Anda di halaman 1dari 27

Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ...

259

Tasawuf Sunda dan Warisan Islam Nusantara:


Martabat Tujuh dalam Dangding Haji Hasan Mustapa
(1852-1930)
Jajang A Rohmana1

Abstrak
Paper ini membahas martabat tujuh dalam puisi dangding sufistik Haji Hasan
Mustapa. Ia merupakan salah satu penerus tradisi tasawuf Nusantara dari Jawa
Barat yang menulis lebih dari sepuluh ribu bait dangding. Tema martabat tujuh
merupakan poros inti pembahasan dalam hampir keseluruhan puisi dangding-
nya. Berbagai kesalahpahaman dan kesulitan para sarjana dalam memahami
puisi Mustapa kiranya dilatarbelakangi keterbatasan pengetahuan atas ajaran
ini. Kajian ini menggunakan pendekatan interteks atas sejumlah puisi Mustapa
yang bertema sama. Kajian ini memfokuskan pada tiga hal: martabat tujuh
dalam tradisi tasawuf Nusantara, Mustapa dan posisi dangding-nya dalam
sastra Sunda, serta tema martabat tujuh sebagai inti puisinya. Mustapa kiranya
dipengaruhi ajaran wahdatul wujud terutama melalui kitab Tuh}fah-nya Al-
Burhanfuri. Meski demikian, ia berusaha menjejakkannya dalam latar kekayaan
budayanya. Ia menginterpretasikan martabat tujuh, bukan semata-mata sebagai
sintesis tajalli Ilahi, tetapi juga merupakan hasil upaya manusia dalam
meningkatkan martabat rohani untuk pulang ke tempat di mana ia berasal (nepi
kana urut indit). Karenanya tidak tepat bila ia dianggap menyimpang dari nilai-
nilai ortodoksi Islam. Ia berada pada arus utama tasawuf Nusantara yang
cenderung rekonsiliatif. Signifikansi Mustapa terletak pada kreatifitasnya dalam
menggunakan banyak metafor budaya Sunda termasuk dalam menafsir ajaran
martabat tujuh. Ia misalnya, menggunakan metafor tubuh (balung, daging,
sungsuam, getih), makanan (rujak), sungai (leuwi), dan bukit (lamping) untuk
menggambarkan proses panjang dalam meracik asal alam kesejatian. Kajian ini
signifikan dalam memperkuat tesis jaringan ulama Nusantara dalam bentuk
artikulasi tasawuf lokal Sunda. Sebuah tafsir lain atas martabat tujuh yang
muncul dalam rahim alam pikiran budaya Sunda.
Kata kunci: martabat tujuh, dangding, tasawuf, Sunda

Abstract
This paper discusses the dignity seven in metrical poetry Sufi Hasan Haji
Mustapa. He is one of the successors of Sufism archipelago from West Java who
wrote more than ten thousand metrical stanza. He was in the mainstream Sufism
archipelago tend reconciliatory. Mustapa significance lies in creativity in using
many metaphors Sundanese culture including seven in interpreting the teachings
of dignity. He for instance, uses the metaphor of the body (bone, meat, sungsuam,
getih), food (salad), rivers (Leuwi), and Hill (lamping) to describe the lengthy
process of preparing the authenticity of natural origin. This study is significant in
strengthening the network of scholars Nusantara thesis in the form of Sufism
articulation of local Sundanese.
Keyword: dignity seven, metrical, Sufism, Sundanese

1
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
260 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014

A. Pendahuluan ‘surat kaleng’ yang diduga dikirimkan


oleh Sayyid Uthman bin Yahya (1822-
Haji Hasan Mustapa (1852-1930)
1913), ulama Betawi jaman kolonial.6
merupakan salah satu penerus tradisi
tasawuf Nusantara dari tatar Sunda Salah satu kelebihan puisi
(Jawa Barat). Ia merupakan sastrawan Mustapa tentang martabat tujuh adalah
Sunda terbesar yang menulis lebih dari pengungkapannya yang dijejakkan dalam
sepuluh ribu bait puisi bermatra alam pikiran Sunda. Berbagai metafor
(dangding atau guguritan) berbahasa alam kesundaan digunakan untuk
mengungkapkan perasaannya dalam
Sunda.2 Salah satu inti pembahasan
bingkai martabat tujuh. Bahasa simbol
dalam puisi sufistiknya adalah martabat
tujuh. Sebuah tema populer dalam kiranya mampu mewakili perasaan
tradisi keilmuan Islam Nusantara. Tema spiritual mistis yang dialami oleh
yang umumnya ditemukan dalam naskah siapapun yang merasakan kedekatannya
keagamaan terutama di Aceh, dengan Tuhan.7 Sebagaimana Hamzah
Palembang, Buton, Jawa, Sunda, Banjar Fansuri dalam tradisi sastra Melayu atau
Ronggowarsito melalui sastra Jawa,
dan lainnya.
Mustapa menuangkan perasaannya
Ajaran martabat tujuh merupakan
melalui tradisi sastra Sunda. Sebuah
salah satu tema penting yang menjadi
kreatifitas literer bagaimana tradisi
poros hampir keseluruhan tema puisi
sufistik Nusantara diserap dan
dangding Mustapa. Kiranya sulit
diungkapkan dalam bahasa dan sastra
memahami pikiran Mustapa tanpa
Sunda.
berpijak pada ajaran ini. Terlebih
Kajian ini signifikan untuk
Mustapa juga menulis karya khusus
menjawab kesulitan orang Sunda
berjudul Aji Wiwitan Martabat Tujuh.3
terutama sastrawan Sunda dalam
Inilah yang menjadi salah satu alasan
memahami puisi dangding Mustapa.
mengapa dibanding anekdotnya,
Rosidi, Iskandarwassid, Rusyana dan
kandungan puisi Mustapa sulit dipahami
orang Sunda sebagaimana dikeluhkan Ekadjati misalnya, cenderung
banyak sastrawan Sunda.4 Bahkan Millie menyajikan dan menilainya dari sisi
mengaku merasa tidak sanggup sastra Sunda.8 Secara lebih luas, kajian
mengarungi dunia Mustapa dan ini memperkuat tesis tentang peran
membiarkannya menggaruk-garuk
kepala ketika berhadapan dengan 6
Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung Karya-
dangding-nya.5 Akibatnya berbagai karyana, Bandung: Pustaka, 1989, hlm. 88 dan
kesalahfahaman pun muncul hingga 434. Tentang Sayyid Uthman, lihat misalnya
mengundang reaksi negatif seperti Nico Kaptein, “Sayyid Uthman On the Legal
tampak pada jawaban Mustapa atas Validity of Documentary Evidence,” Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 153 (1997),
no: 1, Leiden, hlm. 85-102.
2 7
Jajang Jahroni, “The Life and Mystical Thought Idries Shah, The Sufis (London: The Octagon
of Haji Hasan Mustafa (1852-1930),” Thesis, Press, 1977), hlm. x.
8
Leiden University, 1999, hlm. 79. Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung Karya-
3
Haji Hasan Mustapa, Adji Wiwitan Martabat karyana (1989); Yus Rusyana dan Ami
Tudjuh, Kenging ngumpulkeun sarta ngatur Raksanegara, Puisi Guguritan Sunda, Jakarta:
Wangsaatmadja sareng para panitiana, n.p. n.d. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
4
Ajip Rosidi, Ngalanglang Kasusastran Sunda, Depdikbud, 1980; Iskandarwassid et.al., Naskah
Jakarta: Pustaka Jaya, 1983, hlm. 56-57. Karya Haji Hasan Mustapa, Bandung: Proyek
5
Julian Millie, “Arriving at the Point of Departing, Sundanologi, 1987; Edi S. Ekadjati, Empat
Recent Additions to the Hasan Mustapa Sastrawan Sunda Lama, Jakarta: Depdikbud,
Legacy,” BKI 170 (2014), hlm. 110-111. 1994.
Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ... 261

jaringan ulama sufi dalam proses dalam banyak dangding-nya belum


Islamisasi di Asia Tenggara.9 Ia diulas secara mendalam. Gibson
terutama mengkonfirmasi tesis Johns misalnya, yang mengkaji karya prosa
tentang kuatnya pengaruh Tuh}fah karya Mustapa, Gelaran Sasaka di Kaislaman,
al-Burhanfuri terhadap tradisi sufistik menyebut martabat tujuhnya sebagai
Nusantara.10 Christomy sudah lanjutan dari fase-fase dalam Gelaran,
membuktikan pengaruhnya dalam tradisi yakni “Islam-iman-soleh-ihsan-sahadah-
tasawuf di Jawa Barat terutama melalui sidikiyah-kurbah.”13 Kajian lainnya
doktrin metafisika tarekat Shattariyah di dilakukan Jahroni dan beberapa sarjana
Pamijahan yang merujuk pada ajaran lain tentang ajaran martabat tujuh
martabat tujuh Syeikh Abdul Muhyi Mustapa yang didasarkan pada karya
(1640-1715).11 Mustapa kiranya dekat prosanya, Aji Wiwitan Martabat
dengan tradisi Shattariyah tersebut. Tujuh.14 Sayang kajian tersebut tidak
Sosok Mustapa dan karyanya memfokuskan pada puisi dangding
sudah banyak diperkenalkan dan Mustapa. Padahal di dalamnya
dipublikasikan terutama oleh Ajip ditemukan nuansa berbeda tentang
Rosidi.12 Pemikiran tasawuf Mustapa martabat tujuh dengan metafor, simbol
pun sudah cukup banyak dikaji. Namun, dan alam pikiran Sunda. Kajian ini
ajaran martabat tujuh yang terdapat memfokuskan nuansa lain martabat
tujuh di Nusantara. Sebuah tafsir
9
Azyumardi Azra, The Origins of Islamic martabat tujuh dalam bingkai alam
Reformism in Southeast Asia: Networks of budaya Sunda dengan dangding sebagai
Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama>’ wadahnya. Kajian menggunakan
in the seventeenth and eighteenth centuries, pendekatan interteks yang merujuk pada
Honolulu: ASAA-Allen & Unwin and University sejumlah karya dangding Mustapa, baik
of Hawai’i Press, 2004.
10
A.H. Johns, The Gift Adressed to the Spirit of berupa manuskrip maupun publikasi
the Prophet, Canberra: Center of Oriental transkripsinya.
Studies A.N.U, 1965.
11
Tommy Christomy, Signs of the Wali: B. Pembahasan
Narratives at the Sacred Sites in Pamijahan,
West Java. Canberra: ANU E Press, 2008. 1. Martabat Tujuh di Nusantara
12
Wendy Solomon, “Text and Personality: Ajip
Rosidi in Search of Haji Hasan Mustapa,” Ajaran martabat tujuh merupakan
Indonesia Circle. School of Oriental & African salah satu doktrin terpenting dalam
Studies. Newsletter, 14:41, 1986, hlm. 11-27. mistisisme Islam. Ia berusaha
Publikasi dangding Mustapa misalnya terdapat memecahkan problem filosofis tentang
dalam Haji Hasan Mustapa, Dangding Djilid
relasi antara Yang Mutlak dan yang
Anu Kaopat (1960); Haji Hasan Mustapa,
Gendingan Dangding Sunda Birahi Katut relatif, Yang Esa dengan yang banyak. Ia
Wirahmana Djilid A (1976); Haji Hasan
Mustapa, Seri Guguritan Haji Hasan Mustapa
13
(Asmarandana Nu Kami, Kinanti Kulu-kulu, Ahmad Gibson Albustomi, Filsafat Manusia
Sinom Wawarian, Dangdanggula Sirna Rasa, Sunda: Kumpulan Esai HHM, Teosofi dan
Sinom Barangtaning Rasa) (Bandung: Kiblat, Filsafat, Bandung: Skylart Publisher, 2012, hlm.
2009); Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung 5.
14
Karya-karyana (1989); Iskandarwassid, Ajip Jajang Jahroni, “The Life and Mystical Thought
Rosidi, Josep CD., Naskah Karya Haji Hasan of Haji Hasan Mustafa (1852-1930),” hlm. 82-
Mustapa, (Bandung: Proyek Sundanologi, 1987); 98; Agus Abdurrahman, “Martabat Tujuh Haji
Yus Rusyana dan Ami Raksanagara, Puisi Hasan Mustapa,” Skripsi, IAIN Sunan Gunung
Guguritan Sunda, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Djati Bandung, 2000; Wiwi Siti Sajaroh, Konsep
Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1980); Edi S. Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa, Laporan
Ekadjati, Empat Sastrawan Sunda Lama (1994). Penelitian, LP2M UIN Jakarta, 2013.
262 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014

