Anda di halaman 1dari 457

BAB 1

TERMINOLOGI TASAWUF
(Istilah kata-kata dalam bahasa tasawuf)

W A K T U

Esensi waktu (al-Waqt). Menurut penelaah ahli hakikat,


adalah suatu peristiwa yang terbayangkan, yang hasilnya
dikaitkan pada peristiwa yang terjadi. Peristiwa yang terjadi
merupakan waktu bagi peristiwa yang dibayangkan (akan datang).
Seperti kalimat, “Anda di datangi awal bulan”, maka,
“kedatangan” merupakan sesuatu yang terbayang. Sedangkan awal
bulan adalah sesuatu yang terjadi nyata. Awal bulan berarti
waktu bagi kedatangan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra. Berkata :
“Waktu adalah sesuatu yang Anda berada di dalamnya. Kala Anda
di dunia, maka waktu Anda adalah dunia. Bila di akhirat, maka
waktu Anda adalah akhirat. Ketika Anda senang, itulah waktu
Anda. Kalau Anda susah, susah itulah waktu Anda.” Maksud
Syeikh tadi, waktu memiliki definini yang umum bagi manusia.
Ada kala waktu diartikan sebagai zaman. Ada kalangan yang
mengatakan, waktu merupakan sesuatu antara dua zaman. Yang
lampau dan yang akan datang.
Mereka juga mengatakan, bahwa orang Sufi merupakan anak
sang waktu. Kalimat tersebut dimaksudkan, bahwa sang Sufi
disibukkan dengan priorotas utama yang harus dikerjakan ketika
itu, mandiri terhadap perolehan seketika.
Dikatakan : “Orang fakir tidak mementingkan apa yang telah
lewat dan yang akan tiba dalam waktunya, tapi lebih
mementingkan apa yang ada pada saat itu.” Dikatakan :
“Menyibukkan terhadap waktu yang berlalu, berarti
menelantarkan waktu berikutnya.”
Terakdang mereka bermaksud mendefinisikan waktu sebagai
sesuatu yang dilakukan ooleh Al-Haq kepada mereka tanpa adanya
1
pilihan bagi mereka. Mereka mengatakan ( si Fulan dengan hukum
waktu). Yakni : Fulan menyerahkan diri kepada yang tampak dari
yang ghaib tanpa usahanya sendiri. Yaitu dalam hal yang tidak
masuk kategori perintah Allah swt, atau terapan menurut hukun
syariat. Karena adanya penelantaran terhadadap apa yang
diperintah dan merekayasa dalam waktu untuk mengalahkan takdir,
di samping meninggalkan kepedulian terhadap sesuatu yagn Anda
hasilkan melalui penyimpangan, berarti keluar dari agama.
Mereka berkata : “Waktu adalah pedang”. Sebagaimana
fungsi pedang itu sendiri untuk memotong. Maka waktu,
disebabkan oleh kebenaran yang berlalu, yang memenangkan
kebenaran, akan melewatinya.
Dikatakan : “Pedang sangat halus sentuhannya, namun tajam
sayatannya. Barangsiapa menghindarinya (berkelit) akan selamat
dan barangsiapa bertindak kasar akan tertebas olehnya. Begitu
juga waktu, siapa yang mencurahkan pada hukum waktu akan
selamat, dan barangsiapa menentangnya akan tertebas dan jatuh
dalam kehancuran.”
Seperti dalam bait ini :
Dan seperti pedang..
Jika tak mencegahnya untuk menyentuh
Tajamnya, kalau mengasari tergoreslah.
Barangsiapa ditolong sang waktu, maka waktu hanya baginya.
Dan barangsiapa menentangnya, sang waktu pun akan marah ke
padanya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Waktu
adalah pembubut yang akan menggilasmu, namun tidak
melenyapkanmu. Yakni, jika melenyapkan dan menyirnakanmu, pasti
bersih ketika dirimu sirna. Akan tetapi waktu mengambilmu,
tanpa melenyapkanmu sama sekali.”
Sang Syeikh bersyair :
Setiap hari ia lewat meraih tanganku..
Memberikan penyesalan dalam hatiku..
Kemudian... ia berlalu..
2
Dalam syair pula :
Seperti penghuni neraka
Jika kulit-kulitnya terpanggang matang..
Kembali pula kulit itu,
Bagi suatu penderitaan.
Dikatakan :
Bukanlah orang mati itu
Orang istirahat sebagai mayit.
Tetapi orang mati itu
Kematian hidupnya.
Orang cerdas adalah orang yang berada dalam hukum waktunya.
Apabila waktunya adalah sadar dalam Ilahi (ash-shahw), maka ia
tegak mandiri dengan syari’at. Apabila waktunya adalah sirna
dalam Ilahi, yang kompeten adalah hukum-hukum hakikat.

M A Q A M

Maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam


wushul kepada-Nya dengan macam upaya, di-wujud-kan dengan suatu
tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing berada dalam
tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah
laku riyadhah menuju ke pada-Nya.
Syaratnya, seorang hamba tidak akan menaiki dari satu maqam
ke maqam lainnya sebelum terpenuhi hukum-hukum maqam tersebut.
Barangsiapa yang belum sepeuhnya qana’ah, belum bisa mencapai
tahap tawakkal. Dan siapa yang belum bisa tawakal tidak sah
bertaslim. Siapa yang tidak bertobat, tidak sah pula ber
inabat, dan barang siapa tidak wara’ tidak sah untuk ber
zuhud.
Al-Maqam berarti iqamah, sebagaimana kata al-madkhal
berarti idkhaal, dan al-makhraj berarti al-ikhraaj. Tidak
seorang pun sah menahapi suatu maqam, kecuali dengan penyaksian

3
terhadap kedudukan Allah swt. terhadap dirinya dengan maqam
tersebut, yang dengannya strutur bangunan ruhaninya benar
menurut pondasi yang shahih.
Saya mendangar Abu ali- al-Daqqaq r.a. berkata : “Ketika
al-Wasithy masuk ke Naisabur, bertanyalah ia kepada santri Abu
Utsman, : “Apa yang diperintahkan Syeikh kalian kepada kalian?
Mereka menjawab : “Kami diperintah untuk menetapi taat serta
melihat dan meneliti penyimpangan di dalamnya.” Maka al-
Wasithy berkata, “Syeikh kalian memerintah dengan cara Majusi
murni? Apakah Syeikh kalian tidak memerintah diri kalian dengan
hal yang gaib dengan memandang ke pada Yang Memunculkan dan
Menjalankan yang gaib? Maksud al- Wasithy dengan kta-kta itu,
agar mereka menjaga diri dari posisi takjub. Bukannya menaiki
ke arah wilayah penyimpangan atau keteledoran (taqshir), karena
yang demikian bisa merusakkan adanya cacat dalam adab.

H A A L

Al-Haal (kondisi ruhani) menurut banyak orang merupakan


arti yag intuitif dalam hati; tanpa adanya unsur sengaja, usaha
menarik, dan usaha lainnya, dari rasa senang atau sedih,
leluasa atau tergenggam, rindu atau berontak, rasa takut atau
suka cinta, maka setiap al-Haal merupakan karunia. Dan stiap
Maqam adalah upaya. Pada al-Haal datang dari Wujud itu sendiri,
sedang al-Maqam diperoleh melalui upaya perjuangan. Orang yang
memiliki Maqam, menempati maqamnya, dan orang yang berada dalam
Haal, bebas dari kondisinya.
Dzunnun al-Mishri ditanya tentang Al-‘Arif. Dia menjawab,
Al-‘arif itu ada disini, lalu dia pergi.
Salah seorang guru berkata : “Beberapa al-Haal seperti
kilatan kalau menetap, itu sekedar omongan nafsu.”
Mereka berkata : “Al-Haal sebagaimana namanya, yakni al-
Haal seperti ketika menempati dalam kalbu, kemudian hilang.
Kalau tidak menempati, pasti tidak dinamakan haal.
Dan setiap yang menempati, pastilah hilang,
4
Lihatlah pada bayangan ketika sampai ujungnya
Berkuranglah ketika ia memanjang
Beberpa kalangan mengisyaratkan abadinya al-Haal. Mereka
berkata : “Sebenarnya jika al-Haal tidak abadi dan tidak
terdelegasi, itu hanyalah kilatan belaka. Pelakunya tidak
sampai pada al-Haal yang sebenarnya. Apabila predikat tersebut
menetap terus, dinamkan al-Haal.”
Di sinilah Abu Utsman al-Hiry berkata “Aku tidak pernah
benci terhadap maqam yang telah diberikan Allah swt.
kepadaku.” Ia mengisyaratkan ketetapan abadinya dalam ridha.
Dan ridha merupakan bagian dari al-Haal.
Seharusnya dikatakan : Orang yang mengisyaratkan abadinya
al-Haal, maka apa yang dikatakannya benar. Terkadang al-Haal
berarti bagian dari seseorang kemudian terpelihara di dalamnya.
Tetapi yang memiliki al-Haal ini memiliki beberapa ihwal, yaitu
jalan-jalan yang tak menetap di atas ihwal-ihwalnya yang
menjadi bagiannya. Bila jalan-jalan yang ditempuh menetap
secara konsisten, seperti menetapnya ihwal-ihwal tersebut, ia
naik ke ihwal lain yang lebih lembut. Dan begitu selanjutnya,
naik ke tahap seterusnya.

QABDH DAN BASTH

Kedua istilah ini merupakan kondisi ruhani setelah


seseorang hamba menahapi tingkah laku al-Khauf dan ar-Raja’.
Al-Qabdh di mata seorang arif sama kedudukannya dengan tahap
al-Khauf di mata pemula. Sedangkan al-Basth, setara
kedudukannya dengan a-Raja’ di mana pemula yang mencari jalan
kepada Allah swt.
Perbedaan antara Qabdh, Khauf, Basth dan Raja’
Al-Khauf : Muncul dari sesuatu di masa depan, terkadang
takut kehilangan sang kekasih, atau datangnya sesuatu yang
ditakuti.

5
Ar-Raja’ : Membayangkan sang kekasih di masa depan atau
sesuatu yang ditampakkan akan hilangnya yang ditakuti, serta
yang dibenci, bagi mereka yang pemula (dalam dunia Sufi).
Al-Qabdh : Tahap ruhani yang maknanya yang dihasilkan dalam
waktu seketika, begitu juga al-Basth.
Orang yang mempunyia khauf dan raja’, hatinya bergantung
dalam dua kondisi waktu di depannya. Sedangkan yang memiliki
qabdh dan basth, waktunya diambil oleh yang mengalahkan dalam
kekinian. Hanya saja predikatnya terpaut dalam qabdh dab bats
menurut keterpaduan ihwal mereka. Dari segi yang datang, qabdh
menjadi keharusan, namun menetapi sesuatu yang lain, karena tak
terpenuhi. Dan ddari segi yang tergenggam (al-maqbudh), tidak
ada jalan selain dominsai pendatang di dalam dirinya. Karena
diambil secara keseluruhan dari pihak pendatang tersebut.
Demikian pula yang dileluasakan (al-mabsuth), Kadang-
kadang di dalamnya ada basth yang membuat sang makhluk menjadi
luas, sehingga tidak takut terhadap segala hal. Ia menjadi
mambsuth, tiada sesuatu pun berpengaruh di dalamnya, dari satu
ihwal ke ihwal lain.
Saya mendengar Abu ali al-Daqqaq r.a. berkata : “Sebagian
orang memasuki tempat Abu Bakr al-Qihthy. Di sana ada seorarng
anak sedang bermain sebagaimana permainan anak-anak muda
lainnya (yang bisa merusak hatinya). Orang-orang itu melewati
tempat anak tersebut, dan tampaknya ia tenggelam dalam
permainan dengan teman-temannya. Mereka merasa ibi kepada al-
Qihthy, serayaa berkata, ‘Kasihan Syeikh, bagaimana digoda
oleh anak-anak jelek itu? Ketika mereka memasuki rumah al-
Qihthy, ia menemuinya seakan-akan tak ada berita sedikit pun
soal mainan-mainan itu, lalu mereka pun heran. Mereka berkata.
‘Anda menebus orang yang tidak dapat dipengaruhi puncak-puncak
bukit?’ Al-Qihthy menjawab : “Sesungguhnya kami telah
dibebaskan dari belenggu segala hal dalam azali.” (artinya, ia
telah tenggelam dalam keparipurnaan ubudiyah kepada Allah swt.
sehingga tidak ada yang berpengaruh selain Allah swt.).
Kewajiban terendah dalam qabdh, adanya subyek dalam hatinya
yang mengharuskan bentuk isyarat cacat pada diri, atau adanya

6
rumus yang di dalamnya seseorang berhak untuk bersopan santun
(adab), sehingga dalam kalbunya mendapatkan qabdh.
Terkadang yang datang dalam kalbunya merupakan isyarat
untuk mendekat, atau yang diterima merupakan kelembutan dan
ketentraman, sehingga kalbu mendapatkan basth. Secara global,
wabdh masing-masing pelaku tergantung kualitas basth-nya,
begitu juga basth-nya diukur menurut qabdh-nya.
Terkadang sebab musabab qabdh menimbulkan musykil bagi
pelakunya. Dalam kalbunya ditemukan qabdh yang tidak dimengerti
apa keharusan dan sebabnya. Keharusan yang dijalani pelaku
seperti ini alah taslim, sehingga waktu seperti itu berlalu.
Sebab jika dicari, justru akan menghalanginya. Atau ia
menghadap waktu sebelum jatuh padanya, lewat ikhtiarnya,
sehingga berharap wabdh-nya bertambah. Barangkali hal itu
tergolong su’ul adab. Jika menyerahkan diri pada hukum waktu,
maka dari dekat akan menghilangkan al-qabdh. Sesungguhnya Allah
swt. berfirman :
“Dan sesungguhnya Allah menyempitkan dan melapangkan, dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan,” (Qs. Al-Baqarah : 245).
Terkadang basth datang seketika, tanpa si pelaku tahu
sebabnya, sehingga ia pun terkejut. Jalan yang harus ditempuh,
jika demikian, ia harus tenang dn menjaga adab. Pada waktu itu,
ia sedang mengalami bisikan yang besar. Karena itu, si pelaku
harus menghindari makar yang samar di daamnya. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh sebagian Sufi, “Telah dibuka
padaku, pintu basth, kemudian diriku terguncang hebat, lantas
aku pun tertutup dari maqamku.” Karenanya berkatalah mereka,
“Bertetaplah apda kelapangan (al-bisath) dan hati-hatilah,
berupaya melapangkan.”
Ada ahli hakikat (tahqiq) mengategorikan perilaku qabdh dan
basth tergolong sesuatu yang mereka mohonkan perlindungan.
Karena keduanya disandarkan pada yang diatasnya berupa tahap
kehancuran hamba, sedangkan upaya hamba memasukinya dalam dunia
hakikat dapat melahirkan fakir dan bahaya.
Al-Junayd berkta : “Al-Khauf dari Allah membuatku
tergenggam, Dan ar-Raja’ dari Allah membuatku lapang. Hakikat
telah mengumpulkan diriku. Dan Al-Haq memisahkanku. Apabila Dia
7
membuatku tergenggam adalah khauf, Dia menjadikan diriku fana’
dari diriku. Apabila ar-Raja’ melapangkanku, Dia mengembalikan
kepadaku. Apabila diriku terintegrasi hakikat, maka Dia
menghadirkanku. Apabila aku dipisahkan Al-Haq, aku disaksikan
oleh selain diriku, kemudian menutupiku, Allah swt. dalam semua
hal itu adalah penggerakku tanpa mengekangku, Dia yang
membuatku takut tanpa genmbiraku. Aku dengan kehadiranku,
merasakan rasa wujud-ku. Fana’ku datang dari diriku, membuatku
nikmat, atau mengabaikan dariku, sehingga aku ringan.

HAIBAH DAN UNS

Rasa takut sisertai rasa hormat luar biasa (haibah) dan


sukacita jiwa (uns) merupakan tahap dari derajat-derajat dalam
al-qabdh dan al-basth. Kalau qabdh berada di atas tingkatan
khauf, dan basth di atas tingkatan raja’, maka haibah lebih
tinggi dariapda qabdh, kemudian uns lebih sempurna daripada
basth. (Maksudnya, Uns lebih tinggi tahapannya. Sebab haibah
muncul dari Qabdh, yang bermula dari Khauf. Sedang Uns muncul
dari Raja’. Karena orang yang takut kepada Allah swt, melihat
kekurangan dirinya di hadapan Allah, hatinya akan terganggu
oleh-Nya, dan yang tersisa hanyalah sibuk dengan Allah,
sehingga muncullah Haibah. Siapa yang wushul-nya terus menerus,
hatinya akan lapang dan mendapatkan uns. Catatan Kaki).
Hak haibah adalah kegaiban. Setiap pelaku haibah senantiasa
lebur dalam kegaiban. Orang-orang yang berada dalam gaib
frekuensinya berbeda dalam haibah menurut penjelasan mereka
dalam kegaiban.
Sedangkan hak uns adalah pencerahan dalam kebenaran. Orang
yang melakukan uns, berarti cerah jiwanya. Kemudian
frekuensinya berbeda menurut penjelasannya dalam bagian
“minuman jiwa”. Mereka berkata : “Tempat terendah dalam al-
uns adalah jika seseorang dilempar ke dalam neraka Jahanam,
sama sekali sukacitanya tidak terpengaruh.”
Al-Junayd berkata : “Aku mendengar batinku berkata :
“Seorang hamba bisa ssampai pada suatu batas seandainya
wajahnya tertebas pedang, sama sekali tidak merasakannya.”
8
Sedangkan dalam hatiku ada sesuatu, hingga tampak jelas bahwa
persoalannya sampai sedemikian itu.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Maqatil al-Ikky, ia berkata :
“Aku memasuki tempat asy-Syibly, sedangkan beliau tengah
mencabut helai bulu alisnya dengan sebuah penjepit. Aku katakan
kepadanya; “Wahai tuanku, Anda berbuat demikian apda diri
sendiri, sementara rasa pedihnya kembali pada hatiku.’ Ia
menjawab : “Celaka Anda! Hakikat itu tampak padaku, dan aku
tidak kuat memikulnya. Maka beginilah, aku memasuki kepedihan
atas diriku, siapa tahu aku merasakannya, lalu tertutup dariku.
Aku tak menemukan kepedihan itu. Dan tidak tertutup dariku,
sedangkan kepedihan itu membuatku tidak tahan.”
Kondisi haibah dan uns, walaupun masing-masing tampak
jelas, bagi ahli hakikat masih dikategorikan kurang, karena
keduanya mengandung perubahan pada diri hamba. Sedangkan yang
tidak berubah, dinamakan ahli tamkin. Mereka hangus dalam wujud
nyata. Tidak ada haibah dan tidak pula uns, tidak ilmu maupun
rasa.
Cerita ini dikenal dari Abu Sa’id al-Kharraz : “Suatu
saat di kampung, aku berkata :
Aku datang, maka aku tak mengerti
Dari mana, siapa aku,
Kecuali apa yang dikatakan manusia
Pada diriku dan dalam jenisku,
Aku datangi jin dan manusia
Jika tak kutemui seorang pun,
Aku datangi diriku.
Kemudian ada bisikan lembut menyusup ke dalam kalbuku :
Amboi, siapa yang tahu sebab-sebab
Yang lebih luhur wujud-nya,
Lalu ia bersukaria dengan kesesatan yang hina
Dan dengan manusia

9
Kalau engkau dari ahli wujd yang hakiki
Pastilah engkau gaib dari Jagad, Arasy dan Kursy
Sedang engkau tanpa kondisi ruhani bersama Allah
Jauh dari mengingat
Pada jin dan manusia.

TAWAJUD, WUJD DAN WUJUD

Tawajud adalah upaya memohon ekstase ruhani (wujd), melalui


salah satu ragam ikhtiar. Orang yang memiliki tawajud tidak
dapat dkategorikan sempurna wujd-nya. Sebab, kalau ia sempurna,
pasti disebut wajid.
Dalam bab wazan Tafa’ul lebih banyak menampakkan sifat.
Padahal bukan demikian, seperti dalam syair :
Bila kelompak mata menjadi sempit;
Dan padaku tiada lagi sulit membuka
Lalu kurobek mata, tanpa cela.
Ada pandangan yang mengatakan, “Tawajud tidak terpasrahkan
kepada pemangkunya karena adanya beban dan masih jauh dari
tahqiq.”
Ada pula yang mengatakan : “Tawajud diserahkan kepada para
fakir yang secara internal mengintai untuk menemukan makna-
makna tersebut.”
Hakikat yang bisa dikenal, muncul dari kisah Abu Muhammad
al-Jurairy, r.a. bahwa ia berkata : “Ketika aku di sisi al-
Junayd, di sana da Ibnu Masruq. Tiba-tiba Ibnu Masruq dan yang
lain berdiri sementara al-Junayd tetap saja diam. Aku berkata,
“Tuanku, tidakkah Anda mempunyai suatu pengalaman dalam
penyimakan?’ Al-Junayd menjawab : “Dan kamu lihat gunung-
gunung itu, kamu sangka ia tetap ditempatnya, padahal ia
berjalan seperti jalannya awan.” (Qs. An-Naml :88). Lalu al-
Junayd pun bertanya. “Anda, wahai Abu Muhammad, tidakkah Anda
berpengalaman juga dalam penyimakan?’ Aku katakan : “Tuanku,
10
ketika aku hadir di suatu temepat yang di dalamnya sedang
berlangsung penyimakan, tiba-tiba di sana ada orang-orang yang
bersenang-senang dengan rasa malu, mka aku mengekang diri dan
wujd-ku. Ketika aku menghindar, aku mengirimkan wujd-ku, lalu
aku ber-tawajud,”
Kemudian kata tawajud disebut dalam hikayat tersebut,
sedangkan al-Junayd tidak mengingkarinya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali al-Daqqaq r.a. berkata :
“Apabila manusia menjaga dtika keutamaan sat dalam
penyimimakan, Allah menjaga diri dan waktunya, karena berkat
etikanya.”
Sedangkan ekstase ruhani (wujd) itu sendiri merupakan
sesuatu yang bersesuaian dengan hati Anda, yang datang tanpa
kesengajaan ataupun diupayakan. Karena itu para Syeikh
mengatakan : “Wujd adalah persesuaian hati, sedangkan al-
mawajid (jama’ al-wujd) merupakan bauh dari wirid. Setiap
orang yanng bertambah upaya ruhaninya, Allah pun akan menambah
kelembutannya.”
Saya mendengar Syeijh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata :
“Sesuatu yang sempit di dalam hati itu, muncul dari sisi
wirid. Siapa yang tidak wirid dengan lahiriahnya, maka tidak
wirid pula dalam sirr-nya. Setiap ada sesuatu di dalam diri
pelaku al-wujd, maka tidak dapat dikategorikan sebagai wujd.
Seperti suatu al yang dilakukan melalui muamalat lahriah akan
menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang mualamat lahriah akan
menemukan manisnya ketaatan, dan apa yang turun dalam btin
hamba seputar hukum-hukum batin, akan menemukan al-mawajid.
Kemanisan adalah buah dari mualamat, dan mawajid merupakan
produk dari karunia yang turun”
Sedangkan wujud, merupakan suatu kondisi setelah menapaki
tahap wujd. Wujud Al-Haq tidak dapat dicapai kecuali setelah
memadamkan unsur manusiawinya. Karena kemanusiawian tidak akan
baqa’ ketika muncul kekuasaan Hakikat. Inilah arti dari ucapan
Husain an Nury, “Sejak dua puluh tahun aku berada antara Ada
dan tiada, yakni : Ketika kutemui Tuhanku, sirnalah hatiku, dan
ketika kutemui hatiku, aku kehilangan Tuhan-ku.”

11
Pernyataan ini relevan pula dengan ucapan al-Junayd, “Ilmu
Tauhid” merupakan wahana penjelasan bagi wujud-nya, dan wujud-
nya merupakan wahana bagi ilmunya.” Dalam konteks artian ini,
penyair berkata :
Wujud-ku ada ketika aku gaib dari wujud
Karena yang tmpak padaku
Dalah syuhud (penyaksian).
Tawajud merupakan permulaan, dan wujud adalah tujuan akhir.
Sedangkan wujd sebagai perantara antara permulaan dan tujuan
akhir.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Tawajud
mengharuskan adanya kecelaan hamba. Sedang wujd mengharuskan
ketenggalaman hamba. Demikian pula wujud mengharuskan kesirnaan
mengarungi lautan itu, lantas tenggelam di dalamnya. Struktur
persoalan ini dikatakan secara berurutan, mulai dari : Qusyud
(bermaksud), wurud (sampai), kemudian Syuhud (penyaksian), lalu
Wujud, terakhir Khumud (sirna). Dengan kadar kriteria wujud-
lah, khumud dapat dicapai.
Bagi orang yang ber-wujud memiliki kesadaran (shahw) dan
ketidaksadaran (mahw). Kondisi shahw adalah kebadiannya dengan
Al-Haq, sedang kondisi mahw-nya adalah kefana’annya dengan Al-
Haq. Keduanya saling berkelindan selamanya. Apabila shahw
dengan Al-Haq yang lebih unggul, ia telah sampai *wushul).
Karena itu, Rasulullah saw. bersabda (hadis Qudsi), “Dengan-Ku
ia mendengar dan dengan-Ku ia melihat.”
Manshur bin Abdullah berkata : “Seseorang berada dalam
halaqah asy-Syibly, dan orang itu kemudian beretanya. “Apakah
pengaruh keabsahan wujd itu tampak pada diri orang-orang yang
mencapai al-wujud? Benar. Cahaya yang memancar, bersama dengan
sinar kerinduan, sehingga pengaruhnya mewarnai lubuk hatinya.”
Demikian jawab asy-Syibly.”
Gambaran ini jelas dalam syair Ibnul Mu’tazz :
Gelas yang dibasai iar karena cemerlang beningnya,
Llau mutiara tumbuh dari bumi emas,

12
Sedang kaum menyucikan karena kagum
Pada cahaya air di dalam api dari anggur yang ranum,
Diwarisi ‘Aad dari negeri Iram
Sebagai simpanan Kisra, mulai dari nenek moyangnya.
Suatu kisha berkenaan dengan Abu Bakr ad-daqqy : “jahm ad-
Duqqy mengambil kayu di tangannay ketika sedang menyimak dalam
gairahnya, kemudian ia mencabut dari akarnya. Kemudian keduanya
berkumpul ketika secara bersamaan saling memanggil. Ad.-Duqqy
sendiri sorang yang buta, lalu Jahm berdiri sambil berkeliling
dengan penuh emosi. Abu Bakr ad-Duqqy berkata : “Jika mendekat
kepadaku, ulurkan kayu itu!’ Sementara Jahm ad- Duqqy adalah
manusia lemah, lantas ia menemukan sepotong kayu di dekatnya,
seraya berkata, ‘Ini ia!’ Lalu ad-Duqqy memegang kaki Jahm,
hingga membuatnya tidak dapat bergerak lagi. “Wahai Syeikh,
tobat! Tobat!” teriak Jahm ad-Duqqy. Barulah kemudian Abu Bakr
ad-Duqqy meelpaskannya.”
Semangat Jahm benar, dan pengekangan ad-Duqqy juga benar.
Ketika Jahm menyadari bahwa tindakan ad-Duqqy di atas kondisi
ruhaninya, seketika itu pun ia insaf dan berdamai.
Begitu pula orang yang tidak berbuat maksiat, ia benar.
Namun demikian, apabila yang mengalahkan dirinya adalah
kesirnaan diri, maka ia tidak berilmu dan tidak pula berakal,
tidak paham serta tidak merasa.
Isteri Abu Abdullah at-Targhundy berkata : “Ketika bencana
kelaparan sedang melanda, sementara manusia dijemput maut
karena paceklik itu, tiba-tiba Abu Abdullah at-Targhundy masuk
ke dalam rumah. Ia melihat ada dua kilogram gandum. Berkatalah
ia, ‘Orang-orang mati karena kelaparan, sedang aku masih
mempunyai simpanan gandum di rumah.’ Lalu ia pun kehilangan
akal. Dan sejak saat itu ia tidak pernah bangkit, kecuali pada
waktu-waktu shalat fardhu. Usai shalat kembali pada tingkah
laku semula, dan begitu seterusnya sampai ia meninggal dunia.”
Kisah ini menunjukkan, bahwa laki-laki tersebut selalu
menjaga diri dalam adab syariat, ketika dilanda oleh hukum-
hukum hakikat. Demikian sifat ahli hakikat. Mengenai faktor
penyebab hilangnya akal pada dirinya, dikarenakan kepeduliannya
13
(syafaqah) terhadap nasib semua kaum Muslimin. Ini derajat yang
lebih kuat dalam sikap perilakunya.

JAM’i DAN FARQi

Dua kata tersebut cukup populer di kalangan ahli tasawuf.


Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Al-farq, suatu kondisi
yang dihubungkan kepada diri sendiri, dan al-Jam’, berkaitan
dengan hal yang menyirnakan diri sendiri. Artinya, Segala upaya
hamba seperti menegakkan ubudiyah dan hal-hal yang layak dengan
tingkah laku manusiawi, disebut al-Farq. Sementara jika datang
dari arah Al-Haq (Allah swt.) seperti mucnulnya makna-makna dan
datangnya kelembutan serta ihsan, maka disebut al-Jam’.
Dafinisi ini merupakan kondisi paling sederhana dalam
konteks jam’ dan farq. Sebab, kondisi tersebut merupakan
bagian dari penyaksian segala bentuk perbuatan. Siapa yang
meneyaksikan dirinya di hadapan Al-Haq dalam perbuatan-
perbuatannya seperti ketatan dan pegingkaran dirinya, maka
hamba tersebut dideskripsikan dalam pemisahan (tafriqah).
Sedangkan yang menyaksikan dirinya di hdapan Al-Haq melalui
perbuatan yang didelegasikan dari Af’al Allah swt, maka sang
hamba telah menyaskikan al-Jam’. Penetapan makhluk merupakan
pintu tafriqah, dan penetapan al-Haq merupakan predikat al-
jam’.
Bagi hamba, haruslah berkondisi jam’ dan farq. Sebab siapa
yang tidak berposisi farq, ia tidak memiliki penghambaan
(ubudiyah), dan siapa pun yang tidak berposisi jam’, ia tidak
pernah ma’rifat kepada-Nya. Firman Allah swt. (Hanya Kepadamu
Kami menyembah), merupakan isyarat terhadap al-farq. Sedangkan
firman-Nya (dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolonan),
merupakan isyarat al-jam’.
Apabila hamba berbicara kepada Tuhannya, melalui bahawa
munajat, apakah memohon mendoa, memuji, bersyukur, menyucikan
diri atau pun meminta, maka ia telah menempati tahap berpisah
(tafriqah). Namun apabila ia telah terpesona melalui sirri-nya
terhadap apa yang dimunajatkannya kepada Tuhan, kemudian
mendengarkan melalui kalbunya apa yag telah dikatakan lewat
14
munajat itu, hal-hal yang dimohonkan atau dimunajatkan kepada-
Nya, atau pun yang dikenalkan oleh-Nya, maka makna-Nya, atau
bahkan yang dihamparkan dalam hatinya dan di perlihatkan oleh-
Nya, maka ia telah menyaksikan dalam al-jam’.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata :
“Aku menguraikan beberapa ucapan di sisi Ustadz Abu Sahl ash-
Sha’luky r.a. (Engkau buat menjadi bersih pandanganku ke
padamu’). Ketika itu Abul Qasim an- Nashr Abadzy hadir di
sana. Lalu Ustadz Abu Sahl berkata : “(huruf ta’
dinashab’),. Maka Abu Nashr Abadzy, berkata : (Huruf ta’
didhammah’).”
Artinya, barangsiapa mengucapkan perkataan (“kujadikan”),
berarti mengabarkan sikap perilakunya sendiri, seakan-akan sang
hamba berkata, “ini”!. Jika ia berkata (“engkau
jadikan”), seakan-akan mengatakan, bebas dari beban. Bahkan
ia berkata kepada Tuhan-nya, “Engkau-lah yang mengkhususkan
kepadaku dengan ini, bukan aku, melalui kemampuanku.” Yang
pertama, berkaitan dengan bisikan do’a, dan yang ke dua,
dengan sifat bebas dari upaya dan ikrar melalui keutamaan dan
sariguna. Maka, bedakan antara orang yang mengatakan, “Melalui
jerih payahku, aku menyembah-Mu,” dan ucapan orang : “Melalui
keutamaan dan kelembutan-Mu, aku menyaksikan-Mu.”
Adapun jam’ul jam’i di atas semua itu. Manusia memiliki
frekuensi masing-masign sesuai dengan manifestasi perilaku dan
kepautan derajat mereka. Barang siapa menetapkan atas dirinya,
berarti menetapkan kemakhlukan, namun menyaksikan keseluruhan,
berarti ia telah mandiri kepada Yang Haq, dan inilah al-Jam’.
Tetapi jika yang terlibas dari penyaksian terhadap kemakhlukan,
lebur dari dirinya, dan teraih universalitas, dari segala hal
yang tampak dan terdelegasi dari kekuasaan hakikat, maka tahap
inilah yang disebut jam’ul jam’i.”
Tafriqah adalah penyaksian terhadsap makhluk, hanya untk
Allah swt. Al-jam’ adalah penyaksian terhadap makhluk bersama
Allah swt. dan jam’ul jam’i, berarti sirna dengan
univeraslitas, dan fana’-nya rasa kepada selain Allah swt.
ketika terlanda hakikat. Jam’ul jam’i merupakan kondisi
mulia. Sebagian kaum menamakan tahap ini sebagai al-farq kedua.
Yaitu dikembalikan pada tahap rasa pasca sirna, pada saat
15
menjalani waktu-waktu fardhu, agar tetap konsisten terhadap
kefarduan dengan segenap waktunya, sehingga ia kembali, hanya
untuk dan bersama Allah swt, bukan bagi hamba bersama hamba.
Sang hamba melihat dirinya pada kondisi seperti itu dalam
perbuatan Al-Haq. Ia menyaksikan awal Zat-nya dan kenyataannya
bersama Qudrat-Nya. Sedangkan tempat pijakan ketika menjalankan
perbuatan dan tingkah lakunya hanya bersama Ilmu dan Kehendak-
Nya.
Sebagian Sufi mengisyaratakan kata al-Jam’ dan al-farq
kepada Perbuatan Al-Haq atas seluruh makhluk. Maka globalitas
dari keseluruhan dalam proses bolak balik dan perbuatan, harus
dilihat dari satu arah, bahwa sebenarnya Allah-lah yang
memunculkan substansi-substansi mereka itu. Allah-lah yang
menjalankan sifat-sifat mereka. Kamudian Allah swt. memisahkan
dalam ragam : Satu kelompok, Allah swt. membahagiakan mereka,
dan kelompok lain Allah swt. menjauhkan dan menyengsarakan
mereka. Satu kelompok lagi Allah swt. menarik hati mereka, dan
kelompok yang lain dilupakan dan diputus-asakan dari rahmat-
Nya, dan satu golongan lagi Allah swt, memutus kehendak mereka
untuk menyatakanDiri-Nya. Ada kelompok yang disadarkan pada
tahap rasa mereka dan ada yang disirnakan. Ada kelompok yang
didekatkan dan dihadirkan, Kemudian Allah meminumkan karunia
hingga mereka dimabukkan ruhaninya, namun juga ada golongan
yang dicelakakan dan diakhirkan, kemudian dijauhkan dan
disingkirkan. Ragam Af’al-Nya tidak bisa dijangkau oleh
batasan, sementara rinciannya tidak dapat diuraikan dan
diingat. Para Sufi pernah melantunkan syair bagi al-Junayd,
mengenai makna jama’ dan farq :
Engkau telah membuat nyata-Mu
Dalam rahasiaku
Lalu lisanku munajat pada-Mu
Kita berkumpul bagi makna-makna
Dan berbpisah bagi makna-makna pula
Jika Gaib-Mu adalah
Keagungan dari lintasan mataku

16
Toh Engkau buat keserasian dari dalam
Yang mendekatku.
Mereka bersyair lagi :
Jika telah tampak padaku
Keagungan, lalu keluar dalam tingkah orang
Yang tak dikehendaki
Maka aku berkumpul dan berpisah dengan-Nya
Sedang ketunggalan yang saling bertemu
Adalah dua dalam satu bilangan.

FANA’ DAN BAQo’

Sejumlah Sufi mengisyaratkan Fana’ pada gugurnya sifat-


sifat tercela, sementara baqa’ diisyaratkan sebagai kejelasan
sifat-sifat terpuji. Kalau pun seorang hamba tidak terlepas
dari salah satu sifat tersebut , maka dapatlah dimaklumi,
sebenarnya, salah satu bagian apabila tidak dijumpai dalam diri
manusia, maka dapatlah ditemui sifat satunya lagi. Barangsiapa
fana’ dari sifat-sifat tercela, maka yang tampak adalah sifat-
sifat terpuji. Sebaliknya, jika yang mengalahkan adalah sifat-
sifat yang hina, maka sifat-sifat yang terpuji akan tertutupi.
Perlu diketahui, bahwa predikat yang menjadi sifat hamba
mengandung perbuatan, akhlak dan tingkahlaku. Perbuatan-
perbuatan tersebut merupakan daya manusia melalui ikhtiarnya.
Sedangkan akhlak merupakan pembawaan. Namun sifat itu berubah
menurut konsistensi kebiasaannya. Sedangkan tingkah laku
merupakan suatu perilaku yang dikembalikan kepada hamba dari
segi permulaannya. Hanya saja, penjernihannya muncul setelah
pembersihan amal. Seperti akhlak dalam satu segi. Demikian pula
manakala sang hamba terus menerus membersihkan perbuatannya,
melalui upaya yang telah diberikan kepadanya. Allah swt.
memberikan anugerah kepadanya melalui penjernihan tingkah laku,
bahkan melalui penyempurnaan tingkah laku tersebut.

17
Siapa yang berupaya meninggalkan perbuatan kehinaan dengan
bahasa syariat, maka ia telah fana’ dari syahwatnya. Jika
telah fana’ dari syahwatnya, akan kekallah bangunan dirinya
serta keikhlasan dalam ubudiyahnya. Sipa yang zuhud di dunia
dengan hatinya, maka ia telah faa’ dari kesenangannya. Dan
jika telah fana’ kesenangannaya, berarti telah kekal melalui
kejujuran kembali dirinya. Barangsiapa menerapi (mengobati)
akhlaknya dari penyakit kalbu seperti dengki, angkuh, bakhil,
sangat bakhil, marah, sombong dan sebagainya dari kenakguhan
nafsu, maka berarti telah fana’ dari kebejatan akhlak. Kalau
sudah demikian, yang kekal dalam dirinya adalah
ketidakpeduliannya kepada kepentingan pribadinya (futuwwah) dan
kejujuran pada diri sendiri. Barangsiapa menyaksikan berlakunya
qudrat dalam mekanisme hukum dan aturan, maka dapat dikatakan :
Ia telah fana’ dari tanggungan perkara pertama dari makhluk.
Jika ia fana’ dari pengaruh-pengaruh imaji makhluk, maka ia
kekal bersama sifat-sifat Al-Haq. Dan siapa yang terlimpahi
kerajaan hakikat, sehingga tiada sedikitpun yang disaksikan,
baik alam kenyataan, pengaruh, rumus, atau penundaan, maka ia
telah fana’ dari makhluk, dan abadi bersama Al-Haq. Ke-fana’-
an hamba dari segala perbuatannya yang hina, dan tingkahlakunya
yang buruk, telah menghilangkan perbuatan-perbuatan seperti
itu. Ke-fana’-an mereka atas dirinya dari makhluk lainnya,
dengan cara menghilangkan rasa untuk diri sendiri dan mereka.
Kalau telah fana’ dari perbuatan, akhlak dan tingkah laku,
maka subyek ke-fana’an dari semua itu tidak boleh di-maujud-
kan.
Apabila dikatakan, “,Manusia benar-benar fana’ dari
dirinya dan dari makhluk, maka dirinya maujud dan makhluk juga
maujud, tetapi ia tidak tahu dirinya dan juga juga tidak
mereka. Tidak ada rasa maupun berita. Maka dirinya ada, dan
makhluk menjadi ada, berikutnya. Namun ia lupa dari dirinya
maupun semua makhluk, sama sekali tidak merasakan adanya
dirinya dan makhluk lainnya (karena keparipurnaan yang penuh
dalam kesibukannya terhdap sessuatu yang lebih luhur dari
semuanya.)”
Terkadang Anda melihat seseorang memasuki tempat penguasa
atau orang yang kejam, lalu orang tersebut merendahkan diri
atau merendah pada majelis di sana. Alangkah jauh jauh hati
18
itu, juga dirinya, hingga tak mungkin untuk mengatakan sesuatu.
Allah berfirman :
“Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum
kepada (keelokan)nya, dan mereka melukai jari-jari tangannya.”
(Qs. Yusuf 31).
Suatu gambaran ketika mereka sama sekali tidak menemukan
rasa sakit ketika (pertama kali menyaksikan raut muka Yusuf
a.s.). Mereka adalah wanita-wanita yang lemah, dan mereka
berkata :
“Dan mereka berkata : “Maha Sempurna Allah, ini bukanlah
manusia. Sesungguhnya ini tidak lain, hanyalah malaikat yang
mulia.” (Qs. Yusuf : 31).
Inilah kealpaan makhluk atas perilakunya sendiri ketika
bertemu dengan sesamanya. Bagaimana menurut dugaan Anda dengan
orang yang dibuka untuk menyaksikan Al-Haq? Kalaupun mereka
lupa dari rasa dalam dirinya dan orang-orang sejenisnya, maka
adakah lebih menakjubkan lagi ketimbang melihat-Nya?
Barangsiapa fana’ dari kebodohannya, yang kekal adalah
ilmunya. Siapa yang fana’ dari kesenangannya, yang kekal
adalah zuhudnya. Siapa yang fana’ dari angan-angannya, yang
kekal adalah kehendaknya. Demikian juga seluruh konotasi
kiprahnya. Apabila hamba fana’ dari sifatnya yang bisa
diingat, kemudian menaiki tahap lebih tinggi dengan fana’nya
dari melihat ke-fana’-an itu sendiri. (Inilah yang disebut
Fana’u Fana’ ). Sebagaimana digambarkan penuyair :
Ada kaum yang tersesat di padang gersang
Aa pula yang tersesat di padang cintanya
Mereka fana’, kemudian fana’ lalu fana’
Lantas mereka kekal dengan kekal dari kedekatan Tuhan-nya.
Yang pertama adalah fana’ dari dirinya, fana’ dari
sifatnya karena Baqa’-Nya Sifat-sifat Al-Haq. Kemudian
fana’nya dari sifat-sifat Al-Haq karena penyaksiannya terhadap
Al-Haq itu sendiri, kemudian fana’-nya dari melihat penyaksian
fana’, melalui keleburan dirinya dalam Wujud Al-Haq.

19
GHAIBAH DAN HUDHUR

Ghaibah berarti kegaiban kalbu dari segala apa yang


diketahui, berkaitan dengan apa yang berlaku pada tingkah laku
makhluk, karena adanya faktor yang datang padanya, sehingga
perasaannya tersibukkan oleh kegaiban yang tiba itu. Kemudian
rasa itu, dengan sendirinya dan yang lainnya, menjadi gaib,
karena faktor yang tiba, akibat mengingat pahala atau
memikirkan ancaman siksa.
Diriwayatkan bahwa Rabi’ bin Haitsam pergi ke ruah Ibnu
Mas’ud r.a. kemudian ia melewati kedai tukang pande (besi). Ia
melihat bara yang menganga di perapian pande itu. Tiba-tiba ia
pingsan (karena membayangkan akibat-akibat pelaku dosa yang
dibakar api). Ketika siuman, ia ditanya. “Aku ingat bagaimana
keadaan ahli neraka di neraka nanti.” Demikian katanya.
Diriwayatkan dari Ali bin al-Husain. Ketika ia sedang
sujud, tiba-tiba terasa ada jilatan panas api yang tersulut di
dalam rumahnya, dan ia sama sekali tidak bepaling dari
shalatnya. Lantas ditanya tentang keadaannya yang demikian itu.
“Aku tercengang oleh nyala api besar, lebih dari kobaran api
itu.” Jawabnya.
Manakala ghaibah rasa yang muncul oleh faktor yang
dibukakan Al-Haq seperti itu, maka derajat mereka berbeda-beda
menurut tingkah laku kondisinya.
Kisah yang populer, bahwa awal mula perilaku Abu Hafs an-
Naisabury al-Haddad meninggalkan pekerjaan di kedainya, yaitu
ketika muncul seseorang yang membaca ayat Al-Qur’an. Lalu ia
menjadi lupa dari rasanya karena adanya sesuatu yang datang
menyelusup. Lalu ia menyusupkan tangannya pada bongkahan bara
api, dan menariknya kembali sambil memegang bara api yang
menganga (sama sekali tidak merasa panas). Muridnya, saat
melihat kejadian itu pun berkata. “Wahai guru, apa ini?
Seketika itu pula Abu Hafs memandang apa yang tampak padanya,
lalu meninggalkan pekerjaannya dan segera pergi berlalu dari
kedai.

20
Saya mendengar Abu Nashr, muadzin di Naisabur. Ia dikenal
sebagai laki-laki saleh. Ia mengisahkan, “Aku sedang membaca
Al-Qur’an di majelis Ustadz Abu Ali ad.Daqqaq di Naisabur. Dan
Ustadz sendiri sedang membahas soal haji, sampai hatiku
terpengaruh karenanya. Pada tahun ini pula aku pergi haji, dan
meninggalkan kedai serta pekerjaan. Sementara Ustadz Abu Ali
r.a. juga pergi menunaikan haji pada tahun yang sama. Ketika di
Naisabur aku menjadi pelayannya dan ikut membaca Al-Qur’an di
majelisnya. Suatu hari di desa, aku melihatnya sedang bersuci
dan lupa akan kendil bawaannya. Aku pun membawanya. Sesampai di
tempat tujuan kuletakkan di sisinya. Ia berkata, “Semoga Allah
membalas kebaikan kepadamu, ketika kamu membawa ini.” Lalu ia
menatapku dalam-dalam, seakan-akan itu sebagai tatapan
terakhir. Tiba-tiba ia berkata, “Pernah sekali, aku bertemu
denganmu, siapa kamu? Aku menjawab, “Aku adalah orang yang
memohon pertolongan kepada Allah swt, aku menyertaimu
sekedarnya, dan kutinggalkan hunianku, karenamu. Aku merasa
teputus oleh kemenangan dan waktu, ketika engkau berkata,
“Pernah sekali, aku beertemu denganmu...!”
Sedangkan Hudhur, bisa berarti, seseorang sebagai pihak
yang hadir bersama Al-Haq. Sebab ketika ia ghaib dari makhluk,
ia hadir bersama Al-Haq. Artinya, seakan-akan ia hadir, kaerna
limpahan dzikir pada yang haq di dalam kalbunya, yang berarti
ia hadir dengan kalbunya, di antara sisi Tuhannya. Dalam batas
kegaibannya dari makhluk, maka kehadirannya dikategorikan
bersama Al-Haq. Namun apabila ia gaib secara universal, maka
kehdiran tersebut menurut kegaibannya. Manakala dikatakan “ Si
Fulan hadir. Berarti, ia hadir dengan kalbunya untuk Tuhannya.
Ia tidak lupa dari-Nya dan tidak pula alpa. Lalu ia mukasyafah
dalam hudhur-nya menurut derajatnya, dengan segala makna yang
dikhusukan oleh Al-Haq kepadanya.
Kadang-kadang hudhur dikatakan, karena kembalinya hamba
pada dimensi rasa terhadap perilaku dirinya dan makhluk
lainnya. Ia kembali pada kesadaran dari kegaibannya. Ini
disebut hadir bersama makhluk. Yang pertama disebut hadir
bersama Al-Haq, dan frekuensi kegaibannya beragam. Ada yang
pendek gaibnya, adapula yang abadi.

21
Iriwayatkan bahwa Dzun Nuun mengutus salah seorang muridnya
ke Abu Yazid al-Bisthamy, untuk menyampaikan pesan agar Abu
Yazid mengubah sifatnya. Ketika murid Dzun Nuun telah sampai di
daerah Bau Yazid, ia menanyakan rumah Abu Yazid, lalu ia pun
menuju ke rumah yang dimaksud. “Apa maksud kedatanganmu?”
tanya Abu Yazid. “Aku ingin menemui Abu Yazid.” Kata orang
itu. “Siapa Abu Yazid? Di mana Abu Yazid? Aku juga sedang
mencari Abu Yazid.” Kata Abu Yazid. Orang itu pun segera pergi
berlalu sambil bergumam, “Laki-laki itu pasti gila!” Kemudian
ia kembali pulang ke rumah Dzun Nuun, mengabarkan apa yang
disaksikan. Tiba-tiba Dzun Nuun menangis, sambil berkata,
“Saudaraku Abu Yazid benar-benar telah pergi bersama mereka
yang pergi kepada Allah swt.”

SHAHUW DAN SUKR

Shahw adalah kesadaran hamba kepada rasa setelah mengalami


kegaiban (ghaibah). Dan Sukr adalah mabuk ruhani akibat sesuatu
yang datang dengan sangat kuat. Sukr berati tambahan bagi
ghaibah di satu sisi. Karena itu orang sukr, kadang-kaang
terhamparkan dirinya, manakala berlum terpenuhi dalam sukr-nya.
Kadang-kadang apda tahap sukr, segala kekhawatiran berguguran
dari kalbunya. Itulah perilaku orang yang menampakkan sukr,
karena tidak mampu memenuhi datangnya bisiskan yang luhur.
Kdang, dalam kesadaran ada kesegran, lalu mabuk pesonanya
bertambah atas ghaibah-nya. Terkadang seorang yang sukr lebih
ghaibah ketimbang orang yang sedang berada dalam ghaibah itu
sendiri mana kala sukr-nya lebih kuat. Dan tidak jarang orang
yang ghaibah itu lebih sempurna dalam ghaibah-nya dibanding
orang yang sukr, manakala sukr-nya tidak mencapai apa yang
diinginkan.
Sedangkan ghaibah, terkadang datang kepada para hamba
karena adanya sesuatu yang mengalahkan kalbunya, disebab
disiplin cinta sukacita, khauf dan raja’. Sementara sukr tidak
akan terwujud, kecuali kepada orang yang memiliki keseuaian-
kesusaian ruhani. Apabila Allah swt. membuka hamba melalui
sifat Keindahan (al-Jamal), maka hamba akan mabuk kepayang
(sukr), dan ruhnya menjdai gembira, sementara kalbunya
22
terpesona. Dalam sukr yang muncul akibat mukasyafah Jamal,
mereka mendengarkan syair :
Kesadaranmu dari kata-Ku,
Adalah sambung semuanaya
Dan mabuk kepayangmu dari bagian-Ku
Memperkenankan bagimu, meneguk minuman
Tak bosan-bosan peminumnya
Tak bosan-bosan peenguk minumnya
Menyerah pada bagian,
Yang gelas pialanya memabukkan jiwa.
Merek masih bersyair :
Orang-orang menjadi mabuk memutari gelas piala
Sedang mabukku datang dari Yang Memutarnya

Ada dua kemabukan bagiku


Dan bagi dua penyessal hanya satu
Yang dikhususkan bagiku di antara mereka
Hanya untukku

Dua mabuk kepayang


Mabuk cinta
Mabuk abadi
Ketika siuman
Tiba-tiba telah bugas si pemabuk
Anda perlu mengetahui bahwa, derajat kesadaran (Shahw)
tergantung pada frekuensi mabuk kepayang ruhani (sukr). Siapa
yang sukr-nya bersama Al-Haq, maka Shahw-nya juga bersama Al-
Haq, barangsiapa sukr-nya masih diliputi oleh dunia, maka Shahw
nya juga disertai dunia yag benar. Barangsiapa menepati
23
kebenaran dalam sikap perilaku, maka ia terjaga dalam sukr-nya.
Sukr dan Shahw mengisyaratkan pada ujung dari pemisahan.
Manakala tampak dari kekuasaan hakikat, mka sifat hamba
diketahui dalam kesirnaan dan keterpaksaan. Mereka bersyair :
APabila pagi telah terbit dengan bintang yang gembira
di dalamnya telah seimbang kemabukan dan kesukacitaan
Allah swt. berfirman :
“Tatkala Tuhannya menampak pada gunung itu, kejadian itu
membuat gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.”
(Qs. Al-A’raaf :143).
Itulah pengalaman dalam Risalah Musa as, dan apalagi gunung
dan kekuatannya menjadi lebur berkeping-keping.

Sang hamba dalam kondisi sukr-nya menyaksikan kondisi


ruhani itu sendiri, dan dalam dalam Shahw-nya ia menyaksikan
ilmu. Hanya saja dalam tingkah sukr-nya terjaga, tidak melalui
beban yang diupayakan. Sedangkan dalam Shahw-nya terjaga
melalui upayanya. Shahw dan Sukr terjadi setelah Dzauq dan
Syurb.
DZAUQ DAN SYURB

Di antara bagian yang berlaku dalam tradisi Sufi adalah


Dzauq dan Syurb. Mereka mengonotasikan istilah tersebut dari
peristiwa yang mereka temukan dari buah tajali dan buha
mukasyaah serta kejutan-kejutan yang muncul. Tahap pertama
adalah Dzauq, kemudian Syurb, lalu Irtiwa’.
Kejernihan muamalat mereka mendatangkan rasa (dzauq)
makanwi, dan ketepatan tahap-tahap mereka mengharuskan adanya
minum (syurb). Sementara keabadian hubungan mereka (wushul)
mengharusskan adanya kesegaran (irtiwa’).
Orang yang memliki dzauq menampakkan sukr-nya. Dan orang
yang sedang syurb melahirkan kemabukkan. Orang yang irtiwa’
selalu menjerit. Dan siapa yang kuat cintanya, maka abadi pula
minum-nya. Apabila sifat-sifat seperti itu abadi, syurb tidak
24
melahirkan mabuk (sakran). Dan ia selalu menjerit bersama Al-
Haq sebagai orang yang fana’ dari segala jagad makhluk, sama
sekali tidak berbpengaruh baginya apa yang datang, dan tidak
berubah, apa yang menyertainya. Barangsiapa jernih sirr-nya,
maka minum-nya tidak akan pernah keruh. Dan siapa yang menjadi
peminum (ruhani) sebagai konsumsi, ia tidak akan pernah sabar
dan tidak pernah abadi tanpa konsumsi itu. Mereka bersyair :
Gelas minuman adalah susuna kita
Kalau tak kita rasakan
Tak hidup pula ita
Dalam syair mereka :
Aku heran orang yang bicara : Aku inngat Tuhanku
Apakah aku alpa, lalu aku ingat apa yang kulupa?
Kuminum cita, gelas demi gelas piala
Tuntas habis minuman, tak puas dahaga pula
Yahay bin Mu’adz menulis surat kepda Abu Yazid al-
Bisthamy, “Di sana, orang yang meminum gelas dari kecintaan,
tiada dahaga usainya.” Lalu Abu Yazid menulis surat kembali.
“Aku heran atas kelemahan dirimu di sana. Sebab siapa yang
merasa di samudera jagad raya, ia akan hilang
keberuntungannya.”
Ingatlah, bahwa piala-piala taqarub tampak dari kegaiban.
Dan Anda tidak bisa mengelilingi, kecuali dengan rahasia-
rahasia kemerdekaan dan ruh-ruh bebas dari segala belenggu.

MAHUW DAN ITSBAT


Mahuw berarti hilangnya sifat-sifat kebiasaan.
Dan Itsbat berarti menegakkan hukum-hukum ibadat. Barangsiapa
menghapus perilaku hinanya dan menggantikannya dengan perilaku
mulia, maka dialah yang memiliki mahuw dan itsbat.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata :
“Sebagian para syeikh berkata pada kaum Sufi, “Bagaimana Anda
mengalami mahw dan itsbat? Lalu orang itu diam, kemudian
25
berkata : “Adapun yang kuketahui, waktu adalah mahw dan
itsbat. Sebab siapa yang tidak memiliki mahw dan itsbat,
berarti telah menelantarkan diri dan terabaikan.”
Mahw terbagi dalam mahw sirna (zallat) dari hal-hal yang
lahiriah dan mahw alpa (ghaflat) dari hal-hal yang batiniah,
serta mahw dari bentuk sebab (Illat) pada hal-hal rahasia.
Dalam mahw zallat muncul itsbat pada muamalat. Pada mahw
ghaflat muncul itsbat pada tahapan-tahapan, dan dalam mahw
illat muncul itsbat dalam wushul. Inilah mahw dan itsbat
sebagai syarat ubudiyah.
Sementara hakikat mahw dan itsbat, masing-masing tumbuh
dari Qudrat. Mahw adalah segala hal yang ditutup dan disirnakan
tumbuh dari Qudrat. Mahw adalah segala hal yang ditutup dan
disirnakan ole Al-Haq. Dan Itsbat, segala hal yang dditampakkan
dan dijelaskan oleh al-Haq. Mahw dan itsbat dibatasi oleh
Kehendak.
Allah swt. berfirman :
“Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan
(apa yang Dia kehendaki)” (Qs. Ar-Ra’ad : 39).
Dikatakan : “Allah swt. menghapus dzikir selain-Nya dari
hati orang-orang ‘Arifin (Orang yang ma’rifat). Dan Allah
menetapkan pada lisan orang-orang yang menuju kepada Allah swt.
dengan dzikrullah. Mahw Al-Haq pada setiap orang, dan peng-
itsbat-an Allah swt. kepdanya, sesuai kelayakan tingkah
lakunya.”
Barangsiapa di mahw-kan oleh Allah swt. dari penyaksian,
Allah swt. memberikan itsbat dengan kekuatan Haq-Nya. Dan siapa
yang di-mahw oleh AL-Haq dari itsbat-nya, Allah mengembalikan
pada penyaksian jagad dunia, dan ditetapkan dalam wahana
perpisahan.
Seseorang bertanya kepada asy-Syibly r.a. : “Apa yang
membuat diriku melihatmu tampak gelisah? Bukankah Dia bersamamu
dan engkau bersamam-Nya? Asy-Syibly berkata : “Kalau aku
adalah aku bersama-Nya, tentu, aku adalah aku. Tetapi aku pun
terhapus dalam wahana-Nya. Orang yang dikaruniani keterhangusan
berada di atas majw. Karena mahw meninggalkan bekas. Sedangkan
26
orang yang terhapus (muhaq) tidak meninggalkan bekas. Sementara
cita-cita kaum Sufi adalah, agar ereka dihanguskan oleh Al-Haq
dari segala penyaksian mereka. Kemudian Al-Haq tidak
mengembalikan kepada penyaksian mereka. Kemudian Al-Haq tidak
mengembalikan kepada mereka seperti semula setelah mereka
dihanguskan dalam ruhani itu.

SITR DAN TAJALLI


Orang awam berada dalam tutup (sitr). Dan orang khawash
berada dalam keabadian manifestasi (tajalli). Dalam suatu
hadis, Allah swt. apabila telah ber-tajalli terhadap sesuatu,
maka sesuatu itu khusyu’ (tunduk) kepada-Nya.
Orang yang berada dalam tahap sitr memakai sifat
penyaksiannya. Dan orang yang berada dalam tahap tajjali,
selamanya disertai sifat khusyu’nya.
Sitr, bagi awam merupakan siksaan, dan bagi khawash
(kalangan khusus dalam ruhani) merupakan rahmat. Sebab tanpa ia
tertutupi apa yang tersingkap dalam diri mereka, nisscaya akan
musnah di sisi Yang Maha Diraja Hakikat. Namun, sebagaimana
tampak pada diri mereka, apa yang tersingkap pun tertutup pada
mereka.
Manshur al-Maghriby berkaa : “Aku menemui salah sorang
fakir dalam kehidupan orang Arab, diantaranya terdapat seorang
pemuda. Pemuda itu melayani sang fakir. Tiba-tiba pemuda itu
pingsan. Lalu si fakir bertanya tentang keadaannya. Maka orang-
orang di situ menjelaskan : “Ia memiliki kemenakan wanita, dan
ia sangat cinta kepadanya. Lalu gaids itu berjalan di kemahnya,
tiba-tiba pemuda itu melihat gadis yang kumal berdebu. Kemudain
pemuda itu pun pingsan.” Lantas si fakir berlalu menuju pintu
kemah, sambil berkata kepada anak gadis itu. “Sesuatu yang
asing bagimu, menjadi tutup dan cacian. Aku datang hendak
menolongmu berkenaan dengan pemuda ini. Maka sebaiknya engkau
kasihan terhadap apa yang ada pada dirinya, dari cintanya
kepada dirimu.” Lalu gadis itu berucap “Subhanallah!” Engkau
orang yang berhati sehat. Sebenarnya ia tidak tahan melihat
kekumalanku, lalu bagaimana ia kuat meneemaniku?”

27
Kehidupan orang-orang awam itu berada dalam penampakan
(tajalli), sementara cobaan mereka ada dalam ketertutupan
(sitr). Bagi orang-orang khawash, mereka selalu berada di
antara ketidak pedulian dan kehidupan nyata. Karena ketika
menampakkan diri kepada mereka, justru mereka acuh, namun
ketika mereka tertutup, mereka dikembalikan pada dunia,
sehingga mereka hidup.
Ada yang mengatakan, ketika Allah swt. berfirman kepada
Musa, “Apa yang ada pada tanganmu wahai Musa.” (Qs. Thaaha :
17), justru agar Musa tertutupi sebagian apa yang menjadi sebab
langsung yang berpengaruh akibat mukasyafah, lewat kejutan
penyimakan.
Mohon ampunan (istighfar) itu sendiri merupakan upaya
pencarian sitr. Dan ampunan (maghfirah) adalah sitr. Seakan-
akan ia mengabarkan, bahwa ia mecari str pada hatinya ketika
didatangi keperkasaan hakikat. Sebab bagi makhluk, tidak
sedikit pun ada keabadian di sisi Wujdu Al-Haq. Dalam hadis
disebutkan : “Apabila dibuka Wajah-Nya, pastilah kesucian
Wajah-Nya (Cahaya-Nya) membakar apa yang dilihat oleh
pandangannya.” (Hr. Muslim).

MUHADHARAH, MUKASYAFAH DAN MUSYAHADAH


Muhadharah, berarti kehadiran kalbu, stelah itu
baru Mukhasyafah, yakni kehdiran kalbu dengan sifat nyatanya,
lalu Musyahadah, yaitu hadirnya Al-Haq tanpa
dibayangkan. Apabila langit rahasia (sirr) telah bersih dari
mega sitr, maka matahari penyaksian tepancar dari bintang
kemuliaan.
Kebenaran musyahadah, seperti diungkapkan oleh al-Junayd
r.a. “Wujdu Al-Haq menyertai kesirnaanmu. Orang yang
bertahap Muhadharah selalu terikat dengan ayat-ayat-Nya. Dan
orang yang mukasyafah terhampar oleh Sifat-sifat-Nya, sedangkan
orang yang musyahadah ditemukan Dzat-Nya. Orang yang
Muhadharah ditunjukkan akalnya. Orang yang mukasyafah
didekatkan ilmunya. Dan orang yang musysahadah dihapuskan oleh
ma’rifatnya.”

28
Tidak ada tambahan lagi dalam penjelasan musyahadah lebih
dari apa yang dikatakan oleh Amr bin Utsman al-Makky r.a. Arti
dari yang diucapkan, bahwa cahaya-cahaya yang melingkupi
kalbunya, tanpa adanya tutup dan faktor yang memutus di
celahnya. Sebagaimana perkiraan dalam kiltan yang bersambung.
Seperti malam yang gelap dilampaui cahaya, dan cahaya itu tidak
terputus, maka jadilah cahaya siang. Begitupun kalbu, apabila
keabadian Tajalli tampak terus menerus, akan menjadi siang yang
nikmat, tiada malam samak sekali.
Dalam syair yang mereka lantunkan :
Malamku, dengan Wajah-Mu terang benderang
Dan kegelapannya merambah manusia
Manusia berada dalam kegulitaan,
Sedang kami ada di cahaya benderang siang
An-Nury berkata : “Seorang hamba tidak sah ber-musyahadah,
sepanjang masih hidup. “Apabila subuh telah terbit, tak perlu
lagi lampu.”
DaKetika terang subuh tiba,
Beredarlah cahayanya, dengan cahayanya
Cahaya-cahaya gemerlap bintang
Cahayatertelan gelas,
Jika saja tersimpan bara karena menelannya
Terbanglah secepat-cepatnya
Gelas piala, dan gelas piala manakah yang menghancurkan dan
menyirnakan, menghanguskan mereka dari diri mereka sendiri,
sementara tak satu pun gelas piala yang mengabadikan dan
memercikan mereka. Gelas yang menghapus mereka secara
menyeluruh dan tiada menyisakan tulang belulang dari pengaruh-
pengaruh sifat-sifat kemanusiaan. Sebagaimana diucapkan :
Mereka berjalan, namun tidak tetap, tidak teratur dan tidak ada
pengaruh.

LAWAIH, LAWAMI’ DAN THAWALI’


29
Kata-kata tersebut makananya saling berdekatan, nyaris
tidak ada perbedaan besar. Kata tersebut merupakan sifat-sifat
dari orang yang sedang dalam tahap permulaan (bidayat). Mereka
yang sedang menaiki tahap dalam kalbu. Sehingga cahaya matahari
ma’rifat tidak menetap abadi dalam diri mereka. Namun Allah
swt. mendatangkan rezeki kalbunya dalam setiap saat.
Sebagaimana Allah swt. berfirman :
“Bagi mereka rezeki mereka di dalam surga, pagi dan petang.”
(Qs. Maryam : 62).
Apabila langit kalbu dipenuhi mega dunia, terbayanglah
kilatan kasyaf bagi mereka, dan tampaklah kilatan taqarrub.
Mereka dalam zaman yang menutup mereka, sedang mereka mengintai
ekjutan kilatan itu. Mereka seperti digambarkan dalam syair :
Wahai kilatan yang cemerlang
Dari sayap-sayap lagnit yang benderang
Lawaih sebagai tahap pertama, disusul Lawami’, kemudian
Thawali’. Lawaih seperti kilatan cahaya, tidak akan tampak
sehingga cahayanya tertutup. Dalam syair dikatakan :
Kami berpisah setahun
Ketika kami bertemu
Seakan salamnya padaku
Salam selamat tinggal
Mereka berkata :
Wahai orang yang berjalan,
Dan bukan pezarah sebenarnya
Seakan ia terkena api
Lewat di depan pintu rumah tergesa-gesa
Padahal tak ada bencana
Jika ia memasukinya
Sedangkan Lawami’ lebih jelas daripada Lawaih. Hilangnya
cahaya tidak secepat itu. Lawami’ disinari cahaya beberapa
30
waktu. Namun seperti ucapan syair : Dan mata menangis, tak
puas-puasnya memandang.
Dalam syair mereka berkata pula :
Tak sampai air wajahnya di mata
Kecuali telah penuh
Sebelum puasnya mendekat
Bila telah tampak cahayanya, ia memutus dirimu dan
mengumpulkanmu dengan cahaya itu. Tetapi cahaya siangnya tidak
berlalu sampai pasukan-pasukan malam menyerang. Mereka beada di
antara pasukan Ruh dan Nuh. Karena mereka berada di antara
Kasyaf dan Sitr. Mereka bersyair :
Sedang malam mengandung kita
Dengan dinginnya yang mencekam
Sementara subuh, menyingkap selimut kita.
Thawali’ lebih lama dan abadi waktunya, lebih kuat
dominasinya dan lebih abadi ketetapannya. Thawali’ mampu
menghapus kegelapan dan menyirnakan keraguan. Tetapi tetap
berada dalam bisikan yang lenyap. Tidak terlalu tinggi, tidak
pula berdiam abadi. Waktu-waktu memperolehnya dengan perjalanan
yang cepat dan ihwal lenyapnya berbuntut panjang.
Makna-makna dari Lawaih, Lawami’ dan Thawali’ tersebut
berbeda-benda disiplinnya. Antara laian, ketika kehilangan
jejak, tidak sedikitpun memberkas. Sepeti kilatan-kilatan,
ketika lenyap, seakan-akan malam panjang nan abadi yang ada.
Ada pula yang meninggalkan bekas, apabila hllang angkanya, yang
ada tinggal dukanya. Apabila cahaya-cahayanya asing, yang tetap
beks-bekasnya. Orang akan berada di tahap tersebut setelah
menghuni luapannya, hidup dalam sorotan berkatnya. Lanatas pada
hamparan ke dua kalinya, ia berharap dengan waktunya untuk
menunggu kembalinya cahaya itu, dan ia hidup dengan sesuatu
yang ditemui, pada saat adanya itu

BUWADAH DAN HUJUM

31
Buwadah adalah sesuatu yagn seketika datang mengejutkan
kalbu Anda dari dimensi ghaib, terkadang karena adanya faktor
kesukacitaan atau kedukacitaan. Sedangkan Hujum, sesuatu yang
datang pada hati dengan kekuatan waktu tanpa rekayasa dari diri
Anda.
Berbagai ragam bentuknya berbeda sesuai dengan kekuatan dan
kelemahan sesuatu yang tiba. Di antaranya ada orang yang diubah
oleh Buwadah, namun pada kesempatan berikutnya diaplikasikan
oleh Hujum. Dan diantaranya ada yang berada di atas apa yang
mengejutkannya, baiks ecara potensi maupun aktual. Mereka
adalah kaum yang dipenuhi kebajikan dan kemuliaan. Sebagaimana
dikatakan :
Jangan kau membuat petunjuk
Pengganti zaman kepada mereka
Bagi mereka ada kendali
Pada setiap Khitab yang agung

TALWIN DAN TAMKIN


Talwin merupakan sifat orang-orang yang memliki tingkah laku
tahapan.Tamkin adalah sifat ahli hakikat. Seorang hamba yang
masih berjalan sepanjang jalan menuju Allah, maka dialah
pemilik talwin. Sebab, dalam perjalanannya masih menjumpai
tahap demi tahap, berpindah dari satu predikat ke predikat
lain, keluar dari terminal ke persimpangan jalan. Tetapi jika
telah sampai, mereka akan mencapai ketenangan (tamakkun).
Senantiasa rasa cintamu tiba ingin di suatu tempat
Bimbangkan jiwa, di mana tempat menetap
Orang yang berada di tahap talwin selalu mendapat tambahan.
Sedangkan pada tahap tamkin, berarti telah sampai (wushul)
kemudian sambung (ittishal). Tanda sampai itu : Ia, dengan
keseluruhan dari keseluruhan.
Salah seorang syeikh berkata : “Berakhirlah penggembaraan
para pencari menuju kemenangan dalam jiwanya. Apabila telah
sampai kemenangan dalam jiwanya, berarti mereka telah samapi.”
32
Mereka berharap demikian, sebagai pengunduran hukum-hukum
kemanusiaan dan termanifestasi oleh kerajaan hakikat. Manakala
hamba menetap abadi dalam kondisi itu, dialah pemilik tamkin
itu.
Syeikh Abu ali-ad-Daqqaq r.a. berkata : “Musa a.s. adalah
pemilik mawam talwin, kemudian kembali dari mendengarkan Kalam,
dan berharap untuk menutup wajahnya. Sehingga ada pengaruh bagi
tingkah laku. Sedangkan Nabi kita Muhammad saw. adalah pemilik
tahap tamkin, kemudian kembali sebagaimana ia pergi. Sebb, apa
yang disaksikan pada malam itu, tidak berpengaruh. Kisah
demikian juga dimetaforakan pada kisah wanita-wanita yang
melihat Yusuf as. Ketika mereka secara bersamaan memotong
jemari tangannya, saat melihat raut muka Yusuf as. Dengan
tampang yang menghanyutkan dan mengejutkan. Sementara isteri
Raja Aziz, jiwanya lebih sempurna ketimbang mereka dalam
mengekang tragedi tersebut. Kemudian sejak hati itu ia tidak
berubah, karena ia telah memiliki ketenangan (tamkin) dalam
peristiwa Yusuf as.
Ketahuilah, bahwa perubahan hati dalam diri hamba karena
satu dari dua persoalan : Kalau tidak karena adanya kekuatan
yang tiba, atau justru karena kelemahan dirinya. Sedangkan
ketenangan atau kediaman dari hamba juga karena dua hla :
Karena kekuatan atau karea kelemahan sesuatu yang tiba itu.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. berkata :
“Prinsip kaum Sufi dalam memperbolehkan kelangsungan tamkin,
terpaku pad dua hal.Pertama, tidak ada jalan lain kepadanya,
sebagaimana sabda Rasul saw. dalam Hadits Qudsi :
“Apabila kamu mengabdi sebagaimana adanya kamu dalam
kebakaan itu di sisi-Ku, niscaya para Malaikat akan menjabat
tangan kamu.” (H.r. Handzalah bin ar-Rabi’al Usaidi, dan
ditakhrij oleh Imam Muslim serta Tirmidzi).
Sabdanya pula :
“Aku punya waktu (khusus) yang tidak dapat leluasa di
dalamnya kecuali Tuhanku.” (H.r. Tirmidzi).
Kedua, sah berada dalam kondisi kelanggengan, mengingta
ahli hakikat melakukan tahapan dari sifat yang mempengaruhi
33
melalui berbagai jalan. Sementara kalimat dalam hadits di atas,
“ ... Niscaya para malaikat akan menjabat tangan kamu.” Sama
sekali bukan hal yang mustahil. Jabat tangan dari Malaikat
tidak apda kalangan pemula, mendasarkan pada Hadits Nabi saw.
“Sesungguhnya Malaikat meletakkan sayapnya pada pencari ilmu,
sebagai rasa ridha terhadap apa yang dilakukan.” (H.r.
Tirmidzi, an-Nasa’i Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban,
Daraquthny dan Baihaqi).
Sedangkan sabdanya : “Aku punya waktu (khusus).”
Dikondisikan menurut persepsi pendengar. Namun dalam seluruh
tingkah laku Nabi saw. senantiasa berdiri di atas hakikat.
Yang pertama, bisa dikatakan : Seorang hamba, sepanjang
masih menaiki tahapan-tahapan, ia disebut pemilik talwin. IA
sah-sah saja bila predikatnya bertambah dan berkurang. Apabila
telah sampai pada Yang Haq dengan meninggalkan hukum-hukum
kemanusiaan, Allah mendudukkannya dengan cara tidak
dikembalikan pada penyakit-penyakit nafsu, maka ia disebut
Mutamakkin dalam haliyah (Perilaku ruhani)-nya menurut proporsi
dan haknya. Kemudain Allah swt. mendudukkannya pada setiap
jiwa, dan tidak ada batas bagi kekuasaan-Nya. Karenanya, jika
hamba senantiasa dalam tahap yang bertambah ia selalu talwin,
dan dalam prinsip haliyah-nya ia tamkin. Selamanya ia menempati
tahapnya lebih tinggi lagi dari sebelumnya, bahkan lebih tinggi
lagi. Karena tiada lagi pangkal bagi kekuasaan-Nya pada jenis
manapun. Sedangkan orang yang merasuk dalam musyahadahnya, dan
secara universal relevan dengan rasanya, maka tiada batas
tempat bagi kemanusiaan. Karena itu, batallah keseluruhan, diri
dan rasanya. Begitu juga berkaitan dengan jagad raya seisinya,
jika kegaiban ini abadi padanya, ia tersinarkan (mahw). Dan
karena itu, tidak ada tahap talwin maupun tamkin, tidak ada
maqam ataupun haal. Sepanjang ia berada pada predikat tersebut,
ia tak terbebani tugas (takliff) ataupun pemuliaan. Sungguh,
kecuali jika ia dikembalikan menurut kondisi di luar itu semua,
maka ia berada dalam situasi dimana dugaan-dugaan makhluk
berlaku, terpalingkan dari posisi tahqiq.
Alalh swt. berfirman :

34
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka itu
tidur dan Kami balik-balikan mereka ke kanan dan ke kiri.”
(Qs. Al-Kahfi:18).

QURB DAN BU’D

Awal tahap dalam taqarrub atau al-qurb (kedekatan) adalah


kedekatan hamba dalam taatnya dan disiplin waktu melalui
ibadat-ibadatnya. Sedangkan tahap al-bu’d (penjauhan) adalah
pengotoran diri dengan menentang dan menghampakan diri terhadap
taat kepada Allah swt. Awal dari bu’d adalah jauh dari taufiq,
kemudian jauh dari pembenaran (tahqiq). Bahkan jauh dari taufiq
adalah jauh dari tahqiq itu sendiri.
Dalam Hadits Qudsi dijelaskan, Nabi.s aw. Mengabarkan dari
Allah swt.
“Para hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku, sebagaimana
aturan yang Aku wajibkan kepada mereka. Dan seorang hamba
senantiasa bertaqarrub kepada-Ku melalui ibadat-ibadat sunnah,
sampai si hamba menyintai-Ku dan Aku mencintainya. Apabila Aku
telah mencintainya, Diri-ku sebagai pendengaran dan penglihatan
baginya. Maka dengan-Ku ia melihat, dan dengan-Ku ia
mendengar.” (H.r. Bukhari dan Tirmidzi).
Kedekatan hamba pada Tuhannya, mula-mula dengan iman dan
pembenarannya. Kemudain kedekatannya melalui ihsan dan
hakikatnya. Sedang kedekatan Al-Haq saat di dunia ini didapati
melalui kema’rifatan. Kelak di akhirat, hamaba dimuiakan untuk
menyaksikan-Nya secara nyata. Di antara masing-masing kedekatan
itu, melalui kelembutan dan anugerah.
Kedekatan hamba kepada Allah swt. tidak akan terwujud
kecuali kajuhan hamba dari makhluk. Predikat ini ada dalam
hati, bukan hukum-hukum fisikal lahriah dan alam.
Kedekatan Allah swt. termanifestasi melalui sifat Ilmu dan
Qudrat yag bersifat universal dan umum. Sedangkan melalui Maha
Lembut dan Maha Penolong-Nya, sifatnya hanya khusus bagi orang-
orang beriman. Kemudian dengan pemberian anugerah
“Kesukacitaan ruhani”, kedekatan-Nya tertentu bagi para Wali-
35
Nya. Allah swt. berfirman : “Dan kami lebih dekat kepadanya
dibanding urat lehernya.” (Qs. Qaaf : 16) dan firman-Nya
pula : “Dan kami lebih dekat kepadanya dibanding diri kamu
(sendiri).” (Qs. Al-Waqi’ah : 85). Pada ayat lain : “Dan Dia
bersama kamu, di mana pun kamu berada.” (Qs. Al-Hadid : 4)
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, kecuali Dia-lah
yang keempatnya.” (Qs. Al-Mujaadilah : 7). Siapapun yang
secara hakiki dekat dengan Allah swt. minimal ia harus
muraqabah kepada-Nya. Karena dengan Muraqabah, sang hamba akan
senantiasa mawas iri dengan takwa, kemudian mawas diri pada
hukum Allah swt. dan kesetiaan, disusul kemawasan tehadap rasa
malu. Mereka mendengarkan nada-nada syair :
Seakan si Raqib menjaga getaran hatiku
Yang lain menjaga pandangan dan ucapanku
Tak ada selayang pandang di kedua mataku
Yang memburamkan Diri-Mu
Melainkan engkau katakan
Benar-benar engkau memandang-Ku
Tiada yang cemerlang kata yang meluncur
Dari mulutku selain Diri-Mu
Melainkan Engkau katakan, benar, engkau mendengar
Dengan pendengaran-Ku
Tiada getar hati dalam rahasia
Getran selain Diri-Mu
Melainkan engkau telah naik dengan pertolongan-Ku
Sahabatku telah membosankan ucapannya
Aku membisu dari mereka, pandangan dan lisanku
Bukanlah pelarianku dari dunia
Yang melupakan diriku dari mereka
Hanya saja aku telah tenggelam dalam penyaksianku
Di mana pun jua
36
Salah seorang syeikh menguji para santrinya. Masing-masing
santrinya diberi seekor burung. Kata syeikh itu : “Sembelihlah
burung ini, namun jangan diketeahui oleh siapa pun !.” Mereka
pun pergi ke suatu tempat, dimana tak seorang pun melihatnya,
lalu disembelihlah burung itu di tempat yang sepi. Namun ada
salah seorang yang datang menghadap kepada syeikh tersebut,
dengan membawa burungnya semula, tanpa disembelih. Syeikh itu
menanyakan kepada si murid, mengapa hingga ia tidak menyembelih
burung tersebut. Ia menjawab, “Engkau memerintahkan diriku
untuk menyembelih burung itu, dengan syarat tidak diketahui
siapa pun. Tetapi tidak satu pun tempat, kecuali Allah swt.
melihatnya.” Syeikh itu berkata, “Dengan ini, kehormatan
kuberikan kepada muridku ini. Sebab pada umumnya di antara
kalian hanya bertumpu pada makhluk. Sedangkan ia tidak
melalaikan Allah swt. Dan memandang kedekatan berarti hijab
bagi kedekatan itu sendiri.”
Siapa yang memandang dirinya sebagai tempat berpijak atau
bernafas, maka dirinya terkena makar. Karena itu para Sufi
berkata “Semoga Allah swt. menjagamu dari kedekatan-Nya.”
Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah Anda karena dekat-Nya.”
Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah Anda karena dekat-Nya,
apabila Anda menemui-Nya. Hal ini mengingat bahwa anugerah
kebahagiaan spiritual yang disebabkan kedekatan-Nya merupakan
perlambang keagungan. Karena Allah swt, itu sendiri berada di
belakang setiap puncak kebahagiaan. Sedangkan wilayah-wilayah
hakikat mengharuskan munculnya kedahsyatan dan keleburan
ruhani.
Mereka bersyair :
Cobaanku padamu, bahwa diriku
Tak peduli dengan cobaanku
Dekatmu bagai jauhmu
Kapankah tiba, waktu istirahatku?
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. sering menyenandungkan bait-
bait ini :
Kinasihmu adalah perpisahan

37
Cintamu adalah kebencian
Dekatmu adalah jauh
Damaimu adalah perang
Abu Husain an.Nury sebagaian murid Abu Hamzah : “Apakah
Anda salah seorang murid Abu Hamzah yang mengisyaraktkan pada
al-Qurb? Kalau Anda bertemu dengan belaiu sampaikan, bahwa Abul
Husain an-Nury berkirim salam, dan mengatakan kepadanya :
“Dekatnya dekat dalam perspektif kamia dalah setelah jauh (al-
bu’d). Jika yang dimaksud adalah dekat dengan Dzat, maka,
Allah Maha Luhur (jauh) dari segala Kedekatan seperti itu.
Karena Allah Maha Suci dari segala batas dan wilayah, pangkal
dan ukuran Allah tidak berssentuhan dengan makhluk, begitu juga
tidak terpisah dengan sesuatu yang didahului. Sefat keagungan
Shamadiyah-Nya jauh dari temu dan pisah. Dekat sebagaimana
kedekatan materi, dalah mustahil. Sedangkan dekat di sini
adalah keharusan sifat-Nya yaitu dekat melalui Ilmu dan
Pandangan. Dekat adalah kewenangan dalam Sifat-Nya, yang
dikhususkan kepada hamba yang dikehendaki-Nya, yakni dekat
dalam perspektif keutamaan melalui sifat kelembutan.

SYARIAT DAN HAKIKAT

Syariat adalah disiplin ubudiyah, sedangkan hakikat adalah


musyahadah Ketuhanan. (Musyahadah Ketuhanan (rububiyah) :
artinya melihat dengan kalbu. Hal ini terungkap bahwa syariat
merupakan sarana mengetahui penempuhan jalan Allah swt.
Sedangkan Hakikat adalah kelestarian memandang kepada-Nya.
Tharikat adalah menempuh jalan syariat tersebut, yakni
mengamallkan aturan-aturannya). Catatan kaki).
Setiap syariat yang tidak dikukuhkan dengan hakikat, tidak
bisa diterima. Sebaliknya Hakikat yang tidak dikukuhkan dengan
syariat, tidak akan suskes.
Syariat turun dengan tugas-tugas dari Sang Khalik,
sementara hakikat merupakan implementasi pelaksanaan kebenaran.
Syariat berarti Anda menyembah-Nya, sedangkan Hakikat berarti
Anda Menyaksikan-Nya. Syariat berarti bangkit sesuai dengan apa
38
yang diperintahkan, sementara Hakikat adalah menyaksikan apa
yang di qadha-kan dan ditakdirkan, apa yang tersembunyi dan apa
yang tampak.
Saya mendengar Syeikh Abi Ali ad-Daqqaq
berkata : “(Kepada-Mu kami menyembah)” adalah menjaga
syariat, dan “(Kepada-Mu kami meohon pertolongan)” adalah
ikhtiar dengan hakikat.
Perli diketahui, syariat itu sendiri adalah hakikat, bila
dilihat bahwa syariat adalah keharusan melalui perintah-Nya.
Begitu pun hakikat adalah syariat, dari segi bahwa ma’rifat
kepada-Nya, karena perintah-Nya.

N A F A S
Nafas adalah hembusan kalbu melalui kelembutan-kelembutan
kegaiban. Orang yang memiliki nafas (ruhani), lebih lembut dan
lebih jernih dibading yang memiliki ahwal ruhani. Pemilik waktu
adalah pemula, dan pemilik nafas, adalah pangkalnya. Pemilik
tingkah kesufian (ahwal) berada di antara keduanya. Orang-orang
yang berada pada tahap awal adalah pemelihara ruh, sedangkan
pemilik nafas adalah ahli dalam rahasia-rahasia Ketuhanan.
Para Sufi berkata : “Sebaik-baik ibadat adalah menghitung
nafas (hati) bersama Allah swt.”
Mereka juga berkata : “Allah swt. menciptakan kalbu, dan
dijadikan kalbu itu sebagai tambang ma’rifat. Allah swt.
mencipta rahasia di balik kalbu, dan dijadikan sebagai tempat
tauhid. Setiap nafas yang tidak muncul dari bukti-bukti
ma’rifat dan setiap isyarat tauhid dalam bentangan kerumitan,
adalah mayat, yang pemiliknya akan dimintai pertanggung
jawaban.”
Syeikh Abu Ali ad. Daqqaq r.a. berkata : “Bagi orang
Arif” nafas tidak berserah kepadanya, karena tidak ada
toleransi yang mengalir menyertainya. Sedangkan bagi sang
pecinta, nafas adalah keharusan. Kalau tidak ada nafas,
pastilah ia akan musnah.”

39
AL-KHAWATHIR

Al-Khawathir (bisikan-bisikan jiwa) adalah bisikan yang


menghujam ke dalam rasa; terkadang muncul dari Malaikat,
terkadang dari setan, atau sekedar ungkapan nafsu, dan bahkan
pula bisikan langsung dari Allah swt. Yang Maha Benar.
Apabil bisikan datang dari malaikat, disebut Ilham. Jika
muncul dari hawa nafsu disebut Hawajis. Dan bila datang dari
setan disebut Haswas. Sedangkan bisikan jiwa yang langsung dari
Allah swr. Disebut Bisikan Kebenaran (Khathir Haq).
Indikasi secara keseluruhan, apabila bisikan datang dari
para malaikat, bisa diketahui kebenarannya bila bisikan itu
sesuai dengan ilmu pengetahuan. Karena itu, para Ulama Sufi
berkata : “Setiap bisikan yang tidak bisa disaksikan
kebenarannya secara lahir, adalah bisikan batil.” Apabila
bisikan itu datang dari setan, rata-rata mengandung pada
kemaksiatan. Begitupun yang datang dari nafsu, lebih cenderung
mengajak pada sikap menurut syahwat, atau rasa takabur.
Para syeikh Sufi bersepakat, bahwa orang yang terlalu
banyak makan makanan haram, tidak akan bisa membedakan mana
bisikan yang bersifat ilham dan mana yang waswas.
Saya mendengar Syeikh Abu ali ad-Daqqaq berkata : “Siapa
yang makanan utamanya diketahui (keharamannya), ia tidak akan
bisa membedakan antara ilham dan waswas. Sementara orang yang
menghindari hasrat nafsunya, dengan cara mujahadah yang benar,
kejelasan ucapan batinnya akan tampak melalui perlawanan
terhadap nasunya.”
Para syeikh sepakat, bahwa nafsu itu tidak bisa dibenarkan.
Sedangkan kalbu tidak bisa ditipu. Apabila Anda mujahadah
semaksimal mungkin, agar ruh membisikan kepada Anda, pastilah
ruh tidak akan membisikan sesuatu kepada Anda.
An-Junayd membedakan antara bisikan nafsu dan bisikan setan
: bahwa naffsu itu, apabila menuntut Anda terhadap suatu
perkara, ia akan menempel, dan akan kembali lagi walaupun
berlalu dalam jarak waktu, sampai bisikan nafsu itu benar-benar
meraih kemauannya dan mencapai tujuannya. Kecuali bagi orang-
40
orang yang mujahadahnya benar, maka bisikan itu tidak akan
kembali. Kemudian nafsu itu selalu memusuhi Anda. Sementara
setan, ketika menjerumuskan Anda melalui godaannya, kemudian
Anda menentangnya, maka setan akan kembali mempengaruhi Anda
dengan godaan lainnya. Sebab, secara keseluruhan, sikap kontra
adalah sama. Yang penting bagi setan, Anda bisa mengikuti
ajakannya yang menjerumuskan. Dan baginya, tidak ada peringatan
dalam penjerumusan itu.
Dikatakan : “Setiap bisikan yang datang dari para
malaikat, kadang-kadang cocok di hati si penerima bisikan,
terkadang juga tidak. Namun apabila bisikan langsung dari Allah
swt. sama sekali si hamba tidak menetang-Nya.”
Para Syeikh memperbincangkan soal bisikan berikutny.
“Apabila bisikan dari Allah swt. apakah bisikannya alebih kuat
dibanding bisikan pertama.” Al-Junayd berkata : “Bisikan
pertama lebih kuat, sebab, apabila bisikan itu masih ada, orang
yang mendapat bisikan kembali pada refleksinya, dan dalam
kaitan ini, perlu persyaratan ilmu pengetahuan. Meninggalkan
bisikan pertama berarti melemahkan bisikan kedua.”

ILMUL YAQIN, ‘AINUL YAQIN DAN HAQQUL YAQIN

Ungkapan di atas merupakan wacana ilmu yang sudah


jelas.
Yaqin adalah ilmu yang tidak merasuki seseorang yang
menyebabkan keraguan sepenuhnya. Al-Yaqin tidak diucapkan
dalam sifat Allah swt. karena memang tidak relevan.
Sedangkan Ilmu Yaqin adalah Yaqin itu sendiri. Termasuk
katagori Yaqin adalah ‘Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin.
Ilmu Yaqin menurut disiplin terminologi ulama, adalah
sesuatu yang ada dengan syarat adanya bukti. Sedangkan
‘Ainul Yaqin, sesuatu yang ada dengan disertai kejelasan.
Haqqul Yaqin, adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat
yang menyertai kenyataan.
Ilmu Yaqin, diperuntukkan bagi mereka yang cenderung
rasional, ‘Ainul Yaqin, diperuntukan bagi para ilmuwan.
41
Sedangkan Haqqul Yaqin, hanya bagi orang-orang yang
ma’rifat.

W A R I D

Al-Warid (bisikan terpuji) adalah bisikan dalam hati,


berupa bisikan terpuji, tanpa diduga oleh seorang hamba.
Tergolong kategori ini, adalah hal-hal yang tidak termasuk
sisi dari bisikan (khawathir).
Warid kadang-kaang datang dari Allah swt. dan
terkadang juga dari intuisi pengetahuan. Bisikan-bisikan
terpuji (al-waridaat) ini lebih umum dibnding al-
khawathir. Sebab bisikan khawathir, hanya khusus bagi
macam perintah, atau yang se-arti dengannya. Sementara
warid, lebih sebagai bisikan kegembiraan, atau kesedihan,
genggaman dan keleluasaan Ilahi, dan sejenisnya.

SYAAHID

Kebaynyakan yang berlaku dalam ucapan ulama, bahwa


kata asy-Syaahid itu semakna dengan ucapan kita : Si Fulan
menyaksikan ilmu (yusyaahid al-ilm); Si Fulan menyaksikan
ekstase (yusyaahid –al-wujd) dan si Fulan menyaksikan
keadaan-keadaan ruhani (yushaahid al-haal).
Mereka mengartikan kata Syaahid adalah sesuatu yang
hadir dalam hati manusia. Sesuatu yang pada umumnya
teringat, seakan-akan ia melihat dan memandangnya,
walaupun obyek tidak ada di hadapannya. Setiap yang
dominan dalam hatinya, berarti ia menyaksikannya. Bila
yang dominan adalah ilmu, maka ia menyaksikan ilmu. Begitu
juga bila yang dominan adalah ekstase, berarti ia
menyaksikan al-wujd.

42
Arti asy=Syaahid adalah yang hadir (al-haadhir). Jadi
setiap yang hadir dalam hati Anda berarti yang menjadi
bukti Anda.
Asy-Syibly ditanya tentang musyahadah. Katanya, “Dari
mana kita mendapatkan musyahadah al-Haq? Padahal Allah
Yang Maha Haq menyaksikan kita.” Beliau mengisyaratkan,
dengan kata, “Allah swt. yang menyaksikan.” Dengan
menggunakan faktor dominan dalam hatinya. Dan yang dominan
pada dirinya adalah dzikir kepada Allah swt. Sedangkan
yang hadir dalam hati senantiasa juga dzikir kepada Allah
swt. Siapa pun yang memperoleh sesuatu dari sesama
makhluk, maka hatinya akan berkait. Dikatakan, “Ia
menjadi saksinya.” Artinya, hatinya hadir. Rasa cinta
mendorong seseorang untuk selalu ingat kepada sang kekasih
dan mengutamakan kekasihnya dibanding dirinya.
Sebagian Sufi sangat jeli dalam mencari akar kata asy-
Syaahid ini.
Disebutkan demikian karena bermula dari asy-Syaahid.
Seakan-akan jika melihat sosok dengan sifat-sifat
keindahannya – apabila sifat manusiawinya gugur dari
dirinya, dan tidak disibukkan oleh penyaksian pada keadaan
sosok tokoh, dan tidak pula ada pengaruh persahabatan di
dalamnya dalam satu sisi – maka ia disebut saks
“bagi”” sosok tersebut karena ke-fana’an dirinya.
Tetapi bila ada pengaruh di dalam menyertai sosok
tersebut, ia disebut sebagai saksi “atas” ssosok itu,
sedangkan dirinya masih ada, dan masih menegakkan hukum
naluri manusia, baik sebagai saksi bagi sosok atau saksi
atas sosok di atas. Dalam kontens inilah relevan dengan
sabda Nabi saw. “Aku melihat Tuhanku pada malam Mi’raj,
dalam rupa yang paling bagus. Yakni rupa paling bagus yang
kulihat malam itu. Sama sekali tidak menyakitkan diriku
untuk melihat-Nya. Bahkan aku melihat Perupa dalam rupa,
dan Kreator dalam kreasi.” (H.r. Thabrani, riwayat dari
Ubaidullah bin Au Rafi’ dan ayahnya dan dari Ibnu Abbas.
Demikian pula riwayat dari Ummu Thufail dari Mu’adz bin
‘Afra’).

43
Yang dimaksud hadits tersebut adalah penglihatan ilmu,
bukan penglihatan mata.

NAFSU

Nafsu syai’ dalam bahasa Arab adalah wujud sesuatu


(jati diri). Sedangkan menurut kaum Sufi, “Ucapan
kata nafs bukan dimaksudkan sebagai wujud, acuan
masalah.” Yang mereka maksudkan dangan nafs adalah
sesuatu yang tercela dalam sifat-sifat hamba, akhlak dan
perbuatannya.
Perilaku tercela dari sifat-sifat hamba tebagi menjadi
dua : Pertama, bersifat upaya dari hamba, seperti
perbuatan maksiat dan pengingkaran terhadap perintah dan
larangan. Kedua, budi pekertinya yang buruk dalam dirinya
yang tercela. Maka terapi dan penyembuhannya pada diri
hamba adalah berjuang melawan kehinaan perilaku tersebut
yang telah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Pada sifat yang pertama, termasuk hukum-hukum nafsu
adalah hal-hal yang dilarang setara dengan keharaman atau
larangan yang besifat dibenci. Sedangkan pada sifat kedua,
berupa keburukan dan kehinaan akhlak. Inilah batasan
globalnya. Kemudian rinciannya, seperti takabur, amarah,
dendam, dengki, buruk akhlak, sedikit bersyukur, dan yang
lainnya. Yang tergolong akhlak tercela.
Hukum nafsu terburuk adalah berupa khayalan bahwa
sesuatu perbuatan yang muncul dari nafsu dianggap baik.
Atau perbuatan nafsu itu sebagai bagian takdir. Karena
itulah perbuatan nafsu seperti itu tergolong syirik
khafy atau syirik yang samar. Karena itu, terapi akhlak
dalam menyingkirkan nafsu lebih penting daripada berlapar-
lapar, haus atau berjaga (tanpa tidur) dan sebagainya yang
mengandung unsur penyusutan kekuatan fisik. Walaupun cara
seperti itu juga termasuk meninggalkan kesenangan nafsu.
Nafsu itu sendir merupakan nuansa lembut yang ada
dalam hati, sebagai tempat akhlak yang tercela.
44
Sebagaimana ruh yang merupakan nuansa lembut dalam hati,
namun sebagai tempat akhlak terpuji. Dalam gambaran yang
umum, masing-masing saling meundukkan. Semuanya, merupakan
bagian dari kesatuan manusia. Eksistensi ruh dan nafsu
tergolong wadag lembut dalam rupa, sebagaimana eksistensi
malaikat dan setan, dengan sifat-sifat kelembutan.
Seperti benarnya mata sebagai tempat memnadang,
telinga sebagai tempat mendengar, hidung sebagai tempat
penciuman, mulut sebagai tempat rasa, maka, begitu pun
orang yang mendengar, yang melihat, yang mencium dan yang
merasakan, semuanya termasuk dalam bagan manusia. Demikian
pula, tempat sifat-sifat yang terpuji, tempatnya adalah
hati dan ruh. Sedangkan sifat-sifat tercela tempatnya
adalah nafsu. Nafsu sendiri sebagai bagian dari
keseluruhan tersebut, begitu pula hati, hukum dan nama,
kembali pada keseluruhan kesatuan sosok manusia.

R U H

Ahli hakikat dari kalangan Ahli Sunnah berbeda


pandangan soal Ruh. Ada yang berpendapat, ruh adalah
kehidupan. Yang lain berpandangan, ruh adalah kenyataan
yang ada dalam hati, yang bernuansa lembut. Allah swt.
menjalankan kebiasaan makhluk dengan mencipta kehidupan
dalam hati, sepanjang arwahnya menempel di badan.
Manusia hidup dengan sifat kehidupan. Tetapi arwah
selalu tercetak di dalam hati, dan bisa naik ketika tidur
dan berpisah dangan badan, kemudain kembali kepada-Nya.
Manusia terdiri dari ruh dan jasad. Karenanya Allah
swt. menundukkan keduanya secara keseluruhan, baik ketika
di Mahsyar, diberi pahala maupun disiksa. Ruh adalah
makhluk.
Bagi sementara pihak yang berkata bahwa ruh adalah
qadim, merupakan kekeliruan besar. Beberpa hadits
mengindikasikan bahwa ruh adalah materi yang lembut.

45
SI IR
Sirr juga temasuk nuansa halus dalam hati manusia,
sebgaimana arwah. Akarnya menunjukkan bahwa sirr adalah
temepat musahadah, sebagaimana arwah temWApat mahabbah.
Sedangkan kalbu tempat ma’rifat.
Para Sufi berkata: “Sirr adalah sessuatu yang membuat
Anda mulia. Sedangkan rahasia sirr, adalah sesuatu yang
tidak bisa terungkap selain Allah Yang Haq.”
Dari kesimpulan para kaum Sufi, kita memandang bahwa
sirr lebih lembut dibanding ruh. Dan ruh lebih mulia
dibanding kalbu.
Mereka berkata : “Sirr selalu merdeka dari belenggu
tipudaya, baik dari pengaruh dunia maupun kesenangan.”
Kata sirr diucapkan bagi segala hal yang terjaga dan
termasuk antara hamba dengan Allah swt. dalam ihwal
ruhani. Dalam hal ini, ucapan seseorang yang mengatakan,
“Rahasia-rahasia kami adalah keperawwanan yang masih
suci. Sedang mereka ragu,” masuk kategori ucapan sirr.
Mereka mengatakan : “Hati orang-orang merdeka, selalu
menerima rahasia-rahasia jiwa (asraar).

PRINSIP-PRINSIP TAUHID DALAM PANDANGAN KAUM SUFI

1. MA’RIFATULLAH

Abu Bakr asy-Syibly berkata : “Allah adalah Yang Esa, yang


dikenal sebelum ada batas dan huruf. Maha Suci Allah, tidak ada
batasan bagi Dzat-Nya, dan tidak ada huruf bagi Kalam-Nya.”
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai fardhu pertama, yang
difardhukan Allah swt. terhadap makhluk-Nya. Ia berkata :
“Ma’rifat.” Karena firman Allah swt. : “Aku tidak
menciptakan jin manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku.”
(Qs. Adz-Dzariyaat : 56).

46
Ibnu Abbas’ menafsiri Illa liya’buduun dimaksudkan
adalah Illa liya’rifuuun(kecuali untuk ma’rifat kepada-Ku).
Al-Junayd berkata : “Haat hikmah
pertama yang dibutuhkan oleh hamba adalah Ma’rifat makhluk
terhadap Khalik, mengenal Sifat-sifat Pencipta dan yang tercita
bagSang makhluk merasa hina ketika dipanggil-Nya dan mengakui
kewajiban taat kepada-Nya. Barangsiapa tidak mengenal Rajanya,
maka ia tidak mengakui terhadap raja, kepada siapa kewajiban-
kewajiban harus diberikan.
Abu Thayib –Maraghy berkata : “Akal mempunyai bukti,
hikmah mempunyai isyarat, dan Ma’rifat mempunyai Syahadat.
Akal menunjukkan, hikmah mengisyaratkan, dan ma’rifat
menyaksikan; bahwa sanya kejernihan ibadat tidak akan tercapai
kecuali melalui kejernihan tauhid.”
Al-Junayd ditanya soal tauhid, jawabnya : “Menunggalkan
Yang Maha Tunggal dengan mewujudkan Wahdaniyah-Nya lewat
keparipurnaan Ahadiyah-Nya. Bahwa Dia-lah Yang Esa yang tiada
beranak dan tidak diperanakkan. Dengan kontra terhadap
antagoni, keraguan dan keserupaan tanpa upaya menyerupakan dan
bertanya bagimana, tanpa proyeksi dan pemisalan; tidak ada
sesuatu pun yang menyami-Nya. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
Abu Bakr az-Zahir Abady ditanya tentang Ma’rifat. Jawabnya
: “Ma’rifat adalah nama. Artinya, wujud pengagungan dalam
kalbu yang mencegah dirimu dari penyimpanngan dan
penyerupaan.”

2. SIFAT-SIFAT

Abul Hasan al-Busyanjy ra. Berkata : “Tauhid berarti tahu


bahwa Allah swt. tidak serupa dengan makhluk dan tidak kontra
pada Sifat-sifat.”
Ah-huasin bin Mansur al-Hallaj menegaskan, “Al-Qidam”
hanyalah bagi-Nya. Segala yang fisikal adalah Penampilan-Nya,
yang tampak bendawi menetapkan-Nya, yang piranti
mengintegrasikan-Nya, kekuatannya berada di genggaman-Nya. Hal-
47
hal yang tersusun waktu, waktulah yang memisahkannya, dan yang
ditegakkan oleh selain-Nya, maka bencanalah yang menyentuhnya.
Hal-hal yang terbuat oleh khayal, maka proyeksi menaikkan
tahapan kepada-Nya. Siapa yang berbicara soal tempat, maka akan
berjumpa dengan kata di mana. Sungguh Maha Suci Allah swt. Dia
tidak dilindungi oleh sesuatu di atas, dan tidak pula
dikecilkan oleh yang di bawah. Dia tidak menerima batas dan
tidak dicampuri keseluruhan. Dia tidak ditemui oleh yang ada,
juga tidak dihilangkan oleh tiada. Sifat-Nya tidak memliki
sifat, pekerjaan-Nya tidak memili cacat. Adanya tak terjangkau.
Suci dari ihwal makhluk-Nya. Bahkan makhluk tidak mencampuri-
Nya dan dalam pekerjaan-Nya tak ada yang memasuki-Nya. Dia
menjelaskan kepada makhluk melalui Qidam-Nya, sebagaimana
makhluk itu mengenal penjelasan-Nya melalui kejadian baru
(hudus)-Nya.”

Huruf adalah ayat-Nya. Wujud adalah ketetapan-Nya.


Ma’rifat adalah tauhid-Nya, dan tauhidnya adalah perbedaan-Nya
dengan makhluk-Nya. Segala yang tergambar oleh khayal, selalu
berbeda dengan-Nya. Bagaimana bisa, Dia menempati sesuatu, yang
dari-Nya sesuatu itu bermula? Atau dia kembali pada sesuatu,
padahal Dia-lah yang memunculkaNya ? Dia tidak bisa
dibandingkan dengan dugaan, kedekatan-Nya adalah karamah-Nya,
ketinggian-Nya adalah sesuatu yang tidak berukuran ketinggain,
kedatangan-Nya tanpa berpindah, Dia-lah yang Awal dan yang
Akhir, Yang Dzahir dan Yang Batin, Yang Dekat dan Yang Jauh,
Yang tidada sesuatu pun menyamai-Nya, Dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.
Yusuf bin al Husain berkata : “Ada seseorang berdiri di
antara dua sisi Dzun Nuun al-Mishsry, orang itu bertanya,
“Berilah aku kabar tentang Tauhid, apa sebenarnya tauhid itu?
Dzun Nuun menjawab : “Tauhid berarti Anda tahu bahwa Kekuasaan
Allah swt. terhadap segala hal tanpa campur tangan, ciptaan-Nya
terhadap makhluk tanpa perlu masukan, dari seab langsung bagi
segala sesuatu adalah ciptaan-Nya, dan tidak ada sebab langsung
bagi ciptaan-Nya. Seluruh langit tertinggi dan bumi terendah
tak ada yang mengaturnya kecuali Allah swt. Segala bentuk yang

48
terproyeksi dalam khayal Anda, maka Allah justru berbeda
dengannya.”
Al-Junayd mengatakan : “Tauhid adalah ilmu Anda, dan ikrar
Anda behwa sesungguhnya Allah swt, adalah Tunggal dalam Azali-
Nya, tak ada dua-Nya, dan tak sesuatu pun yang mengerjakan
pekerjaan-Nya.”

3. I M A N

Abu Abdullah bin Khafifi berkata : :Iman berarti penetapan


kalbu terhadap apa yang telah dijelaskan oleh Al-Haq mengenai
hal-hal yang gaib.”
Abul AbSayyary berkata : “Pemberian Allah itu ada dua
macam :Karamah dan istidraj. Segala hal yang menerap abadi
dalam dirimu adalah karamah, dan segala yang sirna dari dirimu
adalah istidraj. Maka katakan saja , “Aku beriman, insya
Allah’!.”
Sahl bin Abdullah at-Tustary menandaskan : “Orang-orang
yang beriman melihat Allah swt, dengan mata hati, tanpa pangkal
batasan dan kawasan.
Abul Husain an-Nury berkata : “Kalbu adalah tempat
penyaksian al-Haq. Kami tidak pernah melihat Kalbu yang lebih
rindu kepada-Nya, dibandingkan Kalbu Muhammad saw. Lalu Allah
swt. memuliakannya lewat Mi’raj, sebagai pendahuluan terhadap
penglihatan kepada Allah swt, dan penyempurnaan.”
Abu Utsman al-Maghriby berkata : “Aku meyakini sesuatu
seputar arah. Ketika aku datang ke Baghdad, hilanglah semua itu
dari kalbuku. Lantas aku menulis surat kepada sahabatku di
Mekkah, “Aku sekarang masuk Islam, dengan Islam yang baru
(sebenarnya).”
Abu Utsman ditanya soal mekhluk. Jawabnya : “Cetakan dan
bayangan, yang berjalan di atasnya hukum-hukum Kekuasan
Ilahi.”
Al-Wasithy berkata : “Ketika arwah dan jasad tegak dengan
seijin Allah, dan keduanya pun tampak dengan ijin-Nya, maka
49
keduanya pun tegak tidak dengan zatnya. Begitu juga hasrat-
hasrat dan gerak, berdiri tegak, tidak dengan zatnya, seijin
Allah. Sebab gerakan-gerakan dan hasrat itu merupakan cabang
bagi jasad dan arwah.

4. R E Z E K I

Al-Wasithy ditanya soal kufur bagi dan kepda Allah.


Jawabnya : “Kufur dan iman, dunia dan akhirat, dari Allah
kepada Allah, bersama Allah dan bagi Allah. Dari Allah sebagai
permulaan dan awal pemunculan, dan kepada Allah sebagi tempat
kembali dan pangkalnya, bersama Allah baqa’ dan fana’, dan
bagi Allah kerajaan dan ciptaan.
Dikaakan oleh al-Junayd, bahwa sebagaian ulama bertanya
soal tauhid. Kemudian dijawab oleh al-Junayd : “Tauhid adalah
keyakinan.” “Jelaskan padaku apa tauhid itu? Demikian kata si
penanya. “Tauhid adalah ma’rifat Anda, bahwa segala gerak
makhluk dan diamnya merupakan pekerjaan Allah swt, Dia Maha Esa
tidak berkawan. Apabila ada sudah berpadangan demikian, Anda
telah menauhidkan-Nya.” Jawab Junayd.
Seseorang datang kepada Dzun Nuun minta didoakan : “Doakan
aku!.” Kata orang tersebut. “Kalau anda benar-benar mantap
dalam ilmu gaib melalui kebenaran tauhid, maka doa pasti
dikabulkan. Jika tidak demikian sesuatu doa tidak mungkin bisa
menyelamatkan orang tenggelam.” Jawab Dzun Nuun.
Abul Husain an-Nury berkata : “Tauhid adalah segala
bisikan yang mengisyaraktkan kepada Allah, bahwa dia bebas dari
campur tangan unsur keserupaan.” Sedangkan Abu Ali ar-Ridzbary
ketika ditanya soal tauhid, menjelaskan : “Tauhid adalah
istiqamah kalbu dengan penetapan terhadap suatu pemisahan pada
penyimpangan dan pengingkaran terhadap keserupaan. Tauhid
melebur dalam satu kalimat, yaitu : Setiap yang tergambar oleh
khayal dan pikiran, maka Allah swt pasti berbeda dengan
khayalan dan pikiran itu.” Karena firman Allah swt. “
“Tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. Asy-Syuura : 11).
50
Abul Qasim an-nahr Abadzy berkata : “Surga abadi dengan
keabadian yang diabadikan-Nya, ingatan-Nya keapdamu, rahmat dan
mahabbah-Nya kepadamu, abadi dengan keabadian-Nya, dua hal yang
berbeda, sesuatu yang abadi karena abadi-Nya, dan sesuatu yang
abadi karena diabadikan oleh-Nya.
Ahlul Haq berkata : “Sifat-sifat Dzat Yang Qadim abadi
karena badi-Nya, berbeda dengan ucapan oleh mereka yang bukan
ahlul Haq.
Nashr Abadzy menandaskan : “Anda bersimpang siur antara
sifat-sifat (fi’l) dengan sifat-sifat Dzat. Keduanya adalah
sifat Allah swt. secara esensial. Apa bila Anda terpancang pada
tahap pisah (tafriqah), maka Anda diintegrasi oleh sifat fi’l.
Jika Anda sampai apda tahap al-ja’u Anda akan terintegrasi
oleh sifat-sifat Dzat-Nya.
Sang Syeikh. Imam Bau Ishaq al-Isfirayainy r.a.
mengatakan : “Ketika aku datang dari Baghdad. Aku belajar di
masjid Naisabur perihal ruh. Aku menjelaskan secara gamblang
bahwa ruh adalah makhluk. Sementara Abul Qasim Abadzy duduk
berjauhan dengan kamimendengarkan pembicaraanku. Hingga berlalu
beberapa hari, kemudian ia mengatakan kepada Muhammad al-
Farra’, ‘Aku bersaksi sesungguhnya kau seorang Muslim baru di
tangan laki-laki ini,’ katanya sambil menunjuk ke arahku.”
Dikisahkan tentang Yahya bin Mu’adz, bahwa seseorang telah
berkata kepadanya : “Tolong beritahu aku mengenai Allah swt?”
Yahya menjawab : “Tuhan Yang Esa”. Lalu dikatakan kepada
Yahya : “Bagaimana Dia?” “Dia Raja Yang Maha Kuasa”. Jawab
Yahya. Orang itu kembali beretanya : “Di mana Dia?” “Dia
benar-benar mengawai.” Jawabnya. “Aku tidak bertanya tentang
ini.” Tandas si penanya. Maka Yahya menjawab : “Tidak ada
lagi selain itu.”
Ibnu Syahin bertanya pada al-Junayd tentang makna : ma’a.
Junayd menjawab, bahwa ma’a mengandung dua makna : ma’al an-
biyaa’ (beserta para Nabi), mengandung arti pertolongan dan
penjagaan. Sebagaimana firman Allah swt. :
Sesungguhnya Aku bersama kalian berdua, Aku mendengar dan
melihat.” (Qs.Thaaha :46).

51
Dan makna ma’a secara umum sebagai predikat ilmu dan
liputan. Allah swt. berfirman :
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan
Dialah yang keempat.” (Qs. Al-Mujaadilah : &).
Ibnu Syahin berkomentar : “Orang seperti Anda benar-benar
layak untuk menyampaikan petunjuk kepada ummat, mengenai Allah
swt.”

