Tengah hari Minggu akhir Oktober, matahari serasa hanya berjarak sejengkal dengan
ubun-ubun. Hari itu, dengan pengalaman kosong aku menaiki angkutan kota (angkot) bernomor
D95 tujuan Deli Tua. Bersama dua rekanku, angkot itu membawa kami ke daerah tempat makam
tua itu. Memang bukan cara yang biasa menghabiskan akhir minggu. Tiga orang perawan
mencari makam. Pikiran geli itu menyelimuti otakku selama perjalanan.
Awalnya karena mediaku memproyeksikan pembelaan mahasiswa dan sejumlah aktivis
terhadap perlindungan situs-situs bersejarah di Sumatera Utara. Makam Gocah Pahlawan salah
satu nama situs yang disebutkan. Raja pertama Kerajaan Deli yang dimakamkan terpisah dari
keturunannya. Makam seorang pendiri Kerajaan Deli yang keindahan istananya dapat dinikmati
setiap pelancong. Sungguh aneh, namanya tak semasyur istana yang didirikan keturunannya.
Dengan modal nekad, kami memutuskan menjadi arkeolog gadungan yang penasaran
menemukan lokasi makam itu. Hanya berbekal sebuah nama yang diberikan Ita Tarigan,
Pemimpin Redaksi Tabloid Sora Sirulo, yaitu Asrama TNI Yon Armed, kami bertanya kepada
penumpang seisi angkot di manakah kami seharusnya turun. Akhirnya dengan dibantu seorang
wanita yang hendak ke gereja, kami akhirnya sampai di Desa Batu Gemuk.
Kami melanjutkan perjalanan dibantu tiga tukang ojek yang bersedia mengantarkan kami
ke makam yang mereka sebut ‘kubah’ itu. Walaupun mereka memandang aneh kepada kami,
yang lebih tertarik menghabiskan hari Minggu mencari makam keramat daripada berkencan
dengan pacar. Dengan alasan klasik, tugas kuliah, mereka pun bersedia menjadi guide dadakan.