Anda di halaman 1dari 4

Kerajaan Aceh Darussalam

Sejarah Islam, Kesultanan aceh berdiri pada tahun 1514, terletak di ujung utara pulau Sumatra.
Pendirinya adalah sultan Ali Mughayat Syah yang bertakhta dari tahun 1514 1530. Pada tahun 1520,
beliau memulai kampanye militernya untuk menguasai bagian utara Sumatra. Dalam sejarah ini
Kampanye pertamanya dilakukan di Daya, di sebelah barat laut, yang menurut Time Pires belum
mengenal islam. Selanjutnya, Ali mughayat Syah melebarkan sayap sampai ke pantai timur yang terkenal
kaya akan rempah-rempah dan emas.
Untuk memperkuat perekonomian rakyat dan kekuatan militer laut, didirikannya banyak pelabuhan.
Penyebrangan ke Deli dan Aru adalah perluasan daerah terakhir yang dilakukan oleh sultan Ali
Mughayat. Sultan juga mampu mengusir garnisun POrtugis dari daerah Deli, yang meliputi Pedir dan
Pasai. Namun saat penyebrangan terhadap Aru (1824), tentara Ali Mughayat dapat dikalahkan oleh
Armada Portugis.
Selain mengancam portugis sebagai pemilik kekuatan militer laut di kawasan itu, aksi militer Sultan Ali
Mughayat Syah ternyata juga mengancam Kesultanan Johor. Pada tahun 1521 kesultanan Aceh
diperluas sampai Pidie, dan pada tahun 1524 ke pasai dan Aru, kemudian menyusul Perlak, Tamiang,
dan Lamuri. Kesultanan Aceh Darusalam merupakan kelanjutan dari kesultanan Samudra pasai yang
hancur pada abad ke 14.
Ada beberapa versi sejarah lain mengenai terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Hikayat
Aceh, Aceh Darusalam adalah persatuan dua kerajaan yang masing-masing diperintah oleh Sultan
Muzaffar Syah (Pidie) dan raja Inayat Syah (Aceh Besar), dua orang bersaudara. Suatu saat pecah
peperangan antara keduanya, dan dimenangi oleh Muzaffar Syah. Dia menyatukan Pidie dan Aceh
Besar, lantas memberinya nama Aceh Darussalam.
Kesultanan Aceh Darussalam membawahkan enam kerajaan kecil; kerajaan Perlak, Kerajaan Samudra
Pasai, Kerajaan Tamiang, Kerajaan Pidie, Kerajaan Indrapura, dan Kerajaan indrajaya. Kitab Bustanus
Salatin, kitab kronik raja-raja aceh, menyebut Sultan Ali Mughayat Syah sebagai sultan aceh yang
pertama. Ia mendirikan Kesultanan Aceh dengan menyatukan beberapa kerajaan kecil tersebut. Pusat
kesultanan adalah . Banda Aceh, yang juga disebut Kuta Raja.
Banda Aceh sebagai Bandar niaga tidak terlalu kecil untuk pelabuhan kapal-kapal besar pada abad ke
16. pelabuhan banda aceh mudah dirapati oleh berbagai jenis kapal dagang. Maka, aceh pun semakin
ramai. Apalagi sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis, para saudagar muslim lebih memilih berlabuh di
Banda Aceh. Tak hanya pedagang Muslim, pedagang asing non portugis pun juga turut meramaikan
pelabuhan Banda Aceh, sehingga kesultanan Aceh mendapatkan banyak keuntungan.
Dalam sejarah selama masa pemerintahannya, kesultanan Aceh telah diperintah oleh banyak sultan.
Mereka adalah
Sultan Ali Mughayat Syah (1514 1530)
Sultan Salahuddin (1530 1538)
Sultan Alauddin Riayat syah Al-Qahhar (1538 1571)
Sultan Husain (1571 1579)
Sultan Muda (masih kanak-kanak) (1579, hanya beberapa bulan)
Sultan Sri Alam (1579)
Sultan Zainul Abidin (1579)
Sultan Buyung (1586 1588)
Sultan Alauddin Riayat Syah Sayid al-Mukammal (1589 1604)
Sultan Ali Rayat Syah (1604 1607)
Sultan Iskandar Muda (1607 1636)
Sultan Iskandar Tsani (1636 1641)
Sultanat Saatuddin Tajul Alam (1641 1675)
Sultanat Naqiyatuddin Nurul Alam (1675 1678)
Sultanat Inayat Syah (1678 1688)
Sultanat Kamalat Syah (1688 1699)
Sultan Badrul Alam Syarif hasyim jamaluddin (1699 1702)
Sultan Perkasa Alam syarif Lamtury (1702 1726)
Sultan Jauharul Alam badrul Munir (1703 1726)
Sultan Jauharul Alam Aminuddin (hanya beberapa hari)
Sultan Syamsul Alam (hanya beberapa hari)
Sultan Johan (1735 1760)
Sultan Mahmud Syah (1760 1781)
Sultan Badruddin (1764 1765)
Sultan Sulaiman Syah (1773)
Sultan Alauddin Muhammad (1781 1795)
Sultan Alauddin Jauharul Alam (1795 1815)
Sultan Saiful Alam (1815 1818)
Sultan Jauharul Alam (1818 1824)
Sultan Muhammad Syah (1838 1870)
Sultan Mansyur Syah (1838 1870)
Sultan Mahmud Syah (1870 1874)
Sultan Muhammad Daud Syah (1878 1903)
Pada tahun 1521, kesultanan Aceh di serah oleh armada Portugis yang dipimpin oleh Jorge D. Britto.
