Anda di halaman 1dari 40

Sebelum kami jelaskan tentang pengertian Syariat,

Tarekat, Hakekat dan Makrifat, marilah kita jelaskan


kapan datangnya istilah-istilah tersebut. Istilah tersebut
sebenarnya jaman Rasulullah tidak ada, istilah tsb
muncul ke generasi yang ke tiga dari Rasulullah saw,
yaitu setelah Rasulullah saw, Shahabat Nabi, Tabi'in,
Itabi'in, setelah kegenerasi ketiga itulah munculnya
para Tasawuf pada Abad ke 11 (5 H) Tasawuf dipakai
setiap calon

Sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah atau berada


dalam kehadiratnya tanpa dibatasi hijab.Bagaimana
menurut syareat Islam? Ahlus sunah Waljama'ah? Suatu
cara mendekat diri kepada Allah dengan istilah diatas
dipersilahkan yang terpenting sesuai dengan sumber
hukum dalam Islam (Al-Qur'an, Hadist) dan Syariat
yang sudah ditetapkan oleh Allah.

Jadi para tasawuf, itu menyatukan lahir dan batin


dalam mengamalkan syariat itu bersungguh secara
istiqomah dalam mendekatkan diri kepada kepada Allah
swt.
Pengertian Syariat
Syariat (Islam) adalah hukum dan aturan (Islam) yang
mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain
berisi hukum dan aturan, syariat (Islam) juga berisi
penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh
sebagian penganut Islam, syariat (Islam) merupakan
panduan menyeluruh dan sempurna seluruh
permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.
Syariat yaitu segala aturan yang sudah ditentukan oleh
Allah swt, atau aturan yang sudah dilegalisasi oleh
Rasulullah saw yang berkenaan dalam soal Aqidah,
masalah hukum baik haram halal, syarat atau rukun
dsb yang mengatur hubungan manusia dengan
penciptaNya atau Sesama Manusia.

Dalam Syariat aturan udah baku tidak dapat dirubah,


tidak seperti ilmu fikih dapat dirubah. Dalam ilmu
Tasawuf syariat adalah yang mengatur amal ibadat dan
muamalat secara lahir.

Dalam tingakat ini, membahas soal amalan hati atau


batiniah atau rohani yah disebut Tasawuf dan ilmu bagi
amalan lahir, dalam tingkat ini Syariat itu di ibaratkan
suatu benih biji yang akan kita tanam.
Pengertian Tarekat
Tarekat berasal dari kata thariqah yang artinya jalan.
Jalan yang dimaksud di sini adalah jalan untuk menjadi
orang bertaqwa, menjadi orang yang diredhoi Allah
s.w.t. Secara praktisnya tarekat adalah kumpulan
amalan-amalan lahir dan batin yang bertujuan untuk
membawa seseorang untuk menjadi orang bertaqwa.

Ada 2 macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat


sunat.
~ Tarekat wajib, yaitu amalan-amalan wajib, baik
fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan
oleh setiap muslim. tarekat wajib yang utama adalah
mengamalkan rukun Islam. Amalan-amalan wajib ini
insya Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang
bertaqwa yang dipelihara oleh Allah. Paket tarekat
wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t melalui Al-
Quran dan Al-Hadis. Contoh amalan wajib yang utama
adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain
antara lain adalah menutup aurat, makan makanan
halal dan lain sebagainya.

~ Tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat


dan mubah yang diarahkan sesuai dengan 5 syarat
ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang
bertaqwa. Tentu saja orang yang hendak mengamalkan
tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat
wajib. Jadi tarekat sunnah ini adalah tambahan amalan-
amalan di atas tarekat wajib. Paket tarekat sunat ini
disusun oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan
oleh murid-murid dan pengikutnya. Isi dari paket
tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung keadaan
zaman tarekat tersebut dan juga keadaan sang murid
atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat
sunat ada ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat,
membaca Al Quran, puasa sunat, wirid, zikir dan lain
sebagainya.

Secara harfiah berarti jalan, metoda, cara, dalam


lapangan tasawuf istilah ini dipakai calon sufi adalah
jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada
Allah yang sedekat-dekatnya atau mendapat maqam
yang mahmudah, jadi dalam tingkatan ini ada maqam
yang harus dikerjakan secara istiqamah yaitu maqam
taubat, zuhud, sabar, ridlo dsb.

Dalam tingkat ini adalah menghidupkan Syareat


sebagai amalan lahir atau amalan batin secara
sungguh-sungguh dan istiqamah dalam rangka
mengnguatkan keimanan dalam hati. Pada tingkat
tarekat ini di ibaratkan menanam benih biji (Syariat)
tumbuh menjadi kecambah atau sebatang pokok yang
bercabang dan berdaun.

Pengertian Hakikat
Hakikat artinya i`tikad atau kepercayaan sejati
(mengenai Tuhan), maka hakikat ini pekerjaan hati.
Sehingga tidak ada yang dilihat didengar selain Allah,
atau gerak dan diam itu diyakini dalam hati pada
hakikatnya adalah kekuasaan Allah. (Abdurrahman
Siddik Al Banjari ,1857 kitab Amal Ma`rifat).