5. ARASY

Dzun Nuun ditanya mengenai firman Allah swt.


“Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayan di atas Arasy.”
(Qs.Thaha : 5)
Jawabnya : “Yang Maha Pemurah tidak akan sirna, dan Arasy
itu dicipta (baru). Sedangkan Arasy terhadap yang Maha Pemurah
(ar-Rahmaan) menjadi semayam (-Nya).”
Ja’far bin Nashr ditanya soal ayat tersebut. “Ilmu-Nya
bersemayam terhadap segala sesuatu. Dan sesuatu tidak ada yang
lebih dekat kepada-Nya dari sesuatu yang lain.”
Ja’far ash-Shadiq berkata : “Barangsiapa berpandangan
bahwa Allah swt. ada di dalam sesuatu, atau di atas sesuatu,
maka orang itu benar-benar musyrik. Sebab apabila ada di dalam
sesuatu, Allah pasti terbatas. Jika dari sesuatu, Allah pasti
baru. Dan jika di atas sesuatu, maka Allah mengandung
sesuatu.”
Ja’far ash-Shadiq menafsiri Kalamullah : “Kemudian Dia
mendekat, lalu tambah mendekat lagi.” (Qs. An-Najm : 8), bahwa
:Barangsiapa mengira bahwa dengan sendirinya ia bisa mendekat,
maka ia menciptakan jarak di sana. Padahal mendekat yang
dimaksud dalam ayat tersebut, selama ia mendekat kepada-Nya, ia
merasa jauh dari segala ma’rifat. Karena tidak ada dekat dan
tidak ada jauh.”

52
Al-Kharraz berkata : “Hakikat mendengar adalah hilangnya
sentuhan sesuatu dari kalbu dan penenangan rasa menuju kepada
Allah swt.”
Ibrahim al-Khawwas menegaskan : “Suatu ketika secara tidak
sengaja aku mendapati seorang lai-laki yang direkadaya setan,
sehingga aku harus mengumandang adzan ke telinganya. Tiba-tiba
terdengar setan memanggilku dari lubang telinganya. “Biarkan
ia, aku akan membunuhnya, karena ia berkata : Al-Qur’an adalah
makhluk.”
Ibnu Atha’ (Washil bin Atha’ al-Mu’tazily) berkata :
“Sesungguhnya Allah swt. ketika menciptakan huruf-huruf. Dia
membuat rahasia bagi-Nya. Ketika Allah mencipta Adam as.
Diuraikan-Nya rahasia itu, dan rahasia itu tidak tersebar di
kalangan Malaikat-Nya satu pun. Kemudian hruf-huruf itu
meluncur dari lisan Adam as. Melalui struktur yang berlaku dan
struktur bahasa. Kemudian Allah menjadikan bentuk pada huruf
tersebut.”
Ibnu Atha’ menjelaskan bahwa huruf-huruf tersebut adalah
makhluk. Menurut Sahl bin Abdullah, huruf sebenarnya merupakan
ucapan perbuatan, bukan ucapan substansi (dzat). Sebab huruf
tersebut merupakan perbuatan dalam obyek yang diperbuat.
Al-Junayd menegaskan soal dua masalah urgen : “Tawakal
adalah perbuatan kalbu, dan tauhid merupakan ucapan kalbu.”
Al-Husain bin Mansur berkata : “Siapa yang mengenal
hakikat dalam tauhid, maka gugurlah pertanyaan : Mengapa dan
bagaimana.”
Al-Wasithy menegaskan bahwa, tidak ada yang lebih mulia
dari makhluk Allah ketimbang ruh.”

6. Allah Swt. YANG HAQ


Para Syeikh dari tharikat ini mengatakan soal tauhid.
Sesungguhnya Al-Haq adalah Maujud, Qadim, Esa, Maha Kuasa, Maha
Perkasa, Maha Kasih, Maha Menghendaki, Maha Mendengar, Maha
Agung, Maha Luhur,Maha Bicara, Maha Melihat, Maha Besar, Maha
Hidup, Maha Tinggi, Maha Abadi dan selagalanya bergantung
kepada-Nya.
53
Allah Maha Mengetahui dengan sifat Ilmu, Maha Kuasa dengan
sifat Qudrat, Maha Menghendaki dengan sifat Iradat, Maha
Mendengar dengan sifat Sama’, Maha Melihat dengan sifat
Bashar, Maha Bicara dengan Kalam, dan Maha Hidup dengan Hayat,
serta Maha Abadi dengan Baqa’
Allah mempunyai Dua Hasta kekuasaan (Dua Yad) yang merupkan
sifat-sifat yang dengannya menciptakan apa yang dikehendaki-
Nya. Maha Suci Allah dari segala keharusan menentukan, dan
hanya bagi-Nya wajah yang bagus.
Sifat-sifat Dzat-Nya hanya khusus bagi Dzat-Nya, tidak bisa
dikatakan bahwa sifat tersebut adalah Dia, dan bukan pula
sifat-sifat tersebut sebagai bujukan bagi-Nya. Tetapi adalah
sifat-Nya Yang Azali dan Abadi.
Allah adalah Tunggal Dzat-Nya. Yang tidak disamai oleh
segala ciptaan, dan tidak diserupai oleh semua makhluk.
Allah bukan jasad, materi, benda dan bukan sifat baru,
tidak tergambar oleh khayal, tak terjangkau akal, tidak
berpenjuru dan bertempat. Tiada waktu dan zaman yang berlaku
bagi-Nya. Dan tidak ada penambahan dan pengurangan bagi sifat-
sifat-Nya.
Allah tidak dikhususkan oleh bentuk, tidak dipotong oleh
pangkal dan batas, tidak ditempati yang baru, tidak didorong
ketika berbuat. Tiada warna dan tempat bagi-Nya, dan tidak ada
pula pertolongan untuk menolong-Nya.
Dari kekuasaan-Nya tidak muncul yang terkira, dan dari
hukum-Nya tidak diragukan oleh penyimpangan. Dari Ilmu-Nya
tidak tersembunyi oleh yang diketahui-Nya. Dan Dia tidak dicaci
atas pekerjaan-Nya, bagaimana dia mencipta dan apa yang
dicipta. Tidak bisa dikatakan kepada-Nya : Di mana Dia, dan
bagaimana Dia? Dan wujud pun tidak akan berupaya membuka-Nya,
sehingga muncul kata-kata Kapan ada? Keabadian-Nya tidak ada
pangkalnya, sehingga didkatakan : “Melampaui kekinina dan
zaman.” Tetapi Allah tidak bisa dikatakan : “Mengapa Dia
berbuat terhadap sesuatu ?” Kenapa, tidak ada sebab langsung
terhadap pekerjaan-Nya.”

54
Allah juga tidak bisa dipertanyakan : Apakah Dia? Karen
Allah bukanlah jenis yang ditandai oleh sejumlah tanda
bentuknya. Dia melihat bukan dengan cara berhadapan. Dan Dia
melihat kepada selain Diri-Nya, bukan dengan penyerupaan. Dia
mencipta, tidak dengan langsung dan mencoba-coba.
Dia memiliki Asmaul Husnah dan Sifat-sifat Luhur. Dia
melakukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan memberi kehinaan
kepada hamba-Nya lewat hukum-Nya. Dalam kerajaan-Nya tidak ada
yang berjalan kecuali atas kehendak-Nya, dan tidak terjadi
dalam kerajaan-Nya melainkan yang telah didahului Qadga’. Apa
yang diketaui dari ciptaan-Nya, maka hal itu dikehendaki-Nya.
Dan apa yang diketahui sebagai sesuatu yang tidak terjadi dari
apa yang wenang. Dia berkehndak untuk tidak terjadi.
Allah adalah Pencipta rezeki hamba-hamba-Nya, kebaikan dan
keburukan rezeki itu. Allah pula yang menciptakan alam dari
materi dan submateri. Allah yang mengutus utusan untuk para
ummat bukan sebagai kewajiban bagi-Nya. Allah sebagai Dzat Yang
disembah manusia melalui lisan Para Nabi as, tidak seorang pun
berpeluang untuk mencaci dan mentang-Nya. Dan Nabi kita
Muhammad saw. ditetapkan melalui mukjizat yang nyata dan ayat-
ayat yang cemerlang, yang tidak memberi keuzuran, dan memberi
penjelasan meyakinkan serta mengenalkan mana yang mungkar.
Khulafaur Rasyidin yang menjaga kemilaunya Islam setelah wafat
Nabi saw. selanjutnya dijaga oleh generasi yang memagari
kebenaran dan penolongnya yang menjelaskan lewat hujjah agama
melalui lisan para Auliya-Nya. Umat Nabi saw. terjaga dari
kesesatan ketika melakukan “IJMA”. Dan rekayasa kebatilan
sirna melaui dalil-dalil yang ditegakkan. Semuanya dilakukan
oleh para pejuang agama, karerna firman Allah swt :
“Agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama, meskipun
orang-orang musyrik benci.” (Qs. As-Shaff : ).
PENJELASAN TENTANG
TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN “SUFI”

1. T AU B A T

55
“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-
orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (Qs. An-Nuur :
31).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik (10 H-93 H/612 M – 712 M)
dari suku Khazraj golongan Anshar. Meriwayatkan 2286 hadis.
Lahir di Madinah dan kemudian pergi ke Damaskus dan meninggal
di Bashrah), bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang tidak
berdosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa
tidak melekat pada dirinya.” (H.r. Ibnu Majah, Tirmidzi dan
Hakim).
Selanjutnya, membacakan ayat : “Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang menyucikan diri.” (Qs. Al-Baqarah : 222).
Ketika belaiau ditanya : “Waha Rasulullah, apa pertanda
bertaubat.?”, beliau menjawab : “Menyesali kesalahan.”
Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda
: “Tiada sesuatu yang dicintai oleh Allah selain pemuda yang
bertaubat.” (as-Syuyuti dalam kisah ash-Jami’ah as-Shaghir,
Jilid II, hlm. 8050, mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan
Abul Mudzaffar as-Sam’any, dari Salman. Menurut as-Suyuthy,
hadis tersebut hadis dha’if).
Oleh karena itu, taubat merupakan tingkat pertama di antara
tingkat-tingkat yang dialami oleh para Sufi dan tahapan pertama
di antara tahapan-tahapan yang dicapai oleh penempuh jalan
Allah (salik).
Makna taubat dalama Bahasa Arab adalah “Kembali”. “Ia
bertaubat” beraarti “Ia kembali”. Jadi taubat adalah kembali
dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju sesuatu yang
dipuji olehnya. Rasulullah saw. bersabda “Menyesali kesalahan
merupakan sutu taubat.” (H.r. Bukhari dan Ahmad).
Para Ahli Ushul di kalangan Ahli Sunnah mengatakan :
“Terdapat tiga syarat taubat yang musti dipenuhi agar taubat
itu sah : Menyesali pelanggaran yang telah dilakukan;
meninggalkan secara langsung penyelewengan; dan dengan mantap

56
seseorang memutuskan tidak kembali pada kemaksiatan yang
sama.”
Hadis di atas menunjukkan betapa agungnya taubat itu,
sebagaimana ketika Rasulullah saw. bersabda : “Haji adalah
Arafah”, maksudnya, adalah menyampaikan pesan bahwa bukannya
tidak ada unsur-unsur haji yang yang lain selain wukuf di
Arafah, melainkan bahwa bagian terbesar unsurnya adalah wukuf
di Arafah. Demikian pulalah maksud dari pesan yang disampaikan
Rasulullah saw. bahwa, “Menyesali kesalahan merupakan suatu
taubat.” – bahwa bagian utama taubat adalah menyesali
keselahan.”
“Menyesali kesalahan adalah cukup untuk memenuhi
persyaratan taubat.” Demikian kata mereka yang telah
melaksanakannya, karena tindakan tersebut mempunyai akibat
berupa dua persyaratan yang lain. Artinya, orang tidak mungkin
bertaubat dari suatu tindakan yang tetap dilakukan atau yang ia
mungkin bermaksud melakukannya. Inilah makna taubat secara
global.
Sebagai penjelasan lebih lanjut, kami katakan bahwa taubat
mempunyai sebab-sebab, urutan, aturan dan bagian-bagian. Sebab
langsung taubat yang pertama ialah kebangunan hati dari
kealpaan, menyadari bahwa hamba tersebut berada dalam perilaku
buruk. Ia mencapai ini dengan batuan Allah swt. terhadap
pikirannya. Ini berlangsung dengan cara mendengarkan kata hati,
lantaran sebuah hadis menyatakan : “Allah mengingatkan pada
kalbu Muslim.” Hadis yang menyatakan : “Ada segumpal daging
di dalam jasad, yang apabila ia bagus, maka keseluruhan jasad
akan bagus, dan apabila ia rusak, maka keseluruhan jasad akan
rusak. Ketahuilah, itu adalah hati.” (H.r. Bukhari-Muslim).
Apabila seseorang merenungi perbuatan-perbuatan jahatnya,
niscaya ia akan memahami tindakan-tindakan tercela yang
dilakukannya, dan keinginan untuk bertaubat akan datang ke
lubuk hatinya, bersamaan dengan tindakan menahan diri dari
tindakan-tindakan tercela tersebut. Kemudan Allah swt. akan
membantunya dalam melaksanakan niatnya yang kukuh ini, dalam
menempuh jalan kembali menuju kebaikan.

57
Cara bertaubat pertama adalah, memisahkan diri dari orang-
orang yang berbuat jahat, karena mereka akan mendorong untuk
mengingkari tujuan ini, dan keraguan atas kelurusan niat yang
telah teguh. Dan hal ini tidak akan lengkap kecuali dibarengi
keteguhan dalam bersyahadat, secara terus menerus, dan
dibarengi motif-motif yang mendorong pelaksanaan ketetapan
dalam hati, yang darinya dapat memperkuat rasa khauf dan
raja’. Selanjutnya, tindakan-tindakan tercela, yang membentuk
simpul kebandelan dalam hati akan mengendor, ia akan
menghentikan perbuatan-perbuatan yang terlarang, dan kendali
diri akan terjaga dari memperturutkan hawa nafsu. Kemudian, ia
harus segera meninggalkan dosanya dan berketetapan hati untuk
tidak kembali ke dosa-dosa serupa di masa mendatang. Apabila
terus bertindak sesuai dengan tujuan yang selaras dengan
kehendaknya ini, berarti bahwa ia telah dianugerahi rasa aman
yang sebenarnya.
Apabila sekali waktu meredup dan hasratnya mendorong untuk
melakukan penyelewengan kembali, suatu hal yang mungkin
seringkali terjadi, kita harus tetap berharap orang seperti itu
akan bertaubat lagi karena : “Bagi tiap-tiap masa ada
ketentuannya.” (Qs. Ar.Ra’ad : 38).
Abu Sulaiman ad-Darany mengtakan : “Aku seringkali
mengunjungi majelis seorang ahli kisah, kemudia kata-katanya
membekas di kalbu. Tetapi, ketika aku pulang, kata-katanya itu
pun lenyap. Aku menghadiri majelis untuk kedua kalinay,
mendengar uacapnnay dan membekas di kalbu, lalu hingga di jalan
aku lupa kembali. Bahkan aku pun hadir di majelisnya untuk yang
ketiga kalinya, berulah kata-katanya membekas hingga di rumah.
Selnjutnya kuhancurkan segala peralatan yang mengarah pada dosa
dan aku meneguhi Jalan. Setelah itu, kisah ini kusampaikan
kepada Yahya bin Mu’adz, sembari memberi komentar atas kisah
ini. :”Seekor burung pipit mengkap seekor burung gbangau :
“Dengan burung pipit yang dimaksudkannya adalah si pengisah
itu dan burung bangau adalah Abu Sulaiman ad-Darany sendiri.
Abu Hafs al Haddad mengatakan : “Aku meninggalkan suatu
perbuatan tercela, lalu kembali padanya. Kemudain perbuatan itu
meninggalkanku, dan sesudah itu aku tidak kembali lagi
padanya.”
58
Abu Amr bin Nujayd pada awal perjalanan spiritualnya,
seringkali mengunjungi majelis Abu Utsman. Kata-kata Abu
Utsmman amat berkesan di dalam hatinya, hingga membuatnya
bertaubat. Selanjutnya ia mendapat cobaan. Ia meninggalkan Abu
Utsman, dengan mengundurkan diri dari majelisnya. Pada suatu
hari ketika Abu Utsman berpapasan dengannya, Abu Amr segera
berpaling dan mengambil jalan lain. Abu Utsman mengikutinya,
berjalan di belakangnya, seraya berkata : “Wahai anakku,
jangan menjadi sahabat orang yang tidak mencintaimu, kecuali ia
seorang yang bersih dari dosa! Hanya Abu Utsman yang mau
membantumu dalam keadaanmu seperti sekarang ini.” Selanjutnya
Abu Amr bertaubat dan kembali sebagai murid setia.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. mengatakan : “Salah seorang
murid bertaubat, kemudian menerima cobaan. Ia bertanya dalam
hati, ‘Jika aku bertaubat, bagaimana hukuman atas diriku
nanti?’ Maka terdengarlah bisikan dalam jiwanya, “Hai Fulan,
engkau taat kepada kami, lalu Kami terima syukurmu, kemudian
engkau tinggalkan Kami, maka Kami biarkan saja dirimu. Bila
engkau kembali kepada Kami, pasti Kami terima.” Akhirnya si
pemuda itu pun bertaubat, kembali ke cita-cita semula.”
Apabila ia meninggalkan kemaksiatan dan melepaskan diri
dari ikatan kebandelan dalam hati, lalu bertekad untuk tidak
kembali pada perbuatan odsa, maka pada saat itulah taubat
sejati menyeleusup ke lubuk hati. Ia menyesali terhadap segala
sesuatu seperti telah dilakukannya, menjauhi tindakan-tindakan
tercela, sehingga taubatnya sempurna, mujahadahnya haq, dan
diganti dengan upaya uzlah. Ia menghindari sekawanan orang-
orang yang jahat lewat kahlwat, ia bekerja sepanjag siang dan
malam dalam keadaan sengsara, dan bertaubat dalam situasi
bagaimanapun, menghapus jejak-jejak dosanya dengan linangan air
mata, dan mengobati hati dengan taubatnya. Ia dikenal di antara
sejawatnya karena kesintingannya, namun kurus-kering tubuhnya
memberikan kesaksian kengenai kewarasannya.
Tahap Tahap pertama pertaubatana seseorang adalah
menghadapi iri hati para musuhnya sebisa mungkin, dengan
harapan nahwa yang dimilikinya cukup untuk memenuhi hak-hak
mereka atau bahwa mereka sepakat untuk meninggalkan klaim yang
bekenaan dengan dirinya dan bersedia menerimanya. Dan apabila
59
harapannya tidak terpenuhi, ia harus menerima klaim-klaim
mereka, dan kembali kepada Allah swt. dengan penuh kejujuran,
disamping itu juga mendoakan mereka.
Saya mendengar Ustadz Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Taubat
dibagi menjadi tiga tahap, tahap awal adalah taubat (tawbah),
tahap tengah adalah kembali (inabah) dan ketiga awbah.” Ia
menempatkan tawabh di awal, awbah di akhir, dan inabah di
antara keduanya.
Barangsiapa bertaubat karena takut siksa, maka ia tergolong
orang yang taubat. Siapa pun yang bertaubat karena ingin
mendapatkan pahala Ilahi, berada dalam keadaan inabah. Siapa
pun yang bertaubat lantaran mematuhi printah Ilahi, bukan
karena ingin mendapatkan pahala maupun takut akan hukuman,
berada dalam keadaan awbah.
Juga dikatakan, taubat adalah sifat kaum Mukminin.” Allah
swt. berfirman : “Ia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia
amat taat (kepada Tuhannya).” (Qs. Shaad:30).
Inabah adalah sifat para Auliya’ dan Muqarrabun. Allah
swt. berfirman : “Ia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia
amatlah taat (kepada-Nya).” (Qs. Shaad : 44).
Al-Junayd berkata : “Taubat itu mempunyai tiga makna.
Pertama, menyesali kesalahan; kedua, berketatapan hati untuk
tidak kembali pada apa yang telah dilarang Allah swt.; dan
ketiga adalah menyelesaikan/membela orang yang teraniaya.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Taubat adalah menghentikan
sikap suka menunda-nunda.”
Al-Junayd berkunjung kepada as=Sary pada suatu hari, dan
mendapatinya sedang kebingungan. Ia bertanya : “Apa yang telah
terjadi atas dirimu?” As-Sary menjawab : “Aku bertemu dengan
seorang pemuda, dan ia bertanya tentang taubat kepadaku.
Kukatakan kepadanya. “Taubat adalah bahwa engkau tidak
melupakan dosa-dosamu.” Lantas ia menyanggahnya dengan
mengatakan, ‘Taubat adalah justru engkau benar-benar melupakan
dosa-dosamu.” Al-Junayd menjawab, “Karena apabila aku berada
dalam kondisi kering, lantas aku dipindahkan ke kondisi dingin,

60
maka menyebut masa kering di masa dingin, adalah kekeringan itu
sendiri.” Dan akhirnya as-Sary pun terdiam.
Abu Nashr as-Sarraj dilaporkan mengatakan : “Sahl sedang
memberitahukan kondisi ruhani murid-murid dan pendatang baru,
yang terus menerus berubah. Al-Junayd merujuk taubatnya orang-
orang yang telah mencapai kebenaran, yang tidak ingat akan
dosa-dosa mereka lagi karena keagungan Allah Swt. yang telah
meluapi hati mereka, dan senantiasa mengingat (dzikr) kepada-
Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry memberi komentar : “Taubat kalangan
awam adalah taubat dari dosa, dan taubat kaum kahwash adalah
taubat dari kealpaan.”
Abul Husain an-Nury mengatakan : “Taubat adalah bahwa
engkau berpaling dari segala sesuatu selain Allah swt.”
Abdullah bin Ali bin Muhammad al-Tamimi mengatakan :
“Betapa besar perbedaan antara orang yang bertaubat dari dosa,
orang yang bertaubat dari kealpaan, dan orang yang bertaubat
dari kesadaran akan perbuatan baiknya sendiri.”
Al-Wasithy berkata : “Taubat sejati adalah taubat yang
tidak menisakan pengaruh maksiat, baik secara batin maupun
lahir.”
Yahya bin Mu’adz berdoa, “ahai Tuhanku, aku tidak akan
mengatakan, “Aku telah bertaubat” dan aku tidak kembali
kepada-Mu hanya karena sesuatu yang menurutku adalah
kecenderunganku, aku tidak bersumpah bahwa aku tidak aka
berbuat dosa lagi, karena aku mengetahui kelemahanku sendiri.”
Dzun Nuun berkata : “Permohonan ampun yang diajukan dengan
tidak disertai pencabutan dosa adalah taubat para pendusta.”
Ketika al-Busyanjy ditanya soal taubat, ia menjawab :
“Ketika dirimu ingat dosa, lantas tidak engkau temui manisnya
ketika mengingatnya, itulah taubat.”
Dzun Nuun mengatakan : “Esensi taubat adalah bahwa bumi
ini terlalu sempit bagimu meskipun ia luas sehinngga engkau
tidak menjumpai tempat untuk beristirahat. Lalu engkau
merasakan jiwamu terhimpit, karena Allah swt. telah menyatakan
61
di dalam Kitab-Nya, “Dan jiwa mereka pun telah sempit (pula
terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak
ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.
Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam
taubatnya.” (Qs. At-Taubah :118).
Ibnu Atha’ berkata: “Terdapat dua jenis taubat : Inabah
(kembali) dan istijabah (menjawab atau memenuhi). Dalam inabah
sang hamba bertaubat karena takut akan hukuman; dalam istijabah
ia bertaubat karena malu akan kemurahan-Nya.”
Abu Hafs ditanya : “Mengapa orang yang bertaubat membenci
dunia?” Ia menjawab : “Karena ia merupakan tempat di mana
dosa-dosa dikejar.” Dan dikatakan kepadanya : “Ia juga tempat
tinggal yang dijunjung tinggi oleh Allah karena taubat.”
Dikatakannya pula, “Sungguh dunia termasuk bagian dosa dengan
amat yakin, tetapi mendapatkan bahaya dari penerimaan atas
taubatnya.”
Sebagian kalangan Sufi mengatakan : “Taubat para pendusta
berada di bibirnya, karena mereka hanya membatasi ucapannya
pada Astaghfirullah.”
Diriwayatkan bahwa Allah swt. berfirman kepada Adam :
“Wahai Adam, Aku telah mewariskan kepada anak cucumu beban dan
penderitaan. Aku menjawab salah seorang di antara mereka, yang
berdoa dengan sungguh-sungguh kepada-Ku, persis sebagaimana Aku
menjawabmu. Wahai Adam, Aku akan membangkitkan orang-orang yang
bertaubat dari kubur-kubur mereka dalam keadaan gembira; doa
mereka akan Kujawab.”
Seseorang bertanya kepada Rabi’ah Adawiyah : “Aku telah
sering berbuat dosa dan menjadi semakin tidak taat. Tetapi,
apabila aku bertaubat, akankah Dia mengampuninya?” Dijawab
oleh Rabi’ah, “Tidak. Tetapi apabila Dia mengampunimu, maka
engkau akan bertaubat.”
Ketahuilah bahwa Allah swt. berfirman : “Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-
orang yang menyucikan diri.” (Qs. Al-Baqarah :222). Orang yang
membiarkan dirinya larut dalam kesalahan, benar-benar identik
dengan menggelincirkan diri sendiri. Tetapi apabila ia
bertaubat, niscaya penerimaan taubatnya oleh Tuhan diragukan,
62
terutama karena kecintaan Tuhan kepadanya adalah satu syarat
bagi penerimaan itu. Dan itu bakal terjadi pada suatu waktu
sebelum si pendosa sampai pada satu titik dimana ia menjumpai
tanda-tanda kecintaan Allah kepada dirinya dalam sifatnya.
Tugas hamba tersebut, ketika mengetahui bahwa dirinya telah
melakukan suatu tindakan yang mengharuskan taubat, ialah
bertaubat secara sungguh-sungguh, dengan menolak secara gigih
perbuatan odsa dan memohon ampunan, sebagaimana tertuang dalam
ucapan mereka, “Seperti kesadaran akan rasa takut menjelang
ajal.”
Firman Allah swt. “Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.” (Qs. Ali Imran : 31).
Di antara Sunnah Nabi saw. adalah beristighfar terus
menerus.
Beliau bersabda :
“Hatiku terasa dahaga, oleh karena itu aku memohon ampunan
Allah tujuhpuluh kali dalam sehari.” (Hr. Muslim dan Abu
Dawud).
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Satu penyelewengan saja
sesudah bertaubat lebih buruk ketimbang tujuhpuluh
penyelewengan sebelum bertaubat.”
Abu Utsman berkata : “Akan halnya firman-Nya : “Kepada-
Nya-lah mereka dikembalikan.” (Qs. Al-An’am :36), maknanya
jika mereka bebas berkeliaran melakukan perbuatan dosa.”

Abu Amr al-Anmathy berkata : “Ali bin Isa, seorang perdana


Menteri, mengendari sebuah kendaraan pada suatu prosesi, dan
orang-orang yang tidak mengenalnya bertanya : ‘Siapakah ia?
Siapakah ia? Seorang wanita yang berdiri di sisi jalan
menyahut, “Sampai kapan Anda akan mengatakan , ‘Siapakah ia?
Siapakah Ia? Dialah seorang hamba yang terlepas dari
perlindungan Allah swt. Dan Allah telah memberikan cobaan
sebagaimana Anda lihat.’ Katika Ali bin Isa mendengar jawaban
wanita tersebut, ia kembali ke rumahnya, seketika itu pula

63
mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri, lalu pergi ke
Mekkah, dan menetaplah ia dikota suci itu.

2. MUJAHADAH

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari) keridhaan


Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang
yang berbuat baik.” (Qs. Al-Ankabut : 69).
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khurdry, (Sa’id bin Malik
bin Sanan al-Nashari al-Kahzrajy (10.sH – 74 H/613 -693 M),
seorang sahabat Rasulullah saw. Ikut berperang duabelas kali,
dan meriwayatkan 1170 hadis. Meninggal di Madinah). Bhawa
ketika Rasulullah saw. ditanya mengenai jihad terbaik, beliau
menjawab, “Adalah perkataan yang adil yang disampaikan kepada
seorang pengausa yang zalim.” (Qs. Hr. Tirmidzi, Abu Dawud dan
Ibnu Majah). Mka air mata berlinang dari kedua mata Abu Sa’id
ketika mendengar hal ini.
Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. berkata : “Barangsiapa
menghiasai lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah
rahasia batinnya melalui musyahadah. Siapa yang permulaannya
tidak memiliki mujahadah dalam tharikat ini, ia tidak akan
menemui cahaya yang mencar darinya.”
Abu Utsman al-Maghriby mengatakan : “Adalah kesalahan
besar bagi seseorang membayangkan bahwa dirinya akan mencapai
sesuatu di jalan-Nya atau bahwa sesuatu di jalan-Nya akan
tersingkap baginya, tanpa bermujahadah.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. menegaskan : “Orang yang
tidak berdiri dengan mantap di awal perjalanan spiritualnya
tidak akan diizinkan beristirahat pada akhir perjalanannya.”
Dikatakannnya pula, “Gerak adalah suatu berkat.” Dan katanya
kemudian, “Gerakan-gerakan dzahir akan melahirkan barakah-
barakah batin.”
As- Sary berkata : “Wahai kaum muda, tekunlah kalian,
sebelum kamu sekalian menginjak usia seperti diriku, sehingga
kalian lemah dan lengah seperti diriku.” Padahal pada saat itu
64
tidak seorang pun di antara para pemuda yang mampu menyejajari
langkah as-Sary dalam bidang ibadat.
Saya mendengar al-Hasan al-Qazzaz berkata : “Jangan makan
kecuali amat lapar, jangan tidur kecuali amat kantuk, jangan
bicara kecuali dalam keadaan darurat.”
Ibrahim bin Adham mengatakan : “Seseorang akan baru
mencapai derajat kesalehan, sesudah melakukan enam hal : (1)
Menutup pintu bersenang-senang dan membuka pintu penderitaan;
(2) Menutup pintu keangkuhan dan membuka pintu kerendahan hati;
(3) Menutup pintu istirahat dan membuka pintu perjuangan; (4)
Menutup pintu tidur dan membuka pintu jaga; (5) Menutup pintu
kemewahan dan membuka pintu kemiskinan; (6). Menutup pintu
harapan duniawi dan membuka pintu persiapan menghadapi
kematian.”
Abu Amr bin Nujayd berkata : “Barangsiapa menghargai hawa
nafsunya berarti meremehkan agamanya dan pendengarannya.”
Abu Ali ar-Rudzbary mengatakan : “Apabila seorang Sufi –
sesudah lima hari kelaparan – berkata : “Aku lapar.”
Kirimlah ia ke pasar untuk mencari nafkah. Prinsip mujahadah
pada dasarnya adalah mencegah jiwa dari kebaisaan-kebiasaannya
dan memaksanya menentang hawa nafsunya sepanjag waktu.”
Jiwa; mempunyai dua sifat yang menghalangi dalam mencapai
kebaikan; keberlarutan dalam memuja hawa nafsu dan penolakan
pada tindak kepatuhan. Manakala jiwa menunggang nafsu, maka
Anda harus mengendalikannya dengan kendali takwa. Manakala jiwa
bersikukuh menolak untuk selaras dengan kehendak Tuhan, maka
Anda harus mengendalikannya agar menolak hawa nafsunya.
Manakala Jiwa bangkit memberontak, maka Anda harus
mengendalikan keadaan ini. Tiada satu hal pun yang berakibat
lebih utama selain sesuatu yang muncul menggantikan kemarahan
yang kekuatannya telah dihancurkan dan yang nyalanya telah
ddipadamkan oleh akhlak mulia. Manakala jiwa menemukan
kemanisan dalam anggur kecongkakan, niscaya ia akan merana
bila tidak sanggup menunjukkan kemampuannya dan menghiasai
perbuatan-perbuatannya kepada siapapun yang melihatnya. Orang
harus memutuskannya dari kecenderungan seperti ini dan
menyerahkannya pada hukuman kehinaan yang akan datang tatkala
65
diingatkan akan hargadirinya yang rendah, asal-usulnya yang
hina dan amal-amalnya yang emnijikan. Perjuangan kaum awam
berupa pelaksanaan tindakan-tindakan; tujuan kaum khawash
adalah menyucikan keadaan spiritual mereka. Bertahan dalam
lapar dan jaga, adalah sesuatu yang mudah. Sedangkan membina
akhlak dan membersihkan semua hal negatif yang melekat padanya,
sangatlah sulit.
Satu dari sekian sifat jiwa yang merugikan dan paling sulit
dilihat adalah ketergantungannya pada pujian manusia. Orang
yang bermental seperti ini berarti menyangga beban langit dan
bumi dengan satu alisnya. Satu pertanda yang mengisyaratkan
mental seperti ini adalah apabila pujian orang tidak diberikan
kepadanya, niscaya ia menjadi pasif dan pengecut.
Dikabarkan bahwa Abu Muhammad al-Murta’isy berkata : “Aku
berangkat haji berkali-kali seorang diri. Pada suatu ketika aku
menyadari bahwa segenap upayaku terkotori oleh kegembiraanku
dalam melakukannya. Hal ini kusadari saat ibu memintaku
menarikan sguci air untuknya. Jiwaku merasakan hal ini sebagai
beban yang berat. Saat itulah aku mengetahui bahwa apa yang
kusangka merupakan kepatuhan kepada Allah swt. dalam hajiku
selama ini tidak lain hanyalah kesenanganku semata, yang datang
dari kelemahan dalam jiwa, karena apabila nafsuku sirna,
niscaya tidak akan mendapati tugas kewajibanku sebagai suatu
yang memberatkan dalam hukum syaritat.”
Pada suatu ketika seorang wanita lanjut usia ditanya
mengenai keadaan ruhaninya. Ia menjawab : “Semasa Muda, aku
berpikir bahwa keadaan-keadaan ruhani itu berasal dari kekuatan
dan semangat yang tak kujumpai saat ini, ketika sudah tua,
semua itu sirna sudah.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Penghormatan yang Allah
berkenan memberikannya kepada seorang hamba, maka Allah
menunjukkan kehinaan dirinya, penghinaan yang Allah berkenan
menimpakannya kepada seorang hamba, maka Allah menyembunyikan
kehinaan dirinya dari pengetahuan akan kehinaan itu sendiri.”
Ibrahim bin Khawwas menegaskan : “Aku tidak menghadapi
seluruh ketakutanku, kecuali secara langsung menghadapinya
dengan menungganginya.”
66
Muhammad bin Fadhl mengatakan : “Istirahat total adalah
kebebasan dari keinginan hawa nafsu.”
Saya mendengar Abu Ali ar.Rudzbary berkata : “Bahaya yang
menimpa manusia datang dari tiga hal : Kelemahan watak,
keterpakuan pada kebiasaan, dan mempertahankan teman yang
merusak.” Saya bertanya kepadanya, “Apakah kelemahan watak
itu?” Ia menjawab. “Mengkonsumsi hal-hal-yang haram.” Lalu
saya tanyakan : “Apakah keterpakuan pada kebiasaan itu?” Ia
berkata : “Memandang dan mendengarkan segala sesuatu yang
haram dan melibatkan diri dalam firnah.” Saya bertanya :
“Apakah mempertahankan teman yang merusak itu? Dijawabnya :
“Itu terjadi ketika Anda menuruti hasrat nafsu dalam diri,
lalu diri Anda mengikutinya.”
An-Nashr Abadzy mengatakan : “Penjara adalah jiwa Anda.
Apabila Anda melepaskan diri darinya, niscaya akan sampai pada
kedamaian.” Ia juga berkata : “Aku mendengar Muhammad al-
Farra’ berkisah bahwa Abul Husain al-Warraq mengatakan :
“Ketika kami memulai menempuh jalan-Nya lewat Tasawuf di
Masjid Abu Utsman al-Hiry, praktek terbaik yang kami lakukan
adalah bahwa kami mempriorotaskan kemudahan bagi orang lain;
kami tidak pernah tidur dengan menyimpan sesuatu tanpa
disedekahkan; kami tidak pernah menuntut balas kepada seseorang
yang menyinggung hati kami, bahkan kami selalu memaffkan
tindakannya dan bersikap rendah hati kepadanya; dan jika kami
memandang hina seseorang dalam hati kami, maka kami akan
mewajibkan diri kami untuk melayaninya sampai perasaan
memandang hina itu lenyap.”
Abu Ja’far berkata : “Nafsu, seluruhnya gelap gulita,
peliatanya adalah batinnya. Cahaya pelita ini adalah taufiq.
Orang yang tidak disertai taufik dari Tuhannya, maka kegelapan
akan menyelimutinya.” Ketika mengatakan, “Pelita adalah
batinnya.” Dimaksudkan adalah rahasia antara dirinya dan Allah
swt. yakni tempat keikhlasannya. Dengannya si hamba tersebut
mengetahui bahwa semua peristiwa adalah karya Tuhan; peristiwa-
peristiwa bukanlah ciptaan dirinya, tidak pula berasal darinya.
Bila mengetahui hal ini, ia akan bebas dalam setiap keadaannya,
dari kekuatan dan kekuasaannya sendiri dalam melestarikan
manfaat waktunya. Orang yang tidak disertai taufik tidak akan
67
memperoleh manfaat dari pengetahuan tentang jiwanya atau
tentang Tuhannya. Itulah sebabnya mengapa para syeikh
mengatakan “Orang yang tidak mempunyai sirr akan terus
bersikeras menuruti hawa nafsunya.”
Abu Utsman berkata : “Selama orang melihat setiap sesuatu
baik dalam jiwanya, ia tidak akan mampu melihat kelemahan-
kelemahannya. Hanya orang yang berani mendakwa dirinya terus
menerus selalu berbuat salahlah yang akan sanggup melihat
kesalahannya itu.
Abu Hafs mengatakan : “Tidak ada jalan yang lebih cepat ke
arah kerusakan, kecuali jalan orang yang tidak mengetahui
kekurangan dirinya, karena kemaksiatan kepada Tuhan adalah
jalan cepat menuju kekafiran.”
Abu Sulaiman berkata : “Aku tahu bahwa tidak sedikit pun
kebaikan dapat ditemukan dalam suatu perbuatan yang kulakukan
sendiri, aku berharap diberi pahala karenanya.”
As-Sary berkomentar : “Waspadalah terhadap orang yang suka
bertetangga dengan orang kaya, pembaca-pembaca Al-Qur’an yang
sering mengunjungi pasar, dan ulama-ulama yang mendekati
penguasa.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : Kerusakan merasuki diri
manusia dikarenakan enam hal (1) Mereka memiliki niat yang
lemah dalam melaksanakan amal untuk akhirat; (2) Tubuh mereka
diperbudak oleh nafsu; (3) Mereka tidak henti-hentinya
mengharapkan perolehan duniawi, bahkan menjelang ajal; (4)
Mereka lebih suka menyenangkan makhluk, mengalahkan ridha Sang
Pencipta; (5) Mereka memperturutkan hawa nafsunya, dan tidak
menaruh perhatian yang cukup kepada Sunnah Nabi saw. (6) Mereka
membela diri dengan menyebutkan beberapa kesalahan orang lain,
dan mengubur prestasi pendahulunya.

3. KHALWAT DAN ‘UZLAH

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. (Abdurrahman bin Shakhr ad-


Dausy (21s.H – 59H/602-679 M), seorang sahabat sejak ia yatim.

68
Masuk Islam tahun 7 H. Dan senantiasa mendampingi Nabi saw.
serta meriwayatkan 5.374 hadits), Bahwa Nabi saw. besabda :
“Di antara cara-cara terbaik bagi manusia dalam mencari
penghidupan adalah seseorang mengendarai kuda di jalan Allah,
dan apa bila ia mendengar suara manusia-manusia yang panik atau
ketakutan dalam peperangan, ia memacu kudanya mencari mati
syahid atau kemenangan di medan jihad; atau seseorang
menggembalakan biri-biri dan kambing-kambingnya di puncak
gunung atau di kedalamanan lembah, namum tetap mendirikan
shalat, membayarkan zakat, dan beribadat kepada Tuhan sampai
datang suatu keyakinan. Tidak ada urusan dengan sesama manusia
kecuali didasarkan pada kebaikan.” (H.r. Muslim).
Menyendiri dari pengaruh duniawi (khalwat) adalah sifat
orang-orang suci. Sedangkan mengasingkan diri (‘uzla) adalah
lambang orang yang ber-wushul kepada-Nya. Memisahkan diri dari
manusia sangat diperlukan bagi murid pada awal kondisi
ruhaninya, dan selnjutnya mengasingkan diri pada akhir kondisi
ruhani, karena telah mencapai keakraban sukacita ruhani. Sikap
seorang yang layak ketika memutuskan untuk memisahkan diri dari
manusia adalah meyakini bahwa masyarakat akan terhindar dari
kejahatannya (dengan tindakannya memisahkan diri dari mereka),
bukan bahwa ia akan terhindar dari kejahatan mereka. Sikap
pertama adalah hasil dari seseorang yang memandang rendah
dirinya sendiri; sikap kedua adalah akibat seseorang merasa
bahwa dirinya lebih baik dari masyarakat. Orang yang
mengganggap dirinya tiak berharga adalah rendah hati, dan orang
yang menganggap dirinya lebih bergarga ketimbang orang lain
adalah takabur.
Seseorang melihat seorang rahib dan berkata kepadanya :
“Anda seorang rahib.” Ia menjawab : “Bukan, aku adalah
anjing penjaga. Jiwaku adalah seekor anjing yang menyerang
ummat manusia. Aku telah menjauhkannya dari mereka supaya
mereka aman.”
Seseorang lewat di hadapan syeikh yang shaleh. Sementara
syeikh itu bergegas merapatkan jubahnya supaya tidak
bersentuhan dengan pakaian orang tersebut. Orang tersebut
bertanya : “Mengapa Anda menarik jubah Anda?” Pakaian saya
tidak kotor.” Sang Syeikh menjawab : “Dugaan Anda salah. Saya
69
menarik jubah supaya tidak menyentuh pakaian Anda karena jubah
saya kotor, kalau tidak, jubah saya pasti mengotori pakaian
Anda. Jadi bukan karena saya bermaksud menjaga jubah saya
supaya tidak kotor.”
Untuk dapat ber-Uzlah dengan tepat, seseorang harus
mempunyai pengetahuan agama untuk memantapkan tauhidnya, agar
setan tidak menggodanya dengan bisikan-bisikannya. Ia juga
harus mempunyai pengetahuan yang dapat diperolehnya dari
syariat – tentang kewajibannya, sgar segala urusannya berada
di atas dasar yang kokoh. Sesungguhnya, ‘uzlah adalah menjauhi
sifat-sifat hina, mengubah sifat-sifat hina tersebut, bukannya
amenjauhkan diri lewat jarak tempat. Itulah sebabnya mengapa
lahir pertanyaan : “Siapakah orang ‘arif itu?” Mereka
menjawab : “Orang yang ada dan yang jelas, yakni ada bersama
makhluk, jelas namun jauh dari mereka lewt rahasianya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Aku memakai
pakaian sebagaimana orang banyak memakaianya, makan makanan
yang seperti mereka makan. Namun aku menyendiri dari mereka
dalam rahasia.” Saya mendengar ia berkata : “Ada orang yang
datang kepadaku dan bertanya, ‘engkau datang dari jarak yang
jauh?” saya menjawabnya, ‘Pembicaraan ini bukannya peristiwa
bepergian dengan jarak dan ukuran perjalanan.Berpisahlah dari
diri Anda sendiri dalam satu langkah saja, dan Anda pasti
mencapai tujuan Anda.”
Abu Yazid mengatakan : “Aku melihat Tuhan dalam mimpi,
lalu aku bertanya : “Bagaimana aku musti menjumpai-Mu?” Tuhan
menjawab : “Tinggalkan dirimu dan kemarilah.”
Abu Utsman al-Maghriby berkomentar : “Adalah wajar bagi
seseorang yang memutuskan memisahkan diri dari kesertaan
bersama sesamanya supaya bebas dari segala jenis pengingatan,
kecuali pengingatan kepada Tuhan, terbebas dari semua hawa
nafsu kecuali keinginan mencari ridha Tuhan, dan terbebas dari
tuntutan diri akan segala sebab duniawi. Apabila tidak
demikian, maka tindakannya berkhalwat hanya akan melemparkannya
ke dalam cobaan atau petaka.”
Dikatakan bahwa sendiri dalam khalwat sangat dekat pada
ketenangan jiwa.
Seseoarng mengunjungi Abu Bakr al-Warraq, dan sewaktu akan
pulang, ia berkata : “Saya telah menemukan yang terbaik dari
70
dunia dan akhirat dalam khalwat dan kemiskinan, dan saya telah
menemukan yang terjelek dari keduanya (dunia dan akhirat) dalam
pergaulan dengan manusia dan kemewahan.
Ditanya tentang ‘uzlah, Abu Muhammad al-Jurairy menjawab :
“’Uzlah adalah Anda masuk ke dalam kumpulan orang banyak
sambil menjaga batin Anda supaya tidak diharu-biru oleh mereka.
Anda menjauhkan diri dari dosa-dossa, dan batin Anda
berhubungan dengan al-Haq.”
Ada yagn mengatakan : “Siapa pun memlih ‘Uzlah akan
mencapai kemuliannya.”
Sahl mengatakan : “Khalwat tidak sah, kecuali dengan
memakan makanan haalal, dan memakan makanan halal tidak
sempurna kecuali menunaikan Hak Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Aku tidak menemukan
sesuatu hal pun yang lebih baik yang dapat melahirkan
keikhlasan selain kahlwat.”
Abu Abdullah ar-Ramly bekata : “Gantilah sahabat Anda
dengan khalwat, makanan Anda adalah lapar, dan ucapan Anda
menjadi munajat. Maka Anda akan mati atau mencapai Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Orang yang
menyembunyikan dirinya dari sesama manusia melalui khalwat
tidaklah seperti orang yang menyembunyikan dirinya dari
sesamanya melalui Tuhan.”
Al-Junayd berkata : “Kesulitan dalam ‘uzlah lebih mudah
diatasi ketimbang kesenangan berada bersama orang lain.”
Makhul asy-Syaami mengatakan : “Memang bergaul dengan sesama
manusia ada baiknya, tetapi ada rasa aman dalam ‘uzlah.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Keheningan adalah sahabat
orang jujur.”
Abu Bakr asy-Syibly selalu mengatakan : “Rusak ... rusak,
wahai sahabt!” Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Abu
Bakr, apa pertanda kerusakan?” Ia menjawab : “Satu dari
sekian kerusakan adalah berakrab-akrab dengan orang banyak.”
Yahya bin Abu Katsir berkata : “Barangsiapa bergaul dengan
orang banyak haruslah menyenangkan hati mereka, dan barangsiapa
menyenangkan hati mereka, berarti telah bertindak munafik.”
Sa’id bin Harb mengatakan : “Aku berangkat menemui Malik
Bin Mas’ud di Kufah, dan ia sendirian di dalam rumahnya. Aku
bertanya, “Apakah Anda tidak merasa takut sendirian?” Ia
menjawab : “Aku tidak menganggap bahwa seseorang yang bersama
Allah swt. adalah ketakutan.”
Al-Junayd berkata : “Barangsiapa menginginkan agamanya
sehat dan raga serta jiwanya tenteram, lebih baik ia memisahkan
71
diri dari orang banyak. Sesungguhnya zaman yang penuh
ketakutan, dan orang yang bijak adalah yang memiliki
kesendiriannya.”
Abu Ya’qub as-Susy mengatakan : “Hanya orang-orang yang
sangat kuat sajalah yang harus menyendiri. Akan halnya orang-
orang seperti kita, bergaul dengan orang banyak lebih
menguntungkan.”
Asy-Syibly memerintah Abu Abbas ad-Dimaghani demikian :
“Praktikkan kesendirian dan hapuslah nama Anda dari khalayak,
hadapkan muka Anda ke dinding sampai Anda meninggal dunia.”
Seseorang menemui Syu’aib bin Harb, yang bertanya :
“Mengapa Anda ke sini?” Orang tersebut menjawab : “Wahai
sahabatku! Sesungguhnya ibadat tidaklah lestari lewat bergabung
dengan yang lain. Seseorang yang belum menjalin kemesraan
dengan Allah swt. tidak akan menjadi mesra dengan apa-pun.”
Seseorang ditanya : “Hal mengagumkan apakah yang telah
Anda temukan dalam perjalanan Anda?” Ia menjawab : “AlKhidhr
menjumpaiku dan ia ingin menyertaiku. Aku khawatir ia
mengacaukan tawakalku kepada Allah swt.”
Salah seorang Sufi ditanya : “Adakah seseorang atau
sesuatu di tempat ini yang dengannya Anda merasa akrab?” Ia
menjawab : “Ada”. Dengan meletakkan Al-Qur’an di atas
pangkuannya, ia menjawab : “Ini”, Berkenaan makna ucapannya
itu, para Sufi membacakan baris-baris berikut :
Buku-bukumu di sekitarku
Tidak meningglakan tempat tidurku
Di dalamnya terdapat obat pelipur
Bagi sakit yang kusembunyikan.
Salah seorang Sufi ditanya Dzun Nuun al-Mishry : “Kapan
‘uzlah yang tepat bagi diriku?” Ia menjawab : “Ketika Anda
sanggup memisahkan diri Anda dari diri Anda sndiri.”
Ditanyakan kepada Ibnul Mubarak : “Apakah obat bagi hati yang
sakit?” Ia menjawab : “Berjumpa dengan sesama manusia
sejarang mungkin.”
Dikatakan : “Apabila Tuhan hendak memindahkan hamba-Nya
dari kehinaan kekafiran menuju kemuliaan ketaatan, Dia
menjadikannya intim dengan kesendirian, kaya dalam
kesederhanaan, dan mampu melihat kekurangan dirinya.
Barangsiapa telah dianugerahi semua ini berarti telah
mendapatkan yang terbaik dari dunia dan akhirat.”

4. T A Q W A

72
Allah berfirman :
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.”
(Qs. Al-Hujarat :13).
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id ak-Khudry, bahwa seseorang
menghadap Nabi saw. dan berkata : “Wahai Rasulullah,
nsehatilah saya!.” Beliau menjawab :
“Engkau harus mempunyai ketakwaan kepada Allah, karena
ketakwaan adalah kumpulan seluruh kebaikan. Engkau harus
melaksanakan jihad, karena jihad adalah kerahiban kaum
Muslimin. Dan engkau harus dzikir kepada Allah, karena dzikir
adalah cahaya bagimu.” (H.r. Ibnu Dharies, dari Abu Said).
Anas r.a. meriwayatkan, seseorang bertanya kepada
rasulullah saw. “Siaakah keluarga Muhammad?” Beliau menjawab
“Setiap orang yang takwa.”
Takwa merupakan kumpulan seluruh kebaikan, dan hakikatnya
adalah seseorang melindungi dirinya dari hukum Tuhan dengan
ketundukan kepada-Nya. Asal-Usul taqwa adalah menjaga dari
syirik, dosa dan kejahatan, dan hal-hal yang meragukan
(syubhat), serta kemudian meninggalkan hal-hal utama (yang
menyenangkan).
Menurut Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. masing-masing bagian
tersebut memiliki bab tersendiri. Dan dinyatakan di dalam
tafsir menganei firman Allah swt. “Bertakwalah kepada Allah
dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (Qs. Ali Imran : 102),
ayat ini mempunyai makna bahwa Dia harus dipatuhi dan tidak
ditentang, diingat dan tidak dilupakan, dan bahwa kita harus
bersyukur kepada-Nya, dan tidak mengufuri-Nya.
Sahl bin Abdullah menegaskan : “Tiada penolong sejati
selain Allah; tidak satu pun pembimbing yang sebenarnya selain
Utusan Allah; tak satu pun perbekalan yang mencukupi selain
takwa, dan tidak satu pun amal yang langgeng keteguhannya
selain bersabar.
Al-Jurairy mengatakan : “Dunia dibagi secara adil sesuai
dengan cobaan, dan akhirat dibagi secara adil sesuai dengan
takwa.”
AL-Jurairy mengatakan : “Orang yang belum menjadikan taqwa
dan muraqabah sebagai hakim, antara dirinya dan Tuhan tidak
akan memperoleh musyafah dan musyahadah.”
An-Nashr Abadzy menjelaskan : “Taqwa adalah bahwa hamba
waspada terhadap segala sesuatu selain Allah swt. Barangsiapa
menginginkan takwa yang sempurna, hendaknya menghindari setiap
dosa. Siapa pun yang teguh dalam taqwa akan merindukan
73
pepisahan dengan dunia, karena Allah swt berfirman : “Dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya.” (Qs. Al-An’am :
32).
Sebagian Sufi berkata : “Tuhan menjadikan berpaling dari
dunia dengan mudah bagi orang yang benar-benar bertaqwa.” Abu
Abdullah ar-Rudzbary mengatakan : “Takwa adalah menghindarkan
diri dari segala sesuatu yang menjadikan diri jauh dari Allah
swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Orang yang bertakwa
kepada Allah adalah orang yang tidak menodai aspek lahirian
dirinya dengan sikap keras kepala, tidak pula aspek batiniahnya
dengan alamat-alamat keruhanian. Ia berdiri di sisi Allah dalam
keadaan selaras.”
Abul Hasan al-Farisy berkata : “Takwa mempunyai dimensi
lahir dan batin. Dimensi lahir adalah pelaksanaan syariah, dan
aspek batinnya adalah niat dan mujahadah.”
Dzun Nuun membacakan baris-baris sejak berikut :
Tak ada kehiduan
Selain bersama mereka
Yang hatinya mendambakan takwa
Dan yang istirahat dalam dzikir
Tentram dalam ruh keyakinan
Seperti anak menyusu di pangkuan ibunya.
Dikatakan : “Takwa seseorang ditandai oleh tiga sikap yang
baik : Tawakal terhadap apa yang belum dianugerahkan, berpuasa
diri dengan apa yang telah dianugerahkan, dan bersabar dalam
menghadapi milik yang hilang.”
Thalq bin Habib menjelaskan : “Takwa adalah bertindak
sesuai dengan ketundukan kepada Allah sesuai dengan cahaya
Allah swt.”
Abu Hafs mengatakan : “Takwa adalah sikap seseorang
membatasi dirinya terhdap hal-hal yang jelas diperbolehkan,
hanya itu.”
Abu Husyn az-Zanjany mengatakan : “Barangsiapa yang modal
hartanya adalah takwa, ia akan lelah menghitung labanya.”
Al-Wasithy menegaskan : “Takwa adalah sikap seseorang
menjauhi ketakwaannya; artinya menghindari kesadaran akan
taqwa. Contoh orang yang bertakwa adalah Ibnu Sirin. Suatu saat
Ibnu Sirin membeli empat puluh kaleng mentega. Ketika salah
seorang membantunya menyingkirkan seekor tikus dari salah satu
gucinya, Ibnu Sirin bertanya kepadanya, “Guci mana yang
darinya tikus itu kamu singkirkan? Ia menjawab : “Saya tidak
74
tau! Selanjutnya Ibnu Sirin memutuskan mengosongkan semua guci
dengan menuang seluruh mentega ke atas tanah. Contoh orang
saleh adalah Abu Yazid al-Bisthamy. Pada suatu hari ia membeli
kunyit jingga di Hamadhan. Ia menjumpai hanya sedikit kunyit-
jingga, dan ketika kembali ke Bistham, ditemukannya dua ekor
semut di kunyit tersebut. Maka, ia kembali ke Hamadhan dan
melepaskan kedua semut itu.”
Abu hanifah tidak pernah mau berteduh di bawah kerindangan
pohon milik orang yang gberhutang kepadanya. Ia menjelaskan,
“sebuah hadits menyatakan :
“Setia hutang yang pengembaliannya disertai kelebihan
adalah riba” (Riwayat al-Ajluni, namun as-Suyuti menganggap
hadits ini dha’if).
Abu Yazid sedang mencuci jubah di luar kota bersama seorang
sahabat, ketika sahabatnya berkata : “Kita jemur jubah di
dinding pagar kebun buah itu.” Abu Yazid menjawab : “Jangan
menancapkan paku di dinding orang.!” Sahabatnya menyarankan :
“Jemur saja di atas pohon.” Abu Yazid menjawab : “Aku
khawatir ia akan menyebabkan cabang-cabangnya patah.” Ia
berkata : “Bentangkanlah ia di atas rerumputan!” Abu Yazid
menjawab : “Rerumputan itu makanan hewan ternak. Jangan kita
menutupi dengan jubah ini!>” Selanjutnya, ia menghadapkan
punggungnya hingga satu sisi jubahnya mengering, lantas
membalik sisi yang lain hingga mengering pula.
Dikisahkan, pada suatu hari Abu Yazid memasuki masjid dan
menancapkan tongkatnya ke tanah. Tongkat itu roboh dan menimpa
tongkat seseorang yang berusisa lanjut, yang juga
menancapkannya di tanah, dan menyebabkan tongkat orang tersebut
roboh. Orang tua itu membungkuk, lalu mengambil tongkatnya. Abu
Yazid pergi ke rumah orang tua tersebut dan minta maaf
kepadanya, dengan mengatakan : “Anda tentu merasa terganggu
disebebkan oleh kelalaian saya, ketika Anda
terpaksa membungkuk.
Utbah al-Ghulam tampak bercucuran keringat di musim dingin.
Ketika orang-orang di sekitarnya menanyakan hal itu kepadanya,
ia memberikan penjelasan. “Ini adalah tempat di mana aku telah
bermaksiat kepada Allah swt.” Ketika diminta memberikan
penjelasan lebih lanjut, ia mengatakan : “Aku mengambil
sebongkah lempung dari dinding ini, supaya tamuku dapat
membersihkan tangan dengannya, tetapi aku tidak meminta izin
terlebih dahulu kepada pemilik dinding ini.”
Ibrahim bin Adham berkaa : “Pada suatu malam aku menggisi
waktu di bawah kubah Masjid Kubah Batu Karang di Baitul Maqdis.
75
Di tengah malam sepi turun dua malaikat. Malaikat pertama
bertanya kepada sahabatnya : “Siapakah orang yang berdiam di
sini? Sahabatnya menjawab : “Ibrahim bin Adham.” Malaikat
pertama itu berkata : “Inilah orang yang derajatnya telah
diturunkan Allah swt. satu tingkat! Maka, Malaikat ke dua
bertanya : “Mengapa? Ia menjawab : “Karena ketika ia membeli
sedikit kurma di Nashrah, sebutir kurma bercampur menjadi satu
dengan kurma yang dibelinya, ia tidak mengembalikan kepada
pemiliknya.”
Kemudia Ibrahim melaporkan : “Aku berangkat ke Bashrah,
membeli kurma dari orang tersebut, dan menjatuhkan se butir
kurma ke dalam kurma-kurma miliknya. Aku kembali ke Yerusalem
dan dan mengisi malam hariku di Masjid Kubah Batu Karang.
Ketika sebagian malam berlalu, aku melihat dua malaikat turun
dari langit, dan malaikat yang satu bertanya kepada
sahabatnya : “Siapakah orang yang berdiam di sini? Sahabatnya
menjawab : “Ibrahim bin Adham.” Malaikat yang bertanya
berkata lagi : “Ini adalah orang yang telah dikembalikan dan
dinaikan derajatnya oleh Allah swt.”
Dikatakan bahwa takwa mempunyai bermacam-macam aspek; bagi
kaum awam taqwa adalah menghindari syirik, bagi kaum terpilih
(khawash) adalah menghindari dosa-dosa, bagi para auliya’
adalah menghindari ketergantungan pada amal, dan bagi para Nabi
menghindari menisbatkan amal kepada selain Allah swt. Sebab
taqwa mereka datang dari-Nya dan kembali kepada-Nya.
Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a. berkata : “Kaum
termulia di dalam dunia adalah kaum dermawan dan yang paling
mulia di akhirat adalah kaum yang taqwa.”
Diriwayatkan oleh Abu Umamah, bahwa Nabi. Saw. menegaskan :
“Apabila seseorang menatap kecantikan seorang wanita dan
kemudian menundukkan matanya setelah tatapan pertama, maka
Allah menjadikan tindakannya itu suatu ibadat yang rasa
manisnya dirasakan oleh hati orang yang melakukannya.” (Hr.
Ahmad dalam Musnad-nya).
Al-Junayd sedang duduk-duduk bersama Ruwaym, Al-Jurairy dan
Ibnu Atha’. Al-Junayd berkata : “Seseorrang tidak akan
selamat kecuali bila berlindung secara ikhlas kepada Allah.”
Allah swt. berfirman : “Dan terhadap tiga orang yang tidak
ikut serta (berjihad), hingga ketika bumi telah menjadi sempit
bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah
sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui
bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan
kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar
76
mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
tobat lagi Maha Penyayang.” (Qs. At-Taubah :118).
“Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa kaena
kemenagan mereka, mereka tiada disentuh oleh azab (neraka dan
tidak pula) mereka berduka cita.” (Qs. Az-Zumar :61).
Al-Jurairy berkata : “Seseorang akan selamat hanya dengan
tekun beribadat. Allah swt. berfirman : “.... (yaitu) orang-
orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian.”
(Qs. Ar-Ra’ad :20).
Ibnu Atha’ menegaskan : “Seseorang akan tidak selamat
kecuali dengan sikap malunya di hadapan Allah swt. Allah swt.
berfirman : “Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
melihat segala perbuatannya.” (Qs. Al’Alaq :14). “Bahwa
sanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang
baik dari kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.: (Qs. Al-
Anbiya :101).
Dikatakan, seseorang tidak akan selamat kecuali dengan
pilihan yang telah ditetapkan atas dirinya. Allah swt.
berfirman : “Dan kami telah memilih mereka (untuk menjadi
Nabi-nabi dan Rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan
yang lurus.” (Qs. Al-An’am :87).

5. W A R A’

Diriwayatkan oleh Abu Dzar al-Ghiffary, (Abu Dzar adalah


Jundub bin Junadah al-Ghiffary (wafat 23 H/652 M.) dari bani
Ghiffar, seorang sahabat yang telah dulu masuk Islam. Beliau
sangat jujur dan memiliki keteladanan. Tinggal di Damaskus),
bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Sebagian dari kebaikan
tindakan keIslaman seseorang adalah bahwa ia menjauhi segala
sesuatu yang tidak berarti.” (H.r. Malik Bin Anas, Tirmidzi
dan Ibnu Majah).
Syeikh Abu Ali ad.daqqaq mengatakan : “Wara’ adalah
meninggalkan apa pun yang syubhat.” Dmeikian pula, Ibrahim bin
Adham memberika penjelasan : “Wara’ adalah meninggalkan
segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak
berarti, dan apa pun yang berlebihan.”
Abu Bakr ash.Shiddiq r.a. berkaa : “Kami dahulu selalu
meninggalkan tujuhpuluh perkara yang termasuk ke dalam hal-hal
yang dihalalkan, karena khawatir terjerumus ke dalam satu hal
yang haram.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw.
bersabda :
77
“Bersikaplah wara’, dan kamu akam nejadi orang yang
paling taat beribadat di antara ummat manusia.” (H.r. Ibnu
Majah, Thabrani dan Baihaqi).
As. Saru berkata : “Terdapat empat orang yang wara’ di
zaman mereka : Hudzaifah al-Murta’isy, Yusuf bin Asbat,
Ibrahim bin Adham dan Sulaiman al-Khawwas. Mereka bersikap
wara’. Dan apabia usaha untuk mendapatkan sesuatu yang halal
begitu sulit bagi mereka, mereka mencarinya seminimal
mungkin.”
Asy-Syibli berkomentar : “Wara’ adalah sikap menjauhi
segala sesuatu selain Allah swt.”
Ishaq bin Khalaf mengatakan : “Wara’ dalam bicara lebih
sulit ketimbang menjauhi emas dan perak, dan zuhud dari
kekuasaan lebih sulit ketimbang menyerahkan emas dan perak,
karena Anda siap mengorbankan emas dan perak demi kekuasaan.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Wara’ adalah titik
tolak zuhud, sebagaimana sikap puas terhadap apa yang ada
adalah bagian utama dari ridha.”
Abu Utsman mengatakan : “Pahala bagi wara’ adalah
kemudahan penghitungan amal di akhirat.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Wara’ adalah berpangku pada
batas ilmu tanpa menakwilkannya.”
Dikatakan : “Sekeping uang loga kecil milik Abdullah bin
Marwan jatuh ke dalam sebuah sumur yang berisi kotoran, lalu ia
meminta bantuan seseorang untuk mengambilnya dengan membayarnya
tiga belas dinar. Ketika seseorang bertanya kepadanya, ia
memberikan penjelasan : Nama Allah swt. tertera pada uang
itu.”
Yahya bin Mu’adz menegaskan : “Ada dua jenis wara’ :
Wara’ dalam pengertian dzahir, yaitu sikap yang mengisyaratkan
bahwa tidak ada satu tindakan pun selain karena Allah swt. dan
wara’ dalam pengertian batin, yaitu sikap yang mengisyaratkan
bahwa tidak ada sesuatu pun yang memasuki hati Anda kecuali
Allah swt.”
Ia juga berkata : “Orang yang tidak memeriksa dan meahami
seluk beluk wara’ tidak akan mendapatkan anugerah.”
Dikatakan : “Orang yang pandangan atas agama jeli, akan
memperoleh peringkat yang tinggi di Hari Kebangkitan”
Yunus bin Ubaid mengatakan : Wara’ berarti keluar dari
segala syubhat, dan merefleksikan diri dalam setiap
pandangan.”

78
Sufyan ats-tsaury berkomentar : “Aku belum pernah melihat
sesuatu yang mudah selain wara’. Apap pun yang diinginkan oleh
hawa nafsu Anda, tinggalkanlah!.”
Ma’ruf al-Karkhy mengajarkan : “Jagalah lidah Anda dari
pujian, sebagaimana Anda menjaganya dari cacian.”
Bisyr ibnul Harits berkata : “Hal-hal paling sulit untuk
dilaksanakan, ada tiga : Dermawan di masa-masa sulit, wara’
adalah khalwat, dan menyampaikan kebenaran kepada seseorang
yang Anda takuti dan Anda jadikan harapan.
Saudara wanita Bisyr al-Hafi mengunjungi Ahmad bin Hanbal
dan memberitahukan kepadanya : “Kami sedang memintal di atas
atap rumah, ketika obor kaum Dzahiriyah berlalu dan cahayanya
menyinari kami. Apakah diperbolehkan bagi kami memintal di
dekat cahaya mereka?” Ahmad bertanya : “Siapakah Anda,
(semoga Allah menjaga kesehatan Anda)?” Ia menjawab : “Saya
adalah saudara wanita Bisyr al-Hafi.” Ahmad menangis, lau
berkata, “Wara’ yang jujur muncul dari keluarga Anda. Jangan
memintal di dekat cahaya itu!.”
Ali al-Atthar berkata : “Suatu ketika aku sedang berjalan
melewati Bashrah melintasi sebuah jalan, dan aku melihat
beberapa orang Syeikh sedang duduk, sementara beberapa pemuda
bermain di dekatnya. Oleh karena itu aku bertanya kepada
mereka, ‘Apakah Anda sekalian tidak malu bermain di depan
Syeikh-Syeikh ini? Salah seorang pemuda tersebut menjawab,
‘Wara’ para syeikh ini demikian kecil sehingga kami memandang
kecil mereka.”
Dikatakan bahwa Malik Bin Dinar tinggal di Bashrah selama
empatpuluh tahun, ia tidak pernah memakan kurma kering maupun
yang masih segar dari kota tersebut. Sampai saat musim berlalu,
ia berkata, ‘Wahai penduduk Bashrah, inilah perutku, tidak
kurang juga tidak pernah bertambah!.”
Seseorang bertanya kepada Ibrahim bin Adham, “Mengapa Anda
tidak minum Zam-zam?” Ia menjawab : “Apabila aku mempunyai
timba, aku akan meminumnya.”
Apabila al-Harits al-Muhasiby mengambil makanan yang
syubhat, maka urat di ujung jarinya berdenyut, dan ia
menganggap bahwa makanan tersebut syubhat.
Suatu ketika Bisyr al-Hafi diundang ke jamuan makan, dan
dihidangkan makanan di depannya. Ia hendak menyantap makanan
itu, tetapi tangannya tidak dapat digerakkan, Ia berusaha
menggerakkannya hingga tiga kali. Seseorang yang akrab dengan
situasi ini mengatakan : “Tangannya tidak pernah mengambil

79
makanan yang syubhat. Percuma saja tuan mengundang Syeikh
ini.”
Ketika Sahl bin Abdullah ditanya tentang halal yang murni,
ia menjawab : “Yaitu yang di dalamnya tidak pernah dicampuri
maksiat kepada Allah swt. Dan Halal yang murni adalah yang
Allah tidak dilupakan di dalamnya.”
Hasan al-Bashry memasuki Mekkah, ia melihat salah seorang
keturunan Ali bin Abi Thalib r.a. bersandar ke Ka’bah dan
berceramah di hadapan sekumpulan orang. Hasan bergegas
menghampirinya, lalu bertanya : “Siapakah yang menguasai
agama-agama?” Ia menjawab : “Orang wara’.” Hasan bertanya
lagi : “Apakah yang merusak agama?” Ia menjawab :
“Kesereakahan.” Maka Hasan mengaguminya, seraya berkata :
“Bobot sebutir wara’ yang cacat adalah lebih baik ketimbang
bobot seribu hari berpuasa dan shalat,”
Abu Hurairah mengatakan : “Sahabat-sahabt dalam majelis
Allah swt, di akhirat adalah orang-orang yang wara’ dan
zuhud.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Apabila wara’ tidak
menyertai seseorang, ia tidak akan pernah merasa kenyang,
sekalipun diwajibkan baginya makan kepala gajah.”
Sedikit minyak kasturi yang berasal dari rampasan perang
dibawa ke hadapan Umar bin Abdul Aziz. Katanya : “Manfaat
satu-satunya adalah aroma keharumannya, dan aku tiak ingin
hanya diriku sendiri yang mencium aromanya, sementara seluruh
kaum Muslim tidak berbagi mambauinya.”
Ketika ditanya tentang wara’ Abu Utsman al-Hiry berkata :
“Abu Shalih Hamdunal al-Washshar berada bersama salah seorang
sahabatnya yang sedang menjelang maut. Orang tersebut
meninggal, dan Abu Shalih memadamkan lampu. Seseorang bertanya
kepadanya tentang hal ini, lalu ia mengatakan. “Sampai
sekarang minyak yang di dalam lampu ini menjadi milik para ahli
warisnya. Carilah minyak yang bukan miliknya!.”
Hamisan berkata : “Aku meratapi dosaku selama empatpuluh
tahun. Salah seorang sauddara mengunjungiku, dan kubelikan
sepotong ikan rebus untuknya. Ketika ia selessai memakannya,
aku mengambil sebongkah lempung dinding milik tetanggaku,
sampai ia dapat membersihkan tangannya, dan aku belum meminta
haalnya.”
Seseorang sedang menulis suatu catatan saat ia tinggal di
sebuah rumah swa dan ingin mengeringkan tulisannya dengan debu
yang dapat diperoleh dari dinign rumah tersebut. Ia teringat
bahwa rumah yang ditempatinya adalah ruamh sewa, akan tetapi ia
80
bependapat bahwa hal itu tidaklah penting. Karenanya, ia pun
menegeringkan tulisan tersebut dengan debu. Kemudian ia
mendengar sebuah suara mengatakan : “Orang meremehkan debu
akan melihat betapa lama perhitungan amalnya kelak.”
Ahmad bin Hanbal – semoga Allah melimpahkan kasih sayang
kepadanya – menggadaikan sebuah ember kepada seorang penjual
bahan makanan di Mekkah. Ketika ingin menebusnya, penjual bahan
makanan tersebut mengeluarkan dua ember, sembari mengatakan
“Ambillah, yang mana ember milik Anda.?” Ahmad menjawab :
“Saya ragu. Oleh karena itu, simpan saja, baik kedua meber
maupun uang itu untuk Anda!” Penjual makanan tersebut memberri
tahu, “Inilah ember Anda. Saya hanya ingin menguji Anda.”
Ahmad menyahut : “Saya tidak akan mengambilnya.” Lalu pergi,
dengan meninggalkan ember kepunyaannya kepada si penjual bahan
makanan.
Sayyab Ibnul Mubarak membiarkan kudanya yang mahal
berkeliaran dengan bebas ketika ia sedang melkukan shalat
dzuhur. Kuda tersebut merumput di ladang milik Kepala Desa.
Akhirnya, Ibnul Mubarak meninggalkan kuda tersebut dengan tidak
mengandarainya. Dikatakan bahwa Ibnul Mubarak sutu ketika pergi
pulang dari Marw ke Syria, gara-gara telah meminjam sebuah pena
dan lupa mengembalikannya.
An-Nakha’y menyewa seekor kuda. Ketika cambuknya terlepas
dari tangan dan jatuh, ia pun turun seraya mengikat kudanya,
dan berjalan untuk memungut cambuk tersebut. Seseoang
berkomentar, “Akan lebih mudah sandainya Anda mengendalikan
kuda Anda menuju tempat di mana cambuk itu jatuh dan kemudain
mengambilnya.” An-Nakha’y menyahut : “Aku menyewa kuda itu
untuk pergi ke arah sana, bukan ke arah sini.”
Abu Bakr ad-Daqqaq berkata : “Aku berkelana di padang
belantara bani Israil selama limabelas hari, dan ketika tiba di
sebuah jalan, seorang prajurit menemuiku dan memberi seteguk
air minum. Air itu menumbuhkan penderitaan dalam hatiku, dan
aku menderita selama tigapuluh tahun.”
Rabi’ah Adawiyah menjahit bajunya yang sobek di dekat
lampu sultan, tiba-tiba ia tersentak den kemudian sadar. Maka,
Rabi’ah pun menyobek pakaiannya, dan menemukan hatinya.
Sufyan ats-tsaury suatu ketika bermimpi mempunyai sepasang
sayap yang dapat digunakan untk terbang ke surga. Kemudian ia
ditanya : “Dengan apa hingga Anda dianugerahi ini?”
Dijawabnya : “Wara.”
Ketika Hissan bin Abi Sinan menghampiri murid-murid al-
Hasan, ia bertanya : “Hal apakah yang paling sulit bagi
81
Anda?” Mereka menjawab : “Wara”, Ia berkata : “Tiada
sesuatu yag paling mudah bagiku selain ini (wara’). Mereka
bertanya : “Mengapa demikina?” Hissan bin Abi Sinan
menanggapi : “Aku belum pernah minum air dari mata air milik
Anda semua selama empatpuluh tahun.”
Hissan bin Abi Sinan tidak tidur terlentang atau makan-
makanan berlemak atau minum air dingin selama empat puluh
tahun. Seseorang bermimpi bertemu dengan Hissan bin Abi Sinan,
lalu bertanya kepadanya tentang apa yang telah Allah lakukan
atas dirinya. Dijelaskan oleh Hissan bin Abi Sinan : “Baik,
kecuali bahwa pintu surga tertutup bagiku, karena jarum yang
pernah kupinjam belum ku kembalikan.”
Abdul Wahid bin Zaid mempunyai seorang pembantu rumah
tangga yang bekerja kepadanya selama bertahun-tahun dan
beribadah secara khusyu’ selama empat puluh tahun. Sebelumnya
ia adalah seorang penimbang gandum. Dan ketika ia meninggal,
seseorang bermimpi bertemu dengannya. Ditanya tentang apa yang
telah Allah lakukan atas dirinya?” Dijawabnya : “Baik,
kecuali bahwa aku dihalangi memasuki pintu surga, disebabkan
oleh debu pada timbangan gandum yang dengannya aku menimbang
empatpuluh porsi gandum.
Ketika Isa putra Maryam a.s. melewati sebuah makam,
seseorang berteriak dari dalam kuburnya. Allah swt.
menghidupkannya kembali dan Isa bertanya kepadanya : “Siapakah
Anda? Ia menjawab : “Aku adalah seorang kuli, dan pada suatu
hari, saat aku mengantarkan kayu bakar untuk seseorang, aku
mematahkan sepotong kayu kecil. Sejak aku meninggal, aku
dianggap bertanggung jawab atas hal itu.”
Abu Sa’id al-Kharraz berbicara tentang wara’, ketika
Abbas bin la-Muhtadi berlalu dihadapannya. Ia bertanya :
“Wahai Abu Sa’id, apakah anda tidak mempunyai rasa malu? Anda
duduk di bawah atap Abu ad-Dawaniq, minum dari penampungan air
Zubaydah, berniaga dengan riba, tetapi berbicara tentang
wara’.

6. ZUHUD

Nabi saw. bersabda :


“Apabila kamu sekalian melihat seseorang yang telah
dianugerahi zuhud berkenaan dengan dunia dan ucapan, maka
dekatilah ia, karena ia dibimbing oleh hikmah.” (H.r. Abu
Khallad dan di-Takhrij oleh Abu Nu’im dan Baihaqi).
82
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Pada umumnya banyak
orang berbeda pendapat berkenaan dengan zuhud. Sementara orang
ada yang mengatakan, ‘Zuhud bersangkutan dengan perkara yang
haram saja, sebab perkara yang halal diterima Allah swt.
Apabila Allah swt. memberikan berkat kepada hamba-Nya berupa
harta yang halal dan hamba itu bersyukur kepada-Nya atas berkat
itu, maka ia meninggalkan menurut upayanya, tanpa harus
mengajukan hak izin untuk mengekangnya.”
Sebagian yang lain mengatakan : “Zuhud terhadap perkara
yang haram adalah suatu kewajiban, sementara zuhud terhadap
perkara yang halal adalah suatu keutamaan. Apabila hamba yang
berzuhud miskin, tetapi sabar terhadap keadaannya, bersyukur
serta merasa puas atas segala sesuatu yang telah dianugerahkan
Allah swt. kepadanya maka hal itu lebih baik ketimbang berusaha
menimbun kekayaan berlimpah di dunia.”
Allah swt. telah menghimbau ummat manusia untuk bersikap
zuhud berkenaan dengan pemerolehan kekayaan, melalui
firmannya :
“Katakanlah, Kesenangandi dunia ini hanya sebentar dan
akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa.” (Qs.
An-Nisa’:77).
Banyak ayat lainnya yang dapat dijumpai berkenaan dengan
tidak berharganya dunia dan seruan untuk bersikap zuhud
terhadapnya.
Sebagian orang yang mengatakan : “Apabila seorang hamba
membelanjakan harta dalam ketaatan kepada Allah swt. bersabar,
dan tiak mengajukan keberatan terhadap larangan-larangan
syariat untuk dilakukannya dalam menghadapi kesulitan hidup,
maka adalah lebih baik baginya bersikap zuhud terhadap harta
yang dihalalkan.”
Sebagian yang lain berkomentar : “Seyogyanya bagi seorang
hamba memutuskan untuk tidak memilih meninggalkan yang halal
dengan bebannya, dan tidak pula berusaha memenuhi keperluan-
keperluannya harta yang halal, ia harus bersyukur kepada-Nya.
Apabila Allah swt menentukan dirinya berada pada batas
kecukupan hidup, maka hendaknya tidak memaksakan diri mencari
kemewahan, karena kesabaran merupakan suatu yang paling utama
bagi pemilik harta yang halal.”
Sofyan ats-Tsauri berkata : “Zuhud terhadap dunia adalah
membatasi keinginan untuk memperoleh dunia, bukannya memakan
makanan kasar atau mengenakan jubah dari kain kasar.
Sari as-Saqathy menegaskan : “Allah SWT. menjauhkan dunia
dari para auliya’-Nya, menjauhkan dari makhluk-makhluk-Nya
83
yang berhati suci, dan menjauhkannya dari hati mereka yang
dicintai-Nya lantaran Dia tidak memperuntukkannya bagi
meraka.”
Zuhud disinggung secara tidak langsung di dalam firman-
Nya, (“Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu
jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu.” (Qs. Al-Hadid :23). Sebab sang hamba tidak gembira
atas apa yang dimilikinya di dunia, dan tidak pula bersedih
atas apa yang tiada dimilikinya.
Abu Utsman berkata : “Zuhud alah hendaknya Anda
meninggalkan dunia dan kemudian tidak peduli dengan mereka yang
mengambilnya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Zuhud adaah
hendaknya Anda meninggalkan dunia sebagaimana adanya. ia bukan
berkata “Aku akan membangun pondok Sufi (ribath) atau
mendirikan masjid.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Zuhud menyebabkan
kedermawwanan berkenaan dengan hak milik, dan cinta yang
mengantarkan pada semangat kedermawanan.”
Ibnul Jalla’ berkomentar : “Zuhud adalah sikap Anda
memandang dunia ini hina di mata Anda, maka berpaling darinya
akan menjadi mudah bagi diri Anda.”
Ibu Khafif berkata : “Pertanda zuhud adalah adanya sikap
tenang ketika berpisah dari harta milik.” Dikatakannya pula :
“Zuhud adalah ketidak senangan jiwa pada dunia, dan melepaskan
urusan hak milik itu.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Orang zuhud selalu asing di
dunia dan seorang ahli ma’rifat )’arif) adalah orang asing di
akhirat.”
Dikatakan : “Bagi orang yang benar-benar bersikap zuhud,
dunia akan menyerahkan diri kepadanya dengan penuh kerendahan
dan kehinaan.” Oleh sebab itu, dikatakan : “Apabila sebuah
topi jatuh dari langit, ia akan jatuh di atas kepala seseorang
yang tidak menghendakinya.”
Al-Junayd mengajarkan : “Zuhud adalah kekosongan hati dari
sesuatu yang tangan tidak memilikinya.”
Ulama salaf berbeda pendapat soal zuhud. Sufyan ats-Tsaury;
Ahmad bin Hanbal; Isa bin Yunus dan lain-lainnya menegaskan
bahwa zuhud di dunia berarti membatasi angan-angan dan
keinginan. Ungkapan sebagaimana mereka tegaskan, cenderung
dipahami sebagai faktor-faktor penyebab zuhud, sekaligus sebgai

84
faktor pembangkit zuhud dan makna esensial yang mencakup
disiplin zuhud itu sendiri.
Abdullah ibnul Mubarak berkomentar : “Zuhud adalah
tawakkal kepada Alalh swt. dipadu dengan kecintaan kepada
kefakiran.
Syaqiq al-Balkhy dan Yusuf bin Asbat juga mengatakan
demikian. Jadi, ini juga merupakan satu dari tanda-tandan
zuhud, lantaran si hamba tidak mampu merelakan kecuali dengan
tawakkal kepada Allah swt.
Abdul Wahid bin Zaid memberikan penjelasan : “Zuhud,
adalah menjauhkan diri dari apa pun yang memalingkan Anda dari
Allah swt.”
Ketika AL-Junayd bertanya soal zuhud, Ruwaym menjawab,
“Zuhud adalah meremehkan dunia dan menghapus bekas-bekasnya
dari hati.”
As-Sary berkata : “Kehidupan seorang zahid tidak akan baik
apabila dirinya terpalingkan dari kepedulian terhadap jiwanya,
dan kehidupan seorang ‘arif tidak akan baik apabila terlalu
mementingkan jiwanya.”
Al-Junayd berkata : “Zuhud adalah mengosongkan tangan dari
harta dan mengosongkan hati dari kelatahan.”
Ditanya tentagn zuhud, asy-Syibli menjawab : “Zuhud adalah
hendaknya Anda menjauhkan diri dari segala sessuatu selain
Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Tidak akan sempurna zuhud
seseorang, kecuali memiliki tiga karakter ini : Berbuat tanpa
diserta keterikatan, berbicara tanpa disetai ambisi, dan
kemudian tanpa adanya kekuasaan atas orang lain.”
Abu Hafs mengatakan : “Tidak ada zuhud kecuali dalam
perkara yang halal, dan di dunia ini tiada yang halal, karena
tiada pula zuhud.”
Abu Utsman berkata : “Allah swt. memberi seorang zahid
sesuatu lebih daripada sekedar yang diinginkannya, dan Dia
memberikan sesuatu kepada hamba yang dicintai-Nya kurang dari
yang ia inginkan, Dia memberi hamba yang mustqim sesuai yang
diinginkannya.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Orang zuhud adalah yang
mengusik hidung Anda dengan bau cuka, tetapi kaum ‘arif
menyebarkan keharuman minyak kasturi.”
Hasan al-Bashry berkata : “Zuhud di dunia, hendaknya Anda
membenci muatan dan pendukungnya.”

85
Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun al-Mishry : “Kapan aya
dapat menjauhkan diri dari dunia?” Daun Nuun menjawab :
“Ketika Anda menjauhkan diri dari Nafsu.”
Muhammad ibnul Fadhl mengatakan : “Sikap memprioritaskan
orang lain bagi kaum zuhud adalah pada waktu mereka
berkecukupan, sedangkan kaum ksatria adalah pada waktu sangat
membutuhkan.”
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (Qs. Al-
Hasyr : 9).
Al-Kattany mengatakan : “Sesuatu yang tidak ditentang oleh
orang Kufah, tidak oleh orang Madinah, orang Irak, juga tidak
oleh orang Syria, adalah zuhud terhadap dunia, kedermawanan dan
berdoa supaya ummat manusia mendapatkan kebaikan.” Artinya,
tidak seorang pun yang mengatakan bahwa hal-hal ini tidak
terpuji.”
Seseorang bertanya kepada Yahya bin Mu’adz : “Bilakah
saya akan memasuki kedai tawakal, mengenakan jubah zuhud dan
duduk dalam majelis bersama kaum zuhud?” Yahya menjawab :
“Ketika Anda tiba pada suatu keadaan dalam olah ruhani
(riyadhah) dalam diri Anda secara rahasia, sehingga sampai pada
batas ketika Allah memutuskan rezeki kepada Anda sebelum tiga
hari tidak merasakan lemah. Tetapi apabila tujuan ini tidak
tercapai, maka duduk di atas karpet kaum zuhud hanyalah
kebodohan, dan saya tidak dapat menjamin bahwa diri Anda tidak
akan terhinakan di tengah-tengah mereka.”
Bisyr al-Hafi menegaskan : “Zuhud adalah seorang raja yang
tidak menempati suatu tempat selain hati yang kosong.”
Muhammad ibnul Asy’ats al-Bikandy berkata : “Barangssiapa
berbicara tentang zuhud dan menyeru manusia kepada zuhud
disamping juga menginginkan sesuatu yang mereka miliki, maka
Allah swt. akan melepaskan kecintaan pada akhirat dari
hatinya.”
Dikatakan : “Manakala seoarang hamba menjauhkan diri dari
dunia, maka Allah swt. mempercayakan dirinya kepada malaikat
yang menanamkan kebijaksanaan di dalam hatinya.”
Seorang ‘Sufi ditanya : “Mengapa Anda menolak dunia>” Ia
menjawab : “Karena ia telah menolakku.”
Ahmad bin Hanbal memberikan penjelasan : “Ada tiga macam
zuhud : Bersumpah menjauhi perkara yang haram adalah zuhud kaum
awam; Bersumpah menjauhi sikap berlebih-lebihan dalam perkara
yang halal adalah zuhud kaum terpilih (Khawash), dan bersumpah

86
menjauhi apa pun yang memalingkan sang hamba dari Allah swt.
adalah zuhud kaum ‘Arifin.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Salah seorang Sufi
ditanya : “Mengapa Anda menolak dunia ?” Dijawab sang Sufi :
“Karena aku menarik diri dari kemewahan dan menolak
menginginkannya barang sedikit pun.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Dunia ini bagaikan pengantin
wanita. Orang yang menerimanya akan membelai rambutnya penuh
kelembutan. Sedang bagi si zahid, di dalamnya akan tampak
kusam, mengacak-acak rambutnya, dan membakar gaunnya. Kaum
‘Arifin, senantiasa sibuk dengan Allah swt. tidak sedikit pun
menoleh pada sang pengantin wanita.”
As-Sary berkata : “Aku melaksanakan seluruh aturan zuhud
dan dianugerahi segala sesuatu yang kuminta dalam doa, keculai
zuhud terhadap masyarakat. Aku belum mencapai ini, dan aku pun
belum sanggup menanggungnya.”
Dikatakan : “ Kaum zuhud teleh mengucilkan diri dan
berkumpul hanya dengan sesama mereka saja, sebab mereka
menjauhi nikmat-nikmat sementara, demi nikmat-nikmat yang
abadi.”
An-Nashr Abadzy berkomentar : “Zuhud adalah memelihara
darah kaum zahidin dan menumpahkan darah kaum ‘Arifin.”
Hatim al-Asham mengatakan : “Kaum zuhud menghabiskan isi
dompetnya sebelum dirinya, dan orang yang berperilaku zuhud
menghabiskan dirinya sebelum dompetnya.”
Al-Fudhailbin ‘Iyadh berkata : “Allah swt. menempatkan
seluruh kejahatan dalam satu rumah dan menjadikan kecintaan
kepada dunia sebagai kuncinya. Dia amenempatkan seluruh
kebaikan di rumah yang lain dan menjadikan zuhud sebagai
kuncinya.

7. D I A M

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Bahwa Rasulullah saw.


bersabda :
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia
tidak mengganggu tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah
dan Hari Akhir, hendaklah menghomati tamunya. Dan barangsiapa
beriman Kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berkata baik
atau diam.” (H.r. Bukhari-Muslim dan Abu Dawud).
Dari Abu Umamah, bahwasanya ‘Uqbah bin ‘Amir bertanya :
“Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?”

87
Beliau menjawab : “Jagalah lidahmu, berpuaslah dengan
rumahmu, dan menangislah untuk dosa-dosamu.” (Hr.Tirmidzi).
Syeikh ad.Daqqaq berkata : “Diam mencerminkan rasa aman
dan merupakan aturan yang mesti dilaksanakan; penyesalan akan
mengikutinya apabila orang terpaksa mencegahnya. Seharusnya
dalam diam, mempertimbangkan di dalamnya hukum syara’,
perintah-perintah dan larangan-larangan harus dipatuhi di dalam
sikap diam. Dalam waktu yang tepat adalah termasuk siffat para
tokoh. Begitu pun bicara pada tempatnya merupakan karakter yang
mulia.”
Selanjutnya Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan :
“Barangsiapa menahan diri untuk mengucapkan kebenaran dalah
setan yang bisu.”
Diam adalah salah satu sikap yang layak dalam menghadiri
majelis Sufi, karena Allah swt. berfirman : “Dan apabila
dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rakhmat.” (Qs.
Al-A’raf :204). Dan Allah swt. menjelaskan pertemuan jin dan
Rasul saw. Firman-Nya, “ ..... maka tatkala mereka menghadiri
pembacaan(nya) lalu mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk
mendengarkannya)” (Qs. Al-Ahqaf :29). Allah swt. berfirman :
“...... dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha
Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.” (Qs.
Thaaha :108).
Betapa besar perbedaan antara seorang hamba yang diam,
menjaga dirinya dari kebohongan dan fitnah, dengan hamba yang
diam karena takut kepada raja yang menakutkan. Mengenai makna
pernyataan ini, dibacakan baris-baris syair berikut ini :
Aku merenung, apa yang akan kukatakan saat kita berpisah,
Dan terus menerus kusempurnakan ucapan hiba,
Tiba-tiba kulupakan ketika kita berjumpa,
Dan, kalau toh aku bicara, kuucapkan kata-kata hampa.
Para Sufi juga mendendangkan nada-nada ini :
Betapa banyak kata-kata yang inginn kucurahkan padamu,
Hingga ketika kesempatan bertemu denganmu,
Segalanya jadi kelu.
Juga baris berikut ini :
Kulihat bicara menghiasi orang muda,
Sedang diam adalah paling baik bagi yang tenang,
Karenanya, betapa banyak huruf yang membawa maut,
Dan betapa banyak pembicara yang berangan
Seandainya ia bisa DIAM.

88
Ada dua jenis diam : Diam lahir dan diam batin. Hati orang
yang tawakal adalah diam pada ketentuan rezeki yang diberikan.
Sedang orang arif, hatinya diam untuk berhadapan dengan
ketentuan melalui sifat keselarasan. Yang pertama adalah dengan
senantiasa memperbagus pebuatannya secara kokoh, dan yang
kedua, adalah merasa puas terhadap semua yang ditetapkan oleh-
Nya.
Alasan untuk diam boleh jadi merupakan ketakjuban yang
disebabkan oleh pemahaman secara mendadak, lantaran apabila
masalah tertentu tiba-tiba tampak jelas, maka kata-kata menjadi
bisu dan tidak ada kefasihan maupun ucapan. Dalam situasi
seperti ini, kesaksian terhapuskan dan tidak dijumpai baik
pengetahuan maupun penginderaan.
Allah saw. berfirman :
“(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan pra Rasul,
lalu Allah bertanya (kepada mereka), ‘Apa jawaban kamu
terhadap (seruan)mu?” Para Rasul menjawab, ‘Tidak ada
pengetahuan kami (tentang itu)” (Qs. Al-Maidah :109).
Prioritas dalam mujahadah adalah diam, sebab mereka
mengetahui bahaya yang terkandung dalam kata-kata. Mereka juga
menyadari bahaya nafsu bicara, memamerkan sifat-sifat
mengundang pujian manusia dan ambisi untuk meraih popularitas
di kalangan sejawatnya karena keindahan tutur katanya. Mereka
menyadari bahwa ini semua termasuk dalam kelemahan-kelemahan
manusia. Ini merupakan gambaran orang yang terlibat dalam olah
ruhani. Diam sebagai salah satu prinsip bagi aturan tahapan dan
penyempurnaan akhlak.
Ketika Dawud ath-Tha’y berkeinginan tetap tinggal di
rumah, ia memutukan untuk menghadiri majelis Abu Hanifah,
sebab ia adalah salah seorang muridnya. Ia duduk bersama ulama
yang lain, dan tidak memberikan komentar berkenan dengan
masalah-masalah yang didiskusikan. Ketika jiwanya menjadi kuat
dengan diam dan praktik diam yang dilakukan selama setahun, ia
lalu tinggal di rumah dan memutuskan ber’uzlah.
Bisyr ibnu Harits mengajarkan : “Apabila berbicara
menyenangkan Anda, diamlah. Apabila diam menyenangkan Anda ,
berbicaralah.”
Sahl bin Abdullah menegaskan : “Diam seorang hamba tidak
akan sempurna, kecuali sesudah ia memaksakan diam atas
dirinya.”
Abu Bakr al-Farisy mengatakan : “Apabila tanah kelahiran
seorang hamba bukanlah diam, maka hamba tersebut akan berbicara
berlebihan, meskipun tidak mempergunakan lidahnya. Diam tidak
89
terbatas pada lidah, tetapi meliputi hati dan semua anggota
badan.”
Salah seorang Sufi berkata : “Orang yag tidak menggunakan
diam ketika berbicara, adalah tolol.”
Mumsyad ad-Dinawary berkata : “Orang-orang bijak mewarisi
kebijaksanaan dengan diam dan kontemplasi.”
Ketika Abu Bakr al-Farisy ditanya tentang diam sirri,
dijawabnya : “Diam sirri adalah menjauhkan diri dari kepedihan
terhadap masa lampau dan masa depan.” Dikatakannya pula :
“Apabila seorang hamba berbicara hanya mengenai sesuatu yang
menyangkut kepentingannya, dan keharusan-keharusan bicaranya,
maka ia termasuk diam.
Mu’az bin Jabal r.a. berkata : “Kurangilah berbicara
berlebihan dengan sesama manusia dan perbanyaklah berbicara
dengan Tuhanmu, mudah-mudahan hatimu akan (dapat) melihat-
Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry ditanya : “Di antara manusia, siapakah
pelindung terbaik bagi hatinya?” Dijawab Dzun Nuun : “Yaitu
orang yang paling mampu menguasai lidahnya.”
Ibnu ma’ud berkata : “Tidak ada sesuatu pun yang patut
diikat berlama-lama lebih dari lidah.”
Ali bin Bukkar mencatat : “Allah menjadikan dua pintu bagi
segala sesuatu, tetapi Dia menjadikan empat pintu bagi lidah,
yaitu dua bibir dan dua baris gigi.”
Konon Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. (Abu Bakr ash-Shiddiq r.a.
adalah Abdullah bin Abi Quhaah (51 s.H – 13 H/ 573 – 634 M)
Khalifah pertama dari Khulafaur Rasyidin. Orang pertama yang
masuk Islam. Lahir di Mekkah, merupakan tokoh Quraisy. Beliau
memerangi orang murtad dan membuka syria dan Irak), biasa
engulum sebutir batu selama beberapa tahun dengan tujuan agar
lebih sedikit berbicara.
Abu Hamzah al-Baghdady adalah seorang pembicara ulung. Pada
suatu ketika sebuah suara menyeru kepadanya : “Engkau
berbicara, dan bicaranya sangat bagus. Sekarang tinggalah
bagimu untuk berdiam, sehingga engkau menjadi bagus!” Akhirnya
ia tidak pernah lagi berbicara sampai wafat menjemputnya.
Manakalah asy-Syibly sedang duduk di tengah lingkaran
murid-muridnya dan mereka tidak mengajukan pertanyaan, maka ia
bermaksud akan mengatakan : “Dan jatuhlah perkataan (azab)
atas mereka disebabkan kezaliman mereka, maka mereka tidak
dapat berkata (apa-apa).” (Qs.An-Naml:85). Terkadang seseorang
yang terbiasa berbicara menjadi diam, karena ada kaum Sufi yang
lebih layak dari dirinya untuk berbicara.
90
Ibnu Sammak menuturkan, bahwa Syah al-Kirmany dan Yahya bin
Mu’adz berteman, dan mereka tinggal di kota yang sama, tetapi
Syah tidak menghadiri majelisnya. Ketika ditanya alasannya, ia
menjawab : “Sudah sepatutnya begini.” Orang-orang pun lantas
mendesaknya terus hingga suatu hari al-Kirmany datang ke
majelis Yahya dan duduk di pojok di mana Yahya tidak akan dapat
melihatnya. Yahya pun mulai berbicara, naum secara tiba-tiba ia
diam. Kemudian Yahya mengumumkan : “Ada seseorang yang dapat
berbicara lebih baik dariku.” Dan ia tidak mampu melanjutkan
perkataannya itu. Maka al-Kirmany berkata : “Sudah kukatakan
kepada Anda semua bahwa, adalah lebih baik jika aku tidak
datang ke majelis ini.”
Terkadang seoarng pembicara memaksakan diri untuk diam
karena keadaan tertentu yang ada pada salah seorang yang hadir.
Barangkali seseorang gyang hadir tidak layak mendengar
pembicaraan terkait, hingga Allah swt. mencegah lidah si
pembicara demi ketentraman dan perlindungan dari mendengar
pembicaraan itu. Shingga Allah swt. menjaganya terhadap
pendengar yang bukan kompetennya.
Para Syeikh yang ahli mengenai tharikat ini telah
menjelaskan, “Terkadang alasan diamnya seseoang adalah karena
ada jin yang hadir, yang bukan kompetennya. Karena majelis para
Sufi tidak pernah sepi dari kehadiran sekelompok jin.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika aku
jatuh sakit di Marw, dan ingin kembali ke Naisabur. Aku
bermimpi bahwa sebuah suara menyeru kepadaku : “Engkau tidak
dapat meninggalkan kota ini. Ada sekelompok jin yang menghadiri
majelis-majelis dan mereka memperoleh manfaat dari ceramah-
ceramah yang engkau berikan. Demi mereka, tinggallah di
tempatmu!.”
Salah seorang ahli hikmah berkata : “Manusia diciptakan
hanya dengan satu lidah, namun dianugerahi dua mata dan dua
telinga, agar ia mendengar dan mau melihat lebih banyak dari
berbicara.”
Ibrahim bin Adham diundang ke sebuah pesta. Ketia ia duduk,
orang-orang mulai bergunjing dan memfitnah satu sama lain. Ia
lalu berkata : “Kebiasaan kami adalah makan daging sesudah
makan roti. Anda ini malah makan daging lebih dahulu.”
Ucapannya ini merujuk kepada firman Allah swt. :
“Maukah salah seorang di antaramu memakan daging
saudaranya yang mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepada
perbuatan itu.” (Qs. Al-Hujurat :12).

91
Salah seorang Sufi berkata : “Diam adalah bahasa
ketabahan.”
Sebagian mereka mengatakan : “Belajarlah diam sebagaimana
kamu belajar berbicara. Jika bicara menjadi pembimbingmu, maka
diam menguatkanmu.”
Dikatakan : “Menjaga lisan adalah lewat diamnya.” Ada
yang mengatakan : “Lisan ibarat binatang buas, jika tidak kamu
ikat, akan menyerangmu.”
Abu Hafs ditanya : “Keadaan manakah yang lebih baik bagi
seorang wali, diam atau berbicara?” Ia menjawab : “Jika si
pembicara mengetahui ada efek negatif dari pembicaraannya,
hendaklah ia tinggal diam, bila mungkin selama usia Nabi Nuh
as. Tetapi jika orang yang diam mengetahui efek negatif dari
diamnya, hendaklah berdoa kepada Allah swt. agar diberi waktu
dua kali usia Nabi Nuh as. Agar dapat berbicara (agar bisa
menunjukkan kebaikan).”
Dikatakan : “Diam bagi kaum awam dengan lidahnya; diam
bagi kaum yang ma’rifat kepada Allah swt, dengan hatinya, dan
diam bagi para pecinta (muhibbin) adalah menahan pikiran
menyimpang yang menyelusup pada hati sanubari meraka.”
Sebagian Sufi mengisahkan : “Aku mengekang lidahku selama
tigapuluh tahun, sehingga aku tidak mendengar ucapan kecuali
dari kalbuku. Kemudian aku mengekang kalbuku tiga puluh tahun,
sehingga tidak mendengar kalbuku kecuali ucapanku.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Jika lidah Anda
didiamkan, maka belum tentu Anda telah diselamatkan dari kata
hati Anda. Jika Anda telah menjadi batang tubuh yang kering
kerontang, Anda masih belum terbebas dari kata-kata hawa nafsu
Anda. Dan bahkan jika Anada berjuang dengan susah payah, jiwa
Anda masih belum akan berbicara dengan Anda, sebab ia adalah
tempat tersimpannya batin.”
Dikatakan : “Lidah seorang tolol adalah kunci menuju
kematiannya.” Dikatakan juga : “Jika seorang pecinta berdiam
diri, maka ia akan binasa, dan jika seorang ‘arif berdiam
diri, ia akan berkuasa.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Barangsiapa
memperhitungkan kata-katanya dibanding amalnya, maka kata-
katanya akan menjadi sedikit, kecuali apa yang berarti (menurut
kebutuhannya).”

8. KHAUF

92
Allah swt. berfirman :
“Mereka menyeru kepada Tuhan mereka dengan penuh rasa
takut (khauf) dan harap.” (Qs. As-Sajdah :16).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
“Tidak akan masuk neraka, orang yang menangis karena takut
kepada Allah swt, selama air susu masih mengalir dari susu
seorang Ibu. Dan debu dari jalan Allah tidak akan pernah
bercampur dengan asap api neraka pada batang hidung seorang
hamba selamanya.” (H.r. Ar-Rafu’y).
Anas r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Seandainya kamu semua tahu apa yang kuketahui, niscaya kamu
akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (H.r. Bukhari dan
Tirmidzi).
Saya katakan bahwa takut (al-khauf) adalah masalah yang
berkaitan dengan kejadian yang akan datang, sebab seseorang
hanya merasa takut jika apa yang dibenci tiba dan yang dicintai
sirna. Dan realita demikian hanya terjadi di masa depan.
Apabila dalam seketika timbul rasa takut, maka ketakutan itu
tidak ada kaitannya. Takut kepada Allah swt. berarti takut pada
hukum-Nya, “Maka takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang
yang beriman.” (Qs. Ali Imran :175). Dia juga berfirman :
“Maka hendaklah kepada-Ku saja kamu menyembah>” (Qs. An-
Nahl :51). Juga firman-Nya : ereka takut kepada Tuhan mereka
yang berkuasa atas mereka.” (Qs. An-Nahl:50).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan : Takut memliki
berbagai tahapan. Yaitu, Khauf, khasyyah dan haibah.”
Khauf merupakan salah satu syarat iman dan hukum-hukumnya.
Allah swt. berfirman : “Takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-
orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran :75). Sedangkan Khasyyah
adalah salah satu syarat pengetahuan, karena Allah swt.
berfirman : “Sesungguhnya yagn takut kepada Allahdi antara
hamba-hamba-Nya hanyalah para Ulama.” (Qs. Fathir :28).
Sedangkan Haibah adalah salah satu syarat pengetahuan
ma’rifat, sebab Allah swt. berfirman : “Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)Nya.” (Qs. Ali
Imran : 28).
Abu Hafs menegaskan : “Takut adalah cambuk Allah swt. yang
digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak ke luar
dari ambang pintu-Nya.”
Abul Qasim al-Hakim mencatat : “Ada dua jenis takut, yaitu
gentar (Rahbah) dan takut (Khasyyah). Orang yang merasa gentar
mencari perlindungan dengan cara lari ketika takut, Tetapi
93
orang yang merasa takut (khasyyah) akan berlindung kepada Allah
swt.”
Memang benar kata-kata rahaba dan lari (haraba) memliki
arti yang sama, sebagaimana halnya kata menarik (jadzaba) dan
jabadza. Jika seseorang melarikan diri (rahaba), maka ia
ditarik kepada hasratnya sendiri, seperti halnya para rahib
(ruhban) yang mengikuti hasrat nafsu mereka sendiri. Tetapi
jika kendali mereka adalah pengetahuan yang didasarkan pada
kebenaran hukum, maka itu adalah takut (khasyyah).
Abu Hafs berkata : “Takut adalah pelita hati, dengan takut
akan tampak baik dan buruk hati seseorang.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar : “Takut adalah bahwa
Anda berhenti mengemukakan dalih dengan kata-kata
“seandainya” (‘asaa) dan “mungkin sekali akan” (saufa).”
Abu Umar ad-Dimasqi menegaskan : “Orang yang takut aalah
yang takut akan dirinya sendiri. Lebih takut dari rasa takutnya
kepada setan.”
Ibnul Jalla’ berkata : “Manusia yang takut (kepada Allah
swt) adalah yang dirinya merasa aman dari hal-hal yang
membuatnya takut.”
Ditanyakan kepada Ibnu ‘Iyadh. “Mengapa kita tidak pernah
melihat orang-orang yang takut?” Ia menjawab : “Jika Anda
termasuk orang-orang yang takut, niscaya Anda akan melihat
mereka, sebab hanya orang-orang yang takut saja yang melihat
orang yang takut.” Hanya Ibu yang kehilangan anaknya saja yang
mau memandang kepada ibu-ibu yang berkabung.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Alangkah malangnya anak
Adam. Seandainya ia takut pada neraka sebesar rasa takutnya
pada kemiskinan, niscaya ia akan masuk surga/.”
Syah al-Kiramny berkata “Tanda takut adalah sedih yang
terus menerus.”
Abul Qaim al-Hakim berkata : “Orang yang takut kepada
sesuatu akan lari darinya, tapi orang yang takut kepada Allah
swt. akan lari kepada-Nya.”
Dzun Nuun al-Mishry – semoga Allah merahmatinya –
ditanya, “Bilakah jalan takut menjadi mudah bagi seorang
hamba?” Ia menjawab : “Apabila ia mengibaratkan dirinya dalam
keadaan sakit dan menghindari dari segala sesuatu yang
dikhaatirkan justru akan menjadikan penyakit berkepanjangan.”
Mu’adz bin Jabal r.a. menuturkan : “Seoang beriman tidak
akan merasa tenteram, dan rasa takutnya tidak dapat ditenangkan
sampai ia melewati jembatan sirathal mustaqim di atas neraka.”

94
Bisyr al-Hafi berkomentar : “Takut kepada Allah swt.
adalah raja yang hanya bersemayam di dalam hati seorang yang
saleh.”
Abu Utsman al-Hiry mengatakan : “Kekurangan yang dihadapi
oleh seorang yang takut adalah justru dalam rasa takutnya.”
Al-Wasithy mengatakan : “Takut adalah tabir antara Allah
swt. dan hamba.” Pernyataan ini mengandung kemusykilan, tetapi
maknanya ialah bahwa seorang yang takut menunggu-nunggu saat
yang akan datang, sementara “anak-anak waktu kini” tidak
punya harapan akan masa depan. Sedag keutamaan orang saleh
adalah dosa bagi kaum yang dekat dengan Allah swt.
(Muqarrabun).”
Ahmad an-Nury menegaskan : “Seorang yang takut adalah
orang yang lari dari Tuhannya kepada Tuhannya.”
Salah seorang Sufi berkata : “Tanda rasa takut adalah
kebingungan dan menunggu-nunggu di pintu gerbang kegaiban.”
Ketika al-Junayd ditanya mengenai takut, ia menjawab :
“Takut adalah datangnya deraan dalam setiap hembusan nafas.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Manakala takut telah
meninggalkan hati, maka binasalah ia.”
Abu Utsman berkata : “Ketulusan dalam takut adalah wara’
lahir maupun batin.”
Dzun Nuun berkata : “Manusia akan tetap berada di jalan
selama tiakut tidak tercabut dari hati, sebab jika takut telah
hilang dari hati mereka, maka mereka akan tersesat.”
Hatim al-Asham menjelaskan : “Setiap sesuatu ada
perhiasannya, dan perhiasan ibadat adalah takut. Tanda takut
adalah membatasi keinginan.”
Seseorang mengatakan kepada Bisyr al-Hafi : “Saya lihat
Anda takut mati.” Bisyr al-Hafi menjawab : “Datang ke hadirat
Allah swt. adalah suatu perkara yang sangat dahsyat.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq bertutur : “Aku
pergi mengunjungi Abu Bakr furak ketika ia sakit. Ketika
melihatku, air matanya amengalir bercucuran. Lalu aku pun
berkata kepadanya : “Semoga Allah mengembalikan kesehatanmu
dan menyembuhkanmu dari sakit.” Ia memprotes : “Anda pikir
aku takut mati? Sebaliknya aku takut akan apa yang ada di balik
kematina.”
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. (Aisyah putri Abu Bakr ash-
Shiddiq r.a. (wafat 58 H/678 M.) merupakan salah seorang wanita
paling pandai di bidang agama. Beliau Istri Rasulullah saw. dan
paling dicintainya. Disamping itu beliau terbanyak meriwayatkan
hadits, dibanding istri-istri Rusalullah yang lain). Yang
95
bertanya : “Wahai Rasulullah, (sambil membaca ayat) ‘dan
orang-orang yang memberikan hartanaya dengan hati penuh rasa
takut (karena mereka akan kembali kepada Tuhannya)’ (Qs. Al-
Mu’minun : 60-1), apakah mereka itu orang-orang yang pernah
mencuri dan berzina serta minum-minuman keras? Beliau
menjawab : “Bukan, mereka adalah orang-orang yang berpuasa dan
shalat dan membayar zakat, namun takut kalau-kalau semua amal
mereka itu tidak diterima. ‘Mereka adalah orang-orang yang
bergegas pada kebajikan dan sangat berpacu (menuju kebajikan
itu”’ (Qs. Al-Mu’minun :60-1).”
Abdullah ibnul Mubarak berkata : “Sesuatu yang menimbulkan
rasa takut hingga bersemayam dalam hati adalah mengabadikan
muraqabah secara terus menerus, baik secara lahir maupun
batin.”
Ibrahim bin Syaiban berkomentar : “Manakala takut menetap
dalam hati, maka obyek nafsu akan terbakar habis darinya dan
hasrat atas dunia akan terusir,” Dikatakan : “Takut adalah
supramasi ilmu sesuai dengan hukum-hukum.”
Dikatakan : “Takut adalah gerak kalbu dari keagungan Allah
swt.”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Seyogyanya kalbu
tidak dikalahkan, kecuali oleh rasa takut. Sesungguhnya apabila
harapan telah melimpah dalam kalbu, musnahlah kalbu.” Kemudian
ia katakan : “Wahai Ahmad (muridnya), mereka naik melalui
takut, dan jika mereka mengabaikan, mereka akan jatuh.”
Al-Wasithy menegaskan : “Takut (khauf) dan harap (raja’)
adalah kendali bagi diri agar ia tidak dibiarkan dengan kesia-
siaan.” Ia pun berkata : “Jika Tuhan menguasai wujud manusia
yang paling dalam (sirr), maka harapan dan ketakutan tidak akan
tersisa lagi. Sebab takut dan harap itu sendiri merupakan
akibat-akibat belaka dari rasa indera hukum kemanusiaan.”
Al-Husain bin Manshur berkata : “Barangsiapa takut akan
sesuatu selain Allah swt. atau berharap akan sesuatu selain
Dia, maka semua pintu akan tertutup baginya dan rasa takut akan
mendominasinya, menabiri hatinya dengan tujuhpuluh tabir, yang
paling tipis diantaranya adalah keragguan. Yang membuatnya
takut adalah perenungannya atas akibat-akibat nanti dan
ketakutannya jika perilakunya berubah.”
Firman-Nya :
“Dan jelaslah bagi mereka azan dari Allah yang belum
pernah mereka perrkirakan.” (Qs. Az-Zumar :47).
Alalh swt. berfiman : “Katakanlah, Apakah akan Kami
beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
96
perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Q.s. Al-Kahfi
:103-4).
Maka, betapa banyak orang yang akan merasa senang dengan
keadaan mereka dan mereka diuji, sehingga perilakunya berbalik
secara antagonis. Ketika itulah muqarabah dengan perbuatan
keji, dan hudhur menjadi ghaib.
Saya sering mendengar Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a.
mendendangkan syair :
Engkau duga hari-hari penuh kebaikan jika engkau baik
Tapi engkau tak pernah takut tentang takdir buruk yang
bakal tiba
Malam-malam hari memberikan ketentraman kepadamu
Hingga engkau tertipu olehnya,
Sesudah malam yang cerah datanglah kesedihan.
Saya mendengar Manshur bin Khalaf al-Maghriby, membacakan
sebuah kisah :
“Ada dua orang yang saling menemani dalam menempuh cita-
cita spiritual. Kemudian salah seorang diantaranya pergi
meninggalkan sahabatnya. Seiring perjalanan waktu yang cukup
lama, tidak terdengar lagi kabar berita mengenainya. Sahabat
yang ditinggal pergi itu kemudian ikut berperang bersama
tentara Muslim memerangi balatentara Romawi. Dalam pertempuran
itu, seorang tentara musuh yang memakai baju besi menyerang
tentara Muslim dan menantang duel. Seorang ksatria Muslim maju
ke depan dan tentara musuh itu membunuhnya. Kemudian maju lagi
seorang ksatria Muslim, dan ia pun terbunuh. Kasatria Muslim
yang ketiga maju ke depan, juga terbunuh. Kemudian majulah Sang
Sufi ke depana dan keduanya lalu terlibat dalam pertempuran.
Topeng yang menutupi wajah tentara Romawi itu terlepas, dan
ternyata aia adalah sahabat sang Sufi yang dulu telah
menemaninya beribadah selama bertahun-tahun! Maka berserulah
san Sufi : Model apa ini?”
Musuhnya menjawab : “Aku telah murtad dan menikah dengan
sorang wanita dari kaum ini. Aku sudah memiliki anak-anak dan
harta kekayaan.”
Sang Sufi berteriak : “Dan engkau adalah orang yang dahulu
bisa membaca Al-Qur’an dengan berbagai gaya bacaannya!.”
Ia menjawab : “Satu huruf pun aku tidak ingat lagi dari
padanya.”
Maka, sang Sufi lalu berkata kepadanya : “Berhentilah dari
sikap perilakumu itu, bertobatlah!>”
97
Ia menjawab dengan ketus : “Aku tidak mau, sebab aku telah
memperoleh kemasyhuran dan kekayaan. Tinggalkan saja diriku,
atau aku akan melakukan atas dirimu sebagaimana yang telah
kulakukan terhadap ketiga orang temanmu!.”
Sang Sufi berkata : “Ketahuilah, bahwa engkau telah
membunuh tiga orang Muslim. Tidak ada malu yang akan menimpamu
jika kamu pergi saja dari sini. Karena itu, pergilah dan aku
akan memberimu tenggang waktu!.”
Maka, orang itu pun mundur ke belakang dan berbalik. Sang
Sufi mengikutinya dan membunuh dengan pedangnya. Sungguh
ironis, setelah menempuh perjuangan dan disiplin spiritual yang
cukup lama dan berat, orang itu akhirnya mati sebagai orang
Nasrani!.”
Dikatakan : “Ketika iblis tampail sebagaimana dirinya,
Jibril dan Mikail – semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada
mereka – tiba-tiba menangis cukup lama hinggal Allah swt
berfirman kepada mereka : “Wahai kalian berdua, mengapa
menangis sedemikian itu?” Mereka menjawab : “”Wahai Tuhan
kami, kami tidak merasa aman dari cobaan-Mu.” Allah swt.
berfirman : “Nah, kalian berdua ternyata tidak bisa aman dari
cobaan-Ku.”
Riwayat dari Sary as-Saqathy yang menjelaskan : “Aku
melihat hidungku beberapa kali dalam sehari dengan cara seperti
ini, karena takut hidungku menghitam karena hukuman yang
kutakuti.”
Abu Hafs menuturkan : “Selama empat puluh tahun aku benar-
benar yakin bahwa Allah swt. memandangku dengan murkan dan
semua amal perbuatanku membuktikan hal itu.”
Hatim al-Asham menegaskan : “Janganlah kamu tertipu oleh
tempat-tempat yang saleh, sebab tidak ada tempat yang lebih
saleh daripada surga, dan pikirkanlah apa yang telah menimpa
Adam as. Di tempat yang begitu saleh! Jangan Jangan pula kamu
tertipu oleh banyaknya amal ibadat. Sebab, setelah iblis
melakukan ibadat begitu lama, ternyata ia harus mengalami
nasibnya seperti itu. Juga, janganlah kamu tertipu oleh
banyaknya ilmu, sebab Bal’am pun mengetahui Nama Allah Yang
Teragung (Al-Ismul A’dzham), tapi lihatlah apa yag terjadi
padanya? Jangan pula kamu tertipu karena bertemu dengan seorang
yang saleh, sebab tidak ada orang yang takdirnya lebih agung
daripada al-Musthafa Muhammad saw, sebab para kerabat dan
musuh-musuhnya tidak mengambil manfaat atas perjumpaan
dengannya.”

