259
Abstrak
Paper ini membahas martabat tujuh dalam puisi dangding sufistik Haji Hasan
Mustapa. Ia merupakan salah satu penerus tradisi tasawuf Nusantara dari Jawa
Barat yang menulis lebih dari sepuluh ribu bait dangding. Tema martabat tujuh
merupakan poros inti pembahasan dalam hampir keseluruhan puisi dangding-
nya. Berbagai kesalahpahaman dan kesulitan para sarjana dalam memahami
puisi Mustapa kiranya dilatarbelakangi keterbatasan pengetahuan atas ajaran
ini. Kajian ini menggunakan pendekatan interteks atas sejumlah puisi Mustapa
yang bertema sama. Kajian ini memfokuskan pada tiga hal: martabat tujuh
dalam tradisi tasawuf Nusantara, Mustapa dan posisi dangding-nya dalam
sastra Sunda, serta tema martabat tujuh sebagai inti puisinya. Mustapa kiranya
dipengaruhi ajaran wahdatul wujud terutama melalui kitab Tuh}fah-nya Al-
Burhanfuri. Meski demikian, ia berusaha menjejakkannya dalam latar kekayaan
budayanya. Ia menginterpretasikan martabat tujuh, bukan semata-mata sebagai
sintesis tajalli Ilahi, tetapi juga merupakan hasil upaya manusia dalam
meningkatkan martabat rohani untuk pulang ke tempat di mana ia berasal (nepi
kana urut indit). Karenanya tidak tepat bila ia dianggap menyimpang dari nilai-
nilai ortodoksi Islam. Ia berada pada arus utama tasawuf Nusantara yang
cenderung rekonsiliatif. Signifikansi Mustapa terletak pada kreatifitasnya dalam
menggunakan banyak metafor budaya Sunda termasuk dalam menafsir ajaran
martabat tujuh. Ia misalnya, menggunakan metafor tubuh (balung, daging,
sungsuam, getih), makanan (rujak), sungai (leuwi), dan bukit (lamping) untuk
menggambarkan proses panjang dalam meracik asal alam kesejatian. Kajian ini
signifikan dalam memperkuat tesis jaringan ulama Nusantara dalam bentuk
artikulasi tasawuf lokal Sunda. Sebuah tafsir lain atas martabat tujuh yang
muncul dalam rahim alam pikiran budaya Sunda.
Kata kunci: martabat tujuh, dangding, tasawuf, Sunda
Abstract
This paper discusses the dignity seven in metrical poetry Sufi Hasan Haji
Mustapa. He is one of the successors of Sufism archipelago from West Java who
wrote more than ten thousand metrical stanza. He was in the mainstream Sufism
archipelago tend reconciliatory. Mustapa significance lies in creativity in using
many metaphors Sundanese culture including seven in interpreting the teachings
of dignity. He for instance, uses the metaphor of the body (bone, meat, sungsuam,
getih), food (salad), rivers (Leuwi), and Hill (lamping) to describe the lengthy
process of preparing the authenticity of natural origin. This study is significant in
strengthening the network of scholars Nusantara thesis in the form of Sufism
articulation of local Sundanese.
Keyword: dignity seven, metrical, Sufism, Sundanese
1
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
260 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014
27
Muhammad Chatib Quzwain, Mengenal Allah:
23
Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syeikh
Reformism in Southeast Asia, hlm. 53. Abdus Samad Al-Falimbani, Jakarta: Bulan
24
Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Bintang, 1983; Francis R. Bradley, “Sheikh
Minangkabau. Jakarta: Prenada Media, EFEO, Da'ud al-Fatani's Munyat al-Musalli and The
PPIM, KITLV, 2008, hlm. 32. Place of Prayer in 19th-Century Patani
25
Tentang tarekat Shattariya dari Abdullah Shattar communities,” Indonesia and the Malay World,
hingga Al-Qushashi, Al-Kurani dan Al-Sinkili, DOI:10.1080/13639811.2013.798072, hlm. 1-17;
lihat Werner Kraus, “The Shattariya Sufi Abdul Muthalib, “The Mystical Thought of
Brotherhood in Aceh,” hlm. 206-211; J. Spencer Muhammad Nafis Al-Banjari: An Indonesian
Trimingham, The Sufi Orders in Islam, Oxford: Sufi of the Eighteenth Century,” Thesis, McGill
Clarendon Press, 1977, hlm. 97-98. University Montreal Canada, 1995.
