Anda di halaman 1dari 4

Mencari Rimba Makam Pendiri Kerajaan Deli

Oleh Fanny Yulia (Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2006)

Tengah hari Minggu akhir Oktober, matahari serasa hanya berjarak sejengkal dengan
ubun-ubun. Hari itu, dengan pengalaman kosong aku menaiki angkutan kota (angkot) bernomor
D95 tujuan Deli Tua. Bersama dua rekanku, angkot itu membawa kami ke daerah tempat makam
tua itu. Memang bukan cara yang biasa menghabiskan akhir minggu. Tiga orang perawan
mencari makam. Pikiran geli itu menyelimuti otakku selama perjalanan.
Awalnya karena mediaku memproyeksikan pembelaan mahasiswa dan sejumlah aktivis
terhadap perlindungan situs-situs bersejarah di Sumatera Utara. Makam Gocah Pahlawan salah
satu nama situs yang disebutkan. Raja pertama Kerajaan Deli yang dimakamkan terpisah dari
keturunannya. Makam seorang pendiri Kerajaan Deli yang keindahan istananya dapat dinikmati
setiap pelancong. Sungguh aneh, namanya tak semasyur istana yang didirikan keturunannya.
Dengan modal nekad, kami memutuskan menjadi arkeolog gadungan yang penasaran
menemukan lokasi makam itu. Hanya berbekal sebuah nama yang diberikan Ita Tarigan,
Pemimpin Redaksi Tabloid Sora Sirulo, yaitu Asrama TNI Yon Armed, kami bertanya kepada
penumpang seisi angkot di manakah kami seharusnya turun. Akhirnya dengan dibantu seorang
wanita yang hendak ke gereja, kami akhirnya sampai di Desa Batu Gemuk.
Kami melanjutkan perjalanan dibantu tiga tukang ojek yang bersedia mengantarkan kami
ke makam yang mereka sebut ‘kubah’ itu. Walaupun mereka memandang aneh kepada kami,
yang lebih tertarik menghabiskan hari Minggu mencari makam keramat daripada berkencan
dengan pacar. Dengan alasan klasik, tugas kuliah, mereka pun bersedia menjadi guide dadakan.

Laksamana perang yang terdampar


Sepanjang jalanan desa yang berbatu-batu dan menanjak, aku memandang daerah
Namu Rambe yang berbukit hijau dan dilingkupi sawah itu sembari mengingat riwayat sang
panglima perang yang makamnya hendak kutuju.
Gocah Pahlawan adalah seorang panglima perang Kerajaan Aceh yang ketika itu
dipimpin Tuanku Sultan Iskandar Muda. Namun ia bukanlah seorang putra Aceh, melainkan
seorang pangeran Kerajaan India bernama Hisyamuddin atau Muhammad Dalhik, keturunan
Zulkarnaeni Syekh Batraluddin, Negeri Shindi Hindustan. Ia terdampar di Pasai ketika hendak
berlayar ke Indonesia. Kapalnya karam di dekat Kuala Pasai. Ia memasuki Kota Raja (Banda
Aceh sekarang) yang saat itu Kerajaan Aceh mengalami kesulitan menghadapi perusuh dari
bangsa Rum (Turki). Muhammad Dalhik membantu Sultan Iskandar Muda menghalau satu-
persatu perusuh. Ia pun dikaruniai gelar Panglima Gocah Pahlawan.
Hingga pada abad ke-15, ia diutus untuk menguasai Kerajaan Haru. Kerajaan ini adalah
imperium terbesar di Sumatera dengan daerah kekuasaan dari Tamiang hingga Pasir Ayam
Denak (Rokan). Kerajaan Haru seperti yang dicatat Darwan Prinst dalam Adat Karo (2004)
sangat identik dengan Suku Karo, mengingat penggunaan bahasa Karo dan orang-orang di saat
itu memiliki marga. Pada 1612 Haru tunduk kepada pasukan Aceh dan Gocah Pahlawan
diangkat Sultan Iskandar Muda sebagai wakil kerajaan Aceh untuk wilayah Sumatera Timur yang
berkedudukan di Sungai Lalang (Deli Tua).
Pada masa itu, Tanah Deli terbagi atas empat urung (negeri/kejuruan) yang dipimpin oleh
datuk, yaitu Urung Serbanaman (Sunggal dan sekitarnya) yang dikuasai Raja Sunggal bermarga
Surbakti, Urung Sepuluh Dua Kuta (12 Kota) Lau Cih (Hamparan Perak dan sekitarnya) yang
dikuasai raja Karo-karo Purba, Urung Suka Piring (Kampung Baru dan Medan sekitarnya) yang
dikuasai oleh raja bermarga Sembiring Meliala dan Urung Senembah (Patumbak dan Tanjung
Morawa) yang dikuasai oleh raja bermarga Barus.
Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, Aceh dipimpin oleh Sultanah (raja wanita) sehingga
lemah. Tahun 1632 Kerajaan Aceh melepaskan wilayah Sumatera Timur. Empat Raja Urung
tersebut mengangkat Gocah Pahlawan sebagai raja di Deli. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli
telah resmi berdiri, dan Laksamana Gocah Pahlawan menjadi Raja Deli pertama bergelar Tuanku
Panglima Gocah Pahlawan Laksemana Khuja Bintan.
Nama Deli sebagai nama kerajaan, diambil oleh Gocah Pahlawan dari nama daerah
asalnya di India, yakni Delhi. Ia pun menikahi adik Datuk Hitam Raja Sunggal yang bernama Putri
Nang Baluan binti Raja Sunggal Beru Surbakti. Tuanku Panglima Gocah Pahlawan mangkat
pada 1669.

Makam yang salah


Sesampainya kami di ujung jalan, terhampar jalan setapak penuh semak belukar dan
menanjak hingga ujung bukit. Rimbun pohon bambu membuatku bergidik, membayangkan ular
berjejalan dan mendesis di pokok-pokok bambu. Dengan berjalan bergegas, kusibak rimbunan
daun, hingga akhirnya kudapati sebuah makam tanpa nisan menyendiri di atas tebing. Di bawah
tebing terdengar gemericik aliran Sungai Deli nan deras. Ketika mendekati makam tua berukuran
2x1,5 meter itu, hatiku dijalari perasaan aneh.
Makam itu hanya dilindungi beberapa lembar seng, ditopang empat tiang sederhana dan
tembok semen di sisi-sisi makam yang dipenuhi lumut. Hanya warna hijau dan coklat yang ada di
mataku, tanpa ornamen-ornamen kerajaan. Makam yang amat sangat sederhana untuk seorang
sultan Deli. Hanya suasana klenik yang aku temukan. Di tiang atap diselipkan mangkuk gerabah
kosong bekas tempat kemenyan dan botol minyak gosok. Dan jika aku tak salah perhitungan,
makam ini tidak menghadap ke kiblat, sebagaimana lazimnya makam seorang muslim. Sangat
ganjil untuk seorang sultan penyebar agama Islam.
“Saya tidak tahu ini makam siapa. Yang saya tahu, ini makam orang Turki,” kata seorang
tukang ojek menjawab pertanyaanku. Ternyata tukang ojek itu mantan Kepala Desa Batu
Gemuk. Kami bertiga sepakat, kami telah mendatangi makam yang salah. Seorang warga desa,
Ngantari Sembiring, berusia 85 tahun menyangkal bahwa itu makam Gocah Pahlawan.
Menurutnya itu makam seorang wanita, nenek buyutnya yang meninggal usai kembali dari
ibadah Haji di Mekkah.

Tak satu pun yang yakin


Diliputi perasaan kecewa, aku melangkah gontai pulang. Ternyata tidak mudah
menemukan sesuatu yang telah ditelan sejarah. Dengan perasaan campur aduk kami menelepon
E. Edward Mc Kinnon, peneliti dari National University of Singapore yang saat ini bermukim di
Bogor. Dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata, ia mengakui ketidaktahuannya mengenai
makam sultan Deli berkulit legam itu.
Keesokan harinya aku menemui Antropolog USU, Juara Ginting dan Ita Tarigan di
kampus. Pengelola tabloid Karo, Sora Sirulo itu juga mengaku belum pernah mendatangi lokasi
makam itu. Tak sabar, akhirnya kudatangi Tengku Lukman Sinar di rumahnya. Sejarawan itu
akhirnya mengiyakan bahwa makam Gocah Pahlawan ini telah disemen pihak Kesultanan Deli
pada tahun 1980-an. Namun, ia mengatakan lokasi makam di Deli Tua namun bukan di bukan
Batu Gemuk seperti yang telah kudatangi. Namun ketika ia menjelaskan lokasinya, makam yang
dimaksudnya terletak di dekat sungai, seperti makam yang aku kunjungi Minggu kemarin.
Aku kembali didapuk kekecewaan. Oh, Gocah Pahlawan, di manakah engkau
dimakamkan sebenarnya? Apakah keturunanmu yang mendiami istana Maimoon itu mengetahui
makammu yang sebenarnya?
Menatap istana nan megah dari seberang jalan Katamso, seakan-akan aku mengalami
flashback nuansa kejayaan Kerajaan Deli masa lampau. Rasa hangat menjalari tubuhku ketika
pertama kali menginjakkan kaki di lantai kayu istana. Tak kurasakan lagi dingin gerimis tengah
hari yang sedari tadi mengguyur Medan. Istana megah hasil perkebunan tembakau Deli yang
berumur 120 tahun.
Aku disambut oleh Ies Pribadi, pengurus Yayasan Sultan Makmun Al-rasyid. Setelah
bercerita panjang lebar, akhirnya aku menemukan titik terang. Walaupun keturunan ke-10 dari
Tuanku Panglima Gocah Pahlawan itu belum pernah mengunjungi makam leluhurnya, aku
berpegang pada informasinya. Lama kutatapi foto hitam putih yang tercetak pada booklet untuk
pengunjung Istana Maimoon. Foto bangunan makam itu kusimpan dalam ingatanku.

Entah di mana engkau dibaringkan


Kembali menaiki angkot D95, aku turun di Pekan Deli Tua. Kali ini aku bersama teman
laki-laki, berbekal alamat yang diberikan oleh seorang tukang ojek yang aku temui di posko RBT
dekat situs benteng Puteri Hijau kemarin. Pasar I Sidomulyo, Kampung Karo, begitu aku
mengatakannya kepada abang becak di persimpangan pasar itu. Kami pun berbelok setelah
bertemu komplek makam muslim.
Tukang becak kami pun nekad menerobos jalan yang lembek karena guyuran hujan.
Melewati semak dan tanah berlumpur. Sekali, kami pun harus mendorong becak karena bannya
tenggelam ditelan lumpur. Becak pun kembali menyusuri jalan setapak di tengah kebun coklat
nan sunyi. Keluar dari kebun coklat, kami menanyakan kepada sekelompok petani Karo yang
sedang memanen ketela mengenai makam yang dikeramatkan itu.
Sekali lagi, aku beruntung menemukan orang yang sukarela menjadi guide. Berpatokan
pada sebuah pohon mangga yang tinggi menjulang di bukit seberang, kami menyusuri rimbunan
ketela yang tingginya sudah 2 meter, menghadang rimbunan semak ilalang setinggi dada.
Hingga tanah yang kuinjak pun tak lagi bisa kulihat. Aku bergidik, jika tidak hati-hati kakiku bisa
saja menginjak kepala ular.
Akhirnya sambil bergumam mengucap salam kepada ahli kubur, kupandangi komplek
makam yang memiliki dua makam besar dengan kondisi terawat. Makam yang kata penduduk
sana disebut Kubah Terbang. Konon, makam yang awalnya berada di Hamparan Perak bisa
dengan ajaib berpindah (baca: terbang) ke bukit itu. Hawanya sungguh sejuk di sana, namun tak
sesejuk perasaanku. Ini bukanlah makam yang aku cari, karena ciri-ciri fisiknya bukanlah seperti
yang di booklet. Aku kembali menelan pahit pil kekecewaan.
Menuruni bukit tidak sesulit mendakinya, karena di sisi bukit lainnya ada tangga semen
berlumut yang menghubungkan bukit itu dengan perumahan Bumi Serdang Damai, Desa Sigara-
gara Kecamatan Patumbak. Setelah menapaki anak tangga terakhir, kami langsung menuju
rumah warga. Beruntung, aku langsung menemukan seorang tua yang biasa dipanggil Atuk dan
bertanya perihal makan yang hendak aku cari. ”Memang ada makam tua di bukit seberang sana,”
tunjuknya kepada sebuah bukit di balik bukit Kubah Terbang.
Kembali ada saja yang mau menemani langkah kami. Kali ini tetangga Atuk bernama
Herman yang bersedia mengantarkan kami ke bukit yang dimaksud. Melawan arus sungai,
melewati ladang, bertemu deretan rumah-rumah yang baru saja dibangun, tergelincir ke dalam
lumpur yang didalamnya menunggu berpuluh pacet, hingga kembali mendaki bukit yang tidak
kalah terjalnya. Semakin mendekati puncak bukit, semaknya semakin tinggi pula. Sekitar 500
meter dari pinggir bukit, mengikuti jalan kecil diapit oleh rimbunan bambu dan pohon tinggi.
Mulutku berkomat-kamit berharap pulang dengan selamat.
Cahaya yang tadi sedikit, perlahan-lahan memenuhi ruang pandangku. Terhamparlah
sebidang tanah berumput selutut, di sekitarnya tergeletak batang pinang yang telah ditebang.
Kontras dengan sebuah bangunan berukuran 7x7 meter, di tengah-tengahnya. Imajiku
mencocokkan bangunan itu dengan foto di booklet istana.
Dengan tiga undakan, berpilar empat dan memiliki bumbungan yang tripleksnya sudah
terkulai dan lepas. Terkesan seram dan tidak terawat. Di dalamnya ada tiga nisan dari batu kali,
di nisan kedua ada botol minuman yang kosong. Tidak ada ornamen kesultanan yang menempel
di makam itu. Dahiku berkerut, tapi memang inilah makam yang ada di foto booklet istana
maimun itu. Aku mengamati makam dengan seksama, ditemani dengungan lebah yang
bersarang di bumbungannya dan suara tilawah yang datang dari masjid entah di mana. 12.05.
Tengah hari! Bulu kudukku berdiri.
Hanya tahan beberapa menit, kami beranjak pulang, kembali mengikuti jalan kecil tadi.
Lebih kurang 1 kilometer kami berjalan kembali ke rumah Atuk. Aku tidak mampu bertahan lebih
lama di sana karena badanku panas dingin.

Tak ada yang tersisa


Di perjalanan pulang, teringat ucapan Atuk,” Makam Tuanku Gocah Pahlawan bergelar
Datuk Lebai Hitam sudah diratakan waktu pembangunan perumahan Korpri dua tahun yang lalu.”
Perumahan yang aku lalui ketika menuju bukit. Ies juga mengatakan keluarga kerajaan pun
menyangsikan makam yang telah mereka bangun itu adalah makam leluhur mereka. Karena juga
pernah ditemukan sebuah makam lain di areal pembangungan perumahan. “Paranormal
memang mengatakan jika makam yang telah dibuldoser itu adalah makam Gocah Pahlawan
yang sebenarnya,” kata Ies.
Di buldoser tanpa dilindungi? Tengku Lukman Sinar pernah berkata kepadaku, ”Jangan
kau bicara pemerintah, makam pahlawan saja tidak dipedulikan. Mana ada uang, mana ada ini,
mana ada itu. Mereka terlalu banyak alasan,” kata Tengku Lukman Sinar. Kekecewaanku
terwakili sejarahwan oleh 75 tahun itu. “Untuk memugarnya, kami harus mengusahakan uang
entah dari mana,” katanya.
Terlalu banyak kata mengapa dalam pertanyaanku. Mengapa tidak bisa menemukan
makam panglima ini dengan mudah, padahal tokoh itu sudah hidup di abad ke-17 bukan zaman
purba? Mengapa masyarakat awam tidak mengetahui apapun mengenai sejarah daerah yang
ditinggalinya, padahal katanya kota Medan ini salah satu kota yang memiliki kekentalan sejarah
yang besar? Apakah kita bangsa yang tidak peduli lagi dengan sejarah? Kekesalanku hanya bisa
kutumpahkan pada debu yang beterbangan dihalau angin sore itu.
Kota yang katanya sudah menjadi metropolitan ini ternyata tidak ramah kepada sejarah,
walaupun sejarah kota ini penuh kisah yang membanggakan dan membangkitkan harga diri
bangsa. Sebut saja Kerajaan Haru, keberadaannya ditulis oleh utusan Portugis, F. Mendes Pinto.
Dalam laporannya juga terdapat pada Pararaton Kerajaan Singosari dan Negarakertagama
Kerajaan Majapahit. Catatan-catatan itu menegaskan Kerajaan Haru adalah kerajaan yang kuat.
Hingga Singosari dan Majapahit pun tak kuasa menaklukannya. Padahal Sriwijaya pun dapat
ditaklukan oleh Majapahit.
Bahkan konon gara-gara tak tertaklukannya kerajaan ini, Mahapatih Gajah Mada
akhirnya meneriakkan sumpah Palapa yang terkenal itu. Namun mengapa Kerajaan Haru ini baru
pertama kali aku dengar, setelah aku mulai mencari siapa Gocah Pahlawan? Di bangku sekolah
aku dipaksa menghapal siapa-siapa nama raja Kerajaan Majapahit, namun nama Kerajaan Haru
tidak pernah disinggung sekalipun. Lebih parah lagi ketika situs kerajaan itu kini hendak
dihancurkan demi pembangunan kota. Bah!
Begitu banyak sejarah yang dilupakan atau sengaja dilupakan. Begitu pula makam Sri
Paduka Gocah Pahlawan yang setengah mati berusaha kucari di mana lokasinya. Meminjam
istilah Antropolog USU, Juara Ginting, saking acuhnya masyarakat dan pemerintah Medan
terhadap sejarah kotanya, jangan sampai nantinya Medan menjadi kota yang tidak punya masa
lalu. Ibarat seseorang, jika ia lupa masa lalunya berarti ia adalah pribadi yang tidak lengkap. Apa
untungnya menjadi seseorang yang amnesia?
Malam harinya aku tidur dengan gelisah, berharap tidak menjadi amnesia. (Fanny Yulia)

Anda mungkin juga menyukai