~ Hakikat; adalah kebenaran, kenyataan


(Poerwadarminta,1984) hakekat menyaring dan
memusatkan aspek-aspek yang lebih rumit menjadi
keterangan yang gamblang dan ringkas, hakikat
mengandung pengertian-pengertian kedalam aspek
yang penting dan instrinsik dari benda yang dianalisa
(Konsep Dasain Interior II, Olih Solihat Karso).
~ Hakikat berasal dari kata arab haqqo, yahiqqu,
haqiqotan yang berarti kebenaran sedangkan dalam
kamus ilmiah disebutkan bahwa hakikat adalah: Yang
sebenarnya; sesungguhnya; keadaan yang sebenarnya
(Partanto, pius A, M. Dahlan al barry, Kamus Ilmiah
Populer, 1994, Arkola, Surabaya).
~ Istilah bahasa hakikat berasal dari kata Al-Haqq,
yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat,
berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu
kebenaran.
Hakikat yang berarti kebenaran atau benar-benar ada,
orang-orang sufi menjadikan Allah sebagai sumber
kebenaran, dan meyakini seyakin-yakinya, tiada yang
lebih indah kecuali mencitai Allah swt dan mentaatinya.
Hakekat ini akan di akan dicapai seseorang setelah
mencapai makrifat yang sebenar-benarnya dalam
tingatan ini benar-benar tiada tabir atau hijab dengan
Allah artinya sinyal kita benar nyambung kepada Allah,
sehingga ada diantara kita yang memiliki indra ke 6.

Dapat di ibaratkan buah , jadi yaitu biji benih (syariat)


pada tingkatan tharikat menjadi batang yang
becabang, berdaun jika pada tingkatan ini kita amalkan
buah dari tharekat, akhlak, bisa menahan nafsu, sabar,
tawaduk kita akan memperoleh buah (maqam
mahmudah) jadi dengan Allah tiada hijab atau tabir
atau penghalang lagi.

Makrifat
Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti
mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan
pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal
Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.

Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama


Tasawuf; antara lain :
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama
Tasawuf yang mengatakan : "Marifat adalah ketetapan hati (dalam
mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang
menggambarkan segala kesempurnaannya."

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan


pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan: "Ma'rifat
adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam keadaan
hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."

c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin


Muhammad bin Abdillah yang mengatakan: "Ma'rifat membuat
ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat
ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat
ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)." marifat arti
secara umum adalah yang dilakukan orang alim yang sesuai dengan
maksud dan tujuan ilmu sendiri.
Marifat menurut ahli fiqhi adalah ilmu. setiap ilmu itu marifat,
marifat itu ilmu, setiap orang alim arif dan setiap arif itu alim.
Marifat menurut ahli shufi ialah rasa kesadaran kepada Alloh akan
sifat dan AsmaNYA.

Marifat menurut bahasa adalah menggetahui Allah SWT. Marifat


menurut istilah adalah sadar kepada Allah SWT, yakni : hati
menyadari bahwa segala menemukan, bergerak, berdiam, berangan-
angan, berfikir dan sebagainya semua adalah Alloh SWT, yang
menciptakan dan yang mengerakan. Jadi semuanya dan segala sesuatu
adalah Billah. Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki dan
meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak didapat lewat pengalaman
inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat
kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan
sebagai pengalaman sufistik.

Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh


indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio). Teori pengetahuan
kasyfiy atau irfaniy yang tidak menekankan peran indera dan rasio
dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk
bergelimang dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari
dunia nyata yang obyektif ke dunia gaib yang tidak dapat ditangkap
oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan kebahagiaan diri
sendiri daripada kebahagiaan dan keselamatan umat manusia.
Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap hidup isolatif daripada
sikap hidup partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada
banyaknya persoalan kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya
menjadi tugas manusia.

Makrifat, menurut al-Gazali, ialah pengetahuan yang meyakinkan,


yang hakiki, yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna
(haqq al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga
tidak lewat penalaran rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu
yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai
pengalaman kasyfiy atau irfaniy.

Teori pengetahuan ala sufi ini dipandang telah ikut melemahkan


semangat seseorang untuk aktif dalam kehidupan nyata secara
seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan
ruhani.
Makrifat merupakan ilmu yang tidak menerima keraguan (
) yaitu pengetahuan yang mantap dan mapan, yang tak
tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan
yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang
meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan
sebagai berikut:



Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang
menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak
ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah
satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu.

Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah :

.
Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-
hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada.

Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam


ajaran tasawuf al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang
Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala hukum-
hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk. Lebih jauh, dapat
pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat
(al-arif) mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya
yang hanya tampak pada orang-orang tertentu - para arifin. Karena
itu, adanya peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti karamah, kasyf
dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah
keluar dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu
menjangkau sunnah-Nya yang tak dapat dilihat atau dijangkau oleh
orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan, bahwa obyek makrifat
dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap hakikat
dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya,
al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara
seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang
tujuan utama dari setiap ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali
mendefinisikan makrifat dengan. (( ) memandang
kepada wajah Allah taala).

Perlu disadari, betapapun tingginya pengenalan (al-makrifat)


seseorang terhadap Allah, ia tidak akan mungkin dapat mengenal-Nya
dengan sempurna, sebab manusia itu bersifat terbatas (finite),
sedangkan Allah bersifat tak terbatas (infinite). Makrifat dalam arti
yang sesungguhnya, menurut al-Gazali, tidak dapat dicapai lewat
indera atau akal, melainkan lewat nur yang diilhamkan Allah ke
dalam qalbu. Melalui pengalaman sufistik seperti inilah, didapat
pengetahuan dalam bentuk kasyf.

