Anda di halaman 1dari 5

A.

Pamuka: Standardisasi dan Perspektif


“Sundanisasi Al-Quran” dalam judul ini merupakan potret peristiwa, proses, dan hasil
usaha, sadar atau tidak, Masyarakat Sunda dalam memahami atau memfungsikan Al-Quran dalam
kehidupan sehari-hari.

Penggunaan terma Sunda-Islam, sebagaimana yang terdapat dalam judul bab ini dan
penggunaan terma Islam-Sunda yang muncul dalam wacana masyarakat Sunda masih absrtak,
bahkan sangat sumir. Terlebih, kedua terma ini sering disalah artikan dengan jargon yang beredar
di sebagian kalangan masyarakat Sunda, yaitu Sunda teh Islam, jeung Islam teh Nyunda. Karena
pernyataan terakhir bertendensi dengan politik religious atau hanya bernuansa politik budaya atau
keduanya saling berjalin kelindan. Terma Sunda-Islam secara simplitis merujuk pada budaya
sunda yang di pengaruhi oleh islam, yang dibedakan dari budaya Sunda yang telah dipengaruhi
oleh kepercayaan (agama) laiinya dan ditunjukan untuk menggambarkan sebuah corak ke-Islam-
an khas yang berada dilingkungan masyarakat Sunda.

Dalam kerangka kedua terma tadi hal ini dimaksudkan untuk menelisik respon orang sunda
dalam memandang, memahami dan memfungsikan Al-Quran. Pertama, nilai-nilai Al-Quran
meresap dan menjadi tata nilai bagi masyarakat dan budaya Sunda sehingga dalam tahap tertentu,
muncul budaya-budaya baru yang dipengaruhi Al-Quran atau setidaknya di reformulasi budaya-
budaya lama dengan tata nilai baru. Kedua, pandangan dunia (weltanschauung) masyarakat dan
budaya Sunda, pada sisi tertentu, memengaruhi mereka dalam memahami, menafsirkan dan
mengaktualisasikan (termasuk memfungsikan) Al-Quran.

B. Sundanisasi Al-Quran: Keberlangsungan dan perubahan

Problematika penelusuran

Menelisik kapan orang sunda, baik secara pribadi maupun sebagai masyarakat suku
(tribal), bersentuhan dengan Al-Quran merupakan hal yang sulit. Hal ini disebabkan oleh
penelusuran tentang islamisasi sunda awal samapi saat ini belum menemukan kepastian. Demikian
pula, penelusuran siapakah orang sunda pertama yang memeluk islam dan kapan waktunya,
merupakan soal yang belum terjawab hingga kini. Benarkah pemeluk pertama dari kalangan sunda
itu adalah Haji Purwa, atau Subanglarang, atau Cakrabuana, atau Kian Santang? Jawabannya
masih teka-teki karena keterbatasan bukti-bukti sejarah tertulis.
Untuk memberikan gambaran tentang persoalan islamisasi sunda, bab ini mengupas secara
singkat tentang pesoalan itu. Tentunya islamisasi sunda bukanlah suatu peritiwa, melainkan suatu
proses. Proses tersebut dapat dijabarkan berupa rangkaian peristiwa yang dapat diklasifikasikan
secara vertikal dan secara horizontal. Dengan demikian, kegiatan islamisasi dapat diklasifikasikan
atas:

a) Mengislamkan orang yang belum muslim (kafir), dalam rangka menambah jumlah
Muslim(kuantitas)
b) Mengislamkan orang yang sudah muslim, dalam rangka meningkatkan kualitas Muslim.

Berdasarkan pemikiran diatas, secara garis besar proses islamisasi di Jawa Barat dapat dibedakan
menjadi empat tahap, yaitu:

1. Memperkenalkan agama islam kepada orang-orang yang belum menganut agama islam
(non muslim atau kafir).
2. Memberikan pelajaran tentang ajaran islam dan memperkuat eksitensi umat islam.
3. Memperdalam ilmu agama islam dan menerapkan konsep islam dalam kehidupan
masyarakat, serta menantang penguasa kafir.
4. Memperbaharui pemkiran dan kehidupan islam dalam masyarakat.

Mushaf dikalangan Orang Sunda

Naskah (Mushaf) Al-Quran merupakan salah satu bagian dari naskah yang menjadi warisan
Islam-Sunda masa lalu. Keberadaan naskah (Mushaf) Al-Quran di kalangan masyarakat Sunda
menjadi urgen sebagai bukti-bukti sejarah penyebaran Islam di tatar Sunda. Selain itu, berkaitan
dengan bab ini keberadaan naskah-naskah Al-Quran masa lalu dapat dijadikan baha-bahan untuk
menentukan kapan orang-orang Sunda bersentuhan dengan Al-Quran, terutama dalam bentuk fisik
Al-Quran.

Beberapa naskah (mushaf Al-Quran) yang dapat dilacak diantaranya adalah:

a. Mushaf Al-Quran yang berada di balubur (Garut) yang dipercaya berasal dari zaman Kian
Santang (sekitar tahun 1445: lihat Yuyus Suherman, 1995: 15)
b. Mushaf Al-Quran yang berada di Cangkuang (Garut) yang dipercaya merupakan
peninggalan dari pangeran Arif Muhammad.
c. Mushaf Al-Quran yang berada di Sumedang, yang dapat di percayai sebagai peninggalan
dari Pangeran Santri dan lain-lain.

Berdasarkan penuturan Edi S Ekajati dan Ayat Rohaedi,mushaf-mushaf Al-Quran di Jawa Barat
sebenarnya masihh banyak, tetapi belum dapat dikoleksi, terlebih di daerah kantong-kantong
muslim, pesantren-pesantren dan sekitar tempat-tempat ziarah. Misalnya di Pamijahan sekitar
makam syeikh Abdul Muhyi Pamijahan dipercaya masih terdapat sejumlah naskah keagamaan,
termasuk mushaf Al-Quran. Demikian pula, dengan daerah lain seperti di Cirebon, Bandung,
Cianjur, Banten, Sumedang, Tasikmalaya, dan lainnya. Hingga saat ini, kantong-kantong naskah
klasik tersebut belum banyak distudi dan menyisakan agenda yang banyak.

Sekalipun demikian, para da’i pada zaman dahulu menggunakan berbagai media untuk
memperkenalkan Al-Quran kepada masyarakat Sunda. Mereka menuliskan (bahkan menjelaskan)
surat-surat pendek atau potongan-potongan Al-Quran di atas daluang (media tulisan,semacam
kertas, berasala dari kulit kayu), senjata dan lainnya. Misalnya disebutkan bahwa Kian Santang
(salah seorang yang disebut sebagai penyebar Islam; putra dari Prabu Siliwangi) Menghadiahi
Pangeran Pancer (Cipandacr) sebuah mushaf Al-Quran besar dan sebuah sekin (pisau arab) yang
betuliskan lafadz la ikraha fi al-din. Dalam suasana keterbatasan mushaf Al-Quran, metode
hafalan Al-Quran menjadi alternatif dalam memperkenalkan dan melekatkan Al-Quran dalam
hafalan Muslim-Sunda dan lainnya. Hafalan surat-surat Al-Quran seperti beberapa surat dari juz
‘amma, Yasin, Al-Waqi’ah, ayat kursi dan lain-lain diajarkan, terutama untuk kebutuhan ritual
keagamaan.

Terjemahan dan Tafsir Al-Quran

Pada pertengahan abad ke-19 ada percetakan karya-karya bahsa Sunda dengan huruf latin,
didorong oleh penasihat pemerintahan kolonial. Akan tetapi, pada mas itu juga terjemahan Al-
Quran berbahasa Sunda belum muncul. Hal ini bukan berarti tidak ada sarjana-sarjan Sunda yang
cukup terpelajar dalam bahasa Arab Al-Quran dari Pendidikan pesantren. Rupanya, setalh aba-
abad dominasi budaya oleh kekuasaan jawa lalu kekuasaan Belanda, bahsa Sunda terasa kurang
cocok sebgai wahana untuk bahasa Al-Quran. Bahasa Sunda pada waktu itu masih di posisi’L’
dalam paradigma diglosia, belum dianggap pantas untuk mengekspresikan pikiran yang
mendalam. Sebagai contoh, waktu Karel Holle menceritakan kepada seorang bupati Sunda bahwa
ada sajak-sajak yang ditulis dalam bahasa Sunda oleh seorang penghulu, si bupati
menjawab,”Mustahil! Sunda itu bukan bahasa!”

Sundanisasi Al-Quran dimulai dengan karya Haji Hasan Mustapa, seorang sastrawan
Sunda dan ahli tasawuf. Haji Hasan Mustapa hidup antara paruh kedua abad ke-19 dan pertengahan
paruh pertama abad ke-20. Ia merupakan ulalam terkemukan pada masanya. Sebagai seorang
sastrawan, beliau banyak menghasilkan karya tulis, baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Karya-
karya tersebut umumnya berbicara mengenai banyak hal, antara lain: Tasawuf, Otobiografi dan
Adat istiadat. Sekalipun demikian, tasawuf merupakan tema yang paling menonjol di banding
denga tema yang lain. Beliau tidak pernah menulis tafsir lengkap, selain ayat terpilih. Sekitar tahun
1920, beliau memilih 105 ayat yang dianggap relevan dengan hidup orang Sunda, lalu di
terjemahkan dalam bentuk dangding. Dalam kata pengantarnya, ia memberikan nasihat dengan
gaya tulis yang samar:

“Jeung tangtu aya nu nanyakeun: ieu pakeeun iraha? Jawaban: ti babaheula ngaula ka
indung-bapa dijangjian: jaga geus baleg maneh kudu babalik piker. Umur sabaraha nurutkeun
Rasulullah di jasmanikeun cara jelema sakeun rasiah agama. Baheula ku basa Sunda akhirna ku
basa Arab; jadi kaula nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina bahasa Arab.”1

Dalam berbagai tulisannya, beliau memasukan kode elemen-elemen budaya lokal


masyarakat Sunda (priangan) dengan tujuan agar niali-nilai Al-Quran dan islam dapat diserap dan
diterima oleh masyarkat Sunda (priangan), terutama menak Priangan.

Pada tahun 1920-an, sastrawan Sunda yang lain mulai mengikuti saran dai Haji Hasan
Mustapa untuk “nyundakeun arab” dan “ngarabkeu Sunda”. Pada tahun 1926, D.K. Ardiwinata
mengusulkan agar bahasa pengantar di sekolah agam-agama di Pasundan seharusnya tidak hanya
bahas Arab, tetapi juga bahasa Sunda. Pada masa itu, pedadogi pesantren mulai dipiksa kembali,
rupanya di pengaruhi oleh Gerakan pembaharuan Islam yang “Reformis”. Kaum reformis
memperjuangkan ijtihad Al-Quran secara individu, dari pada menggunakan teks-teks pengantar
yang diwarisi generasi-generasi jaman dahulu. Misalnya menurut penasihan colonial G.F Pijper,
khutbah jumat baru menggunakan bahsa daerah pada tahun 1920-an, yang sebelumnya di hindia
belanda menggunakan bahsa arab. Di daerah pasundan perubahan ini aga lambat dibanding dengan

1
Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung karya-karyana, Bandung: pustaka, 1989, hlm 394.
Jawa Tengah dan Jawa Timur , tetapi pada tahun 1982 sudah 70% masjid di jawa bara
menggunakan bahasa sunda untuk khabahnya. Ada indikasi khatbah jumat bangkit kembali di
desa-desa sunda yang ketat dengan ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah.

Satu perubahan “Sundanisai” yang lain adalah penggunaan tafsir-tafsir pesantren sunda.
Menurut beberapa sunber pada abad ke-19 seluruh pesantren pasundan memekai tafsir jawa
sebagai teks pegantar antara bahas Arab dan bahasa ibu para Santri, yaitu bahsa Sunda.
Penggunaan tafsir jawa di pertalikan denga penyebaran ajarab-ajaran islam dari Cirebon ke daerah
Sunda sangat jelas dari ‘Logat Jawa’ yang digunakan untuk menghafalkan tafsir jawa yaitu dialek
jawa Cirebon. Sepanjang abad ini kebanyakan pesantren Priangan (seperti di Tasikmalaya dan
Garut) menganti bahsa pengantarnya dari jawa ke Sunda. Akan tetapi, kebanyakan pesantren
Sunda di utara (seperti bogor-karawang-Cirebong) masih tetap menggunakan tafsir jawa.

Alasan lambatnya Sundanisai Al-Quran di karenakan pada abad ke-20 penggunaan tafsir
jawa di pesantren Sunda. Walaupun Haji Hasan Mustapa telah menulis tafisr dengan beberapa ayat
terpilih pada tahun 1920. Akan tetapi terjemahan atau tafsir lengkap baru muncul pada tahun 1940-
an oleh seorang menak yang terkenal, Bupati Bandung R.A.A Wiranatakoesoemah V. menulis
tafsir surat Al-Baqarah secara dangding serta Ahmad Sanusi (Pendiri pesantren Gunung Puyuh di
Sukabumi) dan K.H Ramli juga mengeluarkan tafsir lengkap, akan tetapi tafsir Sunada belum
tersebar secara luas pada tahun 1970-an. Penerbit Al-Ma’arif mencetak tafsir Ramli dengan judul
Al-Kitabul Mubin: Tafsir Basa Sunda, Sedangkan CV Diponegoro menerbitkan Al-Amin Al-Quran
Tarjamah Sunda oleh K.H.Q. Salaeh dkk. Beberapa tafsir Sunda yang sudah muncul diantaranya
karya penyair Sayudi dan satu lagi karya Moh.E.Hashim dengn judul Ayat Suci Lenyepaneun
dalam 30 jilid.

Anda mungkin juga menyukai