aku
memasuki rumah Sary as-Saqathy pada suatu hari. Dia
memerintahkan sessuatu padaku, dan aku bergegas memenuhi
kebutuhannya. Maka di saat aku kembali kepdanya, ia memberikan
secarik kerts, sembari berkata : “Inilah kedudukan pemenuhanmu
atas kebutuhanku yang begitu cepat.” Lalu kubaca pada kertas itu,
ternyata di sana tertulis :
Aku mendengar orang yang berjalan di padang pasir menyanyi,
Aku menangis, dan tahukah engkau, mengapa?
Aku menangis karena ketakutan
Bila engkau memisahkan diriku
Bila engkau memisahkan ikatan-ikatan hatiku
Bila engkau menghindar dariku.”
430
Diriwayatkan dari Abul Hasan al-Hamdzany al-Alawy yang
berkata : “Suatu malam aku berada di tempat Ja’far al-Khuldy.
Padahal waktu itu aku diperintah untuk menggantungkan burung di
atas dapur. Hatiku sangat berkait dengan burung itu. Ja’far berkata
padaku : “Bangunlah malam ini.” Aku merasa ada yang mengganjal
dan aku pun pulang. Kukeluarkan burung dari dapur dan kuletakkan
di sisiku. Tiba-tiba ada anjing masuk dari arah pintu. Anjing itu
langsung meraih burung, di saat orang-orang yang hadir alpa. Ketika
esok paginya aku datang ke Ja’far, sejenak pandang matanya
tertuju padaku, dan berkata : “Siapa yang tidak menjaga perasaan
hati para syeikh, ia akan dipaksa oleh anjing yang menyakitinya.”
Abdullah ar-Razy mendengar Abu Utsman Sa’id al-Hiry sedang
menjelaskan sifat Muhammad ibnul Fadhl al-Balkhy, dan memuji-
mujinya. Tiba-tiba Abdullah sangat rindu pada al-Balkhy, kemudian
pergi berziarah pdanya. Namun hatinya tidak berkenan pada
Muhammad ibnul Fadhl. Lalu ia kembali ke Abu Utsman, dan Abu
Utsman bertanya : “Bagaimana, Anda sudah menemuinya?” Abdullah
menjawab : “Aku tak menemui apa-apa sebagaimana kuduga.” Lantas
Abu Utsman berkata : “Karena Anda mengaanggapnya rendah. Dan
tak seorang pun yang menganggap rendah seseorang melainkan ia
terhalang dari sari faedah. Kembalilah padanya dengan penuh
hormat.” Abdullah pun kembali kepadanya dan banyak mengambil
manfaat dari ziarahnya itu.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Ketika penduduk Balkh
mengusir Muhammad ibnul Fadhl dari daerahnya, dia mendo’akan
meraka : “Ya Allah, cegahlah kejujuran dari mereka.” Maka setelah
itu tak seorang jujur pun yang muncul dari daerah Balkh.
Saya mendengar Ahmad bin Yahya al-Abiwady – rahimahullah
ta’ala – berkata : “Barangsiapa syeikhnya ridha, ia tidak akan
menyimpang pada saat hidupnya, dengan maksud agar rasa
431
ta’dzimnya kepda syeikh tersebut tidak hilang. Apabila syeikh telah
meninggal dunia Allah swt. akan menampakkan balasan ridhanya
syeikh kepadanya. Namun, barangsiapa membuat hatinya syeikh
berubah, maka ia tak akan menyipang pada zaman syeikh tersebut
hidup, karena ia tak ingin membelenggunya. Mereka senantiasa
memiliki karakter untuk menghormati. Apabila syeikh tersebut
meninggal dunia, maka pada saat itulah muncul suatu penyimpangan
sepeninggalnya.”
48.
MENJAGA PERASAAN HATI SYEIKH
Allah swt. berfirman dalam kisah Nabi Musa as. Bersma al-
Khidhr as. :
“Musa berkata kepada Khidhr : “Bolehkah aku mengikutimu
supaya kamu mengajarkan kepada ilmu yang benar di antara ilmu-
ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” (Qs. Al-Kahfi :66).
Al-Junayd berkata : “Ketika Musa ingin berguru kepada Khidr,
beliau menjaga syarat-syarat etika. Pertama, mohon izin dalam
berguru, lantas al-Khidhr memberi syarat kepadanya agar tidak
menentangnya dalam segala hal, dan tidak mengajukan protes atas
keputusannya. Namun ketika Musa as. Mulai kontra terhadapnya,
dibiarkanlah sikapnya yang pertama dan kedua. Tetapi kontra untuk
ketiga kalinya – dan yang ketiga merupakan batas minim dari jumlah
banyak dan awal dari batas banyak – maka terjadilah perpisahan.
Khidhr berkata :
“Inilah perpisahan antara aku dan antara kamu.” (Qs. Al-
Kahfi:78).
432
Rasulullah saw. bersabda : “Orang muda yang tidak
menghormati seorang guru (Syeikh) karena usianya, melainkan Allah
akan menakdirkan baginya, kelak orang akan menghormati dirinya
saat usianya sudah tua.” (H.r. Tirmidzi).
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Awal
segala perpisahan adalah pertentangan. Yakni, orang yang kontra
dengan syeikhnya, berarti ia tidak menetapi tharikatnya. Hubungan
antara keduanya telah terputus, walaupun keduanya terkumpul
dalam satu bidang tanah. Barangsiapa berguru kepada salah satu
syeikh, kemudian dalam hatinya ada kinflik, maka janji pertalian
guru dan murid telah rusak, dan ia wajib berTaubat.”
Salah satu syeikh berkata : “Menyakiti para guru, tidak ada lagi
Taubatnya.”
Saya mendengar Abu Abdurrahman as-Sulamy berkata : “Aku
pergi ke Marw apda saat syeikhku, Abu Sahl ash-Sah’luky masih
hidup. Sebelum aku keluar dulu, pada hari-hari Jum;at pagi selalua
da majelis Khtamul Qur’an. Tetapi ketika aku kembali, majelis
tersebut telah tiada. Diganti dengan suatu forum diskusi yang
dipimpin oleh Abul Ghaffany. Kenyataan itu membuatku gelisah, dan
aku berkata padaku : “Hai Abu Abdurrahman, apa yang
diperbincangkan banyak orang tentang diriku?” Aku berkata
padanya : “Mereka mengatakan; majleis Al-Qur’anul Karim telah
dihilangkan dan diganti majelis diskusi.” Lantas syeikh berkata :
“Siapa saja yang berrkata kepada gurunya : “Mengapa? Maka dia tak
akan bahagia selamanya.”