26 28
Oman Fathurahman, Ithaf Al-Dhaki, Tafsir Abdul Rahim Yunus, “Nazariyat Martabat Tujuh
Wahdatul Wujud bagi Muslim Nusantara, fi Nizam al-Mamlakah al-Butaniyyah,” Studia
Bandung: Mizan, 2012, hlm. 6; Oman Islamika, Vol. 2, No. 1, 1995, hlm. 93-110.
29
Fathurahman, “Ithaf al-Dhaki by Ibrahim Al- Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di
Kurani: A Commentary of Wahdat al-Wujud for Minangkabau, hlm. 35, 91-98. Lihat juga
Jawi Audience,” Archipel 81, Paris, 2011, hlm. Mu’jizah, Martabat Tujuh: Edisi Teks dan
177-198. Pemaknaan Tanda serta Simbol, Jakarta:
264 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014
Di tanah Jawa, martabat tujuh seperti Dewa Ruci.35 Begitu pun, Suluk
kiranya tidak hanya tersebar di kalangan Wujil yang dihubungkan dengan Sunan
penganut tarekat Shattariyah, tetapi juga Bonang, mengambil beberapa doktrin
tarekat lainnya seperti Qadiriyah dalam martabat tujuh.36
Naqsabandiyah dengan pendekatan Di Priangan abad ke-20, pengaruh
multi tarekat sebagai salah satu ciri martabat tujuh juga kemudian menyebar
reformisme neo-sufisme abad 19.30 dalam bentuk wawacan, sebuah cerita
Dalam tradisi sastra Kraton Jawa abad yang dikarang menggunakan pupuh
ke-18 dan 19, luasnya pengaruh layaknya dangding. Wawacan Muslimin-
martabat tujuh dalam beragam tarekat Muslimat misalnya, menunjukkan
juga menjadi salah satu tema penting.31 pengaruh martabat tujuh di dalamnya.37
Berbagai elemen santri dalam Serat Selain itu, ajaran ini kiranya juga
Centini menunjukkan adanya upaya dijadikan lensa pembacaan spiritual atas
konsiliasi dan harmonisasi antara sejumlah legenda yang disebut Mustapa
mistisisme Jawa tradisional dan sebagai pasulukan Pasundan, seperti
legalistik Islam ortodoks.32 Ricklefs Mundinglaya Di Kusumah, Lutung
menyebutnya sebagai bentuk sintesis Kasarung dan lainnya. HR. Hidayat
mistik. Mengalami kesulitan untuk Suryalaga (1941-2011) kiranya
memaparkan doktrin sufi terkait tujuh memperjelas lensa martabat tujuh ini
tahapan emanasi, penulisnya dengan menyebutnya sebagai “sapta
memanfaatkan metafor Hindu-Jawa mandala panta-panta.”38
tentang hubungan Wisnu dan Kresna. Mustapa yang hidup di awal abad
Sebuah kesadaran identitas sebagai ke-20 kiranya terhubung dengan tradisi
seorang Muslim sekaligus Jawa.33 tarekat Shattariyah di tatar Sunda. Ia
Kecenderungan sintesis mistik ini juga diduga memiliki silsilah tarekat
tampak pada Serat Cebolek dan Serat Shattariyah yang terhubung dengan
Dewa Ruci.34 Begitu pun Wirid Hidayat Abdul Muhyi. Karya puisi dangding
Jati karya Ronggowarsito juga sufistik dan karya prosanya tentang
menunjukkan pengaruh martabat tujuh. martabat tujuh tidak bisa dilepaskan dari