Dengan kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan


lewat membaca, meneliti, atau merenung, tetapi ia adalah apa yang
disampaikan Tuhan kepada seseorang (sufi) dalam pengalaman
sufistik langsung.

Makrifat sebagai ilmu mukasyafah, kata al-Gazali, tidak bisa


dikomunikasikan kepada orang yang belum pernah mengalaminya,
atau belum mencapai tingkat kualifikasi yang mampu mengerti
pengalaman sufistik semacam itu. Setiap pengalaman pribadi antara
seorang sufi dengan Tuhannya, jika diungkapkan dengan kata-kata,
sudah dapat dipastikan salah paham dari pendengar yang tak mampu
melepaskan ikatan duniawi. Paling-paling seorang sufi hanya
mencoba mengungkapkannya secara simbolik dan metaforik, karena
tidak ada bahasa yang dapat menuturkan secara tepat, tidak ada
ungkapan yang tidak mengandung penafsiran ganda.

Selain itu Al-Gazali juga sangat menentang orang yang tidak peduli
terhadap hukum-hukum syariah karena menganggap telah mencapai
tingkat tertinggi (wali) dan telah memperoleh pengetahuan langsung
dari sumbernya, yaitu Allah SWT. berupa pengetahuan kasyfi, yang
membawanya tidak terikat lagi pada hukum-hukum taklifiy.

Kenyataan ini, menurut Abd. al-alim Mahmd, adalah tindakan


bidah yang sangat menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang
sama sekali tidak mengerti agama (Islam), terutama tentang hakikat
tasawuf. Jika ada orang berkata, demikian Ibnu Taimiyah, bahwa ia
telah menerima pengetahuan berdasarkan kasyf, tetapi bertentangan
dengan sunnah Rasul, maka kita wajib menolaknya. Menurut Ab al-
Ala al-Mauddiy, antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang
tidak bisa dipisahkan. Jika syariah (fiqh) mengatur aspek lahir, maka
tasawuf berhubungan dengan aspek batin untuk kesempurnaan ibadah
kepada Allah SWT. Salah satu perbedaan lain antara marifat dan
jenis pengetahuan lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan
biasa diperoleh melalui usaha keras; belajar keras; merenung keras;
berpikir keras. Akan tetapi marifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan
manusia.

Pada tahap akhir semuanya bergantung pada kemurahan Allah Swt.


Manusia hanya bisa melakukan persiapan (istidad) dengan cara
membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit hati atau
akhlak tercela lainnya. Adapun Tanda-Tanda bagi adanya ma'rifat
adalah hidupnya hati beserta Allah Ta'ala.

Ditulis oleh al-Ghazali, bahwasanya pernah terjadi dialog antara Allah


dan Nabi Daud A.S. dimana Daud ditanya oleh Allah, "Adakah
Engkau tahu apakah ma'rifat kepadaku ?", Daud menjawab, "Tidak".
Dijelakan oleh Allah, "Ia itu adalah hidupnya hati dalam musyahadah
(menyaksikan) kepadaku.

Ma'rifat hakiki terdapat dalam maqam ru'yat wa al--musyahadah bi


sirr al-qalb. Orang yang ma'rifat melihat sekedar hanya untuk
mengetahui. Karena ma'rifat yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah
Allah. Allah, ketika ini, hanya membuka sebagian hijab sehingga
memungkinkan hambanya untuk mengenali-Nya. Akan tetapi, Ia tidak
membuka seluruh hijab, agar yang melihat-Nya tidak terbakar. Tanda
adanya ma'rifat hakiki pada diri seseorang adalah jika di hatinya telah
tidak dijumpai tempat untuk lain selain Allah.
Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama
tentang hakikat ma'rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan
(musyahadat) al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa
digambarkan, dan tanpa ada kesamaran. Potret dan contoh figur yang
telah sampai pada tingkatan ini, sebagaimana dicontohkan oleh al-
Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja'far Shadiq. Ketika Ali
ditanya oleh seseorang, "Wahai Amir al-Mu'minin, apakah engkau
menyembah seseuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak
engkau lihat ?", Ali menjawab, "Tidak, bahkan aku menyembah dzat
yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata
hatiku".

Demikian juga ketika Ja'far al-Shadiq R.A. ditanya "Apakah engkau


melihat Allah ?", ia menjawab, "Apakah aku menyembah tuhan yang
tidak bisa aku lihat". Lalu ia ditanya lagi, "Bagaimana engkau dapat
melihatnya pada-hal Ia (Tuhan) adalah sesuatu yang tidak terjangkau
oleh peng-lihatan". Ja'far Shadiq menegaskan, "Mata tidak bisa
melihat Tuhan dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya
dengan hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat diindera oleh pan-
caindera dan dipersamakan dengan manusia.