Uccapan yang populer dari al-Junayd antara lain : “Aku
memasuki rumah Sary as-Saqathy pada suatu hari. Dia
memerintahkan sessuatu padaku, dan aku bergegas memenuhi
kebutuhannya. Maka di saat aku kembali kepdanya, ia memberikan
secarik kerts, sembari berkata : “Inilah kedudukan pemenuhanmu
433
atas kebutuhanku yang begitu cepat.” Lalu kubaca pada kertas itu,
ternyata di sana tertulis :
Aku mendengar orang yang berjalan di padang pasir menyanyi,
Aku menangis, dan tahukah engkau, mengapa?
Aku menangis karena ketakutan
Bila engkau memisahkan diriku
Bila engkau memisahkan ikatan-ikatan hatiku
Bila engkau menghindar dariku.”
Diriwayatkan dari Abul Hasan al-Hamdzany al-Alawy yang
berkata : “Suatu malam aku berada di tempat Ja’far al-Khuldy.
Padahal waktu itu aku diperintah untuk menggantungkan burung di
atas dapur. Hatiku sangat berkait dengan burung itu. Ja’far berkata
padaku : “Bangunlah malam ini.” Aku merasa ada yang mengganjal
dan aku pun pulang. Kukeluarkan burung dari dapur dan kuletakkan
di sisiku. Tiba-tiba ada anjing masuk dari arah pintu. Anjing itu
langsung meraih burung, di saat orang-orang yang hadir alpa. Ketika
esok paginya aku datang ke Ja’far, sejenak pandang matanya
tertuju padaku, dan berkata : “Siapa yang tidak menjaga perasaan
hati para syeikh, ia akan dipaksa oleh anjing yang menyakitinya.”
Abdullah ar-Razy mendengar Abu Utsman Sa’id al-Hiry sedang
menjelaskan sifat Muhammad ibnul Fadhl al-Balkhy, dan memuji-
mujinya. Tiba-tiba Abdullah sangat rindu pada al-Balkhy, kemudian
pergi berziarah pdanya. Namun hatinya tidak berkenan pada
Muhammad ibnul Fadhl. Lalu ia kembali ke Abu Utsman, dan Abu
Utsman bertanya : “Bagaimana, Anda sudah menemuinya?” Abdullah
menjawab : “Aku tak menemui apa-apa sebagaimana kuduga.” Lantas
Abu Utsman berkata : “Karena Anda mengaanggapnya rendah. Dan
tak seorang pun yang menganggap rendah seseorang melainkan ia
terhalang dari sari faedah. Kembalilah padanya dengan penuh
434
hormat.” Abdullah pun kembali kepadanya dan banyak mengambil
manfaat dari ziarahnya itu.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Ketika penduduk Balkh
mengusir Muhammad ibnul Fadhl dari daerahnya, dia mendo’akan
meraka : “Ya Allah, cegahlah kejujuran dari mereka.” Maka setelah
itu tak seorang jujur pun yang muncul dari daerah Balkh.
Saya mendengar Ahmad bin Yahya al-Abiwady – rahimahullah
ta’ala – berkata : “Barangsiapa syeikhnya ridha, ia tidak akan
menyimpang pada saat hidupnya, dengan maksud agar rasa
ta’dzimnya kepda syeikh tersebut tidak hilang. Apabila syeikh telah
meninggal dunia Allah swt. akan menampakkan balasan ridhanya
syeikh kepadanya. Namun, barangsiapa membuat hatinya syeikh
berubah, maka ia tak akan menyipang pada zaman syeikh tersebut
hidup, karena ia tak ingin membelenggunya. Mereka senantiasa
memiliki karakter untuk menghormati. Apabila syeikh tersebut
meninggal dunia, maka pada saat itulah muncul suatu penyimpangan
sepeninggalnya.”
49.
SIMA’
(mendengarkan dan menyimak)
Allah swt. berfirman :
“Sebab itu sampaikanlah berita-berita gembira itu kepada
hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa
yang paling baik diantaranya.” (Qs. Az-Zumar :17-8).
Huruf Alif dan Laam pada kata al-Qaul di atas mengandung
pengertian umum dan menyeluruh (ta’mim wal istighraq). Sedangkan
dalil di atas menekankan bahwa Alalh swt. memuji kepada mereka
karena mengikuti kata-kata paling baik.
435
Allah swt. berfirman :
“Maka, mereka berada dalam taman surga, senantiasa
bergembira.” (Qs. Ar-Ruum:15).
Dalam sebuah tafsir, ditegaskan bahwa ayat tersebut
menunjukkan dalilnya Sima’ (mendengarkan dan menyimak).
Ketahuilah, bahwa mendengar (sima’) syair dengan anda yang
indah, apabila pendengar tidak meyakini, syair itu tidak menjurus
pada hal-hal yang haram, dan tidak mendengarkan sebagai obyek
yang tercela dalam syariat, tidak pula menarik pada emosi hawa
nafsu, tidak pula memberi peluang pada nafsunya, maka penyimakan
tersebut diperkenankan secara umum.
Tidak ada perbedaan pandangan, adanya beberapa syair yang
didendangkan di hadapan Rasulullah saw. Rasul saw. menyimaknya,
bahkan tidak mengingkari mereka dalam mendedangkan syair
tersebut. Apabila menyimaknya tanpa nada yang indah
diperkenankan, hukum pun tidak berubah, yakni didendangkan
dengan nada yang indah. Inilah realitas situasionalnya. Lalu, bagi
para penyimak terdorong mencintai kepatuhan dan mengingat apa
yang telah dijanjikan Allah swt. bagi hamba-Nya yang bertakwa,
dalam derajat-derajat yang lebih tinggi. Penyimak tersebut
dimungkinkan sekali agar bisa menjaga dari kesalahan-kesalahan,
menyampaikan kepada hatinya seketika, sebagai kejernihan intuitif,
dicintai oleh Agama, dan dipilih oleh syariat. Sebab pernah ada
sabda Rasulullah saw. yang mendekati bait-bait syair, walaupun
Rasul saw, tidak bermaksud membaut syair.
Anas bin Malik r.a. berkata : “Ketika orang-orang Anshar
menggli parit-parit, mereka mendendangkan syair :
Kamilah orang-orang baiat
Kepada Muhammad
Untuk berjuang sepanjang hayat.
436
Kemudian Rasulullah saw. menjawab :
Duhai Allah, tiada kehidupan sejati
Melainkan kehidupan akhirat.
Muliakanlah orang-orang Anshar
Dan Muhajirah.”
Wanacan yang keluar dari Rasul saw. tersebut bukanlah wacana
syair, tetapi mendekati bahasa syair. Sejumlah ulama salaf dan para
tokohnya terbiasa mendengarkan bait-bait syair yang didendangkan
dengan lagu.Di antara yang memperbolehkan mendendangkan dengan
lagu adalah Imam Malik bin Anas, dan Ulama Hijaz. Mereka semua
memperkenankan nyanyian.