Ia menunjukkan perpaduan antara latar karirnya yang memungkinkan
martabat tujuh dengan tradisi kejawen bersentuhan dengan teks dan tradisi
Karyanya tentang tanya-jawab Aceh dan kitab, pusaka dari Jawa yang kemudian
Pidie menunjukkan dukungannya atas diserahkan kepada Snouck yang
kebijakan kolonial pada masanya.47 Ia membayarnya f50 perbulan.53 Banyak di
merupakan salah satu informan pribumi antara yang dikumpulkannya merupakan
yang memberi kemudahan bagi Snouck teks Shattariyah.54 Karenanya bisa
untuk masuk ke sisi terdalam Islam dan dipahami bila dalam beberapa karyanya,
Muslim di Hindia Belanda.48 Mustapa Mustapa seringkali menyebut-nyebut
adalah kelanjutan dari “Musa” lain, dan tarekat ini.55
Snouck adalah “Holle” lain.49 Bagi Kedekatan Mustapa dengan
Snouck, Mustapa menjadi salah satu tarekat Shattariyah juga muncul dalam
tokoh kunci pengetahuan tentang Islam silsilah tarekat tersebut. Salah satunya
lokal termasuk dunia tarekat.50 Snouck dalam manuskrip Shattariyah di
sendiri akhirnya mengaku pernah dibaiat Pamijahan. Mustapa disebutkan sebagai
dalam tarekat. Karyanya De Atjehers Penghulu Bandung yang memiliki
(1893) seakan mengembalikan jejak silsilah tarekat dengan Syeikh Abdul
silsilah tarekat Shattariyah yang Muhyi melalui Haji Abdullah.56 Dalam
ditemuinya di Jawa Barat sampai kepada versi lain, Mustapa juga disebut-sebut
‘Abdurrauf.51 Berkat kedekatannya memiliki hubungan kerabat dengan
dengan Snouck, ia juga pernah diajak Raden Kartinagara atau R.H. Abdullah
ikut berkeliling Jawa dua kali dalam dua Saleh (wafat sekitar 1911-1919)
tahun (Juli 1889-Februari 1891). Ia penyusun Naskah Sajarah Sukapura.
mengunjungi banyak tempat termasuk Kartinagara merupakan guru tarekat
sejumlah pesantren.52 Mustapa mengaku keturunan kelima Syeikh Abdul Muhyi
banyak menyalin berbagai primbon, dan Bupati Sukapura, Rd. Anggadipa III
atau Dalem Sawidak.57
47
Mufti Ali, “A Study of Hasan Mustafa’s Fatwa: Posisi Mustapa cenderung berbeda
It is Incumbent upon the Indonesian Muslims to dengan ulama pesantren yang tetap
be Loyal to the Dutch East Indies Government,” menjadi kelompok independen dan
Journal of the Pakistan Historical Society, April berada di luar sistem kekuasaan
2004, Vol. 52 Issue 2, hlm. 91–122.
48
Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and
Colonial Indonesia, The Umma below the Winds 53
Haji Hasan Mustapa, Bab Adat2 Oerang
(London-New York: Routledge Curzon, 2003), Priangan Djeung Oerang Soenda Lian ti Eta,
hlm. 82-84. Ditjitakna di kantor tjitak Kangdjeng
49
Tentang kedekatan R.H. Muhammad Musa Goepernemen di nagara Batawi, 1913, hlm. 194.