berakar dari bantahan atas doktrin Tuh}fah, yakni Al-H}aqi>qah al-


‘penciptaan dari tiada’ (creatio exnihilo, Muwa>faqah li al-Shari>’ah.Ia
al-khalq min al-‘adam).15 Para penganut menjelaskan posisinya dalam melakukan
tasawuf filosofis mengajukan teori rekonsiliasi tasawuf dengan syariat yang
manifestasi Tuhan (tajalli). Sebuah teori sama sekali berbeda dengan dugaan
penciptaan yang berasal dari manifestasi banyak orang.18
esensi diri-Nya. Tuhan menciptakan Tuh}fah sampai di Nusantara
makhluk-Nya sebagai objek cinta-Nya. setelah komunitas Jawi asal Aceh
Makhluk-Nya tidak muncul dari melakukan kontak dengan pengikut
ketiadaan, tetapi melalui determinasi Shattariyah asal Gujarat di Madinah
sifat Tuhan terhadap esensi diri-Nya sekitar abad ke-17.19 Beberapa
sehingga terwujudlah makhluk sebagai pengikutnya juga kemudian berkunjung
manifestasi-Nya. Manifestasi tersebut ke Aceh dan bertemu dengan
terjadi melalui hirarki wujud yang terdiri Shamsuddin Al-Sumatra’i (1550?-
20
dari tujuh tingkatan wujud sehingga 1630). Shamsuddin dianggap sebagai
disebut martabat tujuh (mara>tib al-sab’, “ulama pertama” yang mengembangkan
martabat pitu): ahadiyat, wahdat, ajaran martabat tujuh di Melayu-
wahidiyat, alam arwah, alam mithal, Nusantara. Ia menerima ajaran martabat
alam ajsam, dan insan kamil. tujuh melalui Tuh}fah yang dikirim dari
Muhammad ibn Fadhlillah Al- India ke Aceh.21 Meski Shamsuddin
Burhanfuri (1545-1620) merupakan mengikuti ajaran pendahulunya, Hamzah
perintis ajaran ini. Ia menuangkannya Fansuri (w. 1590?), tetapi tidak ada
dalam Tuh}fah al-Mursalah ila> Ru>h} al- bukti tertulis bahwa Hamzah
Nabi> (ditulis 1590). Sebuah teks tasawuf menggunakan ajaran martabat tujuh.22
paling penting abad ke-17 yang Meski demikian, keduanya sama-sama
menyebar terutama di lingkungan dianggap sebagai penganut mistik
tarekat Shattariyah. Ia sebenarnya
berupa penjelasan singkat seputar
keberlimpahan ajaran metafisika Ibn
‘Arabi> dan Al-Ji>li> tentang martabat
wujud.16 Karyanya merepsesentasikan 18
Iin Suryaningsih, “Al-H}aqi>qah al-Muwa>faqah li
sebuah upaya mengendalikan al-Shari>‘ah: al-Tas}a>luh} bayn al-Tas}awwuf wa al-
kecenderungan ekstrem kelompok- Shari>‘ah bi Nusantara fi> al-Qarn al-Sa>dis ‘Ashr
kelompok mistik tertentu di India dan al-Mi>la>di>,” Studia Islamika, Vol. 20, No. 1,
memastikan untuk berpedoman dan 2013, hlm. 97-127.
19
Werner Kraus, “The Shattariya Sufi Brotherhood
mempraktekkan elemen dasar ajaran in Aceh,” dalam Arndt Graf et.al, Aceh History,
Islam. Bisa dikatakan Tuh}fah Politics and Culture, Singapore: Iseas, 2010,
merepresentasikan tradisi ortodoksi hlm. 212.
20
sufistik.17 Ini dibuktikan dengan A.H. Johns, “Reflections on the Mysticism of
komentar Al-Burhanfuri sendiri atas Shams al-Din al-Samatra’i (1550?-1630), dalam
Jan van der Putten and Mary Kilcline Cody ed.,
Lost Times and Untold Tales from the Malay
15
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam World, Singapore: NUS Press, 2009, hlm. 152.
21
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm. 22-23. A.H. Johns, “Islam in Southeast Asia:
16
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, Reflections and New Directions,” Indonesia, 19,
Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi 1975, hlm. 45.
22
oleh al-Jili (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. Oman Fathurahman, “Sejarah Pengkafiran dan
129. Marginalisasi Paham Keagamaan di Melayu dan
17
A.H. Johns, The Gift Adressed to the Spirit of Jawa,” Analisis, Vol. XI, No. 2, Desember 2011,
the Prophet, hlm. 5. hlm. 454-458.
Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ... 263

heterodoks oleh Nuruddin Al-Raniri (w. Namun dibanding Al-Kurani,


1658).23 Abdurrauf kiranya dianggap paling
Selain Shamsuddin, para ulama otoritatif dalam menyebarkan ajaran
sufi asal India di Madinah juga Shattariyah di Nusantara abad ke-17. Ia
melahirkan ulama terkenal lainnya, merupakan khalifah utama Shattariyah
Ahmad Al-Qushashi (1583-1660). di kawasan ini. Hampir semua silsilah
Melalui Al-Qushashi, ajaran Shattariyah Shattariyah di Nusantara melalui jalur
mengalami reorientasi ke arah dirinya. Murid-muridnya tersebar di
rekonsiliasi mistis dan syariat (neo- Sumatera, Jawa, Sulawesi hingga
sufisme).24 Ia dianggap sebagai tokoh Semenanjung Melayu (Trengganu).
utama dalam transmisi ajaran Beberapa ulama di antaranya menulis
Shattariyah yang lebih moderat ke karya yang secara eksplisit menunjukkan
berbagai penjuru dunia. Dua murid pengaruh Tuh}fah dan martabat tujuh, di
utamanya yang berjasa membawa ajaran antaranya Abdul Shamad Al-Falimbani,
tersebut ke Nusantara adalah Ibrahim Daud Al-Fatani (1769-1847), dan
Al-Kurani (1616-1690) dan Abdurrauf Muhammad Nafis Al-Banjari.27 Bahkan
bin Ali Al-Jawi atau Al-Sinkili (1615- di Buton Sulawesi Tenggara, ajaran ini
1693).25 dijadikan landasan dalam praktek politik
Al-Kurani memiliki kedudukan kekuasaan sultan dan pejabat istana.28
penting terutama melalui karyanya, Ith}a>f Namun dari sekian banyak muridnya,
al-Dhaki>. Sebuah komentar penting atas Syeikh Burhanuddin (1646-1692) dari
kitab Tuh}fah yang ditulis sekitar 1665. Ulakan Sumatera Barat dan Syeikh
Kitab ini merupakan jawaban atas Abdul Muhyi (1640-1715) dari
permintaan Komunitas Jawi di Pamijahan Jawa Barat cenderung sangat
Haramayn atas kontroversi faham menonjol. Abdul Muhyi dianggap paling
wahdatul wujud dan martabat tujuh di banyak berperan dalam penyebaran
Aceh. Ia memberikan tafsir rekonsiliasi tarekat Shattariyah dan martabat tujuh
atas pemahaman tasawuf yang dianggap di Jawa dan tatar Sunda dengan tanpa
heterodoks, panteis dan dianggap adanya pelucutan ajaran wahdatul wujud
mengesampingkan syariat.26 sebagaimana di Minangkabau.29

27
Muhammad Chatib Quzwain, Mengenal Allah:
23
Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syeikh
Reformism in Southeast Asia, hlm. 53. Abdus Samad Al-Falimbani, Jakarta: Bulan
24
Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Bintang, 1983; Francis R. Bradley, “Sheikh
Minangkabau. Jakarta: Prenada Media, EFEO, Da'ud al-Fatani's Munyat al-Musalli and The
PPIM, KITLV, 2008, hlm. 32. Place of Prayer in 19th-Century Patani
25
Tentang tarekat Shattariya dari Abdullah Shattar communities,” Indonesia and the Malay World,
hingga Al-Qushashi, Al-Kurani dan Al-Sinkili, DOI:10.1080/13639811.2013.798072, hlm. 1-17;
lihat Werner Kraus, “The Shattariya Sufi Abdul Muthalib, “The Mystical Thought of
Brotherhood in Aceh,” hlm. 206-211; J. Spencer Muhammad Nafis Al-Banjari: An Indonesian
Trimingham, The Sufi Orders in Islam, Oxford: Sufi of the Eighteenth Century,” Thesis, McGill
Clarendon Press, 1977, hlm. 97-98. University Montreal Canada, 1995.
26 28
Oman Fathurahman, Ithaf Al-Dhaki, Tafsir Abdul Rahim Yunus, “Nazariyat Martabat Tujuh
Wahdatul Wujud bagi Muslim Nusantara, fi Nizam al-Mamlakah al-Butaniyyah,” Studia
Bandung: Mizan, 2012, hlm. 6; Oman Islamika, Vol. 2, No. 1, 1995, hlm. 93-110.
29
Fathurahman, “Ithaf al-Dhaki by Ibrahim Al- Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di
Kurani: A Commentary of Wahdat al-Wujud for Minangkabau, hlm. 35, 91-98. Lihat juga
Jawi Audience,” Archipel 81, Paris, 2011, hlm. Mu’jizah, Martabat Tujuh: Edisi Teks dan
177-198. Pemaknaan Tanda serta Simbol, Jakarta:
264 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014

Di tanah Jawa, martabat tujuh seperti Dewa Ruci.35 Begitu pun, Suluk
kiranya tidak hanya tersebar di kalangan Wujil yang dihubungkan dengan Sunan
penganut tarekat Shattariyah, tetapi juga Bonang, mengambil beberapa doktrin
tarekat lainnya seperti Qadiriyah dalam martabat tujuh.36
Naqsabandiyah dengan pendekatan Di Priangan abad ke-20, pengaruh
multi tarekat sebagai salah satu ciri martabat tujuh juga kemudian menyebar
reformisme neo-sufisme abad 19.30 dalam bentuk wawacan, sebuah cerita
Dalam tradisi sastra Kraton Jawa abad yang dikarang menggunakan pupuh
ke-18 dan 19, luasnya pengaruh layaknya dangding. Wawacan Muslimin-
martabat tujuh dalam beragam tarekat Muslimat misalnya, menunjukkan
juga menjadi salah satu tema penting.31 pengaruh martabat tujuh di dalamnya.37
Berbagai elemen santri dalam Serat Selain itu, ajaran ini kiranya juga
Centini menunjukkan adanya upaya dijadikan lensa pembacaan spiritual atas
konsiliasi dan harmonisasi antara sejumlah legenda yang disebut Mustapa
mistisisme Jawa tradisional dan sebagai pasulukan Pasundan, seperti
legalistik Islam ortodoks.32 Ricklefs Mundinglaya Di Kusumah, Lutung
menyebutnya sebagai bentuk sintesis Kasarung dan lainnya. HR. Hidayat
mistik. Mengalami kesulitan untuk Suryalaga (1941-2011) kiranya
memaparkan doktrin sufi terkait tujuh memperjelas lensa martabat tujuh ini
tahapan emanasi, penulisnya dengan menyebutnya sebagai “sapta
memanfaatkan metafor Hindu-Jawa mandala panta-panta.”38
tentang hubungan Wisnu dan Kresna. Mustapa yang hidup di awal abad
Sebuah kesadaran identitas sebagai ke-20 kiranya terhubung dengan tradisi
seorang Muslim sekaligus Jawa.33 tarekat Shattariyah di tatar Sunda. Ia
Kecenderungan sintesis mistik ini juga diduga memiliki silsilah tarekat
tampak pada Serat Cebolek dan Serat Shattariyah yang terhubung dengan
Dewa Ruci.34 Begitu pun Wirid Hidayat Abdul Muhyi. Karya puisi dangding
Jati karya Ronggowarsito juga sufistik dan karya prosanya tentang
menunjukkan pengaruh martabat tujuh. martabat tujuh tidak bisa dilepaskan dari
Ia menunjukkan perpaduan antara latar karirnya yang memungkinkan
martabat tujuh dengan tradisi kejawen bersentuhan dengan teks dan tradisi

Penerbit Djambatan dan Yayasan Naskah


Nusantara, 2005.
30 35
Michael Laffan, The Makings of Indonesian Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
Islam, Orientalism and the Narration of a Sufi Ranggawarsita. Jakarta: UI-Press, 1988, hlm.
Past, Princeton: Princeton University Press, 320-321; Simuh, “Aspek Mistik Islam Kejawen
2011, hlm. 153-154. dalam ‘Wirid Hidayat Jati,’ dalam Ahmad Rifa’i
31
P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Hasan, ed., Warisan Intelektual Islam Indonesia
Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Telaah atas Karya-Karya Klasik, Bandung:
Jawa. terj. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia Mizan, 1992, hlm. 68-69.
36
Pustaka Utama, 1991, hlm. 127 dan 368. G. Drewes, “Javanese Poems dealing with or
32
S. Soebardi, “Santri-Religious Elements as attributed to the Saint of Bonan, Bijdragen tot
Reflected in the Book of Centini,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 124 (1968), No:
de Taal-, Land-en Volkenkunde 127 (1971), No: 2, Leiden, hlm. 213.
37
3, Leiden, hlm. 349. Ruhaliah, “Analisis Struktur dan Nilai Budaya
33
M. C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa, terj. FX. Naskah Sunda,” Jurnal Sonagar, Vol. 2, 2004,
Dono Sunardi dan Satrio Wahono, Jakarta: hlm. 58.
38
Serambi, 2013, hlm. 36-37. H.R. Hidayat Suryalaga, Filsafat Sunda, Sekilas
34
S. Soebardi, The Book of Cebolek. Leiden: Interpretasi Folklor Sunda, Bandung: Yayasan
KITLV-The Hague-Martinus Nijhoof, 1975. Nur Hidayah, 2010, hlm. 67-70, 82-84.
Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ... 265