Sedangkan nyanyianyang digunakan oleh penggembala untuk
gembalanya (hida’) mereka sepakat atas kebolehannya. Banyak haids
dan atsar sahabat yang berkaitan dengan nyanyian tersebut.
Sebuah riwayat dari Ibnu Jurayj, bahwa dia memperkenankan Sima’.
Lalu dikatakan padanya : “Bila kelak hari kiamat engkau dendangkan,
kemudian didatangkan kebajikan dan keburukanmu, maka pada dua
sisi yag mana posisi sima’ Anda?” Beliau menjawab : “Bukan dalam
kebajikan, juga bukan dalam keburukan.” Artinya, Jurayj
menggolongkan sebagai perbuatan mubah.
Sementara Imam Asy-Syafi’y r.a. tidak mengharamkan
penyimakan lagu-lagu syair. Hanya saja makruh bagi orang awam,
walaupun lagunya tidak digubah, atau sepanjang penyimakannya
diarahkan untuk permainan yang bsia menolak kesaksian, digunakan
untuk hal-hal yang bsia menjatuhkan harga diri, dan tidak
dipertautkan untuk hal-hal yang diharamkan, maka tetap makruh.
Namun, yang dimaksud dengan Sima’ oleh kalangan Sufi bukannya
demikian. Sebab mereka jauh dari penyimakan yang bersifat main-
main untuk kesenangan, atau duduk untuk kegiatan penyimakan
dengan hati yang alpa, ataupun dalam hatinya mengandung khayalan
437
kehampaan, bahkan tidak melakukan penyimakandalam bentuk yang
tidak proposional.
Ibnu Umar meriwayatkan beberapa haids seputar
diperbolehkannya Sima’. Riwayat lain dari Abdullah bin Ja’far bin
Abu Thalib, dan riwayat dari Umar – semoga Allah swt. meridhai
mereka. Lagu-lagu untuk gembala dan yang lain juga diperbolehkan.
Beberpa syair didendangkan di hadapan Nabi saw. dan Beliau tidak
menolaknya. Bahkan dari riwayat Nabi saw. pernah mendendangkan
beberapa syair.
Dalam riwayat masyhur yang jelas, Nabi saw. pernah memasuki
tempat Aisyah r.a. dan didalam rumah itu ada dua jariyah yang
sedang menyanyi. Nabi pun tidak melatangnya.
Sebuah riwayat dari Aisyah r.a. bahwa Abu Bakr r.a. memasuki
rumah Aisyah, sementara di rumah itu ada dua penyanyi wanita yang
menyanyikan lagu tentang kalangan Anshar yang bertikai dalam
perang Bu’ats. Abu Bakr r.a. berkata : “Seruling-seruling setan!
Seruling-seruling setan! Latas Nabi saw. bersabda : “Biarkan saja
kedua penyanyi itu wahai Abu Bakr, karena setiap bangsa memiliki
perayaan. Dan perayaan kita adalah hari ini.” (H.r. Bukhari).
Juga riwayat dari Aisyah r.a. bahwa suatu ketika kerabat dari
sahabt Anshar menikah, kemudian Nabi saw. datang, dan bertanya :
“Kau hadirkan gadis-gadis?” Aisyah menjawab : “Benar” Nabi saw.
bertanya : “Engkau suruh orang yang menyanyi?” Aisyah menjawab :
“”Tidak” Maka Nabi saw. bersabda : “(Betapa indahnya) seandainya
engkau suruh orang yang mendendangkan : “Kami telah datang untuk
kalian, kami telah datang untuk kalian; maka kehidupan kami adalah
menyemarakkan kehidupan kalian.”
Rasulullah saw. bersabda :
438
“Baguskanlah Al-Qur’’an melalui suara-suara kamu sekalian.
Sebab suara yang bagus akan menambah kebagusan Al-Qur’an.” (H.r.
Ibnu ‘Azib, dan ditakhrij ad-Daramy).
Semua ini menunjukkan keutamaan suara yang indah. Rasulullah
saw. juga bersabda : “Setiap sessuatu memiliki perhiasan,
sedangkan perhiasan Al-Qur’an adalah suara yang indah.” (H.r. Anas
dan dikeluarkan oleh adh-Dhiya’ Abdurrazaq dalam kumpulan
Haditsnya).
Sabdanya lagi : “Dua suara yang dilaknati : Suara umpatan
“Celaka” ketika sedang mendapati musibah, dan suara seruling yang
menghanyutkan.” (H.r. Al-Bazzar dan adh-Dhiya’ dari Anas bin
Malik).
Pengertiannya, bahwa nada indah dierbolehkan kecuali dalam
dua suara tersebut. Jika tidak demikian, pengecualiannya
dibatalkan. Hadits-Hadits soal ini cukup banyak. Bila menambah
kadar dengan menyebutkan sejumlah riwayat-riwayat yang ada, akan
mengesampingkan maksud ikhtisar ini.
Diriwayatkan ada seseorang yang mendendangkan syair di depan
Rasulullah saw.
Kuterima kebahagiaan untuknya
Dua bentangan bagai manik hitam
Ia kembali, dan kukatakn apdanya
Sedang hati dalam nyala membara
Salahkah aku, berdosakah
Jika kurindukan dia?
Maka Rasulullah saw. menjawab : “Tidak”.
Inilah, bahwa keindahan suara termasuk nikmat Allah swt. pada
pemiliknya. Allah swt. berfirman : “Allah menambahkan pada
ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Faathir : 1). Dalam
439
tafsir dijelaskan bahwa tambahan pada ciptaan-Nya itu adalah
suara merdu.
Allah swt. mencela suara yang buruk. Firman-Nya :
“Sesungguhnya, seburuk-buruk suara adalah suara himar.” (Qs.
Luqman :19).
Hati selalu menikmati dan merindu pada suara yang merdu, rasa
tenteram akan muncul karena suara merdu, sesuatu yang tak bisa
diinkgari. Si bocah akan tenang bila mendengar nyanyian yang
merdu. Begitu pula unta akan berjalan ringan walaupun membawa
beban berat. Bila mendengarkan suara-suara yang menghiburnya.
Allah swt. berfirman : “Apakah mereka tidak melihat bagaimana
unta diciptakan?” (Qs. Al-Ghaasyiyah :17). Dan Rasulullah saw. juga
bersabda :
“Allah swt. belum pernah mengizinkan terhadap sesuatu apap
pun sebagaimana pemberian izi terhadap seorang Nabi, yang
melaggikan bacaan Al-Qur’an.” (H.r. Abu Hurairah, dan dikeluarkan
oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Ahmad dalam
Musnad-nya).
Dikisahkan, bahwa nabi Daud as. Ketika sedang membaca kitab
Zabur, manusia dan jin, burung dan binatang buas selalu
menyimaknya.