Dalam pandangan al-Ghazali, rahasia serta "ruh" yang terkandung


dalam ma'rifat adalah tauhid, yaitu penyucian sifat hayat 'ilmu, qudrat,
iradat, sam', bashar, dan kalam Allah dari penyerupaan.
Adapun sumber ma'rifat menurut al-Ghazali ada empat yaitu :
a. Pancaindera; Menurut al-Ghazali, pancaindera adalah termasuk
juga sumber ma'rifat. Akan tetapi bekerjanya hanya dalam beberapa
sumber, akan tetapi tidak dalam yang lain.

b. Akal; Sebagaimana pancaindera, akal juga adalah merupakan salah


satu sumber ma'rifat dalam beberapa sumber. Tetapi sekali lagi,
ditegaskan bahwa ia bukanlah segala-galanya. Menganggap dan
memberikan cakupan yang luas bagi akal sebagai sumber ma'rifat
dapat menyebabkan penyepelean terhadap al-Qur'an sebagaiutama.

c. Wahyu; Menurut al-Ghazali, wahyu adalah sumber terbesar bagi


Ma'rifat. Wilayah cakupannya sangat luas, sesuai dengan posisinya
sebagai sumber pertama dan utama bagi ajaran Islam.

d. Kasyf; yang dimaksud dengan kasyf oleh al-Ghazali adalah cahaya


yang dihunjamkan ke dalam hati hamba, sehingga hati dapat melihat
dan merasakan sesuatu dengan 'ain al-yaqin. Kasyf adalah sumber
kedua bagi ma'rifat yang terbesar setelah wahyu.

Tingkatan ma'rifat, menurut al-Ghazali berjenjang sesuai dengan


tingkatan iman seseorang. Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi
menjadi tiga sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Tiga tingkatan
tersebut yaitu :
a. Tingkatan pertama; imannya orang awam. Iman dalam tingkatan ini
adalah iman taqlid yang murni.

b. Tingkatan kedua; Imannya para ahli kalam. Mereka adalah orang-


orang yang mengaku ahli akal dan berpikir atau mengaku sebagai
tokoh penelitian dan istidlal.

c. Tingkatan ketiga; Imannya para 'arifin yaitu orang-orang yang


menyaksikan dengan 'ainul yaqin.

Berkaitan dengan jalan perolehan marifat ini Imam Ibnu Athaillah


As-Sakandari dalam al-Hikam menulis: Apabila Tuhan membukakan
jalan bagimu untuk Marifat, maka jangan hiraukan amalmu yang
masih sedikit itu, karena Allah tidak membuka jalan tadi melainkan
Dia (sendiri yang) berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepada
kamu. Tidakkah anda ketahui bahwa perkenalan itu adalah pemberian
Allah pada anda. Sedangkan amal-amal (yang anda kerjakan) anda
berikan amal-amal itu untuk Allah, dan dimanakah fungsi pemberian
anda kepada Allah apabila dibandingkan pada apa yang didatangkan
Allah atas anda ?

Salah satu pendidikan yang dapat ditemukan dari laku lampah Dunia
Ruhani bahwa setiap penempuh jalan ruhani dituntut agar melihat
kecil apa yang datang dari hamba dan betapa besar apa yang
dikurniakan oleh Allah. Ruhani yang terdidik seperti ini akan
membentuk sikap beramal tanpa melihat kepada amal itu sendiri,
sebaliknya melihat amal itu sebagai kurnia Allah yang wajib
disyukuri.

Orang yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada
Allah tetapi membuka hati nuraninya untuk menerima hidayah dan
taufik dari Allah. Orang yang hatinya suci bersih akan menerima
pancaran Sirr dan mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahwa
Allah adalah Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci dan Maha Tinggi.
Ia tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia (sendiri yang)
mau untuk ditemui dan dikenali.

Tidak ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang


kepada Allah. Tidak ada jalan untuk mengenal Allah. Allah hanya
(dapat) dikenali apabila Dia memperkenalkan diri-Nya. Penemuan
kepada hakikat (bahwa tidak ada jalan yang terluhur kepada gerbang
makrifat) merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak
mampu berjalan lebih jauhdari itu. Apabila seseorang mengetahui dan
mengakui bahwa tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai
Allah, maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan
amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain.

Sampai disini seseorang tidak ada pilihan lagi melainkan


menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Ada orang yang
mengetuk pintu gerbang marifat dengan doanya. Jika pintu itu tidak
terbuka maka semangatnya akan menurun hingga membuatnya putus
asa. Ada pula orang yang berpegang dengan janji Allah bahwa Dia
akan membuka jalan-Nya kepada hamba-Nya yang berjuang pada
jalan-Nya. Kuatlah dia beramal dengan harapan dirinya layak untuk
menerima kurnia Allah sebagaimana janji-Nya. Dia menggunakan
kekuatan amalnya untuk mengetuk pintu gerbang makrifat.

Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia menjadi ragu-ragu.
Dalam perjalanan menggapai marifat seseorang tidak terlepas dari
perasaan ragu, lemah semangat dan berputus asa. Jika dia masih
bersandar kepada sesuatu selain Allah Swt, si hamba tidakada pilihan
lain kecuali berserah kepada Allah Swt. Marifat menurut Drs Imron
Rosadi MA, adalah pengetahuan, dan dalam arti umum ialah ilmu
atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu
tasawuf Marifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati
sanubari dapat melihat Tuhan. Inilah yang dikemukakan Harun
Nasution dalam Falsafat & Mistisisme dalam Islam.

Lewat hati sanubariseorang sufi dapat melihat Tuhan. Dan kondisi


seperti itu (Marifat) diungkapkan para sufi dengan menyatakan
Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka,
maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya
Allah SWT.

Kondisi Marifat dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (jilid tiga)


bahwa Marifat merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke
cermin, maka yang akan dilihatnya hanya Allah SWT. Artiny bahwa
yang dilihat orang Arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah
SWT. Dengan ungkapan ini terlihat begitu dekatnya seorang sufi
dengan Tuhannya,
dan kondisi Marifat ini mengisyaratkan bahwa Marifat adalah
anugerah dari Tuhan. Tuhanlah yang berkenan memberikan
pengetahuan langsung dengan mengenugerahkan kemampuan kepada
orang yang dikehendaki untuk menerima Marifat. Marifat
merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai yang
ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Sekiranya
Marifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat akan
mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya, dan
semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahannya
yang gilang gemilang.

