Akidah (keyakinan) kami adalah 'akidah (kaum) Salafush Soleh dan akidah para Sahabat. (Siyar A 'lamin Nubala', XX/442)
Beliau juga berkata dalam kitabnya Fat-hur Rabbani hal. 35 (majlis ke-10):
Hendaklah kamu berittiba' dan janganlah kamu berbuat bidaah, dan hendaklah kamu juga mengikuti mazhab Salafush Soleh, berjalanlah kamu di jalan yang lurus. (Syeikh 'Abdul Qadir al-Jailani, hal. 76.)
Wajib bagi setiap orang yang beriman untuk mengikuti (Ahlus) Sunnah wal Jamaah, yang dimaksud dengan Sunnah adalah Sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, sedangkan yang dimaksud dengan Jamaah adalah kesepakatan para Sahabat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pada masa Khulafaa-ur Rasyidin yang empat (Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali radhiyallaahu 'annum) mudah-mudahan Allah merahmati mereka semua .
Perkara yang diwajibkan atas setiap para pemula yang baru mengikuti tarekat (al-Qadiriyah) ini untuk memiliki 'akidah yang sahih. Dan hal itu merupakan dasar (yang harus dimiliki), dan 'akidah yang sahih itu adalah akidah Salafush Soleh. (Syeikh 'Abdul Qadir al-Jailani, hal. 637.)
Tentang Iman
Beliau juga telah mengatakan di dalam kitab al-Ghunyah hal. 80:
Kami meyakini bahawasanya iman itu adalah ucapan dengan lisan, meyakini dengan hati, dan amal perbuatan anggota badan, dan iman itu dapat bertambah dengan ketaatan serta dapat berkurang dengan perbuatan dosa dan maksiat, dan iman itu juga dapat menjadi kuat dengan ilmu, dan juga dapat melemah dengan kebodohan, dan hanya dengan taufik dari Allah Ta'ala iman itu akan terwujud.
Untuk itulah maka kemudian Syeikh membawakan sebuah hadits sebagai dalil dalam masalah ini:
Iman itu memiliki 70 cabang/tingkatan lebih, yang tertinggi dari cabangcabang keimanan itu adalah dengan mengucapkan "laa ilaaha illallaah (tidak ada ilah yang berhak untuk disembah dengan benar kecuali Allah)" dan cabang/tingkatan terendahnya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.
Adapun Islam, maka masuk ke dalam pengertian Iman, oleh kerana itu, setiap Iman itu pasti Islam, akan tetapi (tidak sebaliknya; yakni) tidak setiap Islam itu Iman.
Wajib hukumnya untuk memutlakkan Sifat Istiwa' (bersemayamnya Allah di atas 'Arsy) "bagi Allah, tanpa takwil, dengan meyakini bahawa Zat Allah
6
bersemayam di atas 'Arsy, dan bukan dengan makna duduk dan mumarasah (kebiasaan), sebagaimana yang telah diucapkan oleh kaum Mujassimah (mereka yang telah mensifati Allah dengan jism/tubuh.) dan Karamiyah, dan juga bukan dengan makna ketinggian Martabat ('uluw war rifah) sebagaimana yang difahami oleh kaum Asyariah, dan juga bukan dengan makna istila' (penguasaan) dan ghalabah (mengalahkan yang lain), sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Muktazilah, kerana tidak ada dalil yang menunjukkan kepada semua arti tersebut. Dan juga tidak pernah dinukil dari keterangan para Sahabat dan Tabi'in dari kalangan Salafush Soleh, dari para ulama Ash-habul Hadits, bahkan sebaliknya bahawa yang telah dinukil keterangannya dari Salafush Soleh dan para ulama Hadits itu adalah bahawa mereka memahami ayat-ayat dan hadits-hadits Sifat secara mutlak (apa adanya, tanpa takwil dan ta'thil). Kemudian pada hal. 73, (al-Ghunyah) beliau berkata:
Keterangan yang menyebutkan bahawa Allah bersemayam di atas ArsyNya itu juga telah disebutkan di dalam setiap Kitab yang pernah Allah Turunkan kepada setiap Nabi yang pernah diutus (ke muka bumi ini), tanpa disebutkan tentang kaifiah (hakikat bentuk)nya, kerana Allah akan tetap memiliki Sifat ketinggian ('uluw) dan kemampuan (qudrah), dan Allah juga memiliki Sifat menguasai (istiila) dan mengalahkan (ghalabah) atas setiap hamba-hambaNya, seperti: Arsy dan yang lainnya dari makhluk ciptaan Allah. Akan tetapi Sifat istiwa' itu tidak boleh untuk diertikan dengan menguasai (istaiilaf) dan mengalahkan (ghalabah), kerana Sifat istiwa' (bersemayamnya) Allah di atas 'Arsy itu merupakan Sifat Zatiah (Yang dimaksud dengan "Sifat Zatiyah" adalah sifat yang selalu ada dan akan terus ada pada Allah, dan tidak mungkin berpisah
dari-Nya.) bagi Allah, sebagaimana Allah telah mengkhabarkan sendiri tentang hal itu (di dalam Al-Qur-an) kemudian Allah memperjelas lagi hal ini di dalam 7 ayat yang terdapat di dalam Al-Qur-an. (Tujuh tempat tersebut dalam Al-Qur-an adalah al-A'raaf: 54, Yunus: 3, ar-Ra'd: 2, Thaha: 5, al-Furqaan: 59, as-Sajadah: 4, dan al-Hadid: 4) begitu juga (telah diterangkan oleh Rasul-Nya) di dalam Sunnah beliau yang datang dari beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam, dan Sifat ini adalah Sifat yang terus-menerus ada dan sesuai bagi Allah 'Azza wa Jalla, seperti halnya dengan Sifat Tangan, Wajah, Mata, Pendengaran, Penglihatan, Hidup dan al-Qudrah (Kemampuan).
Allah berada di atas, bersemayam di atas 'Arsy, menjaga dan memelihara kerajaan, Yang Ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu, (dimana Allah Ta'ala telah berfirman:) "Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya" [Fathir (35): 10], (dan Allah 'Azza wa Jalla juga, telah, berfirman:) "Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu."[QS. As-Sajadah (32): 5]
Arsy (Allah, Yang) Maharahman berada di atas air, dan Allah Ta'ala berada (bersemayam) di atas 'Arsy.
telah
kami
sebutkan
bahawasanya
(Allah
Dan Zat Allah bersemayam di atas 'Arsy, sedangkan Ilmu-Nya mengawasi di setiap tempat. (Lihat Ijtima'ul Juyusyal-lslamiyyah hal. 79, karya Syeikhul Islam Ibnu Qayyim al-jauziyyah.)
Allah (bersemayam di atas 'Arsy-Nya) terpisah dari Hamba-hamba-Nya, akan tetapi Ilmu Allah itu meliputi setiap tempat, dan tidak diperbolehkan (sama sekali) mensifati Allah bahawa Dia berada di setiap tempat, akan tetapi wajib untuk dikatakan bahawa Allah berada di atas langit (bersemayam) di atas 'ArsyNya, sebagaimana Allah telah berfirman: "Rab Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy." [Thaha (20): 5]
Kursi Allah
Syeikh mengatakan di dalam al-Ghunyah hal. 72:
Kursi Allah itu berada di sisi 'Arsy-Nya, (yang mana Kursi Allah itu diumpamakan) seperti sebuah gelang yang dilempar di tengah tanah lapang yang luas.
Allah (Rabb semesta alam) meletakkan telapak kaki-Nya di Neraka Jahannam, maka sebahagian kami bergabung dengan sebahagian yang lain, dan Neraka pun berkata: Cukup, cukup (ya Allah)!
Hati-hati manusia itu berada di antara genggaman kedua jari dari jarijemari Allah, yang mana Allah membolak-balikkan hati-hati itu ke mana saja Dia Kehendaki.
10