Akan tetapi, serangan itu dapat dipatahkan oleh sultan Ali Mughayat Syah.
Pada tahun 1530, Ali Mughayat Syah meninggal dunia, lalu tahta Aceh Darussalam dipegang oleh putra
sulungnya, Sultan Salauddin. Pada masa Salahuddin, tepatnya pada tahun 1537, Aceh Darussalam Aceh
melancarkan serangan ke malaka yang dikuasai protugis.
Sayang sekali, sultan Salahduddin dipandang bersikap terlalu lunak dengan memberi peluang kepada
misionaris portugis untuk bekerja di tengah-tengah batak di daerah pantai timur sumatra. Ia juga
dipandang kurang memperhatikan urusan Pemerintahan. Maka kemudian Salahuddin diganti oleh
saudara, Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar, pada tahun 1538.
Pada masa pemerintahan sultan Alauddin al-Qahhar, kesultanan Aceh menyerang malaka sebanyak dua
kali, yaitu pada tahuhn 1547 dan 1568. menurut Musar portugis, Mendez Pinto, pasukan aceh kala itu
memiliki tentara dari berbagai negara, diantaranya dari Turki, Cambay dan malabar. Hal itu menunjukkan
bahwa hubungan diplomatik yang baik telah dijalankan oleh sultan Alauddin al-Qahhar. Bukti lain tentang
hubungan diplomatik yang baik telah dijalankan oleh sultan Alauddin al-Qahhar. Bukti lain tentang
hubungan diplomatik tersebut adalah kabar bahwa Sultan juga mengirism utusan diplomatik ke luar
negeri. Misalnya pada tahun 1562 utusan dikirim ke istambul untuk membeli meriam dari sultan Turki.
Sultan Alauddin al-Qahhar pun mendatangkan ulama-ulama dari India dan Persia untuk menyebarkan
risalah Islam, membawa para ulama ke pedalaman Sumatra, mendirikan pusat Islam di ulakan, serta
membawa islam ke minangkabau dan indrapura, sultan al-Qahhar meninggal dunia pada tanggal 28
September 1571.
Menyusul meninggalkanya sultan Alauddin, terjadilah ketegangan dalam proses pergantian kekuasaan,
hingga kemudian seorang ulama tua bernama Sayyid al-Mukammil disepekati menjadi raja. Kemudian
pada masanya, Ali Rayat Syah muncul menggantikan al-Mukammil.
Pada tahun 1607, aceh diserbu Portugis. Sultan Ali Riayat syah gugur dalam serbuan itu. Untunglah
kemudian seorang pemuda yang cemerlang muncul mengatasi keadaan. Dialah Iskandar muda,
keponakan Sultan. Iskandar muda bangkit memimpin perlawanan, hingga mampu menendang Portugis
keluar dari Aceh Darussalam. Kitab Bustanun Salatin menyebutkan bahwa kemudian Iskandar Muda
dinobatkan sebagai sultan pada 6 Dzulhijjah 1015, atau awal April 1607.
Iskandar muda merupakan sosok yang tegas dan keras. Para bangsawan kerajaan dikontrolnya dengan
ketak. Mereka diharuskan ikut melaksanakan tugas jaga malam di istana setiap tiga hari sekali, tanpa
membawa senjata. Setelah semua terkontrol, iskandar muda memegang kendali produksi beras. Di
masanya, kesultanan Aceh Darussalam mengekspor beras ke luar wilayah. Sultan memperketat pajak
kelautan bagi kapal-kapal asing, mengatur pajak perniagaan, bahkan juga mengenakan pajak untuk harta
kapal haram.