Rasulullah saw. bersabda tentang Abu Musa al-Asy’ary : “Dia
telah diberi seruling dari seruling Daud.” Dan Mu’adz berkata
kepada raslullah saw. : “Bila engkau tahu, engkau mendengar, niscaya
aku akan memperindahkannya untukmu dengan perhiasan yang
benar-benar indah.”
Abu Bakr Muhammad ad-Dinawary ad-Duqqy mengisahkan :
“Aku sedang berada di apdang pasir, kebetulan aku berjumpa
dengan kabilah Arab. Salah seorang di antara mereka menjamuku.
Kulihat di sana ada seorang budak berkulit hitam sedang diikat, dan
440
aku juga melihat beberapa unta yang mati di halaman rumah. Budak
itu berkata padaku : “Anda malam ini sebagai tamu. Dan Anda di
mana tuanku sungguh mulia. Karena itu tolonglah aku. Dia pasti tidak
bisa menolak.” Maka kukatakan kepada pemilik rumah : “Aku tau
menyantap makananmu, kecuali Anda mau melepaskan ikatan pada
budak ini.” Maka tuan si budak itu menjawab : “Si budak ini telah
memiskinkan dan menghancurkan hartaku.” Aku bertanya : “Apa
yang dilakukan?” Dia menjawab : “Budakku ini memiliki suara yang
merdu. Sedangkan aku hidup dari tenaga unta-unta ini. Lalu unta ini
dibebani dengan beban yang amat berat, dan berjalan kencang
hingga menempuh perjalanan yang seharusnya ditempuh tiga hari,
hanya ssehari saja ditempuhnya. Ketika beban-beban itu diturunkan
unta-unta itu pun mati semua. Tapi terserah apdamu!” Tali yang
mengikat budak itu pun di lepas. Esok harinya aku ingin
mendengarkan suaranya yang konon merdu itu. Si budak itu
diperintah untuk menghalau unta dengan nyanyian merdunya, menuju
sebuah sumur di ujung sana yang bisa untuk tempat minumnya. S
budak itu pun menghalaunya. Dan unta itu pun menoleh ke arah
wajahnya, sembari memberot tali yang mengikatnya hingga putus.
Sungguh aku tak menduga, kalau aku telah mendengarkan
suara yang amat merdu, kemudian unta itu menderum ke arahku,
sampai akhirnya si budak itu mengisyaratkan agar diam.”
La-Junayd ditanya : “Bagaimana suasana orang yang kondisinya
tenang, lalu ketika mendengarkan sima’ tiba-tiba hatinya risau.”
Maka, al-Junayd menjawab : “Sesungguhnya Allah swt. ketika
berfirman kepada benih dalam perjanjian yang pertama, melalui
firman-Nya, -- Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab :
“Benar (Engkau Tuhan kami) --- sehingga arwah menjadi segar
mendengarkan Kalam. Ketika mereka mendengarkannya, ingatan akan
sima’ tersebut telah menggerakkan mereka.”
441
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Sima’ itu
haram bagi orang awam, karena nafsunya masih ada. Sementara
diperbolehkan bagi orang-orang zuhud, sebab dengan dima’ mereka
meraih mujahadahnya. Seperti bagi kalangan kita, sangat
dianjurkan, karena bisa membuat hati merasa hidup.”
Al-Harits bin Asad al-Muhashiby berkata : “Tiga perkara, bila
kita menjumpai, kita merasa nikmat, dan apda ketiganya kita telah
kehilangan : “Wajah yang bagus dengan disertai perlindungan; suara
merdu disertai sikap religius; dan persaudaraan yang baik disertai
tepat janji.”
Dzun Nuun al-Mishry ketika ditanya tentang suara merdu,
beliau menjawab : “Perkataan-perkataan dan isyarat-isyarat yang
dititipkan Alalh kepada setiap laki-laki yang baik dan perempuan
yang baik.” Ditanya pula tentang sima’, jawabnya : “Bisikan Haq yang
membangkitkan kalbu kepada Yang Haq. Siapa yang menyimak penuh
perhatian dengan sebenarnya akan nyata benar. Dan siapa yag
menyimak dengan nafsu, akan menjadi Zindiq.”
Al-Junayd berkata : “Kasih sayang akan turun kepada orang-
orang fakir dalam tiga tempat ketika sedang sima’. Sebab mereka
tidak menyimak kecuali dari suara yang benar dan mereka tidak
berbicara kecuali dari intuisi. Dan ketika mereka makan-makanan,
mereka tidak makan kecuali ketika lapar; ketika mereka sedang
meraih ilmu, mereka tidak mengingat-ingat kecuali ingat pada sifat
para wali.”
Al Junayd berkata : Sima’ bisa menjadi fitnah bagi yang
berambisi. Dan menjadi ringan bagi yang menjumpainya.” Dia juga
berkata : “Sima’ butuh tiga hal : Zaman, tempat dan sejumlah
teman.”
Dulaf as0Syibly ditanya mengenai Sima’, dia menjawab :
“Secara llahiriah adalah fitnah, sedangkan batinnya adalah
442
pelajaran. Siapa yang mengenal isyarat, ia boleh menyimak
pelajaran. Jika tidak, berarti ia mengundang fitnah dan menawarkan
terhadap bencana.”
Dikatakan : “Sima’ tidak layak, kecuali pada orang yang nafsunya
telah mati dan hatinya telah hidup. Nafsunya disemebelih dengan
pedang mujahadah, sedang hatinya dihidupkan oleh cahaya
keserasian (Dengan Allah swt).”
Abu Ya’qub Ishhaq an-Nahrajury ditanya soal sima’, dia
menjawab : “Suatu tingkah aku yang mendorong kembali kepada
rahasia jiwa dari sisi peleburan.”
Dikatakan : “Sima’ merupakan nuansa lembut di sisi arwah bagi
ahli ma’rifat.”
Saya mendengar syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. lberkata : “Sima’
adalah watak, kecualid ari arah syariat, dan asing kecuali dari yang
benar, dan fitnah kecuali dari sisi pelajaran.”
Disebutkan, sima’ ada dua macam : “Sima’ dengan syarat adanya
pengetahuan dan kesadaran. Di antara syarat pemiliknya adalah
mengenal Asma’ dan Sifa-sifat. Bila tidak, sima’ akan emnceburkan
dalam kekufuran murni. Dan berikutnya adalah sima’ dengan syarat
adanya tingkah ruhani. Syarat penyimaknya haruslah fana’ dari
segala tingkah laku kemanusiaan, dan bersih dari pengaruh-pengaruh
duniawi, dengan menampilkan aturan-aturan hukum hakikat.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Abdul Hawary, yang mengatakan :
“Aku bertanya kepada Abu Sulaiman tentang sima’, maka beliau
menjawab : “Di antara dua yang paling kucintai dibanding satu.”
Abu Husain an Nury ditanya tentang Sufi, maka jawabnya :
“Siapa yang mendengar sima’, dan memberi pengaruh kepada sebab-
sebab yang ada.”