54
(1822-1886) dan K. F. Holle (1829-1896), lihat Michael Laffan, “New Turn to Mecca: Snapshots
Mikihiro Moriyama, Semangat Baru: of Arabic Printing and Sufi Networks in Late
Kolonialisme, Budaya Cetak dan Kesastraan 19th Century Java,” Revue des mondes
Sunda Abad ke-19, trans. Suryadi (Jakarta: KPG, musulmans et de la Mediterranee, 124 (2), 2008:
2005). 113-131; Edi S. Ekadjati, Naskah Sunda:
50
Lihat surat-surat Mustapa, MS. 8952 tertanggal Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung:
21 September 1907. Lembaga Penelitian Unpad-The Toyota
51
Michael Laffan, The Makings of Indonesian Foundation, 1988, hlm. 231-232.
55
Islam, hlm. 156. Lihat C. Snouck Hurgronje, The Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung Karya-
Achehnese, 2 Volumes, Leiden: Brill, 1906. karyana, hlm 379 dan 428.
52 56
PH. S. van Ronkel. “Aanteekeningen over Islam Tommy Christomy, “Shattariyah Tradition in
en Folklore in West-en Midden Java, Uit Het West Java: the Case of Pamijahan,” Studia
Reisjournaal van Dr. C. Snouck Hurgronje,” BKI Islamika, Vol. 8, No. 2, 2001, hlm. 74 dan 82;
101 (1942): 311-339. Haji Hasan Mustapa, Tommy Christomy, Signs of the Wali, hlm. 105.
57
Gendingan Dangding Sunda Birahi Katut Emuch Hermansoemantri, Sajarah Sukapura,
Wirahmana Djilid A (Bandung: Jajasan Kudjang, Sebuah Telaah Filologis, Disertasi Universitas
1976), hlm. 49. Indonesia Jakarta, 1979, hlm. 93-96 dan 823.
Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ... 267
Perpusnas Jakarta dan koleksi individu. batin orang Sunda begitu mudahnya
Salah satunya adalah hasil salinan M. keluar secara spontan. Mustapa kerap
Wangsaatmadja, sekretaris Mustapa. menggunakan banyak metafor alam
Hasil suntingannya itu diberi judul Aji kesundaan dalam dangding-nya. Ia
Wiwitan I-IV. Sayangnya menggambarkan hubungan khalik-
Wangsaatmadja menyalinnya ke dalam makhluk dalam proses pencarian diri
aksara Roman dan kemudian naskah asli yang dijejakkan dalam bingkai tradisi
tulisan tangan Mustapa sufistik.69 Metafor alam kesundaan juga
66
dimusnahkannya. Salah satu dangding tampak terlihat dalam penafsirannya
Mustapa hasil salinan Wangsaatmadja atas ajaran martabat tujuh sebagai poros
terdapat dalam karya prosa Adji inti dari dangding-nya.
Wiwitan Martabat Tujuh. Karya ini
umumnya berisi komentar-komentar
singkat yang menggambarkan ajaran 4. Martabat Tujuh dalam Dangding
martabat tujuh yang tidak beranjak dari
Dalam salah satu dangding-nya,
tema besar tasawuf Nusantara. Namun Pucung Lutung buntung naek kana pager
di dalamnya ternyata juga terdapat gintung (Pucung, Monyet buntung naik
empat judul puisi dangding Kinanti, ke atas pagar gintung), Mustapa
yakni Kinanti Disusul Teu Manggih menggambarkan apa yang
Tungtung (20 bait); Dumuk Batur dimaksudkannya dengan martabat
Dumuk Gunung (Kinanti Munggah Haji) (alam) tujuh.