98
Ketika bertemu dengan sahabt-sahabtnya pada suatu hari,
Ibnul Mubarak melaporkan : “Aku begitu memberanikan diri
kepada Allah swt. kemarin. Dan aku benar-benar meminta surga.”
Dikatakan bahwa Isa as. Sedang bepergian, dan bersamanya
ada seorang saleh dari bani Israil. Seorang yang terkenal
karena kebobrokan akhlaknya, mengikuti mereka. Duduk agar jauh
dari mereka berdua, ia beseru kepada Allah swt. dengan penuh
kerendahan hati : “Wahai Tuhanku, ampunilah aku!” Sedang si
orang saleh berdoa : Ya Allah, bebaskan aku dari orang berdosa
yang mengikuti aku ini, mulai besok pagi.” Maka Allah swt. pun
mewahyukan kepada Isa as. : “Aku telah menjawab doa keda orang
yang berdoa ini; telah Ku tolak doa orang yang saleh ini, dan
telah Kuampuni sipendosa ini.”
Dzun Nuun al-Mishry menuturkan : “Aku bertanya kepada
seorang yang alim : “Mengapa orang-orang mengatakan Anda
gila?” Ia menjawab : “Ketika Dia mengusirku dari sisi-Nya
untuk waktu yang lama, aku menjadi gila karena takut
terpisahkan dari-Nya di akhirat.”
Mengenai makna ucapan ini, para Sufi membacakan bait-bait
berikut ini :
Bahkan kalaupun aku terbuat dari batu,
Niscaya aku akan meleleh
Maka, bagaimana satu makhluk
Yang terbuat dari tanah
Akan menahannya?
Salah seorang Sufi berkomentar : “Aku tidak pernah melihat
seorang yang lebih besar harapannya di tengah-tengah ummat ini,
dan lebih takut berkenaan dengan dirinya sendiri daripada Ibnu
Sirin.”
Sufyan ats-Tsauri jatuh sakit. Ketika alasan sakitnya
diberitahukan kepada tabib, tabib itu berkata : “Ini adalah
orang yang hatinya telah tersobek karena rasa takut.” Tabib
itu datang dan memeriksa denyut nadinya, lalu berkata : “Aku
tidak tahu bahwa di kalangan orang beragama ada manusia yang
seperti ini.”
Syibly ditanya : “Mengapa matahari warnanya pucat ketika
akan terbenam?” Ia menjawab : “Sebab matahari telah
tergelincir dari tempat kesempurnaan. Ia menjadi kekuning-
kuningan karena ketakutannya terhadap tahapannya sendiri. Bagi
orang yang beriman, saat menjelang keberangkatannya dari dunia
ini telah dekat, warna kulitnya akan menjadi pucat karena ia
takut akan berdiri di hadapan Tuhannya. Dan ketika matahari
terbit, ia bersinar cemerlang. Sama halnya dengan seorang
99
beriman, ketika dibangkitkan dari kubur, ia muncul dengan wajah
yang bersinar.”
Ahmad bin Hanbal r.a. berkata : “Aku memohon kepada
Tuhanku swt. agar membukakan pintu takut. Dia membukakannya,
dan aku pun lalu mengkhawatirkan kewarasan pikiranku. Karena
itu aku beroda : “Ya Allah, anugerahkan kepadaku rasa takut
sebatas yang bisa kumampui.” Kemudian ketenangan menghapus
kekhawatiranku.”

9. ROJA’

“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka


sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang.”
(Qs. Al-Ankabut :5).
Al-‘Ala’ bin Zaid menuturkan : “Amu menemui Malik bin
Dinar dan menemukan Syahr bin Hausyab bersamanya. Ketika Syahr
dan aku pergi meninggalkan Malik, aku berkata kepada Syahr :
“Semoga Allah merahmatimu, berilah aku nasihat dan perkayalah
jiwaku. Semoga Allah memberimu kekayaan!.” Ia menjawab. Dengan
senang hati bibiku Ummu Darda’ menceritakan kepadaku melalui
Abu Darda’, bahwa Rasulullah saw. mengabarkan bahwa sanya
malaikat Jibril as. Mengatakan : “Allah swt. berfirman :
“Wahai hambaKu, selama engkau menyembahKu, berharap akan
bertemu denganKu, dan tidak menyekutukan Aku, niscaya Aku akan
mengampuni apa pun dosa yang tenegah engkau lakukan. Bahkan
sekalipun engkau datang dengan membawa keburukan dan dosa
sebesar bumi, Aku akan mengampunimu, dan tidak mempedulikan
(berapa banyak dosa yang telah engkau lakukan).” (Hr.
Thabrani).
Anas bin Malik mengabarkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
bahwasanya Allah swt. berfirman (dalam hadits Qudsi) :
Keluralah dari neraka, wahai kalian yang dalam hatinya
masih terdapat iman walaupun sebesar biji gandum.” Kemudian
Dia akan memerintahkan : “Aku bersumpah demi keagungan-Ku,
bahwa perlakuan-Ku terhadap manusia yang beriman kepada-Ku
walaupun sesaat saja di siang hari ataupun malam, tidak akan
sama perlakuan-Ku terhadap orang yang tidak pernah beriman
kepada-Ku.” (H.r. Bukhari – Muslim).
Harapan (Raja’) adalah keterpautan hati kepada sesuatu
yang diinginkannya terjadi di masa yang akan datang,
sebagaimana halnya takut berkaitan dengan apa yang akan terjadi
di masa datang. Karena itu, harapan berlaku bagi sesuatu yang
diharapkan oleh seseorang akan terjadi. Hati menjadi hidup oleh
100
harapan-harapan melenyapkan beban hati. Perbedaan antara
harapan dan angan-angan (tamany) adalah bahwa angan-angan
membuat seseorang menjadi malas. Orang yang hanya berangan-
angan sesuatu tidak akan pernah berusaha untuk membulatkan
tekad (untuk mencapai apa yang diangankannya). Hal yang
sebalikya juga berlaku atas diri seseorang yang memiliki
harapan. Harapan adalah sifat yang terpuji, tetapi angan-angan
adalah sifat tercela.
Para Sufi telah berbicara banyak tentang harapan. Syah al-
Kirmany berkata : “Tanda-tanda harapan adalah tat yang baik.”
Ibnu Khubaiq menjelaskan : Ada tiga macam harapan : Ada
manusia yang melakukan amal baik; dengan harapan amal
perbuatannya itu akan diterima oleh Allah swt. Ada lagi orang
yang melakukan amal buruk, kemudian bertobat; harapannya adalah
memperoleh pengampunan. Akhirnya ada orang yang tertipu diri
sendiri, yang terus melakukan dosa, sambil berkata : “Aku
berharap untuk memperoleh pengampunan.” Bagi orang yang tahu
bahwa dirinya melakukan amal buruk, takut selayaknya lebih
berkusa atas dirinya daripada harap.”
Dikatakan : “Harapan adalah mengandalkan kemurahan dari
Yang Maha Pemurah dan Maha mencintai.”
Dikatakan pula : “Harapan adalah melihat kegemilangan
Ilahi dengan mata keindahan.”
Juga dikatakan : “Harapan adalah kedekatan hati kepada
kemurahan Tuhan.”
Dikaakan pula : “Harap adalah kesenangan hati terhadap
keutamaan tobat seseorang.”
Dikatakan juga : “Harapan berarti melihat pada kasih
sayang Allah swt. Yang Maha Meliputi.”
Abu Ali ar-Rudzbary berkomentar : “Takut dan harap adalah
seperti sepasang sayap burung. Manakala kedua belah sayap itu
seimbang, si burung pun akan terbang dengan sempurna dan
seimbang. Tetapi manakala salah satunya kurang berfunsi, maka
hal ini akan menjadikan si burung kehilangan kemampuannya untuk
terbang. Apabila takut dan harap keduanya tidak ada, maka si
burung akan terlemepar ke jurang kematiannya.”
Ahmad bin Ashim al-Anthaky ditanya : “Apakah tanda adanya
harapan pada seorang hamba?” Ia menjawab : “Tandanya adalah
manakala ia menerima nikmat anugerah (ihasan), ia terilhami
untuk bersyukur, penuh harap akan menuhnya rahmat Allah swt. di
dunia ini dan penuhnya pengampunan-Nya di akhirat.”
Abu Utsman al-Maghriby berkata : “Barangsiapa mendorong
dirinya untuk berharap saja, maka ia akan terjerumus ke dalam
101
kemalasan, dan barangsiapa mendorong dirinya kepada takut saja,
maka ia akan terjerumus pada keputusasaan. Yang patut adalah,
ada waktu untuk berharap dan ada waktu untuk takut; keduanya
mempunyai tempatnya sendiri.”
Bakr bin Salim as-Sawwaf menuturkan : “Kami pergi
mengunjungi Malik bin Anas pada petang hari menjelang
kematiannya, kami bertanya : “Wahai Abu Abdullah, bagaimana
keadaanmu? Ia menjawab : “Aku tidak tahu apa yang harus ku
katakan kepadamu selain ini : “Kamu akan melihat dengan mata
kepalamu sendiri ampunan dari Allah swt. dalam ukuran yang
melampaui khayalanmu.” Kami menungguinya sesudah itu sampai
kami menutupkan matanya setelah ia meninggal dunia.”
Yahya bin Muadz menegaskan : “Harapan yang kutaruh kepada-
Mu karena berbuat dosa nyaris lebih mengalahkan daripada
harapanku kepada-Mu disertai amal. Ini disebebkan, manakala aku
melakukan amal baik, aku mendapat diriku mengandalkan pada
ketulusanku dalam melakukannya. Tapi bagaimana aku bisa menjaga
amalku dari kekurangan, sedangkan aku adalah makhluk yang
bersifat penuh kekuarangan?” Sebaliknya, manakala aku
melakukan dosa, aku mendapati diriku mengandalkan ampunan-Mu.
Bagaimana Engkau tidak akan mengampuni dosa-dosaku, sedangkan
Engkau adalah Dzat Yanga Maha Pemurah?”
Beberapa orang sedang berbicara kepada Dzun Nuun al-Mishry
saat menjelang ajalnya. Dzun Nuun mengajarkan kepada mereka :
“Janganlah kalian memperdulikan aku, sebab aku telah terpesona
oleh kelembutan Allah swt. kepada diriku.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Wahai Tuhanku, anugerahkanlah
untukku yang termanis dalam hati berupa harapan kepada-Mu.
Kata-kata paling sedap yang keluar dari lidahku berupa pujian
kepada-Mu. Saat yang kuangap paling berharga adalah saat aku
akan berjumpa dengan-Mu.”
Ditemukan dalam salah sati kitab tafsir bahwa Rasulullah
saw. datag menemui para sahabat melalui pintu bani Syaibah.
Beliau mendapati mereka sedang tertawa-tawa. Beliau lalu
bersabda : “Apkah kalian tertawa-tawa?” Seandainya kalian
mengetahui apa yang kuketahui, niscaya kalian akan sedikit
tertawa dan banyak menangis.” Beliau lalu meninggalkan mereka,
kemudian kembali lagi, seraya menyampaikan wahyu. Sabdanya :
“Jibril turun membawa firman Allah swt. Beritahukanlah kepada
hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku Maha Pengampun dan Maha
Penyayang.” (Qs. Al-Hijr :49).
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah
bersabda : “Allah swt. tertawa ketika hambahamba-Nya ditimpa
102
keputus-asaan, sedangkan rahmatnya dekat dengan mereka.”
Aisyah bertanya : “Demi ayah dan ibuku, wahai Rasulullah,
apakah Tuhan kita swt. benar-benar tertawa? Beliau menjawab :
“Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya, Dia benar-benar
tertawa.” Aisyah mengatakan : “Apakah Dia tidak akan
menjauhkan kita dari kebaikan jika Dia tertawa.?”
Ketahuilah, bahwa tertawa adaah sifat yang berkaitan dengan
perbuatan-perbuatan-Nya. Ia adalah ungkapan kemurahn-Nya. Hal
ini adalah sebagaimana perkataan : “Bumi menertawakan
tanaman,” (yang berarti bumi mengeluarkannya). Tertawanya
Allah pada keputus asaan manusia adalah tanda anugerah-Nya,
sebagai tanda kelemahan penantian para makhluk kepada-Nya.
Dikatakan, ada seorang Majusi yang meminta kepada Ibrahim
as. Agar diizinkan menginap di rumahnya. Ibrahim berkata
kepadanya : “Kalau kamu masuk Islam, aku mau menjadikanmu
sebagai tamuku.” Orang Majusi menjawab : “Jika aku memeluk
Islam, bagaimana mungkin engkau akan berbuat kebajikan
kepadaku?” Kemudian sang Majusi itu berlalu, lantas Allah swt.
berfirman kepada Ibrahim : “Wahai Ibrahim, engkau tidak mau
memberinya makan kecuali jika ia mau mengubah agamanya? Padahal
Aku memberi makanan kepadanya selama tujuhpuluh tahun, sedang
ia dalam kekafirannya. Jika engkau menerimanya satu malam saja,
bagaimana dengan dirimu?” Mendengar itu Ibrahim lalu mengejar
si orang Majusi itu dan mengundangnya menjadi tamunya. Ketika
si orang Majusi itu bertanya kepada Nabi Ibrahim as. Mengapa
berubah pikiran, beliau pun mengatakan kepada si Majusi apa
yang didengarnya dari Allah swt. Si orang Majusi itu bertanya :
“Beginikah cara Dia memperlakukan aku? Berikanlah Islam
kepadaku!.” Lalu ia masuk Islam.
Saya mendengar Abu Bakr bin Aykib berkata : “Suatu malam
aku bermimpi bertemu Abu Sahl as-Sha’luky, dengan keadaannya
yang indah sekali. Aku bertanya : “Bagaimana Anda mendapatkan
semuai ini?” Ia menjawab : “Dengan husnudzan-ku kepada Allah
swt.”
Malik bin Dinar meriwayatkan sial mimpinya, bertemu dengan
ash-Sha’luky : “Apa yang telah Allah beikan kepada Anda
hingga seperti ini?” Ia menjawab : “Aku datag kepada Tuhanku
swt. dengan dosa yang sangat banyak, namun Allah swt.
menghapusnya lewat sangkaan baikku kepada-Nya.”
Diriwaytakan oleh Abu Huraitah r.a. bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Allah swt. berfirman : “Aku adalah sebagaimana yang
disangka oleh hamba-Ku, dan Aku ada bersamanya manakala ia
103
mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan
mengingatnya dalam Diri-Ku, Jika ia mengingat-Ku di tengah
kumpulan orang banyak, maka Aku akan mengingatnya di tengah
kumpulan yang lebih baik dari itu. Jika ia datang kepada-Ku
sejarak satu jengkal, Aku akan mendatanginya sejarak satu
hasta. Jika ia melangkah kepada-Ku satu hasta, Aku akan
melangkah kepadanaya dua hasta. Jika ia datang kepada-Ku dengan
berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.” (H.r.
Bukhari).
Diceritakan bahwa pada suatu ketika Ibnul Mubarak sedang
bertempur melawan salah seorang tentara kafir (non Arab).
Ketika tiba waktunya bagi si orang kafir itu untuk sembahyang,
ia meminta waktu kepada Ibnul Mubarak. Ibnul Mubarak pun
membiarkannya mengerjakan ibadatnya. Ketika tentara kafir itu
sedang bersujud ke matahari, Ibnu Mubarak merasakan keinginan
untuk menikamnya dengan pedangnya. Namun tiba-tiba Ibnul
Mubarak mendengar sebuah suara di angkasa yang berseru : “Dan
penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti akan diminta
pertanggung jawabannya.” (Qs. Al-Isra’ :34). Maka Ibnul
Mubarak pun menyarungkan kembali pedangnya. Ketika si penyembah
berhala selesai bersembahyang, ia bertanya kepada Ibnul Mubarak
: “Mengapa Anda mengurungkan niat Anda?” Ibnul Mubarak
mengatakan kepadanya tentang suara yang didengarnya. Si
penyembah berhala berseru : “Betapa sempurnanya Tuhan Yang
memarahi wali-Nya demi membela musuh-Nya!.” Lalu ia pun masuk
Islam dan menjadi seorang Muslim yang sangat baik.”
Dikatakan : “Allah menjadikan manusia melakukan dosa
ketika Dia menamakan Diri-Nya “Yang Maha Pengampun”.
Dikatakan : “Seandainya Allah berfirman : “Aku tidak akan
mengampuni dosa; niscaya tidak seorang Muslim pun yang akan
pernah berbuat dosa. Sebab ketika Dia berfirman : “Allah tidak
akan mengampuni (manusia yang ) menyekutukannya.” (Qs. An-Nisa
: 48). Kaum Muslimin lalu ingin sekali mendapatkan ampunan-
Nya.”
Ibrahim bin Adham – semoga Allah merahmatinya – berkata :
“Pada suatu ketika aku menunggu waktu luag dan tenangnya orang
di sekitar Ka’bah. Saat itu adalah malam yang gelap gulita dan
hujan turun dengan derasnya. Akhirnya tempat itu pun sepi, aku
lalu mulai melakukan thawaf, sambil bedoa : “Ya Allah,
lindungilah aku dari dosa, lindungilah aku dari dosa!”. Lalu
aku mendengar suara yang mengatakan : “Wahai Ibnu Adham,
engkau meminta kepada-Ku untuk melindungimu dari dosa,
sebagaimana doa orang –orang yang lain. Tapi jika Aku jadikan
104
kamu semua tanpa dosa, lantas kepada siapa aku harus bersikap
Maha Pengasih?”
Ketika Abul Abbas bin Suraij menderita sakit – yang
akhirnya membawanya pada kematian – bermimpi bahwa hari
Kebangkitan telah tiba. Allah Yang Maha Kuasa bertanyi mana
para ulama itu?” Semua ulama, termasuk diriku, maju ke depan.
Allah swt. bertanya : “Apakah yang telah kalian lakukan dengan
ilmu yang telah kalian amalkan?” Kami semua menjawab : “Wahai
Tuhan, kami telah ebrbuat llai dan kami telah berbuat jahat.”
Maka Allah swt. pun mengulangi lagi pertanyaan-Nya seolah-olah
Dia tidak menyukai jawaban yang telah kami berikan dan
menghendaki jawaban yang lain. Maka aku pun maju dan menjawab :
“Mengenai diriku, maka catatan dalam halaman lembaranku
tidaklah mengandudng dosa menyekutukan sesuatu dengan-Mu dan
Engkau telah berjanji bahwa Engkau akan mengampuni semua Dosa
selain itu.” Lalu Allah swt. berfirman : “Pergilah kamu
semua. Aku telah mengampunimu!” Abul Abbas pun meninggal dunia
tiga malam setelah mimpinya ini.
Pada suatu ketika ada seorang pemabuk yang mengumpulkan
sekelompok para pemabuk temannya. Ia memberikan uang empat
dirham kepada salah seorang budaknya dan menyuruhnya pergi
membeli buah-buahan. Si budak pergi, dan ditengah jalan ia
melewati majelis Manshur bin ‘Ammar, saat dimana yang disebut
belakangan ii sedang meminta kepada orang banyak untuk
memberikan sedekah kepada beberapa orang pengemis, dengan
mengaakan : “Barangsiapa memberikan empat dirham, aku akan
memanjatkan empat doa untuknya.”
Si Budak memberikan uang empat dirham yang dibawanya kepada
Mansur, dan kemudian ia pun ditanya : “Doa apa yang engkau
inginkan dariku.”
Si Budak menjawab : “Aku ingin bebas dari tuanku.”
Manshur menodakan hal itu, lalu bertanya lagi : “Apa lagi?”
Si budak menjawab : “Aku ingin agar Allah memberiku ganti
uang empat dirham itu.” Manshur mendoakan hal itu, dan
bertanya kembali : “Apa lagi?”
Si Budak menjawab : “Aku ingin agar Allah mengampuni
dosaku, dosa tuanku, dosamu dan dosa semua orang yang ada di
rumah tuanku itu.” Manshur mendoakan hal itu. Si budak lalu
pulang ke rumah tuannya.
Ketika tuannya bertanya kepadanya mengapa ia pulang
terlambat, si budak menceritakan apa yang telah dilakukannya.
Tuannya bertanya : “Dan doa apa saja yang kamu mintakan?”

105
Si budak menjawab : “Saya minta didoakan supaya bebas dari
perbudakan.” Tuannya berrkata : “Kamu telah kubebaskan. Dan
apa permintaanmu yang kedua?”
Si budak menjawab : “Agar Allah memberi saya ganti uang
empat dirham itu.” Tuannay berkata : “Ini, kuberi engkau uang
empatribu dirham. Lalu, apa permintaanmu yang keteiga?”
Si budak menjawab : “Agar Allah menyadarkan tuan untuk
segera bertobat.” Tuannya mengatakan : “Aku bertobat kepada
Allah swt. Apa permintaanmu yang ketiga ?”
Si budak mengatakan : “Agar Allah mengampuni Anda, saya,
orang-orang yang ada di rumah ini, dan juga Manshur.” Si tuan
berkata. “Ini adalah permintaan yang berada di luar
kemampuanku untuk memenuhinya.”
Malam itu, ketika si tuan tidur, ia bermimpi mendengar
sebuah suara yang mengatakan : “Engkau telah melakukan apa
yang berada dalam batas kemampuanmu. Apakah engkau mengira
bahwa Aku tidak akan melakukan apa yang berada dalam kemampuan-
Ku? Kuampuni dosamu, dosa budakmu itu, dosa Manshur bin ‘Ammar
dan dosa semua orang yang berkumpul di rumahmu.”
Dikatakan bahwa Rabah al-Qaysi mengerjakan Haji beberapa
kali. Suatu ketika ia berdiri (dekat Ka’bah) di bawah talang
air dan berdoa : “Wahai Tuhanku, aku menghadiahkan sejumlah
sekian dan sekian dari ibadat Hajiku kepada Rasulullah saw.
sepuluh ibadat Haji bagi sepuluh orang sahabt beliau, dua
iabdat haji untuk kedua oarng tuaku, dan sisanya untuk semua
kaum Muslimin.” Dihadiahkannya semua ibadat hajinya tanpa
menyisakan satu pun bagi dirinya sendiri. Kemudian ia mendengar
suara bisikan yang mengatakan : “Inilah orang yang menunjukkan
kemurahan hatinya kepada Kami! Aku ampuni dosamu, dosa kedua
orang tuamu, dan dosa semua orang yang memeluk Islam.”
Muhammad bin Abdul Wahhab ats-Tsaqafy menuturkan : “Pada
suatu hari aku melihat iringan keranda yang dipikul oleh tiga
orang laki-laki dan seorang wanita. Aku maju dan menggantikan
si wanita. Kami terus berjalan menuju ke kuburan. Kami
melaksanakan shalat untuk simayit, lalu menguburkannya. Setelah
itu aku bertanya kepada si wanita : “Apa hubungan Anda dengan
orang yang meninggal ini?” Ia menjawab : “Ia anakku.” Aku
bertanya : “Apakah Anda tidak punya tetangga?” Ia menjawab :
“Ya, tetapi mereka semua memandang hina anakku yang meninggal
itu.” Aku bertanya : “Mengapa?” Ia menjawab : “Karena ia
seorang banci>” Aku merasa kasihan kepada wanita itu. Kuajak
ia ke rumahku dan kuberi sedikit uang, gandum dan pakaian.
Dalam tidurku malam itu, aku bermimpi melihat seseorang datang
106
kepadaku. Wajahnya berseri bagaikan bulan purnama. Ia
berpakaian putih dan mengucapkan terima kasih kepadaku. Ketika
aku bertanya siapa dirinya, ia menjelaskan : “Aku adalah si
orang banci yang anda kuburkan tadi siang. Tuhanku telah
melimpahkan rahmat-Nya kepadaku disebabkan hinaan orang-orang
kepadaku.”
Saya mendengar Syeikh Abi Ali ad.-Daqqaq berkata : “Abu
Amr al-Bikandy sedang melewati sebuah jalan pada suatu hari,
bersamaan itu pula menjumpai sekelompok orang beramai-ramai
menyerukan pengusiran terhadap seorang pemuda dari lingkungan
mereka karena perbuatan-perbuatannya yang tidak bermoral.
Sementara tampak seorang wanita di tempat itu sedang menangis,
konon adalah ibu sang pemuda. Abu Amr merasa kasihan kepadanya,
lalu meminta kepada orang banyak itu agar mengampuni si pemuda.
“Bebakanlah pemuda ini demi aku. Jika ia mengulang
perbuatannya sekali lagi, maka lakukanlah apa yang kalian
kehendaki terhadapnya!.” Mereka lalu melepaskan pemuda itu,
dan Amr pun pergi.
Beberapa hari kemudian, Au Amr al-Bikandy melalui jalan itu
lagi dan mendengar suara tangis wanita dari balik sebuah pintu.
Abu Amr berkata dalam hati : “Barangkali si pemuda mengulangi
lagi perbuatan odsanya, dan mereka telah mengusirnya dari
lingkungan ini. Abu Amr lalu mengetuk pintu rumah si wanita dan
bertanya apa yang telah terjadi pada si pemuda. “Ia
meninggal!” jawabnya. Ketika Abu Amr bertanya kepadanya
bagaimana keadaannya menjelang akhir hayatnya, si ibu
menjawab : “Menjelang sakaratul maut ia sempat mengatakan
padaku. “Janganlah ibu memberi tahukan kepada pra tetangga
kita tentang kematianku. Sebab, settelah mereka menderita
karena aku, mereka akan senang atas kemalanganku dan tidak mau
menghadiri pemakamanku. Jika Ibu menguburkanku, inilah cincinku
yang tertulis Bismillah, pendamlah bersamaku. Jika selesai
menguburkan diriku, pintalah syafaat dari Tuhanku buat
diriku!” Aku melakukan seperti yang diwasiatkannya. Dan
sepulang dari penguburannya, aku mendengar suaranya :
“Pergilah Ibu! Aku telah datang ke hadirat Tuhan Yang Maha
Pemurah.”
Dikatakan bahwa Allah mewahyukan kepada Daud as. Katakanlah
kepada manusia bahwa Aku menciptakan mereka bukan dengan tujuan
agar Aku memperoleh manfaat dari mereka, tapi Kuciptakan mereka
supaya mereka memperoleh keuntungan dari-Ku.”
Ibrahim al-Atrusy berkata : “Kami sedang duduk-duduk di
tepi Sungai Tigris berssama Ma’ruf al-Karkhy ketika
107
segerombolan pemuda melewati kami dengan sebuah perahu. Mereka
memukul-mukul rebana, minum anggur dan bermain-main dengan
penuh hura-hura. Kami bertanya kepda Ma’ruf, Tidakkah engkau
lihat bagaimana mereka secara terrang-terangan bermaksiat
kepada Allah swt? Berdoalah kepada Allah agar Dia menghukum
mereka!” Ma’ruf lalu mengangkat tangannya dan berdoa : “Ya
Allah, sebagaimana Engkau telah menjadikan mereka bersenang-
senang di dunia ini, jadikanlah mereka bersenang-senang di
akhirat nanti!” Kami bertanya penasaran. Tapi kami memintamu
untuk berdoa memohonkan hukuman bagi mereka!” Ia menjawab :
“Jika Dia menjadidkan mereka bersenang-senang di akhirat,
berarti Dia telah mengampuni mereka.”
Abu Abdullah al-Husain bin Sa’id mengabarkan : “Bahwa Yahya
bin Aktsam al-Qadhi adalah seorang sahabtku. Ia mencintaiku dan
aku pun mencintainya. Setelah ia meninggal, aku ingin bertemu
dengannya dalam mimpi agar aku bisa bertanya kepadanya apa yag
telah diperbuat Allah swt. terhadap dirinya. Suatu malam aku
pun bermimpi bertemu dengannya, dan aku bertanya kepadanya. Ia
menjawab : “Allah telah mengampuni dosaku. Tetapi Dia
memarahiku dengan kata-kata-Nya : “Wahai Yahya! Kau telah
berbuat kejahatan kepada-Ku di dunia. “ Aku menjawab : Itu
memang benar, wahai Tuhanku. Aku mengandalkan sebuah hadits
yang disampaikan kepadaku dengan riwayat Abu Hurairah
bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda : “Engkau telah
berfirman : “Aku malu menghukum seseorang yang telah berambut
putih di neraka.” Lalu Allah pun berfirman : “Aku
mengampunimu wahai Yahya, dan benar Nabi-Ku itu. Tetapi engkau
telah berlaku dosa kepada-Ku ketika di dunia.”
10. SEDIH
Allah swt. berfirman :
“Dan mereka akan mengatakan (ketika berada di surga),
“Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan
dari kita.” (Qs. Fathir :34).
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudry bahwa Rasulullah
saw. bersabda :
“Tidak sesuatu pun keburukan menimpa seorang hamba yang
beriman, apakah itu penderitaan, penyakit, kesedihan, atau rasa
sakit yang merisaukan, kecuali Allah swt. akan mengampuni dosa-
dosanya.” (H.r. Ahmad, Bukhari – Muslim).
Sedih (huzn) adalah keadaan yang menyelamatkan hati
tersesat di lembah kealpaan. Dan kesedihan adalah salah satu
sifat para ahli penempuh jalan ruhani (suluk).

108
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Orang yag
dipenuhi kesedihan mampu menempuh jalan Allah dalam waktu satu
bulan, sepanjang jarak yang tidak bisa ditempuh dalam waktu
satu tahun oleh orang yang tidak memiliki kesedihan.”
Dalam Hadits dikatakan : “Sesungguhnya Allah mencintai
setiap hati yang sedih.”
Dalam Kitab Taurat disebutkan : “Jika Allah mencintai
seorang hamba, maka Dia akan menempatkan suatu PENYEDIH dalam
hatinya, dan jika Dia membenci seorang hamba, maka ditempatkan-
Nya sebuah SERULING dalam hatinya.”
Dikatakan bahwa Rasulullah saw. selalu berada dalam keadaan
sedih dan merenung sepanjang masa.
Bisyr bin Haris mengatakan : “Sedih adalah raja, manakala
bertahta dalam sebuah tempat, tidak akan sudi menerima orang
lain tinggal bersamanya.”
Dikatakan : “Jika tidak ada kesedihan dalam hati, maka ia
akan menjadi rusak, sebagaimana sebuah rumah akan menjadi roboh
manakala tidak ada orang yang tinggal di dalamnya.”
Abu Sa’id al-Qurasyi berkomentar : “Air mata kesedihan
membuat orang buta, tetapi air mata kerinduan meredupkan
pandangan, namun tidak membutakannya.” Allah swt. berfirman :
“Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan ia
adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-
anaknya).” (Qs. Yunus :84).”
Ibnu Khafif menjelaskan : “Sedih adalah mencegah diri dari
bangkit mencari kesenangan.”
Rabi’ah Adawiyah mendengar seorang laki-laki meratap :
“Aduhai kesedihan!” Rabi’ah menyela : “Katakanlah; Aduhai
kecilnya kesedihan kita! Jika engkau benar-benar bersedih,
niscaya engkau tidak akan bisa bernafas.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan : “Apabila ada seorang
tertimpa kesedihan dan menangis di kalangan suatu kaum, maka
Allah swt. akan mengasihani mereka semua karena air matanya.”
Dawud ath-Tha’y ketika tertimpa kesedihan, dan di malam
hari ia akan berdoa : “Ilahi, kerinduanku terhadap-Mu membuat
diriku gelisah dan menghalangi antaraku dengan tidurku.” Dan
Allah pun menjawab : “Bagaimana mungkin bagi seorang yang
penderitaanya diperbarui setiap saat, akan mencari penghiburan
dari kesedihan?”
Dikatakan : “Sedih menahan orang dari makan, sedangkan
takut, menahannya dari dosa.”
Salah seorang Sufi ditanya : “Dengan apa kesedihan manusia
dinilai?” Ia menjawab : Dengan banyaknya ratapan.”
109
As-Sary as-Saqathy berkata : “Aku ingin seandainya
kesedihan seluruh manusia di muka bumi ini ditumpahkan
kepadaku.” Banyak oang telah berbicara tentang kesedihan, dan
mereka semua mengatakan bahwa hanya kesedihan yang diilhami
oleh kepedulian pada akhiratlah yang patut dipuji, sedang
kesedihan karena dunia ini, patut dicela. Tetapi Abu Utsman al-
Hiry menjelaskan : “Kesedihan dalam semua seginya adalah suatu
keutamaan dan peningkatan bagi seorang beriman, selama
kesedihan itu bukan karena dosa. Sekalipun kesedihan itu tidak
menghasilkan satu derajat khusus, ia akan membawakan
pengampunan.”
Seorang Syeikh tertentu, apabila murid-muridnya akan pergi
melakukan perjalanan, ia akan berpesan : “Jika engkau melihat
seorang yang sedang bersedih, sampaikan salamku padanya.”
Syeikh Abu ali ad-Daqqaq berkata : “Salah seorang Sufi
bertanya kepada matahari selagi terbenam, “Apakah hari inni
engkau telah menyinari sorang yang tertimpa kesedihan?”
Orang tidak pernha melihat Hasan al-Bashry tanpa mengira
bahwa ia baru saja mengalami bencana.
Ketika Fudhail bin ‘Iyadh meninggal dunia, Waki’
mengatakan, “Hari ini kesedihan telah lenyap dari muka bumi.”
Salah seorang dari kaum Muslimin geberasi salaf berkata :
“Sebagian besar dari apa yang ditemukan oleh seorang beriman
dalam catatan amal perbuatan baiknya adalah penderitaan dan
kesedihan.”
Fudhail bin ‘Iyadh berkomentar : “Kaum salaf mengatakan :
“Setiap sesuatu ada zakatnya, dan zakat hati adalah kesedihan
yang panjang.”
Ketika Abu Utsman al-Hiry ditanya tentang kesedihan, ia
menjawab : “Orang yang sedih adalah yang tidak punya waktu
untuk menyibukkan diri dengan pertanyaan tentang kesedihan.
Maka berjuanglah untuk mencari kesedihan, lalu bertanyalah.”

11.LAPAR DAN MENINGGALKAN SYAHWAT

Allah berfirman :
“Dan, sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sebagian ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang
yang sabar.” (Qs. Al-Baqarah :155).
Berikanlah kabar gembira dengan pahala yang indah karena
kesabaran mereka dalam menanggung lapar. Allah swt. berfirman :
110
“Dan mereka memprioritaskan (Muhajirin) atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka beikan
itu).” (Qs. Al-Hasyr :9).
Anas bin Malik menuturkan bahwa ketika Fatimah r.a.
(Fatimah az-Zahra’ (18 s.H – 11 H/605 – 632 M). Putri
Rasulullah saw. keturunan Bani Hasyim, suku Quraisy. Ibundanya
Khadijah binti Khuwailid. Fatimah dinikahkan Ali bin Abu Thalib
r.a. melahirkan Hasan dan Husein, Ummu Kaltsum dan Zainab).
Fatimah r.a. memberikan sekerat roti bagi Rasulullah saw.
beliau bertanya : “Apa ini, wahai Fatimah?” Fatimah
menjawab : “Sepotong roti yang saya masak sendiri. Hati saya
tidak dapat tenang sebelum memberikan roti ini kepadamu.”
Beliau menjawab : “Ini adalah sepotong makanan pertama
yang masuk ke mulut ayahmu sejak tiga hari ini.” (Hadits ini
diriwayatkan oleh al-Harits bin Abu Usamah dalam Musnad-nya,
melalui sanad yang dha’if, namun memiliki bukti kebajikan
sanad dalam maknanya).
Alasan inilah yang menjadikan lapar termasuk dalam sifat
kaum Suf dan salah satu tiang mujahadah. Para penempuh suluk
selangkah demi selngkah membiasakan berlapar-lapar menahan diri
dari makan, dan mereka menemukan mata air kebijaksanaan di
dalam lapar. Cerita tentang mereka dalam hal ini cukup banyak.
Ibnu Salim berkata : “Etika berlapar diri adalah bahwa
seseorang terus menerus tidak mengurangi porsi makanannya,
kecuali sebesar telinga kucing (amat sedikit).” Dikatakan
bahwa Sahl bin Abdullah tidak makan, kecuali setiap limabelas
hari. Manakala Bulan Rmadhan tiba, ia bahkan tidak makan sampai
melihat bulan baru. Dan tiap kali berbuka hanya minum air putih
saja.
Yahya bin Mu’adz menjelaskan : “Seandainya orang dapat
membeli lapar di pasar, maka para pencari akhirat niscaya tidak
akan perlu membeli sesuatu yang lain di sana.”
Sahl bin Abdullah berkomentar : “Ketika Allah swt.
menciptakan dunia, Dia menempatkan dosa dan kebodohan di dalam
kepuasan nafsu makan dan minum, dan menepatkan kebijaksanaan
dalam lapar.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Lapar bagi para penempuh
jalan Allah (murid) adalah olah ruhani (riyadah), sebuah cobaan
bagi orang-orang yang berTaubat, dan siasat bagi para zahid,
tanda kemuliaan bagi para ahli ma’rifat.”
Yeikh Abu Ali ad.-Daqqaq menuturkan : “Seseorang datang
menjumpai salah seorang syeikh, dan ketika melihat sang syeikh
menangis, ia bertanya, ‘Mengapa Anda menangis?’ Sang Syeikh
111
menjawab : “Aku lapar.” Ia mencela, “Seorang seperti Anda,
menangis karena lapar?” Sang Syeikh balas mencela : “Diamlah!
Engkau tidak mengetahui bahwa tujuan-Nya menjadidkan aku lapar
adalah agar aku menangis.”
Dawud bin Mu’adz mengisahkan, bahwasanya Mukahllid
mengabarkan : “Al-Hajjah bin Furafishah sedang berada bersama
kami si Syam, dan selama lima puluh malam ia tidak minum air
ataupun mengisi perut dengans esuap makanan pun.”
Abu Abdulalh Ahmad bin Yahya al-Jalla’ berkata : “Abu
Turab an-Nakhsyaby datang mengarungi padang pasir Bashrah ke
Mekkah – Semoga Allah melindungi kota ini – dan kami bertanya
kepadanya tentang makanannya. Ia menjawab : “Aku meninnggalkan
Bashrah, makan di Nibaj dan kemudian di Dzat Araq. Dari Dzat
Araq aku datang kepada kalian.” Jadi, ia menyebari padang itu
dengan hanya makan sebanyak dua kali.”
Setiap kali Sahl bin Abdullah lapar, ia tegar, dans etiap
kali makan, ia menjadi lemah.
Abu Utsman al-Maghriby berkata : Orang yang mengabdi kepada
Tuhan (rabbany) hanya makan setiap empat puluh hari, dan orang
yang mengabdi kepada Yang Abadi (Shamadany) hanya makan setiap
delapan puluh hari.”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Kunci dunia ini
adalah mengisi perut, dan kunci akhirat aalah lapar.”
Sahl bin Abdullah ditanya : “Bagaimana pendpat Anda
tentang orang yang makan sekali sehari?” Dijawabnya : “Itulah
makan orang beriman.” Bagaimana dengan yang makan tiga kali
sehari?” Ia mencela : “Suruh saja orang membuat gentong
makanan untukmu.”
Yahya bin Mu’adz berkomentar : Lapar adalah pelita, dan
kenyang adalah api. Hawa nafsu adalah seperti kayu api yang
darinya muncul api yang berkobar, dan tidak akan padam sampai
ia membakar pemiliknya.”
Abu Nash as-Sarraj ath-Thausy menuturkan : “Seorang laki-
laki dari kaum Sufi datang menemui seorang syeikh dan
menyuguhkan sedikit makanan. Lalu ia bertanya : “Sudah berapa
lama Anda tidak makan?” Sang Syeikh menjawab : “Lima hari.”
Si Sufi berkata : “Lapar Anda adalah lapar orang bakhil> Anda
memakai pakaian (bagus) sementara Anda lapar. Itu bukanlah
lapar orang fakir!”
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan : “Bahwa meninggalkan
sepotong daging di waktu makan malam lebih kusukai daripada
melakukan shalat sepanjang malam.”

112
Berkata Abul Qasim Ja’far bin Ahmad ar-Razy : “Beberapa
hari Abul Khayr al-“Asqalany ingin sekali mengkonsumsi ikan.
Lalu sejumlah ikan sampai ke tangannya melalui jalan yang
halal. Tetapi ketika tangannya meraih ikan itu untuk
dimakannya, lalu ia berkata : “Ya Alalh, jika hal ini menimpa
orang yang mengulurkan tangannya karena ingin memakan barang
yang halal, apa pula yang akan terjadi kepada orang yang
mengulurkan tangannya untuk sesuatu yang haram?”
Saya mendengar Rustam asy-Syirazy as-Shufy menuturkan :
“Abu Abdullah bin Khafif sedang menghadiri jamuan makan, tiba-
tiba salah seorang muridnya bermaksud mengambil makanan
mendahului sang syeikh, karena laparnya. Salah seorang murid
syeikh, yang ingin menegus atas ketidak sopanannya itu,
meenpatkan sedikit makanan di hadapan si fakir itu. Menyadari
bahwa dirinya dicela karena kurang beradab, si fakir itu lalu
tidak mau makan selama limabelas hari sebagai hukuman dan
pendisiplinan jiwanaya, serta sebagai tanda Taubat atas ketidak
sopanannya itu. Padahal selama ini ia telah menderita
kelaparan.”
Malik bin Dinar berkata : “Barangsiapa telah mengalahkan
syahwat dunia, maka itulah tindakan yang dapat memisahkan setan
dari lindungannya.”
Abu Ali ar-Rudzbary mengajarkan : “Jika seorang Sufi
setelah lima hari tidak makan, mengatakan ‘aku lapar’ maka
kirimlah ia ke pasar agar mendapatkan pekerjaan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan ucapan
seorang syeikh, bahwa penghuni neraka telah dikalahkan oleh
syahwatnya atas kewaspadaan mereka, hingga mereka tercela.
Beliau juga berkata : “Seseorang bertanya kepada salah seorang
syeikh : “Apakah Anda tidak enginginkan sesuatu?” Sang Syeikh
menjawab, ‘Aku menginginkannya, akan tetapi aku menahan
diri.”
Syeikh yang lain ditanya : “Adakah sesuatu yang tuan
inginkan?”
Jawabnya : “Aku menginginkan untuk tidak ingin lagi.”
Abu Nashr at-Tammar mengatakan : “Pada suatu malam Bisyr
datang kepadaku, dan aku berkata : “Segala Puji Bai Allah yang
telah membawamu ke sini. Sejumlah kapas dari Khurasan telah
sampai kepada kami; budak wanita telah menenunnya, menjualnya
dan membeli sedikit daging untuk kita. Engkau bisa berbuka
puasa dengan kami. Ia menjawab : “ Jika aku mesti makan dengan
seseorang, aku akan memilih makan denganmu.” Lalu ia
menjelaskan : “Telah bertahun-tahun aku ingin makan terung,
113
tetapi aku belum ditakdirkan untuk memakannya. Lalu aku
menjawab : “Ada terung yag halal dalam makanan ini.” Ia
menjawab : “Bahkan sampai bersih dari bijinya.”
Saya mendengar Abu Ahmad ash-Shagir berkata : “Abu
Abdullah bin Khafi menyuruhku menyuguhinya sepuluh butir kismis
untuk buka puasa setiap malam. Suatu malam aku merasa kasihan
kepadanya, dan kusuguhkan limabelas butir kismis. Ia
memandangku dan bertanya : “Siapa yang menyuruhmu (memberi
lima belas kismis?)’ Lalu dimakannya sepuluh butir dan
membiarkan sisanya.”
Abu Turab an-nakhsyaby berkomentar : “Jiwaku tidak pernah
cenderung kepada hawa nafsu kecuali sekali saja : Aku ingin
sekali makan roti dan telur ketika aku sedang berada dalam
perjalanan. Lalu aku pun memasuki sebuah kampung. Seseorang
gbangkit dan memegang tanganku sambil berkata : “Orang ini
adalah salah seorang dari perampok itu!” Lalu oang-orang itu
memukuliku tujuhpuluh kali. Seseorang laki-aki di antara mereka
mengenaliku dan menyela, Ini adalah Abu Thurab an-Nakhsyaby!”
Mendengar itu, mereka cepat-cepat meminta maaf kepadaku, dan
laki-laki itu lalu membawaku ke rumahnya karena rasa hormat dan
kasihan kepadaku, dan ia menjamu aku dengan roti dan telur.
Maka aku berkata kepada diri sendiri : “Makanlah, seteelh
tujuh puluh kali pukulan!.”

12.KHUSYU’ DAN TAWADHU’

Allag swt. berfiman :


“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
mereka yang khusyu dala shalatnya.” (Qs. Al-Mu’minun :-1-2).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah
saw. bersabda :
“Tidak akan masuk surga, barangsiapa yang dalam hatinya
terdapat kesombongan walau sekecil biji sawi, dan tidak akan
masuk neraka barangsiapa yang dalam hatinya terdapat iman
walaupun sekecil biji sawi.” Seseorang bertanya : “Wahai
Rasulullah, bagaimana jika seseorang suka berbapakain bagus?”
Beliau menjawab : Allah swt. Maha Indah dan menyukai keindahan;
sombong adalah berpaling dari Al-Haq dan mencemooh manusia.”
(H.r. Muslim).
Anas bin Malik mengabarkan : “Rasulullah saw. suka
mengunjungi orang sakit, mengiringkan jenazah, mengendari
keledai dan memenuhi undangan budak-budak.”

114
Dalam peperangan melawan bani Quraidhah dan bai nadhir,
Rasul mengendari seekor keledai yang diberi tali kendali dari
ijuk korma dan di atasnya diberi pelana ijuk pula.”
Khsyu’ adalah berkaitan kepada Allah swt. dan tawadhu’
adalah menyerah kepada Allah dan menjauhi sikap kontra dalam
menerima hukum.”
Hudzaifah berkata : “Khusyu’ adalah hal yang pertama-tama
hilang dari agamamu.” Ketika salahs eorang Sufi ditanya
tentang khusyu’, ia menjawab : “Khusyu’ adalah tegaknya hati
di hadapan Allah swt.”
Sahl bin Abdullah menegaskan : Setan tidak akan mendekati
orang yang hatinya khusyu’. Dikatakan : “Di antara tanda-
tanda kehusyu’an hati seorang hamba adalah manakala ia
diprovokasi, disakiti hatinya atau ditolak, maka ia, semua itu
diterimanya.”
Salah seorang Sufi berkomentar : “Kekhusyu’an hati adalah
menahan mata dari melirik ke sana ke mari.
Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menjelaskan : “Khusyu’
adalah begini : Jika api hawa nafsu dalam diri seseorang padam,
asap dalam dadanya reda dan cahaya kecemerlangan bersinar dalam
hatinya, lalu hawa nafsunya mati, dan hatinya hidup khusyu’lah
semua angota badannya.”
Al- Hasan al-Bashry berkata : “Khusyu’ adalah rasa takut
yang terus menerus dalam hati.”
Ketika al-Juany ditanya tentang khusyu’, ia menjawab :
“Khusyu’ adalah jika hati menghinakan dirinya di hadapan Yang
Maha Tahu kegaiban.” Allah swt. berfirman :
“Hamba-hamba Ar-Rahman yaitu orang-orang yang bejalan di
muka bumi dengan sikap rendah hati.” (Qs. Al-Furqan :63).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : Bahwa makna ayat ini
adalah hamba-hamba Allah itu berjalan di muka bumi dengan penuh
khusyu’ dan tawa dhu’.
Saya juga mendengar beliau mengatakan, bahwa mereka adalah
orang-orang yang tidak memperdengarkan bunyi sandal mereka
ketika berjalan.
Kaum Sufi sepakat bahwa tempat khusyu’ adalah di dalam
hati.
Ketika salah seorang Sufi melihat seorang laki-laki yang
memperlihatkan sikap rendah hati dalam perilaku lahiriahnya,
dengan mata yang memandang ke bawah dan bahu yang rendah, ia
berkata kepadanya. “Wahai sahabat, khusyu’ itu di sini.”
Sambil menunjuk ke dadanya, “bukan di sini, sambil menunjuk
bagunya.
115
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. melihat seorang laki-
laki sedang mengelus-elus jenggotnya dalam shalat, dan beliau
lalu bersabda :
“Jika hatinya khsyu, niscaya anggota badannya juga akan
khusyu’.” (Hr. Tirmidzi).
Dikatakan : “Khusyu’ dalam shalat berarti seseorang tidak
menyadari siapa yang sedang berdiri di sebelah kanan atau
kirinya.”
Syeikh ad-Daqqaq berkata : “Khusyu’ mirip dengan
perkataan, bahwa hati nurani seseorang dikhidmatkan sambil
musyahadah kepada Allah swt.” Dikatakan “Khusyu’” adalah
perasaan papa dan hina yang meresap ke dalam hati manakala
menyaksikan Allah swt.”
Dikatakan pula : “Khusyu’ adalah kegentaran hati di kala
hati dikuasai hakikat.”
Khusyu’ adalah mukadimah bagi luapan anugerah.
Dikatakan : “Khusyu’ adalah kegentaran hati secara tiba-
tiba ketika Kebenaran terungkapkan secara tba-tiba.
Fudhail bin ‘Iyadh menegasskan, bahwa dirinya tidak senang
melihat seseorang terlihat lebih khusyu’ daripada batinnya.
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : Seandainya semua manusia
bersatu padu untuk menghinakan aku, niscaya mereka tidak akan
mampu mencapai kedalaman dimana aku menghinakan diriku
sendiri.”
Dikatakan : “Orang yang tidak merendahkan dirinya, orang
lain tdak akan menghormatinya pula.”
Umar bin Abdul Aziz tidak mau bersujud kecuali hanya di
tanah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda : “Tidak akan masuk surga oang-orang yang di
dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar biji
sawi.” (H.r. Abu Dawud).”
Mujahid berkata : “Ketika Allah swt. menenggelamkan kaum
Nabi Nuh, gunung-gunung bersikap congkak dan meninggikan diri,
tetapi Bukit Judy merendahkan dirinya. Karena itu Allah swt.
menjadikannya sebagai tempat mendaratnya perahu Nabi Nuh as.”
(Bukit Judy berada di sebelah timur laut Jazirah Ibnu Umar,
Ketingginya dari permukaan laut 4.000 meter. Diriwayatkan bahwa
perahu Nabi Nuh pernah melintasi bukit ini kertika terjadi
banjir bandang).
Umar bin Khaththab r.a. selalu berjalan cepat-cepat,
tentang ini dijelaskannya bahwa berjalan secara demikian akan

116
membawanya lebih cepat kepada kebutuhan dan menjaganya dari
keangkuhan.
Pada suatu malam Umar bin Abdul Aziz, r.a. sedang menulis,
lalu datanglah seorang tamu. Meliaht lampu hampir padam, si
tamu menawarkan diri : “Biarlah saya yang membesarkan
nyalanya.” Tapi Umar menjawab : “Jangan, tidaklah ramah
menjadidkan tamu sebagai pelayan.” Maka si tamu lalu berkata :
“Kalau begitu, biarlah saya panggilkan pelayan.” Umar menolak
: “Jangan, ia baru saja pergi tidur.” Lalu beliau sendiri
pergi ke tempat penyimpanan minyak dn mengisi lampu itu. Si
tamu berseru : “Tuan lakukan pekerjaan ini sendiri, wahai
Amirul Muminin?” Umar berkata kepadanya : “Aku melangkah dari
sini sebagai Umar, dan kembali ke sini masih sebagai Umar
pula.”
Abu Sa’id al-Khudry r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw.
selalu memberi makan unta-unta, menyapu lantai rumah,
memperbaiki sandal, menambal baju, memerah susu, makan bersama
pelayan dan membantunya menggiling gandum jika pelayan lelah.
Beliau tiak pernah merasa malu membawwa barang-barang beliau
sendiri dari pasar untuk keluarganya. Beliau biasa berjabat
tangan dengan orang kaya maupun miskin, dan lebih dahulu
memberi salam jika bertemu. Nabi saw. tiak pernah mencela
makanan apa yang dihidangkan kepada beliau, sekalipun hanya
berupa kurma kering. Beliau sangat sederhana dalam hal makanan,
lemah lembut dalam berperilaku, mulia dalam sikap, baik dalam
berteman, wajahnya bercahaya, tersenyum tapi tanpa terrtawa,
sedih tapi tiak cemberut, rendah hati tapi tidak lembek, murah
hati tetapi tidak boros. Rasulullah saw. juga berhati lembut
dan kasih sayang kepada setiap Muslim. Tidak pernah
memperlihatkan tanda-tanda telah makan kenyang, dan juga tidak
pernah mengulurkan tangan dengan rakus.
Fudhail bin “Iyadh berkata : “Para Umala dari Yang Maha
Pengasih memiliki sikap khusyu’ dan tawadhu’, sedangkan para
ulama penguasa memiliki sikap takjub dan sombong.” Ia juga
berkomentar : “Barangsiapa menganggap dirinya masih berharga,
berarti tidak memiliki sifat tawadhu’ sama sekali.”
Ketika Fudhail ditanya tentang tawadhu’, ia mengajarkan :
“Pasrahlah kepada kebenaran; patuh dan terimalah ia dari siap
pun yang mengatakannya.” Ia juga mengatakan : “Allah swt.
mewahyukan kepada gunung-gunung : “Aku akan berbicara dengan
soerang Nabi di salah satu puncak di antaramu.” Maka, gunung-
gunung itu lalu berlomba-lomba meninggikan diri dengan
sobongnya, sedangkan Gunung Thursina justru merendahkan dirinya
117
dengan penuh kerendahan hati. Maka Allah swt. lalu Berbicara
kepada Musa as, di puncka gunung ini, dikarenakan
ketawadhu’annya.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang tawadhu’, ia menjawab :
“Tawadhu’ adalah merendahkan sayap terhadap semua makhluk dan
bersikap lembut kepada mereka.”
Wahb berkata : “Teah tertulis dalam salah satu kitab suci,
“Sesungguhnya Aku mengambil sari zat dari tulang sulbi Adam,
dan Aku tidak menemukan hati yang lebih tawadhu’ daripada hati
Musa as. Maka Ku pilih ia dan Aku aku berbicara langsung
dengannya.”
Ibnul Mubarak mengatakan : “Kesombongan terhadap orang
kaya dan rendah hati terhadap yang miskin adalah bagian dari
sifat tawadhu’.
Au Yazid ditanya : “Bilakah seseorang mencapai sifat
tawadhu?”
Dijawabnya : “Jika ia tidak menisbatkan dirinya pada suatu
maqam dan haal, serta menganggap bahwa tidak seorang pun di
antara ummat manusia di dunia ini yang lebih buruk dari
dirinya.”
Dikatakan : “Tawadhu’ adalah anugerah Allah yang tidak
pernah diiri dengki orang dan kesombongan adalah penderitaan
yang tidak membangkitkan belas kasihan. Kemudian terletak pada
sikap tawadhu’ dan orang yang mencari kemuliaan dalam
kesombongan tidak akan pernah mendapatkannya.”
Ibrahim bin Syaiban menegaskan : “Kehormatan terletak di
dalam sikap tawadhu’, kemuliaan di dalam takwa, dan
kemerdekaan di dalam qnaah.”
Abu Sa’id A’raby mengatakan, telah sampai kepadanya
tentang Sufyan ats-Tsaury yang berkata : “Ada lima macam
manusia termulia di dunia ini : Ulama yang zuhud, seorang faqih
yang Sufi, seorang kaya yag rendah hati, seorang fakir yang
bersyukur, dan seorang bangsawan yang mengikuti sunnah.”
Yahya bin Muadz menegaskan : “Kerendahan hati adalah sifat
yang sangat baik bagi setiap orang, tapi ia paling baik bagi
seorang yang kaya. Kesombongan adalah sifat yang menjijikan
bagi setiap orang tetapi ia paling menjijikan jika terdapat
pada orang yang miskin.”
Ibnu Atha’ bekomentar : “Tawadhu’ adalah menerima
kebenaran dari siapapun datangnya.”
Dikisahkan, ketika Zaid bin Tsabit sedang mengendari kuda,
Ibnu Abbas datang mendekatinya agar dapat memegang kendali
kudanya. Maka Zaid lalu mencegahnya : “Jangan, wahai anak
118
paman Rasulullah!” Ibnu Abbas berkata : “Itulah yang
diperintahkan kepada kami terhadap para ulama kami.” Maka,
Zaid bin Tsabit meraih tangan Ibnu Abbas lalu menciuminya,
sambil berkata : “Ini adalah yang diperintahkan untuk kami
lakukan terhadap keluarga Rasulullah saw.”
Urwah bin az-Zubair menuturkan : “Ketika aku melihat Umar
bin Khaththab memikul segantang air di atas pundaknya, aku
berkata kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin, pekerjaan ini
tidak patut bagi Anda,” Beliau menjawab : “Ketika para
delegasi datang kepadaku, mendengarkan dan menaatiku, suatu
perasan sombong merasuk ke dalam hatiku, dan kini aku ingin
menghancurkannya. “ Beliau terrus memikul air an membawanya ke
rumah seorang wnita Anshar dan mengisikannya ke dalam genthong
milik wanita itu.”
Abu Nashr as-Sarraj at-Thausy mengabarkan : “Ketika Abu
Hurairah r.a. menjabat Amir di Madinah, ia pernah terlihat
sedang memikul seikat kayu di atas punggungnya, danberteriak-
teriak.” Beri jalan untuk amir.”
Abdullah ar-Razy menjelaskan : “Tawadhu adalah tidak
membeda-bedakan dalam memberikan pelayanan.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Barangsiapa yang masih
memberikan nilai kepada dirinya sendiri tidak akan merasakan
manisnya ibadat.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Keangkuhan terhadap oang
yang bersikap sombong terhadapmu dikaernakan kekayaannya,
adalah sikap tawashu’.
Seorang laki-laki datang kepada Ay-Syibly dan bertanyalah
kepadanya : “Sipakah engkau?” Ia menjawab : “Wahai tuanku,
sebuah titik di bawah (ba’).” Lalu laki-laki itu
berkata :”Engkau adalah saksiku, sepanjang engkau mengangap
rendah kedudukan dirimu sendiri.”
Ibnu Abbas r.a. mengatakan : “Salah satu bagian tawadhu’
adalah bahwa orang yang meminum sisa minuman yang ditinggalkan
oleh saudaranya.”
Bisyr mengajarkan : “Berilah salam kepada para pecinta
dunia dengan cara tidak memberi salam kepada mereka.”
Syu’aib bin Harba menuturkan : “Ketika aku sedang
melakukan thawaf di Ka’bah, seorang buruh laki-laki
menyikutku, dan aku menoleh kepdanya. Ternyata orang itu adalah
Fudhail bin ‘Iyadh, yang berkata : “Wahai Abu Shalih, jika
engkau berpikiran bahwa di antara manusia yang melakukan ibadat
haji ini ada yang lebih hina daripada dirimu atau diriku, maka
betapa buruknya pikiranmu itu.”
119
Salah seorang Sufi mengatakan : “Aku melihat seorang laki-
laki ketika sedang melakukan thawaf di Ka’bah. Ia sedang
dikelilingi oleh orang-orang yang menjunjung dan memujinya.
Karena ulah mereka itu, hingga menghalangi orang lain dari
melakukan thawaf. Sedang beberapa waktu setelah itu, kau
melihat ia meminta-minta kepada orang-orang yang lewat di
sebuah jembatan di Baghdad. Aku terkejut dan heran. IA lalu
berkata kepadaku : “Aku dulu membanggakan diri di tempat di
mana manusia-manusia mestinya merendahkan diri, maka Alalh swt.
lalu menimpakan kehinaan kepadaku di tempat di mana manusia
berbangga diri”
Ketika Umar bin Abdul Aziz mendengar bahwa salah sorang
putranya telah membeli sebuah permata yang sangat mahal seharga
seribu dirham. Beliau lalu menulis surat kepadanya : “Aku
telah mendengar bahwa engkau telah membeli sebutir permata
seharga seribu dirham. Jika surat ini telah sampai kepadamu,
juallah cincin itu dan berilah makan seribu orang miskin.
Selanjutlah buatlah sebuah cincin seharga dua dirham, dengan
batu dari besi Cina, dan tulislah padanya, “Allah mengasihi
orang yang mengetahui harga dirinya yang sebenarnya.”
Dikatakan bahwa seorang budak dijual kepada seorang
penguasa dengan seharga seribu dirham!” Si penguasa bertanya :
“Apakah sifat-sifat itu?” Si budak menjawab : “Sifat yang
paling kecil diantaranya adalah behwa seandainya tuan membeli
saya dan kemudian menyayangi saya melebihi semua budak tuan a g
lain, saya tidak akan keliru memandang posisi saya yang
sesungguhnya; saya akan tetap sadar bahwa saya adalah budak
tuanku.” Maka penguasa itu jadi membelinya.
Dikatakan bahwa Jabir bin Hayawah berkomentar : “Ketika
Umar bin Abdul Aziz sedang berkhitbah, kutaksir-taksir pakaian
yang dikenakannya berharga sekitar duableas dirham saja, yang
terdiri dari jubah luar, surban, celana , sepasang sandal, dan
selendang.”
Dikatakan bahwa ketika Abdullah bin Muhammad bin Wasi”
berjalan dengan lagak tak terpuji, ayahnya berkata kepadanya :
“Tahukan kamu dengan harga berapa aku dulu membeli ibumu? Cuma
tiga ratus dirham. Dan ayahmu ini, semoga Allah tidak
memperbanyak jumlah manusia yang sepertinya di kalangan Kaum
Muslimin. Lanatas, dengan orang tua yang semacam ini, engkau
berjalan dengan lagak begitu?”
Hamdun al-Washshar berkata : “Tawadhu’ adalah engkau
tidak memandang dirimu dibutuhkan oleh siapa pun, baik di dunia
ini maupun di dalam hal Agama.”
120
Dikataka bahwa Abu Dzar dan Bilal – semoga Allah meridhai
mereka berdua – sedang bertengkar. Abu Dzar menghina Bilal
karena kulitnya yang hitam. Bilal mengadu kepada Rasulullah
saw. yang lalu bersabda, “Wahai Abu Dzar, sungguh!. masih ada
sifat Jahiliyah dalam hatimu.” Mendengar itu, Abu Dzar
menjatuhkan dirinya ke tanah dan bersumpah tidak akan
mengangkat kepalanya sampai Bilal menginjakkan kakinya pada
pipinya. Ia tidak bangun-bangun sampai bilal melakukan hal itu.
Ktika al-Hasan bin Ali r.a. berjalan melewati sekelompok
anak-anak yang sedang makan roti, mereka mengajaknya pula
makan. Beliau pun turun dari atas kendaraan dan makan bersama
mereka. Kemudian beliau membawa mereka ke rumah beliau,
mengajak mereka makan, memberi mereka pakaian, dan berkata :
“Aku berhutang budi kepada mereka, sebab mereka tidak
memperoleh lebih dari apa yang mereka tawarkan kepadaku,
sedangkan aku memeperoleh keuntungan labih dari mereka.”
Dikatakan : “Umar bin Khaththab r.a. membagi-bagikan bahan
pakaian yang berasal dari pampasan perang kepada para
sahabtnya. Beliau mengirmkan sepotong mantel buatan Yaman
kepada Mu’adz. Oleh Mu’adz mantel tersebut dijual dan
kemudian digunakan untuk membeli enam orang budak dan
memerdekakannya. Hal ini sampai kepada telinga Umar. Pada
pembagian bahan pakaian berikutnya, kepada Mu’adz diberikannya
bahan pakaian yang harganya lebih murah. Ketika Mu’adz
memprotesnya, Umar bertanya : “Mengapa protes?” Engkau telah
menjual bagianmu waktu pembagian yang lalu.” Mu’adz tetap
menuntut, “Apa urusannya dengan Anda? Berikan bagian saya,
sebab saya telah bersumpah akan mengenakannya pada kepala
Anda!” Umar berkata : “Inilah kepalaku di depanmu. Barang
yang usang sepatutnya di pasang pada barang yang usang. Pula.”

13.MELAWAN HAWA NAFSU

Firman Allah swt.


“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” )Qs. An-Naazi’aat :
40-1).
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a. (Jabir bin
Abdullah al-Khazrajy al-Nashari as-Sulamy (16sH-78 H/607 -697)
ikut berperang sebelas kali. Ia mempunyai majelis halaqah
ilmiah di Masjid Nabawi. Meriwayatkan 1.540 Haditst). Bahwa
Rasulullah saw. telah bersabda :
121
“Hal yang paling kutakutkan kepada ummatku adalah
mengumbar hawa nafsu dan melamun panjang. Mengumbar hawa nafsu
memalingkan manusia adari Al-Haq, sedang melamun panjang
membuat orang lupa pada akhirat. Karena itu, ketahuilah bahwa
melawan hawa nafsu adalah modal ibadat.” (H.r. Hakim dan
Dailamy).
Ketika salah seorang Syeikh ditanya tentang Islam, ia
menjawab : “Membabat nafsu dengan pisau perlawanan, Dan
ketahuilah bahwa bagi seseorang yang nafsunya telah bangkit,
maka pencerahan hati yang menyebabkan sukacita jiwanya di
hadalapan Allah swt. akan hilang.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Kunci ibadat adalah
tafakur. Tanda terrcapainya tujuan adalah perlawanan terhadap
hawa nafsu dengan mninggalkan keinginan-keinginannya.”
Ibnu Atha’ berkta : “Nafsu itu dengan sendirinya
cenderung pada perilaku yang jahat. Pada saat yang sama, si
hamba diperintahkan agar bersabar di dalam beribadat. Jadi,
hawa nafsu berperilaku sesuai dengan wataknya dengan cara
menetang, dan si hamba menolak hawa nafsu dengan perjuangan
melawan tuntutan-tuntutannya yang jahat.”
Al-Junayd berkomentar : “Nafsu amarah yang terus menerus
mendorong pada kejahatan adalah penyeru kepada kebinasaan,
pembantu musuh, pengikut hawa nafsu, dan diharu biru dengan
berbagai macam kejahatan.”
Abu Hafs mengajarkan : “Barangsiapa tidak mencurigai diri
sendiri dalam setiap waktu, tidak menetangnya dalam setiap
keadaan ruhani, dan tidak memaksakan kepada diri sendiri apa
yang tidak sesuai dalam hari-harinya, adalah manusia yang
tertipu. Dan barangsiapa memberikan perhatiankepada nafsu dan
menyetujui sebagian darinya identik dengan menghancurkan diri
sendiri. Bagaimana bisa membenarkan bagi orang yang memiliki
akal untuk menyenangi diri sendiri? Sedangkan Yusuf a.s. yang
mulia, putra dari keturunan yang mulia, Ya’qub dan Ishaq bin
Ibrahim as. Berkata : “Aku tidak membersihkan diriku dari
kesaahan; sesungguhnya nafsu itu cenderung kepada kejahatan.”
(Qs. Yusuf : 53).
Al-Junayd menuturkan, : “Suatu malam aku tidak dapat
tidur, lalu aku bangun untuk melakukan wirid. Tetpai aku tidak
menemukan kemanisan atau kenikmatan yang bisanya kurasakan.
Maka Aku menjadi bingung dan berharap untuk dapat tidur saja,
tetapi tetap tidak dapat. Lalu aku duduk, namun demikian aku
tidak dapat duduk nyaman. Maka kubuka jendela dan aku pergi ke
luar. Klihat seorang laki-laki berselimutkan mantel sedang
122
berbaring di jalan. Ketika ia menyadari kehadiranku, ia
mengangkat kepalanya dan berkata : “Wahai Abul Qasim, lihatlah
waktu!” Aku menjawab : “Tuanku, tidak da ketentuan waktu.”
Ia berkata : “Bahkan aku sudah memohon kepada si Pembangkit
hati agar menggerakan hatimu kepadaku. “Aku berkata : “ Dia
telah melakukannya. Jadi, apa kemauan anda ?” Aku menjawab :
“ Jika nafsu mentang hawanya, maka penyakitnya menjadi
obatnya.” Kemudian laki-laki itu berpaling dan berkata kepada
dirinya sendiri, :Dengar (hai nafsu), aku telah menjawab
pertanyaanmu tujuh kali dengan jawaban seperti itu, tapi engkau
menolak menerimanya sampai engkau mendengarnya dari al-Junayd,
dan sekang engkau telah mendengarnya.” Kemudian ia berlalu
meninggalkan aku. Aku tidak tau siapa dirinya dan tidak pernah
bertemu dengannya lagi.”
Abu Bakr ath-Thamastany berkata : “Nikmat terbesar adalah
jika engkau keluar dari dirimu sendiri, sebab ia adalah tabir
terbesar antara dirimu dengan Allah, swt.”
Sahl bin Abdulllah mengatakan : “Tidak ada ibadat bagi
Allah selain yang lebih utama dari menentang hawa nafsu.”
Ketika ditanya tentang perkara yang paling dibenci Allah
swt. Ibnu Atha’ menjawab : “Memberikan perhatian kepada diri
sendiri dengan segala keadaannya. Lebih buruk dari itu adalah
mengharapkan imbalan atas perbuatan-perbuatannya.”
Ibrahim al-Khawwa menuturkan : “Aku sedang berada di atas
gunung al-Lakam, ketika aku melihat segerombolan pohon delima,
timbul keinginanku untuk mencicipannya sebuah. Lalu aku naik ke
atas memetik sebuah dan membelahnya, akan tetapi rasanya asam.
Lalu aku melihat seorang glaki-laki terbaring di tanah,
dikerumuni lebah. Aku berkata kepadanya :
“Assalamu’alaikum.” Ia menjawab : “Wa’alaikum salam, wahai
Ibrahim.” Aku bertanya : “Bagaimana engkau mengenalku?” Ia
menjawab : Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari manusia
yang mengenal Allah swt. Aku berkata : “Kulihat engkau berada
dalam keadaan bersama Allah swt.” Mengapa engkau tidak meminta
kepada-Nya agar melindungimu dari gangguan lebah-lebah itu?”
Ia berkata : “Dan engkau, kulihat juga berada dalam keadaan
bersama Allah swt. Mengapa engkau tidak meminta kepada-Nya juga
agar melindungimu dari keinginan makan delima?” Manusia akan
mengalamai rasa sakit dari sengatan delima di akhirat,
sementara sengatan lebah hanya terasa sakit di dunia.” Aku pun
pergi berlalu meninggalkan orang itu.”
Dalam satu riwayat Ibrahim bin Syaiban mengabarkan :
“Selama empat puluh tahun aku tidak pernah bermalam satu
123
kali pun di bawah atap rumahku atau di tempat tertutup yang
lain. Namun Terkadang aku masih menginginkan agar bisa makan
‘ada dengan kenyang. Sayang, keinginanku itu tidak pernah
terpenuhi. Pada suatu hari, ketika aku berada di Syam,
seseorang menghidangkan semangkok penuh ‘adas kepadaku. Aku
makan isinya dan kemudian berangkat. Di tengah jaan aku melihat
botol-botol berisi semacam cairan, yang kukira adalah cuka. Di
antara mereka menegurku : “Bagaimana pendapatmu?” Ini adalah
botol-botol anggur, dan ini guci anggur!” Aku berkaa pada diri
sendiri, “Adalah kewajibanku ....”Kemudian aku pun masuk ke
dalam warung dan menumpahkan isi-isi botol serta guci-guci itu.
Orang itu mengira bahwa aku menumpahkan isi botol-botol
itu atas perintah Sultan. Tapi ketika mengetahui bahwa itu
hanya inisitaifku sendiri, ia lalu membawaku kepada Ibnu
Thaulun yang memerintahkan agar aku didera duaratus kali dan
dimasukan ke dalam penjara. Aku tinggal di penjara beberapa
waktu lamanya sampai Abu Abdullah al Maghriby, guruku, datang
ke negeri itu dan membebaskanku. Ketika melihatku, beliau
bertanya : “Apa yang telah engkau perbuat?” Aku menjawab :
“Satu perut yag penuh berisi ‘adas dan duaratus deraan!”
Beliau berkata : “Engkau telah diselematkan dari segala
tuduhan di akhirat.”
Dalam suatu riwyat Sari as-SaqathY pernah menuturkan :
“Selama tiga puluh tahun, nafsuku telah meminta kepadaku
sepotong wortel yang dicelup dalam madu kurma, tetapi aku belum
sempat memakannya!” Saya dengar Abu Abbas ala Baghdady
menuturkan bahwa kakeknya pernah berkata : “Bencana seorang
hamba adalah rasa pusnya terhadap keadaan dirinya.”
Isham bin Yusuf al-Balky menghadap kepada Hatim al-Asham,
ia pun diterima. Seseorang bertanya : “Mengapa Anda
menerimanya?” Hatim menjawab : “Dengan menerimanya aku
merasakan rasa hinaku sekaligus merasakan kebanggaannya.
Sebaliknya, apabila aku menolaknya, aku merasa kebangganku
sekaligus merasakan rasa hinanya. Maka aku memilih
kebanggaannya daripada kebangganku dan kehinaanku daripada
kehinaannya.”
Seseorang berkata kepada salah seorang Sufi : “Aku ingin
melaksanakan ibadat haji dalam keadaan menyepi (tajrid).” Sang
Sufi menjawab : “Lebih tajridlah sifat alpa dari dalam hatimu,
kekurang-seriusan dari dirimu, dan perkataan yang sia-sia dari
lidahmu; setelah itu tempuhlah ke mana saja engkau mau.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Orang yang melewati
malam harinya dengan cukup baik akan memperoleh balasan di
124
siang harinya, dan orang yang melewati siang dengan cara yang
baik akan memperoleh balsan di malam harinya. Barangsiapa tulus
dalam menjauhi hawa nafsu akan terbebas dari beban memberi
nafsu makanan. Allah swt. bersifat Maha Pemurah hingga tidak
berkehendak untuk menghukum hati yang menjauhi hawa nafsu demi
Dia.”
Allah swt. mewahyukan kepada Daud as. “Wahai Daud,
peringatkanlah para sahabatnya terhadap sikap menuruti hawa
nafsu, sebab hati yang terikat kepada hawa nafsu dunia tertutup
dari-Ku.”
Dikatakan bahwa seseorang sedang duduk melayang di udara,
dan seseorang bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau bisa
melakukan hal ini?” Ia menjelaskan : Aku meninggalkan hawa
nafsu, karenanya Allah swt. menjadikan udara tunduk kepadaku.”
Dikatakan : “Jika (pemenuhan) seribu hawa nafsu ditawarkan
kepada seorang Mukmin, niscaya ia akan meolaknya dengan rasa
takut kepada Allah Swt. Tetapi jika pemenuhan satu kehendak
hawa nafsu ditawarkan kepada seorang pndosa, pemenuhan itu akan
mengusir darnya rasa takut kepada Allah swt.” Dikatakan
juga, : “Janganlah engkau tempatkan kendalimu di tanag nafsu,
sebab ia pasti membawamu pada kegelapan.”
Yusuf bin Asbat berkata : “Hanya takut yang sangat atau
kerinduan yang bergelora sajalah yang bisa memadamkan
“NAFSU”.
Al-Khawwa berkata : “Barangsiapa meninggalkan hawa nafsu,
tapi tidak menemukan pengganti dalam hatinya adalah seorang
pendusta dalam meninggalkan hawa nafsu itu sendiri.”
Ja’far bin Nashr mengabarkan : “Al-Junayd memberiku uang
satu dirham dan menyuruhku membeli semacam buah kenari. Kubeli
beberapa buah, dan ketika saat berbuka puasa tiba, ia memecah
sebuah dan memakan isinya. Tapi kemudian ia memuntahkannya dan
menangis. : “Singkirkan buah-buah ini.” Pintanya> Ketika aku
bertanya apa yang telah terjadi, ia menjawab : “Sebuah suara
berseru dalam hatiku : “Tidakkah engkau merasa malu? Engkau
menjauhi satu nafsu demi untuk-Ku, tapi kemudian mengambilnya
lagi!.”
Kaum Sufi bersyair :
Huruf Nun dari kehinaan (haan) dari hawa..
Telah dicuri.
Menyerah kepada hawa nafsu
Jatuh dalam kehinaan.

14.D E N G K I
125
Allah set. Berfirman :
“Katakanlah : “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai
sebuah dari kejahatan makhluk-Nya.” Kemudian dia berfirman :
“Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki.”
(Qs. Al-Falaq : 1,2 dan 5.).
DI sini, Allah menutup Surat, yang dijadikan sebagai
perlindungan dengan menyeburkan kata “Dengki”.
Diriwayatkan dari Ibnu Ma’ud bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Ada tiga hal yang menjadi akar semua dosa. Jagalah dirimu
dan waspadalah terhadap ketiganya. Waspadalah terhadap
kesombongan, sebab kesombongan telah menjadikan iblis menolak
bersujud kepada Adam. Waspadalah terhadap kerakusan, sebab
kerakusan telah menyebabkan Adam memakan buah dari pohon
terlarang. Dan jagalah dirimu dari dengki, sebab dengki telah
menyebabkan salah seorang anak Adam membunuh saudaranya.”
(H.r. Ibnu Asakir).
Salah seorang Sufi mengatakan : “Orang yang dengki adalah
orang yang tidak beriman, sebab ia tidak merasa puas dengan
takdir Allah Yang Maha Esa,” Dikatakan : “Orang yang dengki
tidak pernah berjaya.”
Disebutkan dalam firman Allah swt. : “Katakanlah,
“Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
tampak maupun yang tersembunyi.” (Qs. Al-A’raf :33).
Dikatakan bahwa : “perbuatan keji yang tersembunyi itu
adalah dengki.”
Dalam beberapa kitab tertulis bahwa : “Orang yang dengki
adalah musuh nikmat-Ku.”
Dikatakan pula : “Pengaruh dengki tampak padamu sebelum ia
tampak pada musuhmu.”
Al-Asmu’i menuturkan : “Aku melihat seorang Badui yang
berumur seratus dua puluh tahun, dan aku berkata : “Alangkah
panjangnya umur Anda!.” Ia menjawab : “Aku telah meninggalkan
dengki, hingga umurku panjang.”
Ibnul Mubarak mengatakan : “Segala puji bagi Allah, Yang
tidak menempatkan dengki dalam hati pemimpinku sebagaimana yang
telah ditempatkan-Nya dalam hati pendengkiku.”
Dalam satu Hadits dikatakan : “Ada seorang malaikat di
langit kelima yang amal perbuatan seseorang manusia melaluinya,
dan ia bersinar kemilau seperti matahari. Malaikat itu
memerintahkan : “Berhentilah karena kau adalah malaikat

126
dengki. Pukullah pelaku dengki pada mukanya, sebab ia adalah
seorang pendengki!.”
Mu’awiyah bin Abu Sufyan berkata : “Aku mampu
menyenangkan semua orang kecuali pendengki. Ia tidak pernah
merasa puas dengan apa pun selain berhentinya kenikmatan bagi
semua orang.”
Dikatakan : “Seorang pendengki adalah seorang yang paling
zalim. Ia tidak membiarkan sesuatu pun tetap tinggal di
tempatnya.”
Umar bin Abdul Aziz menegaskan : “Aku tidak pernah melihat
orang yang lebih zalim yang sama dengan kezaliman pendengki.
Sebab ia senantiasa berada dalam keadaa sengssara dan nafas
sesak.”
Dikatakan : “Di antara tanda-tanda seorng pendengki adalah
penjilat orang lain manakala orang itu berada di dekatnya,
memfitnahnya manakala tidak berada di dekatnya, dan merasa
senang apabila ada bencana yang menimpa diri orang lain.”
Mu’awiyah berkata : “Tidak ada sifat-sifat kejahatan yang
lebih tegak daripada dengki. Orang yang dengki binasa sebelum
orang yang didengkinya.”
Dikatakan bahwa Allah Swt. mewahyukan kepada Sulaiman putra
Daud, as. “Kuperintahkan engkau agar melakukan tujuh perkara,
“Janganlah engkau menggunjing dan mendengki salah seorang
hamba-Ku yagn ssaleh!” Sulaiman menjawab : “”Tuhanku”,
cukuplah perintah itu bagiku.”
Dikatakan bahwa Musa as. Melihat seorang manusia di dekat
“Arasy. Karena Musa ingin menempati kedudukan itu, beliau
bertanya, “Apa amalnya?” Pertanyaanya itu dijawab : “Ia
tidak pernah dengki terhadap manusia karena anugerah Allah swt.
kepadanya.”
Dikatakan : “Seorang pendengki menjadi bingung bila
melihat adanya rahmat atas diri orang lain dan merasa senang
jika melihat adanya kekurangan pada diri orang lain.”
Dikatakan : “Jika engkau ingin selamat dari seorang
pendengki, sembunyikan urusanmu darinya.”
Dikatakan pula : “Seorang pendengki sangat marah terhadap
manusia yang tidak mempunyai dosa, dan bersikap kikir terhadap
yang tidak ia miliki.”
Dikatakan juga : “Waspadalah! Jangan sampai engkau
mengharapkan untuk mencintai orang yang mendengkimu, sebab ia
pasti tidak akan menerima kebaikanmu.”
Kata salah seorang Sufi : “Apabila Allah swt. Berkehendak
memberikan kekuasaan kepada seorang musuh yang tak mengenal
127
kasihan, terhadap salah seorang hamba-Nya, maka kekuasaan itu
diberikan-Nya kepada pendengkinya.”
Dalam syair Sufi :
Cukuplah bagimu kisah tentang seorang
Yang dikasihani oleh para pendengkinya.
Mereka juga membacakan syair berikut :
Semua permusuhan terkadang diharapkan
Kematiannya
Keculai permusuhan dari orang
Ang melawanmu dengan rasa dengki.
Mereka juga membacakan syair :
Manakala Allah berkehendak menebar kebajikan
Digulunglah lidah pendengkinya.
Ibnul Mu’tazz mengatakan :
Katakan pada pendengki Ketika nafasnya terengah-engah,
“Hai si dzalim!.”

128
15.
PERGUNJINGAN

Allah swt. berfirman :


“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian
yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Menerima Taubat lagi Maha
Penyayang.” (qs, Al-Hujurat :12).
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa ada seorang laki-
laki yang ikut duduk bersama Rasulullah saw. kemudian ia
bangkit berdiri dan pergi. Salah seorang yang hadir berkata :
“Alangkah lemahnya orang itu.” Rasulullah saw. bersabda :
“Engkau telah memakan daging saudaramu ketika engkau
menggunjingnya.”
Allah swt. mewahyukan kepada Musa, as. : “Barangsiapa
meninggal dengan berTaubat dari menggunnjing, akan
menjadi orang terakhir yang masuk surga, dan barangsiapa
meninggal dengan berterus-terusan melakukan gunjingan itu,
akan menjadi orang yang pertama masuk neraka.”
Auf menuturkan : “Aku datang kepada Ibnu Sirin, aku aku
menggunjing Al-Hallaj. Ibnu Sirin berkata :”Sesungghnya Allah
swt. adalah hakim yang paling adil, maka sebanyak yag
diambilnya dari al-Hallaj, sebanyak itu pula yang diberikan-
Nya kepadanya. Ketika engkau berjupa dengan Allah awt. Di
129
akhirat nanti, dosa sekecil apapun yang telah dilakukan al-
Hallaj akan menjadi lebih besar bagimu daripada dosa
terbesar yang teah dilakuka al-Hallaj.”
Diriwaytkan bahwa Ibrahim bin Adham diundang ke
sebuah pesta, dan ia pun bersedia menghadirinya. Ketika
orang-orang membicarakan seseorang yang tidak hadir,
mereka mengatakan : “Seorang yang kurus kering dan tidak
meenarik.” Ibrahim berkata : “Inilah yang dilakukan nafsuku
terhadap diriku.” Kutemukan diriku dalam perkumpulan
dimana pergunjingan dilakukan.” Ia lalu pergi begitu saja,
setelah itu ia tidak makan selama tiga hari.
Dikaakan : “Barangsiapa menggunjing orang lain adalah
seperti orang yang menyiapkan ketapil. Ia menembak amal-
amal baiknya sendiri dengan perbuatannya itu ke Barat dan
ke Timur. Ia menggunjing seseorang dari Khurasan, seorang
lagi dari Hijaz, seorang lagi dari Turki, ia mencerai-beraikan
amal-amal baiknya sendiri, dan ketika berdiri, tak satu pun
amal baiknya.”
Dikatakan, : “Seorang hamba akan diberi catatan amalnya
pada hari Kiamat, tetapi ia tidak melihat satu pun amal
baiknya di dalamnya. Ia akan bertanya : “Di mana shalat,
puasa dan amal-amal ibadatku yang lain?” Dikatakan
kepadanya : “Semua amalmu telah hilang karena engkau
terlibat dalam pergunjingan.”
Dikatakan : “Barangsiapa digunjing, Allah mengampuni
separo dosanya.”
Sufyan ibnul Husain mengatakan : “Aku sedang duduk-
duduk dengan Iyas bin Mu’awiyah, dan menggunjing
seseorang. Iyas bertanya kepadaku : “Apakah engkau telah
menyerang orang-orang Romawi atau Turki tahun ini?” Aku
130
menjawab : “Tidak” Ilyas berkata : Orang-orang Turki dan
Romawi telah selmat dari seranganmu, sementara saudaramu
sendiri yang Muslim tidak!” Dikatakan : “Seorang manusia
akan diberi catatan amalnya di hari Kiamat, dan ia
menemukan di dalamnya amal-amal baik yag tidak pernah
diperbuatnya. Dikatakan kepadanya : “Ini adalah imbalan bagi
gunjingan orang terhadapmu, yang tidak kamu ketahui.”
Sufyan ats-Tsauri ditanya tentang sabda Nabi saw. :
“Sesungguhnya Alalh membenci keluarga pemakan daging
manusia.” (H.r. Baihaqi). Sufyan mengomentari : “Yang
dimaksud di sini adalah orang-orang yang menggunjing,
mereka memakan daging manusia.”
Ketika menggunjing ditanyakan di hadapan Abdullah ibnul
Mubarak, ia berkata : “Jika aku menggunjing seseorang
niscaya aku akan menggunjing kedua orang tuaku, sebab
mereka yang paling berhak atas amal-amal baiku.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Jadikanlah keuntungan
seorang Muslim terhadap dirimu berupa tiga hal ini : Jika
engkau tidak bisa membantunya, maka janganlah engkau
mengganggunya; Jika engkau tidak bisa memberinya
kegembiraan, maka janganlah engkau membuatnya sedih;
Jika engkau tidak bisa memujinya, maka janganlah engkau
mencari-cari kesalahannya.
Dikatakan kepada Hasan al-Bashry : “ Si Fulan telah
menggunjing Anda”, maka al-Hasan lalu mengirimkan kue-kue
kepada orang yang menggunjingnya, dengan pesan : “Aku
mendengar bahwa engkau telah melimpahkan amal baimu
kepadaku. Aku ingin membalas kebaikanmu.”
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah
saw. telah bersabda : “Jika orang melepaskan tabir rasa malu
131
dari wajahnya, niscaya tidak akan ada masalah pergunjingan
bagimu.” (H.r. Ibnu Abdi dan Abu Asy-Syeikh).
Al-Junay menuturkan : “Aku sedang dudukduduk di masjid
asy-Syuniziyah, menunggu jenazah agar aku bisa ikut
melaksanakan shalat jenazah. Orag-orang Baghdad dengan
berbagai kelasny duduk menunggu iringan tersebut. Lalu aku
melihat seorang miskin yang kelihatan bekas ibadatnya
mengemis dari orang banyak. Aku berkata kepada diriku
sendiri : “Jika orang ini mau bekerja untuk memperoleh
rezekinya, itu akan lebih baginya.” Ketika aku kembali ke
rumah, maka seperti biasanya, aku mulai melakukan wirid di
malam hari, menangis dan shalat, serta amalan-amalan
lainnya. Tetapi semua wiridku itu terasa memberatkan jiwaku,
aka aku lalu tidak dapat tidur, dan hanya duduk-duduk saja.
Ketika aku terjaga, kantuk datang kepadaku, aku melihat si
pengemis itu. Kulihat orang-orang sedang meletakkan
tubuhnya di atas sehamparan kain yang lebar, dan mereka
memerintahkan kepadaku : “Makanlah daging orang ini,
karena engkau telah menggunjingnya.” Keadan orang itu
diungkapkan kepadaku, dan aku memprotes, “Aku tiak
menggunjingya.” Aku hanya mengatakan sesuatu kepada
diriku sendiri.” Lalu dikatakan keapdaku : “Perbuatan seperti
itu pun tidak layak. Pergilah kepada orang itu dan meminta
maaflah!” Paginya aku terus mencari orang itu sampai aku
menemukannya sedang mengumpulkan dedaunan yang
tersisa dalam air yag digunakan untuk mencuci sayur mayur.
Ketika aku memberi salam kepadanya, ia bertanya : “Wahai
abul Qasim, apakah engkau atang ke sini lagi?” Aku menjawab
: “Tidak” Ia berkata : “Semoga Allah mengampuni dosa kami
dan dosamu.”
132
Abu Ja’far al-Baklhy berkata : “Seorang pemuda dari
kalngan warga Balkh sedang berada di antara kami, ia
bermujahadah dan mengabdikan dirinya untuk melayani
Allah. Hanya saja ia terus menerus terlibat dalam gunjingan.
Ia suka mengatakan : “Si Fulan dan si Fulan itu demikian.”
Pada suatu hari aku melihatnya sedang mengunjungi
beberapa tukang memandikan jenazah yang disebut orang
sebagai “orang-orang banci”. Ketika pemuda itu meninggalkan
mereka, aku bertanya kepadanya : “Wahai Fuan, apa yang
telah terjadi padamu?” Ia menjawab : “Begiliha akibatnya atas
perbuatanku mengunjing. Hal itu telah emncampakkanku
dalam kehinaan ini. Aku telah tergila-gila kepada salah
seorang banci dan aku melayani mereka atas namanya.
Semua amal ibadatku sebelumnya telah musnah. Maka
doakan agar Allah swt.mengasihiku!.”

16.
QANA’AH

Allah swt. berfirman :


“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki-
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik.” (Qs. An-Nahl : 97).
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah
saw. telah bersabda :
“Qana’ah (menerima pemberian Allah) adalah harta yng
tidak pernah sirna.” (Hr. Thabrani).
Diriwayatkan oleh Abu Hrairah r.a. bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
133
“Jadilah orang yang wara’ maka engkau akan menjadi
orang yang paling berbakti kepada Allah swt. Jadilah engkau
orang yang menerima (pemberian-Nya), engkau akan menjadi
orang yang paling bersyukur. Cintailah manusia sebagaimana
(kamu mencinta0 dirimu sendiri, maka engkau menjadi orang
yang beriman. Perbaikilah dalam hidup bertetangga dengan
tetanggamu, engkau akan menjadi orang Muslim. Dan
sedikitlah tertaa, sebab banyak tertawa mematikan hati.” (H.r.
Baihaqi).
Dikatakan : “rang-orang miskin itu mati, kecuali mereka
yang dihidupkan Allah dengan kebesaran qana’ah.”
Bisyr al-Hafi berkata : “Qana’ah adalah seorang raja yang
hanya tinggal di dalam hati yang beriman.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkomentar : “Hubungan
Qana’ah dengan ridha adalah seperti hubungan antara
maqam wara’ dengan zuhud. Qana’ah adalah awal ridha, dan
wara’ adalah awal zuhud.”
Dikatakan : “Qana’ah adalah sikap tenang dalam
menghadapi hilangnya sesuatu yang biasa ada.”
Abu Bakr al-Maraghy menjelaskan : “Orang yang cerdas
adalah orang yang menagani dunianya, dengan qana’ah dan
tidak bergegas-gegas, tapi mengurusi urusan akhiratnya
dengan penuh kerakusan dan ketergesaan, menangani urusan
agamanya denga ilmu dan ijtihad.”
Abu Abdullah bin Khafif berkata : “Qana’ah adalah
meningkatkan keinginan terhadap apa yang telah hilang atau
yang tidak dimiliki, dan menghindari ketergantungan keapda
apa yang dimiliki.”

134
Dikaakan mengenai firman Allah swt. “Allah akan
menganugerahi mereka rezeki yang berlimpah)>” (Qs. Al-
Hajj : 88), bahwa yang dimaksud di sini adalah qana’ah.
Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menegaskan : “Qana’ah
adalah kepuasan jiwa terhadap rezeki yang diberikan.”
Dikatakan : “Qana’ah adalah menemukan kecukupan di
dalam apa yang ada dan tidak menginginkan apa yang tiada.”
Wahb menuturkan : “Kehormatan dan kekayaan berkelana
mencari teman. Mereka berjumpa dengan qaba’ah dan
mereka hinggap menetap apdanya.”
Dikatakan : “Orang yang merasa qana’ah akan
menemukan bubur yang lezat.” Dikatakan juga, “Orang yag
selalu kembali kepada Allah swt. dalam segala hal, akan
dianugerahi qana’ah.”
Dalam sebuah cerita disebutkan ketika Abu Hazim
melewati seorang penjual daging yang mempunyai sejumlah
daging berlemak, si penjual berkata kepadanya : “Ambillah
sedikit, wahai Abu Hazim, karena daging ini berlemak!.” Abu
Hazim menjawab, “Aku tidak membawa uang.” Si pedagang
berkata : “Aku beri engkau waktu untuk mebayarnya.” Abu
Hazim menjawab : “Jiwaku masih lebih baik menunggu
daripadamu.”
Salah seorang Sufi ditanaya : “Siapakah orang yang paling
qana’ah di antara ummat manusia>” Ia menjawab : “Yaitu
orang yang paling berguna bagi ummat manusia dan paling
sedikit upahnya.”
Dikatakan dalam kiab Zabur : “Orang yang Qana’ah
adalah orang yang kaya, sekalipun ia dalam keadaan lapar.”
Dikatakan : “Allah swt. menempatkan lima perkara dalam
lima tempat : Keagungan dalam ibadat, kehinaan dalam dosa,
135
kehidmatan dalam bangun malam, kebijaksanaan dalam perut
kosong, dan kekayaan/cukup dalam qana’ah.”
Ibrahim al-Maristany berkata : “Lakukanlah pembalaan
terhadap kerakusanmu dengan qana’ah sebagaimana engkau
membalas dendam kepada musuhmu dengan qisas.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Orang yang qana’ah
selamat dari orang-orang semasanya dan berjasa atas semua
orang.”
Dikatakan, Orang yang qana’ah akan menemukan istirah
dari kecemsan dan berjaya atas segala sesuatu.”
Al-Kattany mengatakan : “Barangsiapa menjual kerakusan
demi qana’ah berarti telah memperoleh keagungan dan
kebesaran.”
Dikatakan : “Kesedihan dan rasa gelisah menjadi panjang
bagi orang yang matanya mengejar apa yang dimiliki orang
lain”
Kaum Sufi sering membacakan syair berikut :
Betapa indahnya pemuda.
Dari hari-hari yang lapar
Lebih terhormat dari kekayaan yang disetai lapar.
Dalam suatu cerita disebutkan : “Seorang laki-laki melihat
seorang yang bijaksana sedang mengunyah potongan-
potongan sayur yang dibuang di tempat air, dan berka
kepadanya,: “Jika saja Anda mau mengabdi kepada Sultan,
niscaya Anda tidak perlu makan-makanan begini. Orang bijak
itu menjawab : “Dan Anda, seandainya saja Anda mau
berqana’ah dengan makanan begini, niscaya Anda tidak pelu
mengabdi kepada Sultan.”
Mengenai firman Allah swt. :

136
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-
benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan.” (Qs. Al-
Infithar :13).
Dikatakan bahwa kata na’im adalah qana’ah di dunia.
Dalam Ayat berikutnya :
“Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-
benar berada dalam neraka.” (Qs. Al-Infithar :14).
Kata Jahim berarti kerakusan di dunia.
Mengenai firman Alalh swt. :
“Tahukah kamu, apakah jalan yang mendaki lagi sukar
itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (Qs. Al-Balad
:12-3).
Dikatakan bahwa ayat ini berarti : Membebaskan orang
dari kerendahan sifat tamak.”
Dikatakan bahwa firman Allah swt. : “Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul
bait.” (Qs. Al-Ahza :33), berarti, “menghilangkan sifat kikir dan
iri.”
Dan firman-Nya selanjutnya : “Dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.” (Qs. Al-Hazab :33)) berarti : Melalui sifat
murah hati dan tidak pelit dalam memberi.”
Mengenai firman Allah Swt. : “Ia berkata : “Ya Tuhanku,
ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang
tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku.” (Qs.
Shaad:35). Berarti : “Anugerahkanlah kepadaku derajat
qana’ah yang dapat membuatku sendiri, dibanding sibuk
dengan pesoalanku, yang dengannya aku akan merasa ridha
dengan ketentuan-Mu.”
Dikatakan mengenai firman Allah swt. : “Aku (Sulaiman)
pasti akan menghukum (burung hud-hud) dengan hukuman
137
yang pedih.” (Qs. An-Naml :21), bahwa ayat ini berarti : “Aku
akan menaggalkan darinya sifat qana’ah dan memberinya
cobaan dengan sifat rakus.” Yakni : “Aku akan memohon
kepada Allah swt. agar melakukan hal ini terhadapnya.”
Abu Yazid Bisthamy ditanya : “Bagaimana Anda bisa
sampai pada kedudukan sekarang ini?” Ia menjawab : “Aku
mengumpulkan harta benda dunia ini lalu mengikatnya
dengan tali qana’ah. Lalu aku menempatkan mereka dalam
ketepil keikhlasan dan melontarkannya ka lautan putus asa.
Maka aku pun bisa istirahat.”
Abdul Wahahb, paman Muhammad bin Farhan,
menuturkan, : “Aku sedang duduk-duduk bersama al-Junayd di
sat musim haji, dan disekelilingnya ada sekelompok besar
orang non Arab, termasuk beberapa orang yang telah
dibesarkan di lingkungan rang Arab. Seseorang datang
kepadanya dengan membawa uang limaratus dinar, yang
diletakkannya di hadapan al-Junayd, lalu Junayd berkata, :
“Sebarkan pada orang-orang fakir.” Sambil bertanya
kepadanya : “Apakah kamu masih punya uang selain ini?” Ia
menjawab : “Ya, aku masih punya banyak.” Al-Junayd
bertanya kepadanya : “Apakah kamu ingin memperoleh lebih
banyak dari yang kamu miliki sekarang?” Ia menjawab : “Ya”.
Maka al-Junayd lalu berkata kepadanya : “Ambillah kembali
uangmu ini, sebab engkau lebih memerlukannya daripada
kami.” Junayd tidak menerimanya.”

17.
TAWAKKAL

Firman Allah swt. berfirman :


138
“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Qs. Ath-Thalaq:3).
“Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang
Mukmin bertawakkal.” (Qs. Ali Imran:160).
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal,
jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Qs. Al-
Maidah:23).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa
Rasulullah saw. bersabda :
“Telah diperlihatkan kepadaku semua ummat di tempat
berkumpul haji. Kulihat bahwa ummatku mememnuhi lembah
dan gunung-gunung. Jumlah dan penampilan mereka
mengagumkan hatiku. Aku ditanya : “Apakah engkau ridha?”
Aku menjawab : “Ya”. Bersama dengan mereka akan ada tujuh
puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab. Mereka
adalah orang-orang yang tidak pernah berobat dengan besi
panas, tidak pernah mencari ramalan dengan burung, dan
idak penah pula mencuri; dan mereka hanya bertawakkal
kepada Allah.” Mendengar perkataan Nabi itu, Ukasyah bin
Muhsan al-Asady bangkit berdiri dan meminta, “Wahai
Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar memasukan aku ke
dalam salah seorang di antara mereka.” Rasulullah lalu
berdoa>’ Ya Allah, jadikanlah ia salah seorang dari mereka.”
Yang lain bangkit pula, juga berkata : “Doakan juga saya,
wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, : “Engkau telah didahului
akasyah.” (H.r. Ahmad).
Abu Ali ar.Rudzbary menuturkan : “Aku berkata kepada
‘Amar bin Sinan : “Ceritakan kepadaku tentang Sahl bin
Abdullah! Maka ia pun berkata kepadaku : “Ia berkata bahwa
ada tiga tanda orag gyang bertawakkal kepada Allah swt.
139
Tidak meminta-minta, tidak menolak sesuatu (pemberian) dan
tidak pula menahan sesuatu.”
Abu Musa ad-Dubaily mengabarkan : “Abu Yazid al-
Bisthamy ditanya : “Apakah tawwakl itu?” Maka ia lalu
bertanya kepadaku, “ Bagaimana apendapatmu?” Aku
menjawab : “Para murid kami mengatakan : “Bahkan jika
seekor binatang buas dan ular berada di kiri dan kananmu,
jiwamu tidak akan bergetar karenanya.” Abu Yazid
mengatakan : “Ya” itu mendekati. Tetapi jika penghuni surga
hidup dengan penuh kenyamanan dan penghuni neraka hidup
dengan penuh siksaan, kemudian terrlintas dalam pikiranmu
untuk lebih menyukai kehidupan yang satu daripada
kehidupan yang lain, berarti engkau telah keluar dari
golongan tawakkal!.”
Sahla bin Abdullah menjelaskan : “Maqam pertama dalam
tawakkal adalah bahwa si hamba berada di tangan Allah swt.
seperti mayit di tangan orang yang memandikannya, yang
membolak-balikannya sesuka hatinya, tanpa ia bergerak dan
berangan-angan.”
Hamdun al-Qashshar, menandaskan : “Tawakkal adalah
berpaut erat pada Allah swt.”
Seorang laki-laki bertanya kepada Hatim al-Asham :
“Siapa yang memberrimu makanan?” Ia menjawab : “Milik
Allah-lah harta kekayaan dalngit dan bumi, tetapi orang
munafik tidak memahaminya.” (Qs. Al-Munafiqun :7).
Ketahuilah bahwa tempat tawakkal adalah hati.
Sedangkan gerakan lahiriah tidak menaggalkan tawakkal
dalam hati manakala si hamba telah yakin bahwa takdir
datang ari Allah swt, di dalamnya, dan jika sesuatu

140
dimudahkan kepadanya, ia melihat kemudahan dari Alalh swt.
di dalamnya.
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki
datang kepada Rasulullah saw. dengan mengendari unta, dan
ia bertanya : “Wahai Rasulullah, haruskah aku biarkan saja
unta tanpa ditambatkan atau kemudian aku bertawakal saja
kepada Allah?” Beliau menjawab “Tambatkanlah untamu dan
sesudah itu bertawakkallah.” (H.r. Tirmidzi).
Ibrahim al-Khawwas berkomentar : “Barangsiapa benar-
benar bertawakkal kepada Allah di dalam urusan dirinya
sendiri, pasti juga akan bertawakkal kepada Allah dalam
urusan dengan orang lain.”
Bisyr al-Hafi mengabarkan : “Salah seorang Sufi
mengatakan : “Aku telah bertawakkal kepada Allah swt.
padahal aku berdusta kepada Allah swt. Seandainya ia
bertawakkal tentu akan puas dengan segala sesuatu yang
diberikan Allah kepadanya.”
Yahya bin Mu’adz ditanya : “Bilakah seseorang dikatakan
bertawakkal?” Ia menjawab : “Jika ia rela menerima Allah
sebagai pelindungnya.”
Brahim al-Khawwa menuturkan : “Ketika aku sedang
melakukan perjalanan ke pedalaman, sebuah suara
memanggilku dan seorang Badui berjalan menghampiriku. Ia
berkata kepadaku : “Wahai Ibrahim di antara kami ada yang
bertawakkal kepada Allah. Tinggallah bersama kami sampai
keyakinanmu menjadi benar (Shahih). Tidakkah engkau tahu
bahwa harapanmu untuk sampai ke sebuah kota aalah dmei
memperoleh citarasa makananyang berbeda?” Berhentilah
mengharapkan kota-kota dan bertawakkalh kepada Allah.”

