Anda di halaman 1dari 16

Tradisi Penulisan dan Penelitian Naskah-naskah Melayu dan KeIslaman

pada Umumnya

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah SKI Kawasan Asia Tenggara

Dosen Pengampuh : Drs. Tarmidzi Idris, M.A

Disusun Oleh

Amar Farohi-(1160220000066)

Jurusan Sejarah Peradaban Islam


Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji beserta syukur senantiasa saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT. atas
semua limpahan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul Tradisi Penulisan dan Penelitian Naskah-naskah
Melayu dan KeIslaman pada Umumnya.
Harapan penulis, semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca, menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya penulis dapat
memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi dan tidak lupa
penulis ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini.
Sebagai penulis, saya mengakui bahwasanya masih banyak kekurangan yang
terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu, dengan penuh kerendahan hati penulis
berharap kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran demi lebih
memperbaiki makalah ini. Terima Kasih.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Ciputat, 24 April 2019

Amar Farohi
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang

Produk budaya bangsa Melayu dalam bentuk tradisi tulis disebut sebagai naskah
(manuscript) tersebar luas di beberapa negara Asia Tenggara dan menjadi khazanah
keilmuan. Naskah ini ditulis dalam aksara Arab sekitar seribu tahun kebelakang.
Sebagian naskah-naskah itu saat ini tersimpan dalam koleksi publik yang jumlahnya
mencapai puluhan ribu dan jumlah itu di luar jumlah naskah yang menjadi koleksi
pribadi.
Naskah (manuscript) merupakan salah satu bentuk khazanah budaya, yang
mengandung teks tertulis mengenai berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat, serta
perilaku masyarakat masa lalu. Dibandingkan dengan bentuk-bentuk peninggalan budaya
material non-tulisan di Nusantara, seperti candi, istana, masjid, dan lain-lain, jumlah
peninggalan budaya dalam bentuk naskah jelas jauh lebih besar. Naskah-naskah yang
sejauh ini masih sering diabaikan keberadaannya, dan hanya mendapatkan perhatian dari
kelompok orang tertentu saja, khususnya para filolog dan pustakawan sesungguhnya
menyimpan makna dan dimensi yang sangat luas karena merupakan produk dari sebuah
tradisi panjang yang melibatkan berbagai sikap budaya masyarakat dalam periode tertentu.
Tradisi penulisan naskah pada masa lalu, di wilayah Indonesia khususnya, dan di
Nusantara pada umumnya, tampaknya pernah terjadi dalam rentang waktu yang relatif
panjang. Hal ini terutama jika mempertimbangkan jumlah naskah Nusantara tersebut
yang luar biasa banyak, tidak terbatas pada bidang kesusastraan saja, tetapi juga
mencakup bidang lain seperti filsafat, adat istiadat, sejarah, hukum, obat-obatan, teknik,
agama, dan lain-lain. Naskah-naskah tersebut sebagian telah tersimpan di perpustakaan,
baik di dalam maupun di luar negeri, dan sebagian lagi masih “tercecer” di tangan
masyarakat.
Di antara berbagai kategori naskah Nusantara, naskah keagamaan (baca: Islam)
merupakan salah satu jenis kategori naskah yang jumlahnya relatif banyak. Hal ini tidak
terlalu mengherankan, mengingat kenyataan bahwa ketika Islam dengan segala
kekayaan budayanya masuk di wilayah Nusantara pada umumnya, dan di wilayah
Melayu pada khususnya ini, budaya tulis-menulis sudah relatif mapan, sehingga ketika
terjadi persentuhan antara Islam dan budaya tulis-menulis tersebut, maka muncullah
berbagai aktivitas penulisan naskah-naskah keagamaan yang memang menjadi media
paling efektif untuk melakukan transmisi keilmuan Islam, baik transmisi yang terjadi
antara ulama Melayu dan para ulama Timur Tengah, maupun antarulama Melayu itu
dan murid-muridnya.
Selain itu, banyaknya naskah keagamaan – terutama dengan unsur tasawuf – juga
terkait dengan kenyataan bahwa kebudayaan yang dimiliki bangsa Melayu hingga
dewasa ini secara keseluruhan merupakan hasil dari proses akulturasi manusia dengan
peradaban Islam. Apalagi, diketahui bahwa sejak abad ke-13, negara-negara di Asia
Tenggara telah didatangi oleh para ulama sufi yang dalam proses penyebaran Islam
banyak pula menghasilkan berbagai tulisan, yang kini tersimpan dalam bentuk naskah,
menyangkut ajaran-ajaran tasawuf yang mereka sampaikan kepada masyarakat
setempat.1

1. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan naskah dan historiografi


2. Bagaumana perkembangan bahasa serta penulisan karya-karya tokoh-tokoh
Terdahulu dalam khazanah naskah Melayu
3. Apa saja naskah-naskah yang berhasil ditulis oleh para tokohdan dampaknya
dalam masyarakat Melayu

2. Tujuan Makalah

1. Mengetahui sejarah perkembangan bahasa Melayu di Kawasan Asia


Tenggara
2. Mengetahu sejarah penulisan bahasa Melayu di Asia Tenggara
3. Mengetahui naskah-naskah yang dihasilkan para tokoh dalam khazanah
naskah Melayu

BAB II
1
Hasbullah, “Naskah Melayu sebagai Sumber Informasi dalam Kajian Islam Lokal”
Pembahasan

A. Pengertian Naskah

Dalam KBBI, kata “naskah” diartikan sebagai: (1) karangan yang masih ditulis
dengan tangan; (2) karangan seseorang yang belum diterbitkan; (3) bahan-bahan berita
yang siap untuk diriset; dan (4) rancangan.
Padanan kata naskah adalah al-makhtutat (Arab) yang didenifisikan sebagai al-
kutub al-maktubah bil yad (buku yang dihasilkan melalui tulis tangan), dan manuscript
(Inggris) yang antara lain didenifisikan sebagai; a book, document or other composition
written by hand (buku, dokumen, atau lainnya yang ditulis tangan).
Dalam konteks filologi Indonesia, kata “naskah” dan “manuskrip” dipakai dalam
pengertian yang sama, yakni merujuk pada dokumen yang di dalamnya terdapat teks
tulisan tangan, baik berbahan kertas (kebanyakan kertas Eropa), dawulang (kertas lokal
dari daun saeh), lontar (kertas lokal dari daun lontar), bambu, dan lainnya.
Naskah merupakan salah satu sumber primer paling otentik yang dapat mendekatkan
jarak antara masa lalu dan masa kini. Naskah menjanjikan sebuah ‘jalan pintas’
istimewa untuk mengetahui khazanah intelektual dan sejarah sosial kehidupan
masyarakat masa lalu, asalkan tahu cara membaca dan menafsirkannya. Dalam konteks
Nusantara, naskah yang jumlahnya sangat melimpah dalam berbagai bahasa, menjadi
‘lumbung emas’ yang telah lama disadari oleh para sarjana Barat dan Eropa.2

B. Pengertian Historiografi

Secara semantik, kata “historiografi” merupakan gabungan dari dua kata, yaitu
history yang berarti sejarah dan grafi yang berarti deskripsi/penulisan3.
Menurut Gottschalk, history berasal dari kata benda istoria, yang berarti ilmu. Bagi
para filosof Yunani, kata istoria ini lebih sering digunakan dalam memaparkan hal-hal
yang berhubungan dengan gejala-gejala alam, tetapi lebih khusus lagi, tentang hal ihwal
manusia. Definisi yang paling umum dari kata history ialah “masa lampau manusia”4.
Penulisan sejarah adalah usaha rekonstruksi peristiwa yang terjadi di masa lampau.
Penulisan itu bagaimanapun baru dapat dikerjakan setelah dilakukannya penelitian,
karena tanpa penelitian, penulisan menjadi rekostruksi tanpa pembuktian. Baik
penelitian dan penulisan membutuhkan keterampilan. Dalam penelitian dibutuhkan
kemampuan untuk mencari, menemukan, dan menguji sumber-sumber yang benar.
Sedangkan dalam penulisan dibutuhkan kemampuan menyusun kata-kata disertai fakta-
fakta, yang bersifat fragmentaris ke dalam suatu uraian yang sistematis, utuh, dan

2
Oman Fathurrahman, “Filologi Indonesia Teori dan Metode”, Kencana, Jakarta, 2017, hlm. 21
3
Badri Yatim, Historiografi Islam, Logos Wacana Ilmu, Pamulang, 1997, hlm.1
4
Imas Emalia, Historiografi Indonesia Sejak Masa Awal sampai Masa Kontenporer, UIN Jakarta Press,
2006, hlm. 6
komunikatif, keduanya membutuhkan kesadaran yang