tarekat Shatariyah dan pesantren di menyebut bahwa Mustapa juga belajar


Nusantara. pada Nawawi Al-Bantani (1813-1897).42
Seorang ulama arsitek intelektual
2. Mustapa dan Tradisi Sufistik pesantren yang berhasil mendidik
sejumlah ulama pesantren terkemuka,
Latar kehidupan Mustapa tidak
seperti Mahfudz Termas (1868-1919)
terlepas dari dunia pesantren dan
dan Hasyim Asy’ari (1871-1947).43
tarekat. Sejak kecil ia dididik di
pesantren yang dekat dengan jaringan Sementara nama Daghistani dan
tarekat di tatar Sunda. Tidak sedikit dari Abdullah Zawawi dikenal sebagai ulama
keluarga ibunya berasal dari ulama yang berafiliasi ke dalam tarekat
pesantren sekaligus penganut tarekat Naqsabandiyah.44 Mustapa mengaku
seperti KH. Hasan Basri (Kiarakonéng pernah diajarkan kitab Tuh}fah oleh
Suci, Garut) dan Kyai Muhammad Daghistani.45 Kemungkinan adalah
(Cibunut, Karangpawitan Garut).39 KH. Tuh}fatul Muh}ta>j karya Ibn Hajar al-
Hasan Basri (w. 1865) merupakan murid Haytami di mana Daghistani
Kyai Mulabaruk dari Sukawening Garut. memberikan hashiyah (catatan pinggir)
Ia adalah ulama ahli tafsir yang mampu padanya. Sebuah kitab fiqih Shafi’iyyah
menempatkan para muridnya di seluruh yang sampai sekarang masih dijadikan
Priangan setelah mereka belajar dari rujukan di pesantren. Sementara
Mekah lalu ke Madura.40 Sementara ‘Abdullah Zawawi (1266-1343 H)
Kyai Muhammad Garut disebut-sebut dikenal menjadi guru bagi banyak ulama
sebagai salah satu mata rantai yang Nusantara termasuk Hasyim Asy’ari dan
menghubungkan Jawa dan Mekkah. Ahmad Sanusi (1888-1950).46
Meski menguasai bahasa Arab dan fiqih, Sekembalinya dari tanah suci,
tetapi minat utamanya adalah Mustapa berteman dekat dengan C.
mistisisme (tasawuf). 41 Snouck Hurgronje (1857-1936).
Selain Muhammad Garut, Mustapa Kedekatan Mustapa dengannya tidak
berguru pada banyak ulama tarekat dapat diabaikan karena sangat
lainnya, baik Shattariyah maupun berpengaruh terhadap perjalanan hidup
Naqsabandiyah, terutama selama ia Mustapa sebagai seorang elite pribumi
tinggal belasan tahun di Mekah (1860- (hoofd penghulu) di Aceh dan Bandung.
1862, 1869-1873, 1877-1882). Ia belajar
pada Shaykh ‘Abdulh}ami>d Daghista>ni> 42
Michael Laffan, The Makings of Indonesian
Sarawa>ni>, Shaykh ‘Ali> Rahba>ni>, Shaykh Islam, hlm. 149.
‘Umar Sha>mi>, Shaykh Mus}t}afa> ‘Afifi>, 43
Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren:
Sayyid Abu> Bakar al-Sat}a> H}asbulla>h, Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta:
dan ‘Abdulla>h Al-Zawawi>. Snouck LkiS, 2004, hlm. 95-132 dan 197-221.
44
Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah
di Indonesia,Survey Historis, Geografis dan
39
Tini Kartini et.al., Biografi dan Karya Pujangga Sosiologis, Bandung: Mizan, 1992, hlm. 72-73.
45
Haji Hasan Mustapa, Jakarta: Pusat Pembinaan Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung Karya-
dan Pengembangan Bahasa Depdikbud Jakarta, karyana, hlm. 48.
46
1985, hlm. 13; Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah,
jeung Karya-karyana, hlm. 48. Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa
40
Michael Laffan, The Makings of Indonesian Barat, 1900-1950 (Yogyakarta: Mata Bangsa,
Islam, hlm. 152-153 dan 275-276. 2001), hlm. 86. ‘Umar ‘Abd al-Jabbar, Siyar wa
41
C. Snouck Hurgronje, Mekka in the Latter Part Tarajim Ba’dh ‘Ulama’ina fi Al-Qarn al-Rabi’
of the 19th Century, trans. J.H. Monahan with an ‘Asyr li al-Hijrah (Jeddah: Mamlakah al-
introduction by Jan Just Witkam. Leiden: Brill, ‘Arabiyyah al-Su’udiyyah, 1403 H/1982 M), cet.
2007, hlm. 286-287. ke-3, hlm. 140-142.
266 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014

Karyanya tentang tanya-jawab Aceh dan kitab, pusaka dari Jawa yang kemudian
Pidie menunjukkan dukungannya atas diserahkan kepada Snouck yang
kebijakan kolonial pada masanya.47 Ia membayarnya f50 perbulan.53 Banyak di
merupakan salah satu informan pribumi antara yang dikumpulkannya merupakan
yang memberi kemudahan bagi Snouck teks Shattariyah.54 Karenanya bisa
untuk masuk ke sisi terdalam Islam dan dipahami bila dalam beberapa karyanya,
Muslim di Hindia Belanda.48 Mustapa Mustapa seringkali menyebut-nyebut
adalah kelanjutan dari “Musa” lain, dan tarekat ini.55
Snouck adalah “Holle” lain.49 Bagi Kedekatan Mustapa dengan
Snouck, Mustapa menjadi salah satu tarekat Shattariyah juga muncul dalam
tokoh kunci pengetahuan tentang Islam silsilah tarekat tersebut. Salah satunya
lokal termasuk dunia tarekat.50 Snouck dalam manuskrip Shattariyah di
sendiri akhirnya mengaku pernah dibaiat Pamijahan. Mustapa disebutkan sebagai
dalam tarekat. Karyanya De Atjehers Penghulu Bandung yang memiliki
(1893) seakan mengembalikan jejak silsilah tarekat dengan Syeikh Abdul
silsilah tarekat Shattariyah yang Muhyi melalui Haji Abdullah.56 Dalam
ditemuinya di Jawa Barat sampai kepada versi lain, Mustapa juga disebut-sebut
‘Abdurrauf.51 Berkat kedekatannya memiliki hubungan kerabat dengan
dengan Snouck, ia juga pernah diajak Raden Kartinagara atau R.H. Abdullah
ikut berkeliling Jawa dua kali dalam dua Saleh (wafat sekitar 1911-1919)
tahun (Juli 1889-Februari 1891). Ia penyusun Naskah Sajarah Sukapura.
mengunjungi banyak tempat termasuk Kartinagara merupakan guru tarekat
sejumlah pesantren.52 Mustapa mengaku keturunan kelima Syeikh Abdul Muhyi
banyak menyalin berbagai primbon, dan Bupati Sukapura, Rd. Anggadipa III
atau Dalem Sawidak.57
47
Mufti Ali, “A Study of Hasan Mustafa’s Fatwa: Posisi Mustapa cenderung berbeda
It is Incumbent upon the Indonesian Muslims to dengan ulama pesantren yang tetap
be Loyal to the Dutch East Indies Government,” menjadi kelompok independen dan
Journal of the Pakistan Historical Society, April berada di luar sistem kekuasaan
2004, Vol. 52 Issue 2, hlm. 91–122.
48
Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and
Colonial Indonesia, The Umma below the Winds 53
Haji Hasan Mustapa, Bab Adat2 Oerang
(London-New York: Routledge Curzon, 2003), Priangan Djeung Oerang Soenda Lian ti Eta,
hlm. 82-84. Ditjitakna di kantor tjitak Kangdjeng
49
Tentang kedekatan R.H. Muhammad Musa Goepernemen di nagara Batawi, 1913, hlm. 194.
54
(1822-1886) dan K. F. Holle (1829-1896), lihat Michael Laffan, “New Turn to Mecca: Snapshots
Mikihiro Moriyama, Semangat Baru: of Arabic Printing and Sufi Networks in Late
Kolonialisme, Budaya Cetak dan Kesastraan 19th Century Java,” Revue des mondes
Sunda Abad ke-19, trans. Suryadi (Jakarta: KPG, musulmans et de la Mediterranee, 124 (2), 2008:
2005). 113-131; Edi S. Ekadjati, Naskah Sunda:
50
Lihat surat-surat Mustapa, MS. 8952 tertanggal Inventarisasi dan Pencatatan. Bandung:
21 September 1907. Lembaga Penelitian Unpad-The Toyota
51
Michael Laffan, The Makings of Indonesian Foundation, 1988, hlm. 231-232.
55
Islam, hlm. 156. Lihat C. Snouck Hurgronje, The Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung Karya-
Achehnese, 2 Volumes, Leiden: Brill, 1906. karyana, hlm 379 dan 428.
52 56
PH. S. van Ronkel. “Aanteekeningen over Islam Tommy Christomy, “Shattariyah Tradition in
en Folklore in West-en Midden Java, Uit Het West Java: the Case of Pamijahan,” Studia
Reisjournaal van Dr. C. Snouck Hurgronje,” BKI Islamika, Vol. 8, No. 2, 2001, hlm. 74 dan 82;
101 (1942): 311-339. Haji Hasan Mustapa, Tommy Christomy, Signs of the Wali, hlm. 105.
57
Gendingan Dangding Sunda Birahi Katut Emuch Hermansoemantri, Sajarah Sukapura,
Wirahmana Djilid A (Bandung: Jajasan Kudjang, Sebuah Telaah Filologis, Disertasi Universitas
1976), hlm. 49. Indonesia Jakarta, 1979, hlm. 93-96 dan 823.
Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ... 267

kolonial.58 Namun meski demikian, dianggap menjadi ciri keterpelajaran


sebagai ulama birokrat, Mustapa tetap orang Sunda dalam menyerap pengaruh
memiliki hubungan baik dengan budaya Jawa. Dangding merupakan
kalangan pesantren hingga akhir karya sastera tulis yang berisi berbagai
hayatnya. Ini terlihat dalam hal, termasuk cerita (hikayat, roman)
korespondensinya dengan Kyai Kurdi atau uraian agama yang ditulis
(w. 1909) dari Pesantren Sukawangi, berbentuk puisi dengan pola 17 jenis
Singaparna Tasikmalaya.59 Mustapa juga pupuh.61 Seperti halnya macapat di
dekat dengan Ajengan Bangkonol, Jawa, dangding dan wawacan biasa
pengagumnya sekaligus pemilik ditembangkan atau disenandungkan.62
pesantren di daerah Bandung timur. Secara umum, sastra Sunda
Bangkonol juga merupakan mertua M. tradisional seperti dangding banyak
Wangsaatmadja, sekretaris Mustapa.60 dikembangkan oleh kalangan ménak
Sampai di sini, kiranya terlihat Sunda. Dari R.H. Muhammad Musa
latar dan kecenderungan Mustapa (1822-1886), R.A.A. Kusumaningrat
banyak dipengaruhi oleh tradisi tasawuf alias Dalem Pancaniti, Bupati Cianjur
Nusantara terutama tarekat Shattariyah (1834-1863), R.A.A. Martanagara,
termasuk dalam mengembangkan ajaran Bupati Bandung (1893-1918), hingga
martabat tujuh. Di tangan Mustapa, R.A.A. Wiranatakusumah (1888-
ajaran martabat tujuh kemudian menjadi 1965).63 Namun dari sekian banyak
landasan pemikiran di hampir semua menak Sunda tersebut, kiranya Mustapa
dangding sufistiknya. yang lebih kental dengan tradisi sastra
sufistik Sunda. Konsernnya pada
3. Dangding Sufistik Haji Hasan mistisisme Sunda memang
Mustapa mencengangkan bila melihat rentang
waktu disusunnya dangding mistik
Dalam tradisi sastra Sunda, sastra
sufistik Sunda berkembang setelah tersebut (1900-1902).64 Di banding
semakin menguatnya pengaruh Islam di karya prosanya, dangding Mustapa
masih banyak yang belum tersentuh.
tatar Sunda pasca jatuhnya Kerajaan
Dari sekitar 10.000 bait dengan lebih
Sunda pada 1579. Islamisasi melalui
dari 70 judul dangding, belum
jalur Cirebon dan Banten yang didukung
seluruhnya ditransliterasi dan
Jawa-Mataram berdampak pada
dipublikasikan. Sebagian naskahnya
masuknya pengaruh budaya Jawa
masih tersimpan di UB Leiden.65 Selain
terhadap tradisi sastra Sunda. Sastra
koleksi UB Leiden, naskah salinan karya
Sunda tradisional berbentuk dangding
atau guguritan atau juga cerita berupa dangding Mustapa juga terdapat di
wawacan semula merupakan karya sastra 61
Ma’mur Danasasmita, Wacana Bahasa dan
tulis Jawa-Mataram yang berkembang Sastra Sunda Lama (Bandung: STSI Press,
sekitar abad ke-17. Dangding bisa 2001), hlm. 171-172.
62
Ajip Rosidi, Mencari Sosok Manusia Sunda
58
Jajat Burhanudin, Islamic Knowledge, Authority (Bandung: Pustaka Jaya, 2010), hlm. 30-31 dan
and Political Power: The ‘Ulama in Colonial 194.
63
Indonesia, Leiden University, 2007, hlm. 117. Nina H. Lubis, Kehidupan Menak Priangan
59
Haji Hasan Mustapa, Balé Bandung. Bandung: 1800-1942 (Bandung: Pusat Informasi
Rahmat Cijulang, 1984. Kebudayaan Sunda, 1998), hlm. 240-241.
60 64
Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung Karya- Ajip Rosidi ed., Ensiklopedi Sunda, Alam,
karyana, hlm. 8-9; Ajip Rosidi, Hurip Waras, Budaya, dan Manusia (Jakarta: Pustaka Jaya,
Dua Panineungan, Bandung: Kiblat Buku 2003), hlm. 263.
65
Utama, 2001, cet. ke-2, hlm. 118. Edi S. Ekadjati, Naskah Sunda, hlm. 213.
268 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014