Dalam bidang militer, iskandar muda membangun angkatan perang yang sangat kuat. Seorang asing
bernama Beaulieu mencatat jumlah pasukan darat Aceh sekitar 40 ribu orang. Untuk armada laut
diperkirakan memiliki 100 200 kapal, diantaranya kapal selebar 30 meter dengan awak 600 800 orang
yang dilengkapi dengan tiga meriam. Ia juga mempekerjakan seorang asing kulit putih sebagai
penasehat militer, yang mengenalkan teknik perang bangsa eropa. Diperkirakan, penasehat tersebut
berasal dari Prancis.
Dengan kekuatan militer yang begitu ampuh, aceh menjebol benteng Deli. Beberapa kerajaan lain juga
ditaklukkan, seperti Johor (1613), Pahang (1618), Kedah (1619), Serta Tuah (1620).
Kesultanan Aceh mengalami zaman keeemasan pada periode kepemimpinan Sultan Iskandar Muda
(1607 1636). Sebagaimana telah disebutkan, Iskandar Muda berhasil memukul mundur kekuatan
Portugis dari tanah Aceh. Permusuhan Aceh dengan portugis tidak berhenti di situ saja. Sebab pada
masa kepemimpinannya Iskandar muda pula, Aceh Darussalam menyerbu portugis di selat malaka.
Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan besar-besaran terhadap Portugis di Malaka.
Dengan armada yang terdiri atas ratusan kapal perang dan puluhan ribu tentara laut, Aceh menghantam
Portugis. Serangan dilakukan dalam upaya memperluas pengaruh politik dan perdagangan Aceh atas
selat Malaka dan Semenanjung Melayu. Sayang sekali, meski aceh telah berhasil mengepung malaka
dari segala penjuru, penyerangan ini berhasil ditangkis Portugis.
Selain dalam bidang militer, aceh pada zaman Iskandar Muda juga berjaya di lapangan ilmu
pengetahuan. Dalam sastra dan ilmu agama, aceh melahirkan beberapa ulama ternama. Dua yang
menonjol adalah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Keduanya merupakan ilmuwan-
ilmuwan yang mendalami ilmu-ilmu tasawuf atau mistik islam.
Iskandar Muda meninggal dunia pada 29 rajab 1046 H atau 27 Desember 1636. dua tahun sebelumnya,
iskandar muda telah menunjuk Iskandar Tsani sebagai penggantinya. Sang pengganti tersebut adalah
menantu iskandar muda. Sebelum mengangkat menantunya itu, Iskandar Muda terlebih dahulu
memerintahkan agar anaknya sendiri (yang berkah menjadi sultan) untuk dibunuh.
Sultan Iskandar Tsani (1634 1641) berperangai lebih lembut dari pada pendahulunya, dan tidak
memrinah dengan tangan besi. Iskandar muda lebih menitik beratkan pembangunan negerinya pada
masalah keagamaan ketimbang kekuasaan. Begitu pula istrinya, Sultanah Taju al-Alam Syaatuddin
Syah (1641 1675), yang menjadi pengganti Iskandar Tsani setelah suaminya itu wafat.
Pada awal pemerintahan Sultanah Taju al-Alam Syaatuddin Syah, kegemilangan Aceh di bidang politik,
Ekonomi dan militer mulai menurun. Sebab, sebagian orang tidak cukup senang dengan kepemimpinan
perempuan. Sehingga, kekuasaan para uleebalang (hulubalang) juga meningkat karenanya.
Setelah Sultanah Taju al-Alam Syaatuddin Syah, tiga perempuan memegang kendali kerajaan Aceh.
Mereka Sultanah Nurul Alam Zakiatuddin Syah (1675 1677), Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1677
1688), dan Ratu Kamalat (1688 1699).
Saat kesultanan Aceh dipimpin oleh sultan Iskandar Tsani, di Aceh tinggal ulama Asal Gujarat, yakni
Syekh Nuruddin ar-Raniri. Ulama ini menulis kitab Siratal Mustaqim, mengenal ibadah dalam islam. Atas
permintaan sultan, ia menulis pula kitab Bustanus Salatin, yang menjadi karya terpopulernya.
Atas perlindungan Sultan Iskandar Tsani, Nuruddin ar- Raniri menyatakan terlarangnya ajaran-ajaran
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Menurut fatwa Nuruddin, pemahaman keagamaan
hamzah dan Syamsuddin tidak sesuai dengan ajaran islam yang asli. Lebih jauh lagi, Nuruddin ar-Raniri
memimpin pembakaran buku-buku karya kedua ulama pendahulunya itu.
Saat tahta sultan Iskandar Tsani beralih ke Sultanah Taju al-Alam Syaatuddin Syah, Nuruddin ar-Raniri
meninggalkan Aceh. Posisinya sebagai ulama besar kerajaan digantikan oleh Abdurrauf as-Singkeli.