141
Ketika Ibnu Atha’ ditanya hakikat tawakkal, ia menjelaskan
: “Tawakkal adalah bahwa hendaknya hasrat yang menggebu-
gebu terhadap perkara duniawi tidak muncul dalam dirimu,
meskipunengkau sangat membutuhkannya, dan bahwa
hendaknya engkau senantiasa bersikap qana’ah dengan Allah,
meskipun engkau tergantung paa kebutuhan-kebutuhan
duniawi itu.”
Abu Nashr as- Sarraj berkata : “Keadaan bertawakkal
kepada Allah adalah seperti yang dikatakan oleh Abu Turab
an-Nakhsyaby : “Mengabdikan jasad untuk beribadat,
mengaitkan hati kepada Allah, dan bersikap tenang dalam
mencari kebutuhan. Jika diberi bersyukur, jika tidak, tetap
bersabar.”
Seperti dikatakan Dzun Nuun al-Mishry : “Tawakkal kepada
Allah swt. berarti meninggalkan daya upaya, sebab si hamba
hanya mampu bertawakkal kepada-Nya jika ia mengetahui
bahwa Alalh swt. Maha Tahu dan Maha Melihat akan
keadaannya.”
Abu Ja’far bin Abu Faraj menuturkan : “Aku melihat
seorang dari kalangan jahat dikenal dengan sebutan Unta
Aisyah, yang sedang menerima hukuman cambuk. Aku
bertanya kepadanya : “Pada saat bagaimana rasa sakitmu
akibat cambukkan menjadi reda?” Ia menjawab : “Manakala
orang yang menyebabkan kami dicambuk melihat kami.”
Al-Husain bin Manshur bertanya kepada Ibrahim al-
Khawwas : “Apa yag telah engkau capai dalam perjalananmu
menyeberangi padang pasir?” Ibrahim al-Khawwas
menjawab : “Aku tetap berada dalam keadaan tawakkal
kepada Allah dan menyembuhkan diriku dengannya.” Al-
Husain lalu bertanya kepadanya : “Engkau telah
142
menghabiskan usiamu demi menumbuh suburkan jiwamu.
Tapi bagaimana pendapatmu tentang pemusnahan jiwa demi
keesaan Allah.?”
Abu Nashr as-Sarraj mengatakan : “Tawakkal adaalh
sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakr ad-Daqqaq :
“Membatasi kepedulain mencari rezeki sehari saja, dan tidak
berharap suatu apa pun untuk esok hari.”
Ia menegaskan : “Tawakkal juga seperti yang dikatakan
oleh Sahlbin Abdullah : “Menyerahkan diri kepada Allah swt.
dalam apa pun yang dikehendaki-Nya.”
Abu Ya’kub an-Nahrajury berkata : “Tawakkal kepada
Allah, pada hakikatnya adalah keadaan yang dicerminkan oleh
Ibrahim as. Ketika menaggapi tawaran Jibril as. Untuk
menolongnya, Maka Ibrahim As. Menjawab : “Darimu, aku tiak
perlu bantuanmu.” Ibrahim telah lebur dalam Allah swt. dan
bersama-ya, dan karenanya tidak melihat bersama Allah
selain Allah swt.
Seorang laki-laki bertanya kepada Dzun Nuun am-Mishry :
“Apakah tawakkal itu?” dan ia menjawab : “Tawakkal adalah
menyingkirkan semua yang dipertuan (selain Alalh swt.) dan
meninggalkan hukum sebab akibat.” Orang itu meminta : “Apa
lagi?” Dzun Nuun melanjutkan : “Tawakkal aalah
menghambakan diri kepada Allah dan mengeluarkan diri dari
rububiyah.”
Ketika Hmadun al-Qashshar ditanya tentag tawakkal, ia
menjelaskan : “Tawakkal adalah jika engkau punya
sepuluhribu dirham dan engkau berhutang seperenam dirham,
engkau tetap merasa cemas kalau-kalau engkau mati
sementara hutangmu itu belum terbayar. Dan jika engkau
punya hutang sepuluh ribu dirham dan tidak mampu
143
mewariskan harta yang cukup untuk melunasi hutangmu,
engkau tidak putus asa bahwa Allah swt. niscaya akan
menyelesaikan hutangnmu itu.”
Ketika ditanay tentang tawakkal, Abu Abdullah al-Qurasyi
berkomentar : “Tawakkal berarti bergantung kepada Allah swt.
dalam setiap keadaan.” Si penanya minta penjelasan lebih
jauh, dan beliau mengatakan : “Tinggalkan ketergantungan
kepada setiap sebab yang membawa kepada sebab yang lain,
hingga Allah sendiri yang menguasai semua itu.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Tawakkal adalah
keadaan ruhani (haal) Nabi saw. dan Ikhtiar adalah
Sunnahnya. Maka, barangsiapa yang tetap keadaannya,
berarti janganlah meninggalkan Sunnahnya.”
Abu Sa’id bin Isa al-Kharraz berkata : “Tawakkal adalah
kecemasan tanpa perasaan puas dan kepuasan tanpa
kecemasan.”
Dikatakan : “Tawakkal adalah menganggap kemewahan
dan kekurangan tidak ada bedanya bagi diri sendiri.”
Ibnu Masruq menegaskan : “Tawakkal adalah
menyerahkan diri kepada alur qadha’entuan Allah.”
Abu Utsman al-Hiry menegaskan : “Tawakkal adalah sikap
cukup bersama Allah swt. dengan menggantungkan diri
kepada-Nya.”
Al Husain bin Manshur mengatakan : “Orang yang benar-
benar tawakkal kepada Allh swt. tidak akan memakan
sesuatu, karena di negara itu ada orang yang lebih berhak
akan makanan itu daripada dirinya.”
Umar bin Sinan menuturkan : “Ibrahaim al-Khawwas
berjalan melewati kami, dan kami berkata kepadanya :
“Katakan kepada kami hal paling aenh yang Anda lihat dalam
144
perjalanan-perjalanan Anda!” Ia menjawab : “Al-Khidhr as.
Menemuiku dan minta diperbolehkan menyertaiku, tapi aku
takut jika tawakkalku kepada Allah swt. menjadi rusak dengan
keberadaannya bersamaku. Karena itu, aku lalu memisahkan
diri darinya.”
Ketika Shal bin Abdullah ditanya tentang tawakkal, ia
menjelaskan : “Kalbu yang hidup bersama Allah swt.dan tidak
tertarik kepada yang lain.”
Syeikh Abu Ali ad-daqqaq berkata : “Ada tiga tingkatan
bagi orang yang bertawakkal : (1) Tawakkal (2). Taslim dan (3),
Tafwidh.” Orang yang tawakkal akan merasa tenteram denan
janji-Nya, orang yang taslim akan merasa cukup dengan
pengetahuan-Nya, dan orang yang Tafwidh kepada Allah akan
merasa puas dengan kebijaksanaan-Nya.”
Saya mendengar beliau berkata : “Tawakkal kepada Allah
adalah awal; Taslim adalah tengah-tengahnya, dan Tafwidh
segenap urusan kepada Allah adalah ujungnya.”
Ad-Daqqaq ditanya tentang tawakkal, dan ia
berkomentar : “Tawakkal adalah makan tanpa tamak.”
Yahya bin Muadz mengatakan : “Memakai pakaian dari wol
adalah sebuah toko; berbicara tentang zuhud adalah sebuah
pekerjaan, dan menyertai sebuah kaffilah adalah nafsu.
Semua ini adalah ketergantungan-ketergantungan.”
Seoang laki-laki datang kepada Asy-Syibly dan
mengeluhkan tanggungan keluarganya yang banyak. Asy-
Syibly mengatakan : “Pulanglah ke rumahmu dan usirlah
siapa-siapa yang rezekinya bukan berkat Allah swt.”
Sahl bina Abdullah menegaskan : “Barangsiapa
menghantam dalam aktivitas geraknya, berarti menghantan

145
Sunnah, dan abrangsiapa menghantam dalam tawakkal
berarti menghantam dalam iman.”
Ibrahim al-Khawwas mengisahkan : “Ketika aku sedang
dalam perjalanan menuju ke Mekkah, tiba-tiba aku melihat
seorang yang beringas. Aku bertanya kepadanya : “Engkau
seorang manusia ataukah jin?” Ia menjawab : “Aku Jin.” Aku
bertanya lagi : “Engkau hendak pergi ke mana?” Ia menjawab
tegas : “ke Mekkah, Aku kembali bertanya : “Tanpa bekal apa
pun?” Ia menjawab tegas : “Ya, Di kalangan kamijuga ada jin-
jin yang melakukan perjalanan dalam keadaan tawakkal
kepada Allah.” Aku bertanya kepadanya : “Dan apakah
tawakkal itu?” Ia menjawab : “ Menerima dari Allah swt.”
Ibrahim al-Khawwa adalah seorang yang tiada taranya
dalam hal tawakkal kepaa Allah. Ia belaku sangat cermat
dalam hal itu, Ia selalu membawa jarum dan benang, sebuah
timba kecil untuk berwudhu, dan sebuah guntung. Seseorang
bertanya kepadanya : “Wahai Abu Ishaq, mengapa anda
membawa barng-barang ini, sementara Anda mencegah diri
dari segala hal?” Ia menjawab : “Barang-barang ini tidak
merusak tawakkal kepada Allah set. Sebab Allah swt. telah
menjadikan kewajiban-kewajiban mengikat kita semua.
Seorang fakir tak memiliki kecuali hanya sepotong jubah, dan
jubahnya bisa robek. Jika ia tidak membawa jarum dab
benang dan benang, niscaya auratnya akan terbuka, maka
kesuciannya akan ternoda. Jika engkau melihat seorang fakir
yang tidak membawa timba, jarum dan benang, maka patutu
engkau ragukan kesempurnaan shalatnya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Tawakkal sifat orang
beriman, taslim sifata para wali, dan menyerahkan segenap
urusan kepaa Allah (tafwidh) adalah sifat ahli tauhid. Tawakkal
146
adalah sifat kaum awam, taslim adalah sifat manusia-manusia
khawash, dan tafwidh adalah sifat khawashul khawash.” Saya
juga mendengar beliau berkata : “Tawakkal kepada Allah
adalah sifat para Nabi, taslim adalah sifat Nabi Ibrahim as.
Dan tafwidh adalah sifat Nabi kita Muhammad saw.”
Abu Ja’far al-Haddad menuturkan : “Selama kira-kira
sepuluh tahun tetap berada dalam keadaan pasrah kepada
Allah, sementara aku juga bekerja di pasar. Setiap hari aku
menerima upah, dan tanpa menggunakan sedikit pun darinya
untuk membeli seteguk air atau pergi ke kamar mandi umum,
aku membawa upah hasil jerih payahku kepada para fakir di
Syuniziyah, dan kondisiku sendiri tetap seperti semula.”
Al-Husain, saudara Sinan, berkata : “Aku melakukan ibadat
haji empatbelas kali dengan kaki telanjang dan penuh
tawakkal kepada Alalh. Jika kakiku tercocok duri, kuingatkan
diriku bahwa aku telah mewajibkan pada jiwaku untuk
bertawakkal kepada Allah. Kugosok-gosokan kakiku ke tanah
dan kuteruskan perjalananku.”
Abu Hamzah berkata : “Aku merasa malu kepada Allah
swt. memasuki padang pasir dalam ekadaan perut kenyang,
padahal aku meyakini diriku bertawakal, karena khawatir
jangan-jangan perjalananku dengan rasa kenyang itu sendiri
merupakan bekal yang kusiapkan begi dirimu.”
Etika Hamdun al-Qashshar ditanya tentang tawwakl
kepada Allah, ia menjawab : “Tawakkal adalah derajat yang
belum kucapai, dan bagaimana seseorang yang belum
menyempurnakan kondisi imannya berbicara tentang
tawwakal?”
Dikatakan : “Orang yang bertawakkal kepada Allah swt.
seperti seorang gbayi. IA tidak tahu tempat lain di mana harus
147
berlindug, kecuali payudara ibunya. Seperti itulah keadaan
orang gyang bertawakkal kepada Allah swt. Ia dibimbing
hanya kepada Allah swt.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku sedang berada di
padang pasir dan berjalan di depan sebuah kafilah. Aku
melihat seseorang di depanku, lalu aku bergegas
menyusulnya. Ternyata ia adalah seorang wanita yang
memegang tongkat dan berjalan cukup pelan. Karena kupikir
ia seorang yang lemah, maka aku merogoh saku dan
mengeluarkan uang duapuluh dirham, dan kukatakan
kepadanya, “Ambillah ini. Tunggulah sam[ai kafilah di
belakang menyusulmu dan sewalah seekor unta dengan uang
ini!.”
Tetapi wanita itu hanya mengangkat tangannya ke udara,
dan tiba-tiba di tangannya sudah tergenggam uang-uang
dinar. Katanya : “Engkau mengambil dirham dari kantung
bjumu, tetapi aku mengambil dinar dari Yang Gaib.”
Abu Sulaiman ad- Darany melihat seorang laki-laki di
Mekkah – semoga Allah memuliakan tempat ini --- yang tidak
mengonsumsi apa pun selain air Zam-zam. Setelah beberrapa
hari, Sulaiman bertanya kepadanya.” Bagaimana pendapat
Anda, jika sumur Zam-zam kering, apa yang akan Anda
minum?” Orang itu berdiri, mencium kening Sulaiman, dan
berkata : “Semoga Allah membalas kebaikanmu karena
engkau telah memberi petunjuk kepadaku; sebab sungguh
aku telah menyembah Zam-zam selama beberpa hari ini.”
Kemudian laki-laki itu un berlalu.”
Ibrahim al-Khawwas mengabarkan : “Aku melihat seorang
pemuda di jalan yang menuju ke Syam dengan perilaku
menawan hati. Ia bertanya kepadaku : “Apakah Anda ingin
148
ditemani?” Aku menjawab : “ Tapi aku orang yang lebih lapar.”
Ia berkata : “Jika Anda lapar, saya juga akan berlapar-lapar
bersama Anda.” Maka kami pun berrjalan bersama-sama
selama empat hari. Kemudian sesuatu dihadiahkan orang
kepada kami, dan aku mengajaknya makan.” Mari kita
makan!”
Ia berkata : “Saya telah bertekad untuk tidak menerima
apa pun melalui seorang perantara.” Maka aku lalu berkata :
“Wahai anak muda, betapa ketatnya engkau berlaku atas
dirimu sendiri.” Ia menjawab : “Wahai Ibrahim, janganlah
Anda memujiku, sebab Dia yang membuat perhitungan
melihat kita.” Apa yang engkau ketahui tentang tawakkal?”
Lalu ia menjawab : “Permulaan tawakkal adalah bahwa jika
Anda merasakan sesuatu kebutuhan, Anda menolak, dan Anda
tidak menginginkan sesuatu pun selain Dia yang memiliki
segala kecukupan.”
Dikatakan : “Tawakkal kepada Allah berarti menafikan
keraguan dan menyerahkan segala urusan kepada Sang Maha
Diraja.”
Dikatakan juga : “Sekelompok orang datang kepada al-
Junayd dan bertanya : Ke manakah kita harus mencari
rezeki?” Ia menjawab : “Jika kalian semua tahu, pergi dan
carilah di sana!” Mereka berkata : “Tetapi kami memang
meminta kepada Allah swt.” Al-Junayd mengajarkan : “Jika
kalian mengira bahwa Dia melupakan diri kalian, maka
ingatkanlah Dia.” Mereka bertanya : “haruskah kita pulang
dan bertawakkal kepada Allah?” Al-Junayd menjawab :
“Menguji berarti meragukan.” Mereka bertanya : “Lantas,
apakah rekayasa itu?” Al-Junayd menjawab : “Yaitu
meninggalkan rekayasa itu sendiri.”
149
Abu Sulaiman ad-Darany berkata kepada Ahmad bin al-
Hawary : “Wahai Ahmad, sesungguhnya jalan menuju ke
akhirat itu banyak, dan Syeikhmu mengetahui banyak
diantaranya, kecuali jalan tawakkal yang diberkati ini, sebab
aku belum pernah mencium baunya.”
Dikatakan : “Tawakkal adalah mengandalkan apa yang
ada di tanagn Allah swt. dan berputus-asa apa yang ada di
tangan manusia.”
Dikatakan juga : “Tawakkal adalah mengosongkan batin
dari pikiran untuk menuntut terpenuhinya kebutuhan dalam
upaya mencari rezeki.”
Al-Harits al-Muhasiby – semoga Allah merahmatinya –
ditanya tentang orang yang beratawakkal : “Apakah nafsu
mempengaruhinya?”
Ia menjawab : “Kebinasaan yang disebabkan oleh watak
yag mempengaruhi, tetapi hal itu tidak membahayakan
dirinya sama sekali, dan berputus asa dari semua yang ada di
tangan manusia memberinya kekuatan untuk mengatasi
tamak.”
Dikatakan bahwa an-Nury sedang berada di apdang pasir
dalam keadaan lapar ketika sebuah suara membisikan
kepadanya : “Manakah yang lebih engkau cintai, penyebab
kecukupan ataukah kecukupan itu sendiri?” An-Nury
menjawab : “Kecukupan. Sebab tidak ada lagi selain itu.”
Maka ia pun selama tujuhbelas hari tidak makan.”
Abu Ali ar-Rudzbary berkata : “Jika setelah lima hari
seorang fakir mengatakan : “Aku lapar,” Maka kirimlah ia ke
pasar untuk mencari pekerjaan dan memperoleh sesuatu
untuk dimakan.”

150
Dikatakan bahwa Abu Turab an-Nakhstaby sekali waktu
melihat seorang Sufi memungut kulit semangka untuk
dimakan setelah tiga hari menahan lapar. Maka an-Nakhsyaby
lalu berkata kepadanya, : “Tidak cocok untukmu perilaku Sufi.
Pergi saja ke pasar (Untuk kerja)!.
Abu Ya’kub al-Aqtha’ al-Bashry menuturkan : “Suatu ketika
aku kelaparan selama sepuluh hari di Masjdil Haram, dan aku
merasa lemah, Nafsu menggodaku. Maka aku pergi ke lembah
sungai untuk mencari sesuatu yang menguatkan tubuhku. Aku
melihat sebuah saljamat (sejenis sayuran) dibuang seseorang,
lalu aku memungutnya. Aku merasakan suatu kegelisahan
yang menakutkan dalam hati karena perbuatanku itu, seolah-
olah ada suara yang mengatakan kepadaku : “Engkau telah
lapar selama sepuluh hari, dan sekarang bagianmu hanya
sebuah saljamat yang busuk!” Maka saljamat itu pun
kubuang. Aku masuk ke Masjid, kemudian duduk. Tiba-tiba
ada seorang non Arab di hadapanku seraya meletakkan
sebuah bingkisan dan berkaa : “Ini untuk Anda!” Aku bertanya
kepadanya : “Bagaimana Anda telah memilih saya, untuk
memberikan bingkisan ini?” Ia berkata kepadaku : “Ketahuilah
bahwa kami telah berada di laut selama sepuluh hari. Dan
ketika kapal yang kami tumpangi nyaris tenggelam, masing-
masing dari kami bernadzar bahwa jika Allah swt.
menyelamatkan, kami akan memberikan sesuatu sedekah.
Saya sendiri bernadzar, bahwa jika Allah swt. menyelamatkan
saya, saya akan memberikan bingkisan ini kepada orang
pertama yang saya temui di antara mereka yang tinggal di
dekat Masjid ini, dan Andalah orang pertama yang saya
temui.” Aku lalu meminta orang itu agar membuka
bingkisannya. Ia pun membukanya dan kudapati di dalamnya
151
ada kue-kue samid Mesir, buah kenari berbalut tepung, dan
daging manis yag dipotong kotak-kotak kecil. Aku mengambil
sedikit dari masing-masing jenis makanan itu dan berkata :
“Bawalah sisa makanan ini kepada para pelayan Anda! Ini
adalah hadiah saya untuk Anda, karena saya telah menerima
hadiah Anda.” Kemudian aku berkata kepada diri sendiri :
“Selama sepuluh hari, rezekimu sedang diperjalanan menuju
ke tempatmu, tapi engkau malah mencarinya ke lembah.”
Abu Bakr ar-Razy mengabarkan : “Aku sedang berada
bersma Mumsyad ad-Dinawary ketika mencuat pembicaraaan
tentang hutang . Ia berkata : “Suatu ketika aku punya hutang,
dan pikiranku terganggu memikirkannya. Kemudian aku
bermimpi bertemu seseorang yang berkata kepadaku : “Wahai
orang yang kikir, engkau merampas hak kami sebesar jumlah
itu. Kewajibanmu adalah mengambil dan kamilah yang
memberi.” Maka sejak saat itu aku tidak pernah lagi
berurusan dengan tukang sayur, tukang daging, ataupun
pedagang lainnya.”
Diceritakan tentang Bannan al-Hammal bahwa ia
menuturkan : “Aku sedang berada di tengah perjalanan
menuju ke Mekkah --- semoga Allah menjaganya – datang dari
Mesir, dengan membawa bekal. Tiba-tiba seorang wanita
mendatangiku dan berkata : “Wahai Bannan, engkau seorang
kuli, engkau memikul perbeklan di atas punggungmu, dengan
membayangkan bahwa Dia tidak akan memberikan rezeki
kepadamu!.” Mendengar itu, aku lalu meletakkan bawaanku.
Tapi kemudian tiga kali melintas dalam pikiranku bahwa aku
belum makan. Aku menemukan sebuah gelang kaki di tengah
jalan dan aku berkata dalam hatiku : “Barang ini akan terus ku
pegang sampai pemiliknya datang. Mungkin ia akan
152
memberiku sesuatu manakala aku mengembalikannya.”
Kemudain muncullah wanita tadi, yang kemudian berkata
kepadaku : “Nah, sekarang engkau adalah seorang pedagang!
Engkau mengatakan, mungkin pemiliknya akan datang dan
aku akan mempeoleh sesuatu darinya!” Lalu dilemparkannya
uang bebeerapa dirham kepadaku, sambil berkata :
“Belanjakanlah uang ini!” Ternyata uang itu mencukupi
kebutuhanku hingga aku sampai ke Mekkah.”
Dalam suatu riwayat tentang Bannan disebutkan, bahwa
ia memerlukan seorang budak wanita untuk melayaninya.
Maka ia lalu mengungkapkan keperluannya itu kepada
saudara-saudaranya. Mereka pun mengumpulkan uang untuk
membeli seorang budak, dan memberitahu kepadanya :
“Inilah uang untuk membeli budak itu! Sekelompok budak
sedang dibawa orang kemari. Pilihlah mana yang engkau
sukai!” Ketika rombongan budak itu tiba, semua mata tertuju
kepada salah seorang budak, dan mereka berkata : “Itulah
budak yang cocok untuknya.” Mereka bertanya kepada
pemiliknya : “Berapa harga budak ini?” Ia menjawab “Ia tidak
dijual.” Mereka meminta dengan sangat agar budak itu dijual
kepada mereka, tapi pemiliknya mengatakan : “Ia telah
didperuntukkan bagi Bannan al-Hammal!. Seorang wanita dari
Samarkand mengirimkan kepadanya sebagai hadiah.” Dan
kemudian budak itu pun dibawa kepada Bannan, dan si budak
tersebut lalu menuturkan perihal dirinya kepada Bannan.
Al-Hasan al-Khayyath meriwayatkan : “Aku sedang berada
bersama Bisyir al-Hafi ketika serombongan musyafir datang
dan memberi salam kepadanya. Ia bertanya kepada mereka :
“Dari mana Anda sekalian?” Mereka menjawab : “Kami dari
Syam. Kami datang untuk memberi salam kepada Anda dan
153
sekaligus untuk menunaikan ibadah haji.” Bisyr berkata :
“Semoga Allah swt. menerima syukur Anda sekalian.” Mereka
bertanya : “Maukah Anda pergi bersama kami? Bisyr
menjawab : “Dengan tiga syarat : Kita tidak usah membawa
(bekal) apa pun; kita tidak akan meminta apa pun kepada sipa
pun; dan jika ada orang memberikan sesuatu kepada kita, kita
tidak akan menerimanya.” Mereka menjawab : “Mengenai
persyaratan pertama, kami setuju. Persyaratan kedua juga
kami setuju. Tapi mengenai persyaratan ketiga, kami tidak
setuju.” Maka Bisyr lalu berkata : “Anda semua telah datang
dengan bertawakkal pada perbekalan untuk berhaji.”
Kemudian ia menjelaskan : “Wahai Hasan,a da tiga macam
fakir. Ada fakir yang tidak meminta-minta, tapi jika diberi ia
tidak mau menerimanya, dialah tergolong fakir ruhani. Lalu,
ada fakir yang tidak meminta-minta dan jika diberi sesuatu
mau menerimanya, sebagai tawadhu.” Baginya di hadirat
Yang Maha Suci. Dan si fakir yang meminta-minta, jika diberi
menerimanya sebatas kebutuhan. Tebusannya adalah dengan
memeberikan sedekah.”
Habib al-‘Ajamy ditanya : “Mengapa Anda berhenti
berdagang?” Ia menjawab : “Aku telah mendapati bahwa
jaminan Allah swt. itulah yang patut diandalkan.”
Diceritakan bahwa pada masa dahulu ada seorang laki-
laki yang sedang melakukan perjalanan membawa sepotong
roti. Ia berkata : “Jika aku memakan roti ini, aku akan mati.”
Maka Allah lalu menyerahkannya kepada seorang malaikat,
dengan perintah : “Jika ia memakan roti itu berilah ia rezeki.
Jika ia tidak memakannya, maka janganlah engkau beri apa
pun.” Sepotong roti itu tetap dipegangnya sampai ia

154
meninggal (karena kelaparan), tanpa pernah dimakannya. Dan
ketika ia meninggal, roti itu masih ada bersamanya.
Dikatakan : “Orang yang berjalan di medan tafwidh, maka
tujuannya akan datang kepadanya sebagaimana pengantin
wanita diiringkan kepada keluarga pengantin laki-laki.
Perbedaan antara menyia-nyiakan anugerah Allah (tadhyi”)
dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah (tafwidh)
aalah bahwa tadhyi’ berkaitan terhadap hak-hak Allah swt.
dan merupakan tindakan tercela, sedangkan tafwidh berkaitan
dalam hak-hak Anda, dan merupakan tindakan yang terpuji.”
Abdullah ibnul Mubarak mengatakan : “Barangsiapa
menerima uang satu sen dari sumber yang tidak halal,
beraarti ia tidak bertawakkal kepada Allah.”
Abu Sa’id al-Kharraz menuturkan : “Suatu ketika aku
berjalan menelusuri padang pasir tanpa membawa bekal dan
tiba-tiba aku memerlukan kebutuhan yang sangat. Jauh di
sana, kulihat sebuah tempat perhentian, aku senang karena
aku telah sampai. Maka aku berpikir : “Aku telah menjadi
tenang, dan bertawakkal kepada sesuatu selain Dia.”
Karenanya aku pun lalu bersumpah, bahwa aku tidak akan
masuk ke suha tempat kecuali jika aku dibawa ke dalamnya.
Aku menggali lubang dan mengubur badanku hingga sebatas
dada. Tengah malam, terdengar suara bergema yang
mengatakan : “Wahai penduduk desa, salah seorang wali
Alalh telah menguburkan dirinya di pasir. Cari dan temukanlah
ia!” Lalu jamaah datang kepadaku, mengeluarkanku dan
membawaku ke Desa.”
Abu Hamzah al-Khurasany mengabarkan : “Suatu ketika
aku pergi menunaikan ibadat haji. Di tengah perjalanan aku
jatuh tercebur ke dalam sebuah sumur. Jiwaku mendesak agar
155
aku segera minta tolong, tapi aku berkata : “Tidak, demi Allah,
aku tidak akan minta tolong!.”Begitu aku berpikir demikian.
Lewatlah dua orang laki-laki. Salah seorang diantaranya
berkata : “Mari kita tutup lobang sumur ini agar tidak ada
orang orang yang masuk jatuh ke dalamnya.” Mereka
membawakan jerami dan anyaman, dan menutupi bibir sumur
itu dengan tanah. Aku ingin berteriak, namun aku berkata
kepada diri sendiri : “Aku hanya akan berteriak kepada Dia
yang lebih dekat daripada kedua orang ini.” Maka aku pun
tetap diam. Setelah satu jam, tiba-tiba datanglah sessuatu
yang membuka tutup lubang itu dan menjulurkan kakinya.
Saat itulah kudengar suara raungan pelan yang seolah-olah
mmerintahkan aku : “Berpeganglah kepadaku!” Aku tahu apa
yang dimaksudkan. Maka aku pun berpegang paa kakinya dan
makhluk itu lalu menarikku ke luar dari lubang sumur.
Ternyata ia seekor singa! Dan binatang itu lalu mneruskan
perjalanannya. Sebuah suara gaib berseru kepadaku : “Wahai
Abu Hamzah, tidakkah ini lebih baik? Satu kebinasaan
menyelamatkanmu dari kebinasaan yang lain.” Aku pun terus
berjalan, sambil bersyair :
Aku berteriak keras-keras kepada-Mu agar aku tampak.
Kepada-Mu apa yag kusembunyikan.
Rahasiaku mengatakan apa yang dikatakan mataku
kepadanya.
Maluku terhadap-Mu mencegahku menyembunyikan
nafsu,
Dan Kau buat aku paham, dari-Mu tersingkapnya tabir
Membuat kelembutan-Mu dalam persoalanku
Lalu Engkau tampakkan kesaksianku pada gaibku
Sedang kelembutan bertemu kelembutan
156
Engkau hadirkan Diri-Mu secara gaib kepadaku,
Seakan-akan Engkau beri daku kabar gembira,
Bahwa Kau dalam genggaman.
Kini kulihat Engkau, dan bagiku
Dari gentarku kepada-Mu.
Lalu Kau anugerahi sukacita kelemah-lembutan dari-Mu
Dan kasih-sayang-Mu.
Dan Kau hidupkan kembali seorang pecinta yang cintanya
Pada-Mu berarti kematian baginya
Duhai mengagumkan; hidup ada pada kematian.”
Hudzaifah al-Mar’asyi, yang telah emlayani dan menemani
Ibrahim bin Adam dan para muridnya, ditanya : “Apakah
kejadian paling aneh yang Anda saksikan bersamanya?” Ia
menjawab : “Kami pernah menempuh perjalanan menuju
Mekkah selama beberapa hari tanpa menemukan makanan.
Kami datang ke kufah dan mencari tempat berteduh di sebuah
reruntuhan masjid. Ibrahim melihat kepadaku dan berkata :
“Wahai Huzaifah, kulihat tanda-tanda lapar pada dirimu.” Aku
menjawab : “Seperti yang tuan guru lihat.” Ia lalu berkata
kepadaku : “Bawalah kepadaku tinta dan selembar kertas!.”
Kubawakan apa yang yang dimintanya itu, dan ia
menulis : “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha
Penyayang. Engkau adalah Dia yang diinginkan dalam setiap
keadaan.” Maksud keseluruhannya adalah :
Aku pemudi, aku bersyukur, aku pengingat..
Aku lapar, aku haus, aku telanjang.
Inilah enam sifat, dan aku akan menjamin yang
setengahnya.
Maka Engkau-lah penjamin yang setengahnya wahai
Pencipta.
157
Pujiku, selain Diri-Mu bagaikan api,
Janganlah hamba-Mu yang kecil ini memasuki neraka
Lalu ia memberikan kertas bertulis itu kepadaku dan
memerintahkan : “Pergilah keluar dan jangan engkau lekatkan
hatimu pada sesuatu pun selain Allah swt. Berikan kertas ini
kepada orang pertama yang engkau jumpai!” Aku pun pergi
ke luar, dan orang pertama yang kulihat adalah seorang laki-
laki yang sedang mengendarai seekor keledai. Kuberikan
kertas itu kepadanya. Orang itu mengambilnya dan menangis.
Ia bertanya : “Di mana orang yang telah menuliskan kata-kata
pada kertas ini?” Kukatakan kepadanya, : “Ia berada di Masjid
Anu.” Ia memberikan kepadaku sebuah kantong berisi uang
enamratus dinar. Kemudian aku bertemu dengan seseorang
lainnya dan aku bertanya kepadanya siapa orang yang
mengendari keledai itu. Ian memberitahuku bahwa orang
tersebut adalah seorang Nasrani. Aku kembali kepada Ibahim
dan kuceritakan semuanya kepadanya. Ia berkata : “Jangan
kau sentuh uang itu, sebab ia sedang menuju ke mari!.”
Sejam kemudian orang Nasrani itu pun muncul, mencium
kepala Ibrahim dan menyatakan keislamannya.”

18.
syukur

Allah berfirman :
‘Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah
(nikmat pemberian-Ku) kepadamu.” (Qs. Ibrahim : 7).
Diriwayatkan oleh Yahya bin Ya’la dan Abu Khabab, dari
Atha’ yang berkata : “Aku bersama Ubaid bin Umair
mengunjungi Aisyah r.a. dan berkata akepadanya :
158
“Ceritakanlah kepada kami sesuatu yang paling
mengagumkan yang Anda lihat pada Rasulullah saw.” Beliau
menangis dan bertanya : “Adakah yang beliau lakukan, yag
tidak mengagumkan?” Suatu malam, beliau datag kepadaku,
dan kami tidur di tempat tidur hingga tubuh beliau
bersentuhan dengan tubuhku. Setelah beberapa saat, beliau
berkata : “Wahai putri Abu Bakr, izinkanlah aku bangun untuk
beribadat kepada Tuhanku!” Aku menjawab : “Saya senang
berdekatan dengan Anda.” Tapi aku mengijinkannya. Kemudan
beliau bangun, pergi ke tempat kantong air dan berwudhu
dengan mecucurkan banyak air, lalu shalat. Beliau mulai
menangis hingga air matanya membasahi dadanya, kemudian
beliau ruku’ dan terus menangis, lalu sujud dan terus
menangis, lalu mengangkat kepala dan terus menangis. Terus
menerus beliau dalam keadaan demikian sampai Bilal datang
dan memanggil beliau untuk shalat subuh. Aku bertanya
kepada beliau : “Apakah yang menyebabkan Anda menangis
wahai Rasulullah, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-
dosa Anda, baik yang dahulu maupun yang akan datang?”
Beliau menjawab : “Tidakkah akumenjadi seorang hamba
yang bersyukur? Bagaimana aku tidak akan menangis
sedangkan Allah telah menurunkan ayat ini kepadaku :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar di laut
membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang
diturunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia
hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu
segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang
dikenadlikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-

159
tanda bagi kaum yang mau menggunakan akal.! (Qs. Al-
Baqarah :164).
Dengan ayat ii, Allah swt. memiliki sifat syukur. Artinya,
memberi pahala hamba yang bersyukur, sebagai balasannya
adalah diterimanya syukur itu sendiri. Sebagaimana
difimankan-Nya : “Balasan bagi tindak kejahatan adalah
kejahatan yang serrupa.” (Qs. Asy.Syura : 40).
Dikatakan bahwa bersyukurnya Allah adalah pemberian
balasan yang melimpah bagi amal yang sedikit, seperti kata
pepatah : “Seekor binatang, dikatakan bersyukur, jika ia
mencari makanan melebihi jerami yang diberikan
kepadanya.” Kita mungkin dapat mengatakan bahwa hakikat
bersyukur adalah memuji Sang Pemberi kebaikan dengan
mengingat-ingat anugerah yang telah diberikan-Nya. Jadi
bersyukurnya seorang hamba kepada Allah swt. adalah pujian
kepada-Nya dengan mengingat-ingat anugerah-Nya
kepadanya. Sebaliknya bersyukurnya Allah swt. kepada
hamba-Nya adalah dengan mengingat kebaikan hamba
kepada-Nya. Kebaikan si hamba adalah kepatuhan kepada
Allah swt. sedangkan kebaikan Allah adalah memberikan
rakhmat-Nya kepada si hamba dengan menjadikan ia mampu
menyatakan syukur kepada-Nya. Syukur seorang hamba, pada
hakikatnya mencakup syukur secara lisan maupun penegasan
dalam hati atas anugerah dan rahmat Allah swt.
Syukur dibagi menjadi : Syukur dengan lisan, yang berupa
pengakuan atas anugerah dalam derajat kepasrahan, dan
syukur denga tubuh, yang berarti mengambil sikap setia dan
mengabdi; syukur dengan hati, adalah tenteram dalam latar
musyahadah dengan erus menerus melaksanakan
pemuliaan. Dikatakan bahwa kaum cendekiawan bersyukur
160
dengan lidah mereka, kaum pencinta bersyukur dengan
perbuatan mereka, dan kaum ‘arifin beryukur dengan
istiqamah mereka terhadap-Nya di dalam semua perilaku
mereka.
Abu Bakr al-Warraq berkata : Syukur atas nikmat adalah
memberikan musyahadah terhadap anugerah tersebut dan
menjaga penghormatan.”
Hamdun al-Qashshar menegaskan : “Bersyukur atas
anugerah adalah bahwa engkau memandang dirimu sebagai
parasit dalam syukur.”
Al-Junayd berkomentar : “Ada cacat dalam bersyukur,
karena manusia yang bersyukur melihat peningkatan bagi
dirinya sendiri; jadi ia sadar di sisi Allah swt. lebih dari bagian
dirinya sendiri.”
Abu Utsan berkata : “Syukur berarti mengenal kelemahan
dari syukurnya itu sendiri.”
Dikatakan : “Bersyukur atas kemampuan untuk bersyukur
adalah lebih lengkap daripada bersyukur saja. Dengan cara
memandang bahwa rasa bersyukur Anda datang karena Dia
telah memberikan taufik-Nya, dna Taufiq-Nya itu termasuk
nikmat yang diperuntukkan bagi diri Anda. Jadi Anda
bersyukur atas kesyukuran Anda, dan kemudian Anda
bersyukur terhadap kesyukuran atas kesyukuran Anda,
sampai tak terhingga.
Dikatakan : “Bersyukur adalah menisbatkan anugerah
kepada pemiliknya yang sejati dengan sikap kepasrahan.”
Al-Junayd mengatakan : Bersyukur adalah bahwa engkau
tidak memandang dirimu layak menerima nikmat.”
Ruwayn menegaskan : “Bersyukur adalah engkau
menghabiskan seluruh kemampuanmu.”
161
Dikatakan : “Orang yag bersyukur adalah orang yang
bersyukur atas apa yang ada, dan orang yang sangat
bersyukur adalah yang bersyukur atas apa yang tidak ada.”
Dikatakan : “Orang yang bersyukur berterima kasih atas
pemberian tapi orang yang sangat bersyukur (Syakur)
berterima kasih karena tidak diberi>” Dikatakan juga : “Orang
yang bersyukur berterima kasih atas pemberian, dan orang
yang sangat bersyukur berterima kasih atas lemelaratan.”
Dikatakan : “Orang yang bersyukur berterimakasih manakala
anugerah diberikan, dan orang yang sangat bersyukur
berterima kasih manakala anugerah ditunda.”
Al-Junayd menjelaskan: “Suatu waktu, ketika aku masih
berumur tujuh tahun, aku sedang bermain-main di hadapan
as-Sary, dan sekelompok orang yang sedang berkumpul di
hadapannya, berbincang tentang syukur. Ia bertanya
kepadaku : “Wahai anakku, apakah ebrsyukur itu?” Aku
menjawab : “Syukur adalah jika orang tak menggunakan
nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya.” Ia mengatakan :
“Derajatmu di sisi Allah akan segera engkau peroleh melalui
lidahmu, nak!.” Al Junayd mengatakan : “Aku senantiasa
menangis mengingat kata-kata as-Sary itu.”
Asy-Syibli menjelaskan : “Syukur adalah kesadaran akan
Sang Pemberi Nikmat, bukan memandang nikmat itu sendiri.”
Abu Utsman berkata : “Kaum awam bersyukur karena
diberi makanan atau pakaian, sedangkan kaum khawash
bersyukur atas makna-makna yang datang di hati mereka.”
Dikatakan bahwa Daud as. Bertanya : “Ilahi, bagaimana
aku dapat bersyukur kepada-Mu, sedangkan kesyukuran itu
sendiri adalah nikmat dari-Mu.” Allah mewahyukan kepadanya
: “Sekarang, engkau benar-benar telah bersyukur kepada-Ku.”
162
Dikatakan bahwa Musa as. Mengatakan dalam doa
munajatnya, : “Ya Allah, Engkau telah menciptakan Adam
dengan Tangan-Mu, dan Engkau telah begini dan begitu.
Bagaimana ia bersyukur kepada-Mu?” Allah menjawab : “Ia
mengetahui bahwa semua itu berasal dari-Ku, dan dengan
begitu pengetahuannya tentang semua itu adalah syukurnya
kepada-Ku.”
Diriwayatkan bahwa salah seorang Sufi mempunyai
sahabat yang ditahan oleh Sultan. Sufi itu diminta supaya
datang, dan sahabtnya itu mengatakan kepadanya;
“Bersyukurlah kepada Allah swt!” Lalu sahabatnya itu didera,
dan ia menulis surat kepada si Sufi, “Bersyukurlah kepada
Allah swt!” Kemudian seorang Majusi yang sedang sakit perut
didatangkan dan dibelenggu, salah satu borgol ranatainya
dikenakan pada kaki sahabt, dan borgol lainnya dikenakan
pada kaki Majusi. Pada malam hari, si Majusi sering bangun,
yang berarti sahabt itu terpaksa ikut bangun sampai si Majusi
selesai melepaskan hajatnya. Ia lalu menulis surat kepada
sahabtnya. “Bersyukurlah kepada Allah swt!” Sahabatnya ( si
Sufi) bertanya, “Berapa lama engkau akan mengatakan
kalimat ini “ Cobaan apa yang lebih berat dari ini?”
Sahabatnya menjawab : “Jika sabuk yang dikenakan orang
kafir pada pinggangnya dikenakan pada pinggangmu,
sebagaimana belenggu kakinya juga dikenakan pada kakimu,
maka apa yang akan engkau perbuat?”
Dikatakan : “Syukurnya kedua belah mata adalah bahwa
engkau menyembunyikan cacat yang engkau lihat pada
sahabatmu, dan syukurnya kedua telinga adalah engkau
menyembunyikan cacat yang engkau dengar tentang dirinya.”

163
Dikatakan juga : “Manakala as-Sary berkehendak untuk
mengajarku, biasanya ia mengajukan sebuah pertanyaan
kepadaku. Suatu hari ia bertanya kepadaku : “Wahai Al
Junayd, apakah syukur itu?” Aku menjawab : “Syukur adalah
jika tidak satu bagian pun dari nikmat Allah swt. digunakan
untuk bermaksiat kepada-Nya.” Ia bertanya lagi : “Bagaimana
engkau sampai pada (pengetahuan ini?” Aku menjawab :
“Bersama majelis-majelis Anda.”
Diceritakan bahwa al-Hasan bin Ali pernah bergayut pada
sebuah tiang dan bermunajat : “Tuhanku, Engkau telah
memberi nikmat aku, namun tidak Engkau dapati aku
bersyukur. Engkau telah mengujiku, namun tidak Engkau
dapati aku bersabar. Namun Engkau tidak mencerabut nikmat
karena aku tidak bersyukur, dan tidak melanggengkan
bencana ketika kutinggalkan kesabaran. Tuhanku, tidak ada
yang datang dari Yang Maha Pemurah, kecuali kemurahan.”
Dikatakan : “Jika tanganmu tidak bisa engkau gunakan,
maka engkau mesti lebih banyak mengucap “SYUKUR”
dengan lisanmu.”
Dikatakan pula : “Ada empat amal yang tidak berbuah :
Mempercayakan rahasia kepada orang yang bisu; memberi
nikmat kepada orang yang tidak mau bersyukur; menebar
benih di tanah yang tandus; dan menyalakan lampu di bawah
cahaya matahari...
Juga dikatakan bahwa ketika Idris as. Memperoleh kabar
gembira pengampunan, beliau memohon diberi panjang umur.
Ketika ditanya tentang permohonannya itu, beliau menjawab :
“Agar aku dapat bersyukur kepada-Nya, karena sebelum ini
aku telah berjuang hanya untuk memperoleh

164
ampunan.” Kemudian salah satu malaikat mengembangkan
sayapnya dan membawanyan ke langit.
Diceritakan bahwa salah seorang Nabi – Semoga Allah
swt. melimpahkan salam kepadanya – berjalan melewati
sebuah batu kecil yang memancarkan air, yang membuatnya
kagum. Kemudian Allah menjadikan batu itu berbicara
kepadanya, katanya : “Ketika aku mendengar Allah swt.
berfirman : “Takutlah neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu.” (Qs. At-Tahrim : 6). Aku pun menangis
karena karena takut.” Nabi itu kemudian mendoakan, agar
Allah swt. melindungi batu iru dari api neraka, dan Allah lalu
mewahyukan kepadanya : “Aku telah menyelamatkannya dari
neraka.” Manak Nabi itu lalu meneruskan perjalanannya.
Ketika kembali melwetati batu itu, ia melihat air menyembur
darinya seperti sebelumnya, yang membuatnya heran. Allah
swt. menjadikan batu itu bisa berbicara, dan Nabi itu lalu
bertanya : “Mengapa engkau masih mengis sedangkan Allah
telah mengampunimu?” Batu itu menjawab, : “Sebelumnya
adalah tangis takut dan sedih, sekarang adalah tangis syukur
dan gembira.”
Dikatakan : “Orang yang bersyukur selalu meningkat
karena ia berada di hadapan nikmat.” Allah swt. berfirman :
“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat-
Ku) kepadamu.” (Qs. Ibrahim : 7). Orang yang sabar berada
bersama Allah, karena ia berada di hadirat kesaksian kepada-
Nya yang memberikan cobaan. Allah swt. berfirman :
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar (Qs. Al-
Nafal :46).
Diceritakan bahwa suatu delegasi datang kepada Umar
bin Abdul Aziz r.a. Di antara mereka ada seorang pemuda,
165
yang memulai membuka pembicaraan!” Umar berkata
kepadanya : “Coba yang tua-tua dulu berbicara!” Mendengar
itu si pemuda berkata : “Wahai Amirul Mukminin, jika urusan
diserahkan kepada orang berdasarkan usianya, maka banyak
dikalangan kaum Muslimin yang lebih layak menjadi khalifah
dibanding Anda.” Maka Umar berkta : “Bicaralah!” Pemuda itu
menjelaskan : “Kami bukanlah delegasi yang menyampaikan
keinginan, bukan pula delegasi yang menyampaikan rasa
takut. Mengenai keinginan, maka kemurahan Anda telah
memenuhi kebutuhan kami dari ketakutan.” Maka Umar pun
bertanya kepadanya : “Lantas, siapa kalian ini?” Ia
menjawab : “Kami adalah delegasi yang menyampaikan
syukur. Kami datang untuk menyampaikan terima kasih
kepada Anda, dan sekarang kami akan pulang.” Dan mereka
lalu bersenandung.” :
Alangkah malangnya bahwa syukurku adalah diam
Atas apa yang telah kau lakukan,
Sedangkan kebaikanmu berbicara
Aku melihat anugerah darimu
Dan aku menyembunyikan
Karenanya, di tangan yang pemurah
Jadi pencuri.
Diceritkan bahwa Allah swt. menyampaikan wahyu kepada
Musa as. : “Aku melimpahkan rakhmat kepada hamba-hamba-
Ku : Mereka yang mendapat cobaan maupun mereka yang
terampuni.” Musa bertanya : “Mengapa pula terhadap mereka
yang terampuni>\?” Allah Swti. Menjawab : “Dikarenakan
kecilnya syukur mereka atas dihindarkannya mereka dari
penderitaan itu.”

166
Dikatakan : “Pujian itu bagi anfsu, dan syukur atas
nikamat-nikmat anggota badan.”
Dikatakan pula : “Pujian sebagai permulaan dari-Nya, dan
syukur sebagai tebusan darimu.”
Dalam hadits shahih disebutkan : “Yang pertama di
panggil ke surga adalah mereka yang selalu memuji kepada
Allah swt. dalam segala hal,:
Dikatakan : “Pujian hanya bagi Allah terhadap apa yang
diberikan-Nya, dan syukur atas yang diperbuat oleh-Nya.

19.
YAKIN

Allah swt. berfirman :


“.... Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an)
yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat.” (Qs. Al-Baqarah :4).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah
swt. telah bersabda :
Janganlah engkau berusaha menyenangkan hati siapa pun
dengan cara membuat murka Allah, dan janganlah memuji
siapa pun atas keutamaan Allah yang diberikan, janganlah
mencari kepada siapa pun atas anugerah yang tidak diberikan
Allah swt. kepadamu, sebab rezeki Allah tidaklah dibawakan
kepadamu oleh kerakusan orang yang rakus, tidak pula bisa
ditolak darimu oleh kebencian orang yang
membencimu. Dengan keadilan-Nya, Allah swt, telah
menempatkan ketenangan dan kesenangan hati itu dalam
rasa ridha dan yakin, dan menempatkan penderitaan serta
167
kesedihan itu dalam keraguan dan marah.”(Hr. Thabrani, Ibnu
Hibban dan Baihaqi).
Abu Abdullah al-Anthaky berkata : “Keyakinan minimal
adalah bahwa manakala ia memasuki hati, maka ia
memenuhinya dengan cahaya dan mengusir setiap keraguan
dari dalamnya; dan dengan yakin, hati menjadi penuh rasa
syukur dan takut kepada Allah swt.”
Ja’far al-Haddad menuturkan : “Abu Turab an-Nakhsyaby
melihatku ketika aku berada di pdang pasir, duduk didekat
sebuah mata air. Aku sudah enambelas hari lamanya tidak
makaengapa engkau duduk di sini?” Aku menjawab : “Aku
terombang-ambing di antara ilmu dan yakin, menunggu mana
yang akan menang agar aku dapat bertindak sesuai
dengannya. Jika ilmu menguasai diriku, aku akan minum; jika
keyakinan yang akan menang, aku akan terus berjalan.” Ia
berkata kepadaku : “Engkau akan mendapatkan suatu
derajat.”
Abu Utsman al-Hiry menjelaskan : “Keyakinan adalah tidak
adanya kepedulian terhadap hari esok.”
Sahl bin Abdullah menjelaskan : “Keyakinan datang dari
tambahan iman dan realisasinya.” Dikatakannya pula :
“Keyakinan adalah cabang iman dan yakin itu berada di
bawah penegasan kebenaran iman (tashdiq).
Salah seorang Sufi mengatakan : “Keyakinan adalah
pengetahuan yang dipercayakan pada hati.” Ia
mengisyaratkan perkataan ini, bahwa keyakinan bukanlah
sesuatu yang diperoleh dengan usaha (muktasab).
Sahl menjelaskan : “Permulaan keyakinan adalah
mukasyafah.” Karena itu salah seorang kaum salaf
mengatakan : “Jika tabir terungkap, maka hal itu tidaklah akan
168
menambah keyakinanku.” Kemudian beralih ke pembuktian
dan penyaksian (musyahadah).
Abu Abdullah bin Khafif menegaskan : “Keyakinan adalah
pemastian oleh rahasia hati melalui hukum-hukum kegaiban.”
Abu Bakr bin Thahir mengatakann : “Ilmu datang melalui
penentangan terhadap keraguan, tetapi dalam keyakinan
tidak ada keraguan sama sekali.” Dengan demikian ia
mempertentangkan ilmu yang diperoleh melalui usaha,
dengan apa yang diperoleh melalui ilham. Jadi pengetahuan
seorang Sufi pada awalnya bersifat usaha, dan pada akhirnya
bersifat langsung.
Saya mendengar Muhammad Ibnul Husain menceritakan,
bahwa salah seorang Sufi mengatakan : “Maqam pertama
aalah ma’rifat, kemudian keyakinan, lalu pembenaran, disusul
ikhlas, dan kemudian penyaksian (musyahadah) danya Tuhan,
lalu taat. Istilah iman, mencakup keseluruhan istilah-istilah
tersebut.”
Orang yang mengucapkan kata-kata ini menunjukkan
bahwa hal pertama yang diperlukan adalah ma’rifat Allah swt.
yang tidak dapat ddiperoleh, kecuali dengan memenuhi
persyaratannya. Persyaratan tersebut adalah wawasan yang
benar. Kemudian manakala bukti-bukti datang susul-menyusul
dan menghasilkan bukti, orang tersebut terlimpahi silih
bergantinya cahaya batiniah, bebas dari semua kebutuhan
untuk merenungkan bukti-bukti; itulah keadaan yakin,
Mengenai pembenran Al-Haq (tashidiqul haq), hal iini
berhubungan dengan apa yang diinformasikan-Nya kepada
seseorang dengan penuh perhatian terhadap panggilan-Nya,
berkenaan dengan apa yang diinformasikan-Nya kepada
seseorang mengenai af’al-Nya pada tahap awalnya. Sebab
169
tashdiq, sifatnya informatif, sedangkan ikhlas memiliki akibat
dalam pelaksanaan berbagai perintah. Setelah itu,
pengungkapan tanggap si hamba dengan penuh musyahadah
yang indah, setelah itu menyusul pelaksanan tindakan-
tindakan kepatuhan, dengan dasar perintah tauhid, sekaligus
menghindari yang terlarang dalam tauhid. Dalam konteks
tersebut Imam Abu Bakr bin Furak menyinggung pengertian
ini ketika saya mendengar beliau mengatakan : Dzikir dengan
lisan adalah luapan yang meliputi dari kalbu.”
Sahl bin Abdullah berkomentar : “Adalah haram bagi hati
untuk mencium bau keyakinan yang di dalamnya masih ada
kepuasan terhadap yang selain Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mushry berkata : “Keyakinan menyeru orang
untuk membatasi keinginan duniawi, dan pembatasan ini
menyeru pada zuhud, dan zuhud mewariskan kebijaksanaan,
dan kebijaksanaan mewariskan kemampuan untuk
memandang akibat-akibatnya.” Ia juga mengatakan : “Ada
tiga tanda keyakianan : Mengurangi bergaul dengan manusia;
Mengurangi pujian kepaa mereka saat memperoleh hadiah;
dan menghindari perbuatan mencari-cari kesalahan mereka,
jika mereka tidak memberi (hadiah). Selanjutnya ada tiga
tanda keyakinan atas keyakinan (yaqinul yaqin), Melihat
kepada Allah swt, dalam segala sesuatu, kembali kepada-Nya
dalam setiap persoalan, dan berpaling dengan-Nya untuk
memohon bantuan dalam segala hal.”
Al-Junayd mengatakan : “Keyakinan adalah tetapnya ilmu
di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak
berubah.”
Ibnu Atha’ mengatakan : “Sebatas derajat dimana mereka
mencapai takwa kepada Allah swt, sebtas itu pula mereka
170
akan memperoleh keyakinan.” Tandasan takwa kepada Allah
adalah penentangan terhadap perkara yang haram, dan
menentang perkara yang haram identik dengan menentang
diri sendiri. Jadi, sejauh derajat pemisahan mereka dari diri
sendiri, sejauh itulah batas yang mereka capai dalam hal
keyakinan.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Keyakinan adalah
mukasyafah, dan mukasyafah dengan tiga cara : Mukasyafah
yang bersifat informatif; mukasyafah penampilan qudrat, dan
mukasyafah hati terhadap hakikat iman.”
Ketahuilah bahwa dalam bahasa Sufi, muksyafah dari segi
pengungkapan sesuatu ke dalam hati, manakala hati dikuasai
oleh dzikir kepada-Nya tanpa adanya keraguan sedikit pun.
Terkadang istilah Kasyf yang mereka maksud adalah sesuatu
yang mirip dengan apa yang dilihat dalam kondisi antara tidur
dan bangun. Seringkali mereka menyebut keadaan ini dengan
sebutan sabaat.
Imam Abu Bakr bin Furak meriwayatkan : “Aku bertanya
kepada Abu Utsman al-Maghriby : “Apakah ini, yang Anda
telah mengatakan itu?” Ia menjawab : “Aku melihat orang-
orang tertentu seperti ini dan seperti itu.” Lalu aku bertanya :
“Anda melihat mereka dengan wujud nyata Anda atau dengan
penyingkapan (mukasyafah)?” Ia menjawab : “Dengan
mukasyafah.”
Amir bin Abdul Qays menjelaskan : “Seandainya tabir
(kebenaran) disingkapkan, nsicaya hal itu tidak akan
menambah keyakinanku.”
Dikatakan : “Keyakinan adalah penglihatan langsung yang
dihasilkan oleh kekuatan iman.” Dikapatakan pula :
“Keyakinan adalah musnahnya tindak-tindak perlawanan.”
171
Al Junayd menegaskan : “Keyakinan adalah berhentinya
keraguan dalam penyaksian Yang Gaib.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkaa
mengenai sabda Rasulullah saw. tentang Isa bin Maryam
as. “Seandainya ia bertambah dalam hal keyakinan, nisacaya
ia akan dapat berjalan di udara.”
Syeikh menjelaskan bahwa denga ucpannya itu Nabi saw.
merujuk kepada keadaan beliau pada malam Mi’raj, sebab
berkaitan dengan misteri-misteri Mi’raj itulah beliau
mengatakan : “Kulihat buraq tinggal di belakang sedang aku
terus berjalan.”
Al-Junayd mengabarkan bahwa ketika as-Sary ditanya
tentang keyakinan, ia menjawab : “Keyakinan adalah
ketenangan hatimu yang tidak tergoyahkan ketika pikiran-
pikiran bergerak menembus dadamu dikarenakan
keyakinanmu bahwa gerakan apa pun yang engkau lakukan
tidak akan mendatangkan manfaat bagimu ataupun menolak
darimu apa yang telah ditetapkan (Allah).”
Ali bin Sahal berkata : “Berada di dalam hadirat Allah swt.
(Hudhur) lebih diutamakan daripada keyakinan. Karena
hudhur bersifat menetap, sedangkan yakin bersifat bisikan.”
Dengan ucapan ini seakan-akan Ali bin Sahl menempatkan
keyakinan di awal kebenaran hudhur, dan menjadikan hudhur
sebagai kelanjutan dari keyakinan. Ini seakan-akan ia
memandang mungkin dicapainya keyakinan terlepas dari
keadaan hudhur, tapi situasi sebaliknya adalah tidak mungkin.
Karena itu an-Nury berkata : “Keyakinan adalah musyahadah.”
Maksudnya, bahwa dalam musyahadah ada keyakinan dan
tiada keraguan di dalamnya, sebab musyahadah menafikan
kepercayaan yang tidak kokoh.
172
Abu Bakr al-Warraq berkomentar : “Keyakinan adalah
landasan hati, dan iman disempurnakan?” Ia menjawab :
“Wahai orang yang lemah keyakinan, apakah Dia yang
mampu memelihara langit dan bumi tidak mampu
menyampaikan aku ke Mekkah tanpa bergantung bekal?”
Ibrahim selanjutnya menuturkan : “Ketika aku tiba di Mekkah,
kulihat pemuda itu sedang melakukan thawaf sambil berkata :
Wahai mata yang senantiasa menangis,
Wahai jiwa kematian yang begitu berduka,
Janganlau engkau cintai seiapapun
Selain Dia Yang Maha Agung, Tempat Bergantung.
Dan ketika ia meliahtku, ia pun bertanya : “Wahai orang
tua, apakah setelah ini engkau masih berada dalam
kelemahan keyakinanmu?”
Ishaq an-Nahrajury berkata : “Jika seorang ghamba
menyempurnakan pengertian batiniahnya tentang yakin,
maka cobaan akan menjadi nikmat baginya, dan kenyamanan
menjadi malapetaka.”
Abu Bakr al Warraq berkata : “Ada tiga aspek keyakinan :
Keyakinan informatif; keyakinan akan bukti (dalalat) dan
keyakinan musyahadah.”
Abu Thurab an-Naksyaby menuturkan : Ketika aku melihat
seorang pemuda berjala di apdang pasir tanpa bekal, aku
berkata dalam hati : “Jika ia tidak punya keyakinan, niscaya
akan binasa.” Aku bertanya kepadanya : “Wahai anak muda,
apakah engkau berada di tempat seperti ini tanpa
peerbekalan?” Ia menjawab : “Wahai orang tua, angkatlah
kepalamu. Apakah engkau melihat sesuatu selain Allah swt.?”
Aku pun berkata kepadanya : “Sekarang pergilah ke mana
engkau mau?”
173
Abu Sa’id al-Kharraz menjelaskan : “Ilmu adalah apa yang
membuatmu mampu untuk bertindak, dan keyakinan adalah
apa yang mendorongmu bertindak.”
Ibrahim al-Khawwas berkomentar : “Pernah aku berupaya
mencari nafkah yang memungkinkan aku memperoleh makan
yang halal. Aku menjadi nelayan. Pada suatu hari seekor ikan
berenang memasuki jaringku, dan aku mengambilnya lalu
meleparkan kembali jalaku ke air. Kemudain masuklah ikan
lain ke dalamnya, dan sekali lagi aKemudain terdengar sebuah
suara gaib berseru : “Apakah engkau tidak bisa mencari
penghidupan selain dengan cara menangkap mereka yang
berdzikir kepada Kami, kemudian membunuhnya?”
Mendengar itu, aku lalu merobek-robek jalaku dan berhenti
mencari ikan.”

20.
SABAR

Allah swt. berfirman :


“Bersabarlah, dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan
dengan pertolongan Allah.” (Qs. An-Nahl :217).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Aisyah
menuturkan hadis berikut ini dari Rasulullah saw. Yang
bersabda :
“Sabar (yang sebenarnya) itu adalah pada saat
mengahadapi cobaan yang pertama.” (H.r. Bukhari, Tirmidzi
dan Nasa’i).
Kemudian sabar dibagi dalam beberapa macam : Sabar
terhadap apa yang diupayakan, dan sabar terhadap apa yang
174
tanpa diupayakan. Mengenai sabar dengan upaya, terbagi
menjadi dua : Sabar dalam menjalankan perintah Allah dan
sabar dalam menjauhi larangan-Nya. Mengenai sabar
terhadap hal-hal yang tidak melalui upaya dari si hamba,
maka kesabarannya adalah dalam menjalankan ketentuan
Allah yang menimbulkan kesukaran baginya.
AL-Junayd menegaskan : “Perjalanan dari dunia ke akhirat
adalah mudah bagi orang beriman, tetapi hijrahnya dari sisi
Allah swt. adalah sulit. Dan perjalanan dari diri sendiri menuju
Allah swt. adalah sulit. Dan perjalanan dari diri sendiri menuju
Allah swt. adalah sangat sulit, tetapi yang lebih sulit lagi
adalah bersabar bersama Allah swt.”
Ketika ditanya tentang sabar, al-Junayd
menjawab : “Sabar adalah meneguk kepahitan tanpa wajah
cemberut.”
Ali bin Abu Thalib r.a. mengatakan : “Hubungan antara
sabar dengan iman aalah seperti hubungan antara kepala
dengan badan.”
Abu Qasim al-Hakim menjelaskan : “Firman Allah swt.
“Dan bersabarlah, adalah perintah untuk beribadat, dan
firman-Nya, “Dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan
pertolongan Allah.” (Qs. an-Nahl :127) adalah untuk ubudiyah.
Barangsiapa naik dari derajat “bagi-Mu” menuju derajat
“dengan-Mu” maka ia telah beralih dari derajat ibadah ke
ubudiyah. Rasulullah saw. bersabda :
“Dengan Mu aku hidup dan dengan-Mu aku mati.”
Abu sulaiman tentag sabar , dan ia mengatakan : “Demi
Allah, Kita tidak dapat bersabar dengan apa yang kita sukai,
jadi bagaimana pula halnya dengan apa yang tidak kita
sukai?”
175
Dzun Nuun berkata : “Sabar adalah menjauhi pelanggaran
dan tetap bersikap rela sementara merasakan sakitnya
penderitaan, dan sabar juga menampakkan kekayaan ketika
ditimpa kemiskinan di lapangan kehidupan.”
Ibnu Atha’ berkata : “Sabar adalah tetap tabah dalam
malapetaka dengan perilaku adab.” Dikatakan : “Sabar adalah
fana’ jiwa dalam cobaan, tanpa keluhan.”
Abu Utsman berkomentar : “Orang yang paling sabar
adalah yang terbiasa dalam kesengsaraan yang menimpa
dirinya.” Dikatakan : “Sabar adalah menjalani cobaan dengan
sikap yang sama seperti menghadapi kenikmatan.”
Abu Utsman juga berkata : “Pahala paling besar bagi
ibadat adalah pahala utuk kesabaran. Tidak ada pahala lain
yang melebihinya. Allah swt. berjanji : “Dan sesungghnya
Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka
kerjakan.” (Qs. An-Nahl :96).
Amru bin Utsman mengatakan : “Sabar adalah berlaku
teguh terhadap Allah swt, dan menerima cobaan-cobaan-Nya
dengan sikap lapang dada dan tenang.”
Al-Khawwas menjelaskan : “Sabar adalah menetapi
ketentuan-ketentuan Kitabullah dan Sunnah Rasul.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan : “Sabar para pecinta
adalah lebih besar daripada sabar orang zuhud. Betapa
mengagumkan, bagaimana mereka bersabar?”
Mereka telah menyenandungkan :
Kesabaran begitu indah di mana saja,
Kecuali kepadamu,
Sabarmu tidaklah indah.

176
Ruwaym berkata : “Sabar adalah meninggalkan keluh
kesah.”
Dzun Nuun berkata : “Sabar adalah meminta pertolongan
kepada Allah swt.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Sabar adalah
seperti namanya.” Syeikh Abu Abdurrahman melantunkan
syair kepada saya, dari Abu Bakr ar-Razy, dari syair Ibnu Atha’
:
Aku akan bersabar untuk ridha-Mu,
Sedang rindu menghancurkan diriku.
Cukuplah bagiku bahwa Engkau ridha.
Meskipun diriku hancur karena sabarku.
Abu Abdullah bin Khafif mengatakan : “Sabar ada tiga
macam : Sabar orang yang berjuang untuk bersabar
(mutashabbir), sabar orang yagn sabar (shabir) dan sabarnya
orang yang sangat bersabar )Shabbar).”
Ali bin Abu Thalib r.a. berkata : “Sabar adalah gunung
yang tak pernah terguling.”
Ali bin Abdullah al-bashry menuturkan : “Seorang laki-laki
datang kepada as-Syibly dan bertanya : “Sabar macam
manakah yang tersulit bagi orang bersabar?” Ia menjawab :
“Yaitu sabar terhadap Allah swt. Tetapi orang itu
menyanggah : “Bukan!” Asy-Syibly menyarankan : “Sabar
untuk Allah.” Orang itu menyanggah lagi : Bukan!” Asy-Syibly
menjawab : “Sabar bersama Allah.” Sekali lagi orang itu
menyanggah : “Bukan!” Asy-Syibly bertanya : “Lantas, sabar
yang mana?” Orang itu menjawab : “Sabar berjauhan dengan
Allah.” Mendengar jawaban itu asy-Syibly berteriak
sedemikian rupa sehingga nyaris ruhnya melayang.”

177
Abu Muhammad Ahmad al—Jurairy menjelaskan : “Sabar
tidaklah membedakan keadaan bahagia atau menderita,
disertai dengan ketenteraman pikiran dalam keduanya.
Bersikap sabar adalah mengalami kedamaian ketika
menerima cobaan, meskipun dengan adanya kesadaran akan
beban penderitaan.”
Salah seorang Sufi menyenandungkan :
Aku bersabar dan aku belum melihat kehendak-Mu atas
sabarku
Dan kusembunyikan petaka yang Kau kenakan
Pada diriku, di tempat sabar.
Takut bahwa hatiku akan mengeluh tentag deritaku.
Sampai air mataku mengalir, penuh rahasia
Dan aku tak tahu.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar : “Orang yang
sabar akan mencapai derajat yang tinggi di dunia dan di
akhirat, sebab mereka telah mendapat derajat kesertaan di
sisi Allah swt. sebagaimana firman-Nya : “Sesungguhnya Allah
berserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-Nafal :46).
Dikatakan mengenai arti firman Allah swt. : “Hai orang-orang
yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan kaitkanlah (dirimu kepada Allah)>” (Qs. Ali
Imran : 200). Bahwa sabar (shabr) adalah berada di bawah
tahap berteguh hati dalam kesabaran (mushaabarah) dan
dibawah tahap mengaitkan diri kepada Allah (muraabathah).”
Dikatakan juga : “Bersabarlah’ dengan dirimu dalam taat
kepada Alalh swt. Berteguhlah dalam kesabaran’ dengan
hatimu dalam menghadapi cobaan-cobaan yang berkaitan
dengan Allah swt. dan “kaitkanlah’ jiwamu terhadap kerinduan
kepada Allah swt. Juga dikatakan : “”Bersabarlah” kepada
178
Alalh, ‘berteguhlah dalam kesabaran’ dengan Allah, dan
‘kaitkanlah’ jiwamu dengan Allah.”
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Daud as.
: “Berakhlaklah dengan Akhlak-Ku. Di antaranya adalah bahwa
Aku adalah Yang Maha Penyabar.”
Dikatakan : “Seraplah kesabaran. Jika ia membunuhmu,
engkau akan mati sebagai syahid. Jika ia menghidupimu,
maka engkau akan hidup sebagai seorang yang mulia.”
Dikatakan juga : “Kesabaran untuk Allah adalah
kesukaran, sabar dengan Allah adalah baqa’, sabar jauh di
dalam Allah adalah cobaan, dan sabar jauh dari Allah adalah
sangat hampa.”
Para Sufi bersyair :
Kesabaran berjauhan dengan-Mu tercela akibatnya,
Namun terpujilah segala kesabaran yang lain.
Mereka juga membacakan :
Bagaimana sabar, orang yang lepas dari-Ku
Laksana utara dan selatan
Ketika orang-orang bermain-main di segala hal
Aku melihat cinta bermain dengan orang-orang itu.
Dikatakan : “Sabar dalam mencari pemenuhan hidup
adalah tanda kemenangan, dan sabar dalam kesukaran
adalah tanda keselamatan.”
Dikatakan : “Bersikap teguh dalam kesabaran adalah
sabar dalam bersabar, sampai kesabaran tenggelam dalam
kesabaran dan kesabaran berputus asa dari kesabaran,
sebagaimana dikatakan syair :
Sabar orang yang sabar hingga kesabaran meminta
Pertolongan kepadanya
Sang pecinta berseru kepada kesabaran :Sabarlah!.”
179
Suatu ketika Syibly sedang ditahan di rumah sakit jiwa,
dan sekelompok orang daang menjenguknya. Ia bertanya :
Siapakah kalian?” Mereka amenjawab : “Kami adalah sahabat-
sahabat tercintamu yang datang untuk mengunjungimu.”
Maka syibly lalu mulai melempari mereka dengan batu hingga
mereka pun berlarian. Ia berteriak, : “Wahai para pendusta,
jika kalian memang sahabt-sahabatku, niscaya kalian akan
sabar ketika aku uji.”
Dalam suatu riwayat disebutkan : “Demi penglihatan-Ku,
apa yang dipukul oleh mereka yang memikul beban demi Aku,
adalah dalam penglihatan-Ku.”
Allah swt. berfirman :
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu,
karena sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan
Kamu.” (Qs. Ath-Thuur :48).
Salah seorang Sufi mengabarkan : “Aku sedang berada di
Mekkah – semoga Allah swt. menjaganya – dan kulihat
seorang fakir sedang melakukan thawaf. Ia mengeluarkan
selembar kertas dari saku bajunya, melihatnya, kemudian
meneruskan thawafnya. Hari berikutnya kulihat ia melakukan
hal yang sama. Aku memperhatikannya selama beberapa hari,
dan ia terus berbuat demikian. Lalu pada suatu hari ia
berjalan mengelilingi Ka’bah, melihat kertas itu, mundur
beberapa langkah, kemudian jatuh dan mati. Aku mengambil
kertas yang ada di sakunya, dan dilamnya tertulis : “Dan
bersabarlah menunggu ketetapan Tuhanmu, karena
sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan kami.”
Sebagian Sufi berkata : “Aku masuk ke negeri India dan
aku melihat seorang pemuda bermata satu, yang dijuluki
orang “Si Fulan yang Sabar.” Ketika aku bertanya tentangnya,
180
orang mengatakan kepadaku, : “Semasa muda, seorang
sahabtnya berangkat untuk bepergian jauh. Ketika sahabtnya
itu berpamitan, meneteslah air mata dari salah satu kelopak
matanya, namun kelopak matanya yang sebelah lagi tidak. Ia
katakan kepada bola matanya yang tidak menangis itu :
“Mengapa engkau tidak menangis ata keberangkatan
sahabatku?” Engkau kularang melihat dunia ini!” Lalu
ditutupnya matanya itu, dan selama enampuluh tahun belum
pernah dibukanya.”
Dikatakan tentang firman Allah swt. : “Maka bersabarlah
kamu dengan sabar yang baik.” (Qs. Al-Ma’arij :5), bahwa :
Sabar yang baik” itu adalah sabar yang mencegah
diketahuinya korban yang terkena penderitaan.
Umar bin Khtahthab r.a. berkata : “Seandainya kesabaran
dan syukur itu adalah dua ekor unta, bagiku akan sama saja
mana yang akan kukendarai.”
Ketika terkena cobaan, Ibnu Syabramah – semoga Allah
swt. merahmatinya – biasa mengatakan : “Semua ini hanyalah
awan.” Dan cobaan itu akan berlalu.”
Ketika Rasulullah ditanya tentang iman, beliau
menjelaskan :
“(Iman) adalah keteguhan hati dalam bersabar dan
bersikap murah hati.” (H.r. Abu Ya’la dan Baihaqi).
As-Sary ditanya tentang sabar, dan ia mulai berbicara.
Lalu seekor kalajengking merayap ke kakinya dan
menyengatnya beberapa kali, namun ia sama sekali tidak
bergeming. Seseorang bertanya kepadanya : “Mengapa
engkau tidak mencampakkannya?” Ia menjawab : “Aku malu
kepada Allah swt. untuk berbicara tentang sabar sedang aku
sendiri tidak sabar.”
181
Dalam sebuah Hadits dikatakan : “Orang-orang miskin
yang sabar akan bersama di majelis Allah swt. di hari
Kebangkitan.”
Allah swt. mewahyukan kepada salah seorang Nabi-Nya :
“Aku menurunkan cobaan kepada hamba-Ku, lalu ia berdoa
kepada-Ku. Tetapi aku menangguhkan doanya dan ia
mengeluh kepada-Ku. Maka Aku lalu bertanya : “Wahai
hambaku, bagaimana Aku mengasihimu dari suatu yang
dengannya Aku mengasihimu?”
Ibnu “Uyaynah berkomentar megeai arti firman Allah
swt. : “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-
pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami
ketika mereka sabar.” (Qs. As-Sajdah : 24). Bahwa artinya
adalah : “Karena mereka memahami kepedulian pokok
persoalan, maka kami angkat mereka sebagai pemimpin.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan :
“Kondisi bersabar adalah jika engkau tidak berkeberatan
terhadap apa yang telah ditetapkan (takdir), sedangkan
menampakkan cobaan tanpa mengeluh, maka hal ini tidaklah
menghilangkan sabar. Allah swt. berfirman dalam kisah Nabi
Ayyub as, : “Sesungguhnya Kami dapati ia seorang yang
sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia senantiasa
berpaling (kepada Kami).” (Qs. Shaad :44). Allah
memfirmankan ini meskipun Ayyub berkata : “Sesungguhnya
aku telah ditimpa penyakit.” (Qs. Al-Anbiya : 83).” Dan saya
mendengar beliau mengatakan : “Allah menyebutkan ucapan
Ayyub ini agar ucapan tersebut menjadi jalan ke luar bagi
orang-orang yang lemah di antara ummat ini.”
Salah seorang Sufi mengatakan, Allah swt. berfirman :
“Sesungguhnya Kami dapati ia seorang yang sabar (shabir).”
182
Dia tidak berfirman : “yang paling sabar (hsabur).” Sebab
Ayyub tidaklah sabar sepanjang waktu. Sebaliknya, terkadang
beliau merasa senang terhadap cobaan yang menimmpa
dirinya dan mendapati cobaan tersebut menyenangkan. Pada
saat menyenangi cobaan tersebut, beliau bukanlah orang
yang sabar; karena itu Allah tidak menyebutnya, “yang paling
sabar.”
Syeikh Abu ali ad-Daqqaq menegaskan : “Hakikat sabar
adalah jika si hamba keluar dari cobaan dalam keadaan
seperti ketika memasukinya, sebagaimana dikatakan oleh
Ayyub as. Pada akhir cobaan yang menimpa diri beliau.
“Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau
adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yang
menyayangi.” Ayyub memperlihatkan sikap berbicara yang
layak dengan ucapannya : “Dan Engkau adalah Tuhan Yang
Maha Penyayang di antara semua yag menyayangi.” Tetapi
beliau tidak berkata secara jelas, dengan kata-kata :
“Limpahkanlah kasih sayang-Mu kepadaku.”
Sabar ada dua macam : Sabar para ahli ibadat (abidin)
dan sabar para pecinta (muhibbin). Mengenai sabar para ahli
ibadat, adalah lebih baik jika sabar macam ini dipelihara.
Mengenai sabar para pecinta, sebaiknya ditinggalkan. Tentang
makna kata-kata ini, para Sufi membacakan syair berikut :
Di Hari perpisahan, bahwa keputusannya
Untuk bersabar adalah satu di antara dua
Sangkaan-sangkaan dan dusta
Mengeni arti syair ini, saya telah mendengar Syeikh Abu
Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Ya’kub as. Telah menyiapkan
dirinya untuk bersabar. Karenanya, beliau lalu mengatakan :
“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Artinya :
183
“Sikapku adalah bersabar dengan sabar yang baik.” Namun
belum sampai malam tiba, beliau sudah mengatakan : “Aduhai
duka citaku terhadap Yunus.” (Qs. Yusuf :84).

21.
MURAQABAH

Allah swt. berfirman :


“Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.” (Qs. Al-
Ahzab :52).
Diriwayatkan dalam suatu Hadits, bahwa malaikat Jibril
datang kepada Rasulullah saw. dalam rupa sebagai seorang
manusia. Ia bertanya :
“Wahai Muhammmad, apakah iman itu?” Beliau menjawab
: “Iman adalah bahwa engkau percaya kepada Allah swt. para
Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusan-Nya, dan kepada
takdir yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun
yang pahit.” Jibril berkata : “Engkau benar.” Jariri (perawai
Hadits ini) berkata : “Kami semua heran atas penegasannya
terhadap kebenaran jawaban Nabi, sedangkan Jibril sendiri
yang bertanya. Kemudian Jibril bertanya lagi : “Katakanlah
kepadaku, apakah Islam itu?” Nabi saw. menjawab : “Islam
yaitu hendaknya engkau menegakkan shalat, membayar
zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan melaksanakan
Ibadat Haji ke Baitullah.” Jibril berkata : “Engkau benar”.
Keudian ia bertanya lagi : “Katakanlah kepadaku, apakah
ihsan itu?” Nabi menjawab : “Ihsan yaitu hendaknya engkau
menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, (namun)
jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”

184
Jibril berkata : “Engkau benar.” (Hr. Muslim, Tirmidzi, Abu
Dawud dan Nasa’i).
Syeikh Ali ad-Daqqaq berkomentar, bahwa sabda Nabi
saw. “Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia
melihatmu.” Merupakan petunjuk mengenai keadaan mawas
diriepatnya ia dalam kesadaran ini merupakan muraqabah
kepada Allah swt, dan inilah sumber kebaikan baginya. Ia
hanya akan sampai kepada muraqabah ini setelah
sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinya sendiri
mengenai apa yang telah terjadi di masa lampau,
memperbaiki keadaannya di masa kini, tetapi berteguh di
jalan yang benar, memperbaiki hubungannya dengan Allah
swt. dengan sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat
senantiasa ingat kepada Allah swt. taat kepada-Nya dalam
segala kondisi. Baru setelah ia mengetahui keadaan-
keadaannya. Dia melihat perbuatannya, dan Dia mendengar
perkataannya. Orang yang alpa akan semua hal ini, ia akan
jatuh dari titik awal wushul, lalu bagaimana ia akan mencapai
taqarub?”
Al-Jurairy berkata : “Orang yang belum mengukuhkan
rasa takwa dan muraqabah dirinya kepada Allah swt. tidak
akan mencapai mukasyafah dan musyahadah.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq – semoga Allah merahmatinya
--- berkata : “Suatu ketika ada seorang raja mempunyai
seorang menteri yang mendampingi di hadapannya. Sang
menteri berpaling kepada salah seorang pelayan yang hadir,
bukan karena curiga, tapi karena merasa adanya bisik-bisik di
antara pelayang itu. Kebetulan sang raja juga sedang
memperhatikan menterinya itu. Sang menteri khawatir bila
sang raja akan mengira ia melihat kepada para pelayan itu
185
karena curiga. Karena itu, sang menteri tetap mengarahkan
pandangannya kepada mereka. Sejak hari itu sang menteri
selalu datang kepada raja dengan mata memandang ke satu
sisi. Inilah mawas diri seorang manusia terhadap sessamanya;
maka bagaimana pula halnya mawas diri hamba terhadap
Tuhannya?”
Saya mendengar sorang fakir mengabarkan : “Ada
seorang raja mempunyai seorang pelayan yang mendapat
perhatian lebih dari pelayan lainnya. Tidak seorang pun di
antara mereka yang lebih berharga atau lebih tampan dari
pelayan yang satu itu. Sang raja ditanya tentang hal ini, maka
ia lalu ingin menjelaskan kepada mereka kelebihan pelayan
tersebut dari pelayan lainnya dalam pengabdian. Suatu hari ia
sedang menunggu kuda bersama para pengiringnya. Di
kejauhan tampak sebuah gunung bersalju. Sang Raja menatap
ke arah salju itu dan membungkukkan kepala. Si pelayan lalu
memacu kudanya. Orang-orang tidak tau mengapa si pelayan
memacu kudanya. Tidak lama kemudian ia kembali dengan
membawa sidikit salju. Sang raja bertanya kepadanya :
“Bagaimana engkau tau bahwa aku menginginkan salju?” Si
pelayan menjawab : “Karena paduka menatapnya terus, dan
seorang raja hanya melihat sessuatu jika mempunyai niat
yang benar.” Maka sang raja lalu berkata : “Aku memberinya
anugerah dan kehormatan khusus, karena bagi setiap orang
ada pekerjaanya sendiri, dan pekerjannya adalah mengamati
pandangan mataku dan memperhatikan keadaanku.”
Salah seorang Sufi berkomentar : “Orang yang muraqabah
kepada Allah dalam benaknya, niscaya Allah swt. akan
menjaga anggota badannya.”

186
Ketika Abu Husain bin Hind ditanya : “Kapankah seorang
hamba mengusir domba-dombanya ari padang kebinasaan
dengan tongkat panjangnya?” Ia menjawab : “Manakala ia tau
bahwa seseorang sedang memperhatikannya.”
Ketika Ibnu Umar r.a. sedang berada dalam perjalanan ia
melihat seorang anak laki-laki sedang mengembalakan
kambing. Ibnu Umar bertanya kepadanya : “Maukah engkau
menjual seekor kambingmu kepadaku?” Si anak menjawab :
“Kambing-kambing ini bukan milikku.” Ibnu Umar berkata :
“Katakan saja kepada pemiliknya bahwa seekor serigala telah
melarikannya.” Si anak berkata : “Lantas di mana Allah?”
Setelah kejadian itu, untuk beberapa waktu lamanya Ibnu
Umar selalu mengatakan : “Budak itu berkata : :Di mana
Allah?”
Al-Junayd berkata : “Barangsiapa mewujudan muraqabah,
hanyalah takut akan hilangnya bagian dari Allah swt. tidak
yang lain.”
Salah seorang syeikh mempunyai beberapa murid, dan ia
lebih menyukai salah seorang muridnya dn memberinya
perhatian lebih daripada murid-murid yang lain. Ketika ditanya
tentang hal itu, ia menjawab : “Aku akan menunjukkan
kepaamu mengapa aku bersikap demikian terhadapnya.” Lalu
diberikannya kepada setiap orang muridnya seekor burung
dan memerintahkan kepada mereka : “Sembelihah burung-
burung itu di suatu tempat di mana tidak seorang pun akan
melihatnya!.” Mereka semua lalu berangkat, kemudian
masing-masing kembali dengan burung sembelihannya. Tetapi
murid kesayangannya itu kembali dengan membawa burung
pemberian sang Syeikh yang masih dalam keadaan hidup.
Ketika Syeikh bertanya : “Mengapa engkau tidak
187
menyembelihnya?” Si murid menjawab : “Tuan
memerintahkan saya untuk menyembelih burung ini di tempat
yang tidak dilihat oleh siapa pun, dan saya tidak bisa
menemukan tempat seperti itu.” Mendengar jawaban
muridnya itu sang Syeikh lalu berkata kepada murid-murid
yang lain : “Inilah sebabnya mengapa aku lebih memberikan
perhatian kepadanya.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Tanda muraqabah
adalah memilih apa yang di pilih oleh Allah swt. menganggap
besar apa yang dipandang besar oleh-Nya dan menganggap
remeh apa yang di pandang-Nya remeh.”
Ibrahim an-Nashr abadzy menegaskan : “Harapan (raja’)
mendorongmu untuk taat, takut (khauf) menghindarkanmu
dari maksiat; dan muraqabah diri membawamu kepada jalan
kebenaran hakiki.”
Ketika ditanyakan kepada Ja’far bin Nashr mengenai
muraqabah, ia berkata kepada saya : “Muraqabah adalah
menjaga diri terhadap sirri dikarenakan adanya kesadaran
akan pengawan Allah swt. terhadap setiap bisikan.”
Al Jurairy menjelaskan : “Jalan kita didbangun atas dua
bagian yaitu hendaknya engkau memaksa jiwamu untuk
muraqabah terhadap Allah swt. dan hendaknya ilmu tampak
dalam perilaku lahiriahmu.”
Abdullah al-Murta’isy berkomentar : “ Muraqabah adalah
menjaga diti atas batin sendiri dikarenakan kesadaran akan
Yang Ghaib dalam setiap pandangan dan ucaparn.”
Ketika Ibnu Atha’ ditanya : “Amal ibadat apakah yang
paling baik?” Ia menjawab : “Muraqabah terhadap Allah swt di
setiap waktu.”

188
Ibrahim al-Khawwas berkata : “Kemawasan diri
menghasilkan muraqabah; muraqabah menghasilkan
ketulusan bagin dan lahir, semata kepada Allah swt.”
Abu Utsman al-Maghriby menegaskan : “Disiplin paling
utama pada diri manusia dalam menempuh tharikat ini adalah
instropeksi dan muraqabah, sedang aplikasinya dengan ilmu.”
Abu Utsman menuturkan : “Abu Hafs mengatakan
kepadaku, : “Manakala engkau duduk mengajar orang
gbanyak, jadilah seorang penasihat kepada hati dan jiwamu
sendiri dan jangan biarkan dirimu tertipu oleh berkumpulnya
mereka di sekelilingmu, sebab mereka hanya memperhatikan
wujud lahiriahmu, sedangkan Allah swt. memperhatikan wujud
batinmu.”
Abu Sa’id al-Kharraz mengabarkan : “Salah seorang
syeikh mengatakan kepadaku : “Engkau harus mengawasi
batinmu dan bermawas diri terhadap Allah. Suaut ketika aku
sedang bepergian melalui padang pasir, dan tiba-tiba aku
mendengar suara keras yang menakutkan di belakangku. Aku
ingin menoleh tapi, hatl itu tak kulakukan. Lalu aku melihat
sesuatu jatuh ke atas pundakku, dan aku menoleh, sedang
aku menjaga batinku, lantas aku menoleh dan kulihat seekor
binatang buas yang besar.”
Muhammad al-Wasithy berkata : “Amal ibadat terbaik
adalah menjaga waktu. Artinya, si hamba tidak melihat ke luar
batas dirinya, tidak memikirkan sesuatu pun selain Tuhannya,
dan tidak menyertakan diri dengan sesuatu pun selain
waktunya.”

22.
RIDHA
189
Allah swt. berfirman :
“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha
kepada-Nya.” (Qs. Al-maidah : 119; Al-Bayyinah :8).
Jabir r.a. mengabarkan bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Para Penghuni surga akan berada di dalam sebuah
majelis ketika suatu cahaya dari pintu gerbang surga
menyinari mereka, Mereka akan mengangkat kepala dan Allah
swt. akan memandang mereka dan berfirman : “Wahai
penghuni surga, mintalah kepada-Ku apa yang kalian
inginkan!.” Mereka akan menjawab : “Kami mohon agar
Engkau ridha kepada kami.” Allah swt. menjawab :
“Keridhaan-Ku telah membawa kalian ke rumah-Ku, dan Aku
telah memberi kalian kemuliaan-Ku. Ini adalah saat yang
tepat, maka bermohonlah kepada-Ku!” Mereka menjawab :
“Kami memohon tambahan selain ini.”
Selanjutnya Rasul saw. bersabda : “Kemudian mereka
akan dibawakan kednaraan istimewa dari mutu manikam,
kendalinya dari zamrud hijau an manikam merah. Mereka
menaikinya, dan kendaraan itu akan melesat cepet melebihi
kecepatan peglihatan mata. Lalu Allah swt. memerintahkan
buah-buahan yang lezat serta bidadari supaya dibawa kepada
mereka, dan para bidadari itu akan berkata: “Kami adalah
penghibur kenikmatan yang gemulai, dan kami tidak akan
menjadi layu. Kami abadi dan tidak akan mati – jodoh bagi
kaum beriman yang mulia.” Selanjutnya Allah akan
memerintahkan agar didatangkan minyak misik putih yang
harus semerbak, dan mereka akan berputar berkeliling dibawa
angin yang disebut “al-Mutsirah” sampai akhirnya mereka di
190
bawa ke Surga “Adn, yang merupakan pusat surga. Para
malaikat akan menyerukan : “Wahai Tuhan kami, mereka telah
datang .” Allah swt. berfirman : “Selamat datang orang-orang
yang benar, selamat datang orang-orang yang taat!.”
Lalu Rasulullah saw. bersabda : “Maka tabir pun akan
disingkapkan bagi mereka. Mereka akan memandang kepada
Allah swt. dan mereka akan menikmati Cahaya Yang Maha
Pegasih hingga mereka tidak akan melihat satu sama lain.
Kemudian Allah swt. memerintahkan : “Kembalikan mereka ke
istana-istana mereka dengan hadiah.”
Rasulullah saw. menlanjutkan : “Mereka akan dibawa
kembali ke tempat tinggal mereka dan mereka akan dapat
saling pandang lagi.” Lalu Rasulullah saw. menjelaskan :
“Itulah yang dimaksud dengan firman Allah swt.” Sebagai
hadiah dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Qs. Futhshilat : 32).” (H.r. Ibnu an-Najjar dan al-
Bazzar).
Ulama Irak dan Khurasan berbeda pendapat mengenai
ridha. Apakah ia termasuk keadaan ruhani (ahwah) ataukah
maqam? Ulama Khurasan mengatakan : “Ridha adalah salah
satu maqam, sebagai puncak dari tawakkal kepada Allah swt.
Ini berarti bahwa ridha dapat dicapai oleh si hamba dengan
upayanya sendiri.” Sedang ulama Iraq mengatakan : “Ridha
adalah ssalah satu ahwal, bukan sesuatu yang diperoleh
dengan upaya si hamba. Ridha adalah sesuatu yang
memasuki hati, seperti halnya haal-haal yang lain.” Sebuah
kompromi antara dua pandangan ini dapat diajukan, dengan
pernyataan demikian : “Awal ridha adalah sesuatu yang
dicapai oleh si hamba dan merupakan maqam, meskipun

191
pada akhirnya ridha merupakan kondisi ruhani (haal) dan
bukan sesuatu yang diperoleh dengan upaya.”
Banyak orang berbicara tentang ridha, masing-masing
mengungkapkan keadaan dan konsumsi ruhaninya. Maka
ungkapan pendapat mereka berbeda-beda, sebagaimmana
berbedanya pengalaman meneguk ruhani dan bagian masing-
masing.
Sementara syarat ilmu, maka menjadi keharusan. Orang
yang ridha dengan Allah swt. adalah orang yang sama sekali
tidak menentang takdir-Nya.
Syeikh Abu ali ad-Daqqaq mengatakan : “Ridha bukanlah
bahwa engkau tidak mengalami cobaan, ridha hanyalah
bahwa engkau tidak berkeberatan terhadap hukum dan qadha
Allah swt.”
Ketahuilah, kewajiban bagi hamba adalah rela terhadap
ketentuan Alalh swt. yang telah diperintahkan agar ia ridha
dengannya. Sebab tidaklah setiap ketentuan itu
mengharuskan ia ridha, atau boleh ridha dengan qadha
tersebut, misalnya kemakssiatan dan banyaknya fitnah yang
menimpa kaum muslimin.
Para syeikh berkomentar : “Keridhaan adalah gerbang
Allah swt. yang terbesar.” Maksud mereka adalah, bahwa
barangsiapa mendapat kehormatan dengan ridha, berarti ia
telah disambut dengan sambutan paling sempurna, dan
dihormati dengan penghormatan tertinggi.”
Abdul ahid bin Zaid menjelaskan : “Keridhaan adalah
gerbang Allah yang teragung dan surga dunia.”
Ketahuilah bahwa si hamba tidak akan mendekati derajat
ridha kecuali Allah swt. ridha terhadapnya, sebab Allah swt.

192
telah berfirman : “Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun
rela kepada-Nya.” (Qs. Al-Maidah :119).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturan : “Seorang murid
bertanya kepada gurunya : “Apakah si hamba mengetahui jika
Allah ridha kepadanya?” Sang guru menjawab : “Tidak,
bagaimana dapat mengetahuinya, sedang ridha-Nya gaib?” Si
murid berkata : “Sungguh ia tahu hal ini! Jika aku mendapati
hatiku ridha kepada Alalh swt. maka aku tahu bahwa Dia ridha
kepadaku.” Maka sang guru lalu berkata : “Sungguh baik
sekali ucapanmu itu, anak muda.”
Ketika Musa as. Berdoa : “Ilahi, bimbinglah aku kepada
amal yang mendatangkan keridhaan-Mu.” Allah swt.
menjawab : “Engkau tidak akan mampu melakukannya.” Musa
bersujud dan terus memohon. Maka Allah swt. lalu
mewahyukan kepadanya : “Wahai putra Imran, keridhaan-Ku
ada pada keridhaanmu menerima ketetapan-Ku.”
Abu Abdurrahman ad-Darany mengatakan : “Jika si hamba
membebaskan dirinya dari ingatan terhadap hawa nafsu,
maka ia akan mencapai ridha.”
An-Nashr Abadzy menegaskan : “Barangsiapa ingin
mencapai derajat kerelaan, hendaklah berpegang teguh apa-
apa yang paanya Allah telah menempatkan keridhaan-Nya.”
Abu Abdullah bin Khafif menjelaskan : “Ada dua macam
ridha; ridha dengan Allah swt. dan ridha terhadap apa yang
datang dari-Nya. Ridha dengan Alalh swt. berarti bahwa si
hamba rela terhadap-Nya sebagai Pengatur. Dan ridha
terhadap apa yang datang dari-Nya berkaitan dengan apa
yang telah ditetapkan-Nya.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan :
“Jalan sang pengembara ruhani (salikin) itu lebih panjang, dan
193
itulah jalan olah ruhani. Jalan kaum terpilih (khawwash) lebh
singkat, tapi lebih sulit dan menuntut agar engkau bertindak
sesuai dengan keridhaan dan juga ridha dengan takdir.”
Riwaym mengatakan : “Keridhaan adalah jika Allah
meletakkan neraka Jahanam di tangan kanannya, maka ia
tidak akan meminta agar Dia memindahkannya ke tangan
kirinya.”
Abu Bakr bin Thahir berkomentar : “Keridhaan adalah
menghilangkan kesedihan dari hati hingga tidak sesuatu pun
yang tinggal selain kebahagiaan dan kegembiraan.”
Al-Wasithy mengajarkan : “Manfaatkanlah keridhaan
sebesar-besarnya, dan jangan biarkan ia memanfaatkan
dirimu, agar kemanisan dan wawasannya tidak menabirimu
dari kebenran batin yang menyangkut penglihatanmu.”
Ketahuilah bahwa kata-kta al-Wasithy tersebut sangat
penting. Di dalamnya terdapat peringatan yang tersirat bagi
ummat, sebab ridha terhadap keadaan ruhani belaka
merupakan tabir yang gmenabiri Si Pemberi derajat keadaan
ruhani. Jika seseorng menemukan kesenangan dalam ridha
dan mengalami nikmatnya ridha dalam hatinya, maka ia telah
tertabiri oleh keadaannya sendiri dari musyahadah kebenran
batin. Al-Wasithy juga mengingatkan, : “Waspadalah terhadap
perasaan nikmat karena amal ibadat, sebab itu adalah racun
yang membawa maut.”
Ibnu Khafifi berkta : “Ridha adalah tenangnya hati dengan
ketetapan Alalh swt. dan keserassian hati dengan apa yang
menjadikan Allah swt. ridha dan dengan apa yang dipilih-
Nya.”
Ketika Rabi’ah al-Adawiyah ditanya : “Bilakah seorang
hamba dipandang ridha?” Ia menjawab : “Apabila baginya
194
penderitaan sama menggembirakannya dengan anugerah
nikmat.”
Diceritakan bahwa asy-Syibly menegaskan di hdapan al-
Junayd : “Tidak da daya dan kekuatan selain dengan Alalh, (la
haula wa laa quwwata illa billah)” dan al-Junayd mengatakan
kepadanya : “Ucapanmu itu merupakan ungkapan dada yang
sempit, dan dada sempit (sedih) karena meninggalkan ridha
pada ketentuan-Nya.” Asy-Syibly lalu terdiam.
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Ridha adalah jika
engkau tidak meminta surga kepada Alalh swt. atau
berlindung kepada-Nya dari neraka.
Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan : Ada tiga tanda ridha,
tidak punya pilihan sebelumm diputuskannya keteapan
(Allah), tidak merasakan kepahitan setelah diputuskannya
ketetapan, dan tetap merasakan gairah cinta ditengah-tengah
cobaan.”
Dikatakan kepada al-Husain putra Ali bin Abu Thalib r.a. :
“Abu Dzar mengatakan : “Kemiskinan lebih kucintai daripada
kekayaan, dan sakit lebih kucintai daripada kesehatan.” Al-
Husain menjawab : “Semoga Allah mengasihi Abu Dzar. Kalau
aku sendiri berpendapat, Orang yang menruh pilihan baik
Allah swt. baginya, tidak akan berkeinginan selaind ari apa
yang telah dipilihkan Allah swt. baginya.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan kepada Bisyr al-Hafi :
“Ridha adalah lebih baik daripada hidup zuhud di dunia ini,
sebab orang yang rela tidak pernah berkeinginan akan
sesuatu di luar keadaannya.”
Ketika Abu Utsman ditanya tentang sabda Nabi saw. : “Aku
memohon kepada-Mu ridha setelah diputuskannya ketetapan-
Mu.” Dijelaskannya, : “Ini karena ridha sebelum diputuskannya
195
ketetapan Allah, berarti adanya niat kuat untuk ridha, tetapi
ridha setelah diputuskannya ketetapan adalah ridha itu
sendiri.”
Abu Sulaiman berkata : “Seandainya aku ingin
mengetahui sebagian kecil saja tentang ridha. Sekali pun itu
akan menyebabkan aku masuk ke neraka, aku akan menjadi
orang yang ridha.”
Abu Umar ad-Dimasyqi mengatakan : “Ridha adalah
hilangnya kesedihan terhadap perintah yang manapun.”
Al-Junayd berkata : “Ridha berarti meniadakan pilihan.”
Ibnu Atha menegaskan : “Ridha adalah mengarahkan
perhatian hati pada berlalunya qadha bagi si hamba, yaitu
meninggalkan ketidak senangan terhdapnya.”
Ruwaym berkata : “Ridha, tenangnya hati dalam
menjalani ketetapan (Allah).”
An-Nury mengatakan : “Ridha adalah senangnya hati atas
pahitnya nasib.”
Al-Jurairy mengatakan : “Barangsiapa ridha tanpa batas,
Allah swt. akan mengangkat derajatnya di luar batas.”
Abu Turab an-Nakhsyaby menjelaskan : “Siapa pun tidak
akan pernah mendapatkan ridha manakala dalam hatinya ada
seberat biji sawi dunia.”
Diriwayatkan oleh al-Abbas bin Abdul Muthalib, bahwa
Rasulullah saw. menjelaskan : “Orang yang ridha Allah sebagai
Tuhannya, akan merasakan nikmatnya iman.” (Hr. Muslim,
Tirmidzi dan Ahmad).
Diceritakan bahwa Umar bin Khaththab menulis surat
kepada Abu Musa al-Asy’ary, “Amma ba’du”... bahwa segala
kebaikan terletak di dalam keridhaan. Maka jika engkau

196
mampu, jadilah orang yang ridha, jika tidak mampu jadilah
orang yang sabar.
Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa Utbah al-Ghulam
biasa menghabiskan malam-malamnya hingga pagi dengan
berucap : “Jika Engkau menghukumku, aku akan mencintai-
Mu, dan jika Engkau mengasihi aku, aku pun tetap
mencintamu.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan :
“Manusia dibuat dari lempung, dan lempung itu tiada bernilai
untuk menentang keputusan Allah swt.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “ Seorang laki-laki
mrah kepada salah seorang budaknya, maka si budak lalu
minta bantuan seorang laki-laki lainnya untuk menjadi
penengah. Ketika tuannya telah memaffkannya, si budak lalu
menangis, dan si penengah bertanya : “Mengapa engkau
menangis, sedangkan tuanmu telah memaafkanmu?” si tuan
berkata kepadanya : “Ia menginginkan ridhaku, dan tidak ada
jalan lagi baginya untuk memperolehnya. Karena itu ia
menangis.”

23.
UBUDIYAH

Allah swt. berfiman :


“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu
keyakinan.” (Qs. Al-Hijr :99).
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khurdry dari Abu Hurairah
r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda :

197
“Ada tujuh golonga manusia yag akan dinaungi Allah swt.
dalam naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan selain
naungan-Nya : Imam yang adil; pemuda yang bersemangat
dalam ibadat kepada Allah swt; seseorang yang hatinya
berkait dengan masjid sejak saat ia keluar hingga kembali (ke
masjid); dan dua orang yang saling mencintai karena Allah,
yang bertemu dan berpisah karena Allah, seseorang yang
mengingat Allah swt. hingga air matanya mengalir; serta
seseorang yang digoda seorang wanita baik dan cantik, lantas
menjawab dengan ucapan : “Aku takut kepada Allah Tuhan
semesta alam; dan seseorang yang bersedekah dengan diam-
diam hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan
oleh tangan kanannya.” (H.r. Bukhari – Muslim, Tirmidzi dan
Nasa’i).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Ubudiyah adalah
lebih sempurna daripada ibadat. Karena itu, pertama-tama
adalah ibadat. Lalu ubudiyah, dan akhirnya abudah.” Ibadat
adalah amalan kaum awam; Ubudiyah adalah amalam kaum
terpilih (khawwash); dan Abudah adalah amalan kaum yang
sangat terpilih (khawwashul khawwash).” Beliau juga
mengatakan : “Ibadat adalah untuk orang yang memiliki ilmu
yaqin, ubudiyah untuk orang yang memiliki ‘ainul yaqin, dan
abudah untuk orang yang memiliki haqqul yaqin.” Beliau juga
berkomentar : “Ibadat adalah untuk orang yang sedang
berrjuang keras (mujahadah), ubudiyah untuk orang yang
sangat tahan menanggung kesukaran (mukabidat) dan
abudah adalah sifat ahli musyahadah. Jadi, orang yang tidak
mengeluh kepada Allah, jiwanya berada dalam keadaan
ibadat, dan siapa yang tidak bakhil jiwanya dialah pemilik

198
ubudiyah, dan siapa yang tidak bakhil ruhnya, dialah pemilik
abudah.”
Dikatakan : “Ubudiyah adalah menegakkan tindak-tindak
ketaatan yang sejati, dengan khusyu’, memandang diri
dengan mata yang terbatas, dan menydari bahwa amal-amal
kebajikan hanya dapat terlaksana berkat ketentuan takdir.”
Dikatakan pula : “Ubudiyah berarti meninggalkan ikhtiar
sendiri ketika menghadapi takdir ilahi.”
Dikaakan pula : “Ubudiyah adalah mengosongkan diri dari
keyakinan akan kekuatan dan kemampuan diri sendiri dan
mengakui kekayaan serta anugerah yang diberikan-Nya
kepadamu.”
Juga dikatakan : “Ubudiyah adalah menyambut apa pun
perintah yang diberikan kepadamu dan memisahkan dirimu
dari apa pun yang engkau dilarang atasnya.”
Muhammad bin Khafifi ditanya : “Bilakah ubudiyah itu
sah?” Ia menjawab : “Apabila seseorang telah menyerahkan
diri sepenuhnya kepada Allah swt. dan memiliki kesabaran
terhadap-Nya dalam menjalani cobaan-Nya.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Bagi siapa pun, ubudiyah
tidaklah shahih sampai ia tidak memperdulikan empat hal :
Kelaparan, ketelanjangan, kemiskinan dan kehinaan.”
Dikaakan : “Ubudiyah adalah hendaknya engkau
menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya dan
menanggungkan segala perbuatan kepada-Nya.
Dikatakan pula : “Salah satu tanda ubudiyah adalah
bahwa engkau meninggalkan angan-angan sendiri dan
mempersaksikan takdir.”

199
Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan : “Ubudiyah adalah
bahwa engkau menjadi hamba-Nya dalam setiap kondisi,
seperti halnya Dia adalah Tuhanmu di setiap kondisi.”
Ahmad Jurairy menjelaskan : “Penghamba kenikmatan
banyak sekali, tapi sedikit sekali yang menjadi penghamba
Sang Pemberi nikmat.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Engkau akan
menjadi hamba dari siapa pun yang mengikatmu. Jika engkau
teerikat kepada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi
hamba bagi dirimu sendiri. Jika engkau terikat kepda
kehidupan duniawi, maka engkau akan menjadi hamba bagi
kehidupan duniawimu.” Rasulullah saw. bersabda :
“Celakalah hamba dirham, celakalah hamba dinar,
celakalah hamba pakaian bagus.” (H.r. Bukhari).
Ismail bin Nujayd menegaskan : “Tidak satu pun langkah
dapat murni di jalan ubudiyah sampai seseorang melihat
bahwa amal-amal baiknya adalah riya’ dan keadaan-keadaan
ruhani (haal)-nya adalah berpura-pura.”
Abdullah bin Munazil mengatakan : “Hamba adalah
hamba, selala ia tidak menuntut apap pun untuk tunduk
kepada dirinya. Jika ia telah menuntut pelayan bagi dirinya, ia
benar-benar gugur dari batas ubudiyah dan telah
meninggalkan adab ubudiyah.”
Sahl bin Abdullah berkomentar : “Ubudiyah hanya dapat
dipandang benar pada seorang hamba manakala pengaruh
kemiskinan dalam kefakiran tidak tampak, tidak ada tanda
kekayaan ketika ia kaya.”
Dikatakan : “Ubudiyah adalah penyaksian rububiyah.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Aku
mendengar Ibrahim an-Nashr Abadzy mengatakan : “Nilai
200
seorang penghamba karen Yang Dihamba, seperti nilai
seorang ‘Arif karena Allah Yang Dima’rifati.”
Abu Hafs berkata : “Ubudiyah adalah hiasan yang indah
atas diri seorang hamba. Barangsiapa meninggalkan ubudiyah
berarti terlarang dari perhiasan.”
An-Nibajy mengatakan : “Prinsip ibadat itu didasarkan
pada tiga hal : Hendaknya engkau tidak menolak aturan-Nya
yang mana pun; tidak menahan sesuatu pun yang diminta-
Nya; dan hendaknya Dia tidak mendengar engkau meminta
kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhamu.”
Ibnu Atha’ menjelaskan : “Ubudiyah ada empat perilaku :
Kesetiaan pada janji, menjaga batas-batas yang telah
ditetapkan Allah; ridha terhadap apa pun yang dimiiki; dan
kesabaran terhadap apa pun yang hilang.”
Amru bin al-Makky menuturkan : “Tidak pernah kutemui
banyak manusia di Mekkah dan di tempat lain, atau yang
datang mengunjungiku di berbagai waktu, tak seorang pun
yang lebih besar mujahadahnya dan lebih memelihra
ibadatnya dari al-Muzany – semoga Allah merahmatinya. Aku
tidak pernah menjumpai seorang pun yang lebih baik dalam
mengagungkan perintah-perintah Allah swt. daripadanya,
yang lebih mengendalikan diri, atau yang sama pemurahnya
kepada sesamanya, dibanding al-Muzany.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan :
“Tiada sesuatu pun yang lebih mulia dalam ubudiyah, juga
tiada gelar yang lebih sempurna bagi seorang beriman selain
sebuah nama , :ubudiyah”. Karena alsan ini Allah swt. ketika
menggambarkan sifat Rasulullah saw. pada malam Mi’raj –
saat paling mulia di dunia ini – berfimran “Maha suci Allah,
yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam
201
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.” (Qs. Al-Isra’ :1).
Kemudian Allah swt. berfirman : “Lalu ia menyampaikan
kepada hamba-Nya apa yang telah Allah wahyukan.” (Qs. An-
Najm : 10). Maka seandainya ada gelar yang lebih agung
daripada sifat ke “hamba” an, tentulah Dia telah
menggunkanannya untuk beliau.”
Dalam konteks inilah syair dialntunkan :
Wahai Amru, membalaskan tumpahnya darahku
Demi Zahra’ku
Mata dan telinga tahu semua ini.
Jangan panggil diriku
Kecuali “wahai hamba Zahra’”
Sungguh nama termulia
Panggilan itu bagiku.
Salah seorang Sufi berkomentar. “Ada dua hal :
Ketenangan sampai pada kelezatan, dan keterkaitan Anda
atas gerakan. Jika Anda menggugurkan diri dari dua hal
tersbut, Anda bakal mendapati hak ubudiyah.”
Muhammad al-Wasithy memperingatkan : “Waspadalah
terrhadap anugerah yang ditimbulkan oleh pemberian, karne
abagi manusia Sufi, itu merupakan tabir.”
Abu Ali al-Jurjany berkata : “ Merasa ridha adalah rumah
ubudiyah. Sabar adalah pintunya, penyerahan total adalah
rumahnya. Suara di atas pintu, kegaduhan di dalam tempat
tiggal, dan keringanan jiwa ada di rumah.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Sebagaimana
rububiyah sebagai sifat Allah swt. yang tak pernah sirna,
maka ubudiyah adalah sifat hamba yang tak penah pisah.
Sebagian Sufi bersyair :
Jika kau tanya padaku,
202
Aku berkata, “Inilah, aku hamba-Nya.”
Dan jika mereka tanya kepada-Nya,
Dia berkata, “Inilah, dia hamba-Ku.”
AN-Nashr Abadzy menegaskan : “Amal-amal ibadat lebih
dekat pada pencarian maaf dan ampunan atas kekurangan-
kekurangan daripada permohonan imbalan dan pahala.” Ia
juga mengatakan, “Ubudiyah berarti kehilangan kesadaran
akan pengabdian ketika menyaksikan Yang Maha Disembah.”
Al-Junayd mengatakan : “Ubudiyah adalah meninggalkan
semua aktivitas dan kesibukan dengan cara menyibukkan diri
pada hal-hal yang merupakan dasar kebebasan.”

23.
UBUDIYAH

Allah swt. berfiman :


“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu
keyakinan.” (Qs. Al-Hijr :99).
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khurdry dari Abu Hurairah
r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Ada tujuh golonga manusia yag akan dinaungi Allah swt.
dalam naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan selain
naungan-Nya : Imam yang adil; pemuda yang bersemangat
dalam ibadat kepada Allah swt; seseorang yang hatinya
berkait dengan masjid sejak saat ia keluar hingga kembali (ke
masjid); dan dua orang yang saling mencintai karena Allah,
yang bertemu dan berpisah karena Allah, seseorang yang
mengingat Allah swt. hingga air matanya mengalir; serta
seseorang yang digoda seorang wanita baik dan cantik, lantas
203
menjawab dengan ucapan : “Aku takut kepada Allah Tuhan
semesta alam; dan seseorang yang bersedekah dengan diam-
diam hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan
oleh tangan kanannya.” (H.r. Bukhari – Muslim, Tirmidzi dan
Nasa’i).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Ubudiyah adalah
lebih sempurna daripada ibadat. Karena itu, pertama-tama
adalah ibadat. Lalu ubudiyah, dan akhirnya abudah.” Ibadat
adalah amalan kaum awam; Ubudiyah adalah amalam kaum
terpilih (khawwash); dan Abudah adalah amalan kaum yang
sangat terpilih (khawwashul khawwash).” Beliau juga
mengatakan : “Ibadat adalah untuk orang yang memiliki ilmu
yaqin, ubudiyah untuk orang yang memiliki ‘ainul yaqin, dan
abudah untuk orang yang memiliki haqqul yaqin.” Beliau juga
berkomentar : “Ibadat adalah untuk orang yang sedang
berrjuang keras (mujahadah), ubudiyah untuk orang yang
sangat tahan menanggung kesukaran (mukabidat) dan
abudah adalah sifat ahli musyahadah. Jadi, orang yang tidak
mengeluh kepada Allah, jiwanya berada dalam keadaan
ibadat, dan siapa yang tidak bakhil jiwanya dialah pemilik
ubudiyah, dan siapa yang tidak bakhil ruhnya, dialah pemilik
abudah.”
Dikatakan : “Ubudiyah adalah menegakkan tindak-tindak
ketaatan yang sejati, dengan khusyu’, memandang diri
dengan mata yang terbatas, dan menydari bahwa amal-amal
kebajikan hanya dapat terlaksana berkat ketentuan takdir.”
Dikatakan pula : “Ubudiyah berarti meninggalkan ikhtiar
sendiri ketika menghadapi takdir ilahi.”
Dikaakan pula : “Ubudiyah adalah mengosongkan diri dari
keyakinan akan kekuatan dan kemampuan diri sendiri dan
204
mengakui kekayaan serta anugerah yang diberikan-Nya
kepadamu.”
Juga dikatakan : “Ubudiyah adalah menyambut apa pun
perintah yang diberikan kepadamu dan memisahkan dirimu
dari apa pun yang engkau dilarang atasnya.”
Muhammad bin Khafifi ditanya : “Bilakah ubudiyah itu
sah?” Ia menjawab : “Apabila seseorang telah menyerahkan
diri sepenuhnya kepada Allah swt. dan memiliki kesabaran
terhadap-Nya dalam menjalani cobaan-Nya.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Bagi siapa pun, ubudiyah
tidaklah shahih sampai ia tidak memperdulikan empat hal :
Kelaparan, ketelanjangan, kemiskinan dan kehinaan.”
Dikaakan : “Ubudiyah adalah hendaknya engkau
menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya dan
menanggungkan segala perbuatan kepada-Nya.
Dikatakan pula : “Salah satu tanda ubudiyah adalah
bahwa engkau meninggalkan angan-angan sendiri dan
mempersaksikan takdir.”
Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan : “Ubudiyah adalah
bahwa engkau menjadi hamba-Nya dalam setiap kondisi,
seperti halnya Dia adalah Tuhanmu di setiap kondisi.”
Ahmad Jurairy menjelaskan : “Penghamba kenikmatan
banyak sekali, tapi sedikit sekali yang menjadi penghamba
Sang Pemberi nikmat.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Engkau akan
menjadi hamba dari siapa pun yang mengikatmu. Jika engkau
teerikat kepada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi
hamba bagi dirimu sendiri. Jika engkau terikat kepda
kehidupan duniawi, maka engkau akan menjadi hamba bagi
kehidupan duniawimu.” Rasulullah saw. bersabda :
205
“Celakalah hamba dirham, celakalah hamba dinar,
celakalah hamba pakaian bagus.” (H.r. Bukhari).
Ismail bin Nujayd menegaskan : “Tidak satu pun langkah
dapat murni di jalan ubudiyah sampai seseorang melihat
bahwa amal-amal baiknya adalah riya’ dan keadaan-keadaan
ruhani (haal)-nya adalah berpura-pura.”
Abdullah bin Munazil mengatakan : “Hamba adalah
hamba, selala ia tidak menuntut apap pun untuk tunduk
kepada dirinya. Jika ia telah menuntut pelayan bagi dirinya, ia
benar-benar gugur dari batas ubudiyah dan telah
meninggalkan adab ubudiyah.”
Sahl bin Abdullah berkomentar : “Ubudiyah hanya dapat
dipandang benar pada seorang hamba manakala pengaruh
kemiskinan dalam kefakiran tidak tampak, tidak ada tanda
kekayaan ketika ia kaya.”
Dikatakan : “Ubudiyah adalah penyaksian rububiyah.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Aku
mendengar Ibrahim an-Nashr Abadzy mengatakan : “Nilai
seorang penghamba karen Yang Dihamba, seperti nilai
seorang ‘Arif karena Allah Yang Dima’rifati.”
Abu Hafs berkata : “Ubudiyah adalah hiasan yang indah
atas diri seorang hamba. Barangsiapa meninggalkan ubudiyah
berarti terlarang dari perhiasan.”
An-Nibajy mengatakan : “Prinsip ibadat itu didasarkan
pada tiga hal : Hendaknya engkau tidak menolak aturan-Nya
yang mana pun; tidak menahan sesuatu pun yang diminta-
Nya; dan hendaknya Dia tidak mendengar engkau meminta
kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhamu.”
Ibnu Atha’ menjelaskan : “Ubudiyah ada empat perilaku :
Kesetiaan pada janji, menjaga batas-batas yang telah
206
ditetapkan Allah; ridha terhadap apa pun yang dimiiki; dan
kesabaran terhadap apa pun yang hilang.”
Amru bin al-Makky menuturkan : “Tidak pernah kutemui
banyak manusia di Mekkah dan di tempat lain, atau yang
datang mengunjungiku di berbagai waktu, tak seorang pun
yang lebih besar mujahadahnya dan lebih memelihra
ibadatnya dari al-Muzany – semoga Allah merahmatinya. Aku
tidak pernah menjumpai seorang pun yang lebih baik dalam
mengagungkan perintah-perintah Allah swt. daripadanya,
yang lebih mengendalikan diri, atau yang sama pemurahnya
kepada sesamanya, dibanding al-Muzany.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan :
“Tiada sesuatu pun yang lebih mulia dalam ubudiyah, juga
tiada gelar yang lebih sempurna bagi seorang beriman selain
sebuah nama , :ubudiyah”. Karena alsan ini Allah swt. ketika
menggambarkan sifat Rasulullah saw. pada malam Mi’raj –
saat paling mulia di dunia ini – berfimran “Maha suci Allah,
yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.” (Qs. Al-Isra’ :1).
Kemudian Allah swt. berfirman : “Lalu ia menyampaikan
kepada hamba-Nya apa yang telah Allah wahyukan.” (Qs. An-
Najm : 10). Maka seandainya ada gelar yang lebih agung
daripada sifat ke “hamba” an, tentulah Dia telah
menggunkanannya untuk beliau.”
Dalam konteks inilah syair dialntunkan :
Wahai Amru, membalaskan tumpahnya darahku
Demi Zahra’ku
Mata dan telinga tahu semua ini.
Jangan panggil diriku
Kecuali “wahai hamba Zahra’”
207
Sungguh nama termulia
Panggilan itu bagiku.
Salah seorang Sufi berkomentar. “Ada dua hal :
Ketenangan sampai pada kelezatan, dan keterkaitan Anda
atas gerakan. Jika Anda menggugurkan diri dari dua hal
tersbut, Anda bakal mendapati hak ubudiyah.”
Muhammad al-Wasithy memperingatkan : “Waspadalah
terrhadap anugerah yang ditimbulkan oleh pemberian, karne
abagi manusia Sufi, itu merupakan tabir.”
Abu Ali al-Jurjany berkata : “ Merasa ridha adalah rumah
ubudiyah. Sabar adalah pintunya, penyerahan total adalah
rumahnya. Suara di atas pintu, kegaduhan di dalam tempat
tiggal, dan keringanan jiwa ada di rumah.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Sebagaimana
rububiyah sebagai sifat Allah swt. yang tak pernah sirna,
maka ubudiyah adalah sifat hamba yang tak penah pisah.
Sebagian Sufi bersyair :
Jika kau tanya padaku,
Aku berkata, “Inilah, aku hamba-Nya.”
Dan jika mereka tanya kepada-Nya,
Dia berkata, “Inilah, dia hamba-Ku.”
AN-Nashr Abadzy menegaskan : “Amal-amal ibadat lebih
dekat pada pencarian maaf dan ampunan atas kekurangan-
kekurangan daripada permohonan imbalan dan pahala.” Ia
juga mengatakan, “Ubudiyah berarti kehilangan kesadaran
akan pengabdian ketika menyaksikan Yang Maha Disembah.”
Al-Junayd mengatakan : “Ubudiyah adalah meninggalkan
semua aktivitas dan kesibukan dengan cara menyibukkan diri
pada hal-hal yang merupakan dasar kebebasan.”