Perpusnas Jakarta dan koleksi individu. batin orang Sunda begitu mudahnya
Salah satunya adalah hasil salinan M. keluar secara spontan. Mustapa kerap
Wangsaatmadja, sekretaris Mustapa. menggunakan banyak metafor alam
Hasil suntingannya itu diberi judul Aji kesundaan dalam dangding-nya. Ia
Wiwitan I-IV. Sayangnya menggambarkan hubungan khalik-
Wangsaatmadja menyalinnya ke dalam makhluk dalam proses pencarian diri
aksara Roman dan kemudian naskah asli yang dijejakkan dalam bingkai tradisi
tulisan tangan Mustapa sufistik.69 Metafor alam kesundaan juga
66
dimusnahkannya. Salah satu dangding tampak terlihat dalam penafsirannya
Mustapa hasil salinan Wangsaatmadja atas ajaran martabat tujuh sebagai poros
terdapat dalam karya prosa Adji inti dari dangding-nya.
Wiwitan Martabat Tujuh. Karya ini
umumnya berisi komentar-komentar
singkat yang menggambarkan ajaran 4. Martabat Tujuh dalam Dangding
martabat tujuh yang tidak beranjak dari
Dalam salah satu dangding-nya,
tema besar tasawuf Nusantara. Namun Pucung Lutung buntung naek kana pager
di dalamnya ternyata juga terdapat gintung (Pucung, Monyet buntung naik
empat judul puisi dangding Kinanti, ke atas pagar gintung), Mustapa
yakni Kinanti Disusul Teu Manggih menggambarkan apa yang
Tungtung (20 bait); Dumuk Batur dimaksudkannya dengan martabat
Dumuk Gunung (Kinanti Munggah Haji) (alam) tujuh.
(14?); Nya Nyingkur Wujud ku Batur
(3); dan Asal ge Balung Sabalung (8).67 34. Alam tudjuh nu tilu bagian itu
Secara struktur, rancang bangun
Ahadiat wahdat wahidiat kabéh
dangding Mustapa memiliki kekhasan Lamun nelah di aing ngan bobodoan
terutama pada diksi yang yang seringkali
tidak terduga, permainan mengolah
Alam tujuh itu tiga bagian
bunyi kata yang bersuara nyaris sama,
Ahadiat, wahdat, wahidiat, semua
dan struktur bait-baitnya yang kerapkali
Bila disebut ada padaku sekedar
menggunakan sampiran sebagai
bohongan
pembuka layaknya rajah dalam pantun
Sunda.68 Dangding Mustapa juga 35. Anu opat bagian aja di mahluk
sebenarnya bukan sekedar konstruksi Njawa misal djasmani insanan kabéh
verbal tetapi juga konstruksi tembang Lebah dieu lahir njembah kabatinan70
musikal. Terjadi persenyawaan antara
ekspresi spiritual dengan cita rasa seni
Yang empat bagian ada di makhluk
manakala dangding dialunkan. Biasanya
Nyawa (arwah), mitsal, jasmani (ajsam),
dengan iringan kecapi atau instrumen
insan (kamil), semua
musik lainnya, citra dan simbolisme Di sini lahir menyembah batin
lokal yang bersumber dari kekayaan

66
Tini Kartini et.al., Biografi dan Karya Pujangga
69
Haji Hasan Mustapa, hlm. 39. Jajang A Rohmana, ‘Sundanese Sufi Literature
67
Haji Hasan Mustapa, Adji Wiwitan Martabat and Local Islamic Identity: A Contribution of
Tudjuh, hlm. 21-22; 37-38; 57; dan 66. Haji Hasan Mustapa’s Dangding.’ Journal Al-
68
Hawe Setiawan, “Dangding Mistis Haji Hasan Jamiah, Vol. 50, No. 2, hlm. 317.
70
Mustapa,” Makalah Seri Kuliah Umum Islam Haji Hasan Mustapa, Gendingan Dangding
dan Mistisime Nusantara di Teater Salihara, 4 Sunda Birahi Katut Wirahmana Djilid A, hlm.
Agustus 2012, hlm. 10. 183.
Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ... 269

Mustapa sebagaimana Al- ‫وان ذلك الوجود مراتب كثيرة المرتبة‬


Burhanfuri dan juga Abdul Muhyi, ‫االولى مرتبة الال تعين واالطالق والذات‬
menyebut bahwa martabat tujuh terdiri ‫البحت البمعنى ان قيد االطالق ومفهوم سلب‬
dari ahadiyat, wahdat, wahidiyat, alam ‫التعين ثابتان في تلك المرتبة بل بمعنى ان ذلك‬
arwah (nyawa), alam mitsal, alam ajsam ‫الوجود في تلك المرتبة منزه عن اضافة‬
(jasmani), dan insan kamil (insanan). ‫النعوت والصفات ومقدس عن كل قيد حتى قيد‬
Tiga martabat pertama ada pada Tuhan, ‫االطالق ايضا وهذه المرتبة تسمى بالمرتبة‬
empat sisanya di makhluk. Ketiga wujud ‫االحدية وهي كنه الحق سبحانه وتعالى وليس‬
pertama Tuhan itu bersifat qadim (tak .‫فوقها مرتبة اخرى بل كل المراتب تحتها‬
diciptakan, terdahulu), sementara ‫والمرتبة الثانية مرتبة التعين االول وهي‬
keadaan hamba Allah adalah muhdats ‫عبارة عن علمه تعالى لذاته وصفاته ولجميع‬
(diciptakan, baru).71 Basis ajaran ‫الموجودات على وجه االجمال من غير امتياز‬
martabat tujuh bermula dari asumsi ‫بعضها عن بعض وهذه المرتبة تسمى بالوحدة‬
bahwa Tuhan adalah Wujud Mutlak. Ia ‫ والمرتبة الثالثة مرتبة‬.‫والحقيقة المحمدية‬
lalu mewujud ke alam nyata melalui ‫التعين الثاني وهي عبارة عن علمه تعالى لذاته‬
tujuh tingkatan ‘emanasi’ atau tajalli. ‫وصفاته ولجميع الموجودات على طريق‬
Tingkatan ahadiyah, wahdat, wahidiyat ‫التفصيل وامتياز بعضها عن بعض وهذه‬
merupakan tiga alam tanpa wujud luar, ‫المرتبة تسمى بالوحدانية وبالحقيقة االنسانية‬
sedang empat sisanya (arwah, mitsal, ‫فهذه ثالث مراتب كلها قديمة والتقديم والتأخير‬
ajsam, insan kamil) sebagai wujud luar.72 .‫عقلي ال زماني‬
Karenanya, bagi Mustapa tiga martabat ‫والمراتب الرابعة مرتبة عالم االرواح‬
pertama tidak bisa benar-benar ada pada ‫وهي عبارة عن االشياء الكونية المجردة‬
diri manusia secara lahir. “Bohong saja .‫البسيطة التي تظهر على ذواتها وعلى امثالها‬
bila diri lahirnya mengaku mendapatkan ‫والمرتبة الخامسة مرتبة عالم المثال وهي‬
ketiga alam ketuhanan tersebut,” ‫عبارة عن االشياء الكونية المركبة اللطيفة التي‬
demikian katanya. Karena ketiganya ‫التقبل التجزى والتبعيض وال الخرق وااللتثام‬
pada dasarnya bersifat batin. Begitu pun ‫والمرتبة السادسة مرتبة عالم االجسام وهي‬.
‫عبارة عن االشياء الكونية المركبة الكشيفة‬
keempat alam sisanya hanya terdapat di
‫ والمرتبة السابعة‬.‫التي تقبل التجزى والتبعيض‬
alam makhluk, yakni alam lahir. Sebuah
‫المرتبة الجامعة لجميع المراتب المذكورة‬
alam yang tidak bisa terlepas dari alam
‫الجسمانية والنورانية والوحدة والواحدية والهي‬
batin ketuhanan sebagai sumbernya. 73
.‫التجلي االخر واللباس االخر وهي االنسان‬
Gambaran Mustapa tentang
Al-Burhanfuri tampak berusaha
martabat alam tujuh tersebut tidak
menjembatani metafisika alam wujud ke
diragukan lagi mencerminkan pengaruh
arah ajaran wahdatul wujud yang lebih
ajaran metafisika wujud yang bersumber
ortodoks. Tak ada kecenderungan
dari Al-Burhanfuri. Dalam karya
panteisme heterodoks di sini. Ia berada
singkatnya, Tuh}fah al-Mursalah ila> Ru>h}
pada jalur ortodoksi wahdatul wujud di
al-Nabi>, Al-Burhanfuri menjelaskan apa
tengah heterodoksi tafsir atas ajaran
yang dimaksudkannya dengan tujuh
wahdatul wujud Ibn ‘Arabi dan Al-Jili.
martabat wujud tersebut:
Ia memberikan tafsir ortodoks atas
gradasi wujud Ibn ‘Arabi terutama
71 dalam Fus}us> } al-H}ikam dan Futu>ha} t> al-
Aliefya M. Santrie, “Martabat Alam Tujuh,
Suatu Naskah Mistik Islam dari Desa Karang Makkiyah serta Al-Jili dalam Al-Insa>n
Pamijahan,” dalam Ahmad Rifa’i Hasan, ed., al-Ka>mil fi> Ma’rifat al-Awa>’il wa al-
Warisan Intelektual Islam Indonesia (Bandung:
Mizan, 1992), cet. ke-3, hlm. 114.
72 73
A.H. Johns, The Gift Adressed to the Spirit of A.H. Johns, The Gift Adressed to the Spirit of
the Prophet, hlm. 7. the Prophet, hlm. 130-131.
270 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014

Awa>khir.74 Ibn ‘Arabi dikenal sebagai Lautan Ajsam, kapirasa jadi hiji, perbawa
perintis ajaran wahdatul wujud yang ti Ahadiyat, lima laut dumukna di jisim
hiji;
menuangkan teori tajalli-nya ke dalam Lautan Kainsanan, taya luhur taya
tiga martabat: ahadiyat, wahidiyat dan handap, asal sampurna walatra, béda
tajalli syuhudi. Sedang Al-Jili soteh pangersa panarimana.76
menuangkannya ke dalam lima Mustapa memberikan tafsir
martabat: uluhiyah, ahadiyah, martabat tujuh dari metafisika wujud ke
wahidiyah, rahmaniyah dan rububiyah.75 arah martabat rohani. Alam Ahadiyat
Ia menegaskan keesaan mutlak Tuhan dipahaminya sebagai rasa ketunggalan
yang tidak mengalami perubahan dan (Tuhan dan makhluk) secara batin dalam
berbeda dengan makhluk. Makhluk wujud jasad individual. Alam Wahdat
diciptakan melalui tajalli-Nya dalam berada pada tahap saling merasa dan
tujuh martabat wujud. Semuanya mengambang, masih berhitung adanya
berkumpul dalam wujud alam insan dua esensi yang menjadi satu. Alam
kamil. Nabi Muhammad kiranya Wahidiyat merasa banyak bilangan,
merupakan puncak dari personifikasi terasa menjadi satu setelah menghitung
insan kamil. arwah. Banyak ruh tetapi rasa satu.
Mustapa sebagai mistikus Sunda Alam Arwah berarti banyak jasad tetapi
kemudian menggunakan ajaran ini rasa satu, materialnya jasad yang banyak
sebagai pijakan dalam meningkatan tetapi rasa satu. Alam Mitsal berarti
martabat rohani. Ia merinci apa yang banyak jasad tetapi serupa karena
dimaksudnya dengan martabat alam alamnya satu. Alam Ajsam berarti rasa
tujuh tersebut sebagai martabat rohani satu bawaan dari Ahadiyat, lima lautan
sufistik. Ia menjelaskan secara singkat wujud sebelumnya tinggal di jasad satu.
apa saja yang dirasakan saat berada Semua berujung pada Alam Insan kamil
dalam situasi setiap martabat dengan yang berarti tiada atas, tiada bawah,
menyebutnya sebagai lautan martabat: sumber/asal semua jelas sempurna,
Lautan Ahadiyat mirasa katunggalan, di perbedaan karena kehendak yang
bukurna lautan Ajsam, mirasa jisim sahiji; menerimanya.
Lautan Wahdat, mirasa pada mirasa,
balukarna ngambang rasa, milang dua jadi
Masih dalam karya prosanya, Aji
hiji, jisim dua jadi hiji; Wiwitan Martabat Tujuh, Mustapa
Lautan Wahidiyat, mirasa loba bilangan, merinci apa yang dimaksud ketujuh
kapirasa jadi hiji, balukarna milang martabat itu. Ia menarik ajaran tersebut
nyawa, loba-loba rasa hiji; dari metafisika ketuhanan yang tanazzul
Lautan Arwah-na, jisim loba-loba rasa
hiji, dibukuran ku jisimna, loba-loba rasa
(menurun) dari Tuhan ke makhluk
hiji; menjadi suatu kondisi ketika sufi
Lautan Misal, loba jisim hiji rupa, asalna mencari kesejatian diri secara taraqqi
alam sahiji; (naik). Ini bisa dibandingkan dengan
Gelaran Sasaka di Kaislaman yang
cenderung mengembangkan fase-fase
74
Lihat Ibn ‘Arabi, Futu>ha} t> al-Makkiyyah, Tahqiq rohani (maqamat) yang berasal dari al-
Uthman Yahya, Kairo: Al-Hay’at al-Misriyyah Jili. Mustapa menyebut fase “Islam-
al-‘Ammah li al-Kitab, 1972; ‘Abdul Karim Al- iman-soleh-ihsan-sahadah-sidikiyah-
Jili, Al-Insa>n al-Ka>mil fi> Ma’rifat al-Awa>’il wa
al-Awa>khir, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
75
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam
Konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Jakarta:
76
Rajawali Press, 1983, hlm. 74-75; Yunasril Ali, Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung Karya-
Manusia Citra Ilahi, hlm. 129. karyana, hlm. 308.
Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ... 271

