Anda di halaman 1dari 9

Isnanda Osama Islamudin (A92219091)

z
Islam dan
Sastra Sunda
z

 Penyebaran Islam di Indonesia adalah proses yang perlahan, bertahap, dan


berlangsung secara damai. Satu teori menyebutkan bahwa Islam datang secara
langsung dari jazirah Arab sebelum abad ke-8 M, sementara pihak lain
menyebutkan peranan kaum pedagang dan ulama Sufi yang membawa Islam ke
Nusantara pada kurun abad ke-12 atau ke-13, baik melalui Gujarat di India atau
langsung dari Timur Tengah.
 Agama adalah kunci sejarah. Untuk dapat memahami bentuk dalam suatu
masyarakat bisa dengan melihat dan memahami agama yang dianutnya. Dalam
semua zaman, hasil karya kreatif pertama dari suatu kebudayaan muncul dari
inspirasi agama dan diabadikan pada tujuan-tujuan keagamaan.
z
Pengaruh Islam dalam Sastra Sunda

 Pengaruh agama Islam terhadap budaya Jawa telah banyak ditelaah. Dikatakan demikian
karena memang ada banyak bagian dari budaya Sunda yang juga merupakan kebiasaan umat
muslim. Sunda dan Islam.
 Di antara hal-hal yang dianggap memiliki interelasi antara budaya Sunda dan kebiasaan umat
Islam adalah seperti yang telah dipraktekan oleh Sunan Kali Jaga dalam proses penyebaran
dakwah Islam.
 Suksesi dakwah Sunan Kali Jaga melibatkan budaya Sunda yakni wayang golek. Dengan
demikian ini, pengikut Islam menjadi banyak, dan dominasinya adalah orang Sunda.
 Dari sekian banyaknya ajaran yang berusaha mempengaruhi, yang memiliki pengaruh paling
besar adalah Islam. Sehingga, pandangan hidup masyarakat Sunda yang tercermin dari tradisi
lisan dan sastra Sunda.
 Seperti peribahasa, istilah, pepatah, serta pameo. Misalnya saja, pameo “silih asih, silih asah,
dan silih asuh” yang berarti saling mengasihi, saling berbagi ilmu, dan saling melindungi.
z
Jaringan Islam Nusantara dan Sastra
Sufistik Sunda
 Islam Nusantara atau model Islam Indonesia adalah istilah organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) untuk
menyebut wujud empiris Islam yang dikembangkan di Nusantara. Istilah ini diperkenalkan dan digalakkan oleh
NU pada 2015, sebagai bentuk penafsiran alternatif masyarakat Islam global yang selama ini selalu
didominasi perspektif Arab dan Timur Tengah.
 Jaringan Islam Nusantara didefinisikan sebagai penafsiran Islam yang mempertimbangkan budaya dan adat
istiadat lokal di Indonesia dalam merumuskan fikihnya.
 Jasa besar kaum sufi kiranya tidak bisa dinafikan dalam mengembangkan tradisi intelektual Islam, termasuk di
dalamnya tradisi sastra sufistik Nusantara.
 Dalam tradisi sastra Sunda, sastra sufistik Sunda berkembang setelah masuknya pengaruh Islam di tatar
Sunda pasca jatuhnya Kerajaan Sunda pada 1579.
 Islamisasi melalui jalur Cirebon dan Banten yang didukung Jawa-Mataram berdampak pada masuknya
pengaruh budaya Jawa terhadap tradisi sastra Sunda. Karenanya bisa dipahami bila sastra Sunda tradisional
berbentuk dangding atau guguritan dan juga cerita berupa wawacan semula merupakan karya sastra tulis
yang banyak dipengaruhi budaya Jawa-Mataram.
 Salah satunya adalah karya sastra sufistik Haji Hasan Mustapa. Ia adalah sastrawan sekaligus mistikus
Sunda terbesar dengan lebih dari 10.000 bait puisi dangding atau guguritan sufistik
z
Haji Hasan Mustapa, Sastrawan Sunda
Terbesar
 Hasan Mustapa lahir di Cikajang, Garut pada 5 Juni 1852 - 1930. Ia adalah Penghulu
Besar, ulama, dan dianggap salah satu Pujangga Sunda terbesar di Tatar Pasundan.
 Hasan Mustapa dianggap sebagai orang yang benar-benar ahli tentang adat-istiadat
Sunda, sehingga kemudian ia diminta menulis buku tentang hal itu yang menghasilkan
Bab Adat-adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Eta di Batavia tahun 1913.
 Selain itu Hasan Mustapa menulis naskah dalam bahasa melayu Kasful Sarair Fihakikati
Aceh wa Fidir yang sampai sekarang naskahnya tersimpan di perpustakaan Universitas
Leiden.
 Tahun 1895, Hasan Mustapa dipindahkan dan diangkat menjadi Penghulu Besar Bandung
sampai pensiun pada tahun 1918.
 Sekitar tahun 1900 ia menulis lebih dari 10.000 bait Dangding yang mutunya dianggap
sangat tinggi oleh para pengeritik sastra Sunda, umumnya membahas masalah Suluk,
terutama membahas hubungan antara hamba (kaula) dengan Tuhan (Gusti).
z
Dangding Sufistik Haji Hasan Mustapa

 Haji Hasan Mustapa menyampaikan pemikiran sufistik melalui dangding.


 Dangding terbagi ke dalam 17 jenis pupuh, yaitu asmarandana, balakbak,
dangdanggula, durma, gambuh, gurisa, jurudemung, kinanti, ladrang,
lambang, magatru, maskumambang, mijil, pangkur, pucung, sinom dan
wirangrong. Setiap pupuh memiliki aturan dan karakteristik suasana masing-
masing.
 Melalui dangding inilah Haji Hasan Mustapa menyampaikan pemikiran-
pemikirannya, termasuk tentang tasawuf. Ia menulis dangding menggunakan
huruf pegon, yaitu huruf Arab dengan bahasa Sunda atau Jawa.
 Nuansa ajaran Islam kental terasa dalam karya dangdingnya yang banyak
memperlihatkan renungannya tentang tasawuf dan ketuhanan.
z
Danding Martabat Tujuh dan Pengaruh
Tuhfah
 Salah seorang tokoh tasawuf yang ikut serta mengembangkan konsep Martabat Tujuh di Nusantara,
khususnya di Jawa Barat adalah Haji Hasan Mustapa.
 Konsep Martabat Tujuh tersebut tertuang dalam 2 buah naskah. Naskah yang pertama berjudul “Adji Wiwitan
Martabat Tujuh, Undak-undukna Manusa”. Kedua, naskah tanpa judul, tapi isi naskah tersebut menjelaskan
Tasawuf Haji Hasan Mustapa, yang disalin ulang pada Bulan Desember 1990 M.
 Terdapat tujuh tingkatan (martabat) yang tertuang dalam teori Martabat Tujuh. Konsep–konsep
utamanya adalah sebagai berikut: Ahadiyya, Wahdah, Wahidiyya, Alam al-Arwah, Alam al-Mitsal, Alam al-
Ajsam, Insan al-Kamil.
 Sedangkan pengaruh Tuhfah tertuang dalam sebuah landasan ajaran Tuhfah yang menyimpulkan bahwa
Tuhan merupakan Wujud (being) dan wujud itu mengalir ke dunia kasat mata melalui tahapan emanasi namun
tanpa melibatkan perubahan dalam proses tersebut.
 Tahapan pertama adalah ketersembunyian Tuhan (Ahadiya) dan enam tahapan berikutnya yang mengalir
darinya adalah Wahdah, Wahidiyya, Alam Arwah, (dunia Jiwa), alam al-mitsal (dunia ide), alam al-jism (dunia
tubuh), dan alam al-insan kamil (dunia manusia sempurna).
 Hamzah fansuri, al-Raniry, Shamsu al-Din, dan Abdul Rauf Singkel telah menggunakan Tuhfa dalam karya-
karya mereka dan memakai pemikiran mengenai tujuh tingkatan wujud.
z
Puisi Dangding Sufistik Alam
Kesundaan
 Struktur dangding memiliki ciri khas tersendiri. Pertama, diksi dalam dangding yang dibangun dengan kreatifitas pilihan kata yang
seringkali tidak terduga seperti imbuhan -um dan -ing pada akhiran kata. Kedua, secara struktur, bait-bait dangding Mustapa
kerapkali menggunakan sampiran sebagai pembuka layaknya rajah dalam pantun Sunda.
Misalnya:
Puguh angklung ngadu angklung
Bisa uni teu jeung awi
Balukarna lalamunan
Mun hiji misah ti hiji
Ngan kari pada capétang
Ngawayangkeun abdi Gusti
Jelas angklung mengadu angklung
Bisa bunyi (indah) bukan dengan bambu
Sebabnya dari lamunan
Kalau yang satu pisah dari yang satu
Cuma sekedar pandai berbicara
Mewayangkan hamba Gusti
z
Sastra Sufistik Sunda dan Identitas
Islam Sunda
 Berkembangnya tradisi sastra sufistik karenanya tidak bisa lepas dari jasa besar kaum
sufi dalam mengembangkan tradisi intelektual Islam, termasuk di dalamnya tradisi sastra
sufistik Nusantara melalui aktivitas tulis-menulis yang sebelumnya relatif sudah mapan.
 Namun, dalam studi sastra Nusantara, perhatian terhadap sastra sufistik Sunda kiranya
relatif masih ketinggalan. Dibanding studi atas karya sastra sufistik Melayu dan Jawa,
studi atas sastra sufistik Sunda masih terbatas.
 Secara lebih luas, signifikansi sastra sufistik Mustapa kiranya tidak bisa dilepaskan dari
konteks indigenisasi Islam di tatar Sunda melalui tradisi tasawuf Sunda.
 Dengan usaha membuat semacam “ijtihad kebudayaan”
 bahwa identitas Islam di tatar Sunda tetap berpijak pada alam pikiran Sunda.
Indigenisasi Islam dilakukan melalui perpaduan ajaran sufistik dengan kekayaan batin
Sunda.

Anda mungkin juga menyukai