Anda di halaman 1dari 3

Naskah-naskah Islam Sunda Kuna Aditia Gunawan Dalam periodisasi sejarah kebudayaan Sunda, masa-masa peralihan selalu menampilkan

sisi menarik untuk dikaji lebih jauh. Tengok saja, misalnya, studi Mikihiro Moriyama (2003) tentang perubahan konfigurasi tulisan dari budaya naskah (manuskrip) ke budaya cetak di Tatar Sunda pada abad ke-19. Dalam hasil kajiannya itu dapat diperoleh gambaran bahwa pada periode tersebut terjadi ketegangan, tarik-menarik kepentingan, antara yang lama dan yang baru. Tradisi membaca dengan didaraskan digantikan oleh kegiatan membaca dalam hati, tradisi menyalin naskah digantikan oleh tradisi cetak. Dalam tradisi menyalin naskah, sangat jarang penulis mencantumkan identitasnya secara jelas, sedangkan dalam tradisi cetak sampul-sampul buku menampilkan berbagai identitas pengarang (seringkali ditambah foto). Dengan kata lain, aktivitas sosial digantikan oleh aktivitas individual. Demikian pula halnya jika kita melihat dinamika perubahan yang terjadi pada masa yang jauh lebih lampau, ketika pengaruh Islam pertama kali masuk ke Tatar Sunda menggantikan, di sisi lain meneruskan, tradisi Hindu-Budha dengan agama pribumi yang sebelumnya telah mengakar kuat di Tatar Sunda. Tradisi yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah tradisi menulis (menyalin) naskah di kabuyutan pada periode peralihan tersebut. Pengkajian-pengkajian mutakhir atas naskah Sunda Kuna yang ditulis diatas dedaunan dan daluang, mulai mengungkapkan informasi bahwa naskah-naskah itu tidak hanya berisi ajaran agama yang dianut masyarakat Sunda Pra-Islam, tetapi juga berisi teks-teks Keislaman. Secara paleografis cirinya mencolok: aksara yang digunakannya bukan aksara Arab atau Arab Pgon, melainkan aksara Sunda Kuna. Selain itu, bahasa yang digunakan dalam teks adalah bahasa Sunda Kuna yang dalam beberapa segi memiliki perbedaan dengan bahasa Sunda moderen. Keadaan yang hampir sama kiranya terjadi di Merapi-Merbabu yang memiliki khazanah naskah keislaman yang cukup kaya. Di wilayah tersebut naskah Islam ditulis diatas lontar dengan menggunakan aksara Buda (Setyawati dkk., 2002).

Naskah-naskahnya Carita Waruga Guru Naskah pertama yang perlu disebut adalah Carita Waruga Guru (CWG). Tetapi, jika melihat facsimile dari Pleyte (1913), naskah CWG bernomor BG 74. Meski koleksinya kini sudah tidak ada di tempatnya, tetapi dari penomoran tersebut jelas bahwa naskah ini pernah berada di Bataviaasch Genootschap. Naskah CWG berasal dari pemberian bupati Galuh R.A.A. Kusumahdiningrat kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen. Keberadaan naskahnya sendiri saat ini tidak jelas, dan sudah tidak tersedia di Perpustakaan Nasional saat ini. Naskah CWG ditulis diatas kertas daluang, beraksara Sunda Kuna dan berbahasa Sunda Kuna. Teks CWG pertama kali diumumkan oleh C.M. Pleyte (1913). Dalam sejumlah detail, kita menemukan istilah Arab yang mulai memperkaya bahasa Sunda Kuna dalam teks, seperti istilah kitab yang menggantikan istilah apus atau pustaka dalam naskahnaskah sebelumnya. Atau istilah-istilah Arab yang bertalian dengan konsep keislaman yang kuat seperti gaib (mungkin mengganti niskala), Jamalullah (Allah yang Bagus), dan Jabalkap (Gunung Kaf). Dapat dipastikan bahwa penulis teks CWG beragama Islam, serta memahami tauhid dengan baik. Hal ini terlihat jelas ketika pengarang menggambarkan manusia di Nusa Jawa yang menyembah gunung dan menjadikannya tempat pemujaan:

Mangka urang Nusa Jawa pada su(ju)d ka gunung antg dijieun pamujaan. Mangka katingallan ku malkat yn ruksak umatna kabh sujud ka kayu ka batu, mangka dipanah ku gugutuk batu. Lalu orang Nusa Jawa semua sujud kepada gunung, dijadikan pemujaan. Lalu terlihat oleh malaikat (yang menganggap) bahwa akan rusak semua umatnya karena sujud kepada batu, lalu dipanahlah oleh bebatuan. Dari batu-batu yang berserakan itulah, dalam pandangan pengarang, kabuyutan tercipta. Pengarang seolah-olah ingin menegaskan bahwa batu-batu (situs) yang terdapat di gunung adalah anak panah berupa batu yang dihujamkan Malaikat (baca: Islam) yang marah dengan kebiasaan masyarakat Nusa Jawa yang musyrik. Dengan menciptakan mitos ini, secara tersirat, kabuyutan yang pada masa sebelumnya menjadi bagian penting dalam tradisi Hindu-Budha di tatar Sunda sebagai sebuah tempat yang dilindungi secara politik, telah dilegitimasi oleh Islam.

Bacaan Shalat Bukan hanya Tauhid, Syareat pun rupanya telah dipahami oleh masyarakat Sunda Kuna. Hal itu tampak pada salah satu teks dari kropak 421 (Undang A. Darsa & Edi S. Ekadjati, 2004) yang berisi bacaan sholat, dengan keunikan transkipsi dari bahasa Arab ke dalam aksara Sunda Kuna. Umpamanya kata Arab walhamdulillah ditulis walkamdu lilahhi, attahiyat menjadi atasiyat, dll. Teks yang berisi bacaan shalat ini didasarkan pada risalah Kangjeng Pangeran Sumanagara. Melihat kentalnya pengaruh bahasa Jawa (baru) pada teks ini, agaknya Pangeran Sumanagara adalah seorang penyebar Islam di Tatar Sunda ketika Mataram menguasai Priangan. Uniknya lagi, teks ini diawali dengan dua kalimat syahadat. Mungkin teks ini merupakan teks tertua di Jawa Barat yang menuliskan dua kalimat syahadat dan bacaan shalat.

Pakling dan Mantra Teks Pakling dan Mantra (PM) berasal dari dua naskah yang saat ini tersimpan di Perpustakaan Nasional RI dengan nomor koleksi L 413 dan 414. Teks PM memuat uraian tenyang fikih, termasuk iman dan amal, bab halal dan haram, makruh, sunat dan wenang. Teks ini berisi peringatan kepada manusia yang hendak menjalankan daulat Allah. Menariknya, teksnya sendiri ditulis dalam bentuk puisi yang terdiri dari delapan suku kata, meneruskan tradisi lisan pantun Sunda yang telah berakar jauh sebelum Islam masuk ke Tatar Sunda.

Islam dan Kabuyutan Sebagaimana telah dikemukakan, teks-teks yang terselamatkan dan dapat sampai kepada kita saat ini pada umumnya berasal dari sebuah kabuyutan di Tatar Sunda. Untunglah ada kabuyutan Ciburuy yang masih menyimpan naskah peninggalan karuhun. Walaupun ahli warisnya tidak dapat membacanya, tetapi naskahnya dapat terawat melalui ritual pada bulan Maulud. Pada masa dahulu, kabuyutan Ciburuy memiliki seorang sarjana yang cukup dikenal sebagai penyalin produktif teks-teks Sunda Kuna. Ia bernama Kai Raga. Bukan hanya teks-teks bernafaskan Hindu Budha saja yang ditulisnya, teks keislaman pun ditulisnya. Tapel Adam, teks yang mengisahkan kejadian terciptanya alam dunia dan nabi Adam (Naskah KBG 75 koleksi PNRI) adalah goresan dari peso pangot-nya. Hal ini menimbulkan beberapa kemungkinan. Pertama, Kai Raga berpindah agama menjadi Islam. Kedua, Kai Raga hanya bertugas menyalin

naskah-naskah dari sumber yang lain, baik naskah Pra-Islam maupun Islam. Ketiga, nama-nama Kai Raga itu hanyalah istilah untuk juru tulis, yang boleh jadi merupakan orang yang berbeda. Tetapi kemungkinan itu hanya melahirkan hipotesis belaka. Satu yang pasti, Kai Raga dari Gunung Cikuray membuka dirinya untuk Islam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kabuyutan pada masanya tidak hanya difungsikan sebagai sarana pendidikan agama jaman Pra-Islam. Lebih dari itu, kabuyutan menjadi lembaga akademis sekaligus skriptorium yang mampu ngigelan jaman, tidak menutup dirinya pada anasir baru yang datang dari luar, terutama Islam. Para sarjana kabuyutan seperti Kai Raga selain giat menulis dan menyalin naskah, juga mempelajari segala pengetahuan, termasuk Islam, yang ditulis di daun lontar, gebang, dan kertas daluang itu. Hal ini setidaknya terjadi sampai Netscher, pada tahun 1853 memberitakan bahwa tradisi ini tidak lagi hidup di masyarakat, dan ketika ditemukan, tidak ada seorang pun yang dapat membacanya.

Anda mungkin juga menyukai