kurbah.”77 Ia sebenarnya merupakan Insan Kamil sampurna taya kakurang,


lanjutan dari martabat tujuh. Bila lantaran ngala sorangan ku pitulung
Ahadiyat, jatnika ku sangsarana.79
martabat tujuh merupakan tajalli Tuhan
Pengaruh Al-Burhanfuri dan ulama
secara tanazzul (turun) ke arah insan
Nusantara seperti Al-Raniri, Abdurrauf
kamil sebagai citra Tuhan, maka
Al-Jawi al-Sinkili dan Abdul Muhyi
maqamat dalam Gelaran merupakan
tampak jelas pada interpretasi Mustapa
perjalanan manusia secara taraqqi (naik)
tersebut. Mustapa menegaskan apa yang
ke arah pembentukan insan kamil.78
dimaksud ketujuh martabat itu. Ia
Mustapa tampak berusaha memainkan
kembali menarik siklus ajaran tersebut
martabat tujuh secara turun-naik
dari metafisika ketuhanan yang tanazzul
layaknya sebuah ‘siklus spiritual.’
dari Tuhan ke makhluk menjadi suatu
Sebuah perjalanan dirinya sebagai
kondisi ketika sufi mencari kesejatian
makhluk yang berusaha kembali ke
diri secara taraqqi dan mengalami
kesejatian asal diri dalam mewujudkan
‘penyatuan’ batin dengan Tuhan.
citra Tuhan di bumi.
Ahadiat patunggalan, asal suwung bakal Mustapa sebagaimana Al-
suwung, la ta’yun, taya bukur anu ti Burhanfuri cenderung memahami
naktu gaib, ditapaan hayang tepi ka metafisika wujud tersebut secara
nyatana, pakeun ari kasengkek, nu baris ortodoks yang ditarik ke arah pencarian
nulungan ku élmu nur suhud, balukarna diri. Baginya, martabat tujuh bermakna
hayang murbawisesa, taya
kaseubeuhanana;
pencarian spiritualitas batin dalam
Wahdat patunggalan abdi lawan gusti, bingkai bahasa metafor dan simbol.
abdi-abdi nya manéhna kénéh, gusti-gusti Tidak ada makna panteisme heterodoks
nya ahadiyat, nu gaib rék dipuntangan, sebagaimana disangkakan banyak orang
manéhna henteu bijil ti kaabdian saha anu terhadapnya. Sebuah ajaran tasawuf
kasukman purbaning gusti, karasa ku
pitulungna; yang meyakini bahwa hanya ada satu
Wahidiyat patunggalan ka ajsam batur wujud semata, yakni Wujud Allah,
abdi aing abdi, hakékat Muhammadiyah, sedang selain-Nya hanyalah ilusi.80
saha anu katiban sukma, nya éta anu Mustapa tidak meyakini bahwa realitas
pangunggulna, anu matak manusa ini tiada, tidak juga abadi dan berada
martabat tujuh Wahdatullah, Wahadiyat
Muhammad, Wahdat piabdieun, ngaula ka pada Tuhan, tetapi menganggap bahwa
wahdatul Allah; ia tidak bisa dipisahkan dari Tuhan dan
Arwah patunggalan, dunya nyawa sangat bergantung pada-Nya.
kaulaaneun ku jasad, unggal anu Karenanya, kita tidak sepenuhnya bisa
sampurna samahina ka nu di dunya, mengatakan bahwa Mustapa meyakini
balukarna pupuja ka nu sampurna,
ngabantu di kawahdiyatan, sugan nyukma ajaran wahdat al-wujûd secara ekstrem.
sampurna ngawaris kajatnikaan; Ia bahkan berani membantah
Misal patunggalan nu unggul jadi gustina, kesalahfahaman orang dalam karyanya
unggal jisim anu badag nyembah kana Inja>z al-Wa’d fi> It}fa>’ al-Ra’d (Or. 7205)
misal, balukarna taya kaseubeuhanana, terkait ‘surat kaleng’ yang ditujukan
pupurba asa ngawula ku pangrasa, ana
piur jadi nafsu, teu ngukur tangtung
kepada dirinya diduga dikirimkan oleh
sorangan;

77
Haji Hasan Mustapa, Aji Wiwitan Gelaran
79
Sasaka di Kaislaman, Kenging ngumpulkeun Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung Karya-
sarta ngatur Wangsaatmadja sareng para karyana, hlm. 309.
80
panitiana, n.p. n.d.; “Syair Mistis Bagawan Sirna Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-Taftazani, Sufi
Dirasa,” Tempo, 16 September 2012, hlm. 68. dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’
78
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, hlm. 144-145. ‘Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 200.
272 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014

Sayyid Uthman sekitar 1902.81 Ia ternyata begini begitu


dituduh menyimpang dari ajaran Islam yang hanyut tinggal hanyut
karena cenderung mengabaikan syariat. hanyutnya pribadi
Sebuah isu yang tidak tepat dilihat dari mengambang ke alun-alun
arus besar pemikiran mistiknya yang ambangan yang sempurna
cenderung rekonsiliatif. Dalam dangding kembali ke kebahagiaan diri
Sinom Piwulang Si Runcangkundang, aduh biung kesempurnaan sembahyang
Mustapa menceritakan pengalaman
tersebut. Ia membantah tuduhan kafir Sambéang mustika urang
dan zindik dengan menegaskan sikapnya kabeuki ti barang éling
sebagai orang yang beuki ti barang eling baheula djadi kalangkang
terhadap syariat (salat dan puasa): geusan mihajang miéling
éling2 geus éling
Bédja madjarkeun kaula singhoréng tungguling tangtung
geus leungit elmuning santri tangtung geusan rumingkang
geus ngaruksakkeun agama djadi kabeuki aing
djadi kapir djadi djindik aing sirna bagdja teu tjara saria.82
djindikna djadi mungkir
kana tutur lampah rasul Sembahyang perhiasan kita
kana salat puasa Hobi sejak mulai eling
ana malik kula njeri Dulu menjadi bayangan
kahuruan ngadjawab djeung handaruan Agar berkeinginan, agar eling
Eling-eling sudah eling
Isu bahwa Aku Ternyata tunggulan eksistensi
sudah hilang ilmu santri Eksistensi tempat hidup
sudah merusak agama Menjadi kesukaanku
jadi kafir jadi zindik Aku sirna bahagia tidak dengan cara
zindiknya menjadi mungkir yang sama
pada sabda dan amalan rasul
pada salat puasa Sebagaimana sufi Sunni lainnya,
sebaliknya Aku merasa sakit hati tasawuf Mustapa kiranya menekankan
bernafsu menjawab penuh semangat pada tasawuf rekonsiliatif yang
menekankan misteri ketersembunyian
Handaruan djeung susumbar Tuhan yang hanya bisa diketahui melalui
aeh naha kitu teuing ciptaan-Nya. Ini misalnya terjadi juga
kitu kutan kitu kutan pada tasawuf Hamzah Fansuri.83
nu palid tinggaleun palid Karenanya dalam banyak dangding-nya
palidna nja pribadi Mustapa menggunakan ragam simbol
geus ngalun ka alun-alun
alunan nu sampurna 82
Haji Hasan Mustapa, Dangding Djilid Anu
malik ka bagdjaning diri Kaopat, stensilan kenging ngusahakeun Ajip
aduh biang kasampurnaning sambéang Rosidi, Tjihideung, Oktober 1960, hlm. 53.
83
Syed Muhammad Naguib Al-Attas, The
Semangat disertai sesumbar Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur:
mengapa kok begitu University of Malaya Press, 1970; Karel
Steenbrink, “Qur’an Interpretations of Hamzah
Fansuri (CA. 1600) and Hamka (1908-1982): A
81
Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung Karya- Comparison,” Studia Islamika, Vol. 2, No. 2,
karyana, hlm. 434 dan 494. 1995, hlm. 84.
Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ... 273

dan metafor yang tetap membedakan Sapanjang néangan kidul


antara dirinya dengan Tuhan meski tidak kalér deui kalér deui
terpisahkan. Ia membedakan antara aren sapanjang néangan wétan
dengan caruluk, iwung dan bambu, kulon deui kulon deui
bambu-haur, bambu-angklung, duwegan- sapanjang néangan aya
kitri, beras-padi, sirung-benih, euweuh deui euweuh deui85
tongtolang dengan nangka, hayam dan
endog (ayam dan telur) dan yang Sepanjang mencari selatan
lainnya.84 Pembedaan khalik-makhluk hanya utara kujumpa
menjadi ciri dari upaya tafsir ulama sepanjang mencari timur
Nusantara atas ajaran wahdat al-wujud. hanya barat kujumpa
Umumnya ulama sufi Nusantara sepanjang mencari ada
cenderung mengajukan upaya hanya tiada kujumpa86
rekonsiliasi tasawuf (neo-sufisme).
Mustapa kiranya juga sangat Mustapa kiranya membedakan diri
dipengaruhi tema besar tasawuf abad ke- dan Tuhan dalam konteks wahdat al-
17 dan 18 ini. wujûd, yakni sebagai gambaran
Dalam salah satu puisinya yang pertemuan aspek manusia (nasût) dan
paling populer, Mustapa memainkan aspek ketuhanan (lahût) dalam dirinya.
siklus turun-naik dari gradasi wujud ke Jarak keduanya dianggap tak terbatas.
martabat rohani tersebut dengan Suluk merupakan sebuah perjalanan dari
menggunakan metafor tangtung-aing, nasût ke lahût. Ia menggambarkan
saha-aing, beja-yakin, kidul-kaler, kulon- percariannya dari nasut ke lahut, dari
wetan, maneh-aing, atau aya-euweuh. eksistensi ke Aku, dari siapa ke Aku,
Ini misalnya tampak dalam puisi Kinanti dari selatan ke utara, dari timur ke barat,
Puyuh Ngungkung dina Kurung: dan dari ada ke tiada. Proses kembali
diri ke tempat beranjaknya semula. Ia
Ngalantung néangan tangtung merasakan sudah sampai pada tempat
Aing deui aing deui itu. Ia ibarat siklus, dari Ahadiyat ke
Sapanjang néangan saha insan kamil, dari insan kamil ke
Aing deui aing deui ahadiyat.
Sapanjang néangan beja Dirinya (yang terselang) menjadi
Yakin deui yakin deui manusia disadari berasal dari Tuhan dan
harus kembali ke Tuhan. Ia harus
Mencari-cari pijakan eksistensi mengalami penyatuan eksistensi kembali
hanya Aku kujumpa (wahdat al-wujûd) sehingga mampu
Sepanjang mencari siapa memancarkan mutiara eksistensi-Nya
hanya Aku kujumpa yang tersembunyi di dunia (kanzan
Sepanjang mencari berita makhfiyyan), menunjukkan kebesaran-
hanya yakin kujumpa Nya, dan mengemban sifat-sifat Ilahi.
Kehendaknya harus menyatu dengan
kehendak Tuhan. Inilah pencarian lahût

84 85
Jajang A Rohmana, “Makhtutat Kinanti [Tutur Haji Hasan Mustapa, Gendingan Dangding, hlm.
teu Kacatur Batur]: Tasawwuf al-‘Alam al- 140; Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung
Sundawi ‘ind al-Hajj Hasan Mustafa (1852- Karya-karyana, hlm. 96-97.
86
1930),” Studia Islamika, Vol. 20, No. 2, 2013: Terjemah bait terakhir dipinjam dari Teddy AN
325-375. Muhtadin.
274 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014