208
25.
ISTIQAMAH

Allah swt. berfirman :


“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan : “Tuhan
kami adalah Allah, kemudian mereka amengeluhkan
penderitaan mereka, maka malaikat akan turun kepada
mereka, ‘Hendaknya kamu sekalian tidak takut dan tidak
gelisah, dan hendaknya kamu sekalian bergembira dengan
surga yang telah dijanjikan untuk kamu sekalian.” (Qs.
Fushilat :30).
Riwayat dari Tsauban, bekas budak Rasulullah saw.
menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Berteguh hatilah (istiqamahlah) kamu, meskipun kamu
tidak akan mampu melakukan sepenuhnya. Ketahuilah bahwa
bagian terbaik dari agamamu adalah shalat, dan tiada
seorang yang akan memelihara wudhu, kecuali orang yang
beriman.” (H.r. Ahmad, Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Istiqamah adalah
derajat yang menjadikan urusan-urusan seseorang menjadi
baik dan sempurna, dan memungkinkannya untuk mencapai
manfaat-manfaat secara tetap dan teratur. Upaya dan
perjuangan orang yang tidak teguh hati akan sia-sia.”
Allah swt. berfirman :
“Dan janganlah kamu seperti seorang wanita yang
menguarikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat,
menjadi cerai berai kembali.” (Qs. An-Nahl :92).

209
Orang yang tidak istiqamah dalam keberadaannya tidak
akan pernah meningkat dari satu tahapan ke tahapan maqam
berikutnya, dan suluknya tidak akan kokoh.
Salah satu persyartan istiqamah dalam hukum
kepemulaan. Sebagaimana bagi ‘arifin, istiqamah merupakan
pangkalnya. Tanda istiqamah dari mereka yang mulai
menempuh suluk adalah bahwa amal-amal lahiriah mereka
tidak tercemari oleh kesenjangan. Bagi mereka yang berada
pada tahap pertengahan (ahlul wasaith) adalah bahwa tidak
ada kata “berhenti”. Tanda istiqamah mereka yang berada
pada tahap akhir adalah, bahwa tidak ada tabir yang
melindungi mereka dan kelanjutan wushulnya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan :
“Ada tiga derajat istiqamah. Menegakkan segala sesuatu
(takwim), meluruskan segala sesuatu (iqamah) berlaku
teguh (istiqamah). Taqwim menyangkut disiplin jiwa; iqamah
berkaitan dengan penyempurnaan hati; dan istiqamah
berhubungan dengan tindak mendekat kepada Allah dengan
jalan sirri.”
Abu Bakr ash-Shiddiq. Ra. Berkomentar : “Makna firman-
Nya .... kemudian mereka ber istiqamah.’ Adalah bahwa
mereka tidak menyekutukan Allah swt. dengan sessuatu pun.”
Umar bin Khaththab r.a. mengajarkan : “:Artinya : “mereka
tidak menipu orang lain seperti rubah.”
Pendpat Abu Bakr merujuk pada pelaksanaan prinsip-
prinsip tauhid, sedangkan pendapat Umar merujuk kepada
sikap mencegah diri dari penafsiran-penafsiran yang
dipaksakan, dan pelaksanaan syarat-syarat perjanjian.

210
Ibnu Atha’ mengatakan bahwa ayat di atas berarti :
“Mereka istiqamah dalam membatasi hati mereka kepada
Tuhan.”
Abu Ali al-Juzajany berkata : “Jadilah pemilik istiqamah,
bukan pencari karamah. Sebab nafsumu masih berkutat
mencari karamah, padahal Allah swt, menuntutmu istiqamah.
Abu Ali asy-Syabbuwy menuturkan : “Aku bermimpi
bertemu dengan Nabi saw. dan aku berkata kepada Beliau :
“Dikabarkan bahwa Paduka bersabda : “Surat Huud telah
membuat rambutku menjadi putih.” Apakah (rambut Paduka
menjadi putih karena) kisah-kisah para Nabi ataukah karena
dimusnahkannya ummat-ummat (zaman dahulu?) Beliau
menjawab : “Bukan, melainkan karena firman Allah swt.”
“Maka beristiqamahlah kamu sebagaimana kamu telah
diperintah!.” (Qs. Huud :112).
Dikatakan : Hanya orang-orang besar saja yang dapat
memelihara istiqamah, sebab hal ini meninggalkan perkara
yang sebelumnya disepakati dan meninggalkan adat serta
kebiasaan, menegakkan ketulusan secara esensial di sisi Allah
swt. Karena itu, Nabi saw. bersabda : “Beristiqamahlah kamu,
mekipun kamu sekalian tidak akan mampu melakukan
sepenuhnya!.”
Al-Wasithy mengatakan :Istiqamah adalah sifat akhlak
sempurna, tanpa istiqamah akhlak akan menjadi buruk.”
Asy-Syibly mengatakan : “Istiqamah berarti engkau
menghadapi setiap waktu, sebagai wahana bangkitnya.”
Dikatakan : “Istiqmah dalam berbicara berarti
meninggalkan perbuatan menggunjing orang, dalam tindakan
berarti menjauhi bid’ah, dalam amal saleh berarti

211
meninggalkan kemalasan dan dalam keadaan (haal) batin ia
berarti menyingkap hijan.”
Saya mendengar Syeikh Abu Bakr Muhammad bin al-
Hasan bin Furak menjelaskan : “Huruf siin dalam lafadz
‘istiqamah’ adalah siin pencapaian. Artinya, mereka memohon
istiqamah dalam bertauhid, kemudian dalam menepati janji,
dan dalam menjaga batas-batas perilaku mereka sesuai
dengan ketetapan Allah swt.”
Ketahuilah bahwa istiqamah melahirkan ketetapan akan
karamah. Allah swt. berfirman :
“Jikalau mereka tetap berjalan lurus (istiqamah) di atas
tharikat itu, niscaya Kami akan memberi mereka minum
dengan air yang berlimpah.” (Qs. Al-Jin :16),
Allah swt, tidak berfirman : “Kami akan membairkan
mereka minum.” Melainkan : “Kami akan memberi mereka
minum dengan air yang berlimpah.” Yang menunjukkan
keabadiannya.
Al-Junayd berkata : “Aku berjumpa denegan salah seorang
penempuh jalan Allah (salik) di padang pasir di bawah
sebatang, dialah Ummu Ghailan. Kutanyakan kepadanya :
“Mengapa Anda duduk di situ? Ia menjawab : “Ada peristiwa,
aku kehilangan sesuatu, dan aku berlalu meninggalkannya.
Ketika aku kembali dari ibadat haji, aku bersama pemuda,
kutemukan barang tersebut telah berpindah ke sebuah
tempat yang lebih dekat ke pohon itu.” Aku bertanya :
“Mengapa Anda duduk di sini?” Ia menjawab : “Aku telah
menemukan apa yang telah kucari di tempat ini, jadi tetap
saja aku duduk di sini.” Al-Junayd berkata : “Aku tidak tahu
mana yang lebih mulia, kegigihannya karena kehilangan

212
keadaan, atau keteguhan hatinya tinggal di tempat di mana ia
telah mencapai kehendaknya.”

26.
IKHLAS
Friman Allah swt. :
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih
(dari syirik).” (Qs. Az-Zumar :3).
Anas bin Malik r.a menuturkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Belenggu tidak akan masuk ke dalam hati seorang
Muslim jika ia menetapi tiga perkara. Ikhlas beramal hanya
bagi Allah swt. memberikan nasihat yang tulus kepada
penguasa, dan tetap berkumpul dengan masyarakat Muslim.”
(Hr. Ahmad, dikategorikan shahih oleh Ibnu Hibban dan Ibnu
Hajar).
Ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah swt. Sebagai
Satu-satunya sesembahan. Sikap taat dimaksudkan adalah
taqarrub kepada Allah swt. mengesampingkan yang lain dari
makhluk, apakah itu sifat memperoleh pujian atau pun
peghormatan dari manusia. Atatupun konotasi kehendak
selain taqarrub kepada Allah swt. semata. Dapat dikatakan :
“Keikhlasan berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari
campur tangan sesama makhluk.” Dikatakan juga “Keikhlasan
berarti melindungi diri sendiri dari urusan individu-individu
manusia.”
Nabi saw. ditanya, apakah ikhlas itu? Nabi saw. bersabda :
“Aku bertanya kepada Jibril as. Tentang ikhlas, apakah
ikhlas itu? Lalu Jibril berkata : “Aku bertanya kepada Tuhan
Yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah sebenarnya? Allah swt.
213
menjawab “Suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan
di hati hamba-hamba-Ku yang kucintai.” (Hr. Al-Qazwini,
riwayat dari Hudzaifah).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Keikhlasan adalah
menjaga diri dari campur tangan makhluk, dan sifat shidq
berarti membersihkan diri dari kesadaran akan diri sendiri.
Orang yang ikhlas tidaklah bersikap riya’ dan orang yang jujur
tidaklah takjub pada diri sendiri.”
Dzun Nuun al-Mishry berkomentar : “Keikhlaan hanya
tidak dapat dipandang sempurna, kecuali dengan cara
menetapi dengan sebenar-benarnya dan bersabar untuknya.
Sedangkan jujur hanya dapat dipenuhi dengan cara berikhlas
secara terus menerus.”
Abu Ya’qub as-Susy mengatakan : “Apabila mereka
melihat keikhlasan dan dalam keikhlasannya, maka keikhlasan
mereka itu memerlukan keikhlasan lagi.”
Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan : “Ada tiga tanda
keikhlasan. Manakala orang yang bersangkutan memandang
pujian dan celaan manusia samasaja; melupakan amal ketika
beramal; dan jika ia lupa akan haknya untuk memperoleh
pahala di akhirat karena amal baiknya.”
Aengenai ikhlas manusia pilihan (khawwash), keikhlasan
datang kepada mereka bukan dengan perbuatan mereka
sendiri. Amal kebaikan lahir dari mereka tetapi mereka
amenyadari perbuatan baiknya bukan dari diri sendiri, tidak
pula peduli terhadap amalnya. Itulah keikhlasan kaum
pilihan.”
Abu Bakr ad-Daqqaq menegaskan : “Cacat keikhlasan dari
masing-masing orang yang ikhlas adalah penglihatannya akan
keikhlasannya itu. Jika Allah swt. menghendaki untuk
214
memurnikan keikhlasannya. Dia akan menggugurkan
keikhlasannya dengan cara tidak memandang keikhlasannya
sendiri dan jadilah ia sebagia orang yang diikhlaskan Allah
swt. (mukhlash) bukannya berikhlas (mukhlish).”
Sahl berkata : “Hanya orang yang ikhlas (mukhlish)
sajalah yang mengetahui riya.”
Abu Sa’id al-Kharraz menegaskan : “Riya kaum ‘arifin
lebih baik daripada ikhlas para murid.”
Dzun Nuun berkata : “Kekikhlasan adalah apa yag
dilindungi dari kerusakan musuh.”
Abu Utsman mengatakan : “Keikhlasan adalah melupakan
padnangan makhluk melalui perhatian yang terus menerus
kepada khlaik.”
Huszaifah al-Mar’asyi berkomentar : “Keikhlasan berarti
bahwa perbuatan-perbuatan si hamba adalah sama, baik lahir
maupun batinnya.”
Dikatakan : “Keikhlasan adalah sesuatu yang dengannya
Allah swt. berkehendak dan dimaksudkan tulus dalam ucapan
serta tindakan.”
Dikatakan pula : “Keikhlasan berarti mengikat diri sendiri
pada kesadaran akan perbuatan baik.”
As-Sary mengatakan : “Orang yang menghiasi dirinya di
hadapan manusia dengan sesuatu yang bukan miliknya,
berarti tercampak dari penghargaan Allah swt.”
Al-Fudhail berkata : “Menghentikan amal-amal baik karena
manusia adalah riya’, dan melaksanakannya karena manusia
adalah musyrik. Ikhlas berarti Allah menyembunyikan dari dua
penyakit ini.”
Al-Junayd mengatakan : “Keikhlasan adalah rahasia antara
Allah dengan si hamba. Bahkan malaikat pencatat tidak
215
mengetahui sedikit pun mengenainya untuk dapat
dituliskannya, setan tidak mengetahuinya hingga tidak dapat
merusaknya, nafsu pun tidak menyadarinya sehingga ia tidak
mampu mempengaruhinya.”
Ruwaym menjelaskan : “Ikhlas dalam beramal kebaikan
berarti bahwa orang yang melakukannya tidak menginginkan
pahala baik di dunia maupun di akhirat.”
Dikatakan kepada Sahl bin Abdullah : “Apakah hal terberat
pada diri manusia? Ia menjawab : “Keikhlasan, sebab diri
manusia tidak punya bagian di dalamnya.”
Ketika ditanya tentang ikhlas, salah seorang Sufi
menjawab : “Ikhlas berarti engkau tidak memanggil siapa pun
selain Allah swt. untuk menjadi saksi atas perbuatanmu.”
Salah seorang Sufi menuturkan : Aku menemui Sahl bin
Abdullah pada hari Jum’at di rumahnya sebelum shalat. Ada
seekor ular di rumahnya, hingga aku ragu-ragu berdiri di
pintu. Ia berseru : Masuklah! Tidak seorang pun dapat
mencapai hakikat iman jika ia masih takut pada sesuatu pun
di atas bumi.” Kemudian ia bertanya. “Apakah engkau hendak
mengikuti shalat Jum’at? Aku menjawab “Jarak dari sini ke
masjid di depan kita adalah sejauh perjalanan sehari
semalam. Maka Sahl lalu menggandeng tanganku, dan sesaat
kemudian kami telah berada di masjid itu. Kami masuk ke
dalam dan shalat, kemudian keluar. Sahl berdiri di sana,
melihat ke arah orang banyak, dan berkata : Banyak orang
mengucapkan “Laa ilaaha Illallaah”. Tapi yang ikhlas amatlah
sedikit.”
Makhul berkata : “Tidak seorang pun hamba yang ikhlas
seama empat puluh hari, kecuali akan mendapatkan sumber
hikmah memancar dari hati pada lisannya.”
216
Yusuf bin al Husain berkomentar : “Milikku yang paling
berharga di atas dunia ini adalah keikhlasan. Betapa
seringnya aku telah berjuang untuk membebaskan hatiku dari
riya’ namun setiap kali aku berhasil, ia muncul dalam warna
yang lain!.”
Abu Sulaiman berkata : “Jika seorang hamba berikhlas,
maka terpotonglah waswas dan riya”.

27.
KEJUJURAN
Allah swt. berfirman :
“Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (Qs.
At-Taubah :19).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasululah
saw. bersabda :
“Jika seorang hamba tetap bertindak jujur dan berteguh
hati untuk bertindak jujur, maka ia akan ditulis di sisi Allah
sebagai orang yang jujur, dan jika ia tetap berbuat dusta dan
berteguh hati untuk berbuat dusta, maka ia akan ditulis di sisi
Allah sebagai pendusta.” (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Kejujuran (shidq) adalah tiang penopang segala
persoalan, dengannya kesempurnaan dalam menempuh jalan
ini tercapai, dan melaluinya pula ada tata aturan. Kejujuran
mengiringi derajat kenabian, sebagaimana difirmankan Allah
swt. :
“.... Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-
orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu para Nabi dan
orang-orang yang menetapi kejujuran (Shiddiqin) para
syuhada’ dan orang-orang ssaleh.” (Qs. An-Nisa’ :69).
217
Kata Shidq (orang yang jujur) berasal dari kata Shidq
(kejujuran). Kata Shiddiq adalah bentuk penekanan
(mubalaghah) dari shadiq, dan berarti orang yang didominasi
oleh kejujuran. Demikian juga halnya dengan kata-kata lain
yang bermakna penekanan, seperti sikkir dan pemabuk, yang
penuh anggur (khimmir). Derajat terendah kejujuran adalah
bila batin seseorang selaras dengan perbuatan lahirnya.
Shadiq adalah orang yang benar dalam kata-katanya.
Shiddiqy adalah orang yang benar-benar jujur dalam semua
kata-kata, perbuata dan keadaan batinnya.
Ahmad bin Khadhrawaih mengajarkan : “Barangsiapa
ingin agar Allah bersamanya, hendaklah ia berpegang teguh
pada kejujuran, sebab Allah swt. bersama-sama orang yang
jujur.”
Al-Junayd berkata : “Orang yang jujur berubah empat
puluh kali dalam sehari, sedangkan orang riya’ tetap berada
dalam satu keadaan selama empat puluh tahun.”
Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Jika orang yang
jujur ingin menggambarkan apa yang ada dalam hatinya,
maka lisannya tidak akan mengatakannya.”
Dikatakan : “Bersikap jujur berarti menegaskan
kebenaran, meskipun terancam kebinasaan.”
An-Naqqad mengatakan : “Sikap jujur berarti mencegah
kedua rahang (syidq) dari mengucapkan apa yang terlarang.”
Abdul Wahid bin Zaid berkomentar : “Sikap benar adalah
setia kepada Allah swt. dalam tindakan,”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Seorang hamba yang
menipu diri sendiri atau orang lain tidak akan mencium harum
semerbaknya kebenaran.”

218
Abu Sa’id al-Qurasyi mengatakan : “Orang yang jujur
adalah orang yang siap mati dan tidak akan malu jika
rahasianya diungkapkan. Allah swt. berfirman : “Maka,
inginkanlah kematian, jika kamu orang-orang yang jujur.” (Qs.
Al-Baqarah :94).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu hari Abu
Ali ats-Tsaqafy sedang memberikan pelajaran, tiba-tiba
Abdullah bin Munazil berkata kepadanya : “Wahai Abu Ali,
siapkanlah diri Anda untuk mati, sebab tidak ada jalan untuk
lari darinya. “Abu Ali menjawab : “Dan Anda, wahai Abdullah,
siapkanlah diri untuk mati, sebab tidak ada jalan lari darinya.
‘Maka disaat itulah Abdullah merebahkan diri,
membentangkan kedua tangannya, menundukkan kepalanya
dan mengatakan : “Aku mati sekarang.” Abu Ali pun diam
terpaku karenanya, dimana dirinya tidak mampu menandingi
apa yang dilakukan Abdullah, karena Abu Ali masih terpaut
pada dunia, sedangkan Abdullah telah terbebas dari ikatan
dunia.”
Ahmad bin Muhammad ad-Dainury sedang berbicara di
hadapan sekumpulan orang ketika seorang wanita di antara
mereka berteriak, Abu Abbas memarahinya dengan kata-
kata : “Matilah engkau!” Wanita itu bangkit, maju beberapa
langkah, berpaling kepadanya dan berkata, “Aku telah mati.”
Kemudian ia jatuh ke tanah dan mati.”
Al-Wasithy berkata : “Kejujuran adalah keyakinan yang
kokoh terhadap tauhid bersama-sama dengan niat.”
Dikatakan : “Abdul Wahid bin Zaid memandang kepada
seorang pemuda di antara para sahabtnya, yang bertubuh
kurus kering, dan Abdul Wahid bertanya kepadanya : “Apakah
engkau telah terlalu lama memperpanjang puasamu?”
219
Pemuda itu menjawab : “Aku juga bukan memperpanjang
berbuka. Kemudian Abdul Wahid bertanya : Apakah engkau
telah memperpanjang waktu bangun untuk shalat malammu?”
Pemuda itu menjawab : Bukan, bukan pula aku telah
memperpanjang tidur.” Lalu Abdul Wahid pun bertanya :
Apakah yang telah membuatmu begitu kurus?” Pemuda itu
menjawab : “Hasrat yang selalu berkobar dan rahasia
terpendam yang abadi.” Abdul Wahid berseru, Dengarlah!
Betapa beraninya pemuda ini!. Pemuda itu lalu berdiri, maju
dua langkah dan berteriak : “Ya Allah, jika aku memang tulus,
ambillah nyawaku sekarang juga!” lalu ia pun jatuh dan
meninggalkan dunia ini.”
Abu Amr az-Zajjajy menuturkan : Ibuku meninggal, dan
aku mewarisi sebuah rumah beliau. Aku menjualnya dengan
harga limapuluh dinar dan kemudain berangkat menunaikan
ibadah haji. Setiba di Babilonia, seorang penggali saluran air
bertanya kepadaku : “Apa yang engkau bawa ?” Aku berkata
dalam hati : “Kejujuran adalah yang terbaik.” Dan aku
menjawab : “Uang lima puluh dinar.” Ia berkata :
“Serahkanlah kepadaku!” Maka akupun memberikan kantong
uangku kepadanya. Dihitungnya jumlah semua uang di
dalamnya, dan ternyata memang ada limapuluh dinar.
Berkatalah ia : “Ambillah kembali uangmu!” Kejujuranmu
menyentuh hatiku.” Lalu ia turun dari kudanya dan berkata :
“Niaklah kudaku” Aku balik berkata : Aku tidak
menginginkannya.” Ia berkata : “Harus...!” dan terus
memaksaku menaiki kudanya. Kahirnya setelah aku bersedia
naik di atasnya, ia berkata : Aku di belakangmu.” Satu tahun
kemudian ia berhasil menyusulku, dan tinggal bersamaku
hingga akhir hayatnya.”
220
Ibrahim al-Khawwas menjelaskan : “Orang jujur tidak
memandang kecuali kewajiban yang harus ditunaikan, atau
ibadat utama bagi Allah swt.”
Al-Junayd berkata : “Inti kejujuran adalah bahwa engkau
berkata jujur di wilayah yang, apabila seseorang berkata jujur
tidak akan selamat kecuali berdusta.”
Dikatakan : “Tiga hal tidak penah lepas dari seorang jujur
ucapannya, kehadiran yang kharismatis dan pancaran taat di
wajahnya.”
Dikatakan pula “Allah swt. bersabda kepada Daud as. :
“Wahai Daud, barangsiapa menereima apa yang kukaakan
dengan sejujurnya dalam hatinya niscaya Aku akan
mengukuhkan sifat jujur di kalangan makhluk manuisa dalam
lahiriahnya.”
Dikatakan Ibrahim bin Dawhah memasuki padang pasi
bersma Ibrahim bin Sitanbah. Kata Ibnu Dawhah : “Ibnu
Sitanbah mengatakan kepadaku : “Campakkanlah segala apa
yang mengikatmu!.” Aku melemparkan segala sesuatu yang
ada padaku, kecuali uang satu dinar. Lalu ia berkata : “Wahai
Ibrahim, janganlah engkau membebani pikiranku!.
Campakkanlah keerikatanmu! Maka dinar itu pun lalu
kulemparkan. Tapi lagi-lagi ia mengatakan. Wahai Ibrahim,
campakkanlah keterikatanmu!” Lalu aku ingat bahwaaku
masih memiliki beberapa tali sandal cadangan, yang lalu
kulemparkan juga. Selanjutnya, dalam perjalananku, setiap
kali aku memerlukan tali sandal, maka muncullah seutas tali
sandal di hadapanku. Ibrahim bin Sitanbah mengatakan :
“Inilah orang yang beramal dengan Allah swt. secara jujur.”

221
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Kejujuran adalah pedang
Allah, tidak satu pun di letakkan padanya, kecuali akan
terpotong.
Sahl bin Abdullah mengataka : “Awal penghianatan orang-
orang jujur adalah menculnya keraguan dengan dirinya.”
Ketika ditanya tentang kejujuran, Fath al-Maushaly
memasukkan tangannya ke dalam bara api seorang tukang
besi. Mengambil sebatang besi yang merah membara,
meletakkannya di telpak tangannya dan berkata : “Inilah
kejujuran!”
Yusuf bin Asbat berkata : “Aku lebih suka menghabiskan
waktu semalam bersama Allah swt. dalam kejujuran jiwa
daripada berperang dengan pedangku di Jalan-Nya.”
Abu Ali ad-Daqqaq menegaskan : “Kejujuran adalah
seperti engkau menganggap dirimu sebagaimana adanya,
atau engkau dilihat seperti apa adanya dirimu.”
Ketika al-Harits al-Muhasiby ditanya tentang tanda-tanda
kejujuran, ia menjawab : “Orang yang jujur adalah orang yang
manakala tidak peduli akan ketergantungan kalbu manusia
kepada dirinya, tidak pula senang atas ketergantungan kalbu
manusia kepada dirinya, tidak pula senang atas jasanya
kepada manusia untuk dilihat, dan juga tidak peduli apakah
popularitasnya di antara manusia akan lenyap. Ia bahkan
tidak membenci bila perbuatan buruknya dilihat oleh orang
banyak, Jika ia benci, ia perlu menambah imannya. Dan yang
demikian itu bukanlah ciri akhlak orang-orang jujur.”
Salah seoran Sufi berkomentar : “Jika seseorang tidak
memenuhi satu kewajiban agama yang abadi, maka
pelaksanaan keajiban-kewajiban agamanya sesuai dengan

222
waktu yang telah ditetapkeseorang bertanya : “Apakah
kewajiban agama yang abadi itu?” Ia menjwab : “Kejujuran.”
Dikatakan : “Jika engkau mencari Allah swt. dalam
kejujuran, niscaya Dia akan memberimu cermin yag di
dalamnya engkau akan melihat semua keajabiban dunia dan
akhirat.”
Dikatakan : “Engkau harus berlaku jujur ketika merasa
takut bahwa hal itu akan mencelakakanmu, padahal itu akan
bermanfaat bagimu. Janganlah menipu ketika engkau mengira
hal itu akan menguntungkanmu, padahal pasti ia akan
merugikanmu.”
Dikatakan juga : “Tiap-tiap sesuatu punya arti, tapi
persahabatan seorang pendusta tidak berarti apa-apa.”
Dikatakan : “Tanda seorang pendusta adalah
kegairahannya untuk bersumpah sebelum hal itu dituntut
darinya.”
Ibnu Sirin mengatakan : “Lingkup pembicaraan itu
demikian luas hingga (sebetulnya) orang tidak perlu
berdusta.”
Dikatakan : “Seorang pedagang yang jujur tidak pernah
melarat.”

28.
MALU
Firman Allah swt. :
“Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
melihat segala perbuatannya?” (Qs. Al-‘Alaq :14).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
“Malu adalah sebagian dari iman.” (H.r. Tirmidzi).
223
Juga sabda beliau suatu hari kepada para sahabtnya :
“Malulah kamu sekalian di hadapan Allah dengan malu
yang sebenar-benarnya.” Mereka berkata : “Tapi kami sudah
merasa malu, wahai Nabi Allah, dan segala puji bagi-Nya!.”
Beliau bersabda : “Itu bukanlah malu yang sebenarnya. Orang
yang ingin malu dengan sebenar-benarnya di hadapan Allah
swt. hendaklah menjaga pikiran dan bisikan hatinya,
hendaklah ia menjaga perutnya dan apa yang dimakannya,
hendaklah ia mengingat mati dan fitnah kubur. Orang yang
menghendaki Akhirat hendaklah meninggalkan perhiasan-
perhiasan kehidupan duniawi. Orang yang melakukan semua
ini. Berarti ia memiliki rasa malu yang sebenarnya di hadapan
Allah.” (H.r. Tirmidzi dan Hakim dan dishahihkan oleh Al-
Hakim).
Sebagian hukama’ mengajarkan : “Jagalah agar malu
tetap hidup dalam hatimu dengan cara berteman dengan
orang yang dipermalukan orang lain.”
Ibnu Atha’ menegaskan : “Bagian terbesar dari ilmu
adalah rasa gentar dan malu. Jika yang dua ini lenyap, tiada
lagi kebaikan.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Malu berarti bahwa
engkau merasakan kegentaran dalam hatimu, sangat takut
akan masa lalu yang telah engkau lakukan di hadapan Allah
swt.” Ia juga mengatakan : “Cinta membuat orang berbicara,
malu membuat orang terdiam, dan takut membuat orang
gelisah.”
Abu Utsman mengatakan : “Orang yang berbicara tentang
malu, namun tidak merasa malu di hadapan Allah swt, berarti
telah terkena istidraj.”

224
Abu Bakr bin Asykib menuturkan bahwa al-Hasan bin al-
Haddad datang kepada Abdullah bin Munazil, yang
menanyakan kepadanya, “Anda datang dari mana?” Ia
menjawab : “ Dari majelis Abul Qasim sang pengingat.”
Abdullah bertanya kepadanya : “Apa topik pembicaraannya?”
Dijawabnya : “Tentang malu.” Abdullah berkomentar :
“Menkajubkan sekali, bahwa orang yang belum pernah
merasa malu di hadapan Allah dapat berbicara tentang
malu?”
As-Sary berkata : “Malu dan sukacita ruhani masuk ke
dalam hati seseorang. Jika keduanya menemukan wara’ dan
zuhud, maka mereka akan menetap. Jika tidak, mereka akan
meneruskan perjalanan.”
Al-Jurairy mengabarkan : “Pada generasi pertama Kaum
Muslimin, orang mengamalkan agama sampai agama menjadi
lemah. Pada generasi kedua, merekea menekankan kesetiaan,
sampai kesetiaan lenyap. Pada generasi ketiga, mereka
menekankan keksatriaan (muru’ah) sampai ia lenyap. Pada
generasi keempat, mereka menekankan rasa malu sampai
malu itu lenyap. Sekarang orang beramal karena hasrat dan
takut.”
Dikatakan tentang firman Allah swt. : “Dia (istri al-Aziz)
telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf,
dan Yusuf pun bermaksud (melakukannya pual) dengan
wanita itu andaikata ia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.”
(Qs. Yusuf :24), pengertian : “Tanda” di sini adalah, bahwa di
saat wanita itu menutupkan selembar kain ke wajah patung
yag ada di sudut ruangan. Ketika Yusuf bertanya : “Apa yang
engkau lakukan?” Ia menjawab : “ “Aku merasa malu di

225
hadapannya.” Yusuf berkata : “Aku lebih punya alasan lagi
untuk malu di hadapan Allah swt.”
Dikatakan mengenai firman Allah swt. : “Kemudian
datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu
berjalan malu-malu.” (Qs. Al-Qashash :24), bahwa ia malu
Kepada Musa karena menawarkan jamuan malu seandainya
Musa tidak menjawab salamnya. Malu sebagai sifat tuan
rumah, adalah jenis malu yang muncul dari penghormatan
kepada tamu.
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Allah swt. berfirman :
“Wahai hamba-Ku, selama engkau malu di hadapan-Ku, Aku
akan membuat manusia lupa akan kekuranganmu, Aku akan
membuat muka bumi lupa akan dosa-dosamu. Aku akan
menghapus kesalahan-kesalahanmu dan buku catatan induk,
dan Aku tidak akan meneliti amalanmu pada Hari
Kebangkitan.”
Seseorang bertanya kepada seorang laki-laki yang terlihat
shalat di luar masjid. “Mengapa engkau tidak masuk dan
shalat di dalam?” Laki-laki itu menjawab : “Saya malu
memasuki rumah Allah karena telah bermaksiat kepada-Nya.”
Salah satu tanda bahwa seseorang memiliki rasa malu
adalah, bahwa ia tidak pernah terlihat dalam situasi yang
membuatnya malu.
Sebagian Sufi menuturkan : “Suatu malam kami keluar
dan melwetti rimba. Tiba-tiba mendapati seseorang tidur di
tempat itu, sedang kudanya merumput dekat kepalanya. Kami
membangunkan orang itu dan bertanya kepadanya. “Tidakkah
engkau takut tidur di tempat yang mengerikan dan penuh
binatang busa ini?” Ia mengangkat kepalanya dan menjawab :
“Di hadapan-Nya, aku malu menakuti apa pun selain Dia.”
226
Kemudian diletakkan kembali kepalanya dan meneruskan
tidurnya.”
Allah swt. mewahyukan kepada Isa as. : “Nasihatilah
dirimu. Jika engkau menghirauikan ansihat itu, maka
nasihatilah manusia. Jika tidak, maka malulah kepda-Ku untuk
menasihati manusia.”
Diaktakan bahwa ada beberapa macam malu. Yang
pertama adalah malu dikarenakanpelanggaran, seperti malu
Nabi Adam as. Ketika ditanya : “Apakah engkau berniat lari
dari Kami?” Beliau menjawab : “Tidak, karena malu di
hadapan-Mu.” Yang kedua adalah malu karena terbatas,
seperti malu para malaikat yang mengatakan : “Maha Suci
Engkau! Kami telah menyembah-Mu tidak sebagaimana
layaknya Engkau disebah.” Yang ketiga adalah malu karena
mengagungkan, seperti malu Israfil as. Yang menutupkan
sayapnya ke tubuhnya karena malu kepada Allah, Yang
keempat adalah malu karena kemuliaan hati, seperti malu
rasulullah saw. ketika malu untuk mempersilahkan pergi tamu-
tamu beliau, dan Allah swt. lalu berfirman : “.... dan jika kamu
selesai makan, keluarlah kamu semua tanpa asyik
memperpanjang percakapan.” (Qs. Al-Ahzab :53). Yang kelima
adalh malu karena enggan, seperti malu Ali bin AbuThalib ra.
Ketika menyruh Miqdad bin al-Aswad untuk menanyakan
kepada Nabi saw. tentang hukumnya madzy (lendir yang
mengalir dari alat kelamin laki-laki, keluar air mani) karena
mengenai Fatimah r.a. Yang keenam adalah malu karena
terlalu remeh untuk diungkapkan, seperti malu Musa as.
Ketika munajat : “Aku mengajukan suatu kebutuhan dari dunia
ini, dan aku malu meminta kepada-Mu, wahai Tuhanku.” Dan
Allah lalu menjawab kepadany : “Minalah kepada-Ku, bahkan
227
untuk adonan roti dan jerami untuk domba-dombamu.”
Akhirnya, ada malu karena sifat pemberi kenikmatan, yang
merupakan malu Allah swt. Dia memberikan buku yang
distempel kepada seorang hamba setelah melewati Jembatan
di akhirat. Di dalam buku itu tba-tiba tertulis : “Engkau telah
melakukan (dosa) ini dan itu. Aku malu menunjukkannya
kepadamu, karena itu pergilah; Aku telah mengampunimu.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq saya dengar berkata : “Yahya
bin Muadz berkata, Maha Suci Dzat Yang didustai hamba,
sedang Dia mereasa mau, padahal dosa itu datang dari sang
hamba.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh menjelaskan : “Ada lima tanda celaka
seorang manusia. Kerasnya hati, bengisnya mata, tiadanya
rasa malu, hasrat terhadap dunia, dan lamunan yang tiada
terbatas.”
Dalam salah satu kitab, Allah swt. berfirman : “Hamba-Ku
telah mempermalukan Aku dengan tidak adil. Ia berdoa
kepada-Ku dan Aku merasa malu jika tidak mengabulkan
doanya, tapi ia bermaksiat kepada-Ku tanpa merasa malu
kepada-Ku.”
Yahya bin Muadz mengatakan : “Bagi manusia yang malu
di hadapan Allah swt. ketika ia taat, mka Allah akan malu
ketika ia melakukan dosa.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Ketahuilah, bahwa
malu menebabkan pencairan, sebab dikatakan bahwa rasa
malu adalah mencairnya organ-organ tubuh manusia sebelah
dalam ketika ia menyadari tatapan Tuhan kepadanya.
Dikatakan : “Malu adalah mengkerutnya hati manusia
untuk mengagungkan kebesaran Tuhan.”

228
Dikatakan juga : “Manakala seseorang duduk di hadapan
sekumpulan manusia, memperingatkan dan menasihati
mereka, maka kedua malaikatnya berseru kepadanya :
“Peringatkanlah dirimu sebagaimana engkau memperingatkan
saudaramu. Jika tidak, maka malulah engkau di hadapan
Tuhanmu, sebab Dia melihatmu.”
Al-Junayd ditanya tentang malu, ia menjawab :
“Penglihatan pada rahmat Allah swt. terus tercurah dan
penglihatan terhadap keterbatasan diri. Di antara keduanya
kemudian melahirkan apa yang disebut “malu”,
Muhammad al-Wasithy berkomentar : “Orang tidak akan
pernah merasakan sengatan malu, yang memakai robekan
batas-batas yang ditetapkan Allah atau merusak janji.”
Dikatakannya pula : “Keringat mengalir keluar dari orang yang
merasa malu. Ia adalah anugerah yang ditempatkan di dalam
dirinya. Selama nafsu rendah masih ada dalam dirinya, maka
ia akan dijauhkan dari malu.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Malu berarti
meninggalkan semua tendensi di hadapan Allah swt.
Abu Bakr al- Wasithy bertutur : “Ketika aku shalat dua
rakaat kepada Allah swt. Tiba-tiba kau membatalkannya
karena merasa malu seperti seorang pencuri (yang tertangkap
basah).”

29.
KEBEBASAN
Firman Allah swt. :
“.....dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin)
atas diri mreka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa
yang mereka berikan itu).” Qs. Al-Hasyr :9).
229
Syeikh berkata : “Mereka (kaum Anshar) memberikan
dengan penuh kemurahan hati kepada kaum Muhajirin, sebab
mereka (kaum Anshar) bebas dari keterikatan pada (harta
benda) yang diterima oleh kaum Muhajirin itu, dan dengan
demikian mereka mampu memberi dengan penuh kemurahan
hati.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. R.a bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
“Apa pun yang mencukupi kebutuhan seseorang , adalah
apa yang cukup untuk dirinya. Semua hanya akan berakhir
pada empat hasta dan sejengkal tanah kuburan, dan segala
sesuatu akan kembali pada tempat kembalinya.”
Syeikh berkata : “Kebebasan berarti bahwa si hamba
bebas dari belenggu sesama makhluk; kekuasaan makhluk
tidak berlaku atas dirinya. Tanda absahnya kebebasan adalah,
bahwa tersingkirnya pembedaan tentang segala hal dalam
hatinya, sehingga semua gejala duniawi sama di
hadapannya.”
Haritsah r.a. mengatakan kepada Rasulullah saw. : “Saya
telah menjauhi dunia. Batu dan emas yang ada di bumi tidak
da bedanya bagi saya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Orang yang
datang ke dunia ini dalam keadaan bebas darinya, akan
berangkat ke akhirat dalam keadaan bebas pula.” Dalam
sebuah ucapannya pula : “Orang yang hidup di dunia dalam
keadaan bebas dari dunia, akan bebas pula dari akhirat.”
Syeikh berkata : “Ketahuilah bahwa hakikat kebebasan
diperoleh dari kesempurnaan ubudiyah, sebab jika
ubudiyahnya benar, maka kebebasannya dari belenggu akan
sempurna. Mengenai mereka yang menghayalkan bahwa ada
230
waktu dimana seseorang boleh melepaskan ibadat dan
berpaling dari hukum yang tersirat dalam perintah dan
larangan Allah swt. sementara dirinya dalam keadaan
mukallaf, maka tindakan itu keluar dari agama.”
Allah swt. berfirman kepada Rasulullah saw. :
“Beribadahlah kepada Tuhanmu hingga datang kepadamu
keyakinan.” (Qs. Al-Hijr :99).
Para ahli tafsir sepakat bahwa “keyakinan” di sini berarti
“saat kematian.”
Manakala para sufi berbicara tentang kebebasan, yang
mereka maksud adalah, bahwa si hamba tidak berada di
bawah perbudakan oleh sesama makhluk ataupun diperbudak
oleh perubahan keadaan kehidupan duniawi ataupun ukhrowi;
ia akan menunggalkan diri kepada Allah Yang Esa. Tidak
sesuatu pun yang memperbudaknya, baik perkara duniawi
yang bersifat sementara, pencarian kepuasan bawa nafsu,
keinginan, permintaan, niat, kebutuhan ataupun ambisi.
Asy-Syibly pernah ditanya : “ tidak tahukan Anda bahwa
Allah Maha Penyayang?” Beliau menjawab : “Tentu. Tapi,
karena aku telah tahu bahwa Dia Maha Penyayang, maka aku
tidak pernah meminta kepada-Nya agar menyayangiku. Dan
maqam kebebasan sungguhlah mulia.”
Abul Abbas as-Sayyary pernah bika shalat sah selain
membaca Al-Qur’an, tentu sah pula membaca bait syair ini :
Setiap zaman aku menginginkan yang mustahil.
Agar kelopak mataku bisa melihat wajah kebebasan.
Para Syeikh telah berbicara banyak tentang kebebasan.
Al-Husain bin Manshur mengatakan : “Barangsiapa
menghendaki kebebasan, hendaklah meraih ubudiyah.”

231
Ketika al-Junayd disodori kasus seseorang yang kekayaan
duniawinya hanya sebesar embun yang menempel di burtir
kurma, ia berkata : “Hamba yang masih terikat kontrak akan
tetap menjadi hamba selama ia masih memiliki satu dirham
sekalipun.” Ia juga mengatakan : “Engkau tidak akan dapat
mencapai kebebasan sejati selama masih ada sisa dunia
dalam hakikat ubudiyah.”
Bisyr al-Hafi berkta : “Barangsiapa menginginkan rasa
kebebasan dan ringan dalam ubudiyah, maka bersihkanlah
batinnya, antara ia dan Allah swt.”
Al-Husain bin Mnashur berkomentar : “Ketika orang
mencapai maqam ubudiyah, segalanya tampak bebas dari
belenggu ubudiyah, Lalu ia melakukannya tanpa beban, Itulah
maqam para Nabi dan kaum shiddiqin. Maksudnya, ia sendiri
dipikul oleh maqam tersebut; tanpa kesusahan, walaupun
tetap konsisten dengan syariat.”
Manshur al-Faqih membacakan syair berikut :
Tak ada seorangpun manusia atau jin yang bebas
Kebebasan baginya berlalu
Kemanisan hidup adalah kegetiran
Ketahuilah bahwa jenis kebebasan paling besar justru
ketika melayani orang-orang miskin.
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, bahwa Allah telah
mengajarkan kepada Daud as. : “Jika egkau menjumpai
seorang manusia yang mencari-Ku, maka jadilah dirimu
sebagai pelayan.”
Nabi saw. bersabda : “Pemimpin suatu kaum adalah
pelayan mereka.”(H.r. Abu Abdurrahman as-Sulami).

232
Yahya bin Muadz mengatakan : “Generasi duniawi
dilayani budak-budak laki-laki dan wanita, generasi akhirat
dilayani mereka yang merdeka dan saleh.”
Ibrahim bin Adham berkata : “Orang bebas yang mulai
telah keluar dari dunia lebih sbeleum ia dikeluarkan dari dunia
(wafat).”
Dikatakannya pula : “Janganlah bersahabt, kecuali dengan
orang mulia yang bebas, ia hanya mendengar namun tidak
banyak bicara.”

30
DZIKIR
Allah swt. berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada
Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (Qs. Al-
Ahzab :41).
Diriwayatkan bawah Rasulullah saw. Bersabda :
“Maukah kuceritakan kepadamu tentang amalan terbaik
dan paling bersih dalam pandangan Allah swt. serta orang
yang tertinggi derajatnya di antaramu, yang lebih baik dari
menyedekahkan emas dan perak serta memerangi musuh-
musuhmu dan memotong leher mereka, dan mereka juga
memotong lehermu?” Para sahabat bertanya : “Apakah itu?
Nabi menjawab: Berdzikir kepada Allah swt. (H.r. Baihaqi).
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah
saw. bersabda :
“Hari kiamat tidak akan datang kepada seseorang yang
mengucapkan : “Allah, Allah.” (Hr. Muslim).

233
Anas ra. Juga menuturkan, bahwa Rasulullah saw.
bersabda : “Kiamat tidak akan datang sampai lafazh, Allah,
Allah,’ tidak lagi disebut-sebut di muka bumi.” (H.r. Tirmidzi).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : Dzikir adalah tiang
penopang yang sangat kuat atas jalan menuju Allah swt.
Sungguh, ia adalah landasan bagi tharikat itu sendiri. Tidak
seorang pun dapat mencapai Allah swt. kecuali dengan terus
menerus dzikir kepada-Nya.”
Ada dua macam Dzikir : Dzikir lisan dan dzikir hati. Si
hamba mencapai taraf dzikir hati dengan melakukan dzikir
lisan. Tetapi dzikir hati lah yang membuahkan pengaruh sejati.
Manakala seseorang melakukan dzikir dengan lisan dan
hatinya sekaligus, maka ia mencapai kesempurnaan dalam
suluknya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar : “Dzikir adalah
tebran kewalian. Seseorang yang dianugerahi keberhasilan
dalam dzikir berati telah dianugerahi taburan itu, dan orang
yang tidak dianugerahinya berarti telah dipecat.
Dikatakan bahwa pada awal perjalanannya, Dulaf asy-
Syibly biasa berjalan di jalan raya setiap hari dengan
membawa seikat cambuk di punggungnya. Setiap kali kelaian
memasuki hatinya, ia akan melecut badannya sendiri dengan
cambuk sampai cabuk itu patah. Kadang-kadang bekal
cambuk itu habis sebelum malam tiba. Jika demikian ia akan
memukulkan tangan dan kakinya ke tembok manakala
kelalaian mendatanginya.”
Dikatakan : “Dzikir hati adalah pedang para pencari yang
dengannya mereka membantai musuh dan menjaga diri dari
setiap ancaman yang tertuju pada mereka. Jika si hamba
berlindung kepada Allah swt. dalam hatinya, maka manakala
234
kegelisahan membayangi hati untuk dzikir kepada Allah swt,
semua yang dibencinya akan lenyap darinya seketika itu
juga.”
Ketika al-Wasithy ditanya tentag dzikir, menjelaskan :
“Dzikir berarti meninggalkan bidang kealpaan dan memasuki
bidang musyahadah mengalahkan rasa takut dan disertai
kecintaan yang luar biasa.”
Dzun Nuun al-Mishry menegaskan : “Seorang yang benar-
benar dzikir kepada Allah akan lupa segala sesuatu selain
dzikirnya. Allah akan melindunginya dari segala sesuatu, dan
ia diberi ganti dari segala sesuatu.”
Abu Utsman ditanya : “Kami melakukan dzikir lisan
kepada Allah saw. tetapi kami tidak merasakan kemanisan
dalam hati kami?” Abu Utsman measihatkan : “Memujilah
kepada Allah swt, karena telah menghiasi anggota badanmu
dengan ketaatan.”
Sebuah hadits yang mashur menuturkan, bahwa
Rasulullah saw. mengajarkan :
“Apabila engkau melihat surga, maka merumputlah kamu
semua di dalamnya.” Ditanyakan kepada Beliau : “Apakah
taman suraga itu, wahai Rasulullah?” Beliau mennjawab :
“Yaitu kumpulan orang-orang yang melkukan dzikir kepada
Allah>” (H.r. Tirmidzi).
Jabir bin Abdullah menceritakan : “Rasulullah saw.
mendatangi kami dan beliau bersabda :
“Wahai umat manusia, merumputlah di taman surga!.”
Kami bertanya : “Apakah taman surga itu?” Beliau menjawab :
“Majelis orang melakukan dzikir.” Beliau bersabda :
“Berjalanlah di pagi dan petang hari, dengan berdzikir. Siapa
pun yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah swt.
235
melihat pada derajat mana kedudukan Allah swt. pada dirinya.
Derajat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sepadan
dengan derajat dimana hamba mendudukan-Nya dalam
dirinya.”
Asy-Syibly berkata : “Bukanlah Allah swt. telah berfirman :
“Aku bersama yang duduk berdzikir kepada-Ku?” Manfaat apa,
wahai manusia dari orang yang duduk dalam majelis Allah
swt?” Lalu ia bersyair berikut :
Aku mengingta-Mu bukan karena aku lupa pada-Mu
sesaat;
Sedang bagian yang paling ringan adalah dzikir lisanku.
Tanpa gairah rindu aku mati karena cinta,
Hatiku bangkit dalam diriku, bergetar
Ketika wujud memperlihatkan Engkau adalah hadirku,
Kusaksikan Diri-Mu di mana saja,
Lalu aku bicara kepada yang ada, tanpa ucapan,
Dan aku memandang yang kulihat, tanpa mata.
Di antara karakter dzikir adalah, bahwa dzikir tidak
terbatas pada waktu-waktu tertentu, kecuali si hamba
diperintahkan untuk ber dzikir kepada Allah di setiap waktu,
entah sebagai kewajiban ataupun sunnah saja. Akan
tetapi,shalat sehari-hari, meskipun merupakan amal ibadah
termulia, dilarang pada waktu-waktu tertentu. Dzikir dalam
hati bersifat terus menerus, dalam kondisi apa pun, Allah
swt. berfirman :
“Yaitu orang-orang yang dzikir kepada Allah, baik sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring (tidur).”
(Qs. Ali Imran :191).

236
Imam Abu Bakr bin Furak mengatakan : “Berdiri berarti
menegakkan dzikir yang sejati, dan duduk berarti menahan
diri dari seikap berpura-pura dalam dzikir.”
Syeikh Abu Abdurrahman bertanya kepada Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq : “Manakah yang lebih baik, dzikir atau tafakur?”
Bagaimana yang lebih berkenan bagimu?” Beliau berkata :
“Dalam pandanganku dzikir adalah lebih baik dari tafakur,
sebab Allah swt. menyifati Diri-Nya sebagai Dzikir dan
bukannya fikir. Apap pun yang menjadi sifat Allah adalah lebih
baik dari sesuatu yang khusus bagi manusia.” Maka Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq setuju dengan pendapat yang bagus ini.
Muhammad al-Kattany berkata : “Seandainya bukan
kewajibanku untuk berdzikir kepada-Nya, tentu aku tidak
berdzikir karena mengagungkan-Nya. Orang sepertiku
berdzikir kepada Allah swt? Tanpa membersihkan mulutnya
dengan seribu Taubat karena berdzikir kepada-Nya.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan
syair :
Tak pernah aku berdzikir kepada-Mu
Melainkan hatiku, batinku serta ruhku mencela diriku.
Sehingga seolah-olah si Raqib dari-Mu berbisik padaku,
“Waspadalah, celakalah engkau. Waspadalah terhadap
dzikir!.”
Salah satu sifat khas dzikir adalah, bahwa Dia memberi
imbalan dzikir yang lain. Dalam firman-Nya :
“Dzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku akan dzikir kepadamu.”
(Qs. Al-Baqarah :152).
Sebuha Hadits menyebutkan bahwa Jibril as. Mengatakan
kepada Rasulullah saw. bahwasanya Allah swt. telah berfirman
: “Aku telah memberikan kepada ummatmu sesuatu yang
237
tidak pernah Kuberikan kepada ummat yang lain.” Nabi saw.
bertanya kepada Jibril : “Apakah pemberian itu?” Jibril
menjawab : “Pemberian itu adalah firman-Nya, “Berdzikirlah
kepadaKu, niscaya Aku akan berdzikir kepadamu.” Dan belum
pernah memfirmankan itu kepada ummat lain yang mana
pun.”
Dikatakan : “Malaikat maut minta izin dengan orang yang
berzikir sebelum mencabut nyawanya.”
Tertulis dalam sebuah kitab bahwa Musa as. Bertanya :
“Wahai Tuhanku, di mana engkau tinggal?” Allah swt.
berfirman : “Dalam hati manusia yang beriman.” Firman ini
merujuk pada dzikir kepada Allah, yang bermukim di dalam
hati, sebab Allah Maha Suci dari setiap bentuk “tinggal” dan
penempatan. “Tinggal” yang disebutkan di isni hanyalah dzikir
yang tetap dan sekaligus menjadikan dzikir itu sendiri kuat.
Ketika Dzun Nuun ditanya tentang dzikir, ia menjelaskan :
Dzikir berarti tiadanya ingatan pelaku dzikir terhadap
dzikirnya.” Lalu ia mebacakan syair :
Aku banyak berdzikir kepada-Mu bukan karena
Aku telah melupakan-Mu;
Itu hanyalah apa yag mengalir dari lisanku.
Sahl bin Abdullah mengatakan : Tiada sehari pun berlalu,
kecuali Allah swt. berseru : “Wahai hamba-Ku, engkau telah
berlaku zalim kepada-Ku. Aku mengingatmu, tapi engkau
melupakan-Ku. Aku menghilangkan penderitaanmu, tapi
engkau terus melakukan dosa. Wahai anak Adam, apa yang
akan engkau katakan besok jika engkau bertemu dengan-Ku?”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Di surga ada lembah-
lembah di mana para malaikat menanam pepohonan, ketika
seseorang mulai berdzikir kepada Allah. Terakdang salah
238
seorang malaikat itu berhenti bekerja dan teman-temannya
bertanya kepadanya : “Mengapa engkau berhenti?” Ia
menjawab : “Sahabatku telah kendur dzikirnya.”
Dikatakan : “Carilah kemanisan dalam tiga hal : shalat,
dzikir dan membaca Al-Qur’an. Kemanisan hanya dapat
ditemukan di sana , atau jika tidak sama sekali, maka
ketahuilah bahwa pintu telah tertutup.”
Ahmad al-Aswad menuturkan : “Ketika aku sedang
melakukan perjalanan bersama Ibrahim al-Khawwas, kami tiba
di suatu tempat yang dihuni banyak ular. Ibrahim al-Khawwas
meletakkan kualinya dan duduk begitu pun denganku. Ketika
malam tiba dan udara menjadi dingin, ular-ular pun
berkeliaran. Aku berteriak kepada Syeikh, yang lalu berkata,
“Dzikirlah kepada Allah!” Aku pun berdzikir, dan akhirnya ular-
ular itu akhirnya pergi menjauh. Kemudian mereka datang
lagi. Aku berteriak lagi kepada Syeikh, dan beliau menyuruhku
berdzikir lagi. Hal itu berlangsung terus sampai pagi. Ketika
kami bangun, Syeikh berdiri dan meneruskan perjalanan, dan
aku pun berjalan menyertainya. Tiba-tiba seekor ular besar
jatuh dari kasur gulungnya, Kiranya semalam ular itu telah
tidur bergulung bersama beliau. Aku bertanya kepada Syeikh :
“Apakah Anda tidak merasakan adanya ular itu?” Beliau
menjawab : “Tidak. Sudah lama aku tidak merasakan tidur
nyenyak seperti tidurku semalam.”
Abu Utsman berkata : “Seseorang yang tidak dapat
merasakan keganasan alpa, tidak akan merasakan sukacita
dzikir.”
As-Sary menegaskan : “Tertulis dalam salah satu kitab
suci : “Jika dzikir kepada-Ku menguasai hamba-Ku, maka ia
telah asyik kepada-Ku dan Aku pun asyik kepadanya.”
239
Dikatakan pula : “Allah mewahyukan kepada Daud as. :
“Bergembiralah kepada-Ku dan bersenang-senanglah dengan
dzikir kepada-Ku!.”
Ats-Tsaury mengatakan : “Ada hukuman atas tiap-tap
sesuatu, dan hukuman bagi seorang ahli ma’rifat adalah
terputus dari dzikir kepada-Nya.”
Tertulis dalam Injil : “Ingatlah kepada-Ku ketika engkau
dipengaruhi oleh kemarahan, dan aku akan ingat kepadamu
ketika aku marah, Bersikap ridhalah dengan pertolongan-Ku
kepadamu, sebab itu lebih baik bagimu dari pertolonganmu
kepada dirimu sendiri.”
Seorang pendeta ditanya : “Apakah engkau sedang
berpuasa?” Ia menjawab : “Aku berpuasa dengan dzikir
kepada-Nya. Jika aku mengingat selain-Nya, maka puasaku
batal.”
Dikatakan : “Apabila dzikir kepada-Nya menguasai hati
manusia dan setan datang mendekat, maka ia akan
meggeliat-geliat di tanah seperti halnya manusia menggeliat-
geliat manakala setan-setan mendekatinya. Apabila ini terjadi,
maka semua setan akan berkumpul dan bertanya : “Apa yang
telah terjadi atas dirinya?” Salah seorang dari mereka akan
menjawab : “Seorang manusia telah menyentuhnya.”
Sahl berkata : “Aku tidak mengenal dosa yang lebih buruk,
dari lupa kepada Allah swt.”
Didkatakan bahwa malaikat tidak membawa dzikir batin
seorang manusia ke langit, sebab ia sendiri bahkan tidak
mengetahuinya. Dzikir batin adalah rahasia antara si hamba
dengan Allah swt.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku mendengar cerita
tentang seorang laki-laki yang berdzikir di sebuah hutan. Lalu
240
aku pergi menemuinya. Ketika ia sedang duduk, seekor
binatang buas mengigitnya dan mengoyak dagingnya. Kami
berdua pingsan. Ketia ia siuman, aku bertanya akepadanya
tentang hal itu, dan ia berkata kepadaku : “Binatang itu diutus
oleh Allah. Apabila engkau kendor dalam berdzikir kepada-
Nya, ia datang kepadaku dan mengigitku sebagaimana yang
engkau saksikan.”
Abdullah Al-Jurairy mengabarkan : “Di antara murid-murid
kami ada seorang laki-laki yang selalu berdzikir dengan
mengucap “Allah” “Allah”. Pada suatu hari sebatang cabang
pohon patah dan jatuh menimpa kepalanya. Kepalanya pun
pecah dan darah mengalir ke tanah mebentuk kata-kata Allah-
Allah.”

31.
FUTUWWAH
Allah swt. berfirman :
“Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang
beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada
mereka petunjuk.” (Qs. Al-Kahfi :13).
Rasulullah saw. bersabda :
“Allah swt. memberikan perhatian kepada seorang hamba
selama hamba itu memperhatikan kebutuhan saudaranya
yang Muslim.”
(Hr. Thabrani, riwayat dari Abu Hurairah dan Zaid bin
Tsabit).
Menurut Syeikh ad-Daqqaq : “Futuwwah pada prinsipnya
adalah kepedulian secara terus menerus yang dilakukans
eorang hamba kepada orang lain.”

241
Syeikh berkomentar : “Tidak ada kesempurnaan sifat
Futuwwah. Kecuali hanya ada pada diri Rasulullah saw. saja,
sebab pada hari Kebangkitan semua orang akan mengatakan :
“Nafsi.... nafsii... (aku hanya mengurus diriku, aku hanya
mengurus diriku), sementara Rasulullah saw. akan
mengatakan : “Ummati .... Ummati.... (ummatku ...
ummatku...)”
Al Junayd mengatakan : “Futuwwah dapat ditemukan di
Syam, kefasihan bahasa di Iraq, dan kejujuran di Khurasan.”
Al-Fudhail menegaskan : “Futuwwah berarti memafkan
kesalahan sesama manusia.”
Dikatakan pula : “Futuwwah berarti seseorang tidak
menganggap dirinya lebih tinggi dan orang lain.”
Abu Bakr al-Warraq menegaskan : “Orang yang bersifat
Futuwwah adalah mereka yang tidak punya musuh.”
Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menjelaskan : “Futuwwah
berarti engkau adalah musuh bagi dirimu sendiri, demi
Tuhanmu.”
Dikatakan : “Manusia yang memiliki sifat Futuwwah tidak
akan pernah memusuhi siap pun.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mendengar an-Nashr Abadzy
mengatakan : “Ashabul Kahfi (Mereka meninggalkan
keluarganya, menuju kepada Tuhannya. Mereka kontra
duniawinya, sehingga mereka dipuji karena meninggalkan
duniawi demi Allah swt. Karenanya, mereka menentang arus
kebiasaan, dan lelap di gua selama 309 tahun, sama sekali
tidak ada perubahan fisiknya). Mereka disebut fityah karena
mereka beriman kepada Allah tanpa perantara.”
Dikatakan : “Manusia yang futuwwah adalah orang yang
menghancurkan berhala, sebab Allah swt. berfirman : “Kami
242
dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala
ini, yang bernama Ibrahim: (Qs. Al-Anbiya :60) dan : “Maka
Ibrahm membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-
potong (Qs. Al-Anbiya :58). Berhala setiap manusia adalah
hawa nafsunya sendiri. Jadi, orang yang melawan hawa
nafsunya sendiri adalah orang yang benar-benar futuwwah.
Al-Harits al-Muhasiby berkata : “Futuwwah menuntut agar
engkau berlaku adil kepada orang lain, tapi juga mau diadili
oleh orang lain.”
Amr bin Utsman al-Makky mengatakan :”Futuwwah adalah
memliki akhlak yang baik.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang futuwwah, dijawabnya,
“Futuwwah artinya engkau tidak membenci orang miskin tapi
juga tidak konfontrasi dengan orang kaya.”
AN-Nashr Abadzy berkomentar : “Muru’ah merupakan
bagian dari futuwwah. Ia berarti berpaling dari dunia dan
akhirat, dengan bangga menjauhi kedunya.”
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi mengatakan : “Futuwwah
berarti bahwa ha-hal yang langgeng maupun yang musnah
sama saja bagi diri Anda.”
Ahmad bin Hanbal ditanya : “Apakah futuwwah itu?” dan
beliau menjawab : “Futuwwah artinya meninggalkan apa yang
engkau inginkan demi apa yang engkau takuti.”
Ditanyakan kepada salah seorang Sufi : “Apakah futuwwah
itu?” Ia menjawab : “Futuwwah artinya engkau tidak
membedakan makan bersama dengan seorang wali ataukah
seorang kafir.”
Saya mendengar salah seorang ulama mengabarkan :
“Sorang Majusi mengundang Ibrahim as. Makan. Ibrahim
menjawab : “Aku mau menerima undanganmu dengan satu
243
syarat, yaitu bahwa engkau memeluk Islam.” Mendengar
jawaban demikian, si orang Majusi itu lalu pergi. Kemudian
Allah swt. menurunkan wahyu kepada Ibrahim : “Selama lima
puluh tahun Kami telah memberinya makan sekalipun ia kafir.
Apa salahnya jika engkau meneriema seporsi makanan
darinya tanpa menuntutnya mengganti agama? Ibrahimm lalu
mengejar si orang Majusi itu sampai tersusul, lalu minta maaf
kepadanya. Ketika si Majusi bertanya kepadanya mengapa
meminta maaf, Ibrahim menceritakan kepadanya apa yang
telah terjadi, dan orang Majusi itu pun akhirnya msuk Islam.
Al-Junayd mengatakan : “Futuwwah artinya menahan diri
dari menyakiti hati orang dan menawarkan kemurahan hati.”
Sahl bin Abdullah menjelaskan : “Futuwwah artinya
mengikuti sunnah.”
Dikatakan : “Futuwwah artinya setia dan menjaga
ketetapan Allah.”
Dikatakan juga : “Futuwwah adalah perbuatan bijak yang
engkau lakukan tanpa melihat dirimu dalam perbuatan itu.”
Dikatakan : “Futuwwah artinya engkau tidak berpaling
manakala seorang yang membutuhkan datang
mendekatimu.”
Ada yang berpendapat : “Futuwwah artinya engkau tidak
menutup diri dari orang yang mencarimu.”
Pendapat lain : “Futuwwah artinya engkau tidak
menumpuk-numpuk harta kekayaanmu dan tidak mencari-cari
alasan (jika diminta).”
Dikatakan : “Futuwwah artinya menampakkan nikmat, dan
menyembunyikan cobaan.”
Yang lain berkata : “Futuwwah artinya bahwa jika engkau
mengundang sepuluh orang tamu, maka engkau tidak akan
244
terpengaruh jika yang datang sembilan atau pun sebelas
orang.”
Dikatakan : “Futuwwah artinya meninggalkan segala
bentuk perbedaan.”
Ahmad bin Khadhrawaih berkata kepada isterinya : “Aku
ingin mengadakan pesta dengan mengundang seorang
luntang-lantung yang terkenal di daerahnya dengan sebutan
‘pemimpin orang-orang muda.” Isterinya berkeberatan, ‘Itu
tidak benar, mengundang seorang preman muda datang ke
rumah.” Ahmad bersikeras. “Keinginanku mesti
dilaksanakan!.” Istrinya berkata : “Jika demikian, maka
smbelihlah kambing, sapi dan keledai, dan lemparkan saja
dagingnya dari pintu orang itu ke pintu rumahmu!.” Ahmad
bertanya : “Aku mengerti apa yang engkau maksudkan
dengan kambing dan sapi, tapi apa maksudmu dengan
menyembelih keledai?” Istrinya menjawab : “Engkau
mengundang seorang preman muda ke rumah kita, maka
paling tidak, lebih baik engkau membuat pesta bagi anjing-
anjing di tempat ini.
Dalam suatu kisah diceritakan, pada sebuah perjamuan
yang dihadiri oleh beberapa orang Sufi, termsuk seorang
Syeikh dari Syiraz. Ketika acara penyimakan (ceramah)
dimulai, tamu-tamu tertidur. Syeikh dan Syiraz bertanya
kepada tuan rumah : “Mengapa mereka tertidur?” Si tuan
rumah menjawab : “Aku tidak tahu. Aku telah ebrtindak
cermat dan memastikan semua makanan, kecuali terung.”
Keesokan paginya mereka pergi mencari tahu tentang terung
itu kepada pedagang sayuran, yang mengatakan kepada
meraka : “Aku tidak punya sayuran. Maka aku lalu mencurinya
dari kebun si Fulan dan menjualnya.” Merka lalu membawa si
245
pedagang ke pemilik kebun untuk menebus halalnya. Si
pemilik kebun berkata dengan heran : “Anda bersussah paya
mendatangiku hanya untuk urusan seribu biji terung?”
Baiklah, aku hadiahkan kepada pedagang ini kebunku ini,
ditambah dua ekor sapi, seekor keledai dan bajak, agar ia
tidak perlu mencuri terung lagi.”
Dikatakan, bahwa seorang laki-laki menikahi seorang
wanita. Sebelum bersetubuh, ia melihat adanya cacar pada
tubuh istrinya itu. Laki-laki itu berseru kepada orang banyak :
“Mataku terkena penyakit. Aku telah menjadi buta!” Pengantin
wanita itu pun lalu dibawa ke rumah suaminya. Setelah dua
puluh tahun berselang wanita itu meninggal. Laki-laki itu
mendadak membuka matanya. Ketika seseorang bertanya
kepadanya apa yang telah terjadi, ia menjelaskan, : “Aku
sesungguhnya tidak pernah buta. Aku berpura-pura buta agar
istriku tidak merasa malu.” Seseorang berkata kepadanya :
“Engkau telah melampaui semua orang dalam hal
futuwwah!.”
Dzun Nuun al-Mishry mengajarkan : “Orang yang
menginginkan perllaku yang utama hendaklah mencontoh
para pemikul air dari Baghdad!>” Seseorang bertanya
kepadanya : “Bagaimana mereka itu?” Ia menjawab : “Ketika
aku dibawa ke hadapan khalifah atas tuduhan sebagai zindiq,
aku melihat seorang pemikul air yag memakai sorban,
berpakaian kain Mesir yang bagus, memebawa kendi-kendi
tanah liat yang bagus. Aku berkata kepada seseorang : Ini
pasti pelayan minum Sutan!” Ia berkata kepadaku : “Bukan,
ini adalah pelayan minum orang banyak>” Aku mengambil
sebuah cangkir, minum darinya dan menyuruh sahabt-
sahabtku : Berilah ia satu dinar!” Pembawa air itu menolaknya
246
seraya berkata : “Anda adalah seorang tahanan. Bukanlah
sikap futuwwah bila menerima sesuatu dari Anda.”
Dikatakan oeh sebagian teman-teman kami : “Tidak da
tempat dalam futuwwah bagi tindakan mengambil
keuntungan dari sahabt sendiri.” IA adalah seorang pemuda
bernama Ahmad bin Sahl si pedagang, dan saya membeli
sepotong jubah linen darinya. Ia hanya memintaku membayar
seharga modal yang dikeluarkannya untuk membeli jubah itu.
Saya bertanya kepdanya : “Apakah Anda tidak mau
mengambil sedikit keuntungan?” Ia menjawab : “Tentang
harga jubah itu, aku mau menerima pembayaran Anda, tapi
aku tidak mau membebankan kewajiban apa pun terhadap
Anda. Aku tidak akan mengambil keuntungan, sebab tidak ada
tepat dalam futuwwah bagi tindakan mengambil keuntungan
dari sahabt sendiri.”
Dikisahkan, seorang laki-laki yang mengaku futuwwah
datang dari Naisabur ke Nasa, dimana seseorang
mengundangnya makan bersama sekelompok orang yang
memiliki sifat futuwwah. Ketika mereka selesai makan,
seorang budak wanita datang untuk menuangkan air guna
membasuh tangan mereka. Laki-laki dari Naisabur itu menarik
tangannya dan berkata : “Berdasarkan aturan futuwwah,
tidaklah diperbolehkan seorang gadis menuangkan air untuk
laki-laki.” Tetapi orang lainnya yang hadir di sana berkata, :
“Aku telah datang ke sini selama bertahun-tahun tanpa
mengetahui apakah laki-laki atau wanita yang menuangkan
air untuk membasuh tangan kita?”
Manshur al-Maghriby menuturkan : “Seseorang ingin
menguji Nuh al-Ayyar an-Naisabury. Ia menjual kepada Nuh
seorang budak wanita yang diberi pakaian laki-laki, dengan
247
pernyataan tersirat bahwa budak itu adalah budak laki-laki.
Budak itu mempunyai wajah cantik yang bersinar cemerlang.
Nuh membelinya dengan perkiraan bahwa budak itu laki-laki.
Budak itu tinggal bersamanya selama berbulan-bulan.
Seseorang bertanya kepadanya : “Apakah tuanmu tahu bahwa
engkau adalah seorang gadis?” Ia menjawab : “Tidak, ia
belum pernah menyentuhku, karena mengira bahwa aku laki-
laki.”
Dikatakan, seorang laki-laki beringas diperintahkan untuk
menyerahkan seorang budak laki-laki miliknya kepada sultan,
tapi ia menolak. Ia lalu dihukum dera seribu kali, namun
demikian masih tetap menolak menyerahkan budaknya.
Malam itu udara sangat dingin dan ia terkena junub. Setelah
bangun, ia pun segera mandi dengan air yang sangat dingin.
Seseorang mengatakan kepadanya : “Engkau mengambil
resiko mati dengan dengan mandi air dingin ini.” Dijawabnya :
“Aku malu kepda Alalh swt. karena aku rela menderita seribu
kali pukulan cambuk demi seorang makhluk, tapi tidak
bersedia menahan dinginnya mandi demi Dia.”
Sekelompok ahli ahli futuwah pergi mengunjungi seorang
laki-laki yang terkenal karena futuwwahnya. Laki-laki itu
menyuruh pelayannya membawa tilam makanan. Si pelayan
tidak mengerjakan perintahnya, maka orang itu lalu
memanggilnya hingga berulang-ulang. Para tamu saling
berpandangan seraya berkata : “Ini tidak benar. Dalam aturan
futuwwah, seseorang tidak boleh mempekerjakan
perintahnya, maka orang itu lalu memanggilnya sekali lagi
dan sekali lagi.” Laki-laki itu bertanya kepda pelayannya :
“Mengapa begitu lama engkau baru datang membawakan
tilam itu?” Si pelayan menjawab : “Ada seekor semut pada
248
tilma itu. Tidaklah patut menurut futuwwah, membentangkan
tilam uantuk para tamu yang ahli futuwwah manakala ada
semut di atasnnya, sebalikya, tidaklah benar pula
mencampakkan semut dari kain tilam itu. Jadi, saya meunggu
sampai semut itu merayap meninggalkan tilam.” Para tamu
berkata kepaa pelayan itu : “Engkau telah menunjukkan
pemahaman yang tinggi. Orang sepertimu patut dilayani para
ahli futuwwah.”
Suatu ketika ada seorang jamaah haji yang bermalam di
Madinah. Ia mengira kantong berisi uangnya dicuri orang. Ia
keluar, melihat Ja’far ash-Shadiq dan memegang tangannya
serta bertanya : “Apakah engkau yang mencuri kantongku?”
Ja’far bertanya : “Apakah isi kantongmu itu?” Laki-lai itu
menjawab : “Uang sebanyak seribu dinar!” Ja’far lalu
membawa laki-laki itu ke rumahnya dan memberinya uang
seribu dinar. Laki-laki itu kembali ke penginapan dan
menemukan pundi-pundi yag dikiranya hilang tadi. Lalu ia pun
pergi menemui Ja’far ash-Shadiq dan minta maaf kepdanya
serta mengembalikan uangnya. Tapi Ja’far menolak
mengambil uangnya kembali dan berkata : “Aku tidak pernah
menuntut kembali barang yang telah aku berikan.” Orang itu
bertanya kepda seseorang yang ada di tempat itu : “Siapa
laki-laki itu?” Yang daitanya menjawab : “Ja’far ash-Shadiq.”
Diriwayatkan bahwa Syaqiq al-Balkhy bertanya kepada
Ja’far bin Muhammad (ash-Shadiq) tentang futuwwah. Kata
Ja’far balik bertanya : “Apakah pendapatmu?” Syaqiq
menjawab : “Futuwwah, jika kita diberi sesuatu, kita bersyukur
dan jika tidak diberi, kita bersabar.” Ja’far berkata : “anjing-
anjing kita di Madinah juga bersikap begitu.” Syaqiq
bertanya : “Wahai cucu Putri Rasulullah, kalau begitu apakah
249
futuwwah itu dalam pandangan Anda?” Ja’far menjawab :
“Futuwwah adalah, jika kita diberi sesuatu, kita berikan
kepada orang lain, dan jika tidak diberi, kita bersyukur.”
Al-Murta’isy mengabarkan : “Kami bersama Abu Hafs
menjenguk seorang yang sedang sakit, dan kami berangkat
serombongan. Abu Hafs bertanya kepada si sakit : “Apakah
engkau ingin sembuh?” Ia menjawab : “Ya, Maka si sakit lalu
bangkit dan berjalan bersama kami, demi kami semua lalu
jatuh sakit dan dikunjungi orang-orang lain.”

32.
FIRASAT
Allah berfirman :
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memperhatikan
tanda-tanda (firasat)” (Qs. Al-Hijr :75).
Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan : “Orang-orang
yang memperhatikan tanda-tanda” adalah orang-orang yang
mempunyai firasat.
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khurdy, bahwa Rasulullah
saw. bersabda :
“Waspadalah terhadap firasat seorang Mukmin, sebab ia
melihat dengan nur Allah swt.” (H.r. Bukhari dan Tirmidzi).
Firasat adalah nuansa yang datang meyelusup secara
tiba-tiba ke dalam hati, yang menafikan segala sesuatu yang
berlawanan dengannya; dengan demikian ia memiliki
ketentuan hukum dalam hati. Firasat mempunyai akar kata
yang sama dengan kata farisah, yang berarti mangsa
binatang buas. Jiwa si hamba tidak dapat menetang firasat,

250
yang merupakan kriteria potensi keimanan. Siapa pun yang
lebih kuat imnnya, lebih tajam pula firasatnya.
Abu Sa’id al-Kharraz berkomentar : “Seseorang yang
melihat dengan cahaya firasat identik melihat dengan cahaya
Al-Haq; muatan ilmunya datang dari Al-Haq, tidak bercampur
dengan kealpaan ataupun kelalaian. Bahkan, ketentuan Allah
mengalir melaui lisan si hamba.”
Adapun perkataan al-Kharraz : “Ia melihat dengan cahaya
Al-Haq.” Adalah cahaya yang dikhususkan Allah kepadanya.
Muhammad al-Wasithy mengatakan : “Firasat terdiri dari
cahaya yang cemerlang dalam hati, yang membuat si ahli
ma’rifat mampu membawa rahasia-rahasia dari satu alam
ghaib lainnya, sedemikian rupa, hingga ia dapat melihat hal-
hal dengan cara dimana Allah swt, memperlihatkan kepdanya,
hingga ia dapat berbicara melalui sukma budinya..”
Diriwayatkan bahwa Abul Hasan ad-Dailamy menuturkan :
“Aku pergi ke Anthakia karena mendengar keberadaan
seorang kulit hitam yang berbicara tentag hal-hal rahasia. Aku
tinggal di sana sampai ia turun dari Gunung Lukam. Ia
membawa barang-barang halal yang dijualnya. Aku lapar
karena sudah dua hari tidak makan. Maka aku lalu bertanya
kepadanya; Berapa harganya ini?” Kubuat ia percaya bahwa
aku akan membeli barang dagangannya. Ia berkata kepadaku,
‘Duduklah di situ, jika barang-barang ini sudah terjual aku
akan memberimu uang yang dengannya engkau dapat
membeli makanan!” Maka aku lalu meninggalkannya dan
pergi ke pedagang yang lain untuk membuatnya mengira
bahwa aku sedang menawar dagangannya. Kemudian aku
kembali kepadanya dan berkata : “”Jika engkau bermaksud
menjual barang ini, maka katakanlah kepadaku berapa
251
harganya!.” Ia menjawab : “Engkau sudah dua hari kelaparan.
Duduklah! Jika barang ini telh terjual, aku akan memberimu
uang untuk membeli sesuatu.” Maka ku pun duduk, dan ketika
barangnya telah terjual, ia memberiku uang dan pergi
meninggalkanku. Aku mengikutinya, dan ia berpaling
kepadaku serta berkata : “Jika engkau membutuhkan sesuatu,
mintalah kepada Allah swt! Tetapi bila hawa nafsumu
memperoleh sesuatu dari terpenuhinya kebutuhan itu, maka
engkau terhijab dari Allah swt.”
Muhammad al-Kattany berkata : “Firasat adalah
mukasyafah dalam tahap yakin, dan menyatakan kegaiban. Ia
adalah salah satu tahapan keimanan.”
Dikatakan bahwa asy-Syafi’y dan Muhammad bin al-Hasan
– semoga Allah swt. merahmati mereka – sedang berada di
Masjidil Haram ketika seseorang masuk ke Masjid. Muhammad
bin al-Hasan berkata : “Aku punya firasat bahwa ia adalah
seorang tukang kayu.” Dan asy-Syafi’y berkata : “Aku punya
firasat bahwa ia adalah seorang tukang besi.” Ketika mereka
bertanya kepada orang itu, ia menjawab, “Dahulu, aku pernah
menjadi tukang besi, namun sekarang aku adalah tukang
gkayu.”
Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Orang gyang mampu
menyimpulkan (al-mustanbith) adalah orang yang selalu
menaruh perhatian kepada yang gaib. Tiada sesuatu pun yang
tersembunyi atau terjaga dari pandangannya. IA adalah orang
yang ditunjuk dalam firman Allah swt.
“......tentulah orang-orang yang mampu menemukan
kebenaran akan mengetahui persoalannya.” (Qs. An-Nisa’ :
83).”

252
Orang yang membaca firasat, akan mengetahui intuisi
dan juga mengetahui apa yang ada di lubuk hati yang dalam
dengan cara menyimpulkan dan melalui alamat-alamat. Allah
swt. berfirman, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
memperhatikan tanda-tanda (firasat).” (Qs. Al-Hijr :75), yakni
bagi orang-orang ma’rifat terhadap tanda-tanda yang
diungkapkan Allah mengenai dua kelompok manusia, yaitu
wali-wali Allah dan musuh-musuh-Nya.
Seseorang yang memiliki firasat, melihat dengan cahaya
Allah swt, yang mendaklah kamu menjadi orang-orang gyang
mengenal Tuhan (rabbaniyyin)” (Qs. Ali Imran :9), yakni para
ulama ahli hikmah yang berakhlak dengan Allah swt. Yang
Haq, baik secara ideologis maupun moral. Mereka bebas dari
apa yang telah dikatakan orang lain, atau memberi perhatian
kepada mereka, atau dipedulikan oleh mereka.
Dalam suatu riwayat disebutkan, Abdul Qasim al-Munady
sedang menderita sakit. Ia adalh syeikh besar di kalangan
syeikh di Naisabur. Maka Abul Hasan al-Busyanjy dan al-Hasan
al-Haddad pun pergi menjenguknya. Di tengah jalan mereka
membeli sebutir apel setengah dirham dengan menghutang.
Ketika mereka telah sampai ke rumahnya, Abul Qasim
bertanya : “Kegelapan apa lagi ini?” Mereka lalu pergi ke luar
dan saling bertanya, kesalahan apa yang telah mereka
lakukan. Mereka berpikir dan kemudian menyimpulkan,
barangkali kesalahan itu adalah bahwa mereka belum
membayar harga apel itu. Maka mereka pun lalu pergi kepada
si penjual buah, membayar apel itu dan kembali ke rumah
Abul Qasim. Ketika Abul Qasim melihat mereka, ia berkata :
“Aneh sakli. Orang dapat keluar dari kegelapan dengan begitu
253
cepat. Ceritakan kepadaku apa yang telah kalian lakukan!”
Ketika mereka telah menceritakan apa yang telah terjadi. Abul
Qasim membenarkan, Ya” masing-masing dari kalian berdua
mengharapkan yang lain membayar apel itu, tapi malu
memintanya. Jadi pembelian apel itu tidak tuntas. Alasan
pembelian apel itu adalah karena diriku, dan hanya aku saja
yang melihat kegelapan itu pada diri kalian berdua.”
Sementara Abul Qasim sendiri pun biasa pergi ke pasar setiap
hari untuk berjualan. Apabila ia telah memperoleh keuntungan
yang cukup baginya .. antara seperenam hingga setengah
dirham --- maka ia akan pulang dan kembali pada kesibukan
utamanya, yaitu waktu utama dan mewaspadai hatinya.”
Al Husain bin Manshur berkata : “Apabila Allah
berkehendak untuk melimpahkan rahasia maka, Dia akan
mengamanatkan rahasia-rahasia kepada hati, yang kemudian
dipahaminya dan dipermaklumkannya.”
Ketika salah seorang Sufi ditanya tentang firasat, ia
menjawab, “Firaat berarti ada ruh-ruh yang bekeliling di dalam
langit dan mengamati makna hakiki dari masalah-masalah
gaib. Mereka berbicara tentang rahasia-rahasia penciptaan
dengan bahasa nyata, bukan kata-kata yang bersifat
speklulasi atau dugaan.”
Diceritakan bahwa Zakariya asy-Syikhtany terlibat
perselingkuhan dengan seorang wanita sebelum ia berTaubat.
Suatu ketika setelah menjadi salah seorang murid terkemuka
Abu Utsman al-Hiry, ia berdiri di depan gurunya sambil
berpikir tentang si wanita itu. Abu Utsman menganggkat dan
memandangnya sambil bertanya : “Apakah engkau tidak
merasa malu.”

254
Pada awal hubungannya saya dengan Syeikh Abu Ali ad-
Daqqaq -- Semoga Allah merahmatinya -- sebuah majelis
pengajian diadakan untuk diri saya di Masjid al-Mutarriz. Suatu
ketika saya minta izin untuk pergi selama beberapa waktu ke
Nasa, dan beliau mengizinkan. Suatu hari saya berjalan
dengan beliau ke tempat pengajiannya, tiba tiba saya
berpikir : “Seandainya beliau mau menggatikan saya
mengajar di pengajian-pengajianku ketika saya pergi.” Beliau
berpaling kepada saya dan berkata : “Aku akan
menggantikanmu di pengajian salama engkau pergi.” Saya
terus berjalan. Sejenak terlintas dalam pikiran bahwa beliau
sakit, dan akan menyushkan jika beliau mengajar dua hari
dalam seminggu. Saya ingin agar beliau mengurangi kelas
dan dan mengajar menjadi sekali (sehari) seminggu> Beliau
berpaling kapda saya dan berkata : “Kalau aku tidak dapat
menggantikanmu mangajar dua kali seminggu, aku hanya
akan melakukannya sekali seminggu.” Selagi saya berjalan
terus, sejenak pikiran lain terlintas dalam hati, dan beliau pun
berpaling kepada saya dan mengatakan masalahnya
sebagaimana yang sedang saya pikirkan.
Syah al-Kirmany memiliki firasat sangat tajam dan tidak
pernah keliru. Bilau mengatakan :Firasat akan selalu benar
bagi orang yang merendahkan pandangannya dari keinginan
hawa nafsu, membiasakan wujud batinnya dari keinginan
hawa nafsu, membiasakan wujud batinnya dengan
muraqabah yang terus menerus dan lahiriahnya selaras
denga Sunnah, dan membiasakan diri makan makanan yang
halal saja.”
Abul Husain an-Nury ditanya : “Darimana datangnya
firasat ahli firasat? Ia menjawab, dengan menyebut firman
255
Allah swt. ini, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku.” (Qs.
Al-Hijr :29). Jadi, bagi orang yang jatah cahayanya lebih besar,
maka musyahadahnya lebih kuat, dan penilaian firatsatnya
pun lebih dapat dipercaya. Apakah engkau tidak melihat
bagaimana ruh ditiupkan ke dalam tubuh Adam menjadi
sebab sujudnya para malaikat kepadanya dalam firman-
Nya : “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya
dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah
kamu kepadanya dengan bersujud.” (Qs. Al-Hijr :29).”
Pendapat Abul Husain an-Nury ini mengundang
kesamaran. Ia menyebutka peniupan ruh oleh Allah swt. ke
dalam tubuh Adam bukan untuk mendukng pendapat mereka
yang mempercayai qadimnya ruh, bukan pula seperti yang
tampak bagi orang-orang berhati lemah. Apa pun yang
dibenarkan adalah peniupan ruh, pertemuan dan
perpisahan, maka ia juga dapat dikenai pengaruh dan
perubahan yang pada gilirannya merupakan sifat-sifat
makhluk. Allah swt. menganugerahi orang-orang beriman
dengan kemampuan penglihatan batin dan firasat, yang
sesungguhnya adalah ma’rifat. Inilah maksa sabda Nabi saw. :
“Sebab ia (orang beriman) melihat dengan nur Allah swt.”
yaitu dengan pengetahuan dan kearifan. Dia memberikan
kepada Mukmin kedudukan yang unik dan berbeda dari
semua makhluk lainnya. Penamaan ilmu pengetahuan dan
kearifan hati ini bisa disebut dengan “Cahaya-cahaya.”
Bukanlah suatu yang bid’ah. Juga, diskripsi cahaya tersebut
sebagai “peniupan ruh.”, bukanlah hal yang mengada-ada,
yang dimaksudkan adalah penciptaan.

256
Al-Husain bin Manshur mengatakan : “Orang yang
mempunyai firasat dapat mengenai sasarannya dengan panah
pertama yang dilepasakannya. Ia tidak penah berpaling pada
penafsiran, spekulasi, ataupun dugaan.”
Dikatakan : “Firasat para murid adalah spekulasi
yang menghasilkan keyakinan, dan firasat ahli ma’rifat
adalah pembenaran yang melahirkan hakikat.
Ahmad bin Ashim al-Anthaky mengajarkan : “Jika engkau
bermajelis dengan orang-orang jujur, maka berlaku jujurlah
terhadap mereka, sebab mereka adalah mata-mata hati.
Mereka masuk ke dalam hatimu dan meninggalkannya tanpa
engkau sadari.”
Abu Ja’far al-Haddad berkata : “Firasat adalah kilasan
pertama intuisi tanpa kontra hati. Jika suatu intuisi datang
kemudian dan berlawanan, itu tidak lebih dari kata hawa
nafsu.”
Diceritakan bahwa Abu Abdullah a-Razy an Naissabury
mengabarkan : “Ibnu Anbary memberi pakaian wol untukku.
Kulihat asy-Syibly memakai sebuah sorban yagn sangat serasi
dengan wolku. Diam-diam aku menginginkan agar dapat
memiliki jubah dan sorban itu sekaligus. Ketka asy-Syibly
meninggalkan kumpulan pengajiannya, ia berpaling padaku,
Aku pun mengikutinya, sebab sudah menjadi kebiasaannya
untuk berpaling kepadaku jika menginginkan agar aku ikut
dengannya. Ketika ia masuk ke dalam rumahnya, aku
mengikutinya. “Lepaskan wol itu” katanya. Aku pun
melepaskan wolku, yang kemudian dilipatnya. Setelah itu
dilemparkan sorbannya ke atas wolku, disuruhnya orang
menyalakan api, lalu dibakarnya wol dan sorban itu.”

257
Abu Hafs an-Naisabury menegaskan : “Adalah keliru bagi
siapa pun untuk mengikuti orang yang memiliki firasat. Tetai
maksudnya adalah berwaspada kepada orang yang memiliki
firasat, sebab Rasulullah saw. telah bersabda. “Waspadalah
terhadap firasat orang Mukmmin.” Beliau tidak bersabda :
“Gunakanlah firasat kamu sekalian!.” Bagaimana mungkin
dibenarkan pengakuan firasat, bagi orang yang berada pada
tahap waspada terhadap firasat.?”
Abul Abbas bin Masruq menuturkan : “Ketika aku pergi
menjenguk seorang tua yang merupakan salah seorang
sahabat kami, kutemukan ia tinggal di lingkungan yang
kumuh. Aku bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimana orang
tua ini menolong dirinya?” Si orang tua itu lalu berkata
kepadaku : “Wahai Abul Abbas, campakkanlah bisikan kotor
itu! Allah memiliki kebaikan-kebaikan lembut yang
tersembunyi.”
Az. Zubaidy mengabarkan : “Aku sedang berada di dalam
sebuah masjid di Baghdad bersama sekelompok fakir, sudah
berhari-hari kami tidak menerima sesuatu pun. Aku datang
kepada al-Khawwas untuk meminta sesuatu. Ketika
pandangannya jatuh kepadaku, ia bertanya : “Kebutuhan yang
membawamu ke sini, diketahui Allah atau tidak?” Aku
menjawab : “Tentu saja Dia mengetahuinya.” Maka al-
Khawwas pun memerintahkan : Kalau begitu, jagalah
ketenanganmu dan jangan perlihatkan kebutuhanmu kepada
sesama makhluk! Aku pun pergi, dan tidak alma kemudian
kami diberi makanan yang melebihi kebutuhan kami.”
Dikatakan, “Suatu hari Sahl bin Abdullah sedang berada di
dalam masjid jami.” Ketika seekor burung merpati jatuh dari
angkasa karena panas dan lelah. Sahl berseru : “Syeikh al-
258
Kirmany baru saja wafat atas kehendak Allah swt. Orang-
orang yang berada di tempat itu menuliskan ucapannya, dan
memang benarlah apa yang dikatakannya itu.”
Dikatakan : “Abu Abdullah at-Targhundy, salah seorang
pembesar pada masanya, bepergian ke Thous. Sesampai di
kHarwa, ia menyuruh temannya : “Belilah sedikit roti!.”
Temannya itu pun membeli roti secukupnya untuk merek
berdua, tetapi Abu Abdullah berkata kepadanya : “Belilah
lebih banyak lagi!.” Temannya dengan segera membeli roti
lagi sekiranya cukup untuk sepuluh orang, seolah-olah ia
sengaja menganggap ucapan Abu Abdullah sebagai isapan
jempol semata. Ketika mereka tiba di atas gunung,
bertemulah dengan sekelompok orang yang telah diikat oleh
kawanan penyamun. Karena sudah agak lama mereka tidak
menelan sesuap makanan, orang-orang tersebut pun meminta
makanan kepada mereka berdua. Abu Abdullah berkata :
“Bentangkanlah tilam untuk mereka!.”
Aku berada bersama Syiekh Imam Abu Ali ketika orang-
orang yang hadir mulai membicarakan tentang bagaimana
Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy bangit dari tempat
duduknya ketika acara penimakan, sebagaimana layaknya
para fakir. Syeikh Abu Ali berkata, : “Mengenai erilaku Abu
Abdurrahman, apakah diam tidak lebih baik baginya?”
Barangkali beliau memerintahkan kepadaku : “Pergilah kepada
as-Sulamy! Engkau akan menemukannya sedang duduk di
perpustakaannya. Di atas buku-buku itu ada sebuah buku
empat persegi yang kecil berwarna merah birisi puisi-puisi
karya al-Husain ban Manshur. Ambillah buku itu, tanpa
berkata apapun kepadanya dan bawalah kepadaku!” Waktu
itu siang hari. Ketika aku pergi kepada as-Sulamy, ia sedang
259
berada di perpustakaannya, dan buku yang disebutkan Abu Ali
ada di tempat yag beliau sebutkan.
Ketika aku duduk, Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy
mulai berkata, Suatu ketika ada seseorang yang mencela
salah seorang ulama karena perilakunya dalam penyimakan.
Orang yang sama ini pada suatu hari terlihat sedang berada
sendirian di rumahnya, menari berputar-putar seperti halnya
orang yang sedang mengalami keleburan ruhani. Ketika
seseorang bertanya akepadanyamengapa ia berlaku
demikian, ia menjawab : “Aku menemui sebuah masalah yang
membingungkan. Tiba-tiba penyelesaiannya diungkapkan
kepadaku. Aku begitu gembira sehingga tidak mampu
menguasai diri dan mulai menari berputar-putar.
Mereka berkata tentang orang ini : “Seorang dengan
kedudukan seperti itu bertindak seperti biasanya.”
Ketika kuperhatikan apa yag diperintahkan oleh Syeikh
Abu Ali kepadaku dan semuanya dalam keadaan seperti yang
beliau gambarkan, maka aku menyadari apa yang
dikatakaApa yang harus kulakukan, dalam keadaan terjepit di
antara mereka begini?” Aku berpikir-pikir dan memutuskan
bahwa tidak ada pandangan lain selain kejujuran.”
Syeikh Abu Ali mengabarkan sebuah buku tertentu
kepadaku dn menyuruhku mengambilnya tanpa meminta izin
kepada Anda. Aku takut kepada Anda. Tapi juga tidak mau
menurut Anda. Apa yang harus aku lakukan?”
As-Sulamy mengambil jilid keenam dri buku wacana al-
Husain dimana terdapat juga sebuah bab karangannya sendiri
yang diberi judul Ash-Shayhur fi Naqdid Duhur dan berkata :
“Bahwalah ini kepadanya dan katakan : “Saya menelaah buku

260
ini, dan saya menyalin beberapa baris darinya ke dalam
tulisan saya.” Maka aku pun pergi dari hadapannya.”
AL-Hasan al-Haddad menuturkan : “Aku sedang berada
bersama Abul Qasim al-Munady dan sekelompok fakir (Sufi)
yang sedang menjadi tamunya ketika ia menyuruhku pergi ke
luar dan mencarikan makanan untuk mereka. Aku merasa
senang menerima tugas ini, sekalipun Abul Qasim tahu bahwa
bila aku adalah seorang yang sangat miskin. Aku membawa
sebuha keranjang besar dan pergi ke luar.
Di jalan menuju ke pasar Sayyar, aku berjumpa dengan
seorang syeikh yang berpakaian sangat bagus. Aku
mengucapkan salam kepadanya dan berkata : Ada
sekelompok sufi yang sedang berkumpul di dekat sini.
Mungkin anda punya sesuatu untuk diberikan kepada
meraka?” Syeikh itu lalu menyuruh pelayannya membawa
keluar persediaan makanannya berupa roti, daging dan angur.
Ketika aku kembali ke rumah Aul Qasim al-Munady, ia
menghmabur dari dalam rumah sambil berseru kepadaku :
“Kembalikan makanan itu ke asalnya di mana engkau
memperolehnya tadi!”
Aku kembali dan meminta maaf kepada syeikh yang
memberi makanan itu dan berkata : “Saya tidak menemukan
Sufi-sufi itu. Mungkin mereka sudah pergi.” Kukembalikan
makanan itu kepadanya dan kuteruskan langkahku pergi ke
pasar. Aku berhasil memperoleh sedikit makanan, yang segera
ku bawa ke rumah Abul Qasim. Ia menyuruhku masuk ke
dalam. Ketika aku menceritakan kepadanya semua yang
terjadi, ia berkata : “Ya itulah Ibnu Sayyar, seorang pecinta
dunia yang dekat dengan penguasa, Kalau engkau mencari

261
makanan untuk para Sufi, carilah seperti ini, bukan seperti
tadi itu.”
Abul Husain al-Qarafi mengisahkan : “Aku mengunjungi
Abul Khayr at-Tinaty, dan ketika aku berpamitan kepadanya, ia
mengantarku sampai ke pintu masjid dan berkata : “Wahai
Abul Husain, aku tahu engkau tidak membawa bekal,
karenanya bawalah dua butir apel ini!” Kuterima apel itu,
kumasukan ke dalam saku, lalu aku berangkat. Tiga hari
lamanya aku tidak memperoleh makanan, karena itu kuambil
satu apel dan kumakan. Kemudian aku berpikir-pikir mau
memakan apel yang kedua, dan kudapati kedua apel itu masih
ada dalam kantongku. Aku terus memakan apel-apel itu, dan
kedua apel itu ada terus dalam kantongku sampai aku tiba di
pintu gerbang kota Mosul.
Aku berkata dalam hati : “Kedua apel ini telah merusak
kondsi tawakkalku kepada Allah, karena keduanya telah
menjadi semacam bekal bagiku.” Maka aku terakhir kalinya
kuambil kedua apel itu dan melihat sekelilingku. Tiba-tiba
kulihat seorang fakir memakai jubah sedang meratap.” Aku
sangat menginginkan apel itu.” Maka kuberikan kedua apel itu
kepadanya. Ketika aku merenung masalah apel tersebut,
terlintas dalam pikiranku bahwa Syeikh Abu Khayr mungkin
telah mengirim kedua apel itu kepada orang ini, dan aku
hanya menjadi perantara kebaikannya itu. Kucari orang kafir
itu, tapi ia sudah lenyap.
Ada seorang pemuda yang belajar kepada Junayd. IA
mampu membaca pikiran orang . Al-Junayd diberitahu akan
hal ini, dan ia lalu bertanya kepada pemuda itu :Benarkah apa
yang dikatakan orang tentang dirimu?” Pemuda itu lalu
berkata kepada al-Junayd : “Yakinlah tentang sesuatu.” Al-
262
Junayd menjawab : “Aku telah yakin.” Pemuda itu berkata :
“Anda sedang meyakini ini dan itu.” AL-Junayd berkata,
“Bukan.” Pemuda itu meminta al-Junayd mengulangi
keyakinannya dua kali lagi, dan setiap kali Al-Junayd
mengatakan bahwa tebakan si pemuda salah, dan saya yakin
akan hati saya.” Al-Junayd mengakui : “Kamu memang benar
ketika tiga kali kamu mengatakan apa yang sedang kuyakini,
tetapi aku ingin menguji apakah hatimu akan berubah atau
tidak.”
Ibrahim ar-Raqqy jatuh sakit. Dibawakanlah obat
kepadanya dalam sebuah mangkok, yang lalu diminumnya.
Kemudia ia berkata : “Sebuah insiden yang besar telah terjadi
di kerajaan hari ini. Aku tidak akan makan atau minum
sebelum aku tahu insiden apa itu.” Setelah beberapa hari
datanglah kabar bahwa al-Qurthuby telah memasuki Mekkah
al-Mukarramah pada saat itu, dan ia terbunuh pada perang
besar-besaran tersebut.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa ia
mengabarkan : “Aku datang kepada Utsman bin Affan r.a.
Setelah eku melihat seorang waniat di jalan. Aku telah
membayangkan wajahnya yang cantik. Utsman berkata :
“Salah seorang di antara kamu telah datang kepadaku hari ini
dengan bekas-bekas zina di matanya.” Aku bertanya
kepadanya : Apakah mungkin ada wahyu setelah Rasulullah
saw. wafat?” Beliau berkata : “Tidak, tapi adan kemampuan
mata hati, bukti dan firasat yang benar.”
Ahmad al-Kharraz mengatakan : “Aku masuk ke Masjidil
Haram di mana aku melihat seorang fakir yang memakai dua
potong jubah, sedang meminta-minta kepada orang gbanyak.
Aku berkata dalam hati : “Orang seperti ini merupakan beban
263
bagi orang banyak.” Si fakir itu melihat kepadaku dan
berkata : “Ketahuilah bahwa Allah mengetahui semua yang
ada di dalam jiwamu, karena itu berhati-hatilah terhadap-
Nya.” (Qs. Al-Baqarah : 235). Setelah aku minta maaf
kepadanya di dalam hati, lantas ia berkata : “Dan Dia-lah yang
menerima Taubat dari hamba-hamba-Nya.” (Qs. Asy-Syuura :
25).”
Ibrahim al-Khawwas berkata : “Suatu hari ketika aku
sedag berada di masjid besar Baghdad, ada sekelompok fakir
di sana. Tiba-tiba,seorang pemuda gagah perkasa dengan
keharumannya yang menyebar di samping juga sanat ramah
serta tampan rupawan datang kepada kami sambil
tersenyum. Aku berkata kepada sahabt-sahabtku : “Pikirankau
mengatakan bahwa anak muda ini seorang Yahudi.” Mereka
semua tidak setuju dengan ucapanku itu. Aku keluar dan begi
juga pemuda itu. Kemudian ia kembali kepada mereka dan
bertanya : “Apa yang dikatakan syeikh itu tentang diriku?”
Mereka semua merasa malu untuk mengatakan kepadanya,
tetapi pemuda itu terus mendesak hingga akhirnya mereka
mengungkapkan. : “Ia mengatakan bahwa engkau seorang
Yahudi.” Setelah itu anak muda itu datang kepadaku,
membungkuk di hdapanku, dan berikrar masuk Islam.”
Ketika seseorang bertanya tentang perbuatannya tadi, ia
berkata, “Kami membaca dalam kitab suci kami bahwa firasat
orang-orang yang jujur tidak pernah keliru.” Lalu aku berkata :
“Sebenarnya, aku menguji orang-orang Islam. Aku mencari-
cari di antara mereka dan memutuskan, jika da seorang kyang
jujur di antara mereka, maka ia adalah seorang Sufi, sebab
para Sufi berbicara dengan firman Alalh swt. Aku
menyembunyikan identitasku dan mengelabui mereka. Ketika
264
Syeikh ini mengetahui siapa diriku sebenarnya dengan
firasatnya, maka tahulah aku bahwa ia adalah penegak
kebenaran yang jujur.” Dan pemuda ini kemudian menjadi
salah seorang Sufi besar.”
Ahmad al-Jurairy bertanya : “Adakah di antara kalian yang
tahu apabila Alalh berkehendak membuat peristiwa besar di
kerajaan memberitahunya, sebelum kejadian itu terjadi?”
Kami menjawab : “Tidak”. Ia berkata : “Menangislah kamu
sekalian karena adaya hati yang belum pernah menemukan
sesuatu dari Allah swt!.”
Abu Musa ad-Dailamy mengatakan : “Ketika aku bertanya
kepada Abdurrahman bin Yahya tentang tawakkal, ia
menjelaskan, Tawakkal berarti bahwa jika engkau memasukan
tanganmu sebatas pergelangan tangan ke dalam mulut ular,
engkau tidak merasa takut kepada apa-pun selain Allah swt.
Kemudian aku pergi kepaa Abu Yazid untuk bertanya
kepadanya tentang tawakkal. Aku mengetk pintu rumahnya,
dan dari balik pintu ia menjawab : “Apakah kata-kata
Abdurrahman tidak cukup untukmu?” Aku meminta :
“Bukakan pintu!.” Ia menjawab : “Engkau tidak datang untuk
mengunjungiku, dan jawabannya sudah ada di balik pintu.”
Pintu pun tidak dibukakan untuk-ku. Aku lalu pergi dan
menunggu hingga satu tahun lamanya. Kemudian aku ingin
pergi kepadanya lagi dan ia berkata. “Selamat datang.
Sekarang engkau datang kepadaku sebagai tamu. “ Aku
tinggal bersamanya selama sebulan, dan tidak ada bisikan
hatiku yang tertuang, melainkan ia selalu mengatakannya
kepadaku. Ketika mengucapkan selamat berpisah kepadaku,
aku meminta kepadanya : “Berikanlah sepatah kata lagi yang
bermanfaat!” Ia berkata : Ibuku mengatakan kepdaku bahwa
265
ketika ia mengundang aku, setip kali ada makanan halal yang
disuguhkan kepadanya, maka tangannya dapat mengambil
makanan itu, tetapi jika ada sesduatu yang syubhat di
dalamnya, tangannya tidak mau diulurkan.”
Ibrahim al-Khawwas mengabarkan: “Aku pergi ke padang
pasir, di mana kau mengalami banyak cobaan. Ketika tiba di
Mekkah, aku menemukan keajaiban. Secara tidak terduga ada
seorang tua berseru kepdaku : “Wahai Ibrahim, aku ada
bersamamu ketika engkau di padang pasir, tetapi aku tidak
berbicara kepadamukarena takut kalau-kalau aku menggangu
keadaan batinmu. Sekarang, keluarlah waswas dari dirimu!.”
Diakbarkan bahwa meskipun a-Furghani al-Murghinany
pergi setiap tahun menunaikan ibadat haji, melewati Naisabur
tanpa singgah ke kediaman Abu Utsman al-Hiry. Ia
menjelaskan : “Suatu ketika aku pergi menjenguknya dan
memberi salam kepadanya, tetapi ia tidak membalas salamku.
Aku bertanya kepadanya : “Seorang Muslim datang menemui
seorang Muslim lainya dan mengucapkan salam, namun tidak
memperoleh balasan? Abu Utsman menjawab, “Apaakah
seperti itu, seseorang yang gmelakukan ibadat haji,
meninggalkan ibunya dan tidak memperlakukannya dengan
penuh horamt? Mendengar ucapannya itu, aku kembali ke
Furghanah dan tinggal di sana menemani ibuku hingga akhir
hayat beliau. Kemudian aku pergi menemui Abu Utsman, dan
ketika masuk ke rumahnya, ia menerimaku dan menyuruhku
duduk.” Setelah itu, al-Furghani tinggal bersamanya terus
menerus. Ia meminta agar ditugaskan merawat piaraannya,
yang menjadi pekerjaannya sampai Abu Utsman wafat.”
Khayr an-Nassaj berkata : “Suatu hari aku sedang duduk-
duduk di rumahku ketika instinkku mengatakan bahwa al-
266
Junayd sedang berada di depan pintu. Tapi aku mengingkari
instinkku itu. Untuk kedua dan ketiga kalinya instinkku itu
muncul lagi, hingga akhirnya aku berjalan ke arah pintu, dan
benarlah ia ada di sana. Al-Junayd bertanya : “Mengapa
engkau tidak datang pada instink yang pertama?”
Muhammad ibnul Husain al-Bisthamy mengabarkan :
“Ketika aku pergi menjenguk Abu Utsman al-Maghriby, aku
berkata dalam hati : “Barangkali ia menginginkan sesuatu
dariku.” Abu Utsman berkata : “Manusia tidak cukup puas
bahwa aku menerima pemberian mereka. Sehingga mereka
menambah permintaanku pada diri mereka,”
Salah seorang fakir menuturkan : “Aku sedang berada di
Baghdad. Terketuk olehku bahwa al-Murta’isy akan datang
kepadaku dengan membawa uang limabelas dirham hingga
aku dapat membeli kantong makanan, tali dan sandal yang
dapat kupergunakan untuk pergi ke padang pasir. Tba-tiba
kudengar pintu diketuk orang. Aku membukanya, dan kulihat
al-Murtha’isy berdiri di sana, membawa sebuah pundi-pundi
kain. Ia memerintahkan “Ambillah ini” Aku berkata : “Wahai
syeikh, aku tidak menginginkannya.” Ia bertanya, Lantas
mengapa engkau mengganggu aku? Berapa uang yang
engkau inginkan? Aku menjawab : “Limabelas dirham.” Ia
berkata : “Inilah uang itu, lima belas dirham.”
Salah seorang Sufi berpendapat mengenai firman Allah
swt. “ Dan apakah orang-orang yang sudah mati kemudian ia
Kami hidupkan?” (Qs. Al-An’am :122), dimaksudkan adalah
mati hatinya. Kemudian Allah menghidupkannya melalui
cahaya firasat, dalam hati itu pula ditampakkan cahaya
musyahadah, yang tentu tidaklah sama dengan orang yang
berjalan dalam keadaan alpa dengan kealpaannya.
267
Dikatakan : “Firasat seseorang benar, berarti ia telah naik
ke tahapan musyahadah.”
Abul Abbas Ahmad bin Masruq berkata : “Seorang yang
cukup tua datang kepada kami. IA berbicara tentang tasawuf
secara menawan, dan instinknya sanat bagus. Ia menyuruh
kami, dalam suatu ucapannya : “Katakanlah kepadaku apa
yang ada dalam benak kalian!.” Pikiranku mengatakan bahwa
ia adalah seorang Yahudi. Pikiran itu seakan-akan merupakan
peringatan yang mendesak, maka aku pun
mengungkapkannya kepada al-Jurairy. Ungkapanku itu
membuat perasaannya tertekan, tetapi aku menegaskan :
“Aku tidak punya pilihan lain, kecuali mengatakannya kepada
orang ini.” Maka aku pun berkata kepadanya : “Engkau
menyuru kami mengatakan kepadamu apa pun yang ada
dalam pikiran kami. Pikiranku mengatakan baha engkau
adalah seorang Yahudi.” Sesaat ia menundukkan kepala, lalu
mengangkatnya, dan mengaku : “Engkau benar, dan aku
sekarang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah.” Ia menjelaskan : “Aku telah
mencoba menempuh jalan semua agama, dan aku berkata
dalam hati L “Jika berada dengan suatu kaum, diantaranya
memiliki suatu kebenaran, maka kebenaran aan
bersamamnya. Maka aku lalu bergaul dengan kalian untuk
menguji kalian. Ternyata kalian berada dalam kebenaran. “ Ia
kemudian menjadi Muslim yagn sangat baik.
Diriwayatkan oleh al-Junayd bahwa as-Sary suka
mendorong al-Junayd agar berceramah kepada orang banyak.
Al-Junayd berkata, : “Aku merasa takut berbicara di depan
mereka? Pada suatu malam jum’at aku bermimpi bertemu
dengan Nabi saw. Beliau memerintahkan kepadaku
268
“Berkhutbahlah kepada orang banyak!” Aku terbangun, lalu
pergi ke rumah as-Sary sebelum subuh, dan mengetuk pint
rumahnya. Ia bertanya : “Engkau tidak percaya kepadaku,
hingga Nabi sendiri yang mengatakannya kepadamu?” Pagi
itu al-Junayd duduk di depan orang banyak di masjid, dan
tesebarlah kabar bahwa al-Junayd sedang berceramah.
Seorang pemuda Nasrani yang menyamar datang kepada al-
Junayd dan bertanya : “Katakanlah kepadaku, wahai syeikh,
apa makna perkataan Rasulullah : “Waspadalah terhadap
firasat orang Mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Alalh
swt?” LA- Junayd mendundukkan kepalanya, kemudian
menganggkatnya dan berkata “Masuklah ke dalam Islam. Saat
keislamanmu telah tiba.” Si Pemuda Nasrani itu pun masuk
Islam.

33.
AKHLAK

Allah swt. berfirman :


“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak yag
agung.” (qs. Al-qalam :4).
Diriwayatkan oleh Anas bahawa seseoarng bertanya
kepada Nabi saw. “Wahai Rasulullah, siapakah di antara
orang-orang beriman yang paling utama imannya?” Beliau
menjawab :
“Yaitu mereka yang paling baik akhlaknya.” (Hr. Ibnu
Majah).

