Anda di halaman 1dari 18

Ilmu Laduni Itu, Ya Ma'rifat (Prof. Dr.

Mulyadhi Kartanegara- Pakar Filsafat Islam) Istilah ilmu ladunni, yang bermakna pengetahun intuitif- langsung dari Allah, kini cenderung disalahpahami. Karenanya, kini orang sering mengkaitkan ilmu ladunni dengan karomah atau kemampuankemampuan luar biasa lainnya. Padahal menurut Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara yang baru merampungkan buku Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam ini, sebenarnya istilah ilmu ladunni dalam wacana sufistik sama halnya dengan marifat. Lalu bagaimana proses terjadinya ilmu ladunni tersebut? Berikut petikan wawancara Sufi dengan Dosen Pascasarjana UIN Jakarta ini. Istilah ilmu ladunni sepertinya sudah lama dikenal, tetapi ada sinyalemen bahwa ia kini banyak disalahartikan. Apa makna yang sebenarnya dari istilah ini ? Istilah ilmu ladunni itu sebenarnya menunjukkan jenis pengetahuan yang bersifat immediate atau langsung. Secara umum, pengetahuan itu kan ada yang diperoleh melalui perantara, ada juga yang diperoleh secara langsung yang kemudian dikenal juga dengan istilah pengetahuan intuitif. Jadi yang perlu digaris bawahi, pengetahuan intuitif ini diperoleh bukan dari hasil penalaran rasio maupun pencerapan inderawi. Kalau Rumi mengistilahkannya dengan tanpa guru tanpa buku, tetapi kebenaran itu memang diperlihatkan langsung oleh Allah kepada yang bersangkutan. Pada saat-saat seperti apa pengetahuan secara ladunni itu diperoleh ? Ilmu ladunni itu diperoleh saat terjadinya mukasyafah, yaitu tersingkapnya hijab. Istilah mukasyafah ini sudah lekat dalam khazanah sufistik, karenanya ada kitab yang berjudul Kasyful-Mahjub yang ditulis oleh al-Hujwiri. Kitab tersebut ia tulis dari hasil pengalaman mistiknya sendiri, yang isinya sebenarnya mengupas segi-segi batin dari ibadah. Yaitu menguraikan apa yang tersembunyi di balik ibadah formal. Bisa Anda jelaskan lebih jauh tentang ilmu loadunni tadi ? Kalau berbicara tentang ilmu ladunni, biar pengertiannya lebih jelas

perlu kita kontraskan perbedaannya antara pengetahun intuitif langsung dengan pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Jadi begini....! Kata Jalaluddin Rumi, bisakah anda menyunting mawar dari (m) (a) (w) (a) (r) ? Tentu saja gak bakal bisa kan?! Itu baru sebatas menyebut nama. Pengetahuan akal itu dikatakan pengetahuan-tidak-langsung karena ia masih menggunakan perantaraan simbol-simbol, menggunakan penalaran melalui silogisme. Tetapi jika anda ingin memperoleh pengetahuan intuitif tentang mawar maka carilah yang punya nama. Suntinglah mawar tersebut secara langsung dari taman. Atau analogi lain misalnya, jika anda ingin memperoleh pengetahun langsung mengenai panasnya api, maka bakarlah diri anda dengan api. Jadi jangan sekedar membaca segudang buku tentang bagaimana panasnya api. Pengetahuan melalui bacaan itu bersifat tidak-langsung. Jadi singkatnya, ilmu ladunni itu menunjuk pada pengetahuan dari segi kelangsungannya, yaitu langsung diperoleh dari sumbernya. Jika demikian, bukankah pengetahuan inderawi juga bersifat langsung ? Memang pengetahuan intuitif itu ada kemiripannya dengan pengetahuan inderawi dari segi kelangsungannya. Ketika mata melihat suatu obyek, pada saat yang bersamaan dia telah memeperoleh pengetahuan mengenai obyek tersebut. Tetapi di sini perbedaannya sangat jelas, kalau obyek inderawi adalah yang bersifat fisik- material; sementara obyek intuisi adalah yang bersifat non-fisik, immaterial, yang gaib, dunia spiritual. Itulah perbedaannya! Jika ilmu ladunni itu sebagai pemberian, lalu anatomi apakah pada diri manusia sebagai tempat melimpahnya ilmu tersebut ? Tentunya ya hati! Tetapi memang hati itu ada lapisan-lapisannya lagi, yang ini sekaligus menunjukkan tingkatan kepekaannya. Bagian luar dari hati itu disebut shudur, bagian agak dalamnya disebut qalbu, kemudian lebih ke dalamnya lagi adalah fuad, dan bagian dalamnya lagi adalah lub. Hati itu pun dapat diibaratkan seperti radar. Semakin ke dalam, atau semakin dekat ke pusatnya maka tingkat kepekaannya pun akan semakin tinggi. Jadi hati manusia itu ibarat radar yang bisa diarahkan ke mana saja, bisa mencari obyek apa saja, dan bisa memahami sinyal sekecil apapun, dan bahkan bisa melampaui ruang dan waktu. Bagaimana kalau hatinya kotor ? Nah itu lain lagi persoalannya. Kalau hati itu kotor, maka dia tentunya