Abu Utsman Said al-Maghriby berkata : “Siapa yang mengaku
telah melakukan penyimakan, sementara dia tidak mendengar suara
443
burung dan gerat-gerit pintu, serta guncangan angin, maka dia itu
adalah si fakir yang mengaku-aku.”
Ibnu Zair mempunyai seorang syeikh utama dari salah seorang
murid al-Junayd. Ketika aedang menghadiri majelis sima’ maka bila
berkenan ia membeberkan sarungngya dan duduk. Lantas berkata :
“Sfi beserta hatinya, walaupun tidak menganggap kebaikannya.” Dia
juga berkata : “Sima’ hanya bagi yang memiliki nurani hati.” Sambil
berkata bagitu dia berjalan dan mengambil sandalnya.
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai ekstase para Sufi ketika
sedang sima’, dia berkata : “Mereka menyaksikan makna-makna yang
lenyap dari yang lain, lalu Anda mengisyaratkan kepada mereka yang
tertuju padaku. Lantas mereka mencegah agar tidak terlalu
gembira. Kemudian datanglah tangis, sehingga kegembiraan itu
berubah tangisan. Di antara mereka ada yang merobek bajunya, ada
pula yang berteriak, ada yang menangis; masing-masing menurut
kadar keterikatan hatinya (dengan Tuhannya).”
Al-Hushry berkata : “Apa yang harus kulakukan dengan simma’
yang terputus, apabila orang yang sedang menyimak
memutuskannya?” Karrena itu selayaknya dalam penyimakan Anda
selalu bersambung, tidak terputus.” Dia juga berkata : “Syogyanya
ia merasa dahaga selamanya, minum (ruhani) selamanya. Bila
minumnya bertambah, bertambah pula dahaganya.”
Mujahid dalam menafsirkan firman Alalh swt. : “Maka mereka
dalam tamansurga, senantiasa bergembira.” (Qs. Ar-Ruum :15).
Maksudnya adalah sima’ terhadap bidadari dengan suara-suaranya
yang merdu sekali : “Kami adalah bidadari-bidadari yang abadi, tak
akan pernah mati selamanya. Kami adalah kenikmatan-kenikmatan
yang tak pernah putus selamanya.”
Dikatakan, sima’ adalah panggilan, sedangkan ekstase adalah
tujuan.
444
Abu Utsman Sa’id ash-Sha’luky berkata : “Orang yang
menyimak berada di antara tirai dan ketampakkan : Tirai mendorong
rasa dahaga, sedangkan penampakkan mewariskan rasa riang. Tirai
telah melhirkan gerakan para penempuh, yaitu wahana kelemahan
dan ketakberdayaan. Sementara penampakkan, melahirkan
ketenangan orang-orang yang sampai kepada-Nya, yaitu wahana
istiqamah dan ketenangan. Itulah sifat menghadirkan di hadirat
Ilahi. Di dalamnya tiada lagi kecuali layu di bawah bisikan-bisikan
rasa takut bercampur hormat.” Allah swt. berfirman :
“Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka
berkata : “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)>” (Qs. Al-Ahqaf :
29).
Abu Utsman Sa’id al-Hiry berkata : “Sima’ ada tiga arah : satu
arah bagi para murid dan para pemula, mereka sama-sama meminta
kemuliaan dengan tingkah laku ruhaninya, dan kami khawatir mereka
terkena fitnah dan riya’. Arah kedua bagi mereka yang menepati
kebenaran, yang menuntut nilai tambah dalam ihwal kondisi
ruhaninya, dan mereka menyimak dari semuanya agar serasi dengan
waktu-waktu mereka. Arah ketiga bagi ahli istiqamah dari kalangan
orang-orang yang ma’rifat. Mereka sama sekali tidak memilih atas
apa yang datang dari Allah dalam hatinya berupa gerak ataupun
diam.”
Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz berkata : “Barangsiapa mengaku
dirinya terliputi ketika sedang memahami, yakni dalam sima’ dan
gerakan-gerakan selali bersifat naluriah baginya, maka tanda-
tandanya adalah dia memperbaiki tempat duduk yang di sana dia
menemukan ekstase.”
Syeikh Abu Abdurrahman berkata : “Aku menyebut hikayat ini
kepada Sa’id al-Maghriby. Lantas beliau berkata : “Inilah yang
terindah. Tanda-tandanya yang benar, tak tersisa dalam suatu
445
majelis kecuali rasa riang dengan majelis tersebut, dan tak ada yang
membatalkan di dalamnya kecuali dia merasa tidak senang darinya.”
Bundar ibnul Husain berkata : “Sima’ terdiri tiga dimensi : Di
antara mereka ada yang menyimak melalui wataknya; ada pula yang
menyimak melalui kondisi ruhaninya; dan ada yang menyimak melalui
Allah swr. Orang yang menyimak melalui watak, ada dari kalangan
awam maupun khusus. Sebab salah sati watak manusiawi adalah
merasa nikmat mendengarkan suara merdu. Sedangkan yang
menyimak melalui kondisi ruhani, adalah dia yang merenungkan apa
yang tiba padanya, berupacacian dan khitab, bertemu atau pisah,
dekat ataupun jauh, rasa kecewa terhadap apa yang hilang atau haus
terhadap keinginan di masa depan, menepati janji atau
membenarkan/meyakini janji, merusak terhadap janji ataupun ingat
kesusahan, merasa rindu atau takut berpisah, senang bertemu dan
takut berpisah, atau yang sejenisnya. Sedangkan yang menyimak
langsung melalui Allah swt. maka dia menimak bersama dan hanya
bagi Alalh set. Sima’ yang terakhir ini tidak bisa diuraikan dengan
kondisi-kondisi ruhani tersebut yang masih tercampur oleh
kepentingan manusiawi, dan masih memunculkan berbagai sebab-
sebab langsung. Maka, bagi kategori yang terakhir tersebut, saling
menyimak dari dimensi kemurnian tauhid terhadap Allah swt. dan
sama sekali tidak disertai kepentingan makhluk.”
Dikatakan : “Ahli sima’ itu ada tiga tahapan : Pertama, generasi
hakikat yang kembali dalam sima’nya bagi dialog Allah swt. kepada
mereka. Selanjutnya ada yang berbicara kepada Allah swt, melalui
hatinya disertai makna-makna yang telah didengarnya. Mereka
dituntut untuk bersikap benar dan jujur terhadap apa yang
diisyaratkan menuju kepada Allah swt. Dan terakhir, adalah si fakir
yang menyendiri, yang memutus hubungan dunia dan bencana.
446
Mereka mendengarkan melalui kemerduan hatinya, dan mereka lebih
dekat dengan keselamatan.”
Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary ditanya tentang sima’ :
“Mukasyafah terhadap rahasia batin, dan musyahadah terhadap
Sang Kekasih.” Jawabnya.