Ulama ini juga dikenal dengan nama Teungku Syiah Kuala. Atas permintaan Sultanah, pada tahun 1663
Abdurrauf as-Singkeli menulis kitab Mirat at-Tullab tahsil Marifat Ahmad asy Syariiyyah li al Malik
Wahhab atau cermin bagi mereka yang menuntut ilmu Fikih pada memudahkan mengenal segala hkum
Syara Allah.
Mengiringi penulisan kitab-kitab karya Abdurrauf, Sultanah Taju al-Alam juga menggalakkan pendidkan
Agama Islam melalui Jamiah Baiturrahman di banda Aceh, dan mengirim Al-Quran serta kitab-kitab
karangan ulama aceh kepada raja-raja ternate, Tidore, dan Bacan di Maluku, selain mengirimkan pula
guru-guru agama Islam.
Sultanah berikutnya adalah Sri Ratu Niqiyatuddin Nurul Alam, kemudian inayat syah, dan terakhir
Kamalat Syah. Pada tahun 1699, pemerintahan sultanah atau sultan perempuan dihentikan. Sebab yang
melatarbelakanginya cukup serius, yakni fatwa dari Mekah yang menetapkan bahwa syariat islam
melarang wanita untuk memerintah negara.
Kesultanan aceh pada permulaan abad ke 18 mengalami serangkaian perebutan tahta. Beberapa sultan
yang saling bersaing berasal dari golongan Sayid, yaknik keturunan Fatimah binti Nabi Muhammad SAW,
yang lahir di Aceh. Salah satu Sayid yang menjadi sultan adalah Jamalul Alam badrul Munir, yang
memerintah pada tahun 1703 1726. sultan ini dijatuhkan pada tahun 1726, lalu setelahnya melancarkan
perlawanan terhadap sultan-sultan sesudahnya, termasuk Sultan Ahmad Syah (1727 1735) dan
putranya, Sultan Johan (1735 1760). Jamalul Alam akhirnya meninggal dalam pertempuran melawan
Sultan Johan.
Di tahun 1816, Sultan Saiful Alam bertikai dengan Jauharul Alam Aminuddin. Jauharul Alam memenangi
suksesi dan menjadi sultan Aceh dengan bantuan Inggris. Setelah itu, aceh mengikat perjanjian dengan
Inggris yang diwakili oleh Thomas Stamford Rafes. Lewat perjanjian itu, inggris mendapat kesempatan
berniaga di Kesultanan Aceh, dengan imbalan jaminan keamanan bagi Aceh dari Inggris. Perjanjian ini
dibuat pada tanggal 22 April 1818.
Pada tanggal 17 Maret 1824, Inggris dan belanda membnuat perjanjian di london yang antara lain berisi
penghormatan kedaulatan aceh oleh pihak Belanda. Pada tanggal 2 November 1871 ditandatangani
Traktat Sumatra, perjanjian baru antara belanda dan Inggris dengan membatalkan perjanjian London.
Perjanjian ini memberi kebebasan bagi Inggris untuk mengembangkan kekuasaan di Malaya, dan bagi
Belanda untuk memperluas kekuasannya di Sumatra.
Pemerintahan kesultanan Aceh terus berjalan. Namun, pamornya lambat laun menyurut. Pertikaian
internal terjadi tak kunjung henti. Sementara, pusat kegiatan ekonomi dan politik bergeser ke selatan ke
wilayah Riau Johor Malaka. Aceh baru muncul lagi dua abad kemudian, yaknik pada akhir abad 19.
saat itu, belanda berusaha menguasai wilayah tersebut. Perlawanan para bangsawan Aceh pun terjadi.
Sekali lagi, sejarah aceh diwarnai oleh kepemimpinan kaum perempuan, yakni melalui perlawanan Tjut
Nya Dhien. Dengan alasan mengalahkan Tjut Nya Dhien, belanda melanggar kedaulatan Aceh dengan
menyerbu ibukota Kesultanan Aceh pada tahun 1873, menduduki Banda Aceh, serta kota-kota pantai
lainnya. Pada januari 1874, istana kesultanan aceh dapat direbut Belanda. Sehingga, belanda
menyatakan Aceh menjadi kepunyaan pemerintah Hindia beladan dan Kesultanan Aceh Darussalam
dihapuskan.
Dalam kondisi demikian, perjuangan rakyat aceh belum berhenti. Sultan Mahmud syah yang berhasil
meloloskan diri dari penyergapan Belanda masih terus bergerilya. Setelah akhirnya Mahmud Syah
meninggal karena sakit, perjuangan melawan penjajah dilanjutkan oleh rakyat aceh beserta para
panglima tanah Rencong, sampai tahun 1903.
Sumber>>//ridwanaz.com

Anda mungkin juga menyukai