(14?); Nya Nyingkur Wujud ku Batur
(3); dan Asal ge Balung Sabalung (8).67 34. Alam tudjuh nu tilu bagian itu
Secara struktur, rancang bangun
Ahadiat wahdat wahidiat kabéh
dangding Mustapa memiliki kekhasan Lamun nelah di aing ngan bobodoan
terutama pada diksi yang yang seringkali
tidak terduga, permainan mengolah
Alam tujuh itu tiga bagian
bunyi kata yang bersuara nyaris sama,
Ahadiat, wahdat, wahidiat, semua
dan struktur bait-baitnya yang kerapkali
Bila disebut ada padaku sekedar
menggunakan sampiran sebagai
bohongan
pembuka layaknya rajah dalam pantun
Sunda.68 Dangding Mustapa juga 35. Anu opat bagian aja di mahluk
sebenarnya bukan sekedar konstruksi Njawa misal djasmani insanan kabéh
verbal tetapi juga konstruksi tembang Lebah dieu lahir njembah kabatinan70
musikal. Terjadi persenyawaan antara
ekspresi spiritual dengan cita rasa seni
Yang empat bagian ada di makhluk
manakala dangding dialunkan. Biasanya
Nyawa (arwah), mitsal, jasmani (ajsam),
dengan iringan kecapi atau instrumen
insan (kamil), semua
musik lainnya, citra dan simbolisme Di sini lahir menyembah batin
lokal yang bersumber dari kekayaan
66
Tini Kartini et.al., Biografi dan Karya Pujangga
69
Haji Hasan Mustapa, hlm. 39. Jajang A Rohmana, ‘Sundanese Sufi Literature
67
Haji Hasan Mustapa, Adji Wiwitan Martabat and Local Islamic Identity: A Contribution of
Tudjuh, hlm. 21-22; 37-38; 57; dan 66. Haji Hasan Mustapa’s Dangding.’ Journal Al-
68
Hawe Setiawan, “Dangding Mistis Haji Hasan Jamiah, Vol. 50, No. 2, hlm. 317.
70
Mustapa,” Makalah Seri Kuliah Umum Islam Haji Hasan Mustapa, Gendingan Dangding
dan Mistisime Nusantara di Teater Salihara, 4 Sunda Birahi Katut Wirahmana Djilid A, hlm.
Agustus 2012, hlm. 10. 183.
Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ... 269
Awa>khir.74 Ibn ‘Arabi dikenal sebagai Lautan Ajsam, kapirasa jadi hiji, perbawa
perintis ajaran wahdatul wujud yang ti Ahadiyat, lima laut dumukna di jisim
hiji;
menuangkan teori tajalli-nya ke dalam Lautan Kainsanan, taya luhur taya
tiga martabat: ahadiyat, wahidiyat dan handap, asal sampurna walatra, béda
tajalli syuhudi. Sedang Al-Jili soteh pangersa panarimana.76
menuangkannya ke dalam lima Mustapa memberikan tafsir
martabat: uluhiyah, ahadiyah, martabat tujuh dari metafisika wujud ke
wahidiyah, rahmaniyah dan rububiyah.75 arah martabat rohani. Alam Ahadiyat
Ia menegaskan keesaan mutlak Tuhan dipahaminya sebagai rasa ketunggalan
yang tidak mengalami perubahan dan (Tuhan dan makhluk) secara batin dalam
berbeda dengan makhluk. Makhluk wujud jasad individual. Alam Wahdat
diciptakan melalui tajalli-Nya dalam berada pada tahap saling merasa dan
tujuh martabat wujud. Semuanya mengambang, masih berhitung adanya
berkumpul dalam wujud alam insan dua esensi yang menjadi satu. Alam
kamil. Nabi Muhammad kiranya Wahidiyat merasa banyak bilangan,
merupakan puncak dari personifikasi terasa menjadi satu setelah menghitung
insan kamil. arwah. Banyak ruh tetapi rasa satu.