269
Akhlak yang baik adalah keutamaan sejarah hidup hamba;
sehingga mutiara-mutiara seseorang dapat tampak. Manusia
itu terlapisi oleh fisiknya, namun terungkap oleh akhlaknya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq juga berkta : “Allah swt.
menganugerahi Nabi-Nya saw. dengan keistimewaan sifat
beliau, dengan pujian yang sama sekali tidak pernah dipujikan
kepada makhluk lain. Karena itu Allah swt. berfirman : “Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur.”
Muhammad al-Wasithy mengatakan : “Allah swt. memberi
predikat beliau dengan akhlak yang agung, karena beliau
merelakan diri dari dunia dan akhiratnya, dan merasa puas
hanya dengan Allah swt. semata.” Al-Wasithy juga
mengatakan : “Akhlak yng mulia berarti orang tidak
bertengkar dengan orang lain, tidak memushi oleh mereka,
karena hamba itu diluapi kedahsyatan ma’rifat kepada Allah
swt.”
Al-Husain bin Manshur menjelaskan : “Akhlak mulia
adalah, bahwa engkau tidak terpengaruh kekasaran orang
banyak, setelah engkau memperhatikan Al-Haq.”
Abu Sa’id al-Kharraz mengatakan : “Akhlak mulia berarti
engkau tidak mempunyai cita-cita selain Allah swt.”
AL-Kattany menegaskan : “Tasawuf adalah akhlak.
Barangsiapa bertambah dalam akhlak berarti bertambah pula
dalam tasawuf.”
Riwayat dari Ibnu Umar r.a. yang mengatakan : “ Jika
engkau mendengar aku mengatakan kepada seorang budak.”
Semoga Allah melaknatimu.” Maka saksikanlah bahwa aku
telah memerdekakannya.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan : “Jika seseorang
bertindak dengan akhlak mulia dalam segala hal, tapi ia
270
memperlakukan ayamnya dengan buruk, maka tidak dapat
dianggap berakhlak baik.”
Dikatakan : “Apabila Ibnu Umar melihat salah seorang
budaknya melaksanakan shalat dengan baik, beliau akan
memerdekakannya. Budak-budaknya semua tahu akan hal itu,
dan mereka mengerjakan shlat dengan baik hanya semata
agar dilihat olehnya. Sekalipun demikian, Ibnu Umar masih
tetap memerdekakan mereka. Ketika seseorang hendak
menipu kami demi Allah, maka kami akan membiarkan diri
kami ditipu demi Dia.
Al-Harits al-Muhasiby mengatakan : “Kita akan merasa
rugi jika kehilangan tiga hal : Wajah cerah disertai dengan
kesantunan, kata-kata yang diucapkan dengan baik dan
disertai kejujuran, serta persaudaraan yang kuat dipadu
dengan kesetiaan.”
Abdullah bin Muhammad ar-Razy mengatakan : “Akhlak
berarti memandang rendah apa pun yang datang darimu, dan
mengagungkan yang datang dari Alalh swt.”
Al-Ahnaf bin Qays ditanya : “Siapa yang mengajarkan
akhlak kepadamu?” Ia menjawab : “Qays bin Ashim al-
Munaqqary.” Orang itu bertanya lagi :”Bagaimana
akhlaknya?” Al-Ahnaf menuturkan, “Suatu ketika ia sedang
duduk-duduk di rumahnya ketika seorang budak wanita
masuk dengan membawa tusuk daging yang membara. Benda
itu jatuh menimpa salah seorang anaknya, yang kemudian
meninggal dunia. Budak itu sangat berduka. Qays
mengatakan kepadanya : “Jangan khawatir, Engkau
kumerdekakan, karena Allah.”
Syah al-Kirmany menuturkan : “Satu tanda akhlak yang
baik adalah, bahwa engkau mencegah bahaya, dan secara
271
rela menanggung kerugian yang mereka timpakan
kepadamu.”
Rasulullah saw. bersabda :
“Engkau tidak akan dapat memberikan kebahagiaan
orang lain dengan hartamu, karenanya berilah kebahagiaan
dengan wajah yang manis dan akhlak yang baik.: (H.r. Al-
Bazzar dan Hakim).
Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun al-Mishry :
“Sipakah orang yang paling banyak cemas?” Ia menjawab :
“Orang yang paling buruk akhlaknya.”
Wagab menegaskan : “Jika seorang hamba mempraktikkn
akhlak mulia selama empatpuluh hari. Allah akan menjadikan
akhlak mulia sebagai sifat bawaan baginya.”
Ketika menafsirkan firman Allah saw. :
“Dan pakaianmu, hendaklah engkau bersihkan.” (Qs. Al-
Muddattsir :4).
Hasan al-Bashry menjelaskan bahwa ayat ini berarti :
“Dan akhlakmu itu, perindahlah.”
Seorang Sufi memiliki seekor domba betina. Ketika ia
menemukan salah satu kakinya terpotong, ia bertanya :
“Siapakah yang melakukan ini?” Salah seorang budaknya
menjawab : “Saya” Ketika ditanya mengapa ia melakukan hal
itu, si budak menjawa : “Untuk membuat tuan bersedih
karenanya.” Sufi itu menjawab : “Itu tidak terjadi, tapi aku
merasa sakit karena tindakanmu itu. Pergilah, engkau
kumerdekakan.”
Ibrahim Bin Adham ditanya : “Apakah Anda pernah senang
di dunia ini?” Ia menjawab : “Ya, dua kali. Yang pertama,
ketika aku sedang duduk-duduk dan seorang laki-laki datang

272
mengencingiku. Yang kedua, ketika aku sedang duduk-duduk
dan seorang laki-laki datang menempelengku.”
Dikatakan bahwa manakala anak-anak melihat Uways al-
Qarany, mereka selalu melemparinya dengan batu. Karena itu
ia mengatakan kepada mereka :” Jika memang kalian
memang harus melempariku, gunakanlah batu yang ekcil agar
kakiku tidak terluka, yang membuatku terhalang dhalat.”
Suatu ketika seorang laki-laki memaki Ahnaf bin Qays dan
menghinanya. Orang itu mengikuti di belakangnya. Ketika al-
Ahnaf sampai di dekat lingkungan kediamannya sendiri, ia
berhenti dn menasihati orang itu, : “Wahai anak muda, jika
engkau masih punya kata-kata untuk diucapkan, katakanlah
sekarang, sebelum salah seorang tetangga dekat yang bodoh
mendengar, dan menjawab kata-katamu.”
Hatim al-Asham ditanya : “Haruskah seseorang
menanggung beban dari setiap orang?” Ia menjawab : “Ya,
kecuai dari dirinya sendiri.”
Diceritakan bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a.
suatu ketika memanggil salah seorang budaknya, tapi si
budak tidak menjawab. Beliau mengulangi panggilannya dua
hingga tiga kali, tapi si budak masih tetap tidak menjawab.
Ketika beliau datang melihat budak itu dan menemukannya
sedang tidur-tiduran, Ali bertanya : “Apakah engkau tidak
mendengar panggilanku?” Ia menjawab : “Ya, saya
mendengar.” Beliau bertanya : “Lantas mengapa engkau tidak
datang?” Si budak menjawab : “Saya merasa aman dari
hukuman tuan, jadi saya malas.” Ali berkata kepadanya :
“Pergilah, engkau merdeka karena Allah swt.”
Diceritakan bahwa ketika Ma’ruf al-Karkhy pergi berwudlu,
ia meletakkan Al-Qur’an dan jubahnya. Seorang wanita
273
datang dan membawanya. Ma’ruf mengikutinya dari belakang.
“Wahai saudaraku, aku adalah Ma’ruf al-Karkhy, engkau tidak
apa-apa atas perbuatanmu ini. Apakah engkau punya seorang
laki-laki yang dapat membaca Al-Qur’an?” Wanita itu
menjawab : “Tidak.” Ma’ruf bertanya : “Seorang suami?”
“Tidak,” jawab wanita itu. Ma’ruf lalu berkata, “Kalau begitu,
berikanlah Al-Qur’an itu kembali kepadaku dan ambillah jubah
itu!.”
Para pencuri memasuki rumah Syeikh Abu Abdurrahman
as-Sulamy dan mencuri segala sesuatu yang berharga. Salah
seorang sahabt kami mendengar Syeikh tersebut
menuturkan : “Suatu hari aku melewati pasar dan kulihat
jubahnya sedang dilelang, tapi aku berpaling menjauh tanpa
menaruh perhatian sedikit-pun padanya.”
Al-Jurairy mengabarkan : “Aku baru saja pulang dari
Mekkah, dan hal pertama yang kulakukan adalah mengunjungi
al-Junayd agar tidak mengangan-angan diriku. Aku memberi
salam kepadanya dan pulang ke rumah. Keesokan harinya
ketika aku shalat subuh di masjid, aku melihatnya berdiri pada
shaf di belakangku. Aku berkata : “Aku mendatangimu
kemarin hanya supaya engkau tidak mengharap-hrap diriku.”
Ia menjawab : “Itulah keutamaanmu. Dan itulah hakmu.”
Ketika Abu Hafs ditanya tentang akhlak, ia mengatakan :
“Akhlak adalah pilihan Allah swt. untuk Nabi-Nya saw. dalam
firman-Nya : “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma’ruf.” (Qs. Al-A’raf :119).
Dikatakan : “Akhlak berarti engaku dekat orang banyak,
tapi asing terhadap urusan mereka.”

274
Dikatakan pula : “Akhlak yang baik adalah bagaimana
menerima perlakuan kasar manusia dan ketentuan Al-Haq
tanpa merasa sedih dan cemas.”
Dikatakan bahwa Abu Dzar memberi minum untanya di
sebuah bak kolam air. Tiba-tiba ada sebagian orang yang
menabraknya. Bak air itu pecah. AbuDzar duduk, kemudian
berbaring. Seseorang bertanya kepadanya mengapa berbuat
begitu. Ia menjawab “Rasulullah saw. memerintahkan kita,
bahwa jika seseorang merasa marah, hendaklah ia duduk
sampai marahnya reda. Jika tidak reda juga, hendaklah ia
berbaring.”
Tertulia dalam kitab Injil : “Hambaku, ingatlah kepada-Ku
ketika engkau sedang marah, maka Aku akan
mengingatkanmu ketika Aku marah.”
Luqman berkata kepada nakanya : “Ada tiga macam orang
yang tidak dikanli kecualai pada tiga perkara : “Seorang
murah hati ketika marah, seorang pemberani di saat perang,
dan seorang saudraa saat dibutuhkan.”
Musa as. Berkata : “Tuhanku, aku memohon kepada-Mu
agar tidak dikatakan kepadaku, hal-hal yang bukan diriku,
“Allah mewahyukan kepadanya : “Aku tidak pernah melakukan
hal itu untuk Diri-Ku. Bagaimana Aku bisa melakukannya
untukmu?”
Yahya bin Ziyad al-Haritsy ditanya, berkaitan dengan
seorang budak yang buruk perilakunya. “Mengapa engkau
masih tetap memeliharanya?” Ia menjawab, “Agar aku dapat
belajar bermurah hati.”
Tentang firman Allah swt. “.....dan (Dia) menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.” (Qs. Ar-Ruum:20),

275
mempunyai makna bahwa “lahir” berarti pembentukan fisik
manusia, dan “batin” adalah penyucian akhlak
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Aku lebih suka berteman
seorang penjahat penuh dosa, tapi akhlaknya baik daripada
seorang saleh yag akhlaknya buruk.”
Dikatakan : “Akhlak yang baik berarti menanggung
penderitaan dengan penuh kegembiraan.”
Diceritakan, bahwa Ibrahim bin Adham pergi ke salah satu
padang pasir yang luas. Tiba-tiba seorang tentara muncul di
hadapannya dan bertanya : “Di mana kampung paling ramai?”
Ibrahim menunjuk ke kuburan. Tentara itu lalu memukul
kepala Ibrahim bin Adham. Ketika akhirnya ia melepaskan
Ibrahim, seseorang mengatakan kepadanya, “Itu tadi Ibrahim
bin Adham, Sufi dari Khurasan.” Tentara itu lalu meminta maaf
kepada Ibrahim bin Adham. Ibrahim berkata : “Ketika engkau
memukulku aku berdoa kepada Alalh swt. agar memasukanmu
ke dalam surga.” Tentara itu bertanya, “Mengapa?” Ibrahim
menjawab : “Sebab aku tahu bahwa aku akan memperoleh
pahala karena pukulan-pukulanmu. Aku tidak ingin nasibku
menjadi baik dengan krugianmu, dan perhitungan amalmu
menjadi buruk karena diriku.”
Diriwayatkan, ada seorang laki-laki mengundang Sa’id bin
Ismail al-Hiry ke rumahnya. Ketika Sa’id muncul di muka pintu
rumah orang itu, orang itu mengatakan kepadanya, “Wahai
Syeikh, ini bukan waktu yang baik bagi tuan untuk masuk ke
dalam rumahku. Anda benar-benar menyesal. Maaf silahkan
pergi.” Ketika Sa’id datang lagi ke rumahnya, orang itu
menyuruhnya pergi lagi seraya mengatakan, “Maaf tuan, Ia
meminta maaf kepada Sa’id dan menyuruhnya supaya datang
lagi pada suatu waktu tertentu. Sa’id pun pergi. Ketika datang
276
lagi, orang itu mengatakan hal yang sama. (Persitiwa itu
sampai berulang empat kali). Akhirnya orang itu
menjelaskan : “Wahai Syeikh, aku hanya ingin menguji Anda.”
Ia lalu memintaa maaf kepada Sa’id dan memuji-mujinya.
Sa’id menjawab : “Jangan memujiku karena sifat yang juga
dimiliki oleh seekor anjing; jika anjing dipanggil, ia datang, jika
diusir, ia pergi.”
Dikdisahkan bahwa Sa’id al-Hiry sedang mewetati jalan
menjelang tengah hari ketika seseorang di atas atap
menumpahkan seember abu ke atas kepadalanya. Kawan-
kawannya menjadi marah dan mulai meneriaki orang yang
menumpahkan Abi itu. Sa’id berkata : “Jangan mengatakan
apa-apa! Orang yang layak memeperoleh neraka, tapi hanya
dikenai abu saja tidak berhak untuk marah.”
Dikatakan, Salah seorang dari fakir sedag gmenjadi tamu
di rumah Ja’fat bin Handzalah, yang leyaninya sebaik
mungkinn. Fakir itu berkata : “Anda bertul-betul orang yang
baik. Sayang Anda seorang Yahudi.” Ja’far menjawab :
“Agamaku tidak mempegaruhi caraku melayani kebutuhamu.
Berdoalah agar jiwamu disembuhkan dan aku memperoleh
hidayatnya!.”
Diceritakan bahwa Abdullah al-Khayyath mempunyai
pelanggan jahitan baju seorang Majusi. Orang itu biasa
mebayarnya dengan uang dirham palsu dan Abdullah
menerima saja uang palsu itu. Suatu hari ketika Abdullah
sedang sibuk di Suraunya, orang Majusi itu datang untuk
mengambil pakaian pesanannya dan mencoba membayarnya
dengan dirham-dirham palsu, yang diberikan kepada
muridnya, namun oleh murid itu ditolaknya. Akhirnya si orang
Majusi itu mebayar dengan uang dirham asli. Ketika Abdullah
277
kembali, ia bertanya kepada mudirnya : “Dimana pakaian
pesanan orang Majusi itu?” Si pembantu menceritakan apa
yang telah terjadi. Abdullah memarahinya. Katnya : “Engkau
telah melakukan kesalahan. Selama beberapa waktu, kami
telah melakukan bisnis dengan caranya itu, dan aku bersabar
saja. Dirham-dirham palsu itu biasanya kulemparkan ke dalam
sumur agar ia tidak menipu orang lain, selain diriku.”
Dikatakan : “Akhlak yang buruk menyempitkan hati
pelakunya. Sebab ia tidak memberikan ruang bagi apa pun
selain hawa nafsunya sendiri, dan hati menjadi seperti sebua
ruangan sempit yang hanya cukup bagi pemiliknya.”
Dikatakan pula : “Akhlak yang baik berarti bahwa engkau
tidak peduli siapa pun yang berdiri di sebelahmu dalam shaf
ketika shalat.”
Dikatakn juga : “Suatu tanda keburukan akhlak Anda,
manakala Anda hanya tertuju pada keburukan akhlak orang
lain.”
Rasulullah saw. ditanya : “Apakah yang disebut celaka itu?
Beliau menjawab : “Akhlak yang buruk.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. baha seseorang
memohon kepada Rasulullah saw. :
“Wahai Rasulullah! Mohonlah kepada Allah swt. agar
membinasakan orang-orang musyrik itu!” Beliau menjawab :
“Aku diutus sebagai rahmat, bukan sebagai penyiksa.” (H.r.
Muslim).

34.
KEDERMAWANAN HATI

Allah swt. berfirman :


278
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas
diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang
mereka berikan itu)>” (Qs. Al-Hasyr :9).
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. Rasulullah saw. bersabda :
“Orang-orang yang dermawan dekat dengan Allah swt,
dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari
nerka. Sedangkan orang-orang bakhil jauh dari Allah swt. jauh
adari manusia, jauh dari surga dan dekat pada neraka. Orang-
orang bodoh yang pemurah lebih disukai Allah swt. ketimbang
orang yang tekun ibadat tetapi bakhil.” (Hr. Tirmidzi, Baihaqi
dan Thabrani.).
Tidak ada perbedaan dalam bahasa ilmu pengetahuan
antara kata juud dan sakha’. Allah tidak digambarkan dengan
sifat sakah’ hanya karena tidak adanya ketentuan pasti dari-
Nya. Hakikat murah hati (juud), manakala seseorang tidak
merasa keberatan ketika mencurahkan dirinya kepada orang
lain.
Sementara sebagian kalangan Sufi, derma (sakha’) adalah
tahap pertama, disusul oleh Juud, kemudian memprioritaskan
orang lain (itsar). Orang yang memberikan kepada sebagian
manusia dan menyisakan untuk sebagian lainnya, ia adalah
pemilik sakah’. Sedangkan orang yang menyerahkan lebih
banyak miliknya, dan menyisakan sedikit untuk dirinya, ia
adalah orang yang memiliki juud. Orang yang berada dalam
keadaan sangat membutuhkan, tetapi masih mengutamakan
kebutuhan orang lain dengan memberikan miliknya yang
hanya cukup untuk hidupnya, itulah sifat itsar.
Saya mendengar dari Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq, bahwa
asma’ binti Kharijah al-Fazzary mengatakan : “Aku tidak mau
menolak seseorang yang datang meminta kepadaku. Jika ia
279
seorang yang terhormat, aku memberinya untuk menjaga
kehormatannya. Jika ia seorang rendahan, ia membuatku
mempu menjaga kehormatanku sendiri.”
Dikatakan bahwa Muwarriq al-‘ijly dahulu pintar sekali
dalam cara-caranya menunjukkan kebaikan budi kepada
sahabat-sahabat dekatnya. Ia biasa meninggalkan uang seribu
dirham kepada mereka dan berkata : “Tolong jaga uang ini
sampai aku kembali!” Kemudian, ia menulis surat kepada
mereka : “Uang itu boleh kalian ambil.”
Dikatakan, seseorang dari Manbij bertemu dengan
seseorang dari Madinah, Orang manbij bertanya tentang
orang tersebut. “Ia dari mana?” Dikatakan kepadanya bahwa
orang itu dari Madinah. “Seseorang dari kota Anda, bernama
Hakam bin Abdul Muthalib datang gkepada kami dan
membuat kami kaya.” Orang Madinah itu bertanya :
“Bagaimana mungkin?” Ia tidak datang kepada Anda, kecuali
sekedar selembar jubah bulu domba!” Orang Manbij itu
menjawab : “Ia tidak menjadikan kami kaya harta. Namun ia
mengajarkan kepadakami kemurahan hati. Dengan begitu
kami lalu saling memberi satu sama lain hingga kami menjadi
kaya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika
Ghulam al-Khalil membawa para Sufi di hadapan Khalifah.
Sang Khalifah lalu menyuruh agar mereka dipenggal lehernya.
Sementara al-Junyad terlindung oleh kedudukannya yang
terhormat di lapangan fiqih. IA dapat memberikan fatwa
sesuai dengan mazhab Abu Tsur.
Mengenai asy-Syahham, ar-Raqqam, an-Nury dan lain-
lainnya, merek itu ditangkap, dan tikar dibentangkan untuk
pemenggalan kepala mereka. An-Nury melangkah ke depan
280
dan si Algojo bertanya kepadanya : “Apakah engkau sadar apa
yang akan menimpa dirimu?” Ia menjawab : “Ya” Si Algojo
bertanya lagi : “Lantas apa yang membuatmu begitu
bersemangat tampil ke depan?” Ia menjawab : “Aku ingin agar
kawan-kawanku dapat menikmati hidup beberapa saat lagi.”
Si Algojo merasa bingung bercampur heran atas jawaban
An-Nury, dan melaporkan hal itu kepada Khaliafah, yang
kemudian diteruskan oleh para Sufi itu kepada seorang hakim
untuk diperiksa perkaranya. Sang Hakim mengajukan
beberapa pertanyaan seputar Fiqih kepada Abul Husain an-
Nury, dan dijawabnya semua, lantas ia mengatakan : “Di
samping itu, sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba
yang jika mereka berdiri, berdiri bersama Allah, dan apabila
bicara, mereka bicara bersama Allah.” Ia terus berbicara dan
kata-katanya membuat sang Hakim menangis. Hakim itu lalu
mengirim pesan kepada Khalifah : “Jika orang-orang ini
dianggap zindiq, maka tidak ada lagi seorang Muslim pun di
muka bumi ini.”
Dikisahkan, Ali ibnul Fudhail membeli barang-barang dari
penjaja-penjaja terdekat. Seseorang berkata : “Anda akan
menghemat uang jika mau pergi ke pasar.” Ia menjawab :
“Penjaja-penjaja ini telah datang ke dekat rumah kita denegan
harapan dapat menyediaka jasa kepada kita.”
Dikatakan : “Seorang laki-laki mengirimkan seorang budak
wanita kepada Jabalah, ketika ia sedang berada bersama
murid-muridnya. Ia berkata : “Betapa buruknya bila aku
menerima budak ini sementara Anda semua ada di sini. Aku
tidak ingin mengisitimewakan salah seorang dari Anda
dengan memberikan budak ini, sedangkan Anda semuanya
mempunyai hak atas budak itu dan juga atas
281
penghormatanku. Budak ini tidak dapat dibagi-bagi di antara
Anda sekalian.” Jumlah mereka sebanyak delapanpuluh orang.
Akhirnya Jabalah memerintahkan agar didtangkan seorang
budak wanita atau laki-laki untuk masing-masing muridndya
itu.”
Dikatakn : “Suatu hari, Ubaydullah bin Abu Bakrah
kehausan di tengah perjalanan. Lalu ia meminta air di rumah
seorang wanita. Wanita itu mengisi sebuah cangkir untuknya
dan berdiri di belakang pintu, seraya berkata : “Menjauhlah
dari pintu dan suruhlah salah seorang budakmu untuk
mengambil cangkir ini dariku, karena aku adalah seorang
wanita Arab, dan budakku telah meninggal dua hari yang
lalu!”
Ubaydullah meminum air itu lalu mengatakan kepada
budaknya, “Ambilkan uang sepuluh ribu dirham untuknya!.”
Wanita itu berseru : “Subhanallah, Anda menghinaku?”
Mendengar tanggapan wanita itu, Ubaydullah menyuruh
budaknya untuk menyerahkan duapuluh ribu dirham. Lalu
wanita itu berkata : “Aku mohon kepada Allah swt. agar Anda
dimaafkan.” Ubaydullah berkata lagi, “ Ambilkan tigapuluh
ribu untuknya!.” Saat itulah si wanita membanting daun pintu
rumahnya dan berteriak : “Anda benar-benar memalukan!>”
Tatepai Ubaydullah berhasil memberikan kepadanya uang
tigapuluh ribu dirham itu, yang juga diterimanya. Sorenya,
jumlah pelamarnya telah menjadi berlipat ganda.
Dikatakan : “Kedermawanan hati berarti bertindak pada
saat munculnya instik yang pertama.”
Saya mendengar salah seorang murid Abul hasan al-
Busyanjy – semoga Allah merahmatinya – menuturkan : “Abul
Hasan al-Busyanjy sedang berada di dalam toilet. Ia
282
memanggil salah seorang muridndya dan memerintahkan :
“Ambillah baju ini dariku dan berikan kepaa si Fulan!”
Seseorang bertanya kepadanya : “Tidak dapatkah Anda
menunggu sampai Anda keluar dari toilet?” Ia menjawab :
“Aku tidak yakin apakah aku tidak berubah pikiran dan batal
memberikan baju ini.”
Qays bin Sa’d bin Ubadah pernah ditanya : “Pernahkah
Anda melihat orang yang lebih pemurah dari diri Anda
sendiri?” Ia menjawab tegas : “Ya.” Pernah kami berhenti di
apdang pasir di rumah seorang wanita. Suaminya pulang, dan
ia berkata kepadanya : “Engkau punya banyak tamu.” Maka
suaminya itu lalu mengambil seekor unta, menyembelihnya,
dan memberitahukan, “Ini untuk Anda semua.”. Keesokan hari
ia mengambil seekor unta lagi dan mengatakan : “Ini untuk
Anda.” Kami berkeberatan : “Tapi unta yang Anda sembelih
kemarin itu baru kami makan sedikit saja. “Ia menjawab :
“Saya tidak pernah meninggalkan daging basi kepada tamu-
tamu saya.”
Kami tinggal di rumah orang itu selam dua atau tiga hari
lagi sementara hujan terus menerus turun, dan ia pun terus
melakukan hal yang sama. Ketika hendak berangkat
meneruskan pejalanan, kami tinggalkan uang seratus dinar di
rumahnya dan berkata kepada isterinya : “Mintakan maaf
untuk kami kepada suami Anda!>” Lalu kami berangkat
meneruskan perjalanan. Pada tengah hari tiba-tiba ada
teriakan seseorang di belakang kami: “Berhenti wahai
gerombolan orang jahat! Kalian semua mau membayar
keramah-tamahanku? Lalu ia memaksa kami kembali dan
mengatakan : “Anda mengambilnya kembali, atau saya tusuk
Anda dengan tommbak saya ini!.” Uang itu kami ambil
283
kembali dan kami pun terus melanjutkan perjalanan.
Kemudian orang itu bersyair :
Jika kau ambil kembali pahala
Karena apa yang telah kuberikan,
Maka biarlah kehinaan
Bagi peraihnya.
Ahmad bin Atha’ ar-Rudzbary berkunjung ke rumah salah
seorang sahabtnya. Tidak seorang pun yang ada di rumah itu
dan pintu rumah dikunci. Ia berkata : “Orang ini seorang Sufi,
tapi mengunci rumahnya? Hancurkan saja kuncinya?” Maka
meraka pun membongkar kunci rumah itu. Diperintahkannya
agar mereka membawa barang-barang yang ditemukan di
rumah itu untuk dijual ke pasar. Kemudian mereka mendiami
rumah itu.
Ketika si empunya rumah datang, ia tidak mampu
mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian istrinya masuk
rumah itu, dan ia masih mempunyai pakaian. Dilemparkannya
pakaian itu sambil berucap : “Wahai para sahabt, ini juga
bagian dari milik duniawi kami, maka juallah pula!” Suaminya
bertanya kepadanya : “Mengapa engkau lebih suka menderita
seperti ini?” Si istri menjawab : “Diamah!” Bagi seorang
syeikh seperti itu, yang menghormati kita dengan
memperlakukan kita penuh keakraban dan yang
melaksanakan urusan-urusan kita, juga menyisakan untuk kita
sesuatu yang dapat kita hinakan.”
Bisyr ibnul Harits mengatakan : “Menaruh perhatian
kepada seorang yang bakhil membuat hati jadi keras.”
Dikatakan, ketika Qays bin Sa’id bin Ubadah jatuh sakit,
sahabt-sahabatnya tidak datang menjenguknya, karena itu ia
bertanya tentang mereka. Dikatakan kepadanya : “Mereka
284
malu karena hutang-hutangnya kepada Anda. “Ia berteriak :
“Semoga Allah melaknat uang yang mencegah seorang
saudara mengunjungi saudaranya.!” Qays bin Sa’d lalu
mengirim seorang utusan untuk mempermaklumkan bahwa
barangsiapa mempunyai hutang kepadanya, hutang itu
dihalalkan. Sore itu pintu rumahnya rusak karena desakan
orang-orang yang datang mengunjunginya.
Dikatakan kepada Abdullah bin Ja’far, “Anda memberi
cukup banyak jika diminta, tetapi Anda menggerutu jika
ditentang meskipun sedikit.” Ia menjawab, “Aku memberikan
hartaku, tapi aku menggerutu dengan nalarku.”
Diceritakan bahwa Abdullah bin Ja’far pergi menengok
salah satu perkebunanya di pedesaan. Di tengah perjalanan,
ia berhenti di sebuah kebun kurma suatu kaum dimana
seorang budak hitam sedang bekerja. Ketika si budak itu
mengeluarkan bekal makanannya, seekor anjing masuk ke
dalam kebun itu dan mendatanginya. Budak itu lalu
meemparkan sepotong roti, dan anjing itu memakannya. Ia
melemparkan sepotong lagi, dan sepotong lagi roti pada
anjing itu, yang terus lahap memakannya.
Abdullah bin Ja’far, yang melihat hal itu, bertanya kepada
si budak : “Wahai budak, berapa banyak makanan yang
engkau terima tiap hari?” Ia menjawab : “Seperti yang anda
saksikan adi.” Abdullah bertanya, “Lantas mengapa engkau
berikan makananmu pada anjing itu, bukannya engkau makan
sendiri.?” Si budak menjelaskan : “Di tempat ini tidak ada
anjing. Anjing itu telh datang dari jauh dalam keadaan lapar,
dan saya tidak mau mengusirnya.” Abdullah bertanya lagi :
“Bagaimana engkau makan hari ini?” Si budak menjawab :
“Saya akan berlapar saja hari ini.” Abdullah berkata : “Aku
285
telah dicela orang karena terlalu pemurah! Ternyata budak ini
lebih pemurah dariku.” Maka ia lalu membeli kebun kurma itu,
sekaligus dengan budak itu dan alat-alat kerjanya, kemudian
memerdekakan budak itu dan memberikan kebun itu
kepadanya.”
Diceritakan bahwa seorang laki-laki mengunjungi seorang
sahabatnya, lalu mengetuk pintu rumah sahabtnya itu. Si
sahabat bertanya kepadanya : “Ada apa?” Laki-laki itu
menjawab : “Aku punya hutang sebanyak empat ratus dirham
yang memberatkan hatiku.” Maka laki-laki itu lalu mengambil
uang empatratus dirham dan memberikannya kepada
sahabatnya. Setelah itu ia masuk ke dalam sambil menangis.
Istrinya bertanya kepadanya : “Mengapa engkau tidak
mengjukan alasan kepadanya, bahwa Anda dalam keadaan
susah?” Suaminya menjawab : “Aku menangis karena kau
tidak melihat kondisi yang menimpanya sehingga terpaksa
mengungkapkannya kepadaku.”
Mutharrif asy-Syakhir mengajarkan : “Apabila salah
seorang di antaramu membutuhkan sesuatu dariku,
hendaklah menyampaikannya melalui pesan tertulis, sebab
aku tidak suka melihat hinanya wajah seseoarng yang sangat
membutuhkan.”
Diceritakan bahwa seseorang ingin membuat gara-gara
terhadap Abdullah bin Abbas. IA membawa orang-orang
tekemuka di kota dan mengatakan kepada mereka bahwa
Abdullah telah mengundang mereka ke rumahnya untuk
makan siang hari itu juga. Mereka pun pergi ke rumah
Abdullah, dan pekarangan rumahnya pun penuh dengan
kehadiran mereka. Abdullah bertanya : “Ada apa ini?”
Seseorang memberitahukan kepadanya apa yang telah
286
terjadi. Dengan segera Abdullah menyuruh orang untuk
membeli buah-buahan dan roti serta memasak makanan.
Semunaya itu dikerjakan tepat pada waktunya. Ketika semua
makanan telah habis dimakan, ia bertanya kepada para
wakilnya, : “Apakah mungkin bagiku untuk menyediakan
makanan begini banyaknya setiap hari?” Mereka menjawab :
“Ya”. Maka Abdullah pun mengatakan : “Jika demikian, biarlah
semua orang ini menjadi tamuku setiap hari.”
Saya mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy
menuturkan : “Ketika Syeikh Abu Sahl ash-Sha’luky sedang
berwudhu di pekarangannya, seorang laki-laki datang
meminta sedekah. Abu Sahl tidak membawa sesuatu pun,
karenanya ia lalu berkata : “Tunggu sampai aku selesai!”
Orang itu pun menunggu. Begitu Abu Sahl selesai, ia berkata
kepada orang itu : “Ambillah botol minyak wangi ini dan
pergilah!” Orang itu mengambil botol itu lalu pergi. Abu Sahl
menunggu sampai ia merasa yakin bahwa orang itu sudah
pergi jauh; kemudian ia berteriak : “Ada orang mencuri botol
minyak wangi!” Orang-orang pun mengejar “si pencuri” tetapi
tidak berhasil menyusulnya. Abu Sahl berbuat demikian hanya
karena keluarganya sering mengecamnya atas tindakannya
yang sering menyerahkan hartanya untuk orang lain.
Syeikh Abu Sahl memberikan jubahnya kepada seorang
laki-laki di saat musim dingin. Karena hanya itu satu-satunya
jubah milik beliau, maka beliau memakai jubah wanita jika
hendak pergi mengajar. Suatu delegasi ulama-ulama terkenal
yang terdiri dari wakil-wakil dari setiap bidang ilmu datang
dari Persia. Delegasi tersebut mencakup pra fuqaha
tekemuka, ahli kalam, ahli nahawu. Sedangkan panglima
tentara, yakni Abul Hasan, memerintahkan Abu Sahl untuk
287
menyambut kedatangan mereka. Beliau mengenakan pakaian
perang di balik jubah wanita yang dipakainya, lalu menaiki
kendaraannya. Sang Panglima berkata : “Ia mengejekku di
hdapan seluruh penduduk kota, dengan berkendaraan
memakai jubah wanita!” Tetapi Abu Sahl kemudian berdebat
dengan seluruh anggota delegasi terssebut, dan berhasil
memenangkannya.
Saya juga mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-
Sulamy – semoga Allah merahmatinya – mengabarkan bahwa
Syeikh Abu Sahl tidak pernah memberikan sedekah kepada
siapa pun dengan tangannya sendiri. Bahkan hartanya ia
lempar ke tanah agar diambil orang yang membutuhkannya,
dan berkata : “Dunia ini bagiku kecil nilainya dibanding kau
melihat ke arahnya, sementara tanganku di atas tangan
seseorang.” Ia menyitir sabda Rasulullah saw. “ Tangan yang
di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.” (Hr. Muslim dan
Tirmidzi).
Abu Marrtsad – rahimahullah --- salah seorang yang murah
hati, dan karenanya salah seorang penyair telah memujinya.
Beliau mengatakan : “Aku tidak punya sesuatu pun untuk
kuberikan kepadamu. Laporkan kepada Hakim, dengan
tuduhan bahwa aku berhutang kepadamu sepuluh ribu
dirham, untuk ku akui, sehingga hakim itu menahanku. Sebab
keluargaku pasti tidak membiarkan diriku ditahan.” Si penyair
itu pun menuruti perintahnya dan ia tidak dapat berbuat
banyak, kecuali Abu Martsad harus menyerahkan sepuluh ribu
dirham agar ia keluar dari tahanan. An Abu Martsad pun
keluar setelah ditunaikan hutangnya.
Sorang laki-laki meminta sedikit sedekah kepada Hasan
bin Ali bin Abu Thalib r.a. Maka beliau lalu memberi orang itu
288
sebanyak lima puluh ribu dirham dan limaraus dinar. Beliau
menyuruh orang itu mencari kuli untuk mengangkut uang itu.
Orang itu pun lalu mencari kuli. Kemudain al-Hasan
memberikan kepadanya selendangnya, sambil berkata :”Upah
kuli itu, kutanggung juga.” Ketika seorng wanita meminta
makok madu kepada Lsyts bin Sa’id, ia menyuruh orang
membawa sekantong kulit penuh madu kepada wanita
tersebut. Seseorang mengkritik atas tindakannya itu, dan
dijawab oleh Layts, “Ia meminta sesuai dengan kebutuhannya,
dan aku memberi sesuai dengan kesenanganku.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku Shalat Subuh di
masjid al-Asy’ats di Kufah, karena aku sedang mencari salah
seorang yang berhutang kepada kepadaku. Seusai
menunaikan shalat, seseorang meletakkan satu stel pakaian
dan sepasang ssandal di hadapan setiap orang yang ada di
masjid itu, termasuk juga diriku. Aku bertanya :Apa ini?”
Orang-orang menjawa :Al-Asy’ats telah kembali dari Mekkah,
dan beliau menyruh hal ini dilakukan kepada seluruh jamaah
masjid.”. Aku berkata : “Akan tetapi aku orang luar. Aku
datang ke kota ini hanya untuk mencari salah seorang yang
berhutang kepadaku.” Mereka berkata : “Hadiah ini untuk
semua yang hadir.”
Diceritakan, bahwa menjelang wafat, asy-Syafi’y r,a,
memerintahkan : “Perintahkan si Fulan agar memandikan
aku!” Namun orang yang dimaksud tidak ada di sana. Ketika
ia datang kepadanya dikatakan tentang pesan asy-Syafi’y
tersebut. Maka ia minta untuk melihat pembukuan asy-Syafi’y,
dan ia menemukan bahwa asy-Syafi’y punya hutang sebanyak
tujuh puluh ribu dirham. Orang itu kemudian menyelesesaikan
huang itu dan berkaa : “Inilah tugasku memandikan beliau.”
289
Diceritakan bahwa ketika asy-Syafi’y kembali ke Mekkah
dari San’a beliau membawa uang sepuluh ribu dinar.
Seseorang mengatakan kepada beliau : Anda harus membeli
budak wanita dengan uang itu.” Mendengar itu, beliau lalu
memasang sebuah tanda di luar kota Mekkah dan
menumpahkan dinar-dinar tersebut. Kepada setiap orang yang
datang ke kemah, beliau memberinya segenggam uang.
Ketika waktu dhuhur tiba, beliau berdiri dan mengibas-
ngibaskan jubah, dan ternyata tidak sekeping yang pun yang
tertingggal.
Dikisahka, bahwa as-Sary pergi kelaut pada hari raya, dan
bertemu dengan seorang penting. Tetapi as-Sary hanya
melihat sekilas saja kepadanya. Seseorang berkaa : “Itu orang
penting.” Ia menjawab : “Aku tahu siapa dia, tetapi telah
dituturkan bahwa apabila dua orang Muslim berjumpa, maka
seratus bagian rahmat Allah dibagikan kepada mereka berdua
:sembilan puluh persen untuk orang yang lebih bergembira di
antara mereka berdua. Aku ingin agar ia memperoleh bagian
yang lebih banyak.
Diceritakan bahwa suatu hari Amirul Mukminin Ali bin Abu
Thalib r.a. sedang menangis. Seseorang bertanya kepada
beliau : “Apa yang membuat Anda menangis?” Beliau
menjawab : “Tidak seorang pun tamu yang datang kepadaku
selama seminggu. Aku takut bila Allah swt. telah
menghinaku.”
Dikatakan bahwa Anas bin Malik r.a. mengatakan : “Zakat
atas rumah adalah hendaknya sebuah kamar disediakan di
dalamnya untuk tamu.”
Mengenai firman Allah swt. :

290
“Sudah sampaikah kepadamu (Muhammad) cerita tentang
tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan?” (Qs. Adz-
Dzariyat :24).
Yang dimaksud bahwa tamu-tamu yang dimuliakan,
karena Ibrahim as. Sendiri yang melayani mereka. Juga
dikatakan demikian, karena si tamu seorang mulia dengan
sendirinya juga seorang yang mulia.
Ibrahim ibnul Junayd menuturkan : “Ada empat perbuatan
yang tidak boleh dihindari oleh seseorang, walaupun ia
seorang prnguasa : “Berdiri dari tempat duduknya untuk
ayahnya, melayani tamunya, melayani seorang ulama yang
pernah menjadi gurunya, dan bertanya tentang apa yang
tidak diketahuinya.”
Ibnu Ababs r.a. bekomentar tentang firman Allah swt. :
“Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama
mereka atau sendirian.” (Qs. An-Nuur :61).
Ayat ini bermakna : “Mereka akan merasa berdosa jika di
antara mereka makan sendirian. Maka Allah lalu mengizinkan
hal itu bagi mereka.”
Dikatakan bahwa Abdullah bin Amir bin Kurayz sekali
waktu sedang menjamu seorang laki-laki dengan baik. Ketika
orang itu hendak berangkat, budak-budak Abdullah menolak
membantunya. Ketika ditanya tentang hal ini, Abdullah
menjawab : “Mereka enggan membantu orang yang
meninggalkan kami.”
Abdullah bin Bakuwayh melantunkan syair al-Muntanabby
dalam konteks di atas :
Jika kau tinggalkan kaum
Padahal mereka mampu
Untuk tidak memisahkan ddirimu dengan mereka
291
Maka orang yang berangkat
Kan menjadi susah
Abdullah bin Mubarak berkata : “Kemurahan jiwa dengan
tidak menengok milik orang lain lebih baik dari kemurahan
hati dalam memberikan milik sendiri.”
Salah seorang Sufi berkata : “Pada suatu hari yang sangat
dingin aku pergi ke Bisyr ibnul Harits. Ia telah melepskan
sebagian dari pakaiannya, dan menggil kedinginan. Aku
bertanya kepadanya : “Wahai Abu Nashr, orang lain
mengenakan pakaian tambahan pada hari seperti ini.
Mengapa Anda berpakaian begitu tipis?” Ia menjawab : “Aku
ingat kepada orang-orang miskin dan keadaan mereka, dan
aku tidak punya apa pun untuk diberikan kepada mereka.
Maka aku ingin sama-sama menderita seperti halnya mereka,
kedinginan.”
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Kedermawanan hati
bukanlah jika orang kaya memberi kepada orang miskin.
Kedermawanan hakiki adalah jika orang miskin memberi
kepada orang kaya.”

35.
GHIRAH
Allah swt. berfirman :
“Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan
yang keji, baik yang lahir ataupun yang batin.” (Qs. Al-A’raf :
33).
Rasulullah saw. telah bersabda :
“Tidak ada yang lebih pencemburu daripada Allah swt.Di
antara cemburu-Nya adalah Dia melarang perbuatan keji, baik

292
kekejian yang lahir maupun keji yang batin.” (Hr. Bukhari –
Muslim, Ahmad dan Tirmidzi).
Diriwayat oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
“Allah itu pencemburu dan orang Mukmin juga
pencemburu. Cemburu Allah swt. adalah sifat yang muncul
bilamana seorang hamba yang beriman melakukan apa yang
telah dilarang-Nya.” (H.r. Bukhari-Muslim dan Tirmidzi).
Cemburu adalah rasa tidak suka jika orang lain memiliki
sesuatu. Allah digamabarkan bersifat Ghirah (cemburu),
berarti bahwa Allah tidak ridha manakala ada tuhan lain di
sisi-Nya, yang sesungguhnya adalah Hak Allah ketika hamba –
Nya taat kepadan-Nya.
Diriwayatkan dari as-Sary as-Saqathyketika dibacakan
ayat :
“Dan apabila kamu membaca Al-Qur’an, niscaya Kami
adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman
pada kehidupan akhirat suatu hijab yang tidak dapat
ditembus.” (Qs. Al-Isra’:45).
As-Sary berkata kepada murid-muridnya : “tahukah kamu
apakah yang hijab itu? Itu adalah hijab cemburu. Tidak ada
yang lebih pencemburu daripada Allah swt.”
Dengan kata-kata :”Itu adalah hijab cemburu”, maksud
as-Sary bahwa Allah swt. tidak memberikan kemampuan
kepada orang-orang kafir untuk mengetahui kebenaran
agama.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Alah swt. telah
mengingatkan beban kehinaan pada kaki orang-orang yang
malas dalam beribaddat kepada-Nya. Dia menempatkan

293
mereka pada jarak yang ajuh dari-Nya dan menajdika mereka
terlambat lagi dari kedudukan yang dekat kepada-Nya.”
Dalam makna ini mereka, para Sufi bersyair :
Aku pencinta setia kepada yang kucintai, tetapi
Pertolongan mana yang bisa kuperoleh
Dengan buruknya pandangan para tuan?
Kaum Sufi juga amengatakan tentang masalah ini :
“Sorang yang sakit tidak terjenguk, dan orang yang sangat
mengingini tidaklah diingikan.”
Al-Abbas az-Zauzany mengatakan : “Aku dianugerahi
kebaiakan dala permulaan perjalanan ruhaniku. Aku
mengetahui apa yang masih tersissa antara aku dan tujuanku.
Pada suatu malam aku bermipi tergelincir dari puncak gunung
yang ingin kucapai. Aku sangat sedih (ketika bangun).
Kemudian aku tertidur lagi, dan mendengar sebuah suara
mengatakan : “Wahai Abbas, Allah tidak menghendaki engkau
mencapai tujuan yang engku upayakan. Tetapi Dia telah
membawakan hikmah kepada lidahmu.” Ketika aku bangun
pagi aku benar-benar telah dianugerahi ilham ucapan-ucapan
yang penuh hikmah.”
Syeikh Abi Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika ada
seorang syeikh yang mengalami kondisi ruhani dan saat-saat
bersama Allah swt. Setelah itu ia tidak tampak beberapa lama
di antara orang-orang miskin. Ketika muncul kembali, tidak
dalam keadaan sebagaimana sebelumnya, mereka bertanya
kepadanya apa yang telah terjadi. Ia menjawab : “Duh, hijab
telah terjadi.”
Selama dalam majelis, tiba-tiba terjadi sesuatu yang
merasuki hati mereka yang hadir, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq
biasa berkata : “Ini adalah kecemburuan Allah swt. Dia tidak
294
menghendaki mereka mengalami nuansa lebih dari saat yang
jernih ini.”
Dalam hal ini, para Sufi bersyair berikut :
Juwita berhasrat datang kepada kami;
Sampai ketika ia memandang cermin
Keindahan wajahnya
Telah menawan dirinya.
Sebagian Sufi ditanya : “Apakah engkau ingin melihat-
Nya?” ia amenjawab : “Tidak” Ia ditanya : “Mengapa?” Ia
menjawab : “Aku ingin menyucikan Keindahan yang begitu
agung dari segala pandangan seperti persepsiku.”
Para Sufi bersyair :
Aku iri kepada mataku yang memandangmu
Hingga kutundukkan ketika aku melihatmu.
Kulihat dirimu menampakkan keindahan-keindahan
Yang membuatku terpesona.
Aku cemburu
Darimu
Padamu.
Asy-Syibly pernah ditanya : “Kapankah engkau istirahat?”
Ia menjawab : “Jika kudapati baha tiada lagi orang berdzikir
kepada-Nya.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq telah
mengomentari sabda Nabi saw. ketika beliau baru saja
menyelesaikan akad jual beli seekor kuda dengan seorang
Badui. Orang Badui itu menuntut agar penjualan dibaalkan,
maka Nabi membatalkannya. Kemudian si Badui berkata :
“Semoga Allah swt. memberimu umur panjang. Dari golong
apa engkau?” Nabi menjawab : “Seorang laki-laki dari suku
Quraisy.” Salah seorang sahabat yag hadir mencela si Badui :
295
“Kekuarang ajaran mana yang lebih besar daripada tidak
mengenali Nabimu?” Syeikh Abu Ali berkata : “Nabi saw.
bersabda : “Sorang glaki-laki dari suku Quraisy.” Itu adalah
karena cmeburu. Jika tidak, tentu beliau akan menjawab
kepda siapapun yang bertanya kepada beliau, siapa diri belaiu
yang sebenarnya. Kemudian Allah swt. menjadikan sahabt
tersebut mengungkapkan identitas beliau kepada si Badui
dengan bertanya : “Kekurang ajaran mana yang lebih besar
dariapda tidak mengenali Nabimu?”
Sebagian Sufi berkata : “Cemburu adalah sifat orang-
orang pemula. Orang yang sudah mencapai kemanunggalan
tidaklah mengalami cemburu, tidak pula memiliki predikat
ikhtiar, tidak pula peduli atas apa yang terjadi di kerajaan.
Allah swt. sematalah yang lebih utama dari segalanya, dalam
segala ketentuan yang dikehendaki-Nya.”
Sa’id bin Salam al-Maghriby mengatakan : “Cemburu
adalah amal para murid. Sedangkan mereka yang telah
mencapai hakikat kebenaran, tidak ada rasa cemburu.”
Dulaf asy-Syibly menjelaskan : “Ada dua macam cemburu;
Cemburu manusia satu sama lain dan cemburu Allah terhadap
hati manusia.” Diteaskannya juga : “Cemburu Allah
menyangkut nafas manusia, jika nafs itu dihembuskan untuk
selain Alalh swt.”
Seharusnya dikatakan : Ada dua macam cemburu :
Pertama cemburu Allah kepada manusia, artinya Dia tidak
ingin ada sesuatu yang melimpahi makhluk. Dan kedua,
cemburu hamba terhadap Allah swt. berarti penolakannya
untuk mengabdikan keadaan-keadaan atau nafasnya kepada
selain Allah.” Karenanya tidak dapat dikatakan :Aku cemburu
kepada Allah swt.” Tapi hendaklah mengatakan : Aku cemburu
296
demi Allah swt.” Cemburu kepada Allah swt, adalah
kebodohan dan mungkin dapat meninggalkan agama. Tetapi
cemburu demi Allah, melahirkan pengagungan hak-Nya dan
penjernihan amal-amal kebajikan kepada-Nya.
Ketahuilah, bahwa Sunnatullah atas wali-wali-Nya adalah –
jika mereka menemukan kepuasan pada selain Allah,
mendengarkan kepada selain Allah, atau memperbolehkan
yang selain Allah untuk bersemayam dalam hati mereka,
maka hal itu akan menimbulkan kegelisahan dalam hati
mereka – Allah bagitu cemburu akan hati mereka hingga Dia
mengembalikan mereka kepada Diri-Nya, dalam keadaan
kosong dari semua hal lain yang memberikan kepuasan
kepada mereka, dari semua yang mereka pedulikan dan dari
semua yang mereka perbolehkan bersemayam di hati mereka.
Sebagaimana Nabi Adam as. Ketika hatinya tersirat keinginan
hidup abadi di surga, justru sebaliknya beliau dikeluarkan dari
surga. Ini juga terjadi kepada Ibrahim as. Di saat keberadaan
Ismail membuat beliau bangga dan kagum, Allah
memerintahkan untuk menyembelihnya, sampai Ismail keluar
dari dalam hati Ibrahim. “Tatkala keduanya telah berserah diri
dan Ibrahim telah membaringkan anaknya atas pelipis (nya)
(untuk dikorbankan)” (Qs. Ash-Shaffaat :103), dan Ibrahim
telah menyucikan batinnya melalui perintah-Nya, lalu Allah
menggantikan dengan domba.
Muhammad bin Hissan menuturkan : “Sekali waktu, ketika
aku sedang mengelilingi pegunungan Libanon, seorang
pemuda datang kepadaku. Tubuhnya telah terbakar oleh badai
pasir dan anin, Ketika melihatku, ia berpaling dan lari. Aku
mengikutinya dan berkata : Berilah aku sepatah kata
nasihat!.” Ia menjawab : “Waspadalah, karena
297
Dia pecemburu. Dia tidak mau menemukan sesuatu
selainDiri-Nya dalam hati hamba-Nya.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Alalh swt. adalah
Pencemburu. Salah satu tanda cemburu-Nya adalah bahwa
Dia tidak menjadikan jalan menuju Diri-Nya selain Dari-Nya
sendiri.”
Diriwayatkan bahwa Alalh swt. menyampaikan wahyu
kepada sala seorang Nabi-Nya : “Si Fulan membutuhkan Aku
dan Aku pun membutuhkannya. Jika ia memenuhi kebutuhan-
Ku, Aku pun akan memenuhi kebutuhannya.” Nabi tersebut –
semoga Allah melimpahkan keselamatan kepadanya –
bertanya dalam munajatnya : “Wahai Tuhanku, abagaimana
mungkin Engkau membutuhkan sesuatu?” Allah menjawab :
“Ia telah menemukan ketenangan selain Aku. Maka
hendaknya ia mengosongkan hatinya. Aku akan memenuhi
kebutuhannya.”
Diceritakan bahwa Abu Yazid al-Bisthamy bermimpi
melihat sekelompok bidadari. IA memandang mereka,
sehingga beberapa hari waktunya terbengkelai. Kemudian ia
bermimpi melihat mereka lagi. Tetapi kali ini ia tidak menoleh
kepada mereka, seraya berkata : Kalian semua mengalihkan
perhatianku.”
Dikatakan bahwa Rabi’ah al-Adawiyah jatuh sakit paa
suatu hari, dan seseorang bertanya tentang sebab sakitnya.
IA menjawab : “Karena aku memalingkan hatiku ke surga,
maka Allah mendidikku dan bagi-Nya berhak menegcamku.
Aku tidak akan melakukannya lagi.”
Diriwayatkan bahwa as-Sary as-Saqathy mengabarkan :
“Satu ketika aku sedang mencari salah seorang sahabatku.
Aku menjelajahi beberapa gunung dan bertemu dengan
298
segerombolan orang yang semuanya berpenyakit, buta atau
lumpuh. Ketika aku bertanya kepada mereka apa yang sedang
mereka kerjakan di temepat itu, mereka menjawab : “Kami
diberitahu bahwa di sini tinggal seorang laki-laki yang keluar
(dari gua) sekali setahun. Jika ia berdoa untuk orang banyak,
mereka akan sembuh.” Aku lalu menunggu sampai orang itu
keluar. Ia berdoa untuk orang-orang itu dan mereka pun
sembuh. Aku mengikutinya, datang ke dekatnya dan
bertanya, : “Apakah obat untuk penyakit batinku? Ia
menjawab : “Wahai Sary, pergilah dariku, agar Alalh swt. Yang
Pencemburu, tidak melihatmu mencari ketenangan dari selain
Dia. Itu akkan merendahkan derajatmu di sisi-Nya.”
Sisi lain kecemburuan adalah, bahwa sebagian orang
cemburu ketika melihat orang lain berdzikir kepada-Nya
dengan alpa; sehingga tidak mungkin rasanya memandang
mereka, yang membuatnya menderita.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaqberkomentar
tentang kejadian ketika seorang badui masuk ke dalam masjid
Nabi dan kencing. Para sahabat berdatangan untuk
mengeluarkan orang itu. Abu Ali mengatakan : “Orang Badui
itu berperilaku buruk sekali, tetapi justru rasa malu justru
menimpa para sahabat. Begitu juga halnya dengan seorang
hamba. Apabila ia mengetahui kemahakuasaan dan
kebesaran Allah swt. maka ia akan marah manakala
mendengar seseorang berdzikir kepada Allah dengan ceroboh,
atau manakala melihat seseorang melakukan ketaatan ibadat
tanpa benar-benar disertai pernghormatan kepada-Nya.”
Diceritkan, bahwa salah seorang putra Abu Bakr asy-
Syibly yang bernama Abul Hasan, meinggal dunia. Sebagai
tanda berkabung, ibunya memotong seluruh rambutnya. Asy-
299
Syibly pergi ke rumah pemandian dan mencukur jenggotnya
hingga licin. Setiap orang yang datang untuk mengucapkan
dukacita bertanya : “Apa yag telah engkau lakukan, wahai Abu
Bakr?” Ia menjawab : “Aku mengikuti contoh yang diberikan
istriku.” Salah seorang di antara mereka bertanya lagi, :
“Katakanlah kepadaku, wahai Abu Bakr, mengapa Anda
melakukan hal ini?” Ia menjawab : “Aku tahu bahwa orang-
orang akan datang untuk menyatakan belassungkawa dengan
menyebut nama Allah secara sembrono dengan mengatakan :
“Semoga Allah memberikan ganti kepadamu.” Aku
mengorbankan jenggotku untuk menebus kesembronoan
mereka dalam meneyebut-nyebut nama Allah swt.”
Ketika an-Nury mendengar seseorang menyerukan adzan,
ia berteriak : “Bohong dan racun!” Sebaliknya ketika
mendengar seekor anjing menggonggong, ia berkata : “Iya,
aku siap melayanimu!.”
Seseorang berkomentar : “Ini adalah bid’ah. Ia
mengatakan kepada seorang beriman yang bersaksi atas
tauhid, “Bohong dan racun.” Sementara ia mengatakan, “Ya
siap melayanimu.” Pada anjing yang menggonggong” Ketika
ditanya alasan ucapannya itu, an-Nury menjelaskan : “Orang
itu menyebut-nyebut nama Allah swt. dengan penuh
kealpaan, sedangkan anjing itu, Allah swt. telah berfirman :
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya
bertasbih kepada Allah.” (Qs. Al-Isra :44).
Suatu ketika asy-Syibly menyerukan adzan. Usai
mengucapkan dua kalimah syahadat, ia berkata : “Seandainya
Engkau tidak memerintahkan aku menyebut demikian,
niscaya aku tidak akan menyebutkan yang lain bersama
dengan-Mu.
300
Suatu ketika seseorang mendengar seorang lainnya
berseru : “Maha Agung Allah.” Ia menjawab : “Aku lebih ska
mengagungkan-Nya, dengan cara tidak seperti itu.”
Abul Hasan al-Khazafany berkata : “Laa ilaaha illallaah
dari dalam kalbu, dan Muhammadarrasuulullaah dari
telingaku, maka orang yang hanya melihat perkataan ini pada
tekstualnya saja akan menyangka bahwa ia telah menghina
syariat. Namun sesungguhnya tidaklah demikian. Sebab,
bahaya bagi tipu daya, justru ketika disandarkan pada
Kekuasaan Allah swt. sementara justru menghina dalam
pelaksanaannya.”

36.
KEWALIAN
Allah swt. berfirman :
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.” (Qs. Ynus : 62).
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Rasulullah
saw. bersabda :
“Allah swt. berfirman : “Barangsiapa yang
menyakiri seorang wali, berarti telah memaklumkan
perang terhadap-Ku melawan dia. Seorang hamaba
bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah
Kuperintahkan kepadanya. Dia senantiasa
mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan
sunnah sampai Aku mencintainya. Tak pernah Aku
merasa ragu-ragu melakukan sesuatu seperti
keragguanku mencabut nyawa seorang hamba-Ku yang
301
beriman, karena dia tidak menyukai kematian dan Aku
tak suka menyakiti hatinya; tetapi maut itu adalah
sesuatu yang tak bisa dihindarkan!.” (H.r. Ahmad,
Hakim dan Tirmidzi).
Kata wali mempunyai dua makna. Yang
pertama berasal dari bentuk fa’iil (subyek) dalam
pengertian maf’ul (obyek). Artinya orang yang diambil
alih kekuasaannya oleh Allah swt. Sebagaimana telah
difirmankan oleh-Nya : :...... dan Dia mengambil alih
urusan (yatawalla) orang-orang saleh.” (Qs. Al-A’raf :
196). Sejenakpun si wali tidak mengurusi dirinya.
Arti yang kedua berasal dari bentuk fa’iil dalam
pengertian penekanan (mubalaghah) dari faa’il. Yaitu
orang yang secara aktif melaksanakan ibadat kepada
Allah dan mematuhi-Nya secara terus menerus tanpa
diselingi kemaksiatan. Kedua arti ini mesti ada pada
seorang wali untuk bisa dianggap sebagai wali yang
sebenarnya, dengan menegakkan hak-hak Allah swt.
atas dirinya sepenuhnya, disamping perlindungan Allah
swt. padanya, di saat senang maupun susah.
Salah satu persayaratan seorang wali adalah bahwa
Allah melindunginya dari mengulangi dosa-dosa
(mahfudz), seperti halnya salah satu persyaratan
seorang Nabi adalah bahwa dia terjaga dari segala
dosa (ma’shum). Sipa pun yang berbuat dengan cara
yang menyimpang dari stariat Allah swt. berarti telah
tertipu.
Suatu ketika Abu Yazid al-Bisthamy berangkat
untuk mencari seseorang yang oleh orang-orang lain
digambarkan sebagai seorang wali. Ketika sampai ke
302
masjid orang tersebut, dia lalu duduk dan menunggu
orang tersebut keluar. Orang itu pun keluar setelah
meludah di dalam masjsid. Abu Yazid pun pergi begitu
saja tanpa memberi salam kepadanya, dan berkata :
“Inilah orang yang tak bisa dipercaya untuk
melaksanakan adab yang benar seperti dinyatakan
dalam hukum Allah. Bagaimana mungkin dia bisa
diandalkan untuk menjaga rahasia-rahasia Allah swt.?”
Terdapat ketidakpercayaan di kalangan kaum Sufi
mengenai apakah diperbolehkan bagi seseorang untuk
menyadari bahwa dirinya adalah seorang wali atau
bukan. Sebagian mereka mengatakan : “Hal itu tidak
didperbolehkan. Sang wali harus selalu instropeksi
dirinya dengan pandangan penuh hina. Jika suatu
karamah terjadi melalui dirinya, dia merasa takut jika
keadaan akhirnya berlawanan dengan keadaan
sekarang.” Para Sufi yang berpendapat seperti ini
menjadikan syarat kewalian, harus selaras dengan
keteguhannya hingga akhir hayat.
Akan tetapi, sebagian sufi mengatakan : “Boleh
saja seorang wali mengetahui bahwa dirinya adalah
wali, dan kesetiaan pada kewalian sampai akhir hayat
sang wali bukanlah persyaratan untuk mencapai
derajat kewalian di saat ini.”
Jika kesetiaan seperti itu merupakan prasyarat
untuk mencapai derajat kewalian, bahwa seorang wali
akan dianugerahi suatu karamah tertentu yang
dengannya Allah memberitahukan kepadaanya
mengenai kepastian keadan akhirnya. Sebab,
kepercayaan terhadap karamah seorang wali adalah
303
wajib. Yakni, walaupun ia dipisahkan rasa takut akan
keadaan akhirnya, namun sikapnya mengagungkan dan
memahabessarkan bisa meningkatkan kondisi batin
secara lebih efektif daripada banyaknya rasa takut itu
sendiri.
Ketika Nabi saw. bersabda : “Sepuluh orang
sahabtku akan berada di surga.” Maka sepuluh orang
itu sangat percaya kepada sabda Rasulullah saw. dan
mengetahui kepastian nasib mereka. Hal ini tidaklah
membuat cacat keadaan mereka. Sebab di antara
syarat sahnya memahami secara benar mengenai
kenabian menuntut pemahaman mengenai definisi
mukjizat, di samping itu juga pengetahuan tentang
hakikat karamah. Karena itu tidaklah mungkin bagi
seorang wali, manakala dia menyaksikan suatu
karamah terjadi di depan matanya, tidak mungkin ia
tidak membedakan antara karamah dan lainnya. Jika
menyaksikan hal seperti itu, sang wali mengetahui
bahwa dia berada di jalan yang benar.
Sang wali juga diperkenankan mengetahui realita
yang akan datang dengan tetap konsisten pada
kekinian perilakunya. Dianugerahi pengetahuan ini
sendiri adalah suatu karamah. Ajaran tentang karamah
wali adalah benar, sebagaimana dipersaksikan oleh
banyak riwayat Sufi. Di antara syeikh yang
menyapakati hal ini dan pernah saya jumpai adalah
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq.
Ibrahim bin Adham pernah bertanya kepada
seseorang : “Apakah engkau ingin menjadi wali Allah>”
Dia menjawab : “Ya” Ibrahim bin Adham lalu berkata :
304
“Kalau begitu janganlah engkau menginginkan harta
kekayaan duniawi ataupun ukhrowi. Kosongkanlah
dirimu untuk Allah swt. semata. Palingkanlah mukamu
kepada-Nya agar Dia berpaling kepadamu dan
menjadikanmu wali-Nya.”
Yahya bin Mu’adz menggambarkan para wali
sebagai berikut : “Mereka adalah hamba-hamba yang
berpakaian kesukacitaan jiwa setelah mengalami
penderitaan, dan yang memeluk ruhani setelah
mujahadah ketika mereka mencapai tahapan
kewalian.”
Abu Yazid al-Bisthamy mengatakan : “Wali-wali
Allah adalah pengantin-pengantin-Nya, dan tak
seorang pun yang boleh melihat para pengantin selain
mereka yang termasuk dalam keluarganya. Mereka
ditabiri dalam ruang khusus di hadirat-Nya oleh
kesukacitaan jiwa (uns). Tak seorang pun yang melihat
mereka, baik di dunia ini maupun di akhirat.”
Saya mendengar Abu Bakr ash-Shaidalany, salah
seorang yang saleh menuturkan : “Suatu ketika aku
berulangkali memperbaiki batu nisan makam Abu Bakr
at.Thamastany di pekuburan al-Hirah dan mengukir
namanya pada nisan itu. Namun tiba-tiba digali dan
dicuri orang meskipun makam-makam yang lain tidak.
Karena bingung menghadapi hal ini, aku bertanya
kepda Abu Ali ad-Daqqaq, yang kemudian menjelaskan
kepadaku : “Syeikh itu lebih suka tidak dikenal orang
di dunia ini, tapi engkau ingin memberinya batu nisan
yang akan memperbaiki kenangan kepadanya. Allah
swt. tidak ingin kecuali tetap menyembunyikannya
305
sebagaimana keadaan dirinya yang lebih disukainya
waktu hidupnya.”
Sa’id bin Salam al-Maghriby mengatakan :
“Kadang-kadang seorang wali termasyhur ke mana-
mana, namun ia tidak akan tergoda oleh
kemasyhurannya itu.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Para wali tidak
mengajukan tuntutan; mereka justru merasa hina dan
tersembunyi.” Dia juga mengatakan : “Pangkal
perjalanan para wali adalah langkah pertama para
Nabi.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Wali adalah dia
yang selalu melakukan perbuatannya selaras dengan
Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz menyatakan : “Seorang wali
berbuat sesuatu tidak demi riya’, tidak pula munafik.
Betapa sedikitnya sahabat-sahabat seseorang yang
berwatak seperti itu!.”
Abu Ali al-Juzajany berkata : “Seorang wali adalah
yang fana’ keadaannya namun tetap dalam
musyahadah akan Allah swt. Allah mengambil alih
urusan-urusannya hingga, dengan pengarahan itu,
cahaya kewalian melimpah. Dia tidak tahu apa tentang
ddirinya sendiri, tak ada tempat berpijak selain Allah
swt.”
Abu Yazid mengabarkan :”Jatah para wali yang
sudah ditentukan berasal dari empat Asma Allah.
Masing-masing kelompok wali berbuat sesuai dengan
salah satu Asma tersebut : Al-Awwal (Yang Terdahulu),
Al-Akhir (Yang Akhir), Adz-Dzahir (Yang lahir) dan Al-
306
Bathin (Yang batin). Manakala seorang Wlai fana’ dari
nama-nama tersebut setelah memakainya, maka dialah
manusia kamil yang sempurna. Wali yang jatahnya
beasal dari Asma Allah Adz-Dzahir akan menyaksikan
kekuasaan-Nya; Wali yag mendapatkan bagian dari Al-
Bathin, akan menyaksikan hal-hal yang mengalir dalam
rahasia batin dari cahaya-Nya. Wali yang bagiannya
dari al-Awwal disebutkan dengan masa lampau; Wali
yang namanya berasal dari al-Akhir akan berhubungan
dengan masa yang akan datang. Masing-masing diberi
keterbukaan menurut kemampuannya, kecuali wali
yang telah dipilih oleh Alalh swt. dan dipelihara untuk
diri-Nya.”
Kata-kata Abu Yazid ini menunjukkan kelompok
terpilih di antara hamba-hamba Allah derajatnya lebih
tinggi dari bagian-bagian ini, tidak hanya sibuk dengan
masa depan, atau pun masa lalu dalam benaknya, juga
bukan karena jalan-jalan ruhani yang telah dilewatinya.
Demikian keadaan ruhani mereka yang telah mencapai
hakikat; mereka terhapus dari sifat-sifat makhluk.
Seperti difirmankan Allah swt. :
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal
mereka tidur.” (Qs. Al-Kahfi :18).
Yahyan bin Mu’adz mengatakan : “Seorang wali
adalah wewangian Allah di bumi, yang dicium banunya
oleh pafa shiddiqin, hingga bau itu menyentuh
kalbunya, smapai mereka terbelenggu rindu pada
Tuhannya. Ibarat mereka senantiasa bertambah
menurut derajat akhlaknya.

307
Muhammad al-Wasithy ditanya : “Bagaimana
seorang wali dibesarkan dalam kewaliannya?” Dia
menjawab : “Pada awalnya, dia dibesarkan dengan
ibdadatnya. Untuk mencapai kematangannya, dia
dibesarkan dengan tabir melalui kelembutan-Nya.
Kemudian Dia mengembalikan ke dalam sifat-sifatnya
yang terddahulu; dan akhirnya Dia menjadikannya
menikmati rasa ketegauhannya dalam waktu-
waktunya.”
Dikatakan : “Tanda kewalian ada tiga : Disibukkan
dengan Allah swt, dia lari kepada Allah swt, dan dia
hanya bercita-cita kepada Allah swt.”
Alh-Kharraz berkata : “Jika Allah swt. berkehendak
mengangkat salah seorang hamba-Nya menjadi wali,
maka Dia akan membuka baginya pintu gerbang dzikir
kepada-Nya. Jia dia telah merasakan manisnya dzikir,
maka Dia akan membukakan baginya pintu kedekatan.
Lantas dinaikan ke atas kesukacitaan ruhani. Kemudian
dia ditempatkan-Nya di atas tahta tauhid. Kemudian
dibukakan tabir dan dimasukan ke dalam rumah
Ketunggalan. Disibakkan baginya Keagungan dan
Kebesaran Ilahi. Manakala matanya memandang
Kebesaran dan Keagungan, ia tetap tanpa dirinya.
Pada saat seperti itu si hamba menjadi fana’. Setelah
itu ia akan berada di dalam perlindungan Allah swt,
bebas dari keccenderungan dirinya sendiri.”
Abu Turab an-Nakhsyaby mengatakan : “Manakala hati
seorang menjadi terbiasa berpaling dari Allah swt.
maka kejadian itu diketahui oleh para wali Allah swt.”

308
Dikatakan : “Salah sifat seorang wali adalah bahwa
dia tak punya rasa takut, sebab takut adalah suatu
keadaan yang dibenci yang menempati di masa datang.
Atau menunggu kekasih yang hilang di masa lalu.
Sedangkan wali adalah anak waktunya, tak ada
gambaran di depan hingga ia harus takut, atau tak ada
harapan, karena harapan itu sendiri adalah menunggu
yang tercnta untuk datang, atau bahkan yang dibenci
kelak terbuka kedoknya. Hal itu juga berada di luar
lingkup masa kini. Sang wali juga tak pernah merasa
sedih, sebab sedih adalah penderitaan dalam waktu.
Bagaimana mungkin orang yang telah merasakan
cahaya ridha dan tentramnya selaras dengan-Nya akan
tertimpa kesedihan? Allah swt. berfirman : “Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran pada mereka, dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.” (Qs. Yunus :62).

37.
DO’A
Allah swt. berfirman :
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri
dan dalam kerahasiaan.” (Qs. A-A’raf :55).
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
kuperkenankan bagimu.” (Qs. Al-Mu’min :60).
Rasulullah saw. telah bersabda :
“Doa adalah inti ibadat.” (H.r. Tirmidzi, dari Anans
bin Malik).

309
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Doa adalah
kunci bagi setiap kebutuhan. Doa adalah tempat
beristirahat bagi mereka yang membutuhkan, tempat
berteduh bagi yang terhimpit, kelegaan bagi perindu.”
Allah s”Mereka menggenggamkan tangannya.” (Qs.
At-Taubah :67).
Ditafsirka bahwa ayat ini bermakna : “Mereka tidak
mengangkat tangan mereka dengan terbuka untuk
berdoa kepada kami.”
Sahl bin Abdullah menuturkan : “Percayakanlah
rahasai-rahasiamu kepada-Ku. Kalau tidak, maka
melihatlah kepada-Ku, kalau tidak, maka dengarkanlah
Aku, Kalau tidak, maka menunggulah di pintu-Ku. Jika
tak satu pun dari ini semua yang engkau lakukan,
ketakanlah kepada-Ku apa kebutuhan-mu.”
Sahl juga berkata : “Doa yang paling dekat untuk
dikabulkan dalah doa seketika.” Yang maksudnya
adalah doa yang terpaksa dipanjatkan oleh seseorang
dikarenakan kebutuhannya yang mendesak terhadap
apa yang didoakannya.
Abu Abdullah al-Makanisy berkata : “Aku sedang
bersama al-Junayd ketika seorang wanita datang dan
meminta kepadanya : “Berdoalah untukku agar Allah
mengembalikan anakku kepadaku, karena dia telah
hilang.” Al-Junayd mengatakan kepadanya : “Pergilah,
dan bersabarlah.” Kemudian wanita itu berlalu,
kemudian kembali lagi meminta al-Junayd agar beroda
lagi. Al-Junayd menjawab : “Pergilah dan bersabarlah.”
Hal ini berlangsung berkali-kali, dan setiap kali al-
Junayd mengatakan agar wanita itu bersabar. Akhirnya
310
wanita itu berkata : “Kesabaranku telah habis. Sudah
tidak ada lagi sisa kesabaranku.” Al-Junayd menjawab :
“Jika demikian halnya, pulanglah sekarang, sebab
anakmu telah kembali.” Wanita itu pun pulang, dan
menemukan anaknya. Dia kembali kepada al-Junayd :
“Bagaimana engkau bisa tahu?” Dia menjawab : “Allah
swt. telah berfirman “Atau siapakah yang
memperkenan (doa) orang yang dalam kesulitan
apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang
menghilangkan kesusahan.” (Qs. an-Naml : 62).”
Orang berbeda pendapat mengenai mana yag lebih
baik : Berdoa atau berdiam diri dan bersikap ridha. Di
antara mereka ada sebagian yang berekata : “Doa
adalah otak ibadat.” Adalah lebih baik melaksanakan
apa pun yang merupakan amal ibadat daripada
melewatkannya. Di samping itu, berdoa adalah hak
Tuhan atas manusia. Kalaupun Dia tidak mengabulkan
doa si hamba dan si hamba tidak memperoleh manfaat
dengan doa-nya, namun sang hamba telah
melaksanakan hak Tuhannya, sebab doa adalah
ungkapan lahiriah kebutuhan penghambaan.”
Abu hazim al-A’raj berkata : “Dihalangi berdoa
adalah lebih menyedihkan hatiku daripada terhalangi
tidak dikabulkan.”
Ada orang lain yang menegaskan : “Diam dan tidak
berbuat apa-apa dalam menjalani ketetapan Tuhan
adalah lebih sempurna daripada berdoa. Bersikap ridha
atas apa pun yang dipilih Allah untuk kita adalah lebih
utama. Sehubungan dengan alasan ini, al-Wasithy
mengatakan : “Memilih apa yang telah ditetapkan
311
bagimu dalam zaman azali adalah lebih baik bagimu
daripada menentang kedaan yang ada sekarang.”
Nabi saw. berdsabda : “Allah swt. berfirman dalam
hadits qudsi : “Aku memberi kepada orang yang terlalu
sibuk mengingat-Ku hingga tak sempat berdoa, lebih
banyak daripada yang Ku-berikan kepada mereka yang
berdoa”.
Ada kelompk kaum yang berkata : “Si hamba harus
sberdoa dengan lidahnya, sementara pada saat yang
sama dia juga bersikap ridha, dan dengan demikian
menggabungkan keduanya itu.”
Pendapat yang lebih utama dalam hal ini adalah
mengatakan bahwa waktu dan situasi itu berbeda-
beda. Dala situasi tertentu, doa adalah lebih baik
daripada diam, yaitu sebagai perilaku adab seorang
hamba. Sementara dalam keadaan alin, berdiam diri
adalah lebih baik daripada doa, yaitu sebagai alasan
etika pula. Ini hanya bisa diketahui dalam waktu,
karena pengetahuan mengenai waktu, jika seseorang
mendapati hatinya condong untuk untuk berdoa, maka
berdoa adalah paling baik. Jika dia mendapati hatinya
condong kepada diam diri, maka berdiam diri lebih
baik.
Benar juga dikatakan bahwa tidaklah patut bagi si
hamba untuk tidak mengabaikan penyaksian terhadap
Tuhannya Yang Maha Luhur ketika berdoa. Dia juga
harus memberikan perhatian cermat kepada keadaan
berdoanya, maka berdoa adalah paling baik baginya.
Jika ia mengalami semacam kendala dan hatinya
merasa sempit ketika berdoa, maka yang paling baik
312
baginya adalah meninggalkan berdoa pada saat itu.
Jika dia tidak mengalamami yang manapun dari kedua
hal ini, maka terus berdoa atau pun meninggalkannya
adalah sama saja baiknya. Jika kepeduliannya yang
utama adalah pada keadaan ma’rifat dan berdiam diri,
maka menghindari berdoa adalah lebih baik baginya.
Dalam soal=soal yang menyangkut nasib kaum
Muslimin atau yang berkaitan dengan kewajiban
seseorang terhadap Allah, maka berdoa adalah lebih
baik daripada tidak, tapi dalam perkara-perkara yang
menyangkut kebutuhan diri sendiri, maka berdiam diri
adalah lebih baik.
Dalam sebuah Hadits disebutkan : “Apabila seorang
hamba yang dicintai Allah berdoa, maka Allah
berfirman : “Wahai Jibril, tundalah memenuhi
kebutuhan hamba-Ku itu, karena Aku senang
mendengarkan suaranya.” Apabila seseorang yang
tidak disukai Allah beroda, Dia berfirman : “Wahai
Jibril, penuhilah kebutuhan hamba-Ku itu, karena Aku
tak suka mendengar suaranya.”
Diceritakan bahwa Yahya bin Sa’id al-Waththan
bermimpi melihat Allah swt. dan ia berkata : “Wahai
Tuhanku, betapa banyak kami telah beroda kepadamu,
tapi Engkau tidak mengabulkan doa kami!.” Dia
menjawab : “Wahai Yahya, itu karena Aku senang
mendengarkan suaramu.”
Nabi saw. menjelaskan :
“Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya,
apabila seseorang yang dimurkai Allah berdoa, Dia
akan menolaknya. Lalu orang itu berdoa lagi, akhirnya
313
Allah swt. berfirman kepada para malaikat-Nya :
“Hamba-Ku menolak untuk beroda kepada selain pada-
Ku, maka Aku pun mengabulkan doanya.: (H.r. Ali ra.
Dan dikeluarkan oleh al-Hakim).
Al-Hasan meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a.
yang menuturkan : “Pada masa Nabi saw. ada seorang
laki-laki yang berdagang antara Syam dan Madinah
serta dari Madinah ke Syam. Dia biasa bepergian,
tanpa begabung dengan kafilah-kafilah demi tawakkal
kepada Allah swt. Sekali waktu, ketika dia bepergian
dari Syam ke Madinah, seorang penyamun
mencegatnya dan berkata kepadanya : “Berhenti!”
Pedagang itu pun berhenti dan berkata kepada si
penyamun : “Ambillah barang-barangku tapi jangan
kau rintangi jalanku!” Si penyamun menjawab :
“Urusan harta bukan urusanku, tapi dirimulah yang
kukehendaki.” Maka pedagang itu menjawab : “Apa
yang kau kehendaki dariku, bukankah urusanmu itu
hartaku?” Ambillah abrang-barang itu dan enyahlah!>”
Si penyamun mengulangi apa yang telah dikatakannya.
Si pedagang berkata : “Tunggulah sampai aku
berwudhu dan berdoa kepada Tuhanku.” Maka si
pedagang pun bangkit, berwudhu, lalu shalat empat
rakaat. Setelah itu dia mengangkat tangannya ke
langit dan beroda :

“Wahai Yang Maha Penyayang, wahai Yang Maha


Penyayang, Wahai pemilik ‘Arasy yang Agung, wahai
Yang dari-Nya segala sesuatu berasal dan kepada-Nya
sesuatu kembali, Wahai Yang Maha melakukan apa
314
yang dikehendaki-Nya, aku memohon kepada-Mu
dengan cahaya Wajah-Mu yang memenuhi segenap
penjuru ‘Arasy-Mu, aku memohon kepada-Mu dengan
kekuasaan yang dengannya Engkau memerintah
makhluk-Mu, dan dengan kasih sayang-Mu, tidak ada
Tuhan selain Engkau, wahai Maha Penolong, tolonglah
aku.!.
Diucapkannya doa itu tiga kali. Ketika ia selesai
berdoa, tiba-tiba muncullah seorang penunggang kuda
yang berwarna abu-abu dan berpakaian hijau dengan
memegang tombak yang terbuat dari cahaya. Ketika si
penyamun melihat si penegndara kuda itu,
ditinggalkannya si pedagang dan disongsongnya si
pengendara kuda itu. Ketika sudah dekat, si
penunggang kuda itu menyerang si penyamun
sehingga si penyamun terlempar dari atas kudanya.
Kemudian penunggang kuda mendatangi si pedagang
dan memerintahkan : “Bangkit dan bunuhlah dia!”
Namun si pedagang itu balik berkata : “Siapa Anda?”
Aku tak pernah membunuh seseorang, dan diriku tak
layak membunuhnya.”
Lalu penunggang kuda itu menuju si penyamun
langsung membunuhnya. Kemudian mendatangi si
pedagang, sambil memberi tahu : “Aku adalah seorang
malaikat dari langit ke tiga. Ketika engkau berdoa
untuk pertama kalinya, kami mendengar bunyi gaduh
di pintu gerbang langit. Kami berkata “Sebuah
kejahatan telah terjadi.” Ketika engkau berdoa untuk
kedua kalinya, pintu langit terbuka dan terlihat
seberkas nyala api. Ketika engkau berdoa untuk ketiga
315
kalinya, Jibril As. Turun ke langit kami dan berteriak :
“Siapakah yang mau menolong orang yang tertekan
ini?” Aku memohon kepada Allah swt. agar diizinkan
membunuh penyamun itu. Ketahuilah, wahai hamba
Allah, bahwa Allah akan memberikan kelapangan dan
pertolongan kepada siapa saja yang beroda dengan
doamu tadi pada setiap saat yang penuh tekanan,
malapetaka dan keputus-asaan.”
Setelah itu si pedagang melanjutkan perjalanannya
dengan aman sampai ke Madinah dan pergi menemui
Nabi saw. serta menceritakan kisahnya kepada beliau,
juga tentag doa yang diucapkannya. Nabi saw.
bersabda kepadanya : “Allah telah mengilhamimu
dengan Nama-Namanya yang paling Indah, yang jika
disebutkan dalam Doa, niscaya Dia akan
mengabulkannya. Jika Dia dimohon denga Nama-nama
itu, Dia akan menganugerahkan-Nya.”
Di antara etika berdoa adalah adanya kehadiran
hati. Berdoa tak boleh dilakukan dengan hati yanglalai.
Diriwayatkan bahwa Nabi saw. telah bersabda :
“Sesungguhnya Alalh swt. tidak akan menjawab
doa seorang hamba yang hatinya alpa.” (H.r. Tirmidzi
dan Ahmad).
Persyaratan lain adalah bahwa makanan si hamba
haruslah diperoleh secara halal. Nabi saw. menegaskan
:
“Perbaikilah kerjamu, niscaya doamu dikabulkan.”
(H.r. Thabrani).
Dikatakan : “Doa adalah kunci bagi kebutuhan
seorang pendosa; bagaimana aku bisa berdoa kepada-
316
MU?” Bagaimana aku tidak akan berdoa kepada-Mu,
sedang engkau Maha Pemurah?”
Diceritakan bahwa Musa as. Berjalan melewati
seorang laki-laki yang sedangberdoa dengan renah
hati kepada Allah. Musa berkata, “Ya Allah, seandainya
kebutuhannya ada dalam tangnaku, niscaya akan
kupenuhi doanya.” Allah swt. mewahyukan kepada
Musa : “Aku lebih pengasih kepadanya daripadamu. Dia
memang berdoa kepada-Ku, tapi hatinya terpaut pada
domba-dombanya. Sedang aku tidak akan
mengabulkan doa seorang hamba-Ku yang hatinya
terpaut pada selian Aku.” Ketika Musa mengatakan
kepada orang itu apa yang diwahyukan Allah swt.
kepadanya itu, dia segera memalingkan hatinya
dengan pernuh perhatian kepada Allah swt. dan
urusannya pun selesai.
Seseorang bertanya kepada Ja’far ash-Shadiq :
“Apa sebabnya, kita berdoa tetapi tidak pernah
dikabulkan?” Beliau menjawab : “Itu karena engkau
berdoa kepada tuhan yang engkau tak punya
pengetahuan tentang –Nya”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq
menuturkan : “Ya’qub bin Lyats ditimpa penyakit yang
mebuat para dokter tidak berdaya. Mereka lalu berkata
kepadanya : “Di negeri tuan ada seorang laki-laki saleh
bernama Shal bin Abdullah. Jika ia berdoa untuk tuan,
niscaya Allah swt. akan mengabulkan doanya.” Ya’kub
pun lalu mengundang Sahl dan memerintahkan, :
“Berdoalah kepada Allah untukku.” Sahl berkata :
“Bagaimana doaku untukmu akan dikabulkan,
317
sedangkan engkau berlaku zalim kepada orang banyak
di dalam penjaramu?” Maka Ya’kub lalu melepskan
semua orang yang ada dalam penjaranya. Sahl lalu
berdoa : “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah
memperlihatkan kepadanya hinanya ketidakpatuhan
kepada-Mu dengan menyembuhkan penyakitnya.”
Ya’kub bin Layts lalu sembuh. Dia mencoba memberi
Sahl harta kekayaan, tetapi Sahl menolak. Seseorang
berkata kepada Sahl : “Jika saja engkau menerimanya,
engkau bisa memberikannya kepada orang miskin.”
Beberapa waktu kemudian, sat Sahl sedang
memandangi kerikil-kerikil di padang pasir, kerikil-
kerikil itu tiba-tiba berubah menjadi batu permata. Dia
bertanya kepada para sahabatnya : “Apakah perlunya
bagi orang yang telah diberi anugerah seperti ini,
menerima harta kekayaan dari Ya’kub bin Layts?”
Diceritakan bahwa Salih al-Marry sering
menegaskan : “Barangsiapa yang gigih mengetuk
pintu, berarti sudha dekat saat terbukanya pintu itu
baginya.” Rabi’ah Adwiyah bertanya kepadanya :
“Sampai kapan engkau akan mengatakan begitu?”
Kapankah pintu itu tertutup hingga orang terpaksa
memintanya agar dibuka?” Salih menjawan : “Seorang
laki-laki yang sudah tua tak tahu akan kebenaran, dan
seorang wanita mengetahuinya!”.
As-Syary berkata : “Suatu ketika aku menghadiri
pengajian Ma’ruf al-Karkhy. Seorang laki-laki datag
kepadanya dan meminta : “Wahai Abu Mahfudz,
berdoalah kepda Allah untukku, agar Dia
mengembalikan kantongku. Kantong itu dicuri orang;
318
isinya uang seribu dinar.” Ma’ruf tetapdiam. Untuk
ketiga kalinya orang itu mengulangi permintaannya.
Kemudian Ma’ruf menjawab : “Apa yang harus
kukatakan?” Kukatakan, apa yang telah kuriwayatkan
dari Nabi-Nabi-Mu dan Wali-wali-Mu yang suci?”
Kemudain Ma’ruf mengembalikan kepda-Nya. Tapi
orang itu tetap emndesak : “Berdoaah kepada
Allahemudian aku bertemu dengan dia lagi, sedang
matanya bisa melihat. Aku bertanya kepadanya
“Bagaimana penglihatanmu bisa pulih kembali?” Dia
menjawab, bahwa dalam mimpinya ada suara
bersuara : “Katankalah wahai Yang Maha Dekat, wahai
yang Maha Mengabulkan, wahai yang mendengarkan
Doaku, wahai yang Maha Baik dalam kehendak-Nya,
kembalikanlah penglihatanku.” Kuulangi doa ini dan
Allah swt, lalu mengembalikan penglihatanku.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Aku menderita
sakit yang parah di mataku ketika untuk pertama
kalinya aku kembali dari Marv ke Anisabur. Sudah agak
lama aku tak bisa tidur. Suatu pagi aku tertidur lelap
dan kudengar seseorang bertanya kepadaku :
“Tidakkah Allah mencukupi bagi hamba-Nya?” (Qs. Az-
Zumar :36). Aku terbangun dan kudapati penyakitku
telah hilang dari mataku dan rasa sakitnya pun telah
berhenti. Sesudah itu aku tak pernah menderita sakit
mata lagi.”
Diceritakan bahwa Muhammad bin Khuzaymah
berkata : “Aku sedang berada di Iskandiriyah ketika
Ahmad bin Hanbal meninggal dunia. Aku betul-betul
merasa sedih, hingga aku bermimpi bertemu dengan
319
Ahmad bin Hanbal. Klihat dia sedang melenggang. Aku
bertanya : “Wahai Abu Abdullah, gerakan apa ini?” Dia
menjawab : “Ini adalah cara bergerak hamba-hamba di
Rumah Kedamaian.” Aku bertanya : “Apa yang telah
diperbuat Allah kepadamu?” Dia menjawab : “Dia telah
mengampuniku, menempatkan sebuah mahkota di atas
kepalaku, dan memberikan sepasang sandal emas
untuk kupakai.
Allah berfirman kepadaku : “Wahai Ahmad, semua
ini karena engkau telah menjaga Al-Qur’an sebagai
firman-Ku.” Kemudian Dia berfirman : “Wahai Ahmad,
berdoalah kepda-Ku dengan kata-kata yang engkau
terima dari Sufyan ats-Tdaury, yang dulu engkau
ucapkan waktu engkau madih hidup.” Maka aku pun
berdoa : “Wahai Tuhan semesta, dengan kekuasaan-Mu
atas segala sesuatu, ampunilah segala dosaku dan
janganlah Engkau tanyai aku tentang sesuatu pun.”
Kemudian Allah mempermaklumkan : “Wahai Ahmad,
inilah surga. Masuklah! Lalu aku pun masuk.”
Suatu hari ada seorang pemuda yang memegang
kain penutup Ka’bah dan berkata : “Tuhanku, Tuhanku,
tak ada seorang pun yang mesti didekati selain
Engkau, tidak ada pula seorang perantara yang bisa
disuap. Jika aku mematuhi-Mu, itu adalah karena
limpahan rahmat-Mu, dan segala Puji adalah bagi-Mu.
Jika aku menetang-Mu, itu adalah karena kejahilan dan
kesombonganku. Engkau punya rgumentasi yang tak
terbantah terhadap diriku melalui bukti-Mu terhadap
diriku dan melalui ketiadaan argumentasiku terhadap-
Mu, kecuali jika engkau mengampuniku.” Kemudian dia
320
mendengar seuah suara batin yang berseru : “Anak
muda ini telah dibebaskan dari neraka.”
Dikatakan : “Manfaat doa adalah menampakkan
kebutuhan di sisi-Nya. Jika doa tidak dilakukan, Allah
swt, akan melakukan apa yang dikehendaki-Nya.”
Dikatakan juga : “Doa awam dilakukan dengan
ucapan, doa kaum zahid dilakukan dengan tindakan,
dan doa kaum ‘Arifin dilakukan dengan ihwal hati.”
Juga dikatakan : “Doa terbaik adalah doa yang
dikobarkan dengan kesedihan.”
Salah seorang Sufi mengtakan : “Jika engkau
berdoa kepada Allah swt. agar dianugerahkan sesuatu
dan doamu dikabulkan, maka bedoalah, siapa tahu
saat itulah memang saat dikabulkannya doamu.”
Dikatakan : “Kidah kaum pemula terucap lewat
doa, namun lidah mereka yang telah mencapai hakikat
terbelenggu dalam kebisuan.”
Ketika al-Wasithy diminta berdoa, dia menjawab :
“Aku takut bahwa jika aku berdoa, Allah swt, akan
berfirman kepadaku : “Jika engkau memohon kepada-
Ku sesuatu yang telah ditetapkan untukmu, berarti
engkau meragukan Aku. Jika engkau memohon kepada-
Ku sesuatu yang tidak ditetapkan bagimu, berarti
engkau tidak memuji-Ku sebagaimana seharusnya.
Namun jika engkau bersikap ridha terhadap keputusan-
Ku, Aku akan memberikan anugerah lebih dari
harapanmu.”
Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Mubarak
berkata : “Sudah limapuluh tahun aku tidak beroda,

321
dan aku tidak menginginkan orang lain berdoa
untukku.”
Dikatakan : “ Doa adalah tangga bagi orang-orang
yang berdosa.”
Dikatakan juga : “Doa adalah saling bertukar
pesan. Selama kedua pihak tetap bertukar demikian,
semuanya akan baik.”
Dikatakan : “Orang-orang yang berdosa
mengucapkan doa dengan air mata.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengataka : “Jika
seorang berdoa menangis, berarti dia telah membuka
hubungan dengan Allah swt.”
Tentag hal ini, para Sufi bersyair berikut :
Air mata pemuda mengungkapkan
Apa yang disembunyikan;
Nafasmu menjelaskan hati;
Yang menyembunyikan rahasia.erdoa berarti
meninggalkan dosa-dosa.” Dikatakan : “Doa adalah
cara seorang pecinta mengungkapkan
kerinduannya.” Dikatakan : “Diizinkan berdoa, lebih
baik dari anugerah.”
AL-Kattany menyatakan : “Allah swt. tidak
menganugerahkan kaum beriman, untuk
mengungkapkan rasa bersalah, kecuali untuk
membuka pintu kemaafan.”
Dikatakan juga : “Beroda menyebabkan engkau
hadir di hadorat Allah swt. Sedang dikabulkannya
doamu menjadikan engkau berpaling menjauh. Dan
berdiri saja di pintu, lebih baik daripada pergi dengan
membawa balasan.”
322
Dikatakan : Doa berarti menghadapAllah swt.
dengan ungkapan rasa malu.”
Dikatakan : “Satu persyaratan doa adalah
bertumpu pada keputusan Allah swt. bersama ridha.”
Dikatakan pula : “Bagaimana engkau akan
menunggu ijabah doa, sedang engkau menghalangi
jalannya dengan melakukan dosa-dosa?”
Seseorang meminta kepada salah seorang Sufi agar
didoakan : “Doakan aku.” Dijawab : “Engkau cukup
dengan Allah swt. daripada unsur lain yang kau jadikan
perantara antara dirimu dengan Diri-Nya.”
Abdurrahman bin Ahmad berkata : “Aku mendengar
ayahku menceritakan bahwa seorang wanita datang
kepada Tqy bin Mukhlad dan mengatakan kepadanya :
“Orang-orang Binzantium telah menawan anakku. Aku
tak punya apa-apa lagi di rumahku selain anakku itu.
Aku juga tidak bisa menjual rumahku. Jika saja tuan
bisa membawa saya kepada seseorang yang bisa
menebusnya, sebab saya sudah tidak tahu lagi mana
siang mana malam. Saya tidak bisa tidur ataupun
beristirahat.” Taqy berkata kepadanya : “Baiklah,
pergilah sampai-sampai aku melihat masalah ini, Insya
Allah.” Kemudian Syeikh itu menundukkan kepadalnya
dan menggerak-gerakkan bibirnya. Kami menunggu
bebereapa saat lamanya. Kemudian wanita itu datang
lagi bersama anaknya dan bersseru kepada Syeikh
tersebut : “Anakku telah kembali dengan selamat, dan
dia punya cerita untuk tuan.”
Anakknya itu lalu mengisahkan : “Saya sedang
berada dalam tawanan seorang gpangeran Bizantium
323
bersama dengan sekelompok tawanan. Sang Pangeran
menegaskan seseorang untuk menyuruh kami bekerja
setiap hari. Orang itu membawa kami kembali dari
bekerja setelah matahari terbenam dengan dikawal
oleh orang itu. Tiba-tiba rantai yang mengikat saya
terputus dan jatuh dari kaki saya.”
Anak muda itu menyebutkan hari dan saat di mana
peristiwa itu terjadi, dan saat itu adalah persis ketika
wanita itu mendatangi Syeikh Taqy saat beliau berdoa.
Si pemuda melanjutkan ceritanya : “Pengawal
memukul saya dan berteriak : “Engkau telah
memutusakn rantai ini!.” Saya berkata : “Tidak, ia
jatuh sendiri dari kaki saya!.” Orang itu kebingungan
dan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia
memanggil teman-temannya, lalu memanggil pandai
besi. Mereka lalu merantai saya lagi. Tapi begitu saya
berjalan beberapa langkah, rantai itu terlepas lagi dari
kaki saya. Mereka tercengang dan kemudain
memanggil para pendeta mereka. Para pendeta itu
bertanya kepada saya : “Apakah engkau punya Ibu?”
Saya katakan “Ya”. Mereka lalu berkata : “Doa ibumu
telah dikabulkan. Alalh swt. telah membebaskanmu.
Kami tak bisa lagi merantaimu.” Kemudian mereka
memberi saya makanan dan bekal lalu menyruh
seorang pengawal mengatarkan saya sampai ke daerah
kaum Muslimin.”

38.
KEFAKIRAN

324
Allah swt. berfirman :
“(Infaq itu) untuk orang-orang fakir yang terikat
(oleh jihad) di jalan Allah; Mereka tidak dapat
(berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka
mereka orang kaya karena (mereka) memelihara diri
dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan
melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada
orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik
yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (Qs. Al-
Baqarah :273).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi saw.
bersabda :
“Orang-orang miskin akan memasuki surga
limaratus tahun sebelum orang-orang kaya. (Limaratus
tahun itu) sama dengan setengah hari (surga).” (H.r.
Tirmidzi).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa
Rasulullah saw. telah bersabda :
“Orang miskin itu bukanlah dia yang berkeliling ke
sana ke mari denegan hrapan diberi orang sesuap dua
suap, sebutir atau dua butir kurma.” Seseoarang
bertanya : “Kalau begitu, siapakah orang miskin itu
wahai Rasulullah?” Nabi saw, menjawab : “Dia adalah
orang yang tidak menemukan kepuasan atas
kekayaannya, dan malu minta manusia, tidak pula
orang banyak mengetahui hal ihwal mereka hingga
mereka bisa diberi sedekah.” (H.r. Ahmad).

325
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar, tentang
ucapan Nabi saw. : “dan malu meminta” artinya adalah
bahwa mereka malu kepada Allah swt. untuk meminta-
minta dari orang banyak, bukan malu kepada manusia.
Kefakiran adalah simbol para wali dan hiasan para
Sufi, pilihan Alalh swt. pada orang takwa piluhan dan
para Nabi. Sedangkan para Sufi fakir merupakan
pilihan Allah swt. bagi hamba-hamba-Nya. Mereka
adalah pengemban rahasia-rahasia-Nya di antara para
hamba-Nya, yang dengan mereka Dia menjaga para
makhluk dan yang dengan keberkatan mereka rezeki
disebarkan di kalngan manusia.
Orang-orang fakir yang sabar akan menjadi
sahabat-sahabat Alalh swt. pada Hari Kebangkitan,
seperti dikatakan dalam Hadits riwayat Umar bin
Khaththab r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah
saw. telah bersabda : “Segala sesuatu ada kuncinya,
dan kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin.
Kaum fakir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat
Allah swt. pada Hari Kebangkitan.” (hr. Ibnul Laal, dan
Ibnu Umar).
Diceritakan bahwa seorang laki-laki membawakan
uang sebganyak sepuluh ribu dirham kepada Ibrahim
bin Adham, tetapi Ibrahim tidak menerimanya dan
berkata : “Engkau mau mengahapus namaku dari
daftar orang-orang miskin dengan uang sepuluh ribu
dirham!. Aku tidak akan menerimanay.!”
Mu’adz an-Nasafi menegaskan : “Allah tidak
pernah membinasakan suatu kaum, apa pun kejahatan

326
yang mereka lakukan, kecuali jika mereka
merendahkan dan menghina kaum miskin.”
Dikatakan, manakala para fakir tidak memiliki
kebajikan lain dalam pandangan Allah selain keinginan
mereka agar rezeki dilimpahkan dan dimurahkan di
kalangan kaum Muslimin, niscaya itu sudah cukup bagi
mereka, sebab mereka perlu memberli barang-barang
dan orang-orang kaya perlu menjualnya. Begitulah
halnya dengan kaum miskin yang awam, maka
bagaimana pula halnya dengan kaun yang terpilih di
kalangan mereka.?”
Ketika Yahya bin Mu’adz ditanya tentang kefakiran,
dia menjawab : “Hakikat kefakiran adalah bahwa
seseorang tidak butuh lagi selain Allah, dan tanda
kefakiran adalah tidak adanya harta benda.”
Ibrahim al-Qashshar mengatakan : “Kefakiran
adalah pakaian yang mewariskan ridha, apabila fakir
memakainya.”
Seorang fakir dari Zauzan datang kepada Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq padatahun 394 atau 395 Hijriyah.
Dia memakaia pakaian yang terbuat dari kain yang
sangat kasar dan kopiah dari kain yang sama. Salah
seorang sahabat Syeikh itu bertanya dengan nada
bergurau : “Berapa harga pakaianmu ini?” Dia
menjawab : “Aku membayarnya dengan dunia ini, dan
akhirat ditawarkan kepadaku untuk ditukar
dengannya. Tapi aku tidak akan menjualnya dengan
harta tersebut.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu
ketika seorang misikin mendatangi sebuah pertemuan
327
untuk meminta sedekah, seraya berkata : “Saya sudah
tiga tidak makan.” Salah seorang syeikh yang hadir di
situ berkata : “Engkau dusta!” Kemiskinan adalah
rahasia Tuhan. Dia tidak mempercayakan rahasia-Nya
kepda orang yang memamerkannya kepada siapa pun
yang dikehendakinya!.”
Hamdun al-Qashshar menyatakan : “Manakala iblis
dan tentaranya berkumpul, mereka tidak bergembira
sebagaimana kegembiraan mereka yang disebabkan
tiga hal : “Seorang Muslim membunuh sesama Muslim,
seseorang yang mati dalam keadaan kafir, dan sebuah
hati yang menyimpan ketakutan pada kemiskinan.”
Al-Junayd berkata : “Wahai orang-orang fakir, kamu
semua dijadikan terkenal oleh Allah swt, dan dihormati
karena-Nya. Tetapi perhatikanlah bagaimana
keadaanmu manakala kamu berada sendirianbersama-
ny.” Al Junayd ditanya : “Keadaan manakah yang lebih
baik : miskin dan bergantung pada Tuhan, atau
dijadikan kaya oleh-Nya?” Dia menjawab : “Jika
kemiskinan seseorang adalah shahih, maka
kekayaannya adalah shahih di sisi-Nya. Jika
kekayaannya di sisi-Nya adalah shahih, maka
kemiskinan dan ketergantungannya pada –Nya juga
tersempurnakan. Jangan bertanya, : “Manakah yang
lebih bai?” Sebab keduanya adalah keadaan yang salah
satunya tidak akan lenyap tanpa yang lain.”
Ruwaym ditanya tentang tanda seorang miskin :
“Miskin berarti menyerahkan jiwa kepada ketentuan-
ketentuan Allah swt.” Dikatakan pula bahwa ada tiga
tanda seorang miskin : Dia melindungi batinnya, dia
328
melaksanakan kewajiban-kewajiban agamnya, dia
menyembunyikan kemiskinannya.
Seseorang bertanya kepada Abu Sa’id al-Kharraz :
“Mengapa kemurahan hati orang kaya tidak sampai
kepada orang miskin?” Dia menjawab : “Karena tiga
alasan : “Kekayaan mereka didapatkan dengan jalan
yang tidak halal, mereka tidak dimampukan untuk
memberi sedekah, dan penderiaan orang miskin itu
memang dikehendaki.”
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada
Musa as. : “Jika engkau berjumpa dengan orang-orang
miskin, tanyakanlah tentang mereka seperti engkau
tanyakan kepada orang-orang kaya. Jika hal itu tidak
engkau lakukan, maka campakkanlah ke tanah semua
yag telah Kuajarkan kepadamu.”
Diriwayatkan bahwa Abu Darda’ menegaskan : “Aku
lebih suka jatuh dari tembok istana dan remuk
daripada duduk bersama orang kaya, karena aku
mendengar Rasulullah saw. bersambda :
“Waspadalah untuk duduk-duduk bersama orang
mati!.”
Seseorang bertanya : “Siapakah orang mati itu?”
Beliau menjawab “ Orang-orang kaya.” (Hr. Tirmidzi
dan Hakim).
Seseorang berkata kepada ar-Rabi’ bin Khaitsam :
“Harga-harga telah naik!.” Dia menjawab : “Kita tidak
berharga untuk dibuat lapar oleh Allah. Dia hanya
melakukan hal itu pada wali-wali-Nya.”

329
Ibrahim bin Adham mengatakan : “Kami meminta
kemiskinan tapi diberi kekayaan; orang lain meminta
kekayaan dapi kemiskinan datang kepada mereka.”
Seorang laki-laki bertanya kepada Yahya bin
Mu’adz : “Apakah kemiskinan itu?” Dia berkata : “Takut
pada kemiskinan itu sendiri.” Orang itu lantas
bertanya lagi : “Lantas, apa kekayaan itu?” Dia
menjawab : Rasa aman di sisi Allah Swt.”
Ibnu Karainy berkata : “Orang miskin yang sejati,
menjauhi kekayaan agar kekayaan tidak
mendatanginya dan merusak kemiskinannya;
sebagaimana halnya orang kaya menjauhi kemiskinan,
agar kemiskinan tidak mendatanginya dan merusak
kekayaannya.”
Abu Hafs ditanya : “Dengan cara pa orang miskin
mendektai Allah?” Dia menjawab : “Orang miskin tidak
memiliki apa-apa selain kemiskinannya yang dengan
kemiskinan itu dia mendekati Allh swt.”
Allah swt. mewahyukan kepada Musa a.s. :
“Maukah engkau memperoleh pahala amal kebajikan
yang setara dengan pahala seluruh ummat manusia di
Hari Kiamat nanti?” Musa menjawab : “Ya” Allah swt.
berfirman : “Kunjungilah orang sakit dan pastikanlah
bahwa orang-orang miskin punya pakaian.” Musa lalu
menyisihkan tujuh hari setiap bulan untuk
mengunjungi oang-orang miskin dan memeriksa
pakaian mereka serta mengunjungi orang sakit.”
Sahl bin Abdullah menyatakan : “Ada lima mutiara
jiwa : Seorang miskin yang berpura-pura kaya, orang
lapar yang berpura-pura kenyang, seorang yang
330
bersedih yang berpra-pura bahagia, seseorang yang
punya musuh tapi memperlihatkan kecintaan
terhadapnya, seseorang yang berpuaa di siang hari
dan bangun di malam hari tanpa memperlihatkan
kelelahan.”
Bisyr ibnul Harits berkata : “Maqam yang paling
baik adalah maqam keyakinan yang kokoh dalam
kesabaran melalui kemiskinan sampai masuk liang
lahat.”
Dzun Nuun mengatakan : “Suatu tanda kemurkaan
Allah kepada seorang hamba adalah bahwa so hamba
merasa takut kepada kemiskinan.”
Asy-Syibly berkomentar : “Tanda kemiskinan yang
paling kecil adalah jika seluruh kekayaan dunia ini
diberikan kepada seseorang dan kemudian
disedekahkannya sampai habis dalam waktu satu hari,
tetapi kemudian terlintas dalam pikirannya untuk
menyimpan hartanya bagi esok hari. Yang demikian itu
tidak bisa dianggap benar dalam kemiskinannya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Orang
bertanya mana yang lebih baik; kemiskinan atau
kekayaan. Menurut pendapatku, yang paling baik
adalah bahwa seseorang diberi rezeki yang cukup
untuk menghidupinya dan dia lalu menjaga dirinya
dalam batas tersebut.”
Ibnul Jalla’ ditanya tentang kemiskinan. Dia diam
saja, kemudian mengundurkan diri dan pergi. Sesaat
kemudian dia kembali dan berkata : “Aku punya empat
keping mata uang itu, Aku amlu kepada Allah swt.
untuk membicarakan kemiskinan.” Kata Ibnul Jalla’,
331
Kemudian aku pergi dan mengeleuarkan uang itu.
Barulah aku berbicara tentang kemiskinan.”
Ibrahim ibnul Muwallad berkata : “Aku bertanya
kepada Ibnul Jalla’ : “Kapankah orang-orang miskin
patut disebut miskin?” Dia menjawab : “Jika tak ada
lagi sesuatu pun darinya yang tersisa padanya.”
Ibrahim bertanya : “Bagaimana bisa begitu?” Dia
menjawab : “Jika dia memilikinya, berarti dia tidak
memiliki kemiskinan. Tapi jika dia tak lagi memilikinya,
berarti dia memiliki sebutan kemiskinan itu.”
Dikatakan bahwa keadaan miskin yang benar
adalah jika si miskin tidak merasa puas dengan aspek
mana pun dari kemiskinannya selain dengan Dia yang
dibutuhkannya.
Abdullah ibnul Mubarak menyatakan : “Membuat
diri sendiri tampak kaya sedangkan ia dalam keadaan
miskin, adalah lebih baik daripada kemiskinan.”
Banan al-Mishry menuturkan : “Suatu ketika aku
sedang duduk-duduk di Mekkah, dan seorang pemuda
berada di depanku. Seorang laki-laki datang
kepadanya dengan membawa sebuah pundi-pundi
berisi uang dan meletakkannya di hadapan pemuda itu.
Pemuda itu berkata : “Aku tak membutuhkannya.”
Orang itu berkata : “Kalau begitu, bagi-bagikanlah
kepada orang-orang miskin.” Petang harinya kulihat
pemuda itu ada di lembah sedang mengemis. Aku
bertanya : “Alangkah baiknya jika engkau menyimpan
sedikit dari uang tadi untuk dirimu sendiri.” Dia
menjawab : “Siapa yang tahu kalau aku masih akan
terus hidup sampai petang ini.?”
332
Abu Hafs berkata : “Cara paling baik bagi seorang
hamba untuk menemui Tuhannya adalah dengan terus
menerus fakir kepada-Nya dalam setiap keadaan,
memathi Sunnah dalam semua amal perbuatan, dan
mencari rezeki dengan jalan yang halal.”
Al-Murta’isy berkomentar : “Yang paling baik adalh
bahwa cita-cita orang miskin itu tidak melampaui
langkah-langkahnya.”
Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary menuturkan :
“Ada empat orang yang merupakan model manusia
pada masa mereka. Yang pertama, yaitu Yusuf bin
Asbat, tidak mau menerima pemberian apa pun dari
saudara-saudaranya ataupun dari penguasa. Dia
mewarisi uang sebanyak tuju puluh ribu dirham dari
saudara laki-lakinya tapi dia tidak mau menerima satu
sen pun darinya. Ia hidup dengan menjual daun kurma.
Yang kedua, Abu Ishaq al-Fazzary, mau menerima
pemberian dari saudara-saudaranya ataupun dari
penguasa. Pemberian itu dihabiskannya untuk
kebutuhan orang-orang miskin yang kemiskinannya
tersembunyi dan yang tidak meminta-minta sedekah.
Adapun pemberian dari menguasa, maka itu
diberikannya kepada orang-orang yag patut
menerimanya di kalangan warga Tarsus. Yang ketiga ,
Abdullah bin Mubarak, mau menerima pemberian dari
saudara-saudaranya, lalu dibagi-bagikannya kepada
orang lain secara adil, tetapi ia tidak mau menerima
dari penguasa, Yang keempat, Makhlad bin-alHussain,
mau menerima pemberian dari penguasa, tapi tidak
dari saudara-saudaranya. Dia mengatakan : “Penguasa
333
tidak menganggap ada orang yang wajib untuk diberi,
sedangkan saudara-saudara menganggap ada.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq – semoga Allah swt.
merahmati – berkata : “Ada sebuah Hadits yang
mengatakan. “Orang yang merendahkan diri di
hadapan orang kaya dikarenakan kekayaannya, berarti
ia teleh kehilangan dua pertiga agamanya.: Ini
disebabakan bahwa seorang manusia terdiri dari hati,
lidah dan nafsu. Jika dia merendahkan diri dengan
nafsu dan lidahnya, maka dia kehilangan dua pertiga
agamanya. Tetapi jika dia merendahkan diri di hadapan
orang kaya itu dengan hatinya juga, maka dia
kehilangan seluruh agamanya.”
Dikatakan : “Seorang miskin dalam menjalani
kemiskinannya dituntut paling tidak agar dia memiliki
empat hal; ilmu yang akan menjadi pertimabngannya,
sikap zuhud yang akan mengendalikan dirinya,
keyakinan yang akan menguatkan imannya, dan dzikir
yang akan membawakan kegembiraan jiwanya.”
Dikatakan juga : “Orang yang menginginkan
kemiskinan untuk kemuliaannya, ia mati dalam
keadaan fakir. Barangsiapa ingin miskin agar tidak
disibukkan dengan selain Allah, akan mati dalam
keadaan kaya.”
Al-Muzayyin menyatakan : “Berbagai jalan kepada
Alalh swt. lebih banyak daripada bintang di langit. Tapi
sekarang tak satu pun diantaranya yang tersisa selain
kemiskinan dan kemiskinan adalah jalan yang terbaik
di antara jalan-jalan itu.”