dalam nasût. Layaknya logika mengungkapkan kesadaran dirinya akan


paradoksal antara bentuk (form) dan isi sumber metafisika ketuhanan (wahdatul
(essence). Pada aspek ketuhanan wujud/tawhid al-wujud) yang menjadi
terdapat aspek manusia, dan demikian titik pijak pencarian kesejatian diri.
pula sebaliknya.87 Mustapa sebagaimana Ibn ‘Arabi, Al-
Baginya ketika ekstase terjadi Jili, Al-Burhanfuri dan umumnya ulama
tidak pernah sampai kehilangan aspek Nusantara abad ke-17, cenderung
manusia atau pun kehilangan aspek menginterpretasikan ajaran martabat
ketuhanan. Tidak ada yang lenyap, tujuh bukan semata-mata sebagai
masih manusia dan masih Tuhan. sintesis tajalli Ilahi, tetapi juga
Penyatuan eksistensial inilah yang merupakan hasil upaya manusia dalam
seringkali disalahpahami oleh para meningkatkan martabat rohani menuju
ulama zahir) dengan menuding secara hakikat spiritual alam sejati (fana> fi> al-
panteistik bahwa ia betul-betul melebur h}aqq).89 Mustapa menggambarkan
dan lenyap. Dalam dangding ini, ia pencarian itu dengan ungkapan dan
menggambarkannya dengan perasaan metafor yang luar biasa kaya akan
hilangnya objek, yang ditemukan hanya imajinasi alam dan budaya Sunda. Ia
aku sang ego (aing) yang sudah tiada menggambarkan pencarian hakikat itu
lagi jarak, bukan lagi hamba (‘abd). dari eksistensi ke Aku, dari selatan ke
Karenanya kiranya tepat bila Johns utara, dari timur ke barat, dari ada ke
mengatakan bahwa ortodoksi ajaran tiada. Ia juga membuat metafor
martabat tujuh terletak pada beberapa pencarian itu dari ayam ke telur, dari
poin penting: 1) Tuhan merupakan bambu ke angklung, dari caruluk ke aren
sumber segala sesuatu; 2) Tiada apapun dan banyak lainnya.
selain Tuhan yang bereksistensi dengan Upaya pencarian tersebut menurut
kehendaknya sendiri; 3) Setiap sesuatu Al-Jili merupakan proses kembali ke
yang berbeda satu sama lain (mufas}s}al) hadirat Ilahi dengan menyusuri tajalli-
adalah tidak sama dengan Tuhan, tajalli hingga sampai pada Yang
meskipun sebelum penciptaan semuanya Mutlak.90 Al-Kurani dalam Ith}af> al-
adalah satu di dalam Diri-Nya. Penting Dhaki> mengutip Al-Qushairi,
dicatat di sini, bahwa melalui martabat menjelaskannya sebagai penyingkapan
tujuh tidak ada penyimpangan dalam dalam situasi ketika seorang hamba
doktrin wahdatul wujud. Ia menjadi lenyap di hadapan Allah melalui fana>’
elemen utama dalam pemikiran sufi dan dari dirinya sendiri, hilang perasaan dan
menolak seluruh antinomian dan gerakannya, akibat dominasi al-Haq
kecenderungan ekstremis.88 Swt. atas dirinya dengan kehendak-Nya,
dan ini adalah keadaan di mana
5. Nepi kana urut indit (Sampai ke penghujung hamba kembali ke
tempat beranjak semula) permulaannya, sehingga dia berada
Sebagaimana dijelaskan di atas, dalam keadaan seperti sebelumnya.91 Ia
dalam karya prosanya Aji Wiwitan merasakan kembali eksistensi diri yang
Martabat Tujuh, Mustapa terus naik ke puncak awal kejadian

87 89
Jajang Jahroni, “The Life and Mystical Thought Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam,
of Haji Hasan Mustafa (1852-1930),” hlm. 62- (Indiana: World Wisdom, 2002), hlm. 21.
90
63. Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, hlm. 143.
88 91
A.H. Johns, The Gift Adressed to the Spirit of Oman Fathurahman, Ithaf Al-Dhaki, hlm. 118-
the Prophet, hlm. 7. 119.
Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ... 275

sebagai tujuan akhir pencarian sufistik dengan berpijak pada ajaran


kesejatian (insan kamil). martabat tujuh.
Insan kamil merupakan tingkatan
terakhir dari martabat tersebut. Ia
mencerminkan rahasia terdalam Tuhan 1. Asal gé balung sabalung,
(al-insa>n sirri>).92 Gradasi metafisika asal gé daging sadaging,
wujud mencerminkan cara Tuhan asal sungsuam sungsuam,
menunjukkan rahasia cinta-Nya dan asal gé getih sagetih,
eksistensi-Nya. Ia menjadi perwujudan kuma kasonoanana,
harta karun tersembunyi Tuhan agar Ia ka nu hiji ti sasari.
dikenal dan diketahui (kuntu kanzan
makhfiyyan fakhalaqtu al-khalq Asal juga setulang,
fa’arrafu>ni>). Tuhan yang tersembunyi asal juga sedaging,
dalam gedong samar dalam bahasa asal juga sesumsum,
Mustapa, lalu mengenalkan diri-Nya asal juga sedarah,
melalui penciptaan makhluk melalui tergantung kesukaannya,
93
gradasi wujud martabat tujuh. pada yang tunggal seperti biasa.
Karenanya, manusia insan kamil
bisa mencapai kesempurnaan ketika 2. Asal gé hayun sahayun,
melalui pengetahuan atas dirinya bisa asal gé hurip sahurip,
mencapai pengetahuan Ketuhanan dan asal gé hayat sahayat,
memahami dari mana ia berasal dan asal gé jati sajati,
hendak ke mana ia kembali (man ‘arafa kuma kasonoanana,
nafsah faqad ‘arafa rabbah). Ia adalah asal lautan sahiji. 95
mikrokosmos dan berisikan lima
tingkatan di atasnya. Ia adalah titik Asal juga hayun (hidup) sehayun,
kembali di mana pemikiran tentang asal juga hidup sehidup bahagia,
Tuhan yang sudah melewati berbagai asal juga hayat sehayat,
tingkatan ini menuju wujud material, asal juga jati sejati,
kembali pada kemutlakan diri-Nya.94 tergantung kesukaannya,
Mustapa mengungkapkan proses asal satu lautan.
kembali itu dalam sebuah dangding
pendek berjudul Kinanti Martabat Tujuh Mustapa mencoba mengungkapkan
Hakekat Muhammadiyah sebagai perasaan dirinya yang kembali ke dalam
senandung tembang spiritual. Sebuah sebuah situasi batin ketuhanan yang
puisi yang mengekspresikan perasaan berpuncak pada asal kesejatiannya di
terdalam seputar pengalaman batin alam batin ketuhanan. Mustapa
menggunakan metafor tubuh (balung,
92
daging, sungsuam, getih) untuk
Tentang al-insa>n sirri>/Asmarandana Gilisir Jadi memulangkan kesadarannya. Ia
Kinanti, lihat dangding Mustapa lainnya dengan
judul Al-Insa>nu Sirri,> dimuat dalam Haji Hasan menyadari bahwa dirinya semula berasal
Mustapa, Gendingan Dangding Sunda Birahi dari Yang Mutlak, setulang, sedaging,
katut Wirahmana, hlm. 90-100. Tema ini sesumsum, dan sedarah. Sebuah metafor
dibicarakan pula dalam Kinanti Tutur teu kesatuan mutlak yang tiada terbagi. Ia
Kacatur Batur, MS. Or. 7875.
93
Haji Hasan Mustapa, Adji Wiwitan Martabat
95
Tudjuh, hlm. 2. Haji Hasan Mustapa, Adji Wiwitan Martabat
94
A.H. Johns, The Gift Adressed to the Spirit of Tudjuh, hlm. 66-67. Ajip Rosidi, Haji Hasan
the Prophet, hlm. 7. Mustapa jeung Karya-karyana, hlm. 307-308.
276 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014

merasa lenyap (fana’) dalam dominasi


Tuhan. Ia menyebut keadaan ini dengan Bagi Mustapa, makna “nepi/balik
sehidup (hayun, hurip, hayat) yang kana urut indit” merupakan siklus
menegaskan keadaannya semula yang puncak pencapaian kesadaran manusia
senafas dan sejiwa dengan Yang Mutlak. akan hakikat kesejatian diri. Sebuah
Ia menutupnya dengan metafor asal perasaan batin manusia insan kamil saat
lautan sahiji. Sebuah ungkapan berada kembali ke alam ahadiyat.
kesadaran tentang asal muasal diri yang Bahkan ketika menafsir ayat tentang
bersumber dari Yang Tunggal. peralihan kiblat shalat (QS. Al-Baqarah
Perasaan ‘kembali kepada asal [2]: 142-145), Mustapa menjelaskannya
kesejatian diri’ di alam ahadiyat tersebut sebagai simbol kembalinya spiritualitas
kiranya menjadi kata kunci dari banyak kenabian Muhammad menuju ke
dangding dan prosanya. Millie kesejatian diri. Secara historis, ayat
menyebutnya “arriving at the point of tersebut diturunkan ketika Nabi berusia
departing.”96 Ia di banyak tempat dalam lebih dari empat puluh, sebuah usia yang
karyanya ia mengungkapkannya: mencerminkan kematangan spiritualitas.
Sebuah cermin saat di mana seseorang
Kalinglung lamun kalarung menyadari tempat ia semula berasal.
tinggaleun dituang bumi Dalam naskah Sinom Cat Mancat
beuki anggang beuki beurang ka Bale Pulang (Or. 7876), Mustapa
beuki leungit beuki leungit lebih jauh menggambarkan keadaan
mun kurang amit mundurna setelah “balik kana urut indit” menuju
nepi kana urut indit97 fase kedelapan sesudah martabat tujuh.
Ia menyebutnya geus ripuh di alam
Bingung bila tersesat tujuh, kadalapan ngalayang di
Tertinggal dimakan tanah pamulangan.
makin berjarak makin siang
makin hilang makin hilang 3. Pakandangan sasampalan
kalau kurang pamitannya munding mareuting di munding
sampai pada tempat kembali sirna pangawulan rasa
rasaning pirbadi aing
Ari ieu kiblat nu dibalikkeun supaya aing kari nunggeling
kanyahoan nu araranut ka Rasulullah, geus ripuh di alam tujuh
malik ati ka wiwitan jeung kasebut kadalapan ayeuna
malik kana urut indit. Jadi basa: Ti dinya indit mawa geusan balik
nya bijil ka dinya surupna.98 kadalapan ngalayang di pamulangan
96
Julian Millie, “Arriving at the Point of Tempat kembali di padang rumput
Departing,” hlm. 110-111. kerbau bermalam di kerbau
97
Haji Hasan Mustapa, “Kinanti Kidung pucuk sirna yang dilayani rasa (fana’)
mega mendung” (Or. 7878) dalam
Iskandarwassid, dkk. hlm. 387. perasaan aku pribadi
98
Haji Hasan Mustapa, Qur’anul Adhimi Adji aku tinggal menyendiri
Wiwitan Qur’an Sutji, kenging ngumpulkeun sudah lelah di alam (martabat) tujuh
Wangsaatmadja, Bandung 7 Juli 1920, hlm. 9-10; sekarang alam kedelapan
Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung Karya-
karyana, hlm, 398-399. Artinya: Adapun kiblat
yang dirobah itu supaya diketahui siapa yang pemberangkatan awalnya. Jadi sesuai dengan
turut pada Rasulullah. Berbalik hati ke asalnya peribahasa: Ti dinya nya bijil, ka dinya surupna
lagi dan dianggap berbalik ke tempat bekas (dari situ keluar, dari situ pula tenggelamnya).
Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ... 277

pergi, membawa, menuju tempat Mustapa menggunakan banyak metafor


kembali lain untuk menggambarkan perjalanan
kedelapan melayang di tempat pulang pulang ke alam kesejatian tempat ia
berasal. Metafor yang digunakan
Di sini Mustapa merangkai umumnya terkait dengan alam Sunda,
puisinya dengan menggunakan metafor tempat Mustapa tinggal dan mengarang
yang melambangkan kembalinya diri ke tembang. Ia misalnya menggunakan
kesejatian setelah mengembara menjadi metafor makanan ‘rujak lada sambarana’
manusia melalui peribahasa kebo mulih (rujak pedas bumbunya) ‘malingping
pakandangan.99 Kembalinya kesejatian tujuh lamping’ (menyusuri tujuh bukit),
ditandai dengan memotong kerbau atau mandi di tujuh leuwi, janabat tujuh
sifat kemanusiaan agar tidak wahangan (mandi di tujuh kali, mandi
mengembara lagi. Karenanya setelah junub di tujuh sungai), dan banyak
melewati alam tujuh yang teguh, lalu lainnya.
kedelapan tempat kembali. Martabat Dalam Kinanti Nu Pengkuh di
tujuh yang sudah dilalui manusia Alam Tuhu (Cod. Or. 7873), Mustapa
berujung pada siklus kembalinya menyatakan bahwa ketujuh martabat
manusia ke tempat semula. Sebagaimana alam spiritual tersebut tidaklah terpisah
kerbau, tempat kembalinya di padang satu sama lain. Ia meminjam metafor
rumput. Kerbau bermalam di kerbau. makanan orang Sunda, rujak. Ia
Alam lahir manusia kembali pada alam menggunakannya sebagai gambaran
lahirnya. Rasa kesejatian manusia proses mencampur dan meracik ketujuh
kembali pada Tuhan. Di sini, ia martabat tersebut dalam dirinya. Ia
mengalami sirna pangawulan rasa (fana’) menggambarkan bagaimana menikmati
dalam dirinya sendiri. Meleburnya martabat alam tujuh ibarat menikmati
Tuhan dengan rasa, rasa dengan rujak. Ia terdiri dari berbagai campuran
objeknya (Tuhan). Tinggallah diri Tuhan buah-buahan dengan tingkat kepedasan
menyendiri. Mustapa merasa sudah lelah tertentu. Enaknya dinikmati saat tengah
melewati gradasi alam tujuh (ahadiyat, hari sesudah makan siang. Ibarat
wahdat, wahidiyat, alam arwah, alam martabat alam tujuh yang dinikmati oleh
misal, alam ajsam, insan kamil). Kini ia mereka yang sudah cukup berbudi.
sedang berada di alam kedelapan. Pergi Kenikmatan ini dirasakan hingga
menuju tempat pulang. Di alam menjelang sore, menjelang ujung usia
kedelapan, ia merasa melayang di alam berakhir.
pemulangan, alam tempat kembali.
Tepi ka martabat tujuh
6. Metafor Martabat Tujuh Diracik dirucak-racik
Tidak hanya metafor tubuh Rujak lada sambarana
(balung, daging, sungsuam, getih) atau Dahareun geus sisip budi
ungkapan Sunda: “cat mancat ka bale Gahar di tengah poena
pulang, munding mulih pakandangan,” Walagri tepi ka burit .100
100
Haji Hasan Mustapa, Kinanti Nu Pengkuh di
99
Kebo mulih pakandangan (kerbau kembali ke Alam Tuhu (S. 96 Or. 7873 N.5), bertitimangsa
kandang), maksudnya diri kembali ke asal. 10 Agustus 1901, 28 halaman. Ditranskripsi oleh
Bandingkan dengan mulih ka jati, mulang ka Wiraatmaja dalam Aji Wiwitan Gendingan
asal, lihat Ajip Rosidi, Babasan & Paribasa, Dangding Sunda Jilid III. Ditranskripsi ulang
Kabeungharan Basa Sunda (Bandung: Kiblat, dalam Iskandarwassid, dkk., Naskah Karya Haji
2005), hlm. 118. Hasan Mustapa, hlm. 38.
278 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014