Mustapa sebagai mistikus Sunda Alam Arwah berarti banyak jasad tetapi
kemudian menggunakan ajaran ini rasa satu, materialnya jasad yang banyak
sebagai pijakan dalam meningkatan tetapi rasa satu. Alam Mitsal berarti
martabat rohani. Ia merinci apa yang banyak jasad tetapi serupa karena
dimaksudnya dengan martabat alam alamnya satu. Alam Ajsam berarti rasa
tujuh tersebut sebagai martabat rohani satu bawaan dari Ahadiyat, lima lautan
sufistik. Ia menjelaskan secara singkat wujud sebelumnya tinggal di jasad satu.
apa saja yang dirasakan saat berada Semua berujung pada Alam Insan kamil
dalam situasi setiap martabat dengan yang berarti tiada atas, tiada bawah,
menyebutnya sebagai lautan martabat: sumber/asal semua jelas sempurna,
Lautan Ahadiyat mirasa katunggalan, di perbedaan karena kehendak yang
bukurna lautan Ajsam, mirasa jisim sahiji; menerimanya.
Lautan Wahdat, mirasa pada mirasa,
balukarna ngambang rasa, milang dua jadi
Masih dalam karya prosanya, Aji
hiji, jisim dua jadi hiji; Wiwitan Martabat Tujuh, Mustapa
Lautan Wahidiyat, mirasa loba bilangan, merinci apa yang dimaksud ketujuh
kapirasa jadi hiji, balukarna milang martabat itu. Ia menarik ajaran tersebut
nyawa, loba-loba rasa hiji; dari metafisika ketuhanan yang tanazzul
Lautan Arwah-na, jisim loba-loba rasa
hiji, dibukuran ku jisimna, loba-loba rasa
(menurun) dari Tuhan ke makhluk
hiji; menjadi suatu kondisi ketika sufi
Lautan Misal, loba jisim hiji rupa, asalna mencari kesejatian diri secara taraqqi
alam sahiji; (naik). Ini bisa dibandingkan dengan
Gelaran Sasaka di Kaislaman yang
cenderung mengembangkan fase-fase
74
Lihat Ibn ‘Arabi, Futu>ha} t> al-Makkiyyah, Tahqiq rohani (maqamat) yang berasal dari al-
Uthman Yahya, Kairo: Al-Hay’at al-Misriyyah Jili. Mustapa menyebut fase “Islam-
al-‘Ammah li al-Kitab, 1972; ‘Abdul Karim Al- iman-soleh-ihsan-sahadah-sidikiyah-
Jili, Al-Insa>n al-Ka>mil fi> Ma’rifat al-Awa>’il wa
al-Awa>khir, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
75
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam
Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Jakarta:
76
Rajawali Press, 1983, hlm. 74-75; Yunasril Ali, Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung Karya-
Manusia Citra Ilahi, hlm. 129. karyana, hlm. 308.
Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ... 271
77
Haji Hasan Mustapa, Aji Wiwitan Gelaran
79
Sasaka di Kaislaman, Kenging ngumpulkeun Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung Karya-
sarta ngatur Wangsaatmadja sareng para karyana, hlm. 309.
80
panitiana, n.p. n.d.; “Syair Mistis Bagawan Sirna Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-Taftazani, Sufi
Dirasa,” Tempo, 16 September 2012, hlm. 68. dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’
78
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, hlm. 144-145. ‘Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 200.
272 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014
84 85
Jajang A Rohmana, “Makhtutat Kinanti [Tutur Haji Hasan Mustapa, Gendingan Dangding, hlm.
teu Kacatur Batur]: Tasawwuf al-‘Alam al- 140; Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung
Sundawi ‘ind al-Hajj Hasan Mustafa (1852- Karya-karyana, hlm. 96-97.
86
1930),” Studia Islamika, Vol. 20, No. 2, 2013: Terjemah bait terakhir dipinjam dari Teddy AN
325-375. Muhtadin.
274 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014
87 89
Jajang Jahroni, “The Life and Mystical Thought Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam,
of Haji Hasan Mustafa (1852-1930),” hlm. 62- (Indiana: World Wisdom, 2002), hlm. 21.
90
63. Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, hlm. 143.
88 91
A.H. Johns, The Gift Adressed to the Spirit of Oman Fathurahman, Ithaf Al-Dhaki, hlm. 118-
the Prophet, hlm. 7. 119.
Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ... 275
sejati di rasa,
Sampai ke martabat tujuh cukup tak kurang tak lebih.
Diracik dengan teliti
Rujak pedas bumbunya 3. Leuwih matak langguk tangtung,
Makanan sesudah habis budi kurang matak kurunyinyi,
Segar di tengah hari rasa nyiar pamuntangan,
Sehat sampai sore hari tandaning henteu walagri,
tacan sirna lalugina,
Dalam Kinanti Kacatur Martabat sulit ati taya budi.101
Tujuh yang dimuat dalam karya
prosanya, Aji Wiwitan Martabat Tujuh, Lebih akibatnya kelebihan,
Mustapa juga menggambarkan kurang akibatnya kerempeng,
bagaimana tujuh martabat alam itu rasa mencari tempat bergantung,
dihimpun dan diracik. Semuanya tandanya tiada sempurna,
bercampur dalam diri manusia (insan belum hilang rasa tenang,
kamil), karena satu sama lain saling sulit hati tiada budi.
berhubungan. Tak hilang satupun, tiada
kurang kurang tiada lebih. Tergantung Hal yang tak jauh berbeda
salik (pengamal suluk) apakah ia bisa digambarkannya dalam Kinanti Jung
meraciknya untuk mencapai martabat Indit Deui ti Bandung. Ia
manusia sejati (insan kamil). menggambarkan bagaimana meracik
martabat tujuh merupakan upaya
1. Kacatur martabat tujuh, seorang manusia yang mau berusah
tujuhna dipiriwinci, payah sebelum mengalami penyatuan
teu karasa ngarujakna, eksistensi. Dalam Kinanti Ngelmu Suluk
marukan di hiji-hiji, Isuk-isuk, Mustapa menggambarkan
hiji misah ti kadua, bahwa upaya yang susah payah dalam
unggal hiji taya bukti. mengikuti martabat tujuh ini dialaminya
meski sampai harus melewati rasa
Diceritakan martabat tujuh, pusing seperti berputar-putar. Ia
tujuhnya dirinci, mengalaminya sambil menembangkan
tak terasa mencampurnya, lagu Kinanti mengarungi ketenangan
dikira dipisah satu-satu, hati.
satu terpisah dari kedua,
tiap satu tiada bukti. 314/415
102
Haji Hasan Mustapa, Kinanti Jung Indit Deui ti
Bandung (S. 100 Or. 7877 N.4), bertitimangsa Mustapa menyebutkan bahwa
17 Juni 1901, 29 halaman. Ditranskripsi oleh tempat pemulangan ke kesejatian itu bak
Wiraatmadja dalam Aji Wiwitan Gendingan sehilir sungai. Gambaran kesejatian yang
Dangding Sunda Jilid III. Ditranskripsi ulang
dalam Iskandarwassid, dkk., Naskah Karya Haji
104
Hasan Mustapa, hlm. 151 dan 168. Haji Hasan Mustapa, Sinom Cat Mancat ka
103
Haji Hasan Mustapa, Ngelmu Suluk Isuk-isuk Bale Pulang (S. 99 Or. 7876 N.7), bertitimangsa
(S. 101 Or. 7878 N.2), bertitimangsa 21 Mei 7 Februari 1901, 38 halaman. Ditranskripsi oleh
1901, 43 halaman. Ditranskripsi oleh Wiraatmaja Wiraatmaja dalam Aji Wiwitan Gendingan
dalam Aji Wiwitan Gendingan Dangding Sunda Dangding Sunda Jilid IV.
105
Jilid III. Ditranskripsi ulang dalam Galudra ngupuk: sebutan untuk tempat yang
Iskandarwassid, dkk., Naskah Karya Haji Hasan makmur, di lingkung gunung dan tiada
Mustapa, hlm. 410. kekurangan air.
280 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014