334
Ketika ditanya tentang hakikat kemiskinan, Asy-
Syibly menjawab : “Hakikat kemiskinan adalah bahwa
si hamba tidak merasa puas selain Allah swt.”
Manshur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan : “Abu
Sahl al-Khasysyab al-Kabir mengatakan kepadaku :
“Kemiskinan adalah kemiskinan dan kehinaan.” Aku
menjawab : “Bukan, justru katakan, : “Kemiskinan dan
lumpur.” Aku membalas : “Bukan, kemiskinan dan
tahta Ilahi.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar tentang
Hadits nabi saw. :
“Hampir-hampir kefakiran itu menjadi kekufuran.”
(H.r. Abu Nu’aim dan Thabrani).
Maka Syeikh mengatakan : “Bahaya yang bisa
timbul dari sesuatu adalah berbandnig terbalik dengan
manfaat dan kebajikan yang terkandung di dalamnya.
Apa pun yang sangat bermanfaat dalam dirinya sendiri,
mengandung bahaya yang paling besar pada sisi
lainnya. Begitulah halnya dengan iman. Karena ia sifat
yang paling baik, maka kebalikannya adalah kekafiran.
Karena bahaya yang terkandung dalam kemiskinan
adalah bahwa ia bisa menjadi kufur kepada Allah swt.
menunjukkan bahwa kemiskinan adalah sifat yang
paling mulia.”
AL-Junayd mengaarkan : “Jika engkau bertemu
dengan seorng miskin, hadapilah ia dengan budimu,
bukan dengan ilmu mu. Kebaikan budi akan
mendekatkannya, sedang ilmu akan menakutkannya.”
Saya bertanya : “Wahai Abul Qasim, apakah ilmu
benar-benar menjauhkan orang miskin?” Dia menjawab
335
: “Ya, jika si orang miskin bersikap benar dalam
kemiskinannya, dan engkau mencurahkan ilmumu
kepadanya, maka ilmumu itu akan meleleh seperti
melelehnya timah kena api.”
Mudzaffar al-Qurmisainy berkata : “Orang miskin
adalah orang yang tak membutuhkan suatu kebutuhan
dirinya kepada Allah swt.” Ucapan ini mempunyai
makna yang samar-samar jika dipahami oleh orang
yang tak memahami tujuan sang Sufi. Ucapan ini
semata-mata menunjukkan dihentikannya mengajukan
tuntutan, berakhirnya pilihan, dan ridha terhadap apa
pun yang ditakdirkan Alalh swt.”
Abdullah bin Khafifi mengatakan : “Kemiskinan
berati tidak memiliki harta benda dan meninggalkan
aturan-aturan manusiawi.”
Abu Hafs berkata : “Kemiskinan tidaklah sempurna
bagi siapa pun sampai dia lebih mengutamakan
memberi daripada menerima. Kemurahan hati
bukanlah orang yang berpunya memberi kepada yang
tidak punya, melainkan orang yang tidak ebrpunya
memberi kepada orang yang punya.”
Ibnul Jalla menegaskan : “Seandainya tidak karena
adanya tujuan lebih agaug dalam tawadlu; niscaya
akan menjadi cara orng miskin untuk berjalan dengan
sikap penuh kebanggaan.”
Yusuf bin Asbat berkata : “Salam empatpuluh tahun
aku hanya memiliki dua lembar baju.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku melihat
seolah-olah Hari Kiamat sudah tiba. Sebuah suara
mengatakan : “Bahwa Malik Bin Dinar dan Muhammad
336
bin Wasi’ ke dalam surga.” Maka aku perhatikan siapa
di antara keduanya yang lebih dahulu msuk, dan
ternyata orang itu adalah Muhammad bi Wasi’. Ketika
aku bertanya mengapa dia didahulukan, dijelaskan
kepadaku : “Dia hanya memiliki selembar baju,
sedangkan Malik dua.”
Muhammad al-Masuhy berkata : “Orang miskin
adalah orang yang tidak membutuhkan terhadap
sesuatu pun bagi dirinya dari harta benda duniawi.”
Sahl bin Abdullah ditanya : “Kapankah orang miskin
bisa beristirahat?” Dia menjawab : “Jika dia tidak
mengharapkan apa pun bagi dirinya sendiri selain saat
kekiniannya.”
Di hadapan Yahya bin Mu’adz, orang-orang Sufi
berdiskusi soal kefakiran dan kekayaan, dia berkata :
“Bukanlah kemiskinan ata kekayaan yag memiliki bbot
di Hari Perhitungan. Hanya kesabaran dan syukurlah
yang akan ditimbang. Jadi kelak akan dikatakan; Orang
ini bersyukur, atau orang ini bersabar.”
Dikaakan Allah sw. Mewahyukan kepada sebgain
pra Nabi-Nya : “Jika kamu ingin mengetahui ridha-Ku
padamu, maka lihatlah bagaimana ridhanya si fakir
kepadamu.”
Abu Bakr bin Nashr az-Zaqqaq berkata : “Orang
yang tidak punya rasa takut kepada Allah swt. bersama
dengan kemiskinannya berarti seluruh makanan yang
dikonsumsinya benar-benar makanan haram.”
Dikatakan bahwa orang-orang miskin di pengajian-
pengajian Sufyan ats-Tsaury adalah laksana para
pangeran. Abu Bakr bin Thahir menyatakan, : Di antara
337
aturan-aturan orang miskin adalah bahwa dia tidak
punya keinginan, kalaupun dia berkeinginan juga,
jangan sampai keinginannya melebihi kebutuhannya.”
Ibnu Atha’ membacakan syair untuk para Sufi :
Meraka berkata, esok adalah hari raya. Apa yang
akan kau pakai?
Kukatakan, Jubah kehormatan yang diberi-Nya.
Yang mecurahkan cinta dengan penuh kemurahan
hati
Kemiskinan dan kesabaran, adalah pakaianku yang
di bawanya
Ada satu hati bagi kekasihnya, yaitu
Hari Jum’at dan hari Raya
Pakaian yang paling layak untuk menemui Kekasih
pada hari
Ziarah adalah pakaian yang dicintai-Nya.
Tahun-tahun penuh berkabung bagiku jika Kau tak
ada,
Wahai Harapanku,
Hari Raya adalah hari ketika aku melihat dan
mendengar suara-Mu.
Ketika ditanya tentang orang miskin sejati, Abu
Bakr al-Msihry menjawab : “Dia adalah orang yang
tidak memiliki sesuatu dan tidak pula berkeinginan
memiliki sesuatu.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Aku lebih menyukai
rasa fakir kepada Alalh swt. secara langgeng,
dibanding memasuki dunia Sufi dengan penuh takjub.”
Abu Abdullah al-Hushry menuturkan : “Abu Ja’far al-
Haddad bekerja selama duapuluh tahun, dengan
338
penghasilan satu dinar setiap hari. Uang itu
dibelanjakannya untuk orang-orang miskin sementara
dia sendiri berpuasa, setelah itu dia akan berkeliling
mencari sedekah setalah shalat maghrib untuk
berbuka puasa.
An-Nury menyatakan : “Tanda seorang miskin
adalah kerelaan manakala dia tidak punya apa-apa dan
memberi dengan murah hati manakala dia punya
banyak rezeki.”
Muhammad bin Ali al-Kattany berkata : “Ada
seorang pemuda bersama kami di Mekkah yang
memakai pakaian kumal dan bertambal-tambal> Dia
tidak pernah ikut serta dalam percakapan kami
ataupun duduk bersama kami. Dalam hati aku sangat
merasa sayang kepadanya. Suatu ketika aku diberi
uang duaratus dirham dari sumber yang halal. Uang itu
kubawa kepadanya. “Uang ini telah datang kepadaku
dari sumber yag halal. Belanjakanlah untuk
keperluanmu.” Saraya memandang kepadaku dengan
sikap merendahkan, dia mengungkapkan apa yang
selama ini tidak kukeetahui.” Saya membeli
kesempatan untuk bisa duduk bersama Alalh swt.
dalam pengabdian yang leluasa ini dengan harga tujuh
puluh ribu dinar dari harta benda dan kebun-kebun
saya. Sekarang Anda hendak menyesatkan saya dari
keadaan saya sekarang ini dengan uang itu ke tanah.”
Ia lalu berdiri dan menolaknya. Aku duduk dan
mengumpulkan uang itu dari tanah. Belum pernah aku
menyaksikan kegagahan seperti kegagahan pemuda

339
itu ketika ia berjalan pergi, ataupun kehinaan seperti
kehinaanku ketika aku mengumpulkan uang itu.”
Abu Abdullah bin Khafif mengatakan : “Aku belum
pernah diwajibkan membayar zakat fitrah pada akhir
Bulan Ramadhan selama empat puluh tahun,
sementara aku diterima dengan penuh penghormatan
di kalangan kaum terpilih maupun kaum awam.”
Ketika ad-Duqqy ditanya tentang perilaku buruk di
kalangan para fakir di hadapan Allah dalam urusan-
urusan mereka, dia berkata, “Perilaku buruk itu adalah
kejatuhan mereka dari upaya mencari hakikat menjadi
upaya mencari Ilmu.”
Khayr an-Nassaj menuturkan : Alu memasuki
sebuah masjid dan melihat ada seorang kafir di situ.
Ketika dia melihatku, dipegangnya bajuku sambil
memohon : “Wahai Syeikh, kasihanilah aku, karena
penderitaanku sangat besar!” Aku bertanya : “Apa
yang kau derita?” Dia menjawab : “Aku telah tidak lagi
diberi cobaan, dan selalu dalam keadaan sehat wal
afiat!.” Aku memandangnya, tiba-tiba ia telah
dibukakan sedikir harta dunia.”
Abu Bakr al-Warraq berkata : “Berbahagialah orang
yang miskin di dunia dan di akhirat.” Ketika ditanya
apa maksud perkataannya itu, dia menjawab :
“Penguasa di dunia tidak menunut pajak darinya, dan
Yang Maha Kuasa di akhirat tidak membuat hisab
dengannya.”

39.
TASAWUF
340
Kesucian (Shafa”) adalah sifat terpuji dalam setiap
ucapan, Lawannya, yakni kekotoran yang tercela.
Dari Yazid bin Abu Ziyad, dari Abu Juhaifah yang
menuturkan : “Pada suati hari rasulullah saw. keluar menemui
kami dengan roman wajah yang berubah, lalu beliau bersabda
:“
“Kesucian dunia telah lenyap, yang tinggal hanya
kekotoran. Hari ini, kematian adalah penghargaan bagi setiap
Muslim.” (H.r. Daraquthi, namun riwayat dari Jabir)>
Kata Sufi telah menjadi sebutan umum bagi kelompok ini.
Jadi seseorang dikatakan seoran Sufi dan kelompoknya
disebut Sufiyah. Orang yang berusaha menjadi Sufi
disebut mutashawwif, dan jumlahnya disebutmutashawwifah.
Tidak ada bukti etimologis ataupun analogis dengan kata
lain dalam bahasa Arab yang bisa diturunkan dari sebutan
Sufi. Penafsiran yang paling masuk akal adalah bahwa Sufi
banyak serupa dengan laqab (gelar).
Ada orang-orang gyang mengatakan bahwa kata Sufi
diambil dari kata souf (bulu). Jadi, Tashawwuf (tasawuf)
digunakan dengan artian “memakai kain bulu” sebagamana
kata taqammus digunakan dengan arti “memakai baju”
(qamis). Itu hanya satu panangan saja. Tapi sesungguhnya
kaum Sufi tidak mencirikan dirinya dengan memakai pakaian
dari bulu.
Ada pendapat mengatakan bahwa kaum Sufi
berhubungan dengan serambi (Shuffah) masjid Rasulullah
saw. Tetapi kata Shuffah tidaklah dihubungkan dengan Sufi.
Kelompok lain mengatakan bahwa kata Sufi berasal dari
kata shafa’, yang berarti “kemurnia”. Pengertian kata Sufi dan
341
shafa’ tidaklah mungkin ditinjau dari sudut bahasa. Sebagian
orang mengatakan bahwa kata Sufi berasal dari shaff, yang
berarti barisan, seakan-akan dikatakan hati mereka ada di
barisan depan dalam muhadharah di hadapan Allah swt. Ini
memang benar dalam arti. Namun kata Sufi tidak bisa
menjadi bentuk fa’il dari kata shaff.
Kesimpulannya, kelompok ini begitu terkenal sehinga
tidaklah perlu mencari analogi atau penurunan akar kata
untuk sebutan bagi mereka.
Setiap orang yang berbicara tentang arti tasawuf, selalu
bertanya, apa arti tasawuf?” Dan siapa yang disebut Sufi?”
Setiap ungkapan selalu dikaitkan denganpengamalamannya
sendiri. Kami akan menyebutkan sebagia ucapan mereka
secara sekilas ssaja. :
Ketika Muhammad al-Jurairiy ditanya tentang tasawuf, dia
menjelaskan : “Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang
mulia dan keluar dari setiap akhllak yang tercela.”
Al-Junayd ditanya soal Tasawuf, ia menjawab : “Tasawuf
artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan
menghidupkan dirimu dengan-Nya.”
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, ketika ditanya tentang
Sufi menjawab : “Kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun
yang menerimanya, dan juga tak menerima siapapun.”
Abu Hamzah al-Baghdady berkata : “Tanda Sufi yang
benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah
mulia, dan dia bersembunyi setelah terkenal. Tanda seorang
Sufi palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi
obyek penghormatan tinggi setelah mengalami kehinaan, dan
dia menjadi masyhur setelah tersembunyi.”

342
Amr bin Utsman al-Makky al-Qashshab mengatakan :
“Tasawuf adalah ahlak mulia, dari orang yang mulia, di
tengah-tengah kaum yang mulia.”
Ketika ditanaya tentag tasawuf, Sumnun berkata :
“Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula
dimiliki oleh apa pun.”
Ruwaym ditanya tentang tasawuf : “Tasawuf artinya
menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan ap pun
yang dikehendaki-Nya.”
Al-Junay ditanya tentagn Tasawuf : “Tasawuf adalah
engkau berada semata-mata bersama Allah Swt. tanpa
keterikatan apa pun.”
Ruwaym bin Ahmad berkata : “Tasawuf didasarkan pada
tiga sifat : memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat
hakikat dengan memberi, dengan cara mendahulukan
kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri; dan
meninggalkan sikap menentang dan memilih.”
Ma’ruf al-Kahkhy menjelaskan : “Tsawuf artinya memihak
pada hakikat-hakikat, dan memutuskan harapan dari semua
yang ada pada makhluk.”
Hamdun al-Qashshar berkata : “Bersahabtlah dengan para
Sufi, karena mereka melihat alasan-alasan untuk memaafkan
perbuatan-perbutan yang tak baik, dan bagi mereka
perbuatan-perbuatan baik pun bukan sesuatu yang besar,
bahkan mereka bukan menganggapmu besar karena
mengerjakannya.”
AL-Kharraz menjawab, ketika ditanya tentang hali tasawuf
: “Mereka adalah kelompk manusia yang mengalamai
pelapangan, yang mencampakkan segala milik mereka
sampai mereka kehilangan segala-galanya. Kemudain mereka
343
diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya :
“Ingatlah!” Menangislah kalian karena Kami.”
Al-Junayd berkata : “Tasawuf adalah perang tanpa
kompromi.” Dia berkata pula : “Para sufi adalah anggota dari
suatu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang
selain mereka.” Selanjutnya dia juga menjelaskan lagi :
“Tasawuf adalah dzikir bersama ekstase yang disertai
penyimakan, dan tinndakan yang didasari Sunnah.”
Al-Junayd menyatakan : “Kaum Sufi adalah seperti bumi,
selalu semua kotoran dicampakkan kepadanya, namun tidak
menumbuhkan kecuai segala tumbuhan yang baik. Dia juga
mengatakan : “Seorang Sufi adalah bagaikan bumi, yang
diinjak orang saleh maupun pendosa; Juga seperti mendung
memayungi segala yang ada; “Seperti air hujan, mengairi
segala sesuatu.” Dia melanjutkan : “Jika engkau melihat
seorang Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan
lahiriahnya, maka ketahuilah wujud batinnya rusak.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Sufi adalah orang yang
memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.”
Ahmad an-Nury berkata : “Tanda seorang Sufi adalah dia
merasa rela manakala tidak punya, dan peduli orang lain
ketika ada.”
Muhammad bin Ali al-Kattany menegaskan : “Tasawuf
adalah akhlak yang baik. Barangsiapa yang melebihimu dalam
kahlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam tasawuf.”
Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary mengatakan :
“Tasawuf adalh tinggal di pintu sang kekasih sekalipun engkau
di usir.” Dia juga mengatakan : “Tasawuf adalah sucinya
taqarrub setelah kotornya kejauhan dari-Nya.”

344
Dikatakan : “Orang yang paling kotor adalah seorang Sufi
yang amat kikir.”
Dikatakan : “Tasawuf adalah tangan yag kosong dan hati yang
baik.”
Asy-Syibly mengatakan : “Tasawuf adalah duduk bersama
Allah swt. anpa hasrat.”
Dikatakan : “Sufi adalah orang yang mengisyaratkan dari
Allah swt, sedangkan manusia mengisyaratkan kepada Alalh
swt.”
Asy-Syibly mengatakan : Sufi terpisah dari manusia dan
bersambung dengan Allah swt. sebagaimana difirmankan
Allah swt. kepada Musa : “Dan Aku telah memilihmu untuk
diri-Ku.” (Qs. Thaha :41). Dan memisahknnya dari yang lain.
Kemudian Allah swt. berfirman kepadanya : “Engkau tidak
akan melihat-Ku.” Asy-Syibly juga mengatakan : “Para Sufi
adalah anak-anak dipangkuan Tuhan Al-Haq.” Katanya :
“Tasawuf adalah kilat yang menyala.” Dan “Tasawuf terlindung
dari memandang makhluk.”
Ruway berkata : “Para Sufi akan tetap penuh dengan
kebaikan selama mereka bertengkar satu dengan yang lain.
Tapi segera setelah mereka berdamai, maka tak ada lagi
kebaikan pada mereka.”
Al-Jurairy mengatakan : “Tasaswuf berarti kesadaran atas
keadaan-keadaan diri sendiri dan berpegang pada adab.”
Al Muzayyin menegaskan : “Tasawuf adalah kepasrahan
kepada Al-Haq.”
Askar an-Naksyaby menyatakan : “Seorang Sufi tidaklah
dikotori oleh sesuatu pun, tapi menyucikan segala sesuatu.”
Dikatakan : “Pencarian tidaklah meletihkan sang Sufi, dan
hal-hal duniawi tidaklah mengganggunya.”
345
Ketika Dzun Nuun al-Mishry ditanya tentang orang-oarng
Sufi, dia menjawab : “Mereka adalah kaum yang
mengutamakan Allah swt. di atas segala-galanya dan yang
diutamakan oleh Allah swt. di atas segala makhluk yang ada.”
Muhammad al-Wasithy mengatakan : “Mula-mula para
Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan, dan
sekarang tak ada sessuatu pun yang tinggal selain
kesedihan.”
An-Nury ditanya tentang Sufi, dan dia menjawab : “Sufi
adalah manusia yang menyimak pendengaran dan yang
mengutamakan sebab-sebab yang diridhai.”
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thausy berkata : “Aku bertanya
kepada Ali-al-Hushry.’ Sipakah, menurutmu sufi itu?” Dia
menjawab : “Yang tidak dibawah bumi dan tidak dinaungi
langit.” Dengan ucapannya, menurut saya, ini al-Hushry
merujuk pkepada nuansa keleburan.”
Dikatakan : “Sufi adalah orang yang manakala ddisuguhi
dua keadaan atau dua akhlak yang baik, dia akan memilih
yang lebih baik diantaranya.”
As-Syibly ditanya : “Mengapa para Sufi itu disebut sufi?”
Dia menjawab : “Hal itu karena adanya sessuatu yang
membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya,
niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”
Ahmad ibnul Jalla’ ditanya : “Apakah yang disebut Sufi?”
Dia menjawab : “Kita tidak mengenal mereka melalui
prasyarat ilmiah, namun kita tahu bahwa mereka adalah
orang-orang yang miskin, sama sekali tak memiliki sarana-
sarana duniawi. Mereka bersamma Allah swt. tanpa terikat
pada suatu tempat, tetapi Allah swt. tidak menghalanginya
dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi.”
346
Abu Ya’qub al-Mazabily menjelaskan : “Tasawuf adalah
keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.”
Abul Hasan as-Sirwany mengatakan : “Sufi adalah yang
bersama ilham, bukan dengan wirid-wirid yang
menyertainya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Yang terbaik untuk
diucapkan tentang masalah ini adalah : “Iilah jalan yang cocok
kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt.
untuk menyapu kotoran binatang.”
Abu Ali pada suatu hari menyatakan : “Seandinya sang
fakir tak punya apa-apa lagi yag tersisa selain ruhnya, dan
ruhnya itu ditawarkannya kepada anjing-anjing di pintu ini,
niscaya tak seekor pun yang akan menaruh perhatian
kepadanya.”
Syeikh Abu Sahl ash-Sha’luky berkata : “Tasawuf adalah
berpaling dari sikap menetang ketetapan Allah swt.”
Al-Hushry berkomentar : “ Sang Sufi tiada setelah
ketiadaannya, dan tidak pula tiada setelah keberadannya.”
Ucapan ini tidak mudah dipahami. Kata-kata : “Dia tiada
setelah ketiadaannya,” berarti bahwa setelah cacat-cacatnya
hilang , cacat-cacat itu tidak akan kembali. Perkataan. : “Tidak
pula dia tiada setelah keberadaanya,” berarti bahwa dia sibuk
bersama Alalh swt. tidak akan gugur karena gugurnya
makhluk. Sluruh peristiwa dunia tidaklah mempengaryhinya.
Dikatakan : “Sang Sufi terhapuskandalam kilasan yang
diterimanya dan Alalh swt.”
Dikatakan pula : ‘Sang Sufi terkungkung dalam
pelaksanaan Rububiyah dan tertutupi melalui pelaksanaan
ubudiyah.”

347
Juga dikatakan : “Sufi itu tidak berubah. Tapi seandainya
dia berubah, dia tidak akan ternodai.”
40.
ADAB
Allah swt. berfirman :
“Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang
dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.” (Qs. An-Najm :
17).
Dikatakab bahwa ayat ini berarti : “Nabi melaksanakan
adab di hadirat Allah.”
Allah swt. berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu.” (Qs. At-Tahrim :6).
Mengomentari ayat ini, Ibnu Ababs mengatakan :
“Didiklah dan ajarilah mereka adab.”
Diriwaayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. telah
bersaabda : “Hak seorang anak atas bapaknya adalah si
Bapak hendaknya memberinya nama yang baik, memberinya
susu yang murni dan banyak, serta mendidiknya dalam adab
dan akhlak.”
Sa’id bin al-Musayyab berkata : “Barangsiapa yang tidak
mengetahui hak-hak Allah swt. atas dirinya dan tidak pula
metetahui dengan baik perintah-perintah dan larangan-
larangan-Nya, berarti tersingkir dari adab.”
Nabi saw. bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah mendidik dalam adab dan
menjadikan sangat baik pendidikanku itu.” (H.r. Baihaqi).

348
Esensi adab adalah gabungan dari semua akhlak yang
baik. Jadi orang yang beradab orang yang pada dirinya
tergabung perilaku kebaikan, dari sini munculah istilah
ma’dubah yang berarti berkumpul untuk makan-makan.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Seorang ghamba
akan mencapai surga dengan mematuhi Allah swt. Dan akan
mencapai Allah swt. dengan adab menaati-Nya.” Beliau juga
mengatakan : “Aku melihat seseorang yang mau
menggerakkan tangannya untuk menggaruk hidungnya dalam
shalat, namun tangannya terhenti.”
Jelas bahwa yang beliau maksudkan adalah diri beliau
sendiri. Syekh Abu Ali ad-Daqqaq tak pernah bersandar pada
apa pun jika sedang duduk. Pada suatu hari beliau sedang
berada dalam suatu kumpulan, dan saya ingin menenpatkan
sebuah bantal di belakang beliau, sebab saya melihat beliau
tidak punya sandaran. Setelah saya meletakkan bantal itu di
belakangnya, beliau lalu bergerak sedikit untuk menjauhi
bantal itu. Saya mengira beliau tidak menyukai bantal itu
karena tidak dibungkus sarung bantal. Tetapi beliau lalu
menjelaskan : “Aku tidak menginginkan sandaran>” Seteelah
itu saya merenung, ternyata beliau memang tidak pernah
mau bersandar pada apa pun.”
Al-Jalajily Bashry berkomenetar : “Tauhid menuntut
keimaman. Jadi orang yang tidak punya iman tidak bertauhid.
Iman menuntut syariat. Jadi orang yang tidak mematuhi
syariat berarti tak punya iman dan tauhid. Mematuhi syariat
menuntut adab. Jadi orang yang tak mempunyai adab tidak
mematuhi syarita, tidak memiliki iman dan tahud.”
Ibnu Atha’ berkata : “Adab berarti terpaku dengan hal-hal
yang terpuji.” Seseorang bertanya : “Apa artinya itu?” Dia
349
meenjawab : “Maksudku engkau harus mempraktikan adab
kepada Allah swt. baik secara lahir dan batin. Jika engkau
berperilaku demikian, engkau memiliki adab, sekalipun
bicaramu tidak seperti bicaranya orang Arab.”
Kemudian dia membacakan Syair :
Bila berkata, ia ungkapkan dengan manisnya
Jika diam, duhai cantinya
Bdullah al-Jurairy menuturkan : “Selma duapuluh tahun
dlam khalwatku, belum pernah aku melonjorkan kaki satu kali
pun ketika duduk. Melaksanakan adab pada Allah swt. adalah
lebih utama.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Orang gyang
bersekutu dengan raja-raja tanpa adab, ketololannya akan
menjerumuskan pada kematian.”
Diriwayatkan ketika Ibnu Sirin itanya : “Adab mana yang
lebih mendekatkan kepada Allah swt?” Dia menjawab :
“Ma’rifat mengenai Ktuhanan-Nya, beramal karena patuh
kepada-Nya, dan bersyukur kepada-ya atas kesejahteraan
dari-Nya, serta bersabar dalam menjalani penderitaan.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Jika seoran ‘Arif
meninggalkan adab di hadapan Yang Dima’rifati, niscaya dia
akan binasa bersama mereka yang binasa.
Syeih Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Meninggalkan
adab mengakibatkan pengusiran. Orang yang berperilaku
buruk dipelataran akan dikirim kembali ke pintu gerbang.
Orang gyang berperilaku buruk di pintu gerbang akan dikirim
untuk menjaga binatang.”
Diriwayatkan kepada Hasan al-Bashry : “Begitu banyak
yang telah dikatakan tentang berbagai ilmu sehubungan
dengan adab. Yang mana diantaranya yang paling bermanfaat
350
di dunia dan paling efektiff untuk akhirat?” Dia menjawab :
“Memahami agama, zuhud di dunia , dan mengetahui apa
kewajiban-kewajiban terhadap Allah swt.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Para sufi adalah mereka
yang meminta pertolongan Alalh swt. dalam melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan yang senantiasa memelihara adab
terhadap-Nya.”
Ibnul Mubarak berkta : “Kita lebih membutuhkan sedikit
adab daripada banyak pengetahuan.” Dia juga mengatakan :
“Kita mencari ilmu tentang adab setelah orang-orang beradab
meninggalkan kita.”
Dikatakan : “Tiga perkara yang tidak akan membuat orang
merasa asing : 1). Menghindari orang yang berakhlak buruk;
2). Memperlihatkan adab; 3). Mencegah tindakan yang
menyakitkan.”
Syeikh Abu Abdullah al-Maghriby membacakan syair
berikut ini, tentag adab :
Orang asing tak terasing
Bila dihiasi tiga pekerti
Menjalan adab, diantaranya,
Dan kedua berbudi baik.
Dan ketiga menjauhi orang-orang berakhlak buruk.
Ketika Abu Hafs tiba di Baghdad, al-Junayd berkata
kepadanya : “Engkau telah mengajar murid-muridmu untuk
berperilaku seperti raja-raja!>” Abu Hafs menjawab :
“Memperlihatkan adab yang baik dalam lahiriahnya,
merupakan ragam dari adab yang baik dalam batinnya.”
Abdullah ibnul Mubarak berkata : “Melaksanakan adab
bagi seorang ‘arif adalah seperti halnya Taubatnya pemula.”

351
Manshur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan : “Seseorang
mengharapkan kepada seorang Sufi : “Alangkah jeleknya
adabmu!.” Sang Sufi menjawab : “Aku tidak mempunyai adab
buruk.” Orang itu bertanya : “Siapa yang mengajarmu adab?”
Si Sufi menjawab : “Para Sufi.”
Abu an Nashr as-Sarraj mengatakan : “Manusia terbagi
tiga kategori dalam hal adab : “1) Manusia duniawi, yang
cenderung mempriorotaskan adabnya dalam hal kefasihan
bahasa Arab dan sastra, menghafalkan ilmu-ilmu
pengetahuan, nama-nama kerajaan, serta syair-syair Arab; 2).
Manusia religius yang mempriortaskan dalam olah jiwa,
mendidik fisik, menjaga batas-batas yang didtetapkan Allah,
dan meninggalkan hawa nafsu; 3). Kaum terpilih (ahlul
Khususiyah), yang berkepdulian pada pembersihan hati,
menjaga rahasia, setia kepada janji, berpegang pada kekinian,
menghentikan perhatian kepada bisikan-bisikan sesat,
menjaankan adab pada saat-saat memohon, dan dalam
tahapan-tahapan kehadiran dan taqarrub dengan-Nya.”
Diriwaytakan bahwa Sahl bin Abdullah mengatakan :
“Orang yang gmenundukkan jiwanya dengan adab berarti
telah menyembah Allah dengan tulus,”
Dikatakan : “Kesempurnaan adab tidak bisa dicpaai
kecuali oleh para Nabi – Semoga Allah melimpahkan salam
kepada mereka --- dan penegak kebenaran (shiddiqin).”
Abdullah ibnul Mubarak menegaskan : “Orang berbeda
pendapat mengenai apa yagn disebut adab. Menurut kami,
adab adalah mengenal diri.”
Dulaf asy-Syibly berkata : “Ketidak mampuan menahan
diri dalam berbicara dengan Allah swt. berarti meninggalkan
adab.”
352
Dzun Nuun al-Mishry berkomentar : “Adab seorang ‘arif
melampaui adab siapapun. Sebab Allah yang dima’rifati yang
mendidik hatinya.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Allah swt. berfirman :
“Barangispaa yang Aku niscayakan tegak bersama Asma dan
Sifat-Ku, maka Aku niscayakan adab padanya. Dan siapa yang
Ku-buka padanya jauh dari hakikatDzat-Ku, maka Aku
niscayakan kebinasaan padanya. Pilihlah, mana yang engkau
sukai; adab atau kebinasaan.”
Suatu hari Ibnu Atha’ yang menjulurkan kakinya ketika
sedang berada bersama murid-muridnya, berkata :
“Meninggalkan adab di tengah-tengah kaum yang memiliki
adab adalah tindakan yang beradab.” Statemen ini didukung
oleh Hadits yang menceritakan Nabi saw. sedang berada
bersama Abu Bakr dan Umar. Tiba-tiba Utsman datang
menjenguk beliau. Nabi menutupi paha beliau dan bersabda.
“Tidakkah aku malu di hadapan orang yang malaikat pun malu
di hadapannya.??” Dengan ucapannya itu, Nabi menunjukkan
bahwa betatapun beliau menghargai keadaan Utsman, namun
keakraban antara beliau dengan Abu Bakr dan Umar lebih
beliau hargai. Mendekati makna kontseks ini mereka bersyair
berikut :
Dalam diriku penuh santun nan ramah,
Maka, bila berhadapan dengan mereka
Yang memiliki kesetiaan dan kehormatan,
Kubiarkan jiwaku mengalir wujudnya yang spontan.
Aku berbicara apa adanya
Tanpa malu-malu

353
Al-Junayd menyatakan : “Manakala cinta sang pecinta
telah benar, ketentuan-ketentuan mengenai adab telah
gugur.”
Abu Utsman al-Hiry mengatakan : “Makala cinta telah
menghujam sang pecinta, adab akan menjadi
keniscayaannya.”
Ahmad an-Nury menegaskan : “Barangsiapa tidak
menjalankan adab di saat kini, maka sang waktunya akan
dendam padanya.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Jika seorang pemula
dalam Jalan Sufi berpaling dari adab, maka dia akan
dikembalikan ke tempat asalnya.”
Mengenai ayat :
“Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru kepada
Tuhannya,’ (Ya Tuhan), sesungguhnya aku telah ditimpa
penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di
antara semua yang penyayang.” (Qs. Al-Anbiya :83).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan penjelasan : “Ayub
tidak mengatakan : “Kasihanilah aku.” (Irhamny), semata
karena beradab dalam berbicara pada Tuhan.”
Begitu juga Isa as. Mengatakan :
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya
mereka adalah hamba-hamba-Mu.” (Qs. Al-Maidah :118).
“Seandainya aku pernah mengatakannya, maka tentulah
Engkau telah mengetahuinya.” (Qs. Al-Maidah :116).
Komentar Syeikh ad-Daqqaq : “Nabi Isa mengucapkan “
Aku tidak menyatakan’ (lam aqul), semata karena menjaga
adab di hadapan Tuhannya.”
Al-Junayd menuturkan : “Pada hari Jum’at di antara orang-
orang salihin datang kepadaku, dan meminta : “Kirimlah salah
354
seorang fakir kepadaku untuk memberikan kebahagiaan
kepadaku dengan makan bersamaku.” Aku pun lalu melihat ke
sekitarku, dan kulihat seorang fakir yang kelihatan lapar.
Kupanggil dia dan kukatakan kepadanya : “Pergilah bersama
syeikh ini dan berilah kebahagiaan keapdanya.” Tak lama
kemudian orang itu kembali kepadaku dan berkata : “Wahai
Abu; Qasim, si fakir itu hanya makan sesuap saja dan pergi
meninggalkan aku!” Aku menjawab : “Barangkali Anda
mengatakan sesuatu yagn tak berkenan pada benaknya.” Dia
menjawab : “Aku tidak mengatakan apa-apa.”
Aku pun menoleh, tiba-tiba si fakir duduk di dekat kami
dan aku bertanya ke padanya : “Mengapa engkau tidak
memenuhi kegembiraannya?” Dia menjawab : “Wahai Syeikh,
saya meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad tanpa makan
sesuatu pun. Saya tidak ingin kelihatan tak sopan di hadapan
Anda karena kemiskinan saya, tetapi ketika Anda memanggil
saya, saya gembira karena Anda mengeathui kebutuhan saya
sebelum saya mengatakan apa-apa. Saya pun pergi
bersamanya, sambil mendoakan kebahagiaan surga baginya.
Ketika saya duduk di meja makannya, dia menyuguhkan
makanan, dan berkata, Makanlah ini, karena aku menyukainya
lebih dari uang sepuluh ribu dirham.” Katika saya mendengar
ucapannya itu, tahulah saya bahwa citarasanya rendah sekali.
Karenanya, saya tak suka makan makanannya.” Aku
menjawab : “Tidakkah kau telah mengatakan kepadamu
bahwa engkau bertindak tak beradab dengan tidak
membiarkannya bahgia?” Dia berkata : “Wahai Abul Qasim,
saya berTaubat!.” Maka aku pun menyuruhnya kembali
kepada orang saleh itu dan menggembirakan hatinya.”

355
41.
TATA ATURAN BEPERGIAN

Allah swt. berfirman :


“Dia-lah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di
daratan dan (berlayar) di lautan.” (Qs. Yunus :22).
Riwayat dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. apabila
menaiki unta untuk bepergian, selalu bertakbir tiga kali,
kemudian membaca :
“Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini
bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu
menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada
Tuhan kami.” (Qs. Az-Zukruf : 13-4).
Kemudian dialnjutkan dengan doa :
“YA Allallh, sesungguhnya kami bermohon kepada-Mu,
agar dalam bepergian kami senantiasa dipenuhi kebajikan dan
takwa, melakukan perbuatan yang Engkau ridhai, dan
mudahkanlah kami dalam perjalanan kami. Ya Allah, Engkau-
lah yang menjadikan Pendamping dalam bepergian, sebagai
Khalifah bagi keluarga dan harta. YA Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, dan dari
kebinasaan yang cepat, dan dari keburukan pandang pada
harta dan keluarga.” Apabila Nabi pulang, selalu
mengucapkan pada istri-istrinya, dan ditambah dengan doa :
“(kami) orang yang kembali, tergolong orang yang berTaubat,
dan kepada Tuhan kami, sama-sama memuji (H.r. Muslim).
Karena soal bepergian sering disebut oleh Kaum Sufi,
maka kami secara khusus membuat bab dalam Risalah ini,
mengingat masalah bepergian termasuk masalah besar bagi
mereka. Tampaknya di antara kaum Sufi sendiri terjadi
356
perbedaan. Ada di antara mereka yang memprioritaskan
berdiam diri di rumah, daripada bepergian, kecuali dengan
suatu tujuan, seperti naik haji. Namun pada umumnya mereka
lebih banyak diam di rumah, seperti al-Junayd, Sahl bin
Abdullah, Abi Yazid al-Birhamy, Abu Hafs dan yang lain. Tetapi
juga ada yang lebih senang bepergian. Hal demikian dilakukan
sampai akhir hayatnya, seperti Abu Abdullah al-Maghriby,
Ibrahim bin Adham dan yang lainnya. Rata-rata mereka
bepergian pada awal masa mudanya, ketika menjalani
perilaku ruhani, kemudian akhirnya berdiam diri, tidak lagi
pergi pada akhir perjalanan ruhaninya, seperti yang dilakukan
Sa’id bin Ismail al-Hiry, Dulaf asy-Syibly dan yang lain. Masing-
masing memiliki prinsip, dimana tharikatnya mereka bangun.
Perlu diketahui, bahwa bepergian itu ada dua macam :
Pertama : pergi secara fisik, yaitu berpindah dari satu tempat
ke tempat lain. Dan kedua, bepergian secara ruhani, yaitu
mendaki dari satu tangga sifat ke sifat lain. Banyak orang
yang memandang bepergian dengan fisik mereka, dan sedikit
sekali pandangan tentang bepergian melalui hati mereka.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata :
“Ada seorang Syeikh dan kalangan Sufi di sebuah desa di luar
Naisabur. Ia memiliki beberapa karya tulis. Suatu ketika
beberpa orang bertanya padanya : ‘Apakah engkau bepergian,
wahai syeikh?” Syeikh itu menjawab : Bepergian di bumi atau
bepergian ke langit?” Kalau bepergian di muka bumi, tidak.
Tapi kalau bepergian ke langit, memang benar.”
Saya juga mendengar Syeikh Abu Ali berkisah : “Suatu
hari, sebagian fakir datang padaku ketika aku di Marw. Si fakir
itu berkata padaku : “Aku telah menempah perjalanan jauh
yang meletihkan, hanya untuk menemuimu.’ Aku
357
menjawab : Sebenarnya Anda cukup selangkah saja, kalau
Anda mau pergi dari dirimu sendiri.”
Kisah-kisah bepergian mereka bermacam-macam, baik
dalam ragam maupun tingkah laku mereka. Ahnaf al-Hamdani
berkata, : “Aku berada di tengah padang pasir dalam keadaan
sendirian dan sangat lelah, kemudian aku mengangkat
tangan, sembari berdoa : “Ya Tuhan, sungguh suatu saat yang
letih, padahal aku datang untuk menjadi tamu-Mu.” Tiba-tiba
muncul intuisi dalam hatiku : “Siapa yang mengundang
kamu.” Aku berkata : “Oh Tuhan, adalah kerajaan yang
termasuk di sana Thufaily.” Muncul kembali bisikan dari
belakangku. Aku menoleh, tiba-tiba ada seorang Badui di atas
kendaraannya, sambil berucap : “Hai orang ajam, mau ke
mana kamu!” Kukatakan : “Menuju ke Mekkah al Mukarramah,
semoga Allah swt. menjaganya.” Si Badui itu berujar, :
“Apakah Allah mengundangmu?” Aku menjawab : “Aku tidak
tahu.” Selanjutnya orang itu berkata : “Bukanlah Allah swt.
berfirman : ..... bagi orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah?” (Qs. Ali Imran :97). Kukatakan
padanya : “Kerajaan kan luas termasuk Thufaily.” Tiba-tiba ia
menyahut : “Wahai Thufaily, ternyata adalah engkau. Apakah
engkau berkenan untuk diantar unta?” Kujawab : “Ya!” Lelaki
Badui itu turun dari kendaraannya dan memberikan unta itu
padaku, dan berkata, : “Berjalanlah di atas unta.”
Sebagian para fakir berkata kepada Muhammad al-
Kattany : “Berilah aku wasiat.” Jawab al-Kattany : Tekunlah
kamu, agar setiap malam menjadi tamu masjid, dan kamu
tidak mati kecuali di antara dua tempat itu.”
Ali-al-Hushry berkata : “Sekali duduk lebih baik dibanding
seribu argumentasi. Yang dimaksud dengan sekali duduk,
358
adalah upaya cita-cita terkumpul menurut sifat penyaksian.
Sepanjang umurku, sungguh yang demikian lebih baik
daripada seribu argumentasi menurut sifat kegaiban.”
Muhammad bin Ismail al-Farghany berkata : “Kami
bepergian selama kira-kira duapuluh tahun, saya dan Abu
Bakr az-Zaqqaq serta Muhammad al-Kattany. Selama itu kami
tak pernah bergaul atau bercampur dengan sesama orang.
Bila kami datang ke suatu negeri, --- kalau di sana ada
seorang syeikh – kami membei salam dan mengikuti
majelisnya hingga malam hari, kemudian kami kembali ke
masjid. Semetara Muhammad al-Kattay selalu shalat dari awal
hingga akhir malam, mengkhatamkan Al-Qur’an. Sedangkan
Az-Zaqqaq duduk menghadap kiblat. Aku sendiri bertafakur,
hingga dini hari. Kami bersama shalat fajar, dengan lebih
dahulu wudhu pada sepertiga malam terakhir. Bila ada orang
yang masih tidur, kami melihatnya.”
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai etika bepergian,
katanya : “Hendaknya cita-citanya tidak melampaui
langkahnya. Bila di mana saja hatinya ingin berhenti, di
sanalah tempat tinggalnya.”
Diriwayatkan dari Malik bin Dinar yang berkata : “Allah
swt. memberi wahyu kepada Musa as : “Ambillah dua sandal
dari besi, dan tongkat dari besi. Kemudian hentakkan di muka
bumi, dan raihlah kebajikan dan pelajaran, sampai kedua
sandal menjadi robek dan tongkat terbelah.”
Dikatakan : “Muhammad bin Ismail al-Maghriby
senantiasa melancong disertai para murid-muridnya. Ketika
sedang ikhram, dan sudah tahalul dari ihramnya, ia ihram
untuk berikutnya. Sementara bajunya tak pernah kotor,
kukunya tak pernah panjang, begitu pula rambutnya.
359
Sedangkan murid-muridnya berjalan di malam hari,
dibelakangnya. Apabila salah seorang di antara mereka ada
yang menyimpang dari jalan yang dilalui, ia selalu menegur :
“Hai Fulan, sebelah kananmu, hai si Fulan! Sebelah kirimu. Ia
pun tidak pernah menjulurkan tangannya pada hal-hal yang
bisa diraih oleh manusia. Makanannya hanya kar tumbuh-
tumbuhan yang diambil kemudian dipotong untuk dimakan.
Bahkan dikisahkan, bila ada teman yang berkta padanya :
“Berdirilah.” Ia selalu menjawab : “Kemana?” Maka ia tak
punya teman.”
Seorang penyair berdendang :
Bila mereka minta bantuan
Tidaklah meminta orang yang memanggil mereka
Di mana pun suatu peperangan
Ataukah di temepat manapun juga.
Diriwayatkan dari Abu Ali ar-Ribathy, berkata : “Aku
menemani Abdullah al-Maruzy, dan ia sedang memasuki
padang pasir tanpa bekal maupun kendaraan, sebelum aku
menemaninya. Ketika aku telah menemani, ia berkata
kepadaku :
“Mana yang lebih Anda cintai, Anda pimpinannya atau
aku.”
“Tidak, aku lebih senang Anda saja.” Kataku.
“Kalau begitu Anda harus patuh.”
“Ya” jawabku.
Kemudian ia mengambil keranjang untuk ditempati bekal,
lalu keranjang itu ia panggul di atas punggungnya. Bila aku
minta beban itu dengan kataku : “Mana, berikan keranjang itu,
aku bawakan.” Pintaku. Ia lantas menjawab : “Akulah
pemimpin, dan Anda harus patuh.”
360
Tiba-tiba suatu malam turun hujan hingga pagi. Hujan itu
membasahi kepalaku, sementara kain penutup miliknya ia
bentangkan untuk menghalangi air hujan padaku. Aku berkata
dalam hatiku : “ah, celaka bila aku mati, padahal belum
kukatakan padanya : “Engkaulah pemimpin!.” Lalu ia berkata
padaku : “Bila Anda bersahabt dengan orang lain, maka
temanilah ia seperti Anda melihat bagaimana aku
menemanimu.”
Seorang pemuda datang pada Ahmad bin Muhammad ar-
Rudzbary. Ketika ia hendak keluar, ia berkata : “Syeikh
mengatakan sesuatu. “Hai anak muda, mereka tidak
berkumpul karena janji, tidak pula berpisah melalui
musyawarah.”
Abu Abdullah an-Bashibainy berkisah : “Aku mengembra
selama tiga puluh tahun, tak pernah sekalipun aku menambal
pakaianku yang sobek. Aku juga tak pernah mampir ke suatu
tempat yang kuketahui, bahwa di tempat itu ada seorang
teman. Aku tak pernah membiarkan seseorang yang
membawa beban, bila ia bersamaku.”
Ketahuilah, para sufi saling menepati adab penghadiran
jiwa melalui mujahadah. Kemudian mereka ingin
menyandarkan sesuatu pada mujahadah itu. Lalu mereka
menyandarkan aturan-aturan bepergian atau pengembaraan
pada cara seperti itu, sebagai olah jiwa untuk keluar dari
segala hal yang dimaklumi, dan membawanya untuk berpisah
dengan segala pengetahuan, agar senantiasa hidup bersama
Allah swt. tanpa ketergantungan dan perantara. Dan mereka
sama sekali tidak pernah meninggalkan wirid-wiridnya
sekalipun dalam masa pengembaraannya. Mereka berkata :
“Kemurahan diberikan pada orang yang bepergian karena
361
darurat. Sedangkan kita, tidak punya kesibukan sama sekali,
dan tentunya tidak ada darurat dalam bepergian kita.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Sekali waktu, aku pernah
merasa tak tahan di padang pasir, sampai aku merasa putus
asa. Tiba-tiba mataku melihat rembulan di siang hari itu. Di
sana tertulis ayat :
“Maka, Allah akan memberi kecukupan kepada mereka.”
(Qs. Al-Baqarah :137).
Sejak saat itu, aku menjadi bebas dan terbuka.”
Abu Ya’kub as-Susy berkata : “Sorang musafir butuh
empat hal dalam bepergiannya : ilmu sebagai
pertimbangannya; Wara’sebagai pagarnya; kerinduan yang
membebaninya; dan akhlak yang menjaganya.”
Dikatakan : “Bepergian menggunakan kata sifr (tulisan),
karena merupakan catatan dari akhlak para tokoh.”
Disebutkan : Ibrahim al-Khawwas tidak pernah membawa
beban dalam bepergiannya. Hanya saja ia tidak pernah
berpisah dengan jatum dan tempat air. Jarum untuk menjahit
pakaiannya yan robek, agar auratnya tertutup, sdangkan
tempat air digunakan untuk wudhu. Untuk itu pun ia tak
pernah bergantung dan memberitahu oarng lain.”
Riwaya dari Abu Abdullah Razy yang berkta : “Aku keluar
dari Tharsus memakai sandal, bersama seorang teman. Kami
memasuki salah satu perkampungan Syam. Tiba-tiba seorang
fakir datang kepadaku dengan membawa sepatu, dan aku
menolak untuk menerimanya. Temanku bertanya : “Bukankah
ini bisa dipakai, dan Anda kelihatan lelah, padahal toh, Anda
telah membuka (mencopo) sandal itu karena aku.” Aku
katakan padanya : “Kenapa Anda ini?”

362
Teman tadi bicara : “Aku juga mencopot sandalku agar
sama dengan Anda, dan menjaga hak persahabatan.”
Dikatakan : “Ibrahim al-Khawwas bepergian bersama tiga
kelompok, dimana akhirnya mereka ssampai di sebuah
massjid pada suatu lembah. Mereka pun menginap di sana.
Masjid itu tak berpintu, sementara udara dingin mencekan
mereka. Ketika dini hari bangun, mereka melihat Ibrahim
berdiri di sebuah pintu. Mereka bertanya : “mengapa Ibrahim
ada di sana? Beliau menjawab : “Aku khawatir jika kalian
tercekam kedinginan (sehingga aku berdiri untuk menghalangi
udara).” Sungguh, Ibrahim telah berdiri semalam suntuk di
pintu itu.”
Dikishakan : “Muhammad al-Kattany minta izin ibunya
untuk pergi haji. Ibunya pun memberi izi. Di tengah padang
pasir bajunya terkena air kencing. Lalu ia mengatakan :
“Sungguh, ini suatu cela bagi keadaan batinku.” Kemudian ia
kembali pulang. Ketika mengetuk pintu rumahnya, ibunya
menjawab. Setelah pintu dibuka, ia melihat ibunya duduk di
belakang pintu. Ia bertanya mengapa sang ibu duduk di sana.
Ibunya menjawab : “Sejak engkau keluar, aku bertekad untuk
tidak beranjak dari tempat ini, sampai aku melihatmu lagi.”
Ibrahim al-Qashshar berkata : “Saya pergi selama tiga
puluh tahun, dalam rangka mendekatkan agar manusia peduli
dengan para fakir.”
Seorang laki-laki ziarah ke tempat Dawud ath-Tha’y. Orang
itu berkata padanya : “Wahai Abu sulaiman, pada diriku ada
rasa yang bertentangan untuk menemuimu sejak beberapa
waktu terakhir ini.” Daud menjawab : “Tidak apa-apa. Bila
tubuh tak bergerak, hati tentram, maka pertemuan lebih
gampang.”
363
Saya mendengar Abu Nashr ash-Shufy r.a. berkata : “Aku
keluar dari Selat Oman, ketika itu perutku terasa lapar. Aku
berjalan di pasar, sesampai di kedai makanan, di sana ada
beberapa makanan dan manisan. Lalu aku bermaksud minta
tolong pada seseorang. Kukatakan padanya : “Bisakah Anda
membelikan barang ini untukku?” Lelaki itu menjawab :
“Mengapa?” Apakah aku punya tanggungan padamu?” Atau
aku punya semacam uang?” Aku menjawab : “Anda harus
membelinya untukku.” Tiba-tiba ada seseorang yang
melihatku, sembari berkata : “Hai anak muda, tinggalkan dia.
Orang yang wajib membelikan apa yang kau mau adalah aku,
bukan dia. Silahkan ambil sekehendakmu.” Ia membelikan
sesuai apa yang ku maui, dan orang itu pergi begitu saja
setelah itu.
Abul Husain al-Mishry berkata : “Aku sepakat dengan asy-
Syajary dalam suatu acara bepergian dari Tharablus. Kami
berjalan selama beberpa hari, tidak makan sedikitpun.
Sejenak aku melihat kambing jantan sudah dimasak. Aku
mengambil dan memakannya. Tiba-tiba Syeikh asy-Syajary
berpaling kepadaku, sama sekali tidak berucap apa-apa. Lalu
kubuang saja makanan itu, karena aku melihat Syeikh tidak
suka. Kemudian ia membuka uang lima dinar buat kami. Kami
memasuki suatu desa. Aku berkata dalam hati : “Aku akan
dibelikan sesuatu, tidak mustahil!.” Namun syeikh tetap
berlalu dan tidak berbuat apa-apa, sembari berkata :
“Mungkin Anda akan berrkat, ‘Kita ini berjalan dalam keadaan
lapar, dan Anda tidak membelikan apa-apa buta kita, begitu?”
Kemudian di tengah jalan kami menjumpai orang Yahudi. Dan
di sana pula ada seseorang yang memiliki keluarga. Ketika
kami masuk ke rumahnya, tampak sekali mereka repot atas
364
kedatangan kami. Kemudian uang itu diberikan pada lelaki
tadi, agar membelanjakan untuk kami dan keluarganya. Ketika
kami sudah keluar, syeikh itu berkata kepadaku : “Kemana
wahai Abul Husein?” Aku menjawab : “Aku berjalan
bersamamu.” Beliau menjawab balik : “Tidak, Anda
sebenarnya mengkhianatiku ketika melihat kambing jantan
(yang masak), dan Anda masih menemaniku. Jangan begitu.”
Lantas syeikh itu menolak untuk kutemani.”
Saya mendengar dari Muhammad Abdullah asy-Syirazy
yang berkata, bahwa ia mendengar langsung dari Abu Ahmad
ash-Shaghir, yang mendengar dari Abu Abdullah bin Khafif
yang berkata : “Pada saat awal perjalanan ruhaniku, sebagian
para fakir menghadap kepadaku. Ia melihat bekas kesedihan
dan kelaparan pada mulutku. Kemudian aku dimasukkan ke
dalam rumahnya, dihidangi daging yang dimasak dengan
kisyik. Sementara daging itu mulai basi. Aku memakan roti
remuk yang direndam, dan menjauhi daging karena basinya.
Lantas kau mengambil sesuap, dan memakan dengan hati
yang berat. Begitu juga ketika suapan kedua, terasa semakin
berat hatiku. Si fakir itu melihat keresahanku, dan wajhnya
tampak berubah. Romanku juga ikut berubah melihat
perubahan roman si fakir itu. Aku lalu keluar meneruskan
perjalanan. Aku mengirim seseorng kepada ibuku agar
membawa lembaran (kertas). Ibuku tidak menolak, dan rela
atas kepergianku. Aku pun berangkat ke Qadisiah bersama
kelompok orang-orang fakir. Kami memakan apa adanya yang
ada pada kami, dan kami terancam penderitaan. Akhirnya
kami sampai ditengah kehidupan orang-orang Arab, toh, kami
tak mendapatkan apa-apa. Kami pun merasa menderita,
hingga kami ingin membeli anjing dari mereka dengan
365
beberapa dinar dan memasaknya. Mereka memberi sedikit
dagingnya. Namun ketika aku akan memakannya, aku berpikir
sejenak tentang keadaanku. Tiba-tiba perasaanku
mengatakan bahwa tindakanku membuatnya tersiksas yang
memalukan pada si fakir itu. Aku berTaubat dalam hatiku. Dan
si fakir terdiam, lantas memberi petunjuk jalan padaku. Aku
pun berlalu dari tempat itu, dan pergi berhaji. Ketika pulang,
aku mohon maaf pada si fakir tadi.”

42.

PERSAHABATAN

Allah swt. berfirman :


“.......sedang dia salah seorang dari dua orang ketika
keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata pada
sahabatnya : “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya
Allah beserta kita.” (Qs. At-Taubah :40).
Abul Qasim al-Junayd r.a. berkata : “Ketika Allah swt.
menetapkan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai sahabt,
Allah menjelaskan, bahwa Nabi saw. menampakkan sifat
kepedulian yang besar kepadanya. Dalam firman-Nya : “Di
waktu dia berkata pada sahabatnya, ‘Janganlah kamu berduka
cita, sesungguhnya Allah berserta kita.” Orang yang merdeka
adalah senantiasa peduli atas orang yang menjadi
sahabatnya.
Riwayat dari Anas bin Malik r.a. Rasulullah saw. bersabda :
“Kapankah aku bertemu kekasih-kekasihku?” Para sahabt
menjawab : “Demi ayah, engkau dan ibu kami, apakah kami-
kami ini bukan kekasihmu?” Rasul saw. besabda : “Engkau
366
adalah sahabt-sahabtku. Sedangkan kekasih-kekasihku adalah
kaum yang belum pernah jumpa denganku, (tetapi) beriman
kepadaku. Aku lebih banyak rindu kepada mereka.” (H.r. Abu
Syeikh, dalam Bab ats-Tsawab).
Persahabatan itu ada tiga macam : 1) Bersahabt dengan
orang yang lebih atas dari Anda. Persahabatan ini pada
hakikatnya lebih sebagai rasa bakti; 2). Bersahabat dengan
orang yang ada di bawah Anda. Persahabatan ini menuntut
agar Anda bersikap peduli dan kasih sayang. Sementara yang
mengikuti Anda harus selalu serasi dan bersikap hormat. 3).
Bersahabt dengan mereka yang memiliki kemampuan dan
pandangan ruhani. Yaitu suatu persahabatan yang menuntut
sikap memprioriatskan sepenuhnya kepada sahabtnya itu.
Siapa yang bersahabat pada syeikh yang memiliki derajat
lebih daripada dirinya, etikanya ia harus meninggalkan sikap
kontra, bersikap ramah dan respektif kepadanya, dan
mempertemukan diri dengan ihwal ruhaninya melalui iman.
Saya mendengar Manshur bin Khalaf al-Maghriby berkata
ketika ditanya oleh sebagian murid-murid kami : “Berapa
tahun Anda bersahabt kepada Sa’id bin Salam al-Maghriby?”
Beliau melirik dengan tajam kepada penanya, sembari berkata
: “Aku tak pernah bersahabat dengannya, tetapi aku
berkhidmat padanya beberapa saat.”
Apabila orang yang menyahabati Anda adalah orang yang
berada di bawah Anda, maka, suatu penghianatan dalam
persahabatannya, adalah ketika Anda tidak
memperingatkannya atas kekurangan perilakunya.
Abul Khair at-Tinaty menulis surat kepada Ja’far bin
Muhammad bin Nashr : “Dosa kebodohan para fakir
ditimpakan kepada Anda, karena Anda sibuk dengan diri Anda
367
sendiri, meninggalkan upaya mendidik mereka, sehingga
mereka tetap bodoh. Namun, apabila orang yang bersahabt
dengan Anda memiliki status yang sama, Anda harus menjaga
cacatnya. Dan lebih bersikap bijak dan baik semaksimal
mungkin, dengan menafsirkan yang lebih berkenan atas
tindakannya. Bila tidak ada penafsiran positif, lebih baik Anda
menyangka diri Anda telah berbohong dan berhak mendapat
celaan.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata :
“Ahmad bin Abul Hawary berkata : “Aku bicara pada Abu
Sulaiman ad-Darany : “Ada seseorang yang tidak berkenan di
hatiku!.” Lantas Abu Sulaiman menjawab : “Sama, ia juga tak
berkenan di hatiku. Tetapi, wahai Ahmad, barangkali generasi
sebelum kita dulu menganggap kita bukan tergolong orang-
orang yang saleh, lalu apakah kita tidak mencintai mereka?”
Dikisahkan bahwa ada seseorang yang bersahabat pada
Ibrahim bin Adham. Ketika orang tersebut mau berpisah,
berkata pada Ibrahim : “Bila engkau melihat diriku ada cacat,
maka ingatkanlah diriku.” Ibrahim menjawab : “Aku tak pernah
melihat cacatmu, karena aku melihatmu dengan mata
kecintaan, sehingga aku selalu memandangmu dengan mata
pandangan kebaikan. Tanyakan saja pada selain diriku tentang
cacatmu.”
Dalam hal ini para Sufi bersyair :
Mata pandang ridha akan suram
Dari segala cela
Namun mata pandang dendam
Tampak buruk segalanya.
Abu Ahmad al-Qaalnasy berkata : “Aku berteman dengan
beberapa kaum di Bashrah, dan mereka menghormati aku.
368
Sekali waktu kukatakan pada mereka : “Manakah sarungku?”
Tiba-tiba sarung itu jatuh dari mata mereka.”
Seseorang berkata pada Sahl bin Abdullah : “Aku ingin
berteeman denganmu wahai Abu Muhammad.” Beliau
menjawab : “Bila di antara kita ada yang mati, maka kepada
siapa salah satu di antara kita bersahabat?” Orang itu berkata
: “Allah swt.” Sahl balik menjawab : “Maka, sejak saat ini,
bersahabtlah dengan-Nya.”
Ibrahim bin Adham bekerja sebagai pengetam dan
penjaga beberapa kebun, serta pekerjaan lainnya. Hasilnya
diinfakkan pada para sahabatnya (santrinya). Dikatakan :
“Ibrahim bersama suatu jamaah dari para sahabatnya
(santrinya), sedangkan dirinya bekerja di siang hari untuk
diberikan kepada mereka. Mereka berkumpul di malam hari di
suatu tempat, dan pada siang hari mereka berpuasa. Suatu
ketika Ibrahim pulang terlambat dari kerja. Dan pada suatu
malam mereka berkata : “Kemarilah, kita berbuka apa
adanya.” Ibrahim pulang lebih cepat setelah peristiwa itu.
Mereka akhir berbuka dan tidur nyenyak. Ketika Ibrahim
pulang, didapati para sahabtnya itu tertidur pulas. “Kasihan!”
barangkali mereka tidak menemukan makanan.” Kata
Ibrahim. Lalu, Ibrahim membuat jenang dari tepung yang ada,
dan menyalakan api serta bara. Ketika mereka melihat
Ibrahim sedang meniup-niup api sambil menempelkan sisi
wajahnya pada tanah, para sahabtnya mengingatkan akan
kejadian tersebut. Beliau menjawab : “Aku katakan, barangkali
kali kalian semua tidak mendapatkan makanan untuk
berbuka, sehingga kalian tertidur semua. Aku ingin
membangunkan kalian nanti setelah bara menyala.” Maka
masing-masing sahabatnya itu saling berkata : “Lihatlah, apa
369
yang telah kita lakukan, dan lihatlah apa yang dilakukan untuk
kita........????”
Dikatakan bahwa, jika seseorang ingin bersahabt dengan
Ibrahim bin Adham, ia mensyratkan bahwa orang itu harus
berbakti dan memberitahu padanya; tangannya haurs sama
dengan tangan mereka dalam hal seluruh rezeki yang telah
dibuka oleh Allah bagi mereka di dunia.
Suatu hari, salah seorang santrinya berkata pada Ibrahim
bin Adham : “Aku tidak mampu melakukan ini.” Ibrahim
menjawab sambil terkejut : “Sungguh aku kagum atas
kejujuranmu.”
Yusuf ibnur Husain berkata : “Aku berkata pada Dzun Nuun
al-Mishry : “Kepada siapa aku harus bersahabat?” Dzun Nuun
menjawab : “Dengan orang yang sama sekali tidak kau
sembunyikan tentang dirimu, dimana Allah swt. mengetahui
dirimu.”
Sahl bin Abdullah berkata pada seseorang : “Bila Anda
termasuk orang yang takut binatang buas, jangan berteman
denganku.”
Bisyr al-Harits berkata : “Berteman dengan kejahatan
akan melahirkan sangkaan buruk dengan bebas.”
Al-Junayd berkata : “Ketika Abu Hafs masuk ke Baghdad,
ia disertai seorang yang botak bagian kepala depannya, sama
sekali bungkam tak bicara. Kemudian aku bertanya pada para
sahabat Abu Hafs mengenai keadaan orang tersebut. Mereka
menjawab : “Lelaki itu telah menafkahkan seratus ribu dirham
untuk diinfakkan kepada Abu Hafs. Abu Hafs tidak
memperkenankannya bicara sekecap pun.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Janganlah bersahabat
dengan Allah swt. kecuali senantiasa dalam keselarasan;
370
jangan pula dengan makhluk kecuali dengan saling
menasehati; jangan pula dengan nafsu kecuali dengan
menentangnya; jangan bersahabat pula dengan setan kecuali
dengan memusuhi.” Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun :
“Siapakah yang bisa kujadikan sahabat?” Beliau menjawab :
“Seseorang yang bila engkau sakit, ia menjengukmu, bila
engkau berbuat dosa, ia menganjurkan Taubat padamu.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq
berkata : “Pohon bila tumbuh dengan sendirinya, namun tidak
diolah oleh manusia, ia akan tumbuh dengan daunnya, tetapi
tidak bisa bebuah. Begitu juga seorang murid bila
berkembang tanpa guru ia akan muncul, namun tidak
berbuah.” Beliau juga berkata : “Aku mendapatkan tharikat ini
dari an-Nashr Abadzy , dan Nashr Abadzy dari asy-Syibly,
sedangkan asy-Syibly dari al-Junayd, dan al-Junayd dari as-
Sary, as-Sary dari Ma’ruf al-Karkhy, Ma’ruf al-Kharkhy dari
Dawud ath-Tha’y, dan dawud ath-Tha’y dari para Tai’in.” Saya
mendengar pula bahwa beliau semoga rahmat Allah swt.
padanya --- berkata : “Takpernah sekalipun aku mengikuti
majelisnya Nashr Abadzy, kecuali aku selalu mandi
sebelumnya.”
Saya sendiri, tak pernah masuk ke tempat guru saya
Syeikh Abu Ali pada awal belajar saya di sana, kecuali saya
selalu berpuasa dan sebelumnya saya mandi dahulu. Padahal
saya memasuki pintu madrasahnya tidak sekali. Saya selalu
kembali ke pintu itu, saya khawatir beliau marah jika
memasuki pintu itu. Dan seketika saya melintas, lalu
memasukinya. Bila sampai di tengah ruang madrasah, beliau
mendekati diri saya, dan saya benar-benar terdiam senyap,
Seandainya ada jarum yang menusuk pada mulut saya pun,
371
tak akan saya rasakan. Jika saya duduk, dan ada suatu
masalah yang mengganggu diri saya, saya tidak ingin
bertanya pada beliau, melalui ucapan saya. Dan setiap kali
saya berada di majelis, beliau selalui melalui menjelaskan
persoalan saya. Tidak sekali hal-hal seperti itu saya saksikan
dengan mata kepala. Seringkali saya berpikir, seandainya
Alalh swt. mengutus seorang Rasul pada zaman saya,
mungkinkah saya menambah rasa hormat padanya dalam hati
saya, lebih dari rasa hormat saya pada guru saya --- semoga
Allah swt. merahmatinya. Dan sama sekali tidak
tergambarkan kemungkinan seperti itu. Saya tidak ingat lagi,
sepanjang saya mengikuti majelisnya, kemudian kenyataan
diri saya setelah mendapatkan kesinambungan jiwa, tak
pernah sekalipun terbersit untuk kontra padanya, sampai
beliau wafat.”
Dikatakan Muhammad an-Nashr al-Harits, “Allah swt.
mewahyukan kepada Nabi Musa as, “Jadilah kamu orang yang
bangun dan kembali, serta menjadi sahabat bagi dirimu.
Setiap sahabat yang tidak menggembirakan hatimu, maka
jauhilah ia, dan janganlah bersahabat dengannya, karena ia
akan mengeraskan hatimu. Bagimu ia menjadi musuh.
Banyak-banyaklah mengingat-Ku karena akan mendatangkan
rasa syukur kepada-Ku, dan mendapatkan tambahan dari
anugerah-Ku.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Bersahabtlah kalian
dengan Allah swt. Bila kalian tidak mampu, maka
bersahabatlah dengan orang yang bersahabt dengan Allah
swt. karena bersahabt dengannya bisa menghubungkan kalian
kepada Allah swt. melalui berkat persahabatannya dengan
Allah swt.”
372
43.
TAUHID
Allah swt. kberfirman :
“Dan Tuhan kamu sekalian adalah Tuhan Yang Esa.” (Qs.
Al-Baqarah :163).
Rasulullah saw. bersabda :
“Ada seseorang dari generasi sebelum zaman kamu
sekalian yang sama sekali tidak pernah beramal baik kecuali
bahwa ia bertauhid saja. Orang tersebut berwasiat pada
keluarganya, “Bila aku mati, bakarlah aku dan hancurkanlah
diriku, kemudian taburkan separo tubuhku di darat dan
separohnya lagi di laut pada saat angin kencang.”
Keluarganya pun melakukan wasiatnya itu. Kemudian Allah
swt. berfirman pada angin, “Kemarikan apa yang kami ambil.”
Tiba-tiba orang tersebut sudah berada di sisi-Nya. Kemudian
Alalh swt. bertanya pada orang tersebut, “Apa yang
membebanimu sehingga kamu berbuat begitu?” Dia
menjawab : Karena malu kepada-Mu.” Kemudian Allah swt.
mengampuni-nya (H.r. Bukhari).
Tauhid adalah suatu hubungan bahwa sesungguhnya Allah
swt. Maha Esa, dan mengetahui bahwa sesuatu itu satu, bisa
dikatakan tauhid pula. Dikatakan, Wahhadathu, apabila Anda
menyifati-Nya dengan sifat Wahdaniyah. Seperti dikatakan :
“Anda berani dengan si Fulan bila Anda dihubungkan dengan
sifat keberanian (syaja’ah).”
Dari segi etimologi (lughat) disebutkan, wahhada,
yahiddu, fahuwa waahid, wahd dan wahiid. Seperti
diucapkan : Farrada fahuwa faarid, fard dan fariid. Akar kata
373
Ahada, adalah wahada, kemudian huruf wawu diganti dengan
hamzah, sebagaimana huruf-huruf yang di-kasrah dan
dhammah, diganti.
Makna eksistensi Allah swt. sebagai berifat Esa didasarkan
ucapan ilmu. Dikatakan : “Adalah Dzat Yang tidak dibenarkan
untuk disifati dengan penempatan dan penghilagnan.”
Berbeda dengan ucapan Anda, manusia satu, berarti Anda
mengatakan, ‘manusia tanpa tangan dan tanpa kaki.”
Sehingga dibenarkan hilangnya sesuatu dari organ manusia.
Sedangkan Allah swt. adalah ketunggalan Dzat.”
Sebagaian ahli hakikat berkata : “Arti bahwa Allah itu Esa,
adalah penafian segala pembagian terhadap Dzat, penafian
terhadap penyerupaan tentang Hak dan Sifat-sifat-Nya, serta
penafian adanya teman yang menyertai-Nya dalam Kreasi dan
Cipta-Nya.”
Tauhid ada tiga kategori : Pertama, tauhdi Allah swt. bagi
Allah swt. yakni ilmu-Nya bahwa sesungguhnya Dia adalah
esa. Kedua, tauhidnya Allah swt. terhadap makhluk, yaitu
ketentuan-Nya, bahwa hamba adalah yang menauhidkan dan
menjadi ciptaan-Nya, atau disebut tauhidnya hamba. Ketiga,
tauhidnya makhluk terhadap Alalh swt. yaitu pengetahuan
bahwa Allah swt. Yang Maha Perkasa dan Agung adalah Maha
Esa. Ketentuan dan Khabar dari-Nya, menegaskan bahwa Dia
adalah Esa. Semua wacana ini mengandung artian tauhid
dalam ungkapan yang ringkas.
Dzun Nuun al-Mishry ditanya tentang tauhid, ia berkata,
“Hendaknya engkau ketahui bahwa kekuasaan Allah terhadap
makhluk ini tanpa ada campur tangan; cipta-Nya terhadap
segala sesuatu tanpa unsur luar; tak ada sebab langsung
segala yang ada adalah ciptaan-Nya; ciptaan-Nya pun tidak
374
ada cacat. Setiap yang terproyeksi dalam gambaran jiwamu
(tentang Alalh), ,maka Allah swt. pasti berbeda.”
Ahmad al-Jurairy berkata : “Tidak ada bagi ilmu tauhid
kecuali sekedar ucapan tentang tauhid saja.”
Al-Junay ditanya seputar tauhid, jawabnya :
Menunggalkan Yang Ditunggalkan melalui pembenaran sifat
Kemanunggalan-Nya, dengan keparipurnaan Tunggal-Nya,
bahwa Dia adalah Yanga Maha Esa, Yang tidak beranak dan
tidak diperanakkan, dengan menafikan segala hal yang
kontra, mengandung keraguan dan keserupaan; tanpa
keserupaan, tanpa bagaimana, tanpa gambran dan tamsil.
Tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” Al-Junayd berkomentar : “Bila
akal para pemikir sudah mencapai ujungnya dalam tauhid,
akan berujung pada kebingungan.” Saat kembali ditanya soal
tauhid, al-Junayd menjawab : “Suatu makna yang
mengandung rumus-rumus, dan didalamnya terkandung
sejumlah ilmu. Sedangkan Alalh sebagaimana Ada-Nya.”
Al-Hushry berkata : “Prinsip amaliah tauhid kita
mendasarkan pada lima hal : Menghilangkan sifat baru
(hadits); menunggalkan Yang Qadim; menghindari teman
(yang mungkar); berpisah dari tempat tinggal; dan melupakan
apa yang diketahui dan tidak.”
Manshur al-Maghriby berkata : “Tauhid adalah
mengugurkan seluruh perantara ketika terliput oleh perilaku
ruhani, dan kembali kepada perantara itu di sisi hukum, sebab
kebajikan-kebajikan tidak akan merubah pembagian, apakah
celaka atau bahagia.”
Al-Junayd ditanya soal tahidnya kalangan khusus. Ia
berkata : “Hendaknya hamba menengadahkan di sisi Alalh
375
swt.; dimana urusan-urusan Allah berlaku di sana dalam
lintasan hukum-hukum kekuasaan-Nya dalam arungan
samudera tauhid-Nya, melalui fana’ dari dirinya, fana’ dari
ajakan makhluk dan menjawab ajakannya, melalui hakikat
Wujud-Nya, dan kemanunggalan-Nya dalam hakikat
kedekatan pada-Nya, dengan cara menghilangkan rasa dan
geraknya karena Tegaknya Alalh swt. sebagaimana kehendak-
Nya : yaitu sang hamba dikembalikan pada awalnya. Sehingga
ia sebagaimana adanya, sebelum dirinya ada.”
Al-Busyanjy ditanya tentag tauhid : “Tidak adanya
keserupaan Dzat dan tidak adanya faktor penafian sifat.”
Jawabnya.
Sahl bin Abdullah ditanya soal Dzat Allah swt. Dia
menejawab : “Dzat Allah swt. disifati dengan sifat Ilmu, tetapi
tidak bisa dditerka melalui jangkuan, tidak terlihat melalui
mata di dunia. Allah swt. maujud melalui kebenaran iman,
tanpa dibatasi, jangkauan dan penjelmaan. Mata akan
memandang di akhirat nanti, yang Tampak di kerajaan dan
kekuasaan-Nya. Makhluk telah tertirai dalam mengenal
eksistensi Dzat-Nya. Namun Allah swt. menunjukkan melaui
ayat-ayat-Nya. Hati mengenal-Nya, sedang akal tidak
menemukan-Nya. Orang-orang yang beriman melihat-Nya
dengan mata hati tanpa adanya jangkauan dan penemuan
ujungnya.”
Al-Junayd berkata : “Kata-kata paling mulia dalam tauhid
adalah apa yang telah diucapkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq
r.a. : “Maha Suci Dzat Yang tidak menjadikan jalan bagi
makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, kecuali dengan cara
merasa tak berdaya mengenal-Nya.”

376
Al-Junayd mengomentarinya : “Diaksudkan oleh Abu Bakr
ash-Shiddiq r.a. bahwa Allah swt. itu tidak bisa dikenal. Sebab
menurut ahli hakikat, yang dimaksud dengan tidak berdaya,a
dalah tak berdaya dari maujud, bukan tak berdaya dalam arti
tiada sama sekali (ma’dum). Seperti tempat duduk, ia tak
berdaya dari duduknya seseorang. Karena ia tidak bisa
berupaya dan berbuat. Sedangkan duduk itu sendiri maujud di
dalamnya. Begitu pula orang yang ‘arif (mengenal Allah swt.)
tak berdaya dengan ma’rifatnya. Sedangkan ma’rifat itu
maujud di dalam dirinya, karena sifatnya yag langsung.
Menurut kalangan Sufi, Ma’rifat kepada Allah swt. pada ujung
terakhirnya adalah bersifat langsung. Ma;rifat yang dilakukan
melalui usaha hanya ada pada permulaan, walaupun ma;rifat
itu merupakan hakikat.” Ash-Shiddiq r.a. sedikitpun tidak
memperhitungkan ma’rifat yang disandarkan pada ma’rifat
langsung, seperti lampu, ketika matahari terbit dan
cahayanya membias pada lampu itu.”
Al-Junayd berkata : “Tauhid yang dianut secara khusus
oleh para Sufi, adalah menunggalkan Yang Qadim jauh dari
yang hadits, keluar meninggalkan tempat tinggal, memutus
segala tindak dosa, meninggalkan yang diketahui ataupun
tidak diketahui, dan Allah swt. berada dalam keseluruhan.”
Yusuf ibnul Husain berkata : “Siapa yang tercebur dalam
samudera tauhid, tidak akan bertambah dalam waktu yang
berlalu, kecuali rasa dahaga yang terus menerus.”
Ada seseorng berhenti, lantas bertanya kepada Husain bin
Manshur : “Siapakah Tuhan Yang Maha Benar, sebagaimana
yang ditunjukkan kaum Sufi?” Husain menjawab : “Dia-lah
Sang Penyebab hidup manusia, dan Dia tidak disebabkan oleh
apa-pun.”
377
Al-Junayd berkata : “Ilmu tauhid memisah dengan
eksistensinya, dan eksistensinya berpisah dengan ilmunya.”
Al-Junayd berkata pula : “Ilmu tauhid melipat hamparannya
sejak duapuluh tahun. Sedangkan manusia sama-sama
membincangkan dalam hatinya.”
Dulaf asy-Syibly berkata : “Siapa yag meliaht sebiji sawi
ilmu tauhid, ia akan lunglai membawa sisa-sisa kulitnya,
karena berat bebannya.”
Dulaf as-Syibly ditanya tentang tauhid yang hanya
diucapkan melalui lisan kebenaran secara tersendiri. Beliau
berkata : “Celaka Anda!” Siapa yang menjawab tauhid melalui
ungkapan ibarat, dia telah menyimpang. Dan siapa yang
menjelaskan lewat isyarat, berarti pengikut dualisme. Siapa
yang menunjukkan lewat isyaratanya pada tauhid, berarti ia
menyembah berhala. Siapa yang bicara dalam tauhid, berarti
ia alpa. Namun siapa yang diam dari tauhid, berarti dia bodoh.
Siapa yang menganggap dirinya telah sampai kepada-Nya,
berarti dia tidak sukses. Barangsiapa merasa dirinya dekat
dengan-Nya, sebenarnya ia jauh dari-Nya. Siapa yang merasa
menemukan-Nya, berarti telah kehilangan. Semua yang Anda
istimewakan melalui pandang khayal Anda, dan Anda
temukan melalui akal dalam pengertian yang lebih sempurna,
maka sebenarnya semua itu terlempar dan tertolak pada
Anda. Semua merupakan sesuatu yang dicipta dan terbuat
seperti eksistensi Anda sendiri.”
Yusuf ibnul Husain berkata : “Tauhidnya orang khusus,
yaitu tauhid itu total dengan batin, ekstase dan kalbunya.
Seakan-akan ia bediri di sisi Allah swt. mengikuti aliran yang
berlaku dalam aturan-Nya dan hukum-hukum Qudrat-Nya,
mengarungi lautan fana’ dari dirinya, hilangnya rasa karena
378
tegak-Nya al-Haq Yang Maha Suci dan Luhur dalam kehendak-
Nya, Maka, sebagaimana dikatakan, bahwa ia hendaknya
berada dalam arus ketentuan Allah swt.”
Dikatakan : “Tauhid hanya bagi Allah swt. sedangkan
makhluk hanyalah benalu.”
Dikatakan : “Tauhid berarti mengugurkan “kekuatan”
karenanya jangan bicara : “Bagiku, denganku, dariku dan
kepadaku.”
Abu Bakr ath-Thamastany ditanya : “Apakah tauhid itu?”
Beliau menjawab : “Yaitu tauhid, muwahhad dan muwahhid,
semuanya berjumlah tiga.”
Ruwaym bin Ahmad berkata : “Tauhid berarti melebur
unsur-unsur kemanusiaan, dan manunggal dengan Ketuhanan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata
menjelang akhir hayatya, di saat sakitnya mulai parah :
“Salah satu tanda keteguhan hati, adalah memelihara tauhid
dalam waktu-waktu kenetuan huku,”. Kemudian beliau
berketa seperti seorang mufassir yang mengisyaratkan apa
yang terjadi dalam perilaku ruhaninya, “Yaitu Anda dipotong
oleh gunting-gunting takdir, dalam pelaksanaan ketentuan-
ketentuan, sepotong-potong, sedang Anda tetap bersyukur
dan memuji.”
Asy-Syibly berkata : “Tak akan mencium bau tahid, orang
gyang tergambar dalam dirinya sesuatu tentang tauhid.”
Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz berkata : “Tahap mula bagi
orang yang menemukan ilmu tauhid dan membenarkannya
adalah fana’ dari ingatan atas segala hal dari hatinya, kecuali
hanya kepada Alalh swt.”
Asy-Syibly berkata pada seseorang : “Apakah Anda
mengerti, mengapa tauhid Anda tidak sah?” Maka dijawab
379
sendiri oleh asy-Syibly : “Karena Anda mencarinya melalui diri
Anda.”
Ibnu Atha’ berkata : “Tanda-tanda hakikat tauhid adalah
melupakan tauhid, yaitu bahwa yang berdiri tegak dengan
tauhid hanya Sat.”
Dikatakan : “Pada diri manusia ada golongan yang dalam
tauhidnya terbuka melalui perbuatan, melihat segala ciptaan
ini bersama Allah swt. Diantaranya ada yang terbuka melalui
hakikat, sehingga perasaannya membuang segala hal selain
Allah swt, maka dia menyaksikan kesatuan (al-Jam’u) secara
batin. Dan lahiriahnya, melalui lewat diskripsi keragman.”
Al-Junayd ditanya tentang tauhid : “Aku mendengar orang
bersayir :
Betapa kaya hatiku
Menjadi kaya seperti Dia
Kami sebagaimana mereka ada
Dan mereka sebagaimana kami ada.”
Ditanyakan kepada al-Junayd : “Keahlian Anda (di bidang)
Al-Qur’an dan Haditst?” Al-Junayd menjawab : “Tidak. Tetapi
orang yang menunggalkan-Nya meraih tauhid tertinggi dan
ucapan terendah dan teringan.”

44.
KELUAR DARI DUNIA

Allah berfirman :
“(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik
oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka)
“Salaamun’alaikum” masuklah kamu ke dalam surga itu
disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. An-Nahl :32).
380
Ayat tersebut memiliki maksud bahwa kebajikan jiwa
mereka dengan mencurahkan ruh mereka, sehingga mereka
kembali kepada Tuhannya, dengan jiwa kyang tidak berat.
Riwayat dari Anas r.a. yang berkata bahwa Rasulullah saw.
bersabda :
“Sesungguhnya seorang hamba akan berurusan dengan
kesusahan maut dan sakaratul maut, dan sesungguhnya
sendi-sendinya akan mengucapkan salam (perpisahan) satu
sama lainya dengan kata-kata, “Alaikassalaam” engkau
berpisah denganku, dan aku berpisah denganmu, sampai
(jumpa) di hari kiamat nanti.”
Juga diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa Nabi saw.
sedang menjenguk seorang pemuda yang mendekati ajalnya.
Nabi saw. bertanya : “Bagaimana maut menemui Anda?”
Pemuda itu menjawab : “Aku berharap kepada Allah swt. dan
aku takut akan dosa-dosaku.”
Rasulullah saw. bersabda, “(Harapan bertemu Allah dan
rasa takut akan dosa-dosa) tidak akan berkumpul di hati
hamba, dalam tempat ini, kecuali Allah swt, memberikan
padanya apa yang diharapkannya, dan memberikan rasa
tentram dari apa yang ditakuti....”
Ketahuilah bahwa perilaku mereka saat menghadapi ajal
(naza’) berbeda-beda. Diantaranya ada yang terlimpahi rasa
takut namun disertai rasa hormat (haibah), adapula yang
dilimpahi rasa harapan (raja’) dan di antara mereka ada yang
dibuka oleh Allah swt. sekertika itu akan hal-hal yang
berkaitan dengan keharusan mereka untuk tentram dan
tenang serta keteguhan yang baik.
Ahmad al-Jurairy berkata : “Aku sedang di sisi al-Junyad
ketika naza’nya. Saat itu hari Jum’at dan kebetulan tahun
381
baru. Junayd sedang membaca Al-Qur’anu; Karim, hingga
mengkhatamkannya. Pada saat itu aku berkata : “Hai Abul
Qasim!” lantas dia menjawab : “Siapa yang lebih layak
(mengkhatamkan Al-Qur’an menjelang ajal) daripada aku, dan
inilah, lembaranku dibentangkan.”
Abu Muhammad Abdullah al-Ibrahim al-Harawy berkata :
“Aku menghampiri rumah asy-Syibly pada malam ketika
ajalnya tiba. Sepanjang malam itu dia mendendangkan syair
berikut :
Setiap rumah, Engkau penghuninya
Tak butuh lagi pada lentera
Wajah-Mu yang diharapkan
Adalah hujjah kami
Di hari ketika berduyun-dduyun manusia
Dengan hujjah-hujjahnya.
Bisyr al-Hafi ditanya ketika maut hendak menjemputnya :
“Tampaknya Anda mencintai dunia, wahai Abu Nashr?” Maka
al-Hafi menjawab : “Datang kepada Allah Azza wa Jalla
sungguh dahsyat.”
Dikisahkan, bila Sufyan at-Tsaury menjenguk sebagian
murid-muridnya, senantiasa berkata kepada mereka : “Bila
kalian menemukan maut, belikan untukku.” Ketika wafatnya
akan tiba, beliau berkata : “Kami sungguh mengharapkannya,
tetapi, tiba-tiba maut itu sungguh dahsyat.”
Didkatakan : “Ketika al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib
mendekati wafatnya, beliau menangis. Maka ditanya : “Apa
yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab : “Aku bakal
datang kepada Tuan Yang bernah kulihat.”
Ketika Bilal mendekati ajalnya, sang istri meratap : “Duhai
betapa sedihnya ....” maka Bilal menimpali : “Oh, betapa
382
girangnya, esok kami menemui para kekasih : Muhammad dan
tentaranya.”
Dikatakan : “Abdullah ibnul ubarak membuka kedua bola
matanya menjelang wafat, dan tiba-tiba tertawa, sembari
mengumandangkan ayat suci : “Untuk kemenangan serpa ini
hendaklah berusaha orang-orang yang beramal.” (Qs. Ash-
Shaffat : 61).
Dikatakan bahwa Abdullah ibnul Mubarak sedang
dirundung duka, kemudian, kemudian orang-orang
menjenguknya saat menjelang kematiannya, sedangkan ia
tampak tertawa. Kemudian ia ditanya soal tertawanya itu :
“Mengapa aku tidak boleh tertawa?” Sedangkan perpisahan
dengan yang paling kujauhi telah dekat, sementara tiba lebih
cepat pada Dzat Yang benar-benar kuharapkan begitu
mendekat?”
Ruwaym bin Ahmad berkata : “Aku hadir pada saat
menjelang wafatnya Ahmad bin Isa al-Kharraz. Ketika itu, pada
detik-detik terakhir nafasnya ia menguntaikan syair :
Ratapan rindu kalbu ‘arifin ketika mengingta
Kenangan mereka di waktu munajat bagi rahasia
Ketika piala diputar di antara mereka para pengharap
Mereka terapung dari dunia, melayang
Bagai para pemabuk yang kepayang
Cita-citanya mengembara di kemah-kemah
Di sana para pecinta Allah bagai binntang-bintang
cemerlang
Tubuh-tubuhnya mati di muka bumi karena cintanya
Sedangka arwahnya dalam tirai membubung tinggi
Tiada kemesraan pengantin mereka, kecuali Kedekatan
Sang Kekasih
383
Sedang bencana dan keburukan
Tak pernah menyentuh.”
Dikatakan pada la-Junayd, bahwa Abu Sa’id al-Kharraz
banyak ekstase di saat menjelang mautnya. Al-Junayd
menjawab : “Bukan hal yang menakjubkan, jika ruhnya
terbang menggapai kerinduan.”
Sebagian Sufi berkata, saat-saat dekat ajalnya : “Hai
Ghulam! Cincanglah ketiakku, dan pendamlah pipiku dalam
debu ...! Selanjutnya mengatakan : “Perjalanan telah dekat,
dan susngguh bagiku tak terbebas dari dosa, tiada keringanan
yang bisa dilakukan, tiada kekuatan yang bisa menolong,
Engkau hanya untukku, Engkau hanya bagiku....? Kemudian si
Sufi berteriak, lantas mati. Tiba-tiba orang-orang di
sekelilingnya mendengar suara : “Seorang hamba hidup tena
g di sisi Tuhannya, dan diterima oleh-Nya.”
Dikatakan kepada Dzun Nuun al-Moshry menjelang
wafatnya : “Apa keinginan Anda?” Jawabnya : “Aku ingin
mengenal-Nya sebelum kematianku, walaupun sejenak.”
Dikatakan kepada salah seorang Sufi menjelang ajalnya :
“Ucapkan : “Allah” Ia menjawab : “Sampai kalian semua
menyuruhku begitu, sedangkan aku sendiri terbakar dalam
Allah swt.?”
Sebagian mereka berkata : “Suatu ketika aku sedang
berada di tempat Mumsyad ad-Dinawary, tiba-tiba ada
seorang fakir datag seraya berucap : “Assalamu’alaikum”.
Mereka yang hadir menjawab salamnya. Si Fakir itu berkata :
“Apakah di sini ada tempat yag bersih, yang memungkinkan
bisa ditempati oleh manusia yang mati?” Mereka
menunjukkan sebuah tempat dan sebuah mata air. Si fakir itu
lantas mendatangi tempat tersebut, mengambil air mudhu,
384
shalat dan ... masya Allah Azza wa Jalla --- mendatangi
tempat yang ditunjukkan oleh mereka, kemudian menjulurkan
kakinya, lalu mati.”
Suatu hari Abul Abbas Ahmad ad-Dinawary sedang
berbicara dalam majelisnya. Tiba-tiba seorang wanita
berteriak, karena ekstase. Ahmad berkata padanya : “Suatu
kematian?” Lalu wanita itu berdiri, dan ketika sampai di pintu
rumah, wanita itu menoleh pada Ahmad sembari berkata :
“Aku telah mati, dan aku benar-benar menjadi mayit.”
Salah seorang Sufi mengisahkan : “Aku sedang berada di
rumah Mumsyad ad-Dinawary menjelang wafatnya, lalu
dikatakan kepadanya : “Bagimana dengan penyakit Anda?”
Dia menjawab : “Lupakanlah dariku penyakit itu, bagaimana
Anda menemukan diriku?” Lalu dikatakan padanya :
“Ucpakanlah Laa Ilaaha Illallaah”. Kemudian ia palingkan
wajahnya ke tembok, sambil mengucapkan : “Aku telah
musnah kesseluruhanku pada-Mu, inilah balasan bagi orang
yang mencintai-Mu.”
Dikakatakan kepada Muhammad ad-Dubaily ketika
menjelang wafatnya : “Ucapkan, Laa Ilaaha Illallaah.” Lalu dia
menjawab : “Ucapan ini sudah kami kenal, bahkan dengan
ucapan tersebut kami fana’”
Kemudian beliau membacakan syair :
Engkau memakai pakaian linglung,
Ketika engkau terpesona dengan-Nya
Dia menolak dan tak rela
Tak sudi dirimu adalah hamba-Nya.
Dikatakan kepada asy-Syibly menjelang wafatnya :
“Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah.” Lalu asy-Syibly
mendendangkan syair :
385
Berkatalah penguasa cintanya
Aku tak menerima yang lain
Bertanyalah dengan yang lain
Mengapa kematian ia berurusan?
Ahmad bin Atha’ berkata : “Aku mendengar salah seorang
fakir berkata : “Ketika Yahya al-Ashtakhry akan meninggal,
kami duduk di sekitarnya, lantas alah seorang di antara kami
berkata : “Ucapkalah Asyhadu an-Laa Ilaaha Illallaah.” Lantas
beliau duduk lurus, kemudian meraih tangan salah ssatu dari
kami, dan berucap : Katakanlah, Asyhadu an-Laa Ilaaha
Illaallaah.” Lalu meraih tangan yang lain sampai syahadt
tersebut merata pada semua hadirin. Barulah kemudian beliau
meninggal.”
Diriwayatkan dari Fatimah saudari Muhammad ar-
Rudzbary : “Ketika saudaraku (Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary)
mendekati ajal, kepalanya ada di pangkuanku, sedangkan
kedua bola matanya terbuka, sembari berkata : “Inilah, pintu-
pintu langit terbuka, dan surga itu benar-benar telah dihiasi,
dan inilah orang yang berkata padaku : “Wahai Abu Ali, kami
telah menghantarkanmu ke tahapan yang tinggi, walaupun
engkau belum sampai ke sana.” Lalu Abu Ali membacakan
syair :
Demi Hak-Mu, sungguh tak kupandang selain Diri-Mu.
Dengan mata cinta, sehingga aku melihat-Mu
Aku melihat-Mu, ketika hilang sejenak menjadi siksaan
Dan dengan pipi bertulip mawar merah petikan-Mu.
Salah satu Sufi berkata : “Aku melihat seorang fakir asing
yang membiarkan dirinya, sementara lalat mengerumuni
wajahnya. Lalu aku duduk mengibaskan lalt-lalat itu dari
wajahnya, sampai kemudian matanya terbuka, dan berkata :
386
“Siapakah engkau? Sejak sekian tahun aku mencari waktu
yang menjernihkan diriku, dan selalu begitu, kecuali sekarang
ini. Engkau datang, menceburkan dirimu di dalamnya.
Pergilah, semoga Allah swt. mengampunimu.”
Saya mendengar Abu Hatim as-Sijistany berkata : “Aku
mendengar Abu Nashr as-Sarraj berkata : “Penyebab wafatnya
Abul Husain Ahmad an Nury adalah dikarenakan
mendengarkan sebuah syair ini :
Aku senantiasa menempati
Lembah dari cinta-Mu
Ketika sematam, lubuk jiwa menjadi lingling.”
Ahmad an-Nury mengalami ekstase dan linglung di tengah
padang pasir. Lalu jatuh di rimba belukar yang sudah
ditebang, namun akar-akarnya masih menonjol, tajam seperti
pedang. Anehnya, an-Nury berjalan di atas akar-akar itu,
kembali pulang sampai esok hari. Darah mengalir dari kedua
kakinya, kemudian ia tersungkur seperti orang yang mabuk.
Kedua telapan kakinya membengkak, dan akhirnya meninggal
dunia. Pada riwayat lain diceritakan, ketika beliau menjelang
wafat, dikatakan padanya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah,”
lalu beliau menjawab : Bukankah pada ucapan itu aku
kembali.”
Saya juga mendengar Ab Manshur al-Maghriby berkata :
“Yusuf ibnu Husain menjenguk Ibrahim al-Khawwas, setelah
sekian lama Yusuf tak pernah mengunjunginya. Ketika melihat
Ibrahim, Yusuf bertanya kepadanya : “Apakah engkau ingin
sesuatu?” Ibrahim menjawab : “Benar, sepotong limpa
panggang.”

387
Maksud ucapan Ibrahim tersebut, kemungkinan adalah :
“Aku inginkan hati yang lembut terhadap si fakir, dan limpa
panggang yang menghangatkan orang asing.”
Dikisahkan : “Sebab kematian Ahmad bin Atha’, yakni
ketika ia memasuki rumah seorang menteri, lantas sang
menteri bicara dengan ucapan kasar. Lalu Ibnu Atha’ berkata :
“Tenanglah Anda ....!” Tiba-tiba sang menteri itu memukulnya
dengan sepatu dan mengenai kepalanya, hingga wafat pun
menjemputnya.”
Abu Bakr Muhammad ad-Duqqy berkata : “Kami sedang
berada di tempat Abu Bakr az-Zaqqaq pada pagi hari, lalu az-
Zaqqaq berkata, “Tuhanku, berapa lama lagi diriku Engkau
tempatkan di sana?” Dan keesokan pagi, ia telah meninggal
dunia.”
Diriwayatkan dari Abu Ali ar-Rudzbary, yang
mengisahkan : “Aku melihat di padangpasir seorang pemuda.
Ketika ia melihatku, ia berkata, “Adapun yang mencukupinya,
pesonanya padaku dengan cintanya, hingga membuatku
menderita.” Lalu aku melihatnya dalam keadan jiwa yang
lembut, sembari kukatakan padanya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha
Illallaah.” Lanatas ia mendendangkan syair :
Wahai yang tiada bagiku jauh dari-Nya
Bila ia menyiksaku, memang itulah setimpalnya
Wahai yang meraih hatiku
Sepadan yang tiada batasnya.”
Dikatakan kepada al-Junayd : “Ucapkalah Laa Ilaaha
Illallaah.” Lantas Junayd menjawab : “Aku tak pernah
melupakannya, dan selalu mengingatnya.” Dia kemudian
bersayir :
Yang selalu hadir dalam gairah di hatiku
388
Tak pernah kulupakan, maka selalu kuingat.
Dia-lah Tuanku dan Sandaranku
Bagianku dari-Nya lebih sempurna.
Ja’far bin Nashr bertanya pada Bakran ad-Dinawary – di
mana dia sedang melayani asy-Syibly – “Apa yang Anda lihat
dari Asy-Syibly?” Ia menjawab : “Asy-Syibly pernah berkata : “
“Aku punya dirham gelap, dan kau telah menyedekahkannya
beberapa ribu. Dalam hatiku tak ada rasa mengganjal yang
lebih besar dari dirham itu.” Lantas dia berkata : “Wudhukan
aku untuk shalat.” Aku pun mewudhukannya. Ketika itu aku
lupa menyela-nyela air pada jenggotnya, padahal aku
menahankan air pada mulutnya, lantas beliau menahankan air
itu pada tanganku dan kemudian menyelakan pada
jenggotnya, lantas beliau wafat.” Mendengar kisha itu Ja’far
menangis tersedu, dan berkata : “Apa yang kalian katakan itu,
tentang seorang lelaki yang tak pernah melewatkan adab dari
adab-adab syariat, hingga akhir hayatnya.”
Ali-al-Muzayyin berkata : “Saat sedang berada di Mekkah
al-Mukarramah --- semoga Alalh swt. menjaganya --- Tiba-tiba
aku merasa gelisah. Lantas aku ingin berangkat ke Madinah al
Munawarah. Ketika aku sampai ke Bi’ru Maimun, tiba-tiba
seorang pemuda terlempar. Aku mencoba menggugahnya,
namun ia kelihatan naza’. Kukatakan padanya : “Ucapkalah
Laa Ilaaha Illallaah!.” Lantas kedua matanya terbuka, dan
kemudian menguntaikan syair :
Aku, bila mati, cintaku telah memenuhi hatiku
Sedang awal asmara telah mematikan kemuliaan.
Selanjutnya pemuda itu menjerit dengan sekali jeritan,
lantas mati. Aku memandikan, mengafani dan menshalatinya.
Ketika selesai memendamnya, aku tidak berhasrat untuk
389
meneruskan perjalanan. Aku pun kembali ke Mekkah ---
Semoga Allah swt. menjaganya.”
Dikatakan kepada salah seorang Sufi :”Apakah Anda
mencintai maut?” Ia menjawab : “Datang kepada orang yang
diharapkan kebaikannya itu llebih baik daripada menetap
bersama orang yang tidak percaya keburukannya.”
Diriwayatkan dari al0Junayd, yang mengatakan : “Aku
sedang berada di tempat guruku, Ibnu Karainy, ketika
beliausudah merelakan ddirinya. Lalu kulihat langit, dan beliau
berkata : “Jauh!” lalu kulihat bumi, beliau pun berkata :
“Jauh!” Yakni, Dia itu lebih dekat dibandign Anda memandang
ke langit maupun k bumi. Bahkan Dia ada sebelum langit dan
bumi.”
Saya mendengar ssalah seorang sahabt kami berkata :
“Abu Yazin berkata menjelang wafatnya : “Aku tak pernah
ingat pada-Mu kecuali ketika lupa, dan Engkau tak pernah
menggenggamku, kecuali saat jeda.”
Abu Ali Muhammad ar-Rudzbary berkata : “Aku memasuki
negeri Mesir, dan kulihat orang-orang berkumul, seraya
berkata : “Kita sedang berada dalam iringan jenazah seorang
pemuda yang meninggal karena mendengar orang
menguntaikan syair :
Betapa besar dosa hamba
Yang ambisi sekali melihat-Mu.
Lalu pemuda itu menjerit dengan sekali teriakan, lantas
mati.”
Dikisahkan : “Sekelompok orang menjenguk Mumsyad ad-
Dinawary yang sedang sakit. Mereka berkata padanya : “Apa
yang dilakukan Allah swt. pada Anda?” Ad-Dinawary
menjawab : “Sejak tigapuluh tahun ini aku ditawari surga dan
390
seisinya, namun aku tak pernah menolehkan pandanganku.”
Mereka bertanya di saat dia sedang naza’ : “Bagaimana Anda
menemukan hati Anda?” Dia menjawab : “Sejak tigapuluh
tahun, aku kehilangan hatiku.”
Sebab kematian Abul Husain bin Bannan, adalah ganjalan
dalam hatinya yang menyebabkan kebingungan arahnya.
Orang-orang menjumpainya tersesat di daerah kalangan Bani
Israil, dalam keadaan tertimpa pasir. Kemudian ia membuka
matanya dan berkata : “Bermewah-wewahlah, sebab inilah
kemewahan para kekasih.” Lalu nyawanya keluar dari
tubuhnya.
Abu Ya’qub Ishaq an-Nahrajury berkata : “Ketika aku
sedang berada di Mekkah al Mukarramah – semoga Allah swt.
menjaganya – tiba-tiba datang seorang fakir dengan
membawa dinar. “Bila besok tiba, aku pun mati. Tolong
butakan kuburanku dari separo dinar ini, separo lainnya untuk
persiapanku.” Aku berkata dalam hati; anak muda ini tidak
waras, dan dia sedang tertimpa kekuranagn. Ketika esok hari
tiba, ia datang kembali, masuk ke masjid dan tawaf. Kemudian
berlalu dan menjejak-jejakan kakinya pada tanah. “Itu dia,
pura-pura mati.” Kaaku. Aku pun menghampirinya dan
menggerakkannya. Ternyata ia benar-benar mati. Akhirnya
sebagaimana pesannya, aku pun menguburkannya.”
Dikatakan : “Ketika keadaan Abu Utsman Sa’id al-Hiry
mengalami perubahan, anaknya, Abu Bakr merobek gamis.
Lalu Abi Utsman membuka matanya, berkata : “Hai anakku,
menetang sunnah dalam bentuk lahiriah tergolong riya’dalam
batin.”
Dikatakan : “Ketika Ahmad memasuki rumah al-Junayd,
sedangkan Junayd telah rela untuk mati, Ahmad menucapkan
391
salam. Namun jawabannya terlambat, walau akhirnya
menjawab pula. Setelah itu al-Junayd berkata : “Maaf, aku
sedang dalam wiridku.” Setelah itu al-Junayd meninggal.”
Diriwayatkan oleh Abu Ali ar-Rudzbary : “Ada seorang fakir
datang pada kami, lalu mati. Aku pun menguburkannya, dan
ketika wajahnya kubuka untuk kuletakkan di atas tanah, agar
Alalh swt. mengasihi dalam pengasingannya, tiba-tiba kedua
matanya terbuka, dan berucap : “Wahai Abu Ali, apakah
engkau menghinakan diriku di sisi Dzat Yang memanjakanku?”
Aku berkata : “Saudaraku, apakah ada kehidupan setelah
mati?” Ia menjawab : “Bahkan aku ini hidup. Dan orang yang
mencintai Allah swt. selalu hidup. Esok nanti tiada yang
membahayakanmu, demi kebesaranku, wahai Rudzbary.”
Diriwayatkan dari Abul Hasan Ali al-Ashbahany, yang
berkata : “Apakah kalian semua melihat diriku mati seperti
orang-orang yang mati itu, ada sakit dan ada pula orang-
orang yang menjenguk. Ketika aku dipanggil “Wahai Ali” aku
pun menjawabnya.” Pada suatu hari Ali sedang berjalan,
sembari menjawab panggilan orang : “Labbaik.” Kemudian ia
mati.
Abul Hassan Ali al-Muzayyin berkata : “Ketika Abu Ya’qub
Ishaq an-Nahrajury sakit menjelang wafatnya, di sat naza’nya
aku mengatakan padanya : “Ucapkan : “Laa Illaha Illallaah>”,
lalu beliau tesenyum padaku sembari berucap : “Yang kau
maksud itu aku? Demi Keagungan Dat Yang tak pernah
merasakan kematian, tak ada antara diriku dengan-Nya,
kecuali hijab keagungan.” Lalu saat jadi padam (wafat).”
Selanjutnya Ali al-Muzayyn memegangi jenggotnya dan
berkata : “Pembekam seperti diriku ini, menuntun syahadat

392
para wali Allah swt?” Al-Muzayyin merasa malu, dan ia selalu
menangis bila ingat kisah ini.
Abul Husain al-Maliky berkata : “Aku berguru pada an-
Nassaj beberpa tahun. Delapan hari menjelang kewafatannya;
beliau berbicara padaku : “Hari Kamis tepat waktu maghrib
aku akan mati. Aku akan dimakamkan hari Jum’at, sebelum
Shalat Jum’at. Kamu jangan lupa itu!” Ternyata wasiat itu
kkulupakan, hingga hari Jum’at. Tiba-tiba ada orang yang
memberi kabar atas kewafatannya. Aku bergegas keluar
menghadiri jenazahnya. Kulihat serombongan manusia
sedang pulang, sambil berkata : “Beliau dimakamkan setelah
shalat.” Namun aku tidak bergeming dan aku pun haidr.
Kutemani jenazah, ternyata telah dikeluarkan sebelum waktu
shalat sebagaimana diucapkannya padaku dulu. Aku bertanya
pada hadirin yang hadir saat wafatnya. Salah seorang di
antara mereka berkata : “Beliau pingsan, lalu sadar kembali.
Kemudian menoleh ke arah rumah dan berkata, : “Berhenti,
semoga Allah memaafkanmu. Kamu adalah hamba yang
diperintah, dan aku pun hanya diperintah. Yang diperintahkan
padamu, tidak membuat kesenjangan bagimu, sedangkan
yang diperintahkan padaku, membuat senjang diriku. Lantas
beliau meminta air, untuk memperbarui wudhu, kemudian
shalat. Setelah shalat, tubuhnya kejang dan matanya
terpejam (wafat).” Maka, setelah beliau wafat, Abul Husain
bermimpi bertemu dengan an-Nassaj : “Bagaimana
keadaannya?” Tanya Abul Husain. “Jangan kamu lupakan,
tetapi, sebenarnya kau telah membersihkan duniamu yang
kotor.”
Pengarang kitab Bahjatul Asrar, menuturkan, bahwa
ketika Sahl bin Abdullah meninggal, manusia berduyun-duyun
393
mendatangi jenazahnya. Di daerah itu ada sekelompok
Yahudi, sekitar tujuh puluh orang. Salah seorang Yahudi itu
mendengar kegaduhan, lalu keluar untuk melihat apa yang
terjadi. Ketika melihat jenazah, tiba-tiba ia berteriak : “Hai,
apakah kalian semua melihat seperti apa yang kulihat?”
Mereka menjawab : “Tidak!” Apa yang Anda lihat?” Yahudi itu
berkata : “Aku melihat serombongan kaum yang turun dari
langit, mereka saling menyentuh dan mengusap jenazah itu.”
Setelah kejadian itu, Yahudi tersebut membaca syahadat,
memeluk Islam, dan menjadi Muslim yang taat.
Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Aku sedang berada di
Mekkah al-Mukarramah semoga Allah swt. menjaganya. Suatu
hari aku melewati pintu Bani Syaibah. Kulihat seorang pemuda
yang tampan dalam keadaan meninggal dunia. Kulihat
wajahnya, dia tersenyum dalam wajahku, dan berkata padaku,
: “hai Abu Sa’id, ketahuilah bahwa sesungguhnya para kekasih
Allah itu hidup, walaupun mereka mati. Mereka hanya
dipindahkan dari satu rumah ke rumah lain.”
Ahmad al-Jurairy berkata : “Ada berita sampai padaku
bahwa Dzun Nuun al-Mishry, ketika sedang naza’ diminta
untuk berwasiat. Beliau malah menjawab : “Jangan ganggu
aku. Aku ini sedang terpesona oleh keindahan-keindahan
kelembutan-Nya.”
Abu Utsman al- Hiry berkata : “Abu Hafs ditanya mengenai
situasi wafatnya, ‘Apa yang bisa engkau nasihatkan pada
kami, mengenai kematian?” Beliau menjawab : “Aku tak
mampu untuk menjelaskan.” Kemudian tapak bahwa dirinya
terasa kuat untuk menerangkan, dan aku pun bertanya
padanya : “Katakanlah, sehingga aku bisa mengisahkan ini

394
darimu.” Beliau menjawab : “Patah semangat telah
meletihkan hati dari sikap ceroboh.”

45.
MA’RIFAT

Allah swt. berfirman :


“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan
penghormatan yang semestinya.” (Qs. AL-An’am :91).
Dalam sebuah tafsir dijelaskan bahwa ayat tersebut
bermakna : “Mereka tidak mengenal Allah (ma’rifat
sebagaimana seharusnya Dia dikenal.”
Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda :
“Podasi sebuah rumah adalah dasarnya. Pondasi Agama
adalah pengenalan kepada Allah swt. yakin, dan akal yang
teguh.” Aisyah lalu bertanya : “Demi ayah dan ibuku, menjadi
tebusanmu, apakah akal yang teguh itu?” Beliau menjawab :
“Menjga dari maksiat terhadap Alalh dan bersemangat dalam
menaati Allah swt.” (Dikeluarkan oleh ad-Dailany, dari Aisyah
r.a.).
Ditinjau dari segi bahasa, para ulama mengartikan
ma’rifat adalah ilmu. Semua ilmu adalah disebut ma’rifat, dan
semua ma’rifat adalah ilmu, dan setiap orang yang
mempunyai ilmu (‘alim) tentang Allah swt. berarti seorang
yagn ‘arif, dan setiap yang ‘arif berarti ‘alim. Tetapi di
kalangan Sufi, ma’rifat adalah sifat dari orang yang mengenal
Allah swt, melalui Nama-nama serta Sifat-sifat-Nya dan
berlaku tulus kepada Allah swt, dengan muamalatnya,
kemudian menyucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dan
cacat, yang terpaku lama di pintu (ruhani), dan yang
395
senantiasa i’tikaf dalam hatinya. Kemudian dia menikmati
keindahan dekat hadirat-Nya, yang mengukuhkan
ketulusannya dalam semua keadaannya. Memutus segala
kotoran jiwanaya, dan dia mencondongkan hatinya kepada
pikiran apa pun selain Alalh swt. sehingga ia menjadi orang
asing di kalangan makhluk. Ia menjadi bebas dari bencana
dirinya, bersih dan tenang, senantiasa abadi dalam sukacita
bersama Allah swt. dalam munajatnya. Di setiap detik
senantiasa kembali kepada-Nya, senantiasa berbicara dari sisi
Al-Haq melalui pengenalan rahasia-rahasia-Nya. Dan ketika
Allah swt. mengilhaminya dengan membuatnya menydari
rahasia-rahasia-Nya akan takdirnya, maka pada saat itu ia
disebut seorang ‘arif, dan keadaannya disebut ma’rifat.
Jelasnya, frekuensi keterasingannya terhadap dirinya sendiri
(dan seluruh makhluk yang ada) semata karena sukses
ma’rifatnya kepada Allah swt.
Para syeikh, masing-masing berbicara tentang ma’rifat,
sesuai dengan pengalamannnya sendiri dan menunjukkan
isyarat apa yang datang kepadanya pada waktunya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Salahsatu tanda
ma’rifat adalah munculnya haibah dari Allah swt. Barangsiapa
bertambah ma’rifatnya, bertambah pula habah-nya.” Saya
mendengar beliau juga menyatakan : “Ma’rifat membawa
ketentraman dalam hati, sebagaimana pengetahuan
membawa kedamaian. Jadi, orang yang ma’rifatnya
bertambah, maka bertambah pula ketentramannya.”
Asy-Syibly berkata : “Bagi sang ‘arif tidak ada keterikatan,
bagi sang pecinta tidak ada keluhan, bagi sang hamba tidak
ada tuntutan, bagi orang yang takut kepada Alalh tidak ada
tempat yang aman, dan bagi setiap orang tidak ada jalan lari
396
dari Allah.” Ketika asy-Syibly ditanya tentang ma’rifat, dia
menjawab : “Awalnya adalah ma’rifat hanya bagi Alalh swt.
dan yang akhirnrya adala sesuatu yang tiada hingga.”
Abu Hafs berkata : “Sejak diriku mencapai ma’rifat, tiada
lagi kebenaran ataupun kebatilan yang memasuki hatiku.”
Ucapan Abu Hafs ini mengandung kemusykilan. Mungkin
sekali Abu Hafs menunjukkan bahwa dalam padangan Sufi,
ma’rifat menjadikan sang hamba kosong dari dirinya sendiri,
karena dia dilimpahi oleh dzikir kepada-Nya. Dengan
demikian, tidak melihat apapu selain Alalh swt. tidak pula
musyahadah kepada selain Allah swt. Sebagaimana seorang
yang berakal berpaling kepada hati dan refleksi pemikirannya
terhadap obyek pemikirannya, atau kondisi yang dihadapinya.
Bagi sang ‘arif, semata kembali pada Tuhan-nya. Jika
seseorang disibukkan dengan Tuhannya semata, maka dia
tidak akan berpaling kepada hatinya sendiri. Bagaimana
mungkin masalah tersebut memasuki hati seseorang yang
tidak punya hati?” Bedakanlah antara orang yang hidup
dengan hatinya, dan orang yang hidup dengan Tuhannya.
Ketika ditanya tentag ma’rifat, Abu Yazid al-Bisthamy
menjawab dengan menyitir ayat : “Sesungguhnya raja-raja
jika mereka memasuki suatu negeri, niscaya mereka
membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia
menjadi hina.” (Qs. An-Naml :34). Abu Yazid menyatakan :
“Manusia mempunyai ihwal ruhani, bagi yang ‘arif tidak ada.
Sifat-sifat manusiawinya terhapus dan ke-dia-annya telah
berubah menjadi ke-Dia-an lain. Pengaruhnya gaib karena
faktor Lain di luar dirinya.”