Sufi pertama yang menonjolkan konsep Marifat dalam tasawufnya


adalah ZUNNUN al-MISRI (Mesir, 180 H / 796 M 246 H / 860 M).
Ia disebut Zunnun yang artinya Yang empunya ikan Nun, karena
pada suatu hari dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat
lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar
itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga dan Zunnun
dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta
dipaksa untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa
dan teraniaya itu Zunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil
berseru: Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu. Pada waktu itu
secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan
air mendekati kapal sambil membawa permata di mulut masing-
masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya
kepada saudagar tersebut.

Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan


perilaku yang aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum.
Karena itulah ia pernah dituduh melakukan Bidah sehingga
ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan Khalifah
al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847
M 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40 hari. Selama di
dalam penjara, saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan
sepotong roti, namun setelah dibebaskan, di kamarnya masih didapati
40 potong roti yang masih utuh.

Dzunun Al-Mishriy yang mengatakan; alat untuk mencapat ma'rifat


ada 3 macam; yakni: Qalby (hati), Sirr (perasaan) dan Ruh.
Sedangkan tanda-tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai
kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan
perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.

b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta


yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena
hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak


membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan
yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada
Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal
mengatakan bahwa ma'rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat
memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu
bersama-sama dengan Tuhan-nya.

Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai


tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya
sebagai
berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya,
pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya
dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka
tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT
saja.

b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai


tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu
menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut
(hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-
Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa
menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada
Allah terputusmeskipun hanya sekejap mata saja.

c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu


adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika
Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa
kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni
ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat,
Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara
terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.Dengan cara menempuh
tahapan Tasawuf yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan
mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.

Menurut Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Taaruf


li Mazahib Ahl at Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab
Ahli Tasawuf), Zunnun telah sampai pada tingkat Marifat yaitu
maqam tertinggi dalam Tasawwuf setelah menempuhj alan panjang
melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal,
Ridha dan cinta atau Mahabbah. Kalau Marifat adalah mengetahui
Tuhan dengan hati sanubari, maka Zunnun telah mencapainya. Maka,
ketika ditanya tentang bagaimana Marifat itu diperoleh ia menjawab :
Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama araftu rabbi. (Aku
mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena
Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku). Kata-kata
Zunnun ini sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.

Zunnun mengetahui bahwa Marifat yang dicapainya bukan semata-


mata hasil usahanya sebagai sufi, melaikan lebih merupakan anugerah
yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Marifah tidak dapat diperoleh
melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada
kehendak dan rahmat Tuhan. Marifat adalah pemberian Tuhan
kepada Sufi yang sanggup menerimanya.

Selanjutnya ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam


menjelaskan bahwa Zunnun membagi Marifat ke dalam tiga
tingkatan yaitu: Tingkat awam. Orang awam mengenal dan
mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat. Tingkat Ulama. Para
Ulama, cerdik pandai mengenal dan mengetahui Tuhanberdasarkan
logika dan penalaran akal.

Tingkat Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.


Marifat yang sesungguhnya adalah Marifat dalam tingkatan Sufi,
sedangkan Marifat pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat
disebut ilmu. Zunnun membedakan antara ilmu dan Marifat.

Ciri-ciri orang Arif atau orang yang telah sampai kepada Marifat
adalah Cahaya Marifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah
padam dalam dirinya. Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu
yang menghapuskan atau membatalkan Zahirnya. Banyaknya nikmat
yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak membuatnya lupa dan
melanggar aturan Tuhan. Dijelaskan bahwa akhlaq Sufi tidak ubahnya
dengan akhlaq Tuhan. Ia baik dan lemah lembut serta senantiasa
berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan sifat-sifat
Tuhan.

Namun demikian untuk mencapai tingkat ini tidaklah mudah


meskipun selintas dapat dipahami bahwa Marifat didapat dengan
ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal
Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan menyingkap tabir dari
pandangan Sufi untuk menerima cahaya yang dipancarkan, yang pada
akhirnya Sufi dapat melihat keindahan dan keesaan-Nya. Jalan yang
dilalui seorang Sufi tidaklah mulus dan mudah. Sulit sekali untuk
pindah dari satu maqam ke maqam yang lain. Untuk itu seorang Sufi
memang harus melakukan usaha yang berat dan waktu yang panjang,
bahkan kadang-kadang ia masih harus tinggal bertahun-tahun di satu
maqam.

Dalam pada itu Marifatpun harus dicapai melalui proses yang terus-
menerus. Semakin banyak seorang Sufi mencapai Marifat, semakin
banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan, meskipun
demikian tidak mungkin Marifatullah menjadi sempurna, karena
manusia sungguh amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas.
Karena itu al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi modern
berkomentar tentang keterbatasan manusia dengan mengatakan
Cangkir teh takkan mungkin menampung semua air laut. Paham
Marifat Zunnun dapat diterima al-Ghazali sehingga paham ini
mendapat pengakuan Ahlussunah wal Jamaah. Al-Ghazali sebagai
figur yang berpengaruh di kalangan Ahlussunah wal Jamaah diakui
dapat menjadikan Tasawwuf diterima kaum syariat.

Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf seperti yang diajarkan


al-Bustami (W. 261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 - 309 H / 858 922
M) khususnya menyimpang dengan paham Hulul / Ittihad / penyatuan
yang dalam pemahaman Kejawen dikenal
dengan Manunggaling Kawulo Gusti

Marifat menurut al-Ghazali adalah maqam kedekatan (qurb) itu


sendiri yakni maqam yang memiliki daya tarik dan yang memberi
pengaruh pada kalbu, yang lantas berpengaruh pada seluruh aktivitas
jasmani (jawarih). `Ilm (ilmu) tentang sesuatu adalah seperti melihat
api sebagai contoh, sedangkan ma`rifat adalah menghangatkan diri
dengan api.

Menurut bahasa, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi


keraguan di dalamnya. Adapun menurut istilah yang sering dipakai
menunjukkan ilmu pengetahuan tentang apa saja (nakirah). Menurut
istilah Sufi, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi
keraguan, apabila yang berkaitan dengan objek pengetahuan itu
adalah Dzat Allah swt. dan Sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, `Apa yang
disebut ma`rifat Dzat dan apa pula marifat Sifat? Maka dijawab
bahwa marifat Dzat adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
swt. adalah Wujud Yang Esa, Tunggal, Dzat dan sesuatu Yang
Mahaagung, Mandiri dengan Sendiri-Nya dan tidak satu pun yang
menyerupai-Nya. Sedangkan marifat Sifat adalah mengetahui
sesungguhnya Allah swt. Maha Hidup, Maha Mengetahui,
Mahakuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan seluruh Sifat-
sifat Keparipurnaan lainnya.

Kalau ditanya, `Apa rahasia ma`ri fat? Rahasia dan ruhnya adalah
tauhid. Yaitu, jika anda telah menyucikan sifat-sifat Mahahidup, Ilm
(Ilmu), Qudrah, Iradah, Sama ; Bashar dan Kalam Allah dari segala
keserupaan dengan sifat-sifat makhluk [dengan penegasan bahwa
tiada satu pun yang menyamai-Nya]. Lalu, apa tanda-tanda ma`rifat?
Tanda-tandanya adalah hidupnya kalbu bersama Allah swt. Allah swt.
mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s., Mengertikah engkau, apakah
marifat-Ku itu? Dawud menjawab, Tldak.Allah berfirman,
Hidupnya kalbu dalam musyahadah kepada-Ku. Kalau ditanya,
Tahap atau maqam manakah yang dapat disahkan sebagai ma `rifat
yang hakiki? [Jawabnya] adalah tahap musyahadah (penyaksian) dan
ruyat (melihat) dengan sirr qalbu. Hamba melihat untuk mencapai
marifat. Karena marifat yang hakiki ada dalam dimensi batin pada
iradah, kemudian Allah swt. menghilangkan sebagian tirai (hijab),
lantas kepada mereka diperlihatkan nur Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya
dari balik hijab itu agar mereka sampai pada marifat kepada Allah
swt. Hijab itu tidak dibukakan seluruhnya, agar yang melihat-Nya
tidak terbakar.

Sang Sufi bersyair dengan ungkapan pencapaian pada tahap spiritual


tertentu :
Seandainya Aku tampak tanpa hijab, Pastilah seluruh makhluk
sempurna, Namun hijab itu amat halus, Agar merevitalisasi kalbu para
hamba yang `asyiq.

Ketahuilah, bahwa manifestasi (tajalli) keagungan melahirkan rasa


takut (khauf) dan keterpesonaan (haibah). Sedangkan manifestasi
keelokan (al-Hasan) dan Keindahan (al-Jamal) melahirkan keasyikan.
Sementara manifestasi Sifat-sifat Allah melahirkan mahabbah. Dan
manifestasi Dzat meniscayakan lahirnya penegasan keesaan (tauhid).

Sebagian ahli marifat berkata, Demi Allah, tidak seorang pun yang
mencari dunia, selain orang itu dibutakan kalbunya oleh Allah, dan
dibatalkan amalnya. Sesungguhnya Allah menciptakan dunia sebagai
kegelapan, dan menjadikan matahari sebagai cahaya. Allah
menjadikan kalbu juga gelap, lalu dijadikan marifat sebagai
cahayanya. Apabila awan telah tiba, cahaya matahari akan terhalang.
Begitupun ketika kecintaan dunia tiba, cahaya marifat akan terhalang
dari kalbu. Ada pula yang mengatakan, Hakikat marifat adalah
cahaya yang dikaruniakan didalam kalbu Mukmin, dan tiada yang
lebih mulia dalam khazanah kecuali marifat.

Sebagian Sufi berkata, Matahari kalbu Sang `Arif lebih terang dan
bercahaya dibandingkan matahari di siang hari. Karena matahari pada
siang hari kemungkinan menjadi gelap karena gerhana, sedangkan
matahari kalbu tiada pernah mengalami peristiwa gerhana (kusuf).
Matahari siang tenggelam ketika malam, namun tidak demikian pada
matahari kalbu. Mereka mendendangkan syair: Matahari siang
tenggelam di waktu senja, matahari kalbu tiada pernah tenggelam.
Siapa yang mencintai Sang Kekasih, Kan terbang sayap rindunya
menemui Kekasihnya.