akan kesulitan untuk dapat menangkap sinyal. Bahkan sinyal yang ditangkapnya pun bisa jadi akan bias. Adakah ciri-ciri tertentu dari orang yang berhak mendapat limpahan ilmu ladunni ? Yang menerima limpahan ilmu ladunni itu sebenarnya tidak bisa sembarang orang. Namun demikian, ia harus disongsong. Kalau Rumi bilang, jangan kau tidur di tengah jalan. Itu pekerjaan kaum Jabariyah. Tapi berlalulah sampai ke gerbang istana. Jadi dalam konteks ilmu ladunni aspek ikhtiar manusia itu hanyalah sampai ke gerbang istana tadi. Nah, setelah kita di sana, kita tidak bisa memaksa. Itu tergantung sang raja, apakah ia akan mengijinkan kita masuk ataukah tidak. Iya kan? Tapi walaupun diijinkan, kalau kita tetap saja berada di rumah ya gak bisa masuk juga kan?! Jadi upaya manusia itu hanya sampai ke gerbang?! Lalu bagaimana proses selanjutnya setelah ia berada di gerbang tadi ? Ya, betul hanya sampai ke gerbang saja. Karena itu ilmu ladunni itu tidak dapat dikatakan sebagai hasil ikhtiar manusia. Ada analogi lain, kalau rumah itu biasanya kan ada genteng kaca. Maksudnya supaya mendapatkan penerangan langsung dari matahari sebagai sumber cahaya. Nah, sekarang coba kita bayangkan kalau kacanya itu tidak pernah kita bersihkan selama berpuluh-puluh tahun sehingga sudah sangat kotor. Maka biarpun ada cahaya matahari persis di atasnya, cahaya itu gak bakal bisa masuk juga, karena terhalang oleh debu. Jadi sebenarnya usaha sufi itu adalah membersihkan genteng hatinya dalam rangka menyongsong cahaya Ilahi. Jadi itu dalam rangka menyiapkan diri, istidad. Sehingga kalau sewaktu-waktu ada cahaya persis di atasnya, maka dia bisa langsung menerimanya. Dan itulah namanya mukasyafah. Nah kalau sudah mukasyafah, artinya sudah disingkapkan hijab, maka akan ada musyahadah kan?! Yaitu penyaksian langsung. Nah, bagi sufi Allah itu adalah al-Haq. Jadi kalau hijabnya sudah tersingkap maka dia akan bisa menyaksikan wajah-Nya. Dengan demikian berarti dia dapat melihat kebenaran sejati. Inilah pengetahuan langsung dari Allah yang kemudian sering diistilahkan dengan ilmu ladunni itu. Dalam konteks ini, berarti ilmu ladunni itu sama halnya dengan marifat. Tetapi istilah marifat di sini penekanannya bukan dalam pengertian maqamat, melainkan dipandang sebagai suatu system epistemology (kesatuan langkah yang harus ditempuh sebagai bagian dari cara memperoleh pengetahuan--red).

Jadi dalam proses penerimaan ilmu ladunni tadi aspek kognitif alias peran akal tidak begitu berfungsi? Bisakah anda gambarkan proses pelimpahannya ? Ya memang demikian! Pada saat berlangsungnya pelimpahan ilmu ladunni tadi, dimensi keakuan atau kesadaran akan dirinya itu lebur alias fana. Dalam keadaan seperti itu, ya hati itulah yang berperan untuk merasakan dan bahkan menyaksikan Yang Maha Benar, sehingga sebagian dari ilmu-Nya berlimpah ruah ke dalam hati tersebut. Sekedar gambaran bisa ditunjuk misalnya kasus Jalaluddin Rumi. Rumi ketika menulis kitab Masnawi yang berjilid-jilid itu, yang terdiri dari 36 ribu bait, sebenarnya yang menuliskannya itu adalah muridnya. Jadi sewaktu dia melakukan suatu ritual, ia menari dengan intensnya. Pada saat yang bersamaan pintu intuisinya pun terbuka, sehingga inspirasinya itu mengalir dengan derasnya seolah tidak ada keringnya. Dari mulutnya tiada henti mengalir bait demi bait, seolah sedang mendiktekannya, dan ketika itu muridnya menuliskannya. Kira-kira seperti itulah melimpahnya pengetahuan intuitif tersebut. Bagaimana dengan sifat ontologis dari pengetahuan yang diperoleh secara ladunni itu, tergolong obyektif juga ataukah memang subyektif ? Itu memang subyektif, sebab memang itu merupakan pengalaman pribadi yang sangat personal. Tetapi bukan berarti pelimpahan tersebut tidak berdasarkan pada dunia obyektif, atau bahwa pengetahuan yang diperoleh secara ladunni itu tidak sesuai dengan obyek yang diketahuinya. Kita analogikan misalnya dalam dunia mimpi. Ketika kita bermimpi, kita dapat melihat obyek yang nampaknya fisik padahal bukan fisik. Kita bermimpi bertemu dengan teman lama misalnya. Kita dapat melihat dia, tapi tentunya bukan dengan mata biasa melainkan dengan mata tertentu. Tetapi teman yang kita lihat itu benar-benar nyata ada dalam dunia mimpi kita, seolah dia itu berujud. Padahal sosok dia dalam mimpi kita itu bukan berwujud fisik. Iya kan? Kalau setiap mimpi kita berujud fisik ya bisa hancur tempat tidur kita kan?! Nah, pengetahuan yang kita peroleh melalui mimpi itu secara pribadi memang bersifat subyektif alias personal. Sebab hanya kita yang mengalami mimpi tersebut. Coba saja tanyakan kepada teman kita itu, apakah benar dia juga bertemu kita dalam mimpi kita itu?! Kan hanya kita yang mengalami. Namun demikian, setiap orang bermimpi itu memang seperti itu polanya. Melihat sesuatu yang seolah fisik