397
Muhammad al-Wasithy berkata : Ma’rifat tidak dibenarkan
jika dalam diri si hamba masih ada rasa kepuasan dengan
Allah swt. dan kebutuhan terhadap-Nya.”
Dengan ucapan ini al-Wasithy memaksudkan bahwa
kebutuhan dan kepuasan adalah sebagai tanda-tanda
kesadaran jiwa pada diri si hamba dan tanda-tanda tetapnya
sifat-sifatnya, karena keduanya merupakan sifat-sifatnya.
Sang ‘arif terlebur dalam obyek ma’rifatnya. Bagaimana
mungkin ma’rifatnya, shahih – bila kebutuhan dan kepuasan
dengan-Nya masih meelkat – sementara dia lebur dalam
Wujudn-Nya atau terserap dalam musyahadah pada-Nya,
tetapi belum sepenuhnya mencapai wujud dan masih
dipisahkan oleh kesadaran akan sifat apa pun yang mungkin
dimilikinya? Karena alasan inilah al-Wasithy juga
mengatakan : “Barangsiapa ma’rifat kepada Alalh swt. berarti
terputus, bahkan bisa dan hampa.”
Nabi saw. menyabdakan :
“Aku tak bisa memuji-Mu sepenuhnya.” (Hr. Baihaqi).
Inilah sifat-sifat mereka yang perspektifnya jauh.
Sementara mengenai mereka yang puas dengan batasan
tersebut, mereka telah banyak berbicara dengan ma’rifat
dengan panjang lebar.
Ahmad bin Ashim al-Anthaky berkata : “Siapa yang lebih
ma’rifat (terhadap) Allah swt. semakin dia takut pada-Nya.”
Salah seorang Sufi berkata : “Barangsiapa ma’rifat
(terhadap Allah swt. akan dikokohkan oleh keabadian, dan
dunia seisinya terasa sempit.”
Dikatakan : “Barangsiapa ma’rifat kepada Allah swt. Dia
akan menjernihkan hidupnya, dan memberikan kebajikan
hidup padanya. Segala sesuatu gentar kepadanya, dia sendiri
398
tidak takut pada sesuatu pun di antara makhluk, dan dia
mengalami sukacita yang luas biasa dengan Allah swt.”
Dikatakan : “Barangsiapa ma’rifat (terhadap) Allah swt.
hilangah keinginan akan segala yang ada, dan dia tidak terikat
ataupun terpisah dari mereka.”
Dikatakan : Ma’rifat mendatangkan rasa malu dan sikap
pengagungan, sebagaimana tauhid mendatangkan keridhaan
dan kepasrahan kepada Allah swt.”
Ruwaym bin Ahmad berkomentar : “Ma’rifat adalah
cermin sang ‘arif. Bila dia menatap cermin itu. Tampaklah
Tuhannya.”
Dzun Nuun al-Mishry menuturkan : “Ruh pra Nabi berlomba di
padang ma’rifat dan ruh Nabi kita Muhammad saw.
memenangkan arwah para Nabi --- Semoga Allah
melimpahkan kesejahteraan kepada mereka – ke taman
wishaal.” Dia juga mengatakan : “Pergaulan sang ‘arif
(terhadap orang lain) adalah seperti perlakuan Allah swt,
dia bersabar terhasapmu karena dia meniru Akhlak Allah
swt.”
Hasan bin Yazdaniyar ditanya : “Kapakah seorang ‘arif
menyaksikan Allah swt.?” Dia menjawab : “Ketika Penyaksi
Tampak, maka sarana penyaksian lenyap, indera pun musnah
dan keikhlasan melebur.”
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj berkata : “Apabila si
hamba mencapai tahapan ma’rifat, Allah swt. membisikan
melalui bisikan-bisikan dan menjaga batinnya, agar tidak
dicampuri oleh bisikan yang tidak haq.” Al-Hallaj juga
mengatakan : “Tada seorang ‘arif adalah bahwa dia kosong
dari dunia dan akhirat.”

399
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Pangkal ma’rifat ada dua
: “Kedahsyatan dan kebingungan.”
Dzun Nuun al-Mishry menegaskan : “Orang yang paling
ma’rifat (terhadap) Allah adalah yang paling besar
kebingungannya.”
Seorang laki-laki berkta kepada al-Junyad : “Di antara ahli
ma’rifat, ada sebagian yang mengatakan, ‘Meninggalkan
setiap macam gerakan (lahiriah) adalah bagian dari kebajikan
dan takwa.” Al-Junayd menjawab : “Mereka itu adalah orang-
orang yang mengusulkan agar meninggalkan semua amalan,
yang menurut pendapatku merupakan kekeliruan besar.
Pencuri dan pezina lebih baik perilakunya daripada mereka
yag berucap demikian. Sebab sang ‘arif memperoleh amal-
amal dari Allah swt. dan mereka kembali kepada Allah swt.
melalui amal-amal tersebut. Seandainya aku hidup seribu
tahun, aku tidak akan mengurangi pelaksanaan amal
kebajikan sekecil biji sawi sekalipun.”
Ditanya kepada Abu Yazid al-Bisthamy : “Dengan apa
engkau mencapai ma’rifat?” Dia menjawab : “Melalui erut
yang lapar dan tubuh yang telanjang.”
Abu Ya’kub an-Nahrajury menuturkan : “Aku bertanya
kepada Abu Ya’kub as-Susy : “Apakah sang ‘arif bersedih
karena sesuatu selain Allah swt?” Dia menjawab : “Dan
apakah dia melihat sesuatu selain Dia yang membuatnya
bersedih?” Aku lalu bertanya : “Lantas dengan mata yang
mana dia melihat segala alam ini?” Dia menjawab : “Dengan
mata fana’ dan kehangusan.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Sang ‘arif terbang dan
sang zahid berjalan.” Dikatakan : “Mata sang ‘arif menangis,
tetapi hatinya tertawa.”
400
AL Junayd menyatakan : “Sorang ‘arif tidak akan menjadi
‘arif sampai dia menjadi seperti bumi : diinjak oleh orang yang
baik maupun jahat, dan sampai dia menjadi seperti hujan;
menyirami segala sesuatu, baik yang mencintainya maupun
membencinya.”
Yahya bin Muadz berkata : “Sang ‘arif keluar dari dunia ini
tanpa mencapai tujuannya dalam dua hal : menangisi diri
sendiri dan pujiannya pada Tuhannya Yang Maha Agung dan
Lihur.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Merekan mencapai
ma’rifat hanya dengan mengorbankan apa yang mereka miliki
dan tinggal dengan apa yang jadi milik-Nya.”
Yusuf bin Ali menegaskan : “Seseorang tidak akan menjadi
‘arif sejati sampai seandainya kerajaan Sulaiman diberikan
kepadanya, kerajaan itu tidak memalingkan perhatiannya
sekejap mata pun dari Allah swt.”
Ahmad bin Atha’ menjelaskan : “Ma’rifat dibangun dengan
tiga tiang : Rasa gentar (haibah), malu (haya’) dan
kesukacitaan (Uns).”
Dzun Nuun al-Mishry ditanya : “Degan apa engkau
mengenal Tuhanmu?” Dia menjawab : “Aku mengenal Tuhanku
dengan Tuhanku. Kalaulah tidak karena Tuhanku, niscaya aku
tidak akan menganl Tuhanku.”
Dikatakan : “Ulama menjadi panutan, sedangkan seorang
‘arif adalah sumber petunjuk.”
Asy-Syibli mengatakan : “Sang ‘arif tidaklah berurusan
selain dengan Dia. Dan tidak pula dia berbicara dengan
pembicaraan tentang sesuatu selain-Nya, dan tidak melihat
satu pelindung pun bagi dirinya selain Allah swt.”

401
Dikatakan : “Sang ‘arif memperoleh kesenangan dengan
dzikir kepada Allah swt. dan ditakuti oleh makhluk-Nya. Dia
membuatnya tidak butuh pada makhluk. Sang ‘arif selalu
merasa hina di hadapan Allah swt. lantas Allah memuliakan di
hadapan makhluk-Nya.”
Abu ath Thayyib as-Samary mengatakan : “Ma’rifat adalah
munculnya Al-Haq di lembah batin melalui cahaya terus
menerus memancar.”
Dikatakan : “Sang ‘arif itu di atas apa yang dikatakannya,
dan sang ulama di bawah apa yang diucapkannya.”
Abu Sulaiman Abdurrahman ad-Darany berkata : “Allah
swt. menyingkapkan kepada sang ‘arif di tempt tidurnya, yang
tidak Dia ungkakan kepada orang lain, padahal orang lain itu
sedang shalat.”
Al-Junayd mengatakan : “Sang ‘arif adalah yang berbicara
haq dari batinnya, sedangkan ia sendiri dalam keadaan diam.”
Dzun Nuun menyatakan : “Bagi setiap orang ada hukuman
tertentu, dan hukuman bagi seoang ‘arif adalah terputus dari
dzikir kepada Allah swt.
Ruwaym berkata : “Riya’nya orang-orang ‘arif lebih utama
daripada keikhlasan para murid (pencari).”
Abu Bakr Muhammad al-Warraq berkata : “Diamnya
seorang ‘arif adalah paling bermanfaat, dan bicaranya adalah
paling simpatik dan paling menyenangkan.”
Dzun Nuun al-Mishry menegaskan : “Meskipun para zahid
adalah raja-raja di akhirat, padahal mereka adalah paling
fakirnya ‘arifin.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang san ‘arif, dia menjawab :
“Warna air adalah warna wadahnya.” Artinya, sifat orang ‘arif
selalu ditentukan oleh waktunya.
402
Abu Yazid al-Bisthamy ditanya tentang sang ‘arif. Dia
mengatakan, : “Dia tidak melihat sesuatu pun selain Allah swt.
dalam tidurnya dan tidak melihat satu pun selain Allah swt. di
saat bangunnya. Dia tidak sesuai dengan selain Allah swt, dan
dia tidak memandang kepada selain Alalh swt.”
Abdullah bin Muhammad ad-Dimasyqy berkisah, bahwa
salah seorang syeikh ditanya : “Dengan apa Anda mengenal
Allah swt.?” Dia amenjawab : “Dengan kilatan cahaya yang
memancar melalui lisan yang diambil dari pembedaan biasa
dan dengan satu kata yang meluncur melalui lisan seseorang
yang binasa dan musnah.: Ia menunjuk kepada suatu ekstase
yang muncul dan menuturkannya dari rahasia yang tertutup.
Dirinya adalah apa yang diungkapkannya dari rahasia yang
tertutup. Dirinya adalah apa yang diungkapkan-Nya;
sedangkan yang lain-Nya adalah faktor yang menyulitkannya.
Kemudian ia mendendangkan lagu-lagu :
Engkau bicara tanpa ucapan, adalah bicara yang sungguh
Hanya bagi-Mu, apakah tertulis atau lebih jelas
Dan sekedar bicara
Engkau Tampakkan, agar aku tersembunyi, padahal
Aku adalah orang yang bersembunyi
Engkau kilatkan cahaya padaku,
Aku pun bicara dengan kilatan.
Ketika ditanya sifat seorang ‘arif, Abu Turab Askar an-
Nakhsyaby menjelaskan : “Tak sesuatu pun mengotorinya,
justru segala sesuatu menjadi bersih karenanya.”
Abu Utsman Sa’id Maghriby berkata : “Cahaya
pengetahuan bersinar bagi sang ‘arif, hingga dia melihat
dengannya keajaiban-keajaiban yang gaib.”

403
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menyatakan : “Sang ‘arif
hancur dalam lautan hakikat. Sebagaimana dikatakan oleh
salah seorang Sufi, “Ma’rifat adalah ombak yang
membumbung, naik dan turun.”
Yahya bin Mu’adz ditanya tentang sang ‘arif, dan
menjawab : “Seseorang yang ada dan terpisah.” Ia katakan
sekali lagi : “Mula-mula ada, kemudian terpisah.”
Dzun Nuun adl-Mishry mengatakan : “Tanda seorang ‘arif
ada tiga : Cahaya ma’rifatnya tidak meniup cahaya wara’-nya;
dia tidak percaya pada pengetahuan batin; apabila merusak
hukum-hukum lahir; dan melimpahnya rahmat Allah swt.
kepadanya tidak mendorongnya untuk merobek tirai yang
menutupi kehormatan Alalh swt.
Dikatakan : “Orang yang ‘arif bukanlah orang yang
berbicara tentang ma’rifat di hadapan generasi akhirat, dan
lebih-lebih lagi bukan a’rif jika dia berbicara hal itu di hadapan
orang-orang yang terikat pada dunia.”
Abu Sa’id al-Kharraz menyatakan : “Ma’rifat datang dari
sebuah mata kedermaan dan curahan usaha serius.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang perkataan Dzun Nuun al-
Mishry mengenai sifat seorang ‘arif, (Dia ada di sana,
kemudian menghilang pergi), maka al-Junayd menjawab :
“Seorang ‘arif tidak dibatasi oleh kondisi ruhani satu ke
kondisi lain, tidak pula ditirai oleh tahap yang berpindah dari
satu ke lainnya. Jadi, dia berada bersama orang banyak dari
setiap tempat seperti halnya mereka, dia mengalami apa pun
yang mereka alami, dan dia berbicara dengan bahasa mereka
agar mereka bisa memberikan manfaat dengan
pembicaraannya.”

404
Muhammad ibnul Dadhl berkata : “Ma’rifat adalah
hidupnya hati bersama Allah swt.”
Abu Sa’id al-Kharraz ditanya : “Apakah sang ‘arif sampai
pada kondisi, dimana air mata telah kering?” Dia menjawab :
“Memang Menangis termasuk dalam masa ketika mereka
melakukan perjalanan menuju Allah swt. Ketika mereka turun
menuju lembah hakikat taqarub, dan mengalami rasa wushul
dan anugerah-Nya, tangisan itu akan sirna.”

46.
CINTA
Allah swt. berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu
yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-
Nya.” (Qs. Al-Maidah :54).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda :
“Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun
mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa tidak mencintai
pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan
dengannya.” (H.r. Bukhari).
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Nabi saw. dari Jibril as.
Yang memberitahukan bahwa Tuhannya – Subhanahu wa Ta’ala, telah
berfirman :
“Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah
memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah aku merasa ragu-ragu
dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk
mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci
405
kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian harus
terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Ku-cintai bagi seorang
hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah
Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati-Ku dengan
melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa
yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang
penopang yang kokoh baginya.” (Haditst dikeluarkan oleh : Ibnu
Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Madarwieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu
Asaakir, riwayat dari Anas r.a.).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi telah
bersabda : “Apabila Allah swt. mencintai seorang hamba-Nya, maka
Dia berfirman kepada Jibril : “Wahai Jibril, Aku mencintai si Fulan,
maka cintailah dia.” Jibril pun lalu mencintai Fulan itu, dan dia
berseru kepada para penghuni langit lainnya : “Allah swt. mencintai
Fulan, maka hendaklah kalian juga mencintainya.” Para penghuni
langit pun lalu mencintai orang itu, dan dia pun diterima oleh
manusia di muka bumi. Apabila Allah swt. marah pada seorang
hamba....” Malik berkata, “Aku tak menduganya kecuali beliau (Nabi
saw.) mengatakan yang sama seperti di atas mengenai kebencian
Allah swt. kepada seorang hamba.” (H.r. Muslim dan Tirmidzi).
Cinta (mahabbah) adalah kondisi yang mulia yang telah
disaksikan Allah swt. melalui cinta itu bagi hamba, dan Dia telah
mempermaklumkan cinta-Nya kepada si hamba pula. Dan karenanya
Allah swt. disifati sebagai Yang Mencintai hamba, dan si hamba
disifati sebagai yang mencintai Allah swt.
Cinta menurut para ulama berarti kehendak. Tetapi yang
dimaksud kaum Sufi bukan kehendak. Karena kehendak hamba tidak
tidak ada kaitannya dengan yang Qadim, kecuali jika menggunakan
perkataan itu si hamba memaksudkan kehendak untuk membawa

406
pada kehendak mendekat kepada-Nya dan mengagungkan-Nya. Kami
akan membahas masalah ini dalam dua pangkal, Insya Allah.
Cinta Allah swt. kepada hamba adalah kehendak-Nya untuk
melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana
kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-
Nya. Jadi, cinta (mahabbah) lebih khusus daripada rahmat.
Kehendak Allah swt. dimaksudkan untuk menyampaikan pahala dan
nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat. Sedangkan
kehendak-Nya untuk mengkhususkan pada hamba, suatu kehendak
dan ihwal ruhani yang luhur disebut sebagai mahabbah.
Cinta Allah swt. kepada hamba adalah kehendak-Nya untuk
melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana
kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-
Nya. Jadi, cinta (mahabbah) lebih khusus daripada rahmat.
Kehendak Allah swt. dimaksudkan untuk menyampaikan pahala dan
nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat. Sedangkan
kehendak-Nya untuk mengkhususkan apda hamba, suatu kedekatan
dan ihwal ruhani yang luhur disebut sebagai mahabbah.
Kehendak Allah swt. adalah satu sifat, dimana menurut kadar
keterkaitannya, terjadi perbedaan dalam nama-namanya. Jika
dikatkan dengan hukuman, maka ia disebut ghadab. Jika ia dikaitkan
secara umum atas nikmat-nikmat-Nya, disebut rahmat. Jika ia
dikaitkan dengan kekhususan nikmat disebut sebagai Mahabbah
atau cinta.
Sebagian kaum Sufi mengatakan : “Cinta Allah swt. kepada
hamba adalah pujian Allah swt. kepada hamba-Nya, dan Allah
memujinya dengan sifat Indah-Nya.” Maka Cinta Allah kepada
hamba menurut pandangan ini, yaitu kembali kepada Kalam-Nya, dan
Kalam-Nya adalah Qadim.”

407
Sebagia Sufi berkata : “Cina-Nya kepada si hamba termasuk
sifat-sifat tindakan-Nya, yaitu sebagai manisfestasi Ihsan-Nya,
dimana Allah menemui Hamba-Nya. Sekaligus adalah ihwal ruhani
khusus, dimana sang hamba menaiki tahapannya, sebagai
diungkapkan kaum Sufi : “Rahmat-Nya kepada si hamba adalah
nikmat-Nya menyertai-Nya.”
Sekelompok ulama salaf berkata : “Mahabbah-Nya merupakan
sifat-sifat kebajikan. Mereka mengucapkan melaui teks dan
menghindar dari penafsiran. Selain itu semua, termasuk hal yang
rasional dalam sifat-sifat cinta makhluk, semisal kecondongan hati
pada sesuatu atau menyenangi sesuatu, seperti juga situasi
kemesraan antara pecinta dan yang dicintainya antar sesama
manusia; Maka Allah swt. Yanga Maha Qadim jauh dari semua itu.
Mengenai cinta si hamba terhadap Alah swt. itu adalah keadaan
yang dialami dalam hatinya, yang terlalu lembut untuk dikatakan.
Keadaan ini mendorong si hamba untuk ta’zim kepada-Nya,
memperioritaskan ridha-Nya, hanya memiliki sedikit saja kesabaran
dalam berpisah dengan-Nya, merasakan kerinduanyang mendesak
kepada-Nya, tidak menemuka kenyamanan dalam sesuatu pun selain-
Nya, dan mengalamai keceriaan hatinya dengan melakukan dzikir
yang terus menerus kepada-Nya dalam hatinya.”
Cinta si hamba kepada Allah swt. tidaklah berupa
kecenderungan manusiawi. Bagaimana bisa? Sedang hakikat
kemandirian Allah swt. itu suci dari segala sentuhan, pemahaman
dan pelampauan? Menggambarkan si pecinta sebagai yang musnah
dalam Sang Kekasih adalah lebih tepat daripada menggambarkannya
sebagai memperoleh bentuk simpati pada-Nya. Cinta tidak bisa
disifati dengan sesuatu diskripsi, tidak bisa dibatasi dan dijelaskan
kecuali dengan cinta itu sendiri. Terlibat dalam pembicaraan yang
mendalam di saat timbulnya kesulitan-kesulitan, maka, ketika
408
kesamaran dan kerancuan menghilang, tidak ada lagi kebutuhan
untuk meneggelamkan diri dalam penguraian kalam.
Ungkapan orang tentang cinta cukup banyak. Mereka berbicara
menurut prinsip-prinsip bahasa. Di antara mereka mengatakan, Cinta
(hubb) adalah nama bagi kemurnian cinta kasih, sebab orang Arab
mengatakan tentang gigi yang paling putih dengan habab al-asnaan.”
Dikatakan : “Al-Hubab adalah gelembung-gelembung yang
terbentuk di atas permukaan air ketika hujan lebat. Jadi, cinta
(mahabbah) adalah menggelembungnya hati ketika ia haus dan
berputus asa untuk bersegera bertemu dengan sang kekasih.
Dikatakan juga : “Hubb, berakar dari kata Hababul Maa’, adalah
air bah besar. Cinta dinamakan mahabbah karena ia adalah
kepedulian yang paling besar dari cinta hati.”
Dikatakan : “Cinta bersumber dari akar kata yang memiliki arti
keteguhan dan kemantapan. Dikatakan ahabbal ba’iir untuk
menggambarkan seekor unta yang berlutut dan menolak untuk
bangkit lagi. Seakan-akan san pencinta (muhibb) tidak akan
menggerakkan hatinya, jauh dari mengingat sang kekasih (mahbub).”
Dikatakan : “Cinta (hubb) berasal dari kata habb, yang berarti
anting-anting. Penyair berkata :
Ular menjulur-julurkan lidahnya,
Mengabiskan malam di sisi anting-anting,
Mendengarkan rahasia-rahasia.
Dalam syair di atas, digunakan kata habb untuk anting-anting,
dikarenakan posisinya yang tetap di telinga, atau karena goyangnya.
Kedua makna tersebut relevan pada kata cinta.”
Dikatakan : “Cinta dari kata habb (biji-bijian) yang merupakan
jama’ dari habbat. Dan habbabul qalb adalah sesuatu yang menjadi
penopangnya. Dengan demikian cinta dinamakan hubb dikarenakan ia
tersimpan dalam kalbu.”
409
Dikatakan : “Kata hubb berasal dari kata hibbah, yang berarti
biji-bijian dari padang pasir. Cinta dinamai Hubb adalah lubuk
kehidupan, seperti hubb sebagai benih tumbuh-rumbuhan.”
Dikatakan : “Hubb adalah keempat sisi tempat air. Cinta
dinamakanhubb karena ia memikul beban dari yang dicintai, dari
segala hal yang luhur maupun yang hina.”
Dikatakan juga : “Cinta berasal dari kata hibb, tempat yang di
dalamnya ada air, dan manakala ia penuh, tidak ada lagi tempat bagi
lainnya. Demikian pula, manakala hati diluapi cinta, tak ada lagi
tempat lagi selain sang kekasih.”
Sementara ungkapan-ungkapan para tokoh sufi, antara lain :
“Cinta berarti mengutamakan sang kekasih di atas semua yang
yang dikasihi.”
“Cinta adalah senantiasa condong kepada sang kekasih dengan
hati bimbang.”
“Cinta adalah bahwa kesesuaian diri dengan Sang Kekasih, di
alam nyata maupun gaib.”
“Cinta adalah peleburan si pecinta aats sifat-sifatnya dan
peneguhan Sang Kekasih dengan Dzat-Nya.”
“Cinta adalah relevansi hati dengan Kehendak Tuhan.”
“Cinta berarti ketakutan bila berlaku kurang hormat ketika
menegakkan baktinya.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Cinta adalah membebaskan
hal-hal sebesar apa pun yang datang dari dirimu, dan membesar-
besarkan hal-hal kecil yang datang dari kekasihmu.”
Sahl mengatakan : “Cinta berarti memeluk ketaatan dan
berpisah dari sikap kontra.”
Al-Junayd ditanya tentang cinta, dia menjawab : “Cinta berarti
merasuknya sifat-sifat Sang Kekasih mengambil alih sifat-sifat
pecinta.” Di sini al-Junayd menunjukkan betapa hati si pencinta
410
direnggut oleh ingatan kepada Sang Kekasih, hingga tak satu pun
yang tertinggal selain ingatan akan sifat-sifat Sang Kekasih, hingga
si pecinta lupa dan tidak sadar akan sifat-sifatnya sendiri.”
Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary mengatakan : “Hakikat cinta
berarti bahwa engkau memberikan segenap dirimu kepada Dia yang
kau cintai, hingga tak satu pun yang tersisa.”
Dulaf asy-Syibly menjelaskan : “Cinta disebut “mahabbah”
karena ia melenyapkan segala sesuatu dari hati, selain Sang
Kekasih.”
Ahmad bin Atha’ menegaskan : “Cinta berarti menegakkan
cacian selamanya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menegaskan pula : “Cinta adalah
kelezatan, tetapi kedudukan hakikatnya adalah kedahsyatan.” Saya
mendengar beliau juga mengatakan : “Asyik masyuk cinta adalah
melampaui semua batas cinta. Dan Allah swt. tidak bisa digambarkan
sebagai melampaui batas, Jadi Dia tidak bisa disifati sebagai
memiliki sifat asyik (‘isyq). Jika seluruh cinta manusia dikumpulkan
pada satu pribadi orang, maka cinta itu akan masih sangat jauh dari
kadar cinta yang seharusnya dipersembahkan kepada Allah swt.
Tidak bisa dikatakan, Orang ini telah melampaui semua batas dalam
mencintai Allah swt. Allah tidak bisa dikatakan memiliki sifat cinta
yang asyik masyuk. Tidak pula si hamba bisa digambarkan sebagai
memiliki Sifat-sifat-Nya, bahwa Allah swt. berkobar cinta-Nya.
Cinta yang berkobar-kobar (‘isyq) tidak bisa digunakan dalam
menggambarkan hubungan antara manusia dengan Allah swt. Sebab
tidak ada dasar untuk mengaitkan hal itu dengan Allah swt. baik dari
Dia kepada si hamba ataupun dari hamba kepada Allah swt.” (Al-Haq
tidak asyik dalam masyuk hamba-Nya, begitu pula hamba, tidak
dalam asyiknya al-Haq, ed).

411
Asy-Syibly berkata : “Cinta berarti engkau cemburu demi Sang
Kekasih, bila seorang manusia sepertimu juga mencintai-Nya.”
Ketika ditanya tentang cinta, Ahmad bin Atha’ menjawab :
“Cinta adalah pohon yang ditanamkan dalam hati, yang berbuah
sesuai dengan kadar akal.”
Manshur bin Abdullah mengisahkan bahwa Nashr Abadzy
berkomentar : “Satu macam cinta bisa mencegah pertumpahan
darah, sedangkan macam yang lain menyebabkan pertumpahan
darah.”
Sumnun bin Hamzah al-Khawwas menyatakan : “Para pecinta
Allah swt. telah pergi membawa akemuliaan di dunia dan akhirat,
sebab Nabi saw. bersabda : “Seseorang akan bersama dengan orang
yang dicintai.” (H.r. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi). Dan mereka pun
bersama Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Hakikat cinta adalah bahwa ia
tidak akan berkurang manakala seseorang mengalami kekeringan,
tidak pula bertambah jika dia disuguhi kebaikan. “Katanya pula :
“Orang yang mendakwakan diri mencintai Allah swt. adalah pendusta
jika dia mengabaikan hukum-hukum yang ditetapkan-Nya.”
Al-Junayd menegaskan : “Jika cinta seseorang itu benar, maka
anturan adab telah gugur.”
Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq bersyair dalam kaitan ucapan
Junayd :
Jika telah murni kasih sayang manusia,
Dan cinta mereka lestari,
Memuji telah menjadi kasar.
Al-Junyad juga mengatakan : “Anda tidak akan menjumpai
seorang ayah yang baik memanggil anaknya dengan panggilan yang
penuh penghormatan, sementara orang lain menggunkana sebutan

412
yang penuh kesantunan untuk memanggil anaknya itu. Si ayah
biasanya memanggil “Hai Fulan”.
Muhammad bin Ali al-Kattany berkata : “Cinta adalah
mengutamakan segalanya bagi Sang Kekasih.”
Bundal ibnul Husian berkata : “Seseorang bermimpi melihat
Majnun dan Banu Amir dan bertanya kepadanya : “Apa yang telah
dilakukan Allah swt. terhadapmu?” Majnun menjawab : “Dia telah
mengampuniku dan menjadikanku sebagi hujjah bagi para pecinta.”
Abu Ya’qubas-Susuy mengatakan : “Hakikat cinta adalah bahwa
si hamba melupakan bagian dari Allah swt. dan juga lupa akan
kebutuhannya terhadap Allah swt.”
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj mengatakan : “ Hakikat cinta
adalah tegakmu bersama Kekasihmu dan mencopot sifat-sifatmu.”
Saya mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy
mengisahkan, bahwa seseorang mengatakan kepada an-Nashr
Abadzy : “Engkau belum pernah mengalami cinta!” Dia menjawab :
“(Orang yang berkata begitu), benar. Tetapi aku menanggung
kesedihan mereka, dan di sana lah aku terbakar di dalamnya.” Dia
juga mengatakan : “Cinta adalah menghindari kelalaian dalam semua
keadaan.”
Kemudian dia bersyair :
Orang yang hasrat cintanya panjang
Akan merasakan kelupaan,
Sungguh, dari Layla, diriku bukan perasa.
Semakin banyak menemuinya
Harapanku tak tergapai
Berlalu secepat kilatan cahaya.
Muhammad ibnu Fadhl al-Farawy mengatakan : “Cinta berarti
gugurnya semua cinta, kecuali cinta Sang Kekasih.”

413
Al-Junayd mengatakan : “Cinta adalah mengabaikan hasrat
tanpa harap.”
Dikatakan : “Cinta adalah gangguan yang ditempatkan oleh Sang
Kekasih dalam hati.”
Dikatakan juga : “Cinta adalah cobaan besar yang ditempatkan
dalam hati dari yang dihasrati.”
Ahmad bin Atha’ membacakan syair :
Kutanam satu cabang cinta para pecinta “
Cinta menumbuhkan cabang-cabang, dan hasrat rindu yang
mematang
Dan meninggalkan aku dari rasa pahit dari buah-buahan yang
manis,
Hasrat dari semua perindu adalah cintanya,
Jika mereka menelusurinya, ternyata dari akar itu.
Dikatakan : “Awal mula cinta adalah penipuan, dan akhirnya
pembunuhan.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan komentar tentang
hadits Nabi saw. : “Cinta terhadap sesuatu, membutakan dan
menulikan.” (H.r. Abu Dawud, dari Anas bin Malik), bahwa cinta
membutakan seseorang terhadap orang lain karena cemburu,
sedangkan terhadap sang kekasih karena rasa kharisma.
Kemudian beliau membacakan syair :
Jika kebesan-Nya yang tidak tampak padaku,
Aku akan terusir kembali dalam keadaan sama
Dengan orang belum pernah berhasrat.
Al-Harits al-Muhasiby menjelaskan : “Cinta adalah
kecenderunganmu kepada sesuatu dengan sepenuhnya, kemudian
engkau mengutamakan padanya dibanding dirimu, jiwamu dan harta
bendamu, kemudian berada dalam keserasian dengannya, baik secara

414
lahir maupun batin, kemudian menginformasikan atas kekuranganmu
dalam mencintai-Nya.”
As-Sary as-Saqathy mengatakan : “Tidak bisa dikatakan cinta
yang sebenarnya jika dua pihak tidak bisa mengatakan kepda
amasing-masing dengan ungkapan “Wahai diriku”.
Asy-Syibly berkata : “Sang pecinta akan binasa jika diam,
tetapi sang ‘arif akan binasa jika tidak berdiam diri.”
Dikatakan : “Cinta adalah api dalam hati yang membakar segala
sesuatu selain kehendak sang kekasih.”
Dikatakan juga : “Cinta adalah upaya besar sementara sang
pecinta melaksanakan kehendak sang kekasih.”
Ahmad an-Nury mengatakan : “Cinta berarti merobek tabir dan
menyingkap rahasia-rahasia.”
Abu Ya’qub as-Susy berkata : “Cinta tidak sah tanpa keluar dari
melihat cinta menuju penglihatan Sang Kekasih, dengan kefana’an
ilmu cinta.”
Al-Junayd menuturkan : “As-Sary memberikan sepotong kertas
kepadaku dan tertulis : “Ini lebih baik bagimu daripada tujuhratus
kisah atau hadits.’ Dan di sana ada bait-bait syair :
Ketika aku mengaku cinta
Ia berkata : “Engkau bohong padaku”
Lalu apa bagiku, ketika kulihat tubuhmu nan bulat nan elok?
Tiada cinta, melainkan sampai hati melekat pada urat di dalam
Sedang engkau layu sampai tak tersisa
Untuk menjawab sang penyeru
Dan engkau terpatah-patah sampai tak ada lagi hasrat cinta
Selain mata yang menangis dan ..
Penuh Munajat.....
Ibnu Masruq berkomentar : “Aku hadir ketika Samnun sedang
berbicara tentang cinta, dan semua lampu di masjdi lalu pecah.”
415
Dikatakan : “Suatu ketika aku sedang mendengarkan Samnun
berbicara tentang cinta di masjdi, tiba-tiba seekor burung kecil
datang dan mendekat ke arahnya. Ia terus mendekat hingga
akhirnya hinggap di tangannya. Kemudian ia mematuk-matukkan
paruhnya ke lantai sampai darah mengalir dari mulutnya, kemudian
mati.”
Al-Junayd menjelaskan : “Semua cinta dengan satu tujuan. Jika
tujuan itu hilang, maka cinta pun akan hilang pula.”
Diceritakan bahwa sekelompok orang datang mengunjungi Asy-
Syibly ketika dia sedang ditahan di rumah sakit jiwa. Dia bertanya,
“Siapa kalian ini?” Mereka menjawab : “Kami adalah orang-orang
yang mencintaimu, wahai Abu Bakr!.” Syibly menghadap mereka
lantas melempari mereka dengan batu, sembari berkata : “Jika
kalian mengaku benar-benar mencintaiku, tentu kalian akan
bersabar atas ujian yang menimpaku.” Lalu dia mendendangkan syair
:
Wahai Tuhan Mulia, cinta kepadamu tersimpan daam hati.
Wahai Engkau yang menghilangkan tidur dari kelopak mataku,
Engkau tahu semua yang menimpaku.
Yahya bin Mu’adz menulis kepada Abu Yazid al-Bisthamy : “Aku
mabuk karena terlalu banyak meminum dari cangkir cinta-Nya.” Abu
Yazid membalas suratnya : “Orang lain meminum lautan langit dan
bumi namun rasa hausnya belum terpuaskan, sembari berkata, Apa
masih ada lagi?”
Para Sufi bersyair :’Aku kagum bagi yang berkata,
‘Aku mengingat-ingat kekasihku.’
Adakah aku bisa melupakan, lalu aku masih ingat yang kulupa?”
Aku mati, tapi apa aku mengingat-Mu, aku hidup kembali.
Kalau-lah bukan karena husnudzanku pada-Mu
Aku tak kan hidup
416
Aku hidup dengan harapan, dan aku mati karena rindu.
Berapa kali aku hidup melalui harapan pada-Mu,
Dan berapa kali aku telah mati!
Aku meminum air cinta dan piala ke piala
Namun piala tetap penuh jua
Hausku tak henti-hentinya.
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Isa as. : “Jika
Aku melihat kepada hati seorang hamba dan Aku tidak menemukan
cinta terhadap dunia ataupun akhirat, maka Aku akan memenuhinya
dengan cinta-Ku.”
Saya melihat tulisan Syeikh Abu Ali ad- Daqqaq : “Salah satu
kitab wahyu menegaskan : “Wahai hamba-Ku, Aku demi hakmu
bagimu, sebagai Pecinta, maka demi hak-Ku jadilah engkau bagi-Ku
sebagai pecinta.”
Abdullah ibnul Mubarak mengatakan : “Barang siapa dianugerahi
satu bagian cinta tapi tidak dianugerahi sejumlah rasa takut yang
sama, berarti tertipu.”
Dikatakan : “Cinta menghapus semua bekas dirimu.”
Dikatakan pula : “Cinta adalah kemabukkan; kesadaran hanya
datang dengan melihat Sang Kekasih. Keetika melihat Kekasih
justru tak bisa dibayangkan.”
Para Sufi membacakan syair berikut :
Piala berputar, mereka pun mabuk,
Sedang mabukku datang dari si pemutar piala
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq sering membacakan syair berikut :
Aku menikmati dua mabuk
Sedangkan teman-teman minumku hanya satu
Sesuatu yang istimewa bagiku di antara mereka
Yang mendapat anugerah itu

417
Ibnu Atha’ mengatakan : “Cinta berarti mengundang celaan yang
terus menerus.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mempunyai seorang budak perempuan
bernama Fairuz yang beliau cintai, karena telah berbakti begitu
lama. Beliau mengatakan kepadaku : “Pada suatu hari Fairuz
menghinaku, dengan mengucapkan kata-kata nyerocos. Abu Hasan
al-Qari’ bertanya kepadanya : “Mengapa engkau menyakiti Syeikh?”
Dia menjawab, “Karena saya mencintainya.”
Yahya bin Mu’adz menyatakan : “Aku lebih suka memiliki cinta
sebesar biji sawi daripada ibadat selama tujuhpuluh tahun tanpa
cinta.”
Diceritakan bahwa seorang pemuda memandang kepada orang-
orang yang berkumpul pada hari hari taya dan bersyair :
Siapa yang mati dalam keluhan cinta
Matilah seperti itu,
Tak baik dalam cinta tanpa kematian
Kemudian dia melemparkan dirinya dari atas rumah dan mati.
Diceritakan bahwa seorang laki-laki dari India menaruh cinta
yang berkobar-kobar kepada seorang budak perempuannya. Pada
suatu hari si budak meninggalkannya, dia keluar untuk mengucapkan
selamat berpisah kepadanya. Airmata mengalir dari salah satu
matanya, tapi matanya yang satu lagi tidak mengeluarkan airmata.
Selama delapanpuluh empat tahundia menutup matanya yang tak
menangis itu sebagai hukuman karena tidak menangis ketika
kekasihnya pergi. Mengenai hal ini para Sufi bersyair :
Sebelah mataku menangis di pagi hari ketika berpisah,
Namun mata yang lain kikir pada kami untuk menangis.
Maka kuhukum mata yang kikir airmata
Dengan menutupnya di hari ketika kami saling bertemu.

418
Salah seorang Sufi berkata : “Pada suatu hari ketika kami
sedang berbincang-bincang dengan Dzun Nuun al-Mishry tentang
cinta, dia meminta, dengan bersyair :
Takut lebih utama daripada terjerumus pelaku kejahatan
Ketika dia meratap, dan sedih
Sementara cinta cocok buat mereka yang saleh dan benar-
benar suci.”
Yahya bin Muadz mengatakan : “Siapa yang menyebarkan cinta
di kalangan orang-orang yang bukan ahlinya, adalah pendusta dalam
pernyataan-pernyataannya.”
Samnun lebih mengutamakan ma’rifat atas cinta. Menurut
mereka yang telah mencapai hakikat, cinta berarti lebur ke dalam
keadaan kemanisan, dan ma’rifat berarti menyaksikan dalam
keadaan bingung dan terhapus dalam kegentaran.
Abu Bakr al-Kattany menuturkan : “Persoalan cinta sedang
dibicarakan di antara para syeikh di Mekkah selama musim haji. Al-
Junayd adalah orang termuda yang hadir. Mereka memanggilnya
suatu kali, dan bertanya kepadanya : “Hai orang Irak, kaakanlah
kepada kami apa pendapatmu. Al-Junayd menundukkan kepalanya
dan menangis, kemudian menjawab : “Cinta adalah seorang pelayan
yang meninggalkan jiwanya dan meletakkan dirinya pada dzikir
kepada Tuhannya, mengukuhkan diri dalam melaksanakan perintah-
perintah Tuhan dengan kesadaran yang terus menerus akan Dia
dalam hatinya. Cahaya Dzatnya membakar hatinya dan dia ikut
meminum minuman suci dari cangkir cinta-Nya. Yang Maha Kuasa
terungkapkan kepadanya dari balik tabir alam gaib-Nyam hingga
manakala dia berbicara, dia berbicara dengan perintah Allah, dan
apa yang dikatakannya adalah dari Allah. Manakala ia bergerak, dia
bergerak dengan perintah Allah, dan manakala dia diam, maka
diamnya adalah bersama Allah. Dia akan selalu dengan Allah, bagi
419
Allah dan beserta Allah.” Mendengar kata-kata al-Junayd itu, semua
syeikh itu pun menangis, dan berkata, “Tak ada lagi yang perlu
dikatakan. Semoga Allah menguatkanmu, wahai mahkota para
‘Arifin!.”.
Diriwayatkan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Daud
as : “Aku telah melarang cinta untuk-Ku memasuki hati manusia jika
cinta kepada selain Aku juga punya tempat di dalamnya.”
Abul Abbas, pelayan Fudhail bin ‘Iyadh, menuturkan : “Suatu
ketika Fudhail menderita sakit kencing. Dia mengangkat kedua
tangannya ke atas dan berdoa : “Ya Allah, demi cintaku kepada-Mu,
lepaskanlah penyakit ini dariku.” Kami tidak meninggalkannya sampai
akhirnya ia pun sembuh.”
Saya mendengar Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan bahwa cinta
berarti lebih mengutamakan orang lain, seperti cinta permaisuri
Raja Aziz ketika dia menyesali perbuatannya : “Akulah yang
menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan
sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” (Qs. Yusuf :
51). Sebelumnya dia telah mengatakan : “Apakah pembalasan
terhadap orang yang bermaksud serong dengan isterimu, selain
dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?” (Qs. Yusuf :
25). Jadi, mula-mula dia menuduh Yusuf telah berbuat dosa, tetapi
akhirnya dia menyalahkan dirinya sendiri atas penghianatannya itu.
Abu Sa’id Hamdun al-Kharraz mengatakan : “Aku bermimpi
bertemu dengan Nabi saw. dan aku berkata kepada beliau : “Wahai
Rasulullah, maafkanlah saya. Sebab cinta saya kepada Allah swt.
telah memenuhi kalbu saya dan tidak menyisihkan cinta bagimu.”
Beliau menjawab : “Wahai orang gyang diberekati, barangsiapa
mencintai Allah swt. berarti ia emncintaiku.”
Diceritakan tentang munajat Rabi’ah Adawiyah : “Tuhanku,
akankah Engkau membakar hati yang mencintai-Mu dengan api?”
420
Tiba-tiba muncul bisikan : “Kami tidak akan melakukan hal seperti
itu, Engkau jangan menyanggka buruk kepada Kami.”
Dikatakan : “Kata cinta (hubb) terdiri dari dua huruf “Ha” dan
“ba”, yang mengisyaratkan bagi pecinta, hendaknya meninggalkan
ruh, kalbu dan badannya.” Sebagai dinyatakan oleh pendapat Ijma’
di kalangan para Sufi, cinta adalah penyesuaian dengan hati,
sedangkan cinta menafikan secara psti adanya pertentangan.
Pecinta selalu bersama Sang Kekasih. Dalam hal ini didukung oleh
sebuah hadits, riwayat Abu Musa al-Asy’ary yang mengatakan bahwa
seseorang bertanya kepada Nabi saw. : “Dapatkah seseornag
mencintai suatu kaum tapi tidak pernah bertemu dengan mereka?”
Nabi menjawab : “Seseorang akan bersama dengan orang yang
dicintai.”
Abu Hafs menegaskan : “Kerusakan kondisi ruhani, rata-rata
karena tiga perkara : Kefasikan para arifin, penghgianatan para
pecinta (muhibbin), dan dustanya para muridin (pemula).”
Abu Utsan berkata : “Dosa para ‘arifin adalah menggunakan
ucapan, penglihatan, dan pendengaran mereka untuk kepentingan
duniawi dan memperoleh keuntungan darinya. Penghianatan para
pencinta adalah mengutamakan hawa nafsu mereka sendiri dibanding
keridhaan Allah swt. dalam urusan-urusan yang mereka hadapi.
Dusta para pemuda adalah bahwa mereka lebih peduli terhadap
kesadaran akan manusia dan perhatian mereka daripada dzikir dan
memandang kepada Allah swt.”
Abu Ali Mumsyad bin Sa’id al-Ukbary menuturkan : Seekor
burung pipit jantan mencoba mencumbu seekor burung pipit betina
di bawah kubah Nabi Sulaiman as, tetapi si betina menolak. Si
jantan bertanya kepadanya : “Bagaimana kamu bisa menolakku
sedangkan jika aku mau, aku bisa membuat kubah ini runtuh
menimpa Suaiman?” (Sementara Sulaiman mendengar pembicaraan
421
kedua burung itu, karena memang beliau diberi kemampuan oleh
Allah swt. untuk mengerti dialog burung), lalu beliau memanggilnya
dan menanyakan kepadanya : “Apa yang membuatmu berkata
begitu?” Si burung menjawab : “Wahai Nabi Allah, para perindu yang
masyuk tidak bisa dituntut melalui kata-katanya.” Sulaiman
menjawab : “Anda benar.!”

47.
RINDU
Allah swt. berfirman :
“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka
sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang, Dan
Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.: (Qs. Al-Ankabut : 5).
Atha’ bin as-Sa’ib menuturkan bahwa ayahnya menceritakan
kepadanya : “Suatu ketika Ammar bin Yasir mengimami kami shalat
dan dia mempercepatnya. Aku berkata : “Anda tergesa-gesa dalam
mengimami shalat, wahai Abul Yqzan.” Dia menjawab : “Hal itu tidak
ada salahnya, karena aku memanjatkan kepada Alalh sebuah doa
yang pernah kudengar dari Rasulullah saw.” Ketika hendak beranjak,
salah seorang jamaah mengikutinya dan bertanya kepadanya tentang
doa yang dibacanya itu. Dia pun mengulanginya : “Ya Allah dengan
ilmu-Mu yang gaib dan dengan kekuasaanmu atas semua makhluk,
hidupkanlah aku jika Engkau tahu bahwa hidup itu membawa
kebaikan untukku, dan matikanlah aku jika Engkau tahu bahwa mati
itu membawa kebaikan untukku. Ya Allah, aku meminta kepada-Mu
agar aku takut kepada-Mu dalam semua perkara, baik yang nyata
maupun yang gaib. Aku memohon kepada-Mu ungkapan yang benar
ketika aku senang maupun ketika aku marah. Aku mohon kepada-Mu
kesederhanaan dalam kekayaan amupun kemiskinan. Aku mohon
422
kepda-Mu kesenangan yang tak abadi, dan kesejukan jiwa yang tak
terputus. Aku mohon kepda-Mu keridhaan dengan apa yang telah
ditentukan. Dan aku mohon kepada-Mu kehidupan yang sejuk
sesudah mati. Aku mohon agar bisa melihat Wajah-Mu yang Mulia,
dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu tanpa bahaya yang
mengancam, ayau menjadi korban fitnah yang menyesatkan. Ya
Allah, hiasilah kami dengan keindahan iman. Ya Allah, jadikanlah
kami sebagai pemberi petunjuk maupun penerima petunjuk.”
Rindu adalah keadaan gairah hati yang berharap untuk
berjumpa dengan Sang Kekasih. Kadar rindu tergantung besar
volume cinta.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq membedakan antara
rindu dan hasrat yang bergolak, katanya : “Rindu ditentramkan oleh
perjumpaan dan memandang. Sedangkan hasrat yang bergolak tidak
sirna karena pertemuan.”
Mengenai konteks ini pra Sufi bersyair :
Mata tak pernah berpaling ketika memandang-Nya.
Sehingga kembali kepada-nya, penuh gelora.
An-Nashr Abadzi menyatakan : “Semua orang mempunyai tahap
kerinduan. Namun tidak semuanya mengalamai tahap gelora, dan
siapa yang memasuki gelora itu, justru akan linglung, sehinggaia
tidak dipandang lagi pengaruh atau kesan dan keteguhan.”
Diceritakan bahwa Ahmad bin Hamid al-Aswad datang kepada
Abdullah ibnul Mubarak dan berkata kepadanya : “Aku bermimpi
engkau akan meninggal setahun lagi. Barangkali engkau harus
bersiap-siap untuk keluar dari dunia.” Abdullah ibnul Mubarak
menjawab : “Engkau memberiku waktu yang lama, aku hidup sampai
setahun penuh! Padahal aku selalu menyukai syair yang kudengar
dari Abu Ali ats-Tsaqafy :
Wahai yang tercekam rindu karena perpisahan panjang
423
Bersabarlah, siapa tahu esok
Engkau bertemu Sang Kekasih.”
Abu Utsman menuturkan : “Tanda rindu adalah mencintai
kematian dengan hati yang ringan.”
Yahya bin Mua’dz menyatakan : “Tanda rindu adalah
membebaskan tubuh dari hawa nafsu.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Pada suatu hari Daud
as. Pergi sendirian ke padang pasir, kemudian Allah swt. menurunkan
wahyu kepadanya : “Wahai Daud, Aku tidak memandangmu sebagi
orang yang sendirian!” Daud menjawab : “Tuhanku, aku terpengaruh
oleh kerinduan dalam hatiku untuk bertemu dengan-Mu, lantas
terhalang antara diriku untuk bergaul sesama manusia.” Maka Allah
swt. lalu berfirman : “Kembalilah kepada mereka. Sebab, bila engkau
mendatangi-Ku bersama seorang hamba yang lari dari tuannya, Aku
tetapkan dirimu di Laih Mahfudz sebagai seorang arih yang bijak.”
Diceritakan, ada seorang wanita tua yang didatangi oleh pemuda
yang termasuk kerabatnya. Keluarga lainnya merasa gembira, namun
wanita itu justru menangis tersedu. Ia ditanya : “Apa yang engkau
tangisi?” Wanita itu menjawab : “Aku teringat kedatangan pemuda
itu, jika kelak di hari kedatangan kita kepada Allah swt.”
Ketika Ahmad bin Atha’ ditanya tentang rindu, dia menjawab,
“Jiwa yang terbakar, kalu yang berkobar, dan jantung yang
berkeping-keping.”
Pada kesempatan lain dia ditanya : “Manakah yang lebih utama,
rindu ataukah cinta?” Ibnu Atha’ menjawab : “Cinta, karena rindu
terlahir dari cinta.”
Salah seorang Sufi menyatakan : “Rindu adalah kobaran dari
jiwa, dan apinya menjilat-jilat ketika berpisah. Bila pertemeuan
tiba, api itu jadi padam. Bila yang dominan pada rahasia batinnya
adalah penyaksian sang kekasih, kerinduan tak melintas lagi.”
424
Seorang Sufi ditanya : “Apakah Anda pernah mengalami
kerinduan?” Dia menjawab : “Tidak. Rindu hanya bagi pecinta yang
tak bersama kekasihnya. Sedangkan Kekasih sebenarnya, senantiasa
hadir.”
Saya mendengar Syeikh Abi Ali ad-Daqqaq memberi komentar
atas firman Allah swt. “ .... dan aku bergerak kepadamu, wahai
Tuhanku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)” (Qs. Thaha :84).
Arti ayat ini : “Aku bergerak kepada-Mu karena indu kepada-Mu.”
Namun disamarkan melalui kata ridha.”
Ad-Daqqaq juga berkata : “Salah satu tanda rindu adalah
harapan pada kematian dalam hamaparan ampunan yang sejahtera.
Begitulah Nabi Yusuf as. Ketika dilemparkan ke dalam sumur, beliau
tidak berkata : “Biarkanlah aku mati saja!” Ketika dimasukkan ke
dalam penjara, beliau juga tidak mengatakan : “Biarkanlah aku mati
saja!”. Tetapi keetika orangtuanya datang kepadanya dan semua
saudaranya bersujud kepadanya, beliau berkata : “Wafatkanlah aku
dalam keadaan Islam (Qs. Yusuf :1010).” Mengenai hal ini para Sufi
bersyair :
Kami dalam puncka kegembiraan,
Namun tak bisa sempurna,
Kecuali dengan kalian
Cacat yang ada pada kami,
Wahai orang-orang yang kucintai,
Engkau semua digaibkan
Sedang kami telah hadir.
Mereka juga bersyair :
Siapakah yang memeriahkan pesta raya,
Padahal aku sungguh berduka,
Kegembiraan telah penuh bagiku
Bila kekasih-kekasihku tiba.
425
Abu Abdullah bin Khafif mengatakan : “Rindu adalah hembusan
kalbu yang muncul karena pesona, kecintaan untuk bertemu dan rasa
ingin berdekatan.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Allah swt. mempunyai hamba-
hamba tertentu, jika Dia menutup tirai bagi mereka, maka mereka
akan memohon agar dikeluarkan dari surga sebagaimana para
penghuni neraka minta dikeluarkan dari neraka.”
Al- Husain al-Anshary berkata : “Aku bermimpi bahwa hari
Kiamat telah tiba. Kulihat ada seseorang yang berdiri di bawah
‘Arasy, Alalh swt. lalu bertanya : “Wahai para malaikat-Ku, siapakah
orang ini?” Menereka menjawab : “Engkau lebih Maha Mengetahui.”
Maka Allah swt. pun berfirman : “Inilah Ma’ruf al-Karkhy. Dia
mabuk karena mencintai-Ku; dan tak akan sadar kecuali berjumpa
dengan-Ku.” Riwayat lain mengatakan : “Inilah Ma’ruf al-Karkhy. Dia
meninggalkan dunia dalam keadaan rindu kepada Alalh. Maka Alalh
lalu memperkenankannya menatap Wajah-Nya.”
Farais menegaskan : “Hati para perindu disinari dengan cahaya
Alalh swt. Manakala Gairah kerinduan mereka membara, cahaya itu
menerangi langit dan bumi, dan Allah swt. menunjukkan kepada
malaikat-malaikat-Nya, seraya berfirman : “Mereka adalah perindu-
perindu kepada-Ku, Aku bersaksi pada kalian bahwa Aku pun
sesungguhnya lebih rindu kepada mereka.”
Syeikh Abu Ali ad- Daqqa pernah menjelaskan mengenai sabda
Nabi saw. : “Aku memohon kepada-Mu agar diberi rindu untuk
berjumpa dengan-Mu.” Komentar Abu Ali : “Rindu itu terdiri dari
seratus bagian. Nabi memiliki sembilan puluh sembilan bagian, dan
yang satu bagian dibagi-bagi di kalangan umat manusia.” Abu Ali juga
menginginkan yang satu bagian itu, karena beliau cemburu jika satu
bagian rindu diberikan kepada orang lain.”

426
Dikatakan : “Kerinduan orang-orang yang muqarrabun lebih
sempurna dibanding kerinduan mereka yang terhijab dari
kehadiran-Nya.”
Demikianlah dikatakan penyair :
Sebutuk kerinduan suatu ketika
Bila tanda-tanda saling mendekat.
Dikatakan juga : “Para perindu saling merasakan manisnya
kematian, ketika menjemputnya, semata karena jiwa pertemuan
telah terbuka melebihi manisnya penyaksian.”
As-Sary menyatakan : “Rindu adalah maqam teragung bagi
seorang ‘arif manakala telah terwujud di dalamnya. Manakala dia
mencapai kerinduan, dia menjadi lupa akan segala sesuatu yang
menjauhkan dari yang dirindukannya.”
Abu Utsman bin Sa’id al-Hiry berkomentar mengenai firman
Allah swt. “Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka
sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang.” (Qs.
Al-Ankabut :5). “Ayat ini sebagai penentram bagi para perindu.
“Tafsirnya : “Aku tahu bahwa rindu kalian kepada-Ku begitu kuat.
Aku telah menetapkan satu waktu bagi kalian untuk berjumpa
dengan-Ku. Kalian semua akan segera datang kepada Yang kalian
rindukan.”
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Daud as. :
“Katakanlah kepada para pemuda Bani Israil : “Mengapa kalian
menaruh kepeduan selain kepada-Ku, sedangkan Aku merindukanmu?
Dusta macam apa ini?”
Allah swt. juga menurunkan wahyu kepada Daaud as. : “Jika saja
mereka yang telah berpaling dari-Ku mengetahui bagaimana Aku
telah menunggu mereka, melimpahkan kasih sayang kepada mereka,
dan kerinduan-Ku agar mereka meninggalkan kemaksiatan terhadap-
Ku, pasti mereka mati semua karena rindu mereka, dan sendi-sendi
427
mereka remuk karena cinta kepada-Ku. Wahai Daud, inilah
Kehendak-Ku terhadap mereka yang telah berpaling dari Ku, lalu
bagaimana kemauan-Ku terhadap mereka yang menghadap kepada-
Ku?”
Dikatakan bahwa dalam kitab Taurat tertulis : “Kami sangat
merindukan kalian semua, namun kalian tidak saling membalas rindu;
Kami tanamkan rasa takut dalam dirimu, tapi kalian sendiri tidak
merasa takut. Dan kami memberi ratapan kepada kalian, sayangnya
kalian semua tidak pernah meratap.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika Syu’aib
menangis hingga matanya buta. Allah swt. mengembalikan
penglihatannya. Dia menangis lagi sampai buta kembali, dan Allah
swt. mengembalikan lagi penglihatannya. Kemudian ia menangis
sampai buta, lantas Allah swt. mewahyukan : “Jika engkau menangis
karena neraka, maka Aku pun telah menjadidkanmu selamat
darinya.” Syu’aib menjawab : “Bukan itu. Aku menangis karena rindu
kepada-Mu.” Lalalu Allah berfirman padanya : “Karena itu Aku
menunjuk Nabi-Ku dan Kalimat-Ku untuk melayanimu selama sepuluh
tahun.”
Dikatakan : “Barangsiapa rindu kepada Alalh swt. maka segala
sesuatu merindukannya.”
Dan dalam Hadits disebutkan : “Surga merindukan tiga orang :
Ali, Ammar dan Salman.”
Malik bin Dinar mengatakan : “Aku membaca dalam Taurat
begini : “Kami bangkitkan rindu dalam dirimu, tetapi kamu sekalian
tidak rindu kepada Kami. Kami mainkan seruling untukmu, tetapi
engkau tidak menari.”
Al-Junayd ditanya : “Apa yang membuat seorang pecinta
menangis ketika bertemu dengan Kekasihnya?” Dia menjawab : “Itu

428
hanya karena kegembiraannya pada ang Kekasih, dan kepesonaan
karena kedahsyatan rindu kepada-Nya.”

48.
MENJAGA PERASAAN HATI SYEIKH

Allah swt. berfirman dalam kisah Nabi Musa as. Bersma al-
Khidhr as. :
“Musa berkata kepada Khidhr : “Bolehkah aku mengikutimu
supaya kamu mengajarkan kepada ilmu yang benar di antara ilmu-
ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” (Qs. Al-Kahfi :66).
Al-Junayd berkata : “Ketika Musa ingin berguru kepada Khidr,
beliau menjaga syarat-syarat etika. Pertama, mohon izin dalam
berguru, lantas al-Khidhr memberi syarat kepadanya agar tidak
menentangnya dalam segala hal, dan tidak mengajukan protes atas
keputusannya. Namun ketika Musa as. Mulai kontra terhadapnya,
dibiarkanlah sikapnya yang pertama dan kedua. Tetapi kontra untuk
ketiga kalinya – dan yang ketiga merupakan batas minim dari jumlah
banyak dan awal dari batas banyak – maka terjadilah perpisahan.
Khidhr berkata :
“Inilah perpisahan antara aku dan antara kamu.” (Qs. Al-
Kahfi:78).
Rasulullah saw. bersabda : “Orang muda yang tidak
menghormati seorang guru (Syeikh) karena usianya, melainkan Allah
akan menakdirkan baginya, kelak orang akan menghormati dirinya
saat usianya sudah tua.” (H.r. Tirmidzi).
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Awal
segala perpisahan adalah pertentangan. Yakni, orang yang kontra
dengan syeikhnya, berarti ia tidak menetapi tharikatnya. Hubungan
antara keduanya telah terputus, walaupun keduanya terkumpul
429
dalam satu bidang tanah. Barangsiapa berguru kepada salah satu
syeikh, kemudian dalam hatinya ada kinflik, maka janji pertalian
guru dan murid telah rusak, dan ia wajib berTaubat.”
Salah satu syeikh berkata : “Menyakiti para guru, tidak ada lagi
Taubatnya.”
Saya mendengar Abu Abdurrahman as-Sulamy berkata : “Aku
pergi ke Marw apda saat syeikhku, Abu Sahl ash-Sah’luky masih
hidup. Sebelum aku keluar dulu, pada hari-hari Jum;at pagi selalua
da majelis Khtamul Qur’an. Tetapi ketika aku kembali, majelis
tersebut telah tiada. Diganti dengan suatu forum diskusi yang
dipimpin oleh Abul Ghaffany. Kenyataan itu membuatku gelisah, dan
aku berkata padaku : “Hai Abu Abdurrahman, apa yang
diperbincangkan banyak orang tentang diriku?” Aku berkata
padanya : “Mereka mengatakan; majleis Al-Qur’anul Karim telah
dihilangkan dan diganti majelis diskusi.” Lantas syeikh berkata :
“Siapa saja yang berrkata kepada gurunya : “Mengapa? Maka dia tak
akan bahagia selamanya.”
Uccapan yang populer dari al-Junayd antara lain : “Aku
memasuki rumah Sary as-Saqathy pada suatu hari. Dia
memerintahkan sessuatu padaku, dan aku bergegas memenuhi
kebutuhannya. Maka di saat aku kembali kepdanya, ia memberikan
secarik kerts, sembari berkata : “Inilah kedudukan pemenuhanmu
atas kebutuhanku yang begitu cepat.” Lalu kubaca pada kertas itu,
ternyata di sana tertulis :
Aku mendengar orang yang berjalan di padang pasir menyanyi,
Aku menangis, dan tahukah engkau, mengapa?
Aku menangis karena ketakutan
Bila engkau memisahkan diriku
Bila engkau memisahkan ikatan-ikatan hatiku
Bila engkau menghindar dariku.”
430
Diriwayatkan dari Abul Hasan al-Hamdzany al-Alawy yang
berkata : “Suatu malam aku berada di tempat Ja’far al-Khuldy.
Padahal waktu itu aku diperintah untuk menggantungkan burung di
atas dapur. Hatiku sangat berkait dengan burung itu. Ja’far berkata
padaku : “Bangunlah malam ini.” Aku merasa ada yang mengganjal
dan aku pun pulang. Kukeluarkan burung dari dapur dan kuletakkan
di sisiku. Tiba-tiba ada anjing masuk dari arah pintu. Anjing itu
langsung meraih burung, di saat orang-orang yang hadir alpa. Ketika
esok paginya aku datang ke Ja’far, sejenak pandang matanya
tertuju padaku, dan berkata : “Siapa yang tidak menjaga perasaan
hati para syeikh, ia akan dipaksa oleh anjing yang menyakitinya.”
Abdullah ar-Razy mendengar Abu Utsman Sa’id al-Hiry sedang
menjelaskan sifat Muhammad ibnul Fadhl al-Balkhy, dan memuji-
mujinya. Tiba-tiba Abdullah sangat rindu pada al-Balkhy, kemudian
pergi berziarah pdanya. Namun hatinya tidak berkenan pada
Muhammad ibnul Fadhl. Lalu ia kembali ke Abu Utsman, dan Abu
Utsman bertanya : “Bagaimana, Anda sudah menemuinya?” Abdullah
menjawab : “Aku tak menemui apa-apa sebagaimana kuduga.” Lantas
Abu Utsman berkata : “Karena Anda mengaanggapnya rendah. Dan
tak seorang pun yang menganggap rendah seseorang melainkan ia
terhalang dari sari faedah. Kembalilah padanya dengan penuh
hormat.” Abdullah pun kembali kepadanya dan banyak mengambil
manfaat dari ziarahnya itu.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Ketika penduduk Balkh
mengusir Muhammad ibnul Fadhl dari daerahnya, dia mendo’akan
meraka : “Ya Allah, cegahlah kejujuran dari mereka.” Maka setelah
itu tak seorang jujur pun yang muncul dari daerah Balkh.
Saya mendengar Ahmad bin Yahya al-Abiwady – rahimahullah
ta’ala – berkata : “Barangsiapa syeikhnya ridha, ia tidak akan
menyimpang pada saat hidupnya, dengan maksud agar rasa
431
ta’dzimnya kepda syeikh tersebut tidak hilang. Apabila syeikh telah
meninggal dunia Allah swt. akan menampakkan balasan ridhanya
syeikh kepadanya. Namun, barangsiapa membuat hatinya syeikh
berubah, maka ia tak akan menyipang pada zaman syeikh tersebut
hidup, karena ia tak ingin membelenggunya. Mereka senantiasa
memiliki karakter untuk menghormati. Apabila syeikh tersebut
meninggal dunia, maka pada saat itulah muncul suatu penyimpangan
sepeninggalnya.”

48.
MENJAGA PERASAAN HATI SYEIKH

Allah swt. berfirman dalam kisah Nabi Musa as. Bersma al-
Khidhr as. :
“Musa berkata kepada Khidhr : “Bolehkah aku mengikutimu
supaya kamu mengajarkan kepada ilmu yang benar di antara ilmu-
ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” (Qs. Al-Kahfi :66).
Al-Junayd berkata : “Ketika Musa ingin berguru kepada Khidr,
beliau menjaga syarat-syarat etika. Pertama, mohon izin dalam
berguru, lantas al-Khidhr memberi syarat kepadanya agar tidak
menentangnya dalam segala hal, dan tidak mengajukan protes atas
keputusannya. Namun ketika Musa as. Mulai kontra terhadapnya,
dibiarkanlah sikapnya yang pertama dan kedua. Tetapi kontra untuk
ketiga kalinya – dan yang ketiga merupakan batas minim dari jumlah
banyak dan awal dari batas banyak – maka terjadilah perpisahan.
Khidhr berkata :
“Inilah perpisahan antara aku dan antara kamu.” (Qs. Al-
Kahfi:78).

432
Rasulullah saw. bersabda : “Orang muda yang tidak
menghormati seorang guru (Syeikh) karena usianya, melainkan Allah
akan menakdirkan baginya, kelak orang akan menghormati dirinya
saat usianya sudah tua.” (H.r. Tirmidzi).
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Awal
segala perpisahan adalah pertentangan. Yakni, orang yang kontra
dengan syeikhnya, berarti ia tidak menetapi tharikatnya. Hubungan
antara keduanya telah terputus, walaupun keduanya terkumpul
dalam satu bidang tanah. Barangsiapa berguru kepada salah satu
syeikh, kemudian dalam hatinya ada kinflik, maka janji pertalian
guru dan murid telah rusak, dan ia wajib berTaubat.”
Salah satu syeikh berkata : “Menyakiti para guru, tidak ada lagi
Taubatnya.”
Saya mendengar Abu Abdurrahman as-Sulamy berkata : “Aku
pergi ke Marw apda saat syeikhku, Abu Sahl ash-Sah’luky masih
hidup. Sebelum aku keluar dulu, pada hari-hari Jum;at pagi selalua
da majelis Khtamul Qur’an. Tetapi ketika aku kembali, majelis
tersebut telah tiada. Diganti dengan suatu forum diskusi yang
dipimpin oleh Abul Ghaffany. Kenyataan itu membuatku gelisah, dan
aku berkata padaku : “Hai Abu Abdurrahman, apa yang
diperbincangkan banyak orang tentang diriku?” Aku berkata
padanya : “Mereka mengatakan; majleis Al-Qur’anul Karim telah
dihilangkan dan diganti majelis diskusi.” Lantas syeikh berkata :
“Siapa saja yang berrkata kepada gurunya : “Mengapa? Maka dia tak
akan bahagia selamanya.”
Uccapan yang populer dari al-Junayd antara lain : “Aku
memasuki rumah Sary as-Saqathy pada suatu hari. Dia
memerintahkan sessuatu padaku, dan aku bergegas memenuhi
kebutuhannya. Maka di saat aku kembali kepdanya, ia memberikan
secarik kerts, sembari berkata : “Inilah kedudukan pemenuhanmu
433
atas kebutuhanku yang begitu cepat.” Lalu kubaca pada kertas itu,
ternyata di sana tertulis :
Aku mendengar orang yang berjalan di padang pasir menyanyi,
Aku menangis, dan tahukah engkau, mengapa?
Aku menangis karena ketakutan
Bila engkau memisahkan diriku
Bila engkau memisahkan ikatan-ikatan hatiku
Bila engkau menghindar dariku.”
Diriwayatkan dari Abul Hasan al-Hamdzany al-Alawy yang
berkata : “Suatu malam aku berada di tempat Ja’far al-Khuldy.
Padahal waktu itu aku diperintah untuk menggantungkan burung di
atas dapur. Hatiku sangat berkait dengan burung itu. Ja’far berkata
padaku : “Bangunlah malam ini.” Aku merasa ada yang mengganjal
dan aku pun pulang. Kukeluarkan burung dari dapur dan kuletakkan
di sisiku. Tiba-tiba ada anjing masuk dari arah pintu. Anjing itu
langsung meraih burung, di saat orang-orang yang hadir alpa. Ketika
esok paginya aku datang ke Ja’far, sejenak pandang matanya
tertuju padaku, dan berkata : “Siapa yang tidak menjaga perasaan
hati para syeikh, ia akan dipaksa oleh anjing yang menyakitinya.”
Abdullah ar-Razy mendengar Abu Utsman Sa’id al-Hiry sedang
menjelaskan sifat Muhammad ibnul Fadhl al-Balkhy, dan memuji-
mujinya. Tiba-tiba Abdullah sangat rindu pada al-Balkhy, kemudian
pergi berziarah pdanya. Namun hatinya tidak berkenan pada
Muhammad ibnul Fadhl. Lalu ia kembali ke Abu Utsman, dan Abu
Utsman bertanya : “Bagaimana, Anda sudah menemuinya?” Abdullah
menjawab : “Aku tak menemui apa-apa sebagaimana kuduga.” Lantas
Abu Utsman berkata : “Karena Anda mengaanggapnya rendah. Dan
tak seorang pun yang menganggap rendah seseorang melainkan ia
terhalang dari sari faedah. Kembalilah padanya dengan penuh

434
hormat.” Abdullah pun kembali kepadanya dan banyak mengambil
manfaat dari ziarahnya itu.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Ketika penduduk Balkh
mengusir Muhammad ibnul Fadhl dari daerahnya, dia mendo’akan
meraka : “Ya Allah, cegahlah kejujuran dari mereka.” Maka setelah
itu tak seorang jujur pun yang muncul dari daerah Balkh.
Saya mendengar Ahmad bin Yahya al-Abiwady – rahimahullah
ta’ala – berkata : “Barangsiapa syeikhnya ridha, ia tidak akan
menyimpang pada saat hidupnya, dengan maksud agar rasa
ta’dzimnya kepda syeikh tersebut tidak hilang. Apabila syeikh telah
meninggal dunia Allah swt. akan menampakkan balasan ridhanya
syeikh kepadanya. Namun, barangsiapa membuat hatinya syeikh
berubah, maka ia tak akan menyipang pada zaman syeikh tersebut
hidup, karena ia tak ingin membelenggunya. Mereka senantiasa
memiliki karakter untuk menghormati. Apabila syeikh tersebut
meninggal dunia, maka pada saat itulah muncul suatu penyimpangan
sepeninggalnya.”

49.
SIMA’
(mendengarkan dan menyimak)
Allah swt. berfirman :
“Sebab itu sampaikanlah berita-berita gembira itu kepada
hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa
yang paling baik diantaranya.” (Qs. Az-Zumar :17-8).
Huruf Alif dan Laam pada kata al-Qaul di atas mengandung
pengertian umum dan menyeluruh (ta’mim wal istighraq). Sedangkan
dalil di atas menekankan bahwa Alalh swt. memuji kepada mereka
karena mengikuti kata-kata paling baik.

435
Allah swt. berfirman :
“Maka, mereka berada dalam taman surga, senantiasa
bergembira.” (Qs. Ar-Ruum:15).
Dalam sebuah tafsir, ditegaskan bahwa ayat tersebut
menunjukkan dalilnya Sima’ (mendengarkan dan menyimak).
Ketahuilah, bahwa mendengar (sima’) syair dengan anda yang
indah, apabila pendengar tidak meyakini, syair itu tidak menjurus
pada hal-hal yang haram, dan tidak mendengarkan sebagai obyek
yang tercela dalam syariat, tidak pula menarik pada emosi hawa
nafsu, tidak pula memberi peluang pada nafsunya, maka penyimakan
tersebut diperkenankan secara umum.
Tidak ada perbedaan pandangan, adanya beberapa syair yang
didendangkan di hadapan Rasulullah saw. Rasul saw. menyimaknya,
bahkan tidak mengingkari mereka dalam mendedangkan syair
tersebut. Apabila menyimaknya tanpa nada yang indah
diperkenankan, hukum pun tidak berubah, yakni didendangkan
dengan nada yang indah. Inilah realitas situasionalnya. Lalu, bagi
para penyimak terdorong mencintai kepatuhan dan mengingat apa
yang telah dijanjikan Allah swt. bagi hamba-Nya yang bertakwa,
dalam derajat-derajat yang lebih tinggi. Penyimak tersebut
dimungkinkan sekali agar bisa menjaga dari kesalahan-kesalahan,
menyampaikan kepada hatinya seketika, sebagai kejernihan intuitif,
dicintai oleh Agama, dan dipilih oleh syariat. Sebab pernah ada
sabda Rasulullah saw. yang mendekati bait-bait syair, walaupun
Rasul saw, tidak bermaksud membaut syair.
Anas bin Malik r.a. berkata : “Ketika orang-orang Anshar
menggli parit-parit, mereka mendendangkan syair :
Kamilah orang-orang baiat
Kepada Muhammad
Untuk berjuang sepanjang hayat.
436
Kemudian Rasulullah saw. menjawab :
Duhai Allah, tiada kehidupan sejati
Melainkan kehidupan akhirat.
Muliakanlah orang-orang Anshar
Dan Muhajirah.”
Wanacan yang keluar dari Rasul saw. tersebut bukanlah wacana
syair, tetapi mendekati bahasa syair. Sejumlah ulama salaf dan para
tokohnya terbiasa mendengarkan bait-bait syair yang didendangkan
dengan lagu.Di antara yang memperbolehkan mendendangkan dengan
lagu adalah Imam Malik bin Anas, dan Ulama Hijaz. Mereka semua
memperkenankan nyanyian.
Sedangkan nyanyianyang digunakan oleh penggembala untuk
gembalanya (hida’) mereka sepakat atas kebolehannya. Banyak haids
dan atsar sahabat yang berkaitan dengan nyanyian tersebut.
Sebuah riwayat dari Ibnu Jurayj, bahwa dia memperkenankan Sima’.
Lalu dikatakan padanya : “Bila kelak hari kiamat engkau dendangkan,
kemudian didatangkan kebajikan dan keburukanmu, maka pada dua
sisi yag mana posisi sima’ Anda?” Beliau menjawab : “Bukan dalam
kebajikan, juga bukan dalam keburukan.” Artinya, Jurayj
menggolongkan sebagai perbuatan mubah.
Sementara Imam Asy-Syafi’y r.a. tidak mengharamkan
penyimakan lagu-lagu syair. Hanya saja makruh bagi orang awam,
walaupun lagunya tidak digubah, atau sepanjang penyimakannya
diarahkan untuk permainan yang bsia menolak kesaksian, digunakan
untuk hal-hal yang bsia menjatuhkan harga diri, dan tidak
dipertautkan untuk hal-hal yang diharamkan, maka tetap makruh.
Namun, yang dimaksud dengan Sima’ oleh kalangan Sufi bukannya
demikian. Sebab mereka jauh dari penyimakan yang bersifat main-
main untuk kesenangan, atau duduk untuk kegiatan penyimakan
dengan hati yang alpa, ataupun dalam hatinya mengandung khayalan
437
kehampaan, bahkan tidak melakukan penyimakandalam bentuk yang
tidak proposional.
Ibnu Umar meriwayatkan beberapa haids seputar
diperbolehkannya Sima’. Riwayat lain dari Abdullah bin Ja’far bin
Abu Thalib, dan riwayat dari Umar – semoga Allah swt. meridhai
mereka. Lagu-lagu untuk gembala dan yang lain juga diperbolehkan.
Beberpa syair didendangkan di hadapan Nabi saw. dan Beliau tidak
menolaknya. Bahkan dari riwayat Nabi saw. pernah mendendangkan
beberapa syair.
Dalam riwayat masyhur yang jelas, Nabi saw. pernah memasuki
tempat Aisyah r.a. dan didalam rumah itu ada dua jariyah yang
sedang menyanyi. Nabi pun tidak melatangnya.
Sebuah riwayat dari Aisyah r.a. bahwa Abu Bakr r.a. memasuki
rumah Aisyah, sementara di rumah itu ada dua penyanyi wanita yang
menyanyikan lagu tentang kalangan Anshar yang bertikai dalam
perang Bu’ats. Abu Bakr r.a. berkata : “Seruling-seruling setan!
Seruling-seruling setan! Latas Nabi saw. bersabda : “Biarkan saja
kedua penyanyi itu wahai Abu Bakr, karena setiap bangsa memiliki
perayaan. Dan perayaan kita adalah hari ini.” (H.r. Bukhari).
Juga riwayat dari Aisyah r.a. bahwa suatu ketika kerabat dari
sahabt Anshar menikah, kemudian Nabi saw. datang, dan bertanya :
“Kau hadirkan gadis-gadis?” Aisyah menjawab : “Benar” Nabi saw.
bertanya : “Engkau suruh orang yang menyanyi?” Aisyah menjawab :
“”Tidak” Maka Nabi saw. bersabda : “(Betapa indahnya) seandainya
engkau suruh orang yang mendendangkan : “Kami telah datang untuk
kalian, kami telah datang untuk kalian; maka kehidupan kami adalah
menyemarakkan kehidupan kalian.”
Rasulullah saw. bersabda :

438
“Baguskanlah Al-Qur’’an melalui suara-suara kamu sekalian.
Sebab suara yang bagus akan menambah kebagusan Al-Qur’an.” (H.r.
Ibnu ‘Azib, dan ditakhrij ad-Daramy).
Semua ini menunjukkan keutamaan suara yang indah. Rasulullah
saw. juga bersabda : “Setiap sessuatu memiliki perhiasan,
sedangkan perhiasan Al-Qur’an adalah suara yang indah.” (H.r. Anas
dan dikeluarkan oleh adh-Dhiya’ Abdurrazaq dalam kumpulan
Haditsnya).
Sabdanya lagi : “Dua suara yang dilaknati : Suara umpatan
“Celaka” ketika sedang mendapati musibah, dan suara seruling yang
menghanyutkan.” (H.r. Al-Bazzar dan adh-Dhiya’ dari Anas bin
Malik).
Pengertiannya, bahwa nada indah dierbolehkan kecuali dalam
dua suara tersebut. Jika tidak demikian, pengecualiannya
dibatalkan. Hadits-Hadits soal ini cukup banyak. Bila menambah
kadar dengan menyebutkan sejumlah riwayat-riwayat yang ada, akan
mengesampingkan maksud ikhtisar ini.
Diriwayatkan ada seseorang yang mendendangkan syair di depan
Rasulullah saw.
Kuterima kebahagiaan untuknya
Dua bentangan bagai manik hitam
Ia kembali, dan kukatakn apdanya
Sedang hati dalam nyala membara
Salahkah aku, berdosakah
Jika kurindukan dia?
Maka Rasulullah saw. menjawab : “Tidak”.
Inilah, bahwa keindahan suara termasuk nikmat Allah swt. pada
pemiliknya. Allah swt. berfirman : “Allah menambahkan pada
ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Faathir : 1). Dalam

439
tafsir dijelaskan bahwa tambahan pada ciptaan-Nya itu adalah
suara merdu.
Allah swt. mencela suara yang buruk. Firman-Nya :
“Sesungguhnya, seburuk-buruk suara adalah suara himar.” (Qs.
Luqman :19).
Hati selalu menikmati dan merindu pada suara yang merdu, rasa
tenteram akan muncul karena suara merdu, sesuatu yang tak bisa
diinkgari. Si bocah akan tenang bila mendengar nyanyian yang
merdu. Begitu pula unta akan berjalan ringan walaupun membawa
beban berat. Bila mendengarkan suara-suara yang menghiburnya.
Allah swt. berfirman : “Apakah mereka tidak melihat bagaimana
unta diciptakan?” (Qs. Al-Ghaasyiyah :17). Dan Rasulullah saw. juga
bersabda :
“Allah swt. belum pernah mengizinkan terhadap sesuatu apap
pun sebagaimana pemberian izi terhadap seorang Nabi, yang
melaggikan bacaan Al-Qur’an.” (H.r. Abu Hurairah, dan dikeluarkan
oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Ahmad dalam
Musnad-nya).
Dikisahkan, bahwa nabi Daud as. Ketika sedang membaca kitab
Zabur, manusia dan jin, burung dan binatang buas selalu
menyimaknya.
Rasulullah saw. bersabda tentang Abu Musa al-Asy’ary : “Dia
telah diberi seruling dari seruling Daud.” Dan Mu’adz berkata
kepada raslullah saw. : “Bila engkau tahu, engkau mendengar, niscaya
aku akan memperindahkannya untukmu dengan perhiasan yang
benar-benar indah.”
Abu Bakr Muhammad ad-Dinawary ad-Duqqy mengisahkan :
“Aku sedang berada di apdang pasir, kebetulan aku berjumpa
dengan kabilah Arab. Salah seorang di antara mereka menjamuku.
Kulihat di sana ada seorang budak berkulit hitam sedang diikat, dan
440
aku juga melihat beberapa unta yang mati di halaman rumah. Budak
itu berkata padaku : “Anda malam ini sebagai tamu. Dan Anda di
mana tuanku sungguh mulia. Karena itu tolonglah aku. Dia pasti tidak
bisa menolak.” Maka kukatakan kepada pemilik rumah : “Aku tau
menyantap makananmu, kecuali Anda mau melepaskan ikatan pada
budak ini.” Maka tuan si budak itu menjawab : “Si budak ini telah
memiskinkan dan menghancurkan hartaku.” Aku bertanya : “Apa
yang dilakukan?” Dia menjawab : “Budakku ini memiliki suara yang
merdu. Sedangkan aku hidup dari tenaga unta-unta ini. Lalu unta ini
dibebani dengan beban yang amat berat, dan berjalan kencang
hingga menempuh perjalanan yang seharusnya ditempuh tiga hari,
hanya ssehari saja ditempuhnya. Ketika beban-beban itu diturunkan
unta-unta itu pun mati semua. Tapi terserah apdamu!” Tali yang
mengikat budak itu pun di lepas. Esok harinya aku ingin
mendengarkan suaranya yang konon merdu itu. Si budak itu
diperintah untuk menghalau unta dengan nyanyian merdunya, menuju
sebuah sumur di ujung sana yang bisa untuk tempat minumnya. S
budak itu pun menghalaunya. Dan unta itu pun menoleh ke arah
wajahnya, sembari memberot tali yang mengikatnya hingga putus.
Sungguh aku tak menduga, kalau aku telah mendengarkan
suara yang amat merdu, kemudian unta itu menderum ke arahku,
sampai akhirnya si budak itu mengisyaratkan agar diam.”
La-Junayd ditanya : “Bagaimana suasana orang yang kondisinya
tenang, lalu ketika mendengarkan sima’ tiba-tiba hatinya risau.”
Maka, al-Junayd menjawab : “Sesungguhnya Allah swt. ketika
berfirman kepada benih dalam perjanjian yang pertama, melalui
firman-Nya, -- Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab :
“Benar (Engkau Tuhan kami) --- sehingga arwah menjadi segar
mendengarkan Kalam. Ketika mereka mendengarkannya, ingatan akan
sima’ tersebut telah menggerakkan mereka.”
441
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Sima’ itu
haram bagi orang awam, karena nafsunya masih ada. Sementara
diperbolehkan bagi orang-orang zuhud, sebab dengan dima’ mereka
meraih mujahadahnya. Seperti bagi kalangan kita, sangat
dianjurkan, karena bisa membuat hati merasa hidup.”
Al-Harits bin Asad al-Muhashiby berkata : “Tiga perkara, bila
kita menjumpai, kita merasa nikmat, dan apda ketiganya kita telah
kehilangan : “Wajah yang bagus dengan disertai perlindungan; suara
merdu disertai sikap religius; dan persaudaraan yang baik disertai
tepat janji.”
Dzun Nuun al-Mishry ketika ditanya tentang suara merdu,
beliau menjawab : “Perkataan-perkataan dan isyarat-isyarat yang
dititipkan Alalh kepada setiap laki-laki yang baik dan perempuan
yang baik.” Ditanya pula tentang sima’, jawabnya : “Bisikan Haq yang
membangkitkan kalbu kepada Yang Haq. Siapa yang menyimak penuh
perhatian dengan sebenarnya akan nyata benar. Dan siapa yag
menyimak dengan nafsu, akan menjadi Zindiq.”
Al-Junayd berkata : “Kasih sayang akan turun kepada orang-
orang fakir dalam tiga tempat ketika sedang sima’. Sebab mereka
tidak menyimak kecuali dari suara yang benar dan mereka tidak
berbicara kecuali dari intuisi. Dan ketika mereka makan-makanan,
mereka tidak makan kecuali ketika lapar; ketika mereka sedang
meraih ilmu, mereka tidak mengingat-ingat kecuali ingat pada sifat
para wali.”
Al Junayd berkata : Sima’ bisa menjadi fitnah bagi yang
berambisi. Dan menjadi ringan bagi yang menjumpainya.” Dia juga
berkata : “Sima’ butuh tiga hal : Zaman, tempat dan sejumlah
teman.”
Dulaf as0Syibly ditanya mengenai Sima’, dia menjawab :
“Secara llahiriah adalah fitnah, sedangkan batinnya adalah
442
pelajaran. Siapa yang mengenal isyarat, ia boleh menyimak
pelajaran. Jika tidak, berarti ia mengundang fitnah dan menawarkan
terhadap bencana.”
Dikatakan : “Sima’ tidak layak, kecuali pada orang yang nafsunya
telah mati dan hatinya telah hidup. Nafsunya disemebelih dengan
pedang mujahadah, sedang hatinya dihidupkan oleh cahaya
keserasian (Dengan Allah swt).”
Abu Ya’qub Ishhaq an-Nahrajury ditanya soal sima’, dia
menjawab : “Suatu tingkah aku yang mendorong kembali kepada
rahasia jiwa dari sisi peleburan.”
Dikatakan : “Sima’ merupakan nuansa lembut di sisi arwah bagi
ahli ma’rifat.”
Saya mendengar syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. lberkata : “Sima’
adalah watak, kecualid ari arah syariat, dan asing kecuali dari yang
benar, dan fitnah kecuali dari sisi pelajaran.”
Disebutkan, sima’ ada dua macam : “Sima’ dengan syarat adanya
pengetahuan dan kesadaran. Di antara syarat pemiliknya adalah
mengenal Asma’ dan Sifa-sifat. Bila tidak, sima’ akan emnceburkan
dalam kekufuran murni. Dan berikutnya adalah sima’ dengan syarat
adanya tingkah ruhani. Syarat penyimaknya haruslah fana’ dari
segala tingkah laku kemanusiaan, dan bersih dari pengaruh-pengaruh
duniawi, dengan menampilkan aturan-aturan hukum hakikat.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Abdul Hawary, yang mengatakan :
“Aku bertanya kepada Abu Sulaiman tentang sima’, maka beliau
menjawab : “Di antara dua yang paling kucintai dibanding satu.”
Abu Husain an Nury ditanya tentang Sufi, maka jawabnya :
“Siapa yang mendengar sima’, dan memberi pengaruh kepada sebab-
sebab yang ada.”
Abu Utsman Said al-Maghriby berkata : “Siapa yang mengaku
telah melakukan penyimakan, sementara dia tidak mendengar suara
443
burung dan gerat-gerit pintu, serta guncangan angin, maka dia itu
adalah si fakir yang mengaku-aku.”
Ibnu Zair mempunyai seorang syeikh utama dari salah seorang
murid al-Junayd. Ketika aedang menghadiri majelis sima’ maka bila
berkenan ia membeberkan sarungngya dan duduk. Lantas berkata :
“Sfi beserta hatinya, walaupun tidak menganggap kebaikannya.” Dia
juga berkata : “Sima’ hanya bagi yang memiliki nurani hati.” Sambil
berkata bagitu dia berjalan dan mengambil sandalnya.
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai ekstase para Sufi ketika
sedang sima’, dia berkata : “Mereka menyaksikan makna-makna yang
lenyap dari yang lain, lalu Anda mengisyaratkan kepada mereka yang
tertuju padaku. Lantas mereka mencegah agar tidak terlalu
gembira. Kemudian datanglah tangis, sehingga kegembiraan itu
berubah tangisan. Di antara mereka ada yang merobek bajunya, ada
pula yang berteriak, ada yang menangis; masing-masing menurut
kadar keterikatan hatinya (dengan Tuhannya).”
Al-Hushry berkata : “Apa yang harus kulakukan dengan simma’
yang terputus, apabila orang yang sedang menyimak
memutuskannya?” Karrena itu selayaknya dalam penyimakan Anda
selalu bersambung, tidak terputus.” Dia juga berkata : “Syogyanya
ia merasa dahaga selamanya, minum (ruhani) selamanya. Bila
minumnya bertambah, bertambah pula dahaganya.”
Mujahid dalam menafsirkan firman Alalh swt. : “Maka mereka
dalam tamansurga, senantiasa bergembira.” (Qs. Ar-Ruum :15).
Maksudnya adalah sima’ terhadap bidadari dengan suara-suaranya
yang merdu sekali : “Kami adalah bidadari-bidadari yang abadi, tak
akan pernah mati selamanya. Kami adalah kenikmatan-kenikmatan
yang tak pernah putus selamanya.”
Dikatakan, sima’ adalah panggilan, sedangkan ekstase adalah
tujuan.
444
Abu Utsman Sa’id ash-Sha’luky berkata : “Orang yang
menyimak berada di antara tirai dan ketampakkan : Tirai mendorong
rasa dahaga, sedangkan penampakkan mewariskan rasa riang. Tirai
telah melhirkan gerakan para penempuh, yaitu wahana kelemahan
dan ketakberdayaan. Sementara penampakkan, melahirkan
ketenangan orang-orang yang sampai kepada-Nya, yaitu wahana
istiqamah dan ketenangan. Itulah sifat menghadirkan di hadirat
Ilahi. Di dalamnya tiada lagi kecuali layu di bawah bisikan-bisikan
rasa takut bercampur hormat.” Allah swt. berfirman :
“Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka
berkata : “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)>” (Qs. Al-Ahqaf :
29).
Abu Utsman Sa’id al-Hiry berkata : “Sima’ ada tiga arah : satu
arah bagi para murid dan para pemula, mereka sama-sama meminta
kemuliaan dengan tingkah laku ruhaninya, dan kami khawatir mereka
terkena fitnah dan riya’. Arah kedua bagi mereka yang menepati
kebenaran, yang menuntut nilai tambah dalam ihwal kondisi
ruhaninya, dan mereka menyimak dari semuanya agar serasi dengan
waktu-waktu mereka. Arah ketiga bagi ahli istiqamah dari kalangan
orang-orang yang ma’rifat. Mereka sama sekali tidak memilih atas
apa yang datang dari Allah dalam hatinya berupa gerak ataupun
diam.”
Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz berkata : “Barangsiapa mengaku
dirinya terliputi ketika sedang memahami, yakni dalam sima’ dan
gerakan-gerakan selali bersifat naluriah baginya, maka tanda-
tandanya adalah dia memperbaiki tempat duduk yang di sana dia
menemukan ekstase.”
Syeikh Abu Abdurrahman berkata : “Aku menyebut hikayat ini
kepada Sa’id al-Maghriby. Lantas beliau berkata : “Inilah yang
terindah. Tanda-tandanya yang benar, tak tersisa dalam suatu
445
majelis kecuali rasa riang dengan majelis tersebut, dan tak ada yang
membatalkan di dalamnya kecuali dia merasa tidak senang darinya.”
Bundar ibnul Husain berkata : “Sima’ terdiri tiga dimensi : Di
antara mereka ada yang menyimak melalui wataknya; ada pula yang
menyimak melalui kondisi ruhaninya; dan ada yang menyimak melalui
Allah swr. Orang yang menyimak melalui watak, ada dari kalangan
awam maupun khusus. Sebab salah sati watak manusiawi adalah
merasa nikmat mendengarkan suara merdu. Sedangkan yang
menyimak melalui kondisi ruhani, adalah dia yang merenungkan apa
yang tiba padanya, berupacacian dan khitab, bertemu atau pisah,
dekat ataupun jauh, rasa kecewa terhadap apa yang hilang atau haus
terhadap keinginan di masa depan, menepati janji atau
membenarkan/meyakini janji, merusak terhadap janji ataupun ingat
kesusahan, merasa rindu atau takut berpisah, senang bertemu dan
takut berpisah, atau yang sejenisnya. Sedangkan yang menyimak
langsung melalui Allah swt. maka dia menimak bersama dan hanya
bagi Alalh set. Sima’ yang terakhir ini tidak bisa diuraikan dengan
kondisi-kondisi ruhani tersebut yang masih tercampur oleh
kepentingan manusiawi, dan masih memunculkan berbagai sebab-
sebab langsung. Maka, bagi kategori yang terakhir tersebut, saling
menyimak dari dimensi kemurnian tauhid terhadap Allah swt. dan
sama sekali tidak disertai kepentingan makhluk.”
Dikatakan : “Ahli sima’ itu ada tiga tahapan : Pertama, generasi
hakikat yang kembali dalam sima’nya bagi dialog Allah swt. kepada
mereka. Selanjutnya ada yang berbicara kepada Allah swt, melalui
hatinya disertai makna-makna yang telah didengarnya. Mereka
dituntut untuk bersikap benar dan jujur terhadap apa yang
diisyaratkan menuju kepada Allah swt. Dan terakhir, adalah si fakir
yang menyendiri, yang memutus hubungan dunia dan bencana.

446
Mereka mendengarkan melalui kemerduan hatinya, dan mereka lebih
dekat dengan keselamatan.”
Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary ditanya tentang sima’ :
“Mukasyafah terhadap rahasia batin, dan musyahadah terhadap
Sang Kekasih.” Jawabnya.
Ibrahim al-Khawwa ditanya : “Bagaimana mengenai orang yang
bergerak ketika sima’ terahdap selan Al-Qur’an, sementara gerakan
gerakan itu memang tidak ditemui dalam penyimakan Al-Qur’an?”
Ibrahaim menjawab : “Sebab sima Al-Qur’an merupakan hentakan,
dimana seseorang tidak mungkin bergerak dalam sima’ disebabkan
oleh dahsyatnya kekuatannya. Sedangkan sima’ terhadap ucapan
membuatnya riang dan karenanya ia bergerak dalam sima’ tersebut.”
Al-Junayd berkata : “Bila Anda melihat si penempuh mencintai
Sima’, ingatlah bahwa di dalamdirinya ada sisa-sisa kebatilan.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Sima’ adalah ilmu yang dipilih oleh
Allah swt. dan tiada yang mengetahui kecuali hanya Dia.”
Dikatakan : “Ketika Dzun Nuun al-Moshry memasuki Baghdad,
para Sufi berkumpul padanya. Di antara mereka ada yang biasa
berbicara. Mereka meminta izin agar diperkenankan membacakan
syair sedikit di hadapannya. Dzun Nuun pun menyilahkan. Lantas
orang tersebut membacakan syairnya :
Kecil asmaramu telah menyiksaku
Bagaimana dengan asmara yang perkasa?
Engkau telah mengumpulkan dari kalbuku
Cinta yang benar-benar berpadu
Sedang yang kuwarisi, bagi yang berduka
Bila tertawa sunyi
Jadilah pecah tangisnya.

447
Tiba-tiba Dzun Nuun berdiri dan membenamkan wajahnya.
Sementara darah menetes dari keningnya, namun tidak mentes ke
tanah.
Ibrahim al-Maristany ditanya mengenai gerak dalam sima’ :
“Sampai kepadaku kisah Musa as. Yang bercerita tentang Bani
Israil. Di antara mereka ada yang merobek bajunya. Lantas Allah
swt. menurunkan wahyu kepada Musa as. : “Katakan padanya :
“Robeklah hatimu buat Diri-ku, dan janganlah engkau robek bajumu.”
Abi Ali al-Maghazaly pernah mengutarakan kepada Dulaf asy-
Syibly : “Terkadang pendengaranku terketuk oleh suatu ayat dari
Kitab Allah swt. sehingga menggiringku untuk meninggalkan segala
yang ada, berpaling dari dunia, kemudian aku kembali pada ihwal
ruhaniku dan kepada orang pada umumnya.” Maka Dulaf
mengomentari : “Apa yang membuatmu tertarik kepada-Nya adalah
hubungan dari-Nya kepadamu dan merupakan kelembutan. Dan apa
yang engkau kembalikan kepada dirimu, adalah kepedulian dari-Nya
atas dirimu. Sebab tidak dibenarkan bagimu berbakti yang muncul
dari daya dan kekuatan ketika menghadap kepada-Nya.
Ahmad bin Muqatil al-‘ikky berkata : “Aku bersama Dulaf asy-
Syibly di sebuah masjid pada salah satu malam Ramadhan yang
penuh berkat. Dia sedang shalat di belakang imam, sementara aku di
sampingnya. Imam membaca sebauh ayat :
“Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki niscaya Kami
lenyapkan apa yang telah Kami Wahyukan kepadamu.” (Qs. Al-
Israa’ :87).
Tiba-tiba Asu-Syibly menjerit dengan satu jeritan. Bisa
kukatakan, seakan-aan ruhnya terbang dalam keadaan menggigil.”
Ahmad salalu menyampaikan kisah ini kepada teman-temannya, dan
seringkali diulanginya.

448
Al-Junayd mengisahkan : “Suatu hari aku masuk ke tempat Sary
as-Saqathy dan kulihat ada seorang lelaki yang pingsan di sisinya.
Aku bertanya : “Mengapa dia?” Sary menjawab : “Gara-gara
mendengarkan suatu ayat dari Kitab Allah swt.” Aku katakan : “Coba
ulangi bacaan ayat tersebut untuk kedua kalinya.” Lantas Sary
membacanya, dan lelaki itu pun sadar. Sary bertanya padaku : “Dari
mana Anda mengetahui hal itu?” Aku katakan : “Sesungguhnya baju
Yusuf as. Telah membutakan mata Ya’qub, kemudian mata itu sehat
kembali karena baju itu. Aku mengambil pelajaran dari peristiwa
tersebut.”
Abdul wahid bin Alwan berkata :”Ada seorang pemuda yang
berguru kepada al-Junayd. Bila mendengarkan suatu dzikir dia
selalu menjerit. Suatu hari Junayd berkata padanya. “Bila kamu
lakukan hal itu sekali lagi, kamu jangan berguru pada saya lagi.”
Sejak saat itu pemuda itu bila mendengar sesuatu, selalu berubah
dan tampak mengekang dirinya, sampai setiap ujung bulu di
badannya meneteskan keringat. Pada suatu hari ia berteriak sekaut
tenaga, hingga meninggal dunia.”
Abu Nashr as-Sarraj berkata : “Sebagian teman-temanku
meriwayatkan kisah padaku, dari Abul Husain ad-Darraj, yang
mengatakan : “Dari Baghdad aku bertujuan ke tempat Yusuf ibnul
Husain ar-Razy. Ketika sampai di Ray, aku menanyakan tempat
tinggalnya. Setiap orang yang kutanya selalu balik bertanya
kepadaku, ‘ Apa yang akan Anda lakukan dengan manusia zindik itu?
Sampai akhirnya hatiku gelisah, sehingga aku bermaksud untuk
kembali saja. Lantas aku menginap di sebuah masjid malam itu. “Aku
sudah datang ke negeri ini, tidak da jeleknya kalau aku
mengunjunginya.” Kataku dalam hati. Selanjutnya aku terus
bertanya tentang Yusuf, dan akhirnya sampai di masjidnya. Yusuf
sedang dduduk di mahrab, dan di depannya ada seseorang. Tampak
449
Yusuf sedang membaca mushaf Al-Qur’an. Ternyata dia adalah
seorang Syeikh yang amat kharismatik, tampan dan bagus
jenggotnya. Aku mendekatinya, dan mengucapkan salam padanya. Dia
pun menjawab salamku. “Anda datang dari mana? Tanyanya padaku.”
Dari Baghdad, bermaksud ziarah ke tampat syeikh.” Kataku.” “Jika
ada orang yang berkata padamu di sebagian daerah. “Kamu menetap
saja di tempatku, nanti kubelikan rumah atau budak-budak wanita.”
Apakah tawaran itu akan mencegahmu untuk ziarah padaku?” tanya
syeikh tersbut. “Wahai tuanku, Allah tidak mengujiku dengan
sesuatu seperti itu. Namun seandainya aku menerima
tawaran mereka, aku tidak tahu bagaimana keadaanku.” Jawabku.
“Baiklah, ucapkan saja sesuatu.” Kata syeikh itu. “Ya” kataku. Lantas
kudendangkan syair :
Kulihat dirimu membangun penuh ketekunan
Di tanah pinjamanku
Bila aku punya tanah yang tinggi
Tentu robohlah apa yang engkau bangun.
Syeikh itu lalu menutup mushaf, terus menerus menangis,
sampai baju dan jenggotnya basah. Aku sampai merasa kasihan
padanya, karena terlalu banyak menangis.
Beliau lantas berkata padaku, “Anakku, jangan engkau cela
penduduk Ray, mengenai ucapan mereka tentang diriku yang zindiq.
Sejak waktu shalat tiba, inilah aku sedang membaca Al-Qur’an.
Namun tidak setets pun air mata yang jatuh dari mataku. Kiamat
benar-benar telah tiba dari rumah ini.!.”
Abul Husain ad-Darraj berkata : “Aku bersama Ibnula Fauthy
sedang berjalan melewati Dajlah.” Antara Basrah dan Ubulan. Tiba-
tiba kami melihat vila indah. Di sana ada laki-laki, dan dihadapannya
ada jariyah yang sdang menyanyikan lagu.:
Bagi jalan Allah ada cinta
450
Yang datang dariku untukmmu, kelak diganti
Setiap hari kau ikuti
Hanya saja, denganmu lebih indah.
Ternyata ada seorang pemuda yang mendengarkan di bawah
jendela tampak memandang, sambil membawa bejana kulit dan baju
tambalan. Pemuda itu berkata.” Hai Jariyah, demi kehidupan
tuanmu, ulangi kata-kata : Setiap hari kau ikuti. Hanya saja,
denganmu lebih indah. Ucapkan lagi kata-kata itu!.” Jariyah tadi
mengulangi kembali baitnya. Sedang si ffakir itu berkata : “Inilah,
demi Allah, ucapan yang mengikatkan ddiriku bersama Al-Haq.” Lalu
pemuda itu menjerit dengan sekali jeritan yang menyebabkan
ruhnya lepas dari tubuhnya. Seketika pemilik vila itu berkata pada
jariyah : “Kamu telah merdeka --- karena Allah swt.”
Para penduduk Bashrah keluar dan mengurus pemakaman
pemuda itu, serta menshalatinya. Pemilik vila tersebut berkata :
“Bukankah kalian semua mengenalku? Aku bersaksi di hadapan kalian
semua, bahwa segala milikkku hanya untuk jalan Allah swt. Semua
budak-budakku merdeka.” Kemudian mereka memakai sarung dan
berkain. Vilanya pun disedekahkan. Selanjutnya ia pergi begitu saja.
Sebab setelah peristiwa tersebut ia tidak menampakkan dirinya,
dan tidak pernah terdengar namanya disebut-sebut.
Abu Sulaiman ad-Dimasyqi mendengarkan panggilan orang yang
sedang thawaf : “Duhai, terimalah penghormatanku untuk-Mu!.” Lalu
Abu Sulaiman jatuh pingsan. Saat sadar ia ditanya, lalu menjawab :
“Aku kira ia berkata : “Terimalah, kau lihat penghormatanku
padamu.”
Utbah al-Ghulam mendengar seseorang bermunajat : “Maha
Suci Allah, Tuhannya langit, sungguh sang pecinta selalu dalam
tawanan.” Utbah menyahut : “Kamu benar.” Lantas mendengarkan
orang lain mengucapkan akta-kata yang sama. Utbah menyela :
451
“Bohong kamu!” Masing-masing individu menyimak dari segi
proporsinya.
Ruwayma bin Ahmad ditanya mengenai para syeikh yang mereka
temui dalam sima’. Ruwaym menjawab : “Seperti sekawanan domba
yang kepergok harimau.”
Riwayat dari Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz yang berkata : “Aku
melihat Ali ibnul Muwafiq dalam sima’, beliau berkata : “Beddirikan
aku!.” Merekapun membangkitkan, dan ia pun berdiri, lalu mengalami
ekstase dan berkata : “Akulah syeikh para penari.”
Dikatakan, Ibrahim ar-Raqqy bangkit semalam suntuk hingga
subuh. Banun dan jatuh di rumah itu. Sedangkan orang-orang
bangkit sembari menangis. Sedang bait-bait yang dibacakan adalah :
Demi Allah, tolaklah hati yang duka
Tiada lagi pengganti
Dari kekasihnya.
Al-Husain bin Muhammad bin Ahmad berkata : “Aku berbakti
kepada Sahl bin Abdullah bertahun-tahun. Aku tidak pernah melihat
perubahan pada dirinya, ketika menyimak sesuatu baik dari dzikir
maupun bacaan Al-Qur’an, ataupun yang lain. Ketika akhir hayatnya,
dibacakan suatu ayat :
“Maka pada hari ini tidak diterima tebusan.” (Qs. Al-Hadid :15).
Tiba-tiba kulihat ia berubah dan gemetar, hampir saja ia jatuh.
Ketika sudah sadar, aku bertanya padanya, lalu ia berkata : “Duhai
kekasih, betapa lemahnya kami....”
Saya mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy berkata :
“Aku masuk ke tampat Abu Utsman Sa’id al-Maghriby, dan ia sedang
mengambil air minum dari sumur melalui kerekan timba, lantas dia
berbicara : “Hai Abu Abdurrahman, tahukah engkau apa yang
diucapkan oleh kerekan ini? Kukatakan : “Tidak!” Dia berkata :
“Kerekan ini berbunyi : Allah—Allah.”
452
Ruwaym berkata : “Riwayat dari Ali Bin Abu Thalib r.a. bahwa
beliau mendengarkan suara lonceng. Lalu beliau bertanya pada para
sahabtnya : Apakah kalian mengerti apayang diucapkan oleh lonceng
itu? Mereka menjawab : “Tidak! Ali berkata : “Sebenarnya lonceng
itu mengucapkan : “Subhanallah, benar, benar, sungguh Tuhan Kekal
Abadi.”
Ahmad inbul Karkhy berkata : “Suatu hari jamaah
sufi berkumpull di rumah al-Hasan al-Qazzaz. Di antara mereka ada
beberapa penyair, yang mendedangkan syairnya sembari ekstase.
Lalu Mumsyad ad-Dinawary datang mereka pun terdiam. Mumsyad
berkata : “Kalian terus saja seperti semula! Seandainya seluruh alat
permainan dunia dikumpulkan dalam telingaku, sama sekali tidak
mempengaruhi hatiku, atau dijejalkan di mulut dan gerahamku tiak
berpengaruh sama sekali.” Ibnul karkhy melanjutkan : “Aku
mendengar pula ar-Rudzbary berkata : “Kami sampai pada masalah
ini, bagaikan berada di atas mata pedang, sedikit kita terlena ke
sana kemari, kita tercebut di neraka.”
Khayr an-Nassaj berkta : “Mua bin Imran – semoga shalawat
dan salam Allah terlimpah padanya – mengisahkan pada kaumnya,
suatu kisah. Salah satu di antara mereka ada yang menjerit.
Kemudian Muasa as. Membentaknya. Lalu Allah menurunkan wahyu :
“Hai Musa, dengan bau Ku, mereka rasakan semerbak, dengan cinta-
Ku mereka membuka, dan dengan kerinduan-Ku mereka berteriak.
Mengapa engkau ingkari semua itu terhadapTuhanku?”
Dikatakan : “Dulaf asy Syibly mendengar seseorang berkata, :
“Plilihan kebaikan itu sepuluh dibanding seperenam dirham.” Lalu
asy-Syibly berteriak sembari mengatakan : “Bla kebaikan itu
sepuluh dibanding seperenam dirham, bagaimana dengan kejahatan-
kejahatan.”

453
Dikatakan : “Aun bin Abdullah punya seorang jariyah yang
memiliki suara merdu, Aun menyuruh mendendangkan lagu. Jariyah
itu mendendangkan lagu dengan sura yang memilukan, sampai seluruh
orang yang hadir menangis.”
Abu Sulaiman ad- Darany ditanya tentang sima’. Dia menjawab :
“Setiap kalbu yang menginginkan suara berlagu, berati hati yang
lemah yang perlu diobati, sebagaimana anak kecil yang diobati
dengan lagu-lagu agar segera tidur.” Abu Sulaiman berkata
selanjutnya : “Suara merdu sama sekali tidak merasuk kalbu. Yang
menggerakkan kalbu itu adalah apa yang ada di dalam kalbu.”
Ahmad al-Jurairy berkata : “Jadilah kalian ini para Rabbaniyyun
: Yakni orang-orang yang menyimak dari Allah dan mengucapkan
dengan Alah swt.”
Sebagian Sufi ditanya soal sima’, jawabnya : “Kilatan yang
melintas, kemudian padam. Cahaya yang tampak kemudian suram.
Betapa manusianya bila menetap bersama pemiliknya, walaupun
sekejap mata.” Kemudian ia membaca syair :
Bisikan dalam jiwa, yang mengusik
Bagai gerak kilat yang berkelebat
Lalu hilang
Disa bagimu, jika menuju rahasia batinku
Dan tercela bagimu, jika kau lakukan itu.
Dikatakan : “Sima’ memiliki bagian setiap anggota tubuh. Bila
tiba di mata, mata pun menangis. Bila sampai pada lisan,
berteriaklah dia. Ila menyentuh tangan, ia merobek dan memukul.
Dan Bila sampai di kaki, ia akan menari-nari.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Abu Amr
bin Nujayd berkumpul bersama Nashr Abadzy serta para
pengikutnya dalam suatu tempat An-Nashr Abadzy mengatakan :
“Kukatakan, bila orang-orang Sufi berkumpul, satu angkat bicara,
454
yang lain diam, itu lebih baik daripada menggunjing seseorang.”
Lantas Abu Amr berkata : “Anda menggunjing selama tigapuluh
tahun, lebih menyelamatkan diri Anda dibanding Anda menampakkan
ruhani dalam sima’ yang sebenarnya bukan pada Nada.” Lalu Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Manusia dalam sima’ terbagi tiga
katagori : Berupaya menyimak (mutasammi’), menyimak penuh
perhatian (Mustami’) dan pendengar (saami’). Mutasammi’ menyimak
dengan waktu, dan Mustami’ menyimak dengan kondisi ruhani,
sedangkan Saami’ menyimak dengan Allah swt.”
Saya bertanya pada Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. tidak hanya
sekali, menegnai adanya suatu yang menyerupai keringanan dalam
sima’, dan beliau mengupayakan padaku dengan menekankan adanya
pengendalian dalam sima’. Kemudian setelah beberapa waktu, beliau
berkata : “Sebenarnya para syeikh Sufi berkata : “Sepanjang
hatimu disatukan dengan Allah swt. maka tidak apa-apa.”
Dari Abbas r.a. yang berkata : “Allah swt. mewahyukan kepada
Musa as. : “Aku jadikan dalam dirimu sepuluh ribu pendengaran,
sehingga kamu mendengarkan Kalam-Ku. Dan yang lebih Kucintai apa
yang aa padamu bagi-Ku dan lebih mendekatkan apda-Ku, apabila
kamumemperbanyak shalawat kepaa Muhammad saw.”
Abul Harits al-Aulasy berkata : “Aku melihat iblis – semoga
Allah swt. melaknatnya – dalam mimpi, berada di atas benteng Aulas.
Aku pun di atas atap. Di tangan kana iblis ada jamaah, begitu pula
di tangan kirinya. Mereka memakai pakaian yang bersih-bersih. Iblis
berkata kepada kelompok di antara mereka : “Bicaralah kalian!.”
Mereka pun berbicara dan menyanyikan lagu. Sungguh menegjutkan
kemerduan suara-suaranya, sampai aku ingin meleparkan diriku dari
atap. Kemudian Iblis bicara : “Menarilah kalian semua!” Mereka pun
menari dengan tarian yang paling indah. Lantas Iblis berkata padaku

455
: “Hai Abul Harits, tak satu pun yang tepat, yang kumasukkan pada
kalian, kecuali yang ini tadi.”
Abdullah bin Ali berkata : “Aku berkumpul semalam bersama
Dulaf asy-Syibly r.a. Tiba-tiba ia berkata : “Para penyair itu adalah
sesuatu.” Maka Syibly berteriak dengan ekstase sambil duduk. Maka
kepadanya dikatakan: “Wahai Abu Bakr, ada apa Anda duduk di
tengah-tengah jamaah ini?” Asy-Syibly langsung berdiri dan
mengalami ekstase kembali. Lalu mendendangkan syair :
Bagiku dua kemabukkan, sedang
Teman-teman mabukku hanya punya satu
Sesuatu yang disitimewakan bagiku
Di antara mereka,
Adalah kesendirianku.
Abu Ali ar-Rudzbary berkata : “Aku melewati suatu vila. Tiba-
tiba kulihat pemuda yang tampan tergeletak di tengah-tengah orang
yang berkumpul di sana. Aku bertanya pada mereka tentang anak
muda itu. Mereka menjawab : “Pemuda ini melewati vila tersebut,
dan di dalam vila itu ada seorang jariyah yang mendedangkan lagu :
Betapa besar cita-cita hamba
Yang berambisi memandang-Mu
Ataukah karena tiada pertimbangan bagi mata
Untuk melihat orang yang benar-benar melihat-Mu.
Lalu, tiba-tiba pemuda ini menjerit dan mati.

456
457

Anda mungkin juga menyukai