Ibrahim al-Khawwa ditanya : “Bagaimana mengenai orang yang
bergerak ketika sima’ terahdap selan Al-Qur’an, sementara gerakan
gerakan itu memang tidak ditemui dalam penyimakan Al-Qur’an?”
Ibrahaim menjawab : “Sebab sima Al-Qur’an merupakan hentakan,
dimana seseorang tidak mungkin bergerak dalam sima’ disebabkan
oleh dahsyatnya kekuatannya. Sedangkan sima’ terhadap ucapan
membuatnya riang dan karenanya ia bergerak dalam sima’ tersebut.”
Al-Junayd berkata : “Bila Anda melihat si penempuh mencintai
Sima’, ingatlah bahwa di dalamdirinya ada sisa-sisa kebatilan.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Sima’ adalah ilmu yang dipilih oleh
Allah swt. dan tiada yang mengetahui kecuali hanya Dia.”
Dikatakan : “Ketika Dzun Nuun al-Moshry memasuki Baghdad,
para Sufi berkumpul padanya. Di antara mereka ada yang biasa
berbicara. Mereka meminta izin agar diperkenankan membacakan
syair sedikit di hadapannya. Dzun Nuun pun menyilahkan. Lantas
orang tersebut membacakan syairnya :
Kecil asmaramu telah menyiksaku
Bagaimana dengan asmara yang perkasa?
Engkau telah mengumpulkan dari kalbuku
Cinta yang benar-benar berpadu
Sedang yang kuwarisi, bagi yang berduka
Bila tertawa sunyi
Jadilah pecah tangisnya.
447
Tiba-tiba Dzun Nuun berdiri dan membenamkan wajahnya.
Sementara darah menetes dari keningnya, namun tidak mentes ke
tanah.
Ibrahim al-Maristany ditanya mengenai gerak dalam sima’ :
“Sampai kepadaku kisah Musa as. Yang bercerita tentang Bani
Israil. Di antara mereka ada yang merobek bajunya. Lantas Allah
swt. menurunkan wahyu kepada Musa as. : “Katakan padanya :
“Robeklah hatimu buat Diri-ku, dan janganlah engkau robek bajumu.”
Abi Ali al-Maghazaly pernah mengutarakan kepada Dulaf asy-
Syibly : “Terkadang pendengaranku terketuk oleh suatu ayat dari
Kitab Allah swt. sehingga menggiringku untuk meninggalkan segala
yang ada, berpaling dari dunia, kemudian aku kembali pada ihwal
ruhaniku dan kepada orang pada umumnya.” Maka Dulaf
mengomentari : “Apa yang membuatmu tertarik kepada-Nya adalah
hubungan dari-Nya kepadamu dan merupakan kelembutan. Dan apa
yang engkau kembalikan kepada dirimu, adalah kepedulian dari-Nya
atas dirimu. Sebab tidak dibenarkan bagimu berbakti yang muncul
dari daya dan kekuatan ketika menghadap kepada-Nya.
Ahmad bin Muqatil al-‘ikky berkata : “Aku bersama Dulaf asy-
Syibly di sebuah masjid pada salah satu malam Ramadhan yang
penuh berkat. Dia sedang shalat di belakang imam, sementara aku di
sampingnya. Imam membaca sebauh ayat :
“Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki niscaya Kami
lenyapkan apa yang telah Kami Wahyukan kepadamu.” (Qs. Al-
Israa’ :87).
Tiba-tiba Asu-Syibly menjerit dengan satu jeritan. Bisa
kukatakan, seakan-aan ruhnya terbang dalam keadaan menggigil.”
Ahmad salalu menyampaikan kisah ini kepada teman-temannya, dan
seringkali diulanginya.
448
Al-Junayd mengisahkan : “Suatu hari aku masuk ke tempat Sary
as-Saqathy dan kulihat ada seorang lelaki yang pingsan di sisinya.
Aku bertanya : “Mengapa dia?” Sary menjawab : “Gara-gara
mendengarkan suatu ayat dari Kitab Allah swt.” Aku katakan : “Coba
ulangi bacaan ayat tersebut untuk kedua kalinya.” Lantas Sary
membacanya, dan lelaki itu pun sadar. Sary bertanya padaku : “Dari
mana Anda mengetahui hal itu?” Aku katakan : “Sesungguhnya baju
Yusuf as. Telah membutakan mata Ya’qub, kemudian mata itu sehat
kembali karena baju itu. Aku mengambil pelajaran dari peristiwa
tersebut.”
Abdul wahid bin Alwan berkata :”Ada seorang pemuda yang
berguru kepada al-Junayd. Bila mendengarkan suatu dzikir dia
selalu menjerit. Suatu hari Junayd berkata padanya. “Bila kamu
lakukan hal itu sekali lagi, kamu jangan berguru pada saya lagi.”
Sejak saat itu pemuda itu bila mendengar sesuatu, selalu berubah
dan tampak mengekang dirinya, sampai setiap ujung bulu di
badannya meneteskan keringat. Pada suatu hari ia berteriak sekaut
tenaga, hingga meninggal dunia.”
Abu Nashr as-Sarraj berkata : “Sebagian teman-temanku
meriwayatkan kisah padaku, dari Abul Husain ad-Darraj, yang
mengatakan : “Dari Baghdad aku bertujuan ke tempat Yusuf ibnul
Husain ar-Razy. Ketika sampai di Ray, aku menanyakan tempat
tinggalnya. Setiap orang yang kutanya selalu balik bertanya
kepadaku, ‘ Apa yang akan Anda lakukan dengan manusia zindik itu?
Sampai akhirnya hatiku gelisah, sehingga aku bermaksud untuk
kembali saja. Lantas aku menginap di sebuah masjid malam itu. “Aku
sudah datang ke negeri ini, tidak da jeleknya kalau aku
mengunjunginya.” Kataku dalam hati. Selanjutnya aku terus
bertanya tentang Yusuf, dan akhirnya sampai di masjidnya. Yusuf
sedang dduduk di mahrab, dan di depannya ada seseorang. Tampak
449
Yusuf sedang membaca mushaf Al-Qur’an. Ternyata dia adalah
seorang Syeikh yang amat kharismatik, tampan dan bagus
jenggotnya. Aku mendekatinya, dan mengucapkan salam padanya. Dia
pun menjawab salamku. “Anda datang dari mana? Tanyanya padaku.”
Dari Baghdad, bermaksud ziarah ke tampat syeikh.” Kataku.” “Jika
ada orang yang berkata padamu di sebagian daerah. “Kamu menetap
saja di tempatku, nanti kubelikan rumah atau budak-budak wanita.”
Apakah tawaran itu akan mencegahmu untuk ziarah padaku?” tanya
syeikh tersbut. “Wahai tuanku, Allah tidak mengujiku dengan
sesuatu seperti itu. Namun seandainya aku menerima
tawaran mereka, aku tidak tahu bagaimana keadaanku.” Jawabku.