padahal bukan fisik, dan melihatnya pun bukan dengan mata biasa. Nah setiap orang yang bermimpi itu pasti begitu. Karena itu, dunia mimpi itu dapat dikatakan intersubyektif. Dari penggambaran tentang dunia mimpi tadi, mungkin kini kita dapat lebih memahami jika dikatakan bahwa ilmu ladunni itu pun bersifat intersubyektif. Jadi kecenderungannya dewasa ini istilah obyektif itu sudah ditinggalkan, sebab ia terlalu bias pada empirisisme. Istilah yang dimunculkan kemudian ya intersubyektif itu. Jadi kategori ilmu ladunni itu bukannya subyektif melainkan bersifat inter-subyektif ? Ya, inter-subyektif! Setiap sufi itu kan mengalami pengalaman spiritual berupa mystical union atau kesatuan mistik, atau bisa juga disebut mukasyafah seperti yang tadi sudah kita singgung. Nah, kalau kita telusuri pengalaman mereka masing-masing, secara epistemologis bagaimana pengetahuan ladunni itu mereka peroleh maka prosedurnya itu akan nampak sama. Namun demikian, memang mereka kemudian mengkonsepsikannya dengan istilah yang berbeda-beda. Misalnya ada yang mengistilahkannya dengan ittihad, hulul, marifah, mahabbah, dst. Perbedaan istilah tersebut, selain menunjukkan intensitas pengalaman spiritual pada aspek tertentu yang disingkapkan Allah kepada mereka masing-masing, adalah karena keterbatasan bahasa untuk dapat mengkomunikasikan sesuatu yang bukan bersifat material. Tetapi, sekali lagi, bahwa proses melimpahnya pengetahuan intuitif kepada masing-masing dari mereka adalah sama. Adakah kaitan antara ilmu ladunni dengan karamah atau kemampuan-kemampuan luar biasa lainnya yang sering diistilahkan dengan khawariqul-adat itu ? Ehm... begini! Karamah itu kan kemampuan luar biasa yang diberikan kepada para wali yang sifatnya sewaktu-waktu saja, jadi bukan kemampuan yang sifatnya permanen. Ya, sama halnya dengan muzijat yang diberikan kepada para nabi dan rasul, kan itu hanya bisa digunakan sewaktu-waktu saja. Jika demikian, maka sebenarnya tidak ada kaitan langsung antara ilmu ladunni dengan karamah. Memang ada diantaranya mereka yang dianugerahi ilmu ladunni kemudian, sebagai konsekuensi logisnya, mereka memiliki karamah pada saat-saat tertentu. Dalam kaitan ini, Ibnu Arabi itu pernah mengatakan bahwa siapapun yang dapat memasuki alam mitsal maka ia akan dapat memahami apa saja, termasuk memahami bahasa batu sekalipun. Karena itu

tidak mengherankan jika mereka yang tengah mukasyafah, yang tengah mendapat limpahan ilmu ladunni yang nota bene dia itu berada di alam mitsal, mereka bisa melihat kejadian di masa depan misalnya. Apa yang dimaksud dengan alam mitsal tersebut ? Alam mitsal itu adalah alam antara, yang berada diantara alam fisik dan alam spiritual. Alam itu kan ada tingkatan-tingkatannya, alam fisik-material ini disebut alam muluk, di atas itu ada alam malakut, kemudian alam jabarut.... dst. Alam mitsal itu bisa disebut alam malakut atau bisa juga di sebut alam barzah, karena sifatnya kan berada diantara dua alam tadi. Ciri khas dari alam mitsal itu diantaranya bahwa yang berwujud spiritual bisa dimaterialkan, tetapi bukan benar-benar material. Wujud yang berada di alam spiritual kan tidak dapat kelihatan, tetapi ketika ia berada di alam mitsal maka menjadi bisa kelihatan meski ia bukan benar-benar bersifat material. Nah para nabi itu ketika menerima wahyu dari Jibril umumnya bertemu di alam mitsal. Sehingga mereka bisa melihat sosok malaikat jibril. Atau kita sering mendengar ilustrasi bahwa amal shalih itu ketika di alam barzah akan berujud sebagai pemuda tampan. Sebaliknya, setiap wujud material ketika berada di alam mitsal maka ia akan nampak berwujud spiritual, meski bukan benar-benar spiritual. Analoginya dapat diserupakan ketika kita berkaca di depan cermin. Di sana kita dapat melihat suatu benda material tetapi bukan material. Jadi apapun yang berwujud material ketika dilihat di alam mitsal menjadi wujud spiritual. Karena itu tidak heran jika tadi saya katakan bahwa orang yang berada di alam mitsal bisa melihat kejadian di masa depan misalnya. Kira-kira demikianlah! Ilmu Laduni Itu Hanya Bagi Mereka Yang Suci (Dr. Yunasril Ali- Dosen UIN Jakarta) Sebagai makhluk yang serba ingin tahu, tiap manusia tentunya akan selalu berburu pengetahuan. Jika pengetahuan itu umumnya diperoleh melalui proses belajar, maka ada pula yang diperoleh melalui ilmu ladunni. Menurut Dr. Yunasril Ali, dosen yang relatif familiar dengan pandangan-pandangan tasawuf al-Ghazali dan Ibnu Arabi ini, mereka yang senantiasa menjaga kesucian hatinya boleh jadi akan mendapat limpahan pengetahuan langsung dari Allah. Jenis pengetahuan inilah yang ia maksudkan dengan ilmu ladunni. Berikut petikan wawancara Sufi dengan pengamal tasawuf yang padahal beberapa tahun sebelumnya pernah mengecamnya.