sejati di rasa,
Sampai ke martabat tujuh cukup tak kurang tak lebih.
Diracik dengan teliti
Rujak pedas bumbunya 3. Leuwih matak langguk tangtung,
Makanan sesudah habis budi kurang matak kurunyinyi,
Segar di tengah hari rasa nyiar pamuntangan,
Sehat sampai sore hari tandaning henteu walagri,
tacan sirna lalugina,
Dalam Kinanti Kacatur Martabat sulit ati taya budi.101
Tujuh yang dimuat dalam karya
prosanya, Aji Wiwitan Martabat Tujuh, Lebih akibatnya kelebihan,
Mustapa juga menggambarkan kurang akibatnya kerempeng,
bagaimana tujuh martabat alam itu rasa mencari tempat bergantung,
dihimpun dan diracik. Semuanya tandanya tiada sempurna,
bercampur dalam diri manusia (insan belum hilang rasa tenang,
kamil), karena satu sama lain saling sulit hati tiada budi.
berhubungan. Tak hilang satupun, tiada
kurang kurang tiada lebih. Tergantung Hal yang tak jauh berbeda
salik (pengamal suluk) apakah ia bisa digambarkannya dalam Kinanti Jung
meraciknya untuk mencapai martabat Indit Deui ti Bandung. Ia
manusia sejati (insan kamil). menggambarkan bagaimana meracik
martabat tujuh merupakan upaya
1. Kacatur martabat tujuh, seorang manusia yang mau berusah
tujuhna dipiriwinci, payah sebelum mengalami penyatuan
teu karasa ngarujakna, eksistensi. Dalam Kinanti Ngelmu Suluk
marukan di hiji-hiji, Isuk-isuk, Mustapa menggambarkan
hiji misah ti kadua, bahwa upaya yang susah payah dalam
unggal hiji taya bukti. mengikuti martabat tujuh ini dialaminya
meski sampai harus melewati rasa
Diceritakan martabat tujuh, pusing seperti berputar-putar. Ia
tujuhnya dirinci, mengalaminya sambil menembangkan
tak terasa mencampurnya, lagu Kinanti mengarungi ketenangan
dikira dipisah satu-satu, hati.
satu terpisah dari kedua,
tiap satu tiada bukti. 314/415

2. Puguh katujuhna bukur, Hiji di martabat tujuh


bukur hiji kuma hiji,
dirujak jadi manusa, diracik jelema hiji
sahiji asaling jati, jelema nu sahayuna
jati di rasa pangrasa,
mukti teu kurang teu leuwih. daék indit daék cicing

Ternyata ketujuhnya mewujud, daék susah daék betah


wujud satu tergantung yang satunya,
dicampur jadi manusia (insan), 101
Haji Hasan Mustapa, Adji Wiwitan Martabat
satu asalnya kesejatian, Tudjuh, hlm. 66-67. Ajip Rosidi, Haji Hasan
Mustapa jeung Karya-karyana, hlm. 307-308.
Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ... 279

saméméh kalandi hiji.102 rujuk ketenangan hati

Satu di martabat tujuh Metafor pencarian kesejatian


melalui martabat tujuh lainnya adalah
dicampur manusia satu menggunakan sungai dan bukit
(gunung). Mustapa menyebut
manusia yang semaunya pamulangan sawalungan, malingping
tujuh lamping. Sebuah gambaran
mau pergi mau diam perjuangan tak kenal lelah dalam
menempuh spiritualitas, pulang menuju
mau susah mau betah sumber keberangkatan semula. Mustapa
mengungkapkan hal ini dalam naskah
sebelum disebut satu Sinom Cat Mancat ka Bale Pulang (Or.
7876):
Nalutur martabat tujuh
4. Pamulangan sawalungan
jumpalik tilu jumpalik geus malingping tujuh lamping
kadalapan rorok lemah
geus lanjung lalaganjungan lemah putih urut indit
kari mandita mukti
bari nembangkeun kinanti lembur di galudra ngupuk
panguprukan sorangan
tembang rasa papaésan
pangatik basa keur leutik
rujuk mutmainnah ati103 suka betah wedalan ti Pajajaran104

Ikuti martabat tujuh Tempat pulang sehilir sungai


tujuh sisi bukit telah disusuri
berguling tiga putaran kedelapan mengurus tanah
tanah putih jejak bepergian
sudah pusing berputar-putar tinggal mandita senang berbahagia
kampung di galudra ngupuk105
sambil menembang kinanti tempat banyak belajar sendiri
tempat mendidik ketika kecil
tembang rasa menghibur senang betah lahir di Pajajaran

102
Haji Hasan Mustapa, Kinanti Jung Indit Deui ti
Bandung (S. 100 Or. 7877 N.4), bertitimangsa Mustapa menyebutkan bahwa
17 Juni 1901, 29 halaman. Ditranskripsi oleh tempat pemulangan ke kesejatian itu bak
Wiraatmadja dalam Aji Wiwitan Gendingan sehilir sungai. Gambaran kesejatian yang
Dangding Sunda Jilid III. Ditranskripsi ulang
dalam Iskandarwassid, dkk., Naskah Karya Haji
104
Hasan Mustapa, hlm. 151 dan 168. Haji Hasan Mustapa, Sinom Cat Mancat ka
103
Haji Hasan Mustapa, Ngelmu Suluk Isuk-isuk Bale Pulang (S. 99 Or. 7876 N.7), bertitimangsa
(S. 101 Or. 7878 N.2), bertitimangsa 21 Mei 7 Februari 1901, 38 halaman. Ditranskripsi oleh
1901, 43 halaman. Ditranskripsi oleh Wiraatmaja Wiraatmaja dalam Aji Wiwitan Gendingan
dalam Aji Wiwitan Gendingan Dangding Sunda Dangding Sunda Jilid IV.
105
Jilid III. Ditranskripsi ulang dalam Galudra ngupuk: sebutan untuk tempat yang
Iskandarwassid, dkk., Naskah Karya Haji Hasan makmur, di lingkung gunung dan tiada
Mustapa, hlm. 410. kekurangan air.
280 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014

mengalir ke satu tujuan. Setelah suci nyucikeun Gusti


menyusuri tujuh bukit alam martabat ngaberesihan diri
tujuh. Kini di alam kedelapan, Mustapa geus teguh beunang wawasuh
bergumul dengan tanah putih jejak moyan di kadalapan
semula di mana ia berasal. Gambaran bari ngahariring gending
alam pemulangan ke alam kesejatian aduh biyang sirna bagja kamayangan
(tanah putih) sebagaimana jejak dahulu
ketika ia pertama diciptakan. Menyusuri Dirinya sendiri yang kena akibatnya
lamping bukit menggambarkan upaya sudah mandi di tujuh kali
yang tidak mudah dalam menempuh junub di tujuh sungai
martabat rohani alam martabat tujuh. Di suci mensucikan Gusti
tempat lainnya ia menyebut dengan membersihkan diri
“mipir bukit palasari, tanjakan maraga sudah teguh hasil bersih-bersih
cinta” ketika menafsirkan kata ‘aqabah berjemur di alam kedelapan
(tanjakan) dalam QS. Al-Balad [90]: 10- sambil bersenandung tembang
20.106 Upaya yang susah itu aduh biyung hilang (fana>’), teramat
digambarkannya juga dengan upaya bahagia
keras kecebong (buruy) sebelum berubah
menjadi katak.107 Mustapa menyatakan bahwa
Kini di alam martabat kedelapan, dirinya merasa sudah mandi di tujuh
ia hidup mandita, layaknya pandita yang kali, sudah junub di tujuh sungai.
senang dan bahagia dengan memperkaya Gambaran perjalanan manusia yang
ruhani dan menghindari godaan duniawi. sudah membersihkan dirinya di alam
Mustapa menggambarkannya layaknya martabat tujuh secara sempurna. Ia suci
hidup di galudra ngupuk, sebuah daerah dan mensucikan alam kegustiannya dan
yang makmur dengan tanah dan air yang membersihkan dirinya hingga mencapai
subur. Di sini tempat belajar dan dididik puncak alam insan kamil. Lalu setelah
sejak kecil. Ia merasa senang dan betah. betul-betul bersih, ia berjemur (moyan)
Sebuah daerah tempat dirinya terlahir. di bawah sorot cahaya alam kedelapan
Galudra ngupuk itu tiada lain adalah (alam mandita/jatnika), sambil
alam Pajajaran. Alam Sunda tempat ia bersenandung puisi tembang, “aduh
berasal dan menempuh kehidupan. biyung, hilang alam manusia (fana>’)
Dalam bait lainnya di naskah yang betapa bahagianya,” demikian ujarnya.
sama, Mustapa menggunakan metafor Mustapa kiranya menambah satu alam
mandi di sungai untuk menggambarkan setelah melampaui martabat tujuh, yakni
perjalanan pendakian di alam martabat alam kedelapan, alam mandita dalam
tujuh tersebut: suasana fana’ penuh kebahagiaan.

11. /7v/Sorangan nu kabonganan Penutup


geus mandi di tujuh leuwi Uraian di atas menunjukkan
janabat tujuh wahangan kreatifitas tasawuf lokal Sunda tentang
106
martabat tujuh dalam dangding
Haji Hasan Mustapa, Adji Wiwitan Petikan
Ajat Kur’an Sutji, hlm. 34; Ajip Rosidi, Haji
Mustapa. Sebuah tafsir kreatif atas
Hasan Mustapa jeung Karya-karyana, hlm. 422. ajaran dalam Tuh}fah yang dijejakkan
Artinya: Menepi bukit palasari, jalan mendaki dalam alam budaya Sunda. Kiranya ini
107
daerah mar(a)gacinta. menguatkan asumsi kuatnya pengaruh
Jajang A Rohmana, “Sundanese Sufi karya Al-Burhanfuri tersebut dalam
Literature,” hlm. 317.
Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ... 281

jaringan tradisi intelektual Islam ‘Abd Al-Jabbar, ‘Umar. Siyar wa


Nusantara. Ia menyebar seiring dengan Tarajim Ba’dh ‘Ulama’ina fi Al-
proses Islamisasi Nusantara yang banyak Qarn al-Rabi’ ‘Asyr li al-Hijrah
dipengaruhi ajaran sufistik. Mustapa (Jeddah: Mamlakah al-
berada dalam arus besar tradisi tasawuf ‘Arabiyyah al-Su’udiyyah, 1403
Nusantara tersebut dengan tanpa H/1982 M), cet. ke-3.
meninggalkan latar budaya Sundanya. Abdurrahman, Agus. “Martabat Tujuh
Ajaran martabat tujuh diserap dan Haji Hasan Mustapa,” Skripsi,
diartikulasikan ke dalam karya sastra IAIN Sunan Gunung Djati
Sunda dangding dengan ungkapan dan Bandung, 2000.
metafor alam Sunda yang sangat kaya. Ali, Mufti. “A Study of Hasan Mustafa’s
Ia berhasil melakukan indigenisasi Fatwa: It is Incumbent upon the
ajaran Islam ke dalam khasanah budaya Indonesian Muslims to be Loyal
Sunda dengan menggunakan dangding to the Dutch East Indies
sebagai wadahnya. Sebuah bukti kuat Government,” Journal of the
kreatifitas tasawuf lokal di Nusantara. Pakistan Historical Society,
April 2004, Vol. 52 Issue 2.
Bibliografi Ali, Yunasril. Manusia Citra Ilahi,
Pengembangan Konsep Insan
1. Manuskrip Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jili
(Jakarta: Paramadina, 1997).
Mustapa, Haji Kinanti Nu
Hasan.
Pengkuh di Alam Tuhu, Cod. Or. Al-Attas, Syed Muhammad Naguib. The
7873. 10 Agustus 1901. UB Mysticism of Hamzah Fansuri.
Kuala Lumpur: University of
Leiden University.
_______. Kinanti Tutur Teu Kacatur Malaya Press, 1970.
Batur, Cod. Or. 7875. 16 Agustus Azra, Azyumardi. The Origins of Islamic
1901. UB Leiden University. Reformism in Southeast Asia:
_______. Sinom Cat Mancat ka Bale Networks of Malay-Indonesian
Pulang, Cod. Or. 7876. 7 and Middle Eastern ‘Ulama>’ in
Februari 1901. UB Leiden
the seventeenth and eighteenth
University.
centuries, Honolulu: ASAA-
Allen & Unwin and University of
_______. Kinanti Kidung pucuk mega
Hawai’i Press, 2004.
mendung, Cod. Or. 7878. UB
Bradley, Francis R. “Sheikh Da'ud al-
Leiden University.
Fatani's Munyat al-Musalli and
_______. Kinanti Ngelmu Suluk Isuk-
The Place of Prayer in 19th-
isuk, Cod. Or. 7878. 21 Mei
Century Patani communities,”
1901. UB Leiden University.
_______. Arabic Letters from Bandung
Indonesia and the Malay World,
DOI:10.1080/13639811.2013.798
(Correspondence with Snouck
072.
Hurgronje), 1911-1923, Cod. Or.
Bruinessen, Martin van. Tarekat
8952, 21 September 1907, UB
Leiden University. Naqsabandiyah di
Indonesia,Survey Historis,
Geografis dan Sosiologis,
Bandung: Mizan, 1992.
Burhanudin, Jajat. Islamic Knowledge,
2. Buku dan Artikel Authority and Political Power:
282 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014