Dzun Nun berkata bahwa hakikat marifat adalah penglihatan al-Haq


atas rahasia-rahasia relung kalbu melalui perantaraan (muwashalah)
Kilatan-kilatan lembut (lathaif) cahaya-cahaya: Bagi orang `arifin,
terdapat kalbu-kalbu yang diperlihatkan Cahaya I1ahi dengan rahasia
di atas rahasia Yang terdapat dalam berbagai hijab Tu1i dari makhluk,
buta dari pandangan mereka Bisu dari berucap dalam klaim-klaim
dusta. Sebagian di antara mereka ditanyai, Kapankah seorang hamba
mengetahui bahwa dia telah mencapai marifat yang hakiki?
Dijawab, Tatkala dia mencapai tahapan tidak menemukan dalam
kalbunya sedikit pun ruang bagi selain Tuhannya.
Sebagian Sufi ada pula yang berkata, Hakikat marifat adalah
musyahadah kepada Yang Haq tanpa perantara, tanpa bisa
diungkapkan, tanpa ada keraguan (syubhah). Seperti ketika Amirul-
Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. ditanya, Wahai Amirul-Mukminin,
apakah yang anda sembah itu yang dapat anda lihat atau tidak dapat
anda lihat? Bukan begitu, bahkan aku menyembah Yang aku lihat,
bukan dengan penglihatan mata, tetapi penglihatan kalbu, jawab Ali.
Jafar ash-Shadiq ditanya, Apakah anda pernah melihat Allah swt.?
Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihati Ditanyakan
lagi,
Bagaimana anda melihat-Nya, padahal Dia tidak dapat dilihat mata?
Jafar menjawab, Mata penglihatan fisik tidak bisa melihat-Nya,
tetapi mata batin (al-qulub) dapat melihat-Nya melalui hakikat iman.
Tidak diketahui melalui penginderaan dan tidak pula dianalogikan
dengan manusia.

Sebagian `arifin ditanya seputar hakikat marifat. Mereka berkata,


Menyucikan sirr (rahasia) kalbu dari segala kehendak dan
meninggalkan kebiasaan sehari-hari, tentramnya kalbu kepada Allah
swt. tanpa ada ganjalan (`alaqah), berhenti dari sikap berpaling dari
Allah swt. dan menuju selain Allah swt. Mustahil, marifat kepada
substansi Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya, dan tidak akan diketahui
siapa Dia, kecuali melalui Dia sendiri, Yang Mahaluhur, Mahatinggi,
serta Kemuliaan hanya kepada Diri-Nya saja.
Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Muayanah Bashirah,
Mukasyafah, Musyahadah dan Mu`ayanah merupakan term-term yang
sinonim. Perbedaannya pada tataran makna penjelasannya yang utuh,
bukan pada tataran makna asalnya. Kedudukan bashirah (mata batin)
pada akal sama dengan kedudukan cahaya mata (batin) pada mata
penglihatan (fisik). Kedudukan marifat pada bashirah adalah seperti
kedudukan bola matahari yang berpijar pada cahaya mata, sehingga
dengan sinar itu, objek-objek yang jelas dan yang tidak tampak dapat
dikenali. Di dalam kehidupan (hayah) itu sendiri, Tauhid dapat
diketahui.Allah swt. berfirman: Bukankah orang yang sudah mati,
kemudian dia Kami hidupkan? (Q. s. al-Anam:122).

Sedangkan al-yaqin - ketahuilah-keyakinan (al-i`tiqad) dan ilmu,


apabila telah bersemayam dalam kalbu dan tidak ada yang menjadi
penghalang (maaridh) bagi masing-masing, akan membuahkan
ma`rifat dalam kalbu. Dan marifat tersebut dinamakan al-yaqin.
Karena hakikat yakin adalah kejernihan ilmu yang didapatkan
(acquired) melalui perolehan karunia (muktasab), sehingga menjadi
seperti ilmu aksiomatik, dan kalbu menyaksikan keseluruhan,
sebagaimana dikabarkan oleh syariat, baik dalarn persoalan dunia
maupun akhirat. Dikatakan, Air menjadi jelas ketika bersih dari
kekeruhannya.

Ilham adalah pencapaian (hushul) marifat tersebut tanpa disertai


sebab dan upaya, tetapi dengan ilham langsung dari Allah swt. setelah
kalbu menjadi jernih dari segala sikap memandang baik (istihsan) dua
jagad jagad dunia maupun akhirat. Sementara firasat adalah
pengetahuan akan perlambang dari Allah swt., antara Dia dan hamba-
Nya, yang memberi petunjuk pada segi esoterik (sisi paling dalam)
hukum-hukumNya. Firasat tidak akan hadir, kecuali pada derajat
taqarrub. Tetapi dia berada di bawah ilham. Karena ilham tidak
membutuhkan alamat-alamat. Namun firasat membutuhkan alamat
atau tanda perlambang, baik bersifat umum maupun khusus.

Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang marifat.


Lalu ia menjawab, Marifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari
anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari
mengerahkan segalakemampuan atau yang lebih dikenal sebagai
usaha (kasab) seorang hamba.

Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi rahimahullah ditanya


tentang sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, Orang arif adalah
orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu
akan menjadi jernih karenanya.
Ahmad bin Atha rahimahullah berkata, Marifat itu ada dua :
Marifat al-Haq dan marifat hakikat. Adapun marifat al-Haq adalah
marifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan
Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan marifat
hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak
memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat
ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah
(Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman: Sedangkan ilmu
mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya.
(Q.s. Thaha: 110).

Syekh Abu Nashr as-Sarraj rahimahullah menjelaskan: Makna


ucapan Ahmad binAtha, Tak ada jalan menuju ke sana, yakni
marifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan
Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia
tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan
marifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan oleh makhluk.
Bahkan hanya sebesar atom pun dari marifat-Nya tidak akan sanggup
dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya
akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari
Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup marifat
(mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana
itu? Oleh karenanya ada orang berkata, Tak ada selain Dia yang
sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya
selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-
Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt.
berfirman: Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah
melainkan apa yang dikehendaki-Nya. (Q.s. al-Baqarah: 255).

Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq
r.a. yang pernah berkata, Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan
untuk marifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak
sanggup mengetahui-Nya.

Asy-Syibli rahimahullah pernah ditanya, Kapan seorang arif berada


dalam tempat al-Haq?
Ia menjawab, Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-
bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana (sirna) indera dan
perasaan pun menjadi hilang. Apa awal dari masalah ini dan apa
pula akhirnya? Ia menjawab, Awalnya adalah marifat dan ujungnya
adalah mentauhidkan-Nya. Ia melanjutkan, Salah satu dari tanda
marifat adalah melihat dirinya berada dalam Genggaman Dzat Yang
Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung
menguasai dirinya. Dan ciri lain dari marifat adalah rasa cinta (al-
Mahabbah). Sebab orang yang marifat dengan-Nya tentu akan
mencintai-Nya.

Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami rahimahullah pernah ditanya


tentang sifat orang arif, lalu ia menjawab, Warna air itu sangat
dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air
itu anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda
akan menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam
tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna
hitam. Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang
berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai
kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual
adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya.

Syekh Abu Nashr as-Sarraj rahimahullah menjelaskannya: Artinya, :


hanya Allah Yang Mahatahu, bahwa kadar kejernihan air itu akan
sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang
ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan
pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang
yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau
hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna
yang sesuai dengan aslinya. Demikian pula orang yang arif dan
sifatnya ketika bersama Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang
diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya
bersama Allah adalah dalam satu makna.

Al-junaid rahimahullah pernah ditanya tentang rasionalitas orang-


orang arif (al-arifin). Kemudian ia menjawab, Mereka lenyap dari
kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang
memberi sifat.

Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang marifat. Lalu ia


menjawab, Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat
kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah
menauhidkan-Nya.
Al-Junaid rahimahullah ditanya, Wahai Abu al-Qasim, (nama lain
dari panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif
kepada Allah? Ia menjawab, Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah
perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.

Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi rahimahullah


berkata, Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak
ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih,
mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh.
Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat Dzat
Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang
mewujudkannya.

Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, Apa yang


dibutuhkan orang-orang arif? Ia menjawabnya, Mereka
membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa
sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan
akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.

Yahya bin Muadz rahimahullah ditanya tentang sifat orang arif,


maka ia menjawab, Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun
ia terpisah dengan mereka. Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi
tentang orang yang arif, maka ia menjawab, Ialah seorang hamba
yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan
mereka.

Abu al-Husain an-Nuri rahimahullah ditanya, Bagaimana Dia tidak


bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui
kecuali dengan akal
Ia menjawab, Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa
memahami Dzat yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang
memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki
kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa
membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat, Yang membuat
kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa
menentukan di mana terhadap Dzat yang menentukan ruang dan
tempat itu sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan
mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan
Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan
mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahuimmana yang
pertama dan mana yang terakhir.

Kemudian ia melanjutkannya, Al-Azzaliyyah pada hakikatnya


hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak
ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga
Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal.

Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia
menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan
tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan
(ubudiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan
makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab
penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, Kun
(wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah
menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan.

Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-
Nuri, mengetahui-Nya secara langsung, ialah langsung dengan
yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan
tentang hal-hal yang gaib.

Syekh Abu Nashr as-Sarraj rahimahullah melanjutkan


penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut hanya
Allah Yang Mahatahu bahwa menentukan dengan waktu dan
perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang
telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi. Pada apa yang
telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan.
Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu
sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan
perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan
corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang
semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat
al-Haq swt. dan hanya Allah Yang Mahatahu-.
Ahmad bin Atha rahimahullah pernah mengemukakan sebuah
ungkapan tentang marifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan
dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan
Ahmad bin Atha, Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan
menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai
Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu
menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-
nilai Ketuhanan).

Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa,


sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua
ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang
ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti
Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana
tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak
dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi
warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap
maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis
semata, pent.).
Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha
maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman
Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani rahimahullah dimana ia
berkata, Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu
yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci. Akan tetapi karena
Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka
orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang
diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok
kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat
dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.

Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha, Segala sesuatu yang


dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-
Nya. Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan
tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan, Segala sesuatu
yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap
(Tajalli)-Nya. Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan
menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang
diterangkan dalam sebuah Hadits:
Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada
dua buah Kitab : Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab
yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, Ini adalah
Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama
mereka dan nama bapak-bapak mereka. Sementara yang ini adalah
Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama
mereka beserta nama bapak-bapak mereka.(H.r. Tirmidzi dari
Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga
diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).

Ketika Abu Bakar al-Wasithi rahimahullah mengenalkan dirinya


kepada kaum elite Sufi, maka ia berkata, Diri (nafsu) mereka (kaum
arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan
menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-
Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti
kepentingan nafsu.
Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang
makna ini. Artinya dan hanya Allah Yang Mahatahu -,
Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa
yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang
disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya
menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga
tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).

Anda mungkin juga menyukai