Menurut Anda, apa yang dimaksud dengan ilmu ladunni, dan adakah ayat al-Quran yang menyinggung soal ini? Dalam bahasa Arab, ladun itu artinya di sisi. Term ini terdapat misalnya dalam surah al-Kahfi ayat 65 yang mengisahkan antara Nabi Khidir dengan Nabi Musa. Nah, dalam ayat tersebut ada perkataan wa allamnahu min-ladunna ilma. Artinya, Dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Atas dasar ini, maka muncullah istilah ilmu ladunni. Jadi ilmu ladunni itu adalah pengetahuan langsung yang dikaruniakan Allah kepada manusia tertentu, tanpa melalui pengajaran atau perantaraan guru. Apakah dalam kitab-kitab tasawuf ada uraian yang mengupas soal ilmu ladunni? Ya, ada! Uraian yang agak panjang itu terdapat dalam kitab alRisalah al-ladunniyah karya al-Ghazali. Selain al-Ghazali ada juga Ibnu Arabi. Penjelasan Ibnu Arabi tentang hal-hal yang berkaitan dengan ilmu ladunni ini terdapat dalam mukaddimah Futuhat alMakiyah, tetapi uraiannya tidak serinci al-Ghazali. Sementara dalam karya-karya Ibnu Arabi lainnya, semisal dalam Fushushul-Hikam, soal ini hanya disinggung sedikit-sedikit. Bagaimana pandangan al-Ghazali mengenai ilmu ladunni? Begini! Ilmu itu kan pengetahuan yang diperoleh manusia. Nah, cara memperolehnya itu ada dua cara. Ada ilmu yang dicari oleh manusia ada juga ilmu yang dikaruniakan langsung oleh Allah. Dalam istilah al-Ghazali, yang diuraikan dalam kitabnya al-Risalah al-ladunniyah, yang pertama itu disebutnya talim insany, yaitu ilmu yang diperoleh melalui pengajaran diantara manusia; atau ilmu al-muktasab, yaitu ilmu yang dalam memperolehnya itu diusahakan oleh manusia. Adapun kategori yang kedua disebutnya dengan ilmu mauhub atau ilmu yang dikaruniakan langsung oleh Allah. Kelompok yang pertama itu, itulah ilmu yang dipelajari manusia baik secara formal melalui lembaga-lembaga pendidikan maupun secara informal. Adapun kelompok ilmu yang kedua, yaitu ilmu ladunni, sebenarnya memang ada juga unsur usahanya. Hanya saja usahanya itu bersifat tidak langsung. Aspek usahanya itu tiada lain adalah melalui intensitas amal sampai sedemikian rupa, sehingga kualitas hatinya itu memang sudah layak untuk dapat menerima limpahan ilmu ladunni. Selain itu, ilmu ladunni itu dinamakan juga dengan ilmu mukasyafah. Sebab limpahan ilmu ladunni itu diterima

manusia pada saat mengalami mukasyafah, yaitu terbukanya hijab antara hamba dengan Allah. Secara garis besarnya demikianlah pandangan al-Ghazali. Lalu, bagaimana dengan pandangan Ibnu Arabi? Pada intinya tidak berbeda dengan penjelasan al-Ghazali. Menurut Ibnu Arabi, yang muktasab itu dibagi dua, yaitu ilmul-aqli dan ilmulahwal. Ilmul aqli itu adalah ilmu dari hasil penalaran. Sedangkan ilmul-ahwal adalah ilmu dari hasil eksperimen atau penelitian empiris. Adapun istilah Ibnu Arabi terhadap ilmu mauhub atau ilmu ladunni tadi adalah ilmul-asrar. Disitilahkan dengan ilmul-asrar karena cara mendapatkannya itu adalah berupa karunia dari Allah secara langsung. Kecuali itu, ilmu asrar ini tidak semua harus disampaikan kepada ummat. Jadi dikatakan ilmu asrar karena ada bagian-bagian yang perlu dirahasiakan dari ummat Islam pada umumnya. Jika demikian, apakah ilmu ladunni ini hanya otoritas kaum sufi/wali saja? Kalau kita baca uraian-uraian dari kaum sufi ada kesan seperti itu. Menurut Ibnu Arabi misalnya, yang bisa mendapatkan ilmu ladunni itu hanyalah orang-orang yang hatinya sudah sangat suci. Analoginya begini! Ilmu itu kan biasa diibaratkan dengan nur atau cahaya. Nah, dengan demikian limpahan cahaya itu sangat bergantung dengan kesiapan si penerima cahayanya. Dalam konteks ini, Ibnu Arabi menyinggung soal istidad, yaitu kesiapan atau kelayakan kualitas batin untuk dapat menerima luapan cahaya tadi. Untuk dapat menerima anugerah ilmu dari yang Maha Suci kan kualitas hati penerimanya juga mesti suci pula. Adapun orang-orang yang sudah jelas-jelas sangat suci hatinya itu tiada lain adalah para nabi, para wali dan para sufi. Hanya saja dalam konteks nabi dan rasul itu disebut nubuwwah dan risalah, dan apa yang diberikan Allah kepadanya disebut dengan wahyu. Sedangkan dalam konteks sufi atau wali disebut walayah atau kewalian, dan apa yang diberikan Allah kepadanya disebut dengan ilmu ladunni. Apakah definisi ilmu ladunni itu hanya dilihat dari cara perolehannya saja, ataukah dapat juga dilihat dari segi obyek pengetahuannya? Sejauh yang saya baca dari tulisan Ibnu Arabi dan al-Ghazali, keduanya cenderung melihatnya dari segi cara perolehannya. Maka sebenarnya, menurut mereka, ilmu ladunni itu bila ditinjau dari cara