The ‘Ulama in Colonial di Melayu dan Jawa,” Analisis,


Indonesia, Leiden University, Vol. XI, No. 2, Desember 2011.
2007. _______. Ithaf Al-Dhaki, Tafsir
Al-Bustomi, Ahmad Gibson. Filsafat Wahdatul Wujud bagi Muslim
Manusia Sunda: Kumpulan Esai Nusantara, Bandung: Mizan,
HHM, Teosofi dan Filsafat, 2012.
Bandung: Skylart Publisher, Hermansoemantri, Emuch. Sajarah
2012. Sukapura, Sebuah Telaah
Christomy, Tommy. “Shattariyah Filologis, Disertasi Universitas
Tradition in West Java: the Case Indonesia Jakarta, 1979.
of Pamijahan,” Studia Islamika, Hurgronje, C. Snouck. The Achehnese, 2
Vol. 8, No. 2, 2001. Volumes, Leiden: Brill, 1906.
_______. Signs of the Wali: Narratives _______. Mekka in the Latter Part of
at the Sacred Sites in Pamijahan, the 19th Century, trans. J.H.
West Java. Canberra: ANU E Monahan with an introduction by
Press, 2008. Jan Just Witkam. Leiden: Brill,
Danasasmita, Ma’mur. Wacana Bahasa 2007.
dan Sastra Sunda Lama Hurgronje, C. Snouck. The Achehnese, 2
(Bandung: STSI Press, 2001). Volumes, Leiden: Brill, 1906.
Daudy, Ahmad. Allah dan M<anusia Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah,
dalam Pandangan Nuruddin Al- Tahqiq Uthman Yahya, Kairo:
Raniry, Jakarta: CV. Rajawali Al-Hay’at al-Misriyyah al-
Press, 1983. ‘Ammah li al-Kitab, 1972.
Drewes, G. “Javanese Poems dealing Iskandar, Mohammad. Para Pengemban
with or attributed to the Saint of Amanah, Pergulatan Pemikiran
Bonan, Bijdragen tot de Taal-, Kiai dan Ulama di Jawa Barat,
Land- en Volkenkunde 124 1900-1950 (Yogyakarta: Mata
(1968), No: 2, Leiden. Bangsa, 2001).
Ekadjati, Edi S. Naskah Sunda: Iskandarwassid et.al., Naskah Karya
Inventarisasi dan Pencatatan. Haji Hasan Mustapa, Bandung:
Bandung: Lembaga Penelitian Proyek Sundanologi, 1987.
Unpad-The Toyota Foundation, Jahroni, Jajang. “The Life and Mystical
1988. Thought of Haji Hasan Mustafa
_______. Empat Sastrawan Sunda (1852-1930),” Thesis, Leiden
Lama, Jakarta: Depdikbud, 1994. University, 1999.
Fathurahman, Oman. Tarekat Al-Jili, ‘Abdul Karim. Al-Insan al-Kamil
Syattariyah di Minangkabau. fi Ma’rifat al-Awa’il wa al-
Jakarta: Prenada Media, EFEO, Awakhir, Beirut: Dar al-Fikr,
PPIM, KITLV, 2008. t.th.
_______. “Ithaf al-Dhaki by Ibrahim Al- Johns. A.H. The Gift Adressed to the
Kurani: A Commentary of Spirit of the Prophet, Canberra:
Wahdat al-Wujud for Jawi Center of Oriental Studies
Audience,” Archipel 81, Paris, A.N.U, 1965.
2011. _______. “Islam in Southeast Asia:
_______. “Sejarah Pengkafiran dan Reflections and New
Marginalisasi Paham Keagamaan Directions,” Indonesia, 19, 1975.
Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ... 283

_______. “Reflections on the Mysticism Millie, Julian. “Arriving at the Point of


of Shams al-Din al-Samatra’i Departing, Recent Additions to
(1550?-1630), dalam Jan van der the Hasan Mustapa Legacy,”
Putten and Mary Kilcline Cody BKI 170 (2014).
ed., Lost Times and Untold Tales Moriyama, Mikihiro. Semangat Baru:
from the Malay World, Kolonialisme, Budaya Cetak dan
Singapore: NUS Press, 2009. Kesastraan Sunda Abad ke-19,
Kaptein, Nico. “Sayyid Uthman On the trans. Suryadi (Jakarta: KPG,
Legal Validity of Documentary 2005).
Evidence,” Bijdragen tot de Mustapa, Haji Hasan. Adji Wiwitan
Taal-, Land- en Volkenkunde 153 Martabat Tudjuh, Kenging
(1997), no: 1, Leiden. ngumpulkeun sarta ngatur
Kartini, Tini, et.al., Biografi dan Karya Wangsaatmadja sareng para
Pujangga Haji Hasan Mustapa, panitiana, n.p. n.d.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan _______. Aji Wiwitan Gelaran Sasaka di
Pengembangan Bahasa Kaislaman, Kenging
Depdikbud Jakarta, 1985. ngumpulkeun sarta ngatur
Kraus, Werner. “The Shattariya Sufi Wangsaatmadja sareng para
Brotherhood in Aceh,” dalam panitiana, n.p. n.d.
Arndt Graf et.al, Aceh History, _______. Bab Adat2 Oerang Priangan
Politics and Culture, Singapore: Djeung Oerang Soenda Lian ti
Iseas, 2010. Eta, Ditjitakna di kantor tjitak
Laffan, Michael Francis. Islamic Kangdjeng Goepernemen di
Nationhood and Colonial nagara Batawi, 1913.
Indonesia, The Umma below the _______. Qur’anul Adhimi Adji
Winds (London-New York: Wiwitan Qur’an Sutji, kenging
Routledge Curzon, 2003). ngumpulkeun Wangsaatmadja,
_______. “New Turn to Mecca: Bandung 7 Juli 1920.
Snapshots of Arabic Printing and _______. Dangding Djilid Anu Kaopat,
Sufi Networks in Late 19th stensilan kenging ngusahakeun
Century Java,” Revue des Ajip Rosidi, Tjihideung, Oktober
mondes musulmans et de la 1960.
Mediterranee, 124 (2), 2008. _______. Gendingan Dangding Sunda
_______. The Makings of Indonesian Birahi Katut Wirahmana Djilid A
Islam, Orientalism and the (Bandung: Jajasan Kudjang,
Narration of a Sufi Past, 1976).
Princeton: Princeton University _______. Balé Bandung. Bandung:
Press, 2011. Rahmat Cijulang, 1984.
Lubis, Nina H. Kehidupan Menak _______. Seri Guguritan Haji Hasan
Priangan 1800-1942 (Bandung: Mustapa (Asmarandana Nu
Pusat Informasi Kebudayaan Kami, Kinanti Kulu-kulu, Sinom
Sunda, 1998). Wawarian, Dangdanggula Sirna
Mas’ud, Abdurrahman Mas’ud, Rasa, Sinom Barangtaning Rasa)
Intelektual Pesantren: Perhelatan (Bandung: Kiblat, 2009).
Agama dan Tradisi, Yogyakarta: Muthalib, Abdul. “The Mystical
LkiS, 2004. Thought of Muhammad Nafis
Al-Banjari: An Indonesian Sufi
284 Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, Juli 2014

of the Eighteenth Century,” _______. Hurip Waras, Dua


Thesis, McGill University Panineungan, Bandung: Kiblat
Montreal Canada, 1995. Buku Utama, 2001, cet. ke-2.
Mu’jizah, Martabat Tujuh: Edisi Teks _______. ed. Ensiklopedi Sunda, Alam,
dan Pemaknaan Tanda serta Budaya, dan Manusia (Jakarta:
Simbol, Jakarta: Penerbit Pustaka Jaya, 2003).
Djambatan dan Yayasan Naskah _______. Babasan & Paribasa,
Nusantara, 2005. Kabeungharan Basa Sunda
Nasution, Harun. Falsafah dan (Bandung: Kiblat, 2005).
Mistisisme dalam Islam, Jakarta: _______. Mencari Sosok Manusia Sunda
Bulan Bintang, 1973. (Bandung: Pustaka Jaya, 2010).
Nicholson, Reynold A. The Mystics of Ruhaliah, “Analisis Struktur dan Nilai
Islam, (Indiana: World Wisdom, Budaya Naskah Sunda,” Jurnal
2002). Sonagar, Vol. 2, 2004.
Quzwain, Muhammad Chatib. Mengenal Rusyana, Yus. dan Ami Raksanegara.
Allah: Suatu Studi Mengenai Puisi Guguritan Sunda, Jakarta:
Ajaran Tasawuf Syeikh Abdus Pusat Pembinaan dan
Samad Al-Falimbani, Jakarta: Pengembangan Bahasa
Bulan Bintang, 1983. Depdikbud, 1980
Ricklefs, M. C. Mengislamkan Jawa, Santrie, Aliefya M. “Martabat Alam
terj. FX. Dono Sunardi dan Tujuh, Suatu Naskah Mistik
Satrio Wahono, Jakarta: Islam dari Desa Karang
Serambi, 2013. Pamijahan,” dalam Ahmad Rifa’i
Rohmana, Jajang A. ‘Sundanese Sufi Hasan, ed., Warisan Intelektual
Literature and Local Islamic Islam Indonesia (Bandung:
Identity: A Contribution of Haji Mizan, 1992), cet. ke-3.
Hasan Mustapa’s Dangding.’ Setiawan, Hawe. “Dangding Mistis Haji
Journal Al-Jamiah, Vol. 50, No. Hasan Mustapa,” Makalah Seri
2. Kuliah Umum Islam dan
_______. “Makhtutat Kinanti [Tutur teu Mistisime Nusantara di Teater
Kacatur Batur]: Tasawwuf al- Salihara, 4 Agustus 2012.
‘Alam al-Sundawi ‘ind al-Hajj Shah, Idries. The Sufis (London: The
Hasan Mustafa (1852-1930),” Octagon Press, 1977).
Studia Islamika, Vol. 20, No. 2, Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden
2013. Ngabehi Ranggawarsita. Jakarta:
Ronkel, PH. S. Van. “Aanteekeningen UI-Press, 1988.
over Islam en Folklore in West- _______. “Aspek Mistik Islam Kejawen
en Midden Java, Uit Het dalam ‘Wirid Hidayat Jati,’
Reisjournaal van Dr. C. Snouck dalam Ahmad Rifa’i Hasan, ed.,
Hurgronje,” BKI 101 (1942). Warisan Intelektual Islam
Rosidi, Ajip. Ngalanglang Kasusastran Indonesia Telaah atas Karya-
Sunda, Jakarta: Pustaka Jaya, Karya Klasik, Bandung: Mizan,
1983. 1992.
_______. Haji Hasan Mustapa jeung Soebardi, S. “Santri-Religious Elements
Karya-karyana, Bandung: as Reflected in the Book of
Pustaka, 1989. Centini,” Bijdragen tot de Taal-,
Jajang A. Rohmana : Tassawuf Sunda ... 285

Land-en Volkenkunde 127 Studia Islamika, Vol. 20, No. 1,


(1971), No: 3, Leiden. 2013.
_______. The Book of Cebolek. Leiden: Al-Taftazani, Abu Al-Wafa’ Al-
KITLV-The Hague-Martinus Ghanimi. Sufi dari Zaman ke
Nijhoof, 1975. Zaman, terj. Ahmad Rofi’
Wendy Solomon, “Text and Personality: ‘Utsmani, (Bandung: Pustaka,
Ajip Rosidi in Search of Haji 1987).
Hasan Mustapa,” Indonesia Trimingham, J. Spencer. The Sufi
Circle. School of Oriental & Orders in Islam, Oxford:
African Studies. Newsletter, Clarendon Press, 1977.
14:41, 1986. Yunus, Abdul Rahim. “Nazariyat
Steenbrink, Karel. “Qur’an Martabat Tujuh fi Nizam al-
Interpretations of Hamzah Mamlakah al-Butaniyyah,”
Fansuri (CA. 1600) and Hamka Studia Islamika, Vol. 2, No. 1,
(1908-1982): A Comparison,” 1995.
Studia Islamika, Vol. 2, No. 2, Zoetmulder, P.J. Manunggaling Kawula
1995. Gusti, Pantheisme dan Monisme
Suryalaga, H.R. Hidayat. Filsafat Sunda, dalam Sastra Suluk Jawa. terj.
Sekilas Interpretasi Folklor Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia
Sunda, Bandung: Yayasan Nur Pustaka Utama, 1991.
Hidayah, 2010.
Suryaningsih, Iin. “Al-H}aqi>qah al- 3. Majalah
Muwa>faqah li al-Shari>‘ah: al-
“Syair Mistis Bagawan Sirna Dirasa,”
Tas}al> uh} bayn al-Tas}awwuf wa
Tempo, 16 September 2012.
al-Shari>‘ah bi Nusantara fi> al-
Qarn al-Sa>dis ‘Ashr al-Mi>la>di>,”

Anda mungkin juga menyukai