“Baiklah, ucapkan saja sesuatu.” Kata syeikh itu. “Ya” kataku. Lantas
kudendangkan syair :
Kulihat dirimu membangun penuh ketekunan
Di tanah pinjamanku
Bila aku punya tanah yang tinggi
Tentu robohlah apa yang engkau bangun.
Syeikh itu lalu menutup mushaf, terus menerus menangis,
sampai baju dan jenggotnya basah. Aku sampai merasa kasihan
padanya, karena terlalu banyak menangis.
Beliau lantas berkata padaku, “Anakku, jangan engkau cela
penduduk Ray, mengenai ucapan mereka tentang diriku yang zindiq.
Sejak waktu shalat tiba, inilah aku sedang membaca Al-Qur’an.
Namun tidak setets pun air mata yang jatuh dari mataku. Kiamat
benar-benar telah tiba dari rumah ini.!.”
Abul Husain ad-Darraj berkata : “Aku bersama Ibnula Fauthy
sedang berjalan melewati Dajlah.” Antara Basrah dan Ubulan. Tiba-
tiba kami melihat vila indah. Di sana ada laki-laki, dan dihadapannya
ada jariyah yang sdang menyanyikan lagu.:
Bagi jalan Allah ada cinta
450
Yang datang dariku untukmmu, kelak diganti
Setiap hari kau ikuti
Hanya saja, denganmu lebih indah.
Ternyata ada seorang pemuda yang mendengarkan di bawah
jendela tampak memandang, sambil membawa bejana kulit dan baju
tambalan. Pemuda itu berkata.” Hai Jariyah, demi kehidupan
tuanmu, ulangi kata-kata : Setiap hari kau ikuti. Hanya saja,
denganmu lebih indah. Ucapkan lagi kata-kata itu!.” Jariyah tadi
mengulangi kembali baitnya. Sedang si ffakir itu berkata : “Inilah,
demi Allah, ucapan yang mengikatkan ddiriku bersama Al-Haq.” Lalu
pemuda itu menjerit dengan sekali jeritan yang menyebabkan
ruhnya lepas dari tubuhnya. Seketika pemilik vila itu berkata pada
jariyah : “Kamu telah merdeka --- karena Allah swt.”
Para penduduk Bashrah keluar dan mengurus pemakaman
pemuda itu, serta menshalatinya. Pemilik vila tersebut berkata :
“Bukankah kalian semua mengenalku? Aku bersaksi di hadapan kalian
semua, bahwa segala milikkku hanya untuk jalan Allah swt. Semua
budak-budakku merdeka.” Kemudian mereka memakai sarung dan
berkain. Vilanya pun disedekahkan. Selanjutnya ia pergi begitu saja.
Sebab setelah peristiwa tersebut ia tidak menampakkan dirinya,
dan tidak pernah terdengar namanya disebut-sebut.
Abu Sulaiman ad-Dimasyqi mendengarkan panggilan orang yang
sedang thawaf : “Duhai, terimalah penghormatanku untuk-Mu!.” Lalu
Abu Sulaiman jatuh pingsan. Saat sadar ia ditanya, lalu menjawab :
“Aku kira ia berkata : “Terimalah, kau lihat penghormatanku
padamu.”
Utbah al-Ghulam mendengar seseorang bermunajat : “Maha
Suci Allah, Tuhannya langit, sungguh sang pecinta selalu dalam
tawanan.” Utbah menyahut : “Kamu benar.” Lantas mendengarkan
orang lain mengucapkan akta-kata yang sama. Utbah menyela :
451
“Bohong kamu!” Masing-masing individu menyimak dari segi
proporsinya.
Ruwayma bin Ahmad ditanya mengenai para syeikh yang mereka
temui dalam sima’. Ruwaym menjawab : “Seperti sekawanan domba
yang kepergok harimau.”
Riwayat dari Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz yang berkata : “Aku
melihat Ali ibnul Muwafiq dalam sima’, beliau berkata : “Beddirikan
aku!.” Merekapun membangkitkan, dan ia pun berdiri, lalu mengalami
ekstase dan berkata : “Akulah syeikh para penari.”
Dikatakan, Ibrahim ar-Raqqy bangkit semalam suntuk hingga
subuh. Banun dan jatuh di rumah itu. Sedangkan orang-orang
bangkit sembari menangis. Sedang bait-bait yang dibacakan adalah :
Demi Allah, tolaklah hati yang duka
Tiada lagi pengganti
Dari kekasihnya.
Al-Husain bin Muhammad bin Ahmad berkata : “Aku berbakti
kepada Sahl bin Abdullah bertahun-tahun. Aku tidak pernah melihat
perubahan pada dirinya, ketika menyimak sesuatu baik dari dzikir
maupun bacaan Al-Qur’an, ataupun yang lain. Ketika akhir hayatnya,
dibacakan suatu ayat :
“Maka pada hari ini tidak diterima tebusan.” (Qs. Al-Hadid :15).
Tiba-tiba kulihat ia berubah dan gemetar, hampir saja ia jatuh.
Ketika sudah sadar, aku bertanya padanya, lalu ia berkata : “Duhai
kekasih, betapa lemahnya kami....”
Saya mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy berkata :
“Aku masuk ke tampat Abu Utsman Sa’id al-Maghriby, dan ia sedang
mengambil air minum dari sumur melalui kerekan timba, lantas dia
berbicara : “Hai Abu Abdurrahman, tahukah engkau apa yang
diucapkan oleh kerekan ini? Kukatakan : “Tidak!” Dia berkata :
“Kerekan ini berbunyi : Allah—Allah.”
452
Ruwaym berkata : “Riwayat dari Ali Bin Abu Thalib r.a. bahwa
beliau mendengarkan suara lonceng. Lalu beliau bertanya pada para
sahabtnya : Apakah kalian mengerti apayang diucapkan oleh lonceng
itu? Mereka menjawab : “Tidak! Ali berkata : “Sebenarnya lonceng
itu mengucapkan : “Subhanallah, benar, benar, sungguh Tuhan Kekal
Abadi.”
Ahmad inbul Karkhy berkata : “Suatu hari jamaah
sufi berkumpull di rumah al-Hasan al-Qazzaz. Di antara mereka ada
beberapa penyair, yang mendedangkan syairnya sembari ekstase.
Lalu Mumsyad ad-Dinawary datang mereka pun terdiam. Mumsyad
berkata : “Kalian terus saja seperti semula! Seandainya seluruh alat
permainan dunia dikumpulkan dalam telingaku, sama sekali tidak
mempengaruhi hatiku, atau dijejalkan di mulut dan gerahamku tiak
berpengaruh sama sekali.” Ibnul karkhy melanjutkan : “Aku
mendengar pula ar-Rudzbary berkata : “Kami sampai pada masalah
ini, bagaikan berada di atas mata pedang, sedikit kita terlena ke
sana kemari, kita tercebut di neraka.”
Khayr an-Nassaj berkta : “Mua bin Imran – semoga shalawat
dan salam Allah terlimpah padanya – mengisahkan pada kaumnya,
suatu kisah. Salah satu di antara mereka ada yang menjerit.
Kemudian Muasa as. Membentaknya. Lalu Allah menurunkan wahyu :
“Hai Musa, dengan bau Ku, mereka rasakan semerbak, dengan cinta-
Ku mereka membuka, dan dengan kerinduan-Ku mereka berteriak.
Mengapa engkau ingkari semua itu terhadapTuhanku?”
Dikatakan : “Dulaf asy Syibly mendengar seseorang berkata, :
“Plilihan kebaikan itu sepuluh dibanding seperenam dirham.” Lalu
asy-Syibly berteriak sembari mengatakan : “Bla kebaikan itu
sepuluh dibanding seperenam dirham, bagaimana dengan kejahatan-
kejahatan.”
453
Dikatakan : “Aun bin Abdullah punya seorang jariyah yang
memiliki suara merdu, Aun menyuruh mendendangkan lagu. Jariyah
itu mendendangkan lagu dengan sura yang memilukan, sampai seluruh
orang yang hadir menangis.”
Abu Sulaiman ad- Darany ditanya tentang sima’. Dia menjawab :
“Setiap kalbu yang menginginkan suara berlagu, berati hati yang
lemah yang perlu diobati, sebagaimana anak kecil yang diobati
dengan lagu-lagu agar segera tidur.” Abu Sulaiman berkata
selanjutnya : “Suara merdu sama sekali tidak merasuk kalbu. Yang
menggerakkan kalbu itu adalah apa yang ada di dalam kalbu.”
Ahmad al-Jurairy berkata : “Jadilah kalian ini para Rabbaniyyun
: Yakni orang-orang yang menyimak dari Allah dan mengucapkan
dengan Alah swt.”
Sebagian Sufi ditanya soal sima’, jawabnya : “Kilatan yang
melintas, kemudian padam. Cahaya yang tampak kemudian suram.
Betapa manusianya bila menetap bersama pemiliknya, walaupun
sekejap mata.” Kemudian ia membaca syair :
Bisikan dalam jiwa, yang mengusik
Bagai gerak kilat yang berkelebat
Lalu hilang
Disa bagimu, jika menuju rahasia batinku
Dan tercela bagimu, jika kau lakukan itu.
Dikatakan : “Sima’ memiliki bagian setiap anggota tubuh. Bila
tiba di mata, mata pun menangis. Bila sampai pada lisan,
berteriaklah dia. Ila menyentuh tangan, ia merobek dan memukul.
Dan Bila sampai di kaki, ia akan menari-nari.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Abu Amr
bin Nujayd berkumpul bersama Nashr Abadzy serta para
pengikutnya dalam suatu tempat An-Nashr Abadzy mengatakan :
“Kukatakan, bila orang-orang Sufi berkumpul, satu angkat bicara,
454
yang lain diam, itu lebih baik daripada menggunjing seseorang.”
Lantas Abu Amr berkata : “Anda menggunjing selama tigapuluh
tahun, lebih menyelamatkan diri Anda dibanding Anda menampakkan
ruhani dalam sima’ yang sebenarnya bukan pada Nada.” Lalu Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Manusia dalam sima’ terbagi tiga
katagori : Berupaya menyimak (mutasammi’), menyimak penuh
perhatian (Mustami’) dan pendengar (saami’). Mutasammi’ menyimak
dengan waktu, dan Mustami’ menyimak dengan kondisi ruhani,
sedangkan Saami’ menyimak dengan Allah swt.”
Saya bertanya pada Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. tidak hanya
sekali, menegnai adanya suatu yang menyerupai keringanan dalam
sima’, dan beliau mengupayakan padaku dengan menekankan adanya
pengendalian dalam sima’. Kemudian setelah beberapa waktu, beliau
berkata : “Sebenarnya para syeikh Sufi berkata : “Sepanjang
hatimu disatukan dengan Allah swt. maka tidak apa-apa.”
Dari Abbas r.a. yang berkata : “Allah swt. mewahyukan kepada
Musa as. : “Aku jadikan dalam dirimu sepuluh ribu pendengaran,
sehingga kamu mendengarkan Kalam-Ku. Dan yang lebih Kucintai apa
yang aa padamu bagi-Ku dan lebih mendekatkan apda-Ku, apabila
kamumemperbanyak shalawat kepaa Muhammad saw.”
Abul Harits al-Aulasy berkata : “Aku melihat iblis – semoga
Allah swt. melaknatnya – dalam mimpi, berada di atas benteng Aulas.
Aku pun di atas atap. Di tangan kana iblis ada jamaah, begitu pula
di tangan kirinya. Mereka memakai pakaian yang bersih-bersih. Iblis
berkata kepada kelompok di antara mereka : “Bicaralah kalian!.”
Mereka pun berbicara dan menyanyikan lagu. Sungguh menegjutkan
kemerduan suara-suaranya, sampai aku ingin meleparkan diriku dari
atap. Kemudian Iblis bicara : “Menarilah kalian semua!” Mereka pun
menari dengan tarian yang paling indah. Lantas Iblis berkata padaku
455
: “Hai Abul Harits, tak satu pun yang tepat, yang kumasukkan pada
kalian, kecuali yang ini tadi.”
Abdullah bin Ali berkata : “Aku berkumpul semalam bersama
Dulaf asy-Syibly r.a. Tiba-tiba ia berkata : “Para penyair itu adalah
sesuatu.” Maka Syibly berteriak dengan ekstase sambil duduk. Maka
kepadanya dikatakan: “Wahai Abu Bakr, ada apa Anda duduk di
tengah-tengah jamaah ini?” Asy-Syibly langsung berdiri dan
mengalami ekstase kembali. Lalu mendendangkan syair :
Bagiku dua kemabukkan, sedang
Teman-teman mabukku hanya punya satu
Sesuatu yang disitimewakan bagiku
Di antara mereka,
Adalah kesendirianku.
Abu Ali ar-Rudzbary berkata : “Aku melewati suatu vila. Tiba-
tiba kulihat pemuda yang tampan tergeletak di tengah-tengah orang
yang berkumpul di sana. Aku bertanya pada mereka tentang anak
muda itu. Mereka menjawab : “Pemuda ini melewati vila tersebut,
dan di dalam vila itu ada seorang jariyah yang mendedangkan lagu :
Betapa besar cita-cita hamba
Yang berambisi memandang-Mu
Ataukah karena tiada pertimbangan bagi mata
Untuk melihat orang yang benar-benar melihat-Mu.
Lalu, tiba-tiba pemuda ini menjerit dan mati.
456
457