perolehannya hampir sama dengan wahyu, hanya tentu saja tingkatannya di bawah wahyu. Jadi perbedaan antara ilmu ladunni dengan wahyu? Perbedaannya jelas, kalau wahyu itu kan hanya untuk mereka yang ditunjuk sebagai nabi dan atau rasul. Sementara ilmu ladunni adalah dunia walayah atau kewalian yang personnya tidak ditentukan. Jadi siapa saja yang kualitas hatinya sudah sangat suci sehingga mencapai derajat wali atau sufi, maka atas idzin Allah dia akan (berpeluang) memperoleh anugerah berupa ilmu ladunni. Dikatakan berpeluang, sebab tidak semua orang yang sudah mencapai derajat kesucian hati itu secara otomatis mendapatkan limpahan ilmu ladunni. Selain itu, apabila wahyu yang dianugerahkan kepada para rasul itu mutlak harus disampaikan kepada ummat, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui ilmu ladunni tidak mutlak harus disampaikan kepada ummat. Apakah karena alasan yang terakhir itu sehingga Ibnu Arabi menyebutnya juga dengan istilah ilmu asrar? Ya, diantaranya seperti itu. Dengan demikian, meski ilmu ladunni itupun bersifat mutlak kebenarannya karena memang berasal dari Yang Maha Benar, tetapi terhadap wali atau sufi yang memperolehnya tidak dibebankan kewajiban untuk menyampaikan pengetahuan tadi kepada orang lain. Tapi, bukankan Islam telah mewajibkan kepada ummatnya untuk berdakwah sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya masing-masing? Ya itu benar. Tetapi apa yang harus didakwahkan oleh para wali atau sufi itu bukan apa yang diperolehnya melalui ilmu ladunni tadi, melainkan risalah umum yang telah disampaikan kepada Nabi Muhammad. Dengan kata lain, apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad kepada ummat manusia itulah yang harus mereka dakwahkan. Nah dalam konteks Rasulullah, apa yang beliau sampaikan kepada ummat manusia itu adalah risalah. Selain risalah, beliau juga memiliki nubuwwah yang bersifat khusus dan personal sehingga tidak beliau sampaikan kepada sembarang orang. Beliau hanya menyampaikan aspek nubuwwah itu kepada orang-orang tertentu saja, seperti kepada Uwais. Karena itu, Uwais ini memiliki pengetahuan-pengetahuan khusus yang bahkan para sahabat utama Nabi sendiri tidak mengetahuinya. Analog dengan nubuwwah, itulah

ilmu ladunni yang dianugerahkan Allah secara langsung dan khusus kepada hamba-hambanya yang suci. Mengapa ilmu ladunni tidak boleh disampaikan secara begitu saja kepada ummat? Sebab itu tadi! ilmu ladunni itu berada dalam dataran dunia walayah atau kewalian yang sifat pengetahuannya itu begitu khusus dan sublim. Bila ini disampaikan juga, jangan-jangan malah bisa menyesatkan orang lain. Dengan demikian, bila ada orang yang mengklaim mendapat ilmu ladunni, dan lantas dia mengobral pengetahuannya itu kepada sembarang orang, saya kira itu patut diragukan kebenarannya. Sebab sebagaimana tadi sudah disinggung, anugerah ilmu ladunni itu kan hanya dimungkinkan bagi mereka yang hatinya sudah suci. Karena itu mereka yang memperoleh ilmu ladunni pasti orangnya itu sangat arif. Orang yang arif itu kan dapat mengantisipasi tingkat kemadlaratan bagi orang lain. Jika pun ada dari kalangan sufi yang terekspos, sehingga mengundang kontroversi, secara umum itu boleh jadi akibat ulah para murid atau pengikut-pengikutnya. Jadi, jika pengetahuan yang diperoleh secara ladunni itu kemudian diekspos ke orang lain bisa-bisa akan menimbulkan fitnah? Ya. Bila orang yang mendengar ilmu ladunni tadi belum siap menerimanya, dalam arti kemampuan atau tingkat kesucian hatinya biasa-biasa saja serta pengalaman spiritualnya masih terbatas, ya akibatnya bisa repot. Jika ilmu ladunni hanya bagi mereka yang suci, lalu bagaimana dengan pengetahuan yang dianugerahkan secara langsung oleh Allah kepada ummat Islam pada umumnya? Itu mungkin namanya bukan ilmu ladunni, melainkan ilham. Sebab berbeda dengan ilmu ladunni, ilham itu bisa diberikan kepada siapa saja. Apa perbedaan yang substansial antara ilmu ladunni dengan ilham? Ilmu ladunni itu, sebagaimana ditegaskan Ibnu Arabi, sifatnya mutlak benar. Sedangkan ilham itu bisa benar tapi bisa juga salah, sebagaimana ditegaskan dalam surat Asy-Syams ayat 7: Kami ilhamkan kepada manusia jalan kefasikan dan ketakwaannya. Jadi yang diilhamkan itu bisa dua, yaitu fujuraha sebagai representasi dari

ilham yang salah; dan wataqwaha yang mengacu pada ilham yang benar. Bahkan dalam ayat selanjutnya dinyatakan bahwa beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya, karena itu mereka berhak mendapatkan ilham yang benar. Sebaliknya, merugilah orang yang mengotori jiwanya, karena itu mereka berhak atas ilham yang salah. Lantas bagaimana untuk dapat mengetahui apakah suatu ilham itu benar ataukah salah? Ya tinggal introspeksi diri saja, sejauh mana kondisi atau kualitas hati kita pada saat itu. Sejauh mana pula hati kita itu terpaut pada Allah. Singkatnya, ilham itu bisa benar dan bisa juga salah sangat tergantung pada kualitas hati orang yang bersangkutan. Selain al-Quran, apakah ada hadist yang menyinggung soal ilmu laduni? Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Nuaim, Barangsiapa mengamalkan ilmunya, maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum dia ketahui. Nah, hadist ini bila dipahami maknanya secara mendalam, maka kandungannya mengarah pada ilmu ladunni yang tadi kita jelaskan. Tapi pengertian mengamalkan ilmu yang dimaksud dalam hadits ini tentunya bukan sekedar amaliah formal, melainkan amal yang mengandung kedalaman aspek batiniyahnya. Karenanya! ya itu tadi! Ilmu ladunni itu erat kaitannya dengan kualitas hati. Jadi, semakin suci kualitas hati seseorang, maka dia akan semakin berpeluang mendapat ilmu ladunni.

Hakikat Ilmu Laduni & Jalan Mendapatkannya

Ketahuilah bahawa "ILMU LADUNI" itu adalah penyerapan Nur Ilham yang terjadi selepas penyempurnaan (JIWA) sebagaimana firman Allah yang bermaksud: "Demi satu jiwa serta Yang Menyempurnakannya" (Surah Al-Syams:7). Perkembalian (kepada asal) ini adalah dengan tiga cara: 1. Mempelajari semua ilmu dan mengambil sebahagian yang lebih besar dari kebanyakannya. (Penjelasannya: ialah dengan mempelajari dasar-dasar semua ilmu, kemudian kebanyakan dari ilmu-ilmu ini hendaklah diketahui pula sebahagian yang lebih besar dari kandungan. Katakanlah lebih daripada 50%). 2. Latihan yang benar dan Murraqobah yang betul, kerana Nabi SAW. pernah menunjukkan kepada hakikat ini dengan sabdanya yang bermaksud: "Siapa yang beramal dengan apa yang telah diketahuinya, Allah akan mempusakakan Ilmu mengenai apa yang belum diketahuinya". Bersabda lagi Nabi SAW. yang bermaksud: "Siapa yang menyerahkan dirinya untuk Allah (beramal) selama 40 pagi, Allah Taala melahirkan mutiaramutiara hikmah dari Qalbu ke atas lidahnya". 3. Berfikir; bahawa jiwa itu bila beramal (menerusi ilmu-ilmu yang dipelajari) dan berlatih (beramal) dengan (keadah) ilmu kemudian berfikir mengenai maklumat menurut syarat-syarat berfikir, akan dibuka kepadanya pintu ghaib seperti seorang ahli perniagaan yang menyelenggarakan hartanya dengan syarat-syarat(yang ditentukan untuk) penyelenggaraan, akan dibuka kepadanya pintu-pintu keuntungan. Bila ia melalui jalan yang salah ia akan jatuh di dalam kerugian. Begitu juga seorang pemikir itu, bila ia menempuh jalan yang betul ia akan menjadi seorang yang bijaksana dan terbuka saluran dari Alam Ghaib dalam Qalbunya; lalu ia menjadi seorang Alim yang sempurna, beraqal, berilham lagi mendapat pertolongan (dari Allah) sebagaimana sabda Nabi

SAW. yang bermaksud: "Berfikir sesaat itu lebih baik daripada beribadat selama 60 tahun". Syarat-syarat berfikir ini kami paparkan dalam suatu risalah yang lain kerana keterangan mengenai berfikir, cara dan hakikatnya adalah suatu yang samar, memerlukan penerangan yang agak lanjut dan penjelasan dengan pertolongan Allah Taala. Sekarang kami akhiri risalah ini, kerana apa dalamnya rasanya memadai untuk orang yang Firman Allah yang bermaksud: "Dan sesiapa kurniakan kepadanya Nur, nescaya tidak ada Nur". (Surah An-Nur:40) yang tersebut di sesuai dengannya. yang Allah tidak baginya sebarang

Dan Allah yang menjadi Wali orang-orang Mukmin, Selawat dan Salam ke atas Sayyidina Muhammad dan Ahli Keluargnya dan Sahabatnya. Cukuplah Allah yang menjadi Wakil. Tiada daya dan upaya melainkan dengan Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Besar. Bermula segala puji-pujian itu bagi Allah Seru Sekelian Alam. Selesailah tanggungjawab Suluk menyebarkan Risalah ini kepada umum pada hari Jumaat 5 Mac 1999 bersamaan dengan 16 Zulkaedah 1419. Semoga Allah memberkatinya dan melimpahkan rahmat kasih sayangnya di dunia dan akhirat. Allahu A'lam.

Ma'rifat Marifat adalah segala yang memutuskan dirimu pada selain Allah dan mengembalikanmu kepada Allah. Dua perilaku yang memudahkan jalan menuju kepada Allah: Marifat dan Mahabbah. Kecintaanmu pada sesuatu membuatmu buta dan bisu. Kenalilah Allah lalu memintalah rizki pada-Nya sekehendakmu; tanpa disertai keterjerumusan pada dosa dan kesenangan pada hal-hal yang halal. Berilah nasihat pada hamba-hamba-Nya demi Allah. Janganlah engkau mengkhianati amanah-amanah-Nya. Sembahlah Allah dengan penuh keyakinan, engkau akan menjadi seorang imam dari para imam agama. Beralihlah dari pengetahuan orang bodoh menuju pengetahuan kalangan khusus, maka engkau termasuk ahli waris yang sebenarnya. Engkau mendapatkan keteladanan dalam diri para Rasul, dan menjadi pembenar dalam diri para Nabi. Siapapun yang mengaitkan atau menyandarkan, mencintai atau marah, mendekat, takut atau mengharap, diam atau merasa aman terhadap sesuatu atau dengan sesuatu selain Allah, ataupun

melanggar aturan-aturan Allah, dia adalah dzalim. Sedangkan orang yang dzalim itu tidak bisa menjadi imam. Allah swt. berfirman: Sesungguhnya Aku jadikan dirimu sebagai imam bagi manusia. Ibrahim berkata, Dan (saya mohon juga) dari kalangan anak keturunanku. Allah berfirman, Janji-Ku tidak mengenai orang-orang yang dzalim. (Q.s. Al-Baqarah: 124) Barangsiapa membenarkan Allah dalam dirinya maka ia adalah imam, baik sedikit maupun banyak pendukungnya. Dan barangsiapa menjadi imam, ia tidak merasa terancam manakala ummat itu satu, walaupun sedikit pengikutnya. Bagaimana bisa dikenal dengan berbagai marifat, Dzat yang dengan-Nya berbagai kemarifatan dikenal? Atau bagaimana serupa dengan sesuatu, Dzat yang mendahului wujudnya segala sesuatu? Hakikat marifat itu adalah merasa cukup dengan Allah dibanding dari segala urusan manusia. Jika ditanya, Lalu bagaimana? Sedangkan membuat Nabi-Nya butuh untuk memerangi musuhnya? Kita jawab, Dalam konteks tersebut, lihatlah pada ketidakbutuhanmu pada langit dan bumi, namun engkau tetap membutuhkan pada keduanya. Setiap orang membutuhkan Allah ia akan memutuskan dari keduanya (langit-bumi). Dzat yang mengangkat langit membuat langit tidak runtuh terhadap dirimu, dan mencegah bumi untuk tidak menelanmu. Dialah yang menolak bahaya pemutusan dari dirimu dan menyampaikan manfaat dari pemutusan itu terhadap dirimu. Allah membuatmu butuh kepada-Nya dalam segala hal, sehingga engkau tidak butuh pada segala hal itu. Itulah arti dari firman Allah swt. Dan sembahlah Tuhanmu hingga sampai kepadamu suatu keyakinan. Yakin adalah kenyataan, yang membuatmu tidak lagi membutuhkan bukti lagi, dan menghapus kelupaan dan kealpaan dari dirimu. Firman-Nya: Di tempat itu (padang Mahsyar) tiap-tiap diri merasakan pembalasan dari apa yang telah dikerjakannya dahulu dan mereka dikembalikan kepada Allah Pelindung mereka yang sebenarnya dan lenyaplah dari mereka apa yang mereka ada-adakan. (Q.s. Yunus: 30) Lalu aku berkata, Bagaimana aku menyembahmu dalam segala sesuatu? Dia menjawab, Agar engkau memberikan kepatuhan sesuai dengan haknya tanpa rasa berat, dan memberikan pujian pada haknya tanpa penyimpangan, menjadikan petunjuk sesuai

dengan haknya tanpa adanya pengotoran. Dan itulah arti dari firman Allah swt.: Kemudian mereka tidak menemukan rasa berat dalam diri mereka atas keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Q.s. an-Nisaa: 65) Kepatuhan adalah hak fisik badan, sedangkan pujian adalah haknya ucapan, sementara meraih petunjuk pada-Nya adalah hak surga. Dan kepada-Nyalah dikembalikan semua urusan. Maka sembahlah Dia dan bertawakalah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (Q.s. Huud: 123) Hakikat marifat adalah rasa cukupnya si arif dengan sifat yang dimarifati, dari segala sesuatu selain Diri-Nya. Itulah posisi kecukupan di hadapan Allah dari segala hal selain Tuannya. Suatu saat aku sedang sakit di Qairuwan. Tiba-tiba aku melihat Nabi saw. dan bersabda kepadaku, Sucikanlah bajumu dari kotoran, engkau akan menjaga melalui anugerah Allah pada setiap nafas. Aku bertanya, Bajuku yang mana wahai Rasulullah? Beliau menjawab, Sesungguhnya Allah memakaikan baju kepadamu berupa hiasan marifat, kemudian hiasan cinta, lantas hiasan iman, kemudian hiasan tauhid, lalu hiasan Islam. Barangsiapa marifat kepada Allah segala sesuatu akan kecil di hadapannya. Siapa yang mencintai Allah segala sesuatu akan hina bagi dirinya. Dan siapa yang mentauhidkan Allah segala sesuatu tidak menjadikan syirik baginya. Sedang siapa yang beriman kepada Allah, ia akan aman dari segala sesuatu. Siapa yang Islam bagi Allah ia tidak akan durhaka kepada-Nya, kalau toh pun ia durhaka ia cepat meminta maaf kepada-Nya. Seandainya ia minta maaf kepadanya maka permohonannya diterima. Maka aku pun faham karenanya atas firman Allah swt: Dan bajumu, maka sucikanlah. Suatu ketika aku berada dalam gua, lalu aku bermunajat, Duhai Tuhanku kapankah aku menjadi hamba yang bersyukur? Tiba-tiba muncul suara yang menggema dari dalam gua, Apabila engkau tidak melihat dalam wujud ini orang yang mendapatkan nikmat selain dirimu, maka engkau bisa bersyukur. Aku berkata, Sedangkan Nabi, orang alim, dan raja, lebih bersar nikmatnya daripadaku. Lalu ia menjawab, Nabi dan orang alim merupakan nikmat dari Allah

buat dirimu. Dia yang menyampaikan syariat-syariat kepadamu. Sedangkan raja telah membegakkan kebaikan dunia dan menegakkan ibadahmu. Semuanya merupakan nikmat dari Allah kepadamu.

Mata Hati Apabila engkau ingin melihat Allah dengan matahati keimanan dan keyakinan sepanjang waktu, maka engkau harus senantiasa syukur terhadap nikmat-nikmat Allah dan ridha terhadap ketentuanketentuan-Nya. "Dan nikmat apa saja yang datang kepadamu, maka dari Allahlah(datangnya), dan bila kamu ditimpa kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu memohon pertolongan." (QS. An-Nahl: 53) Apabila engkau inginkan suatu pergantian yang jauh dan dirimu atau darimu, maka sembahlah Allah atas dasar kecintaan, bukan atas

dasar perniagaan (ingin balasan pahala atau takut neraka), juga atas dasar ma 'rifat melalui pengagungan dan mawas diri. Bashirah (matahati) itu seperti mata indera, manakala ada sesuatu yang jatuh pada mata itu, akan terganggu pandangannya walaupun tidak sampai membutakan. Suatu bisikan buruk bisa mengaburkan pandangan hati dan mengotori pikiran. Sementara keinginan pada keburukan itu akan menghapus kebajikan Manakala seseorang melakukan tindakan seperti itu, pemiliknya akan kehilangan andil dalam Islam yang dimilikinya karena hasrat mendatangkan kontranya Apabila keburukan itu terus menerus menetap andil Islamnya akan runtuh satu persatu. Apabila kenyataan demikian menimpa para imam agama dan para pemimpin dhalim, mereka akan sangat mencintai dunia dan kedudukan duniawi, disbanding akhirat. pada saat demikian itu, hilanglah seluruh ke-lslamannya. Karena itulah engkau jangan tertipu oleh indikasi yang bersifat lahiriah. Sebab indikator seperti itu tidak memiliki ruh. Sedangkan Ruhul Islam adalah mencintai Allah dan Rasulnya, serta mencintai akhirat, dan mencintai hamba-hamba-Nya yang saleh. Pusat segala sesuatu dalam sifat-sifat adalah terpusatnya ketika wujudnya belum ada. Lalu lihatlah, apakah engkau melihat mata, di mana? Atau engkau melihat jagad ini ada, bahkan apakah engkau melihat suatu perkara itu cacat? begitu pula setelah semua itu ada. Kebutaan matahati itu dalam tiga hal: Pertama, mengarahkan fisik ini pada perbuatan maksiat kepada Allah. Kedua, bermain-main dalam ketaatan kepada Allah, dan Ketiga, tamak terhadap makhiuk Allah. Siapa saja yang mengaku memiliki matahati, sementara ada satu unsur dari ketiga unsur tersebut dalam dirinya, maka hatinya dihadapkan pada asumsiasurnsi hawa nafsu dan waswas syetan. (Sulthanul Auliya 'Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzili) Janganlah membuatmu ragu pada janji Allah, ketika doa yang dijanjikan ijabahnya oleh Allah itu tidak kunjung tiba, walaupun, sangat jelas bahwa engkau yakin tibanya janji itu pada saat yang ditentukan. Hal demikian, agar engkau tidak melukai matahatimu dan meredupkan cahaya rahasia batinmu. (Ibnu Athaillah asSakandari).

Anda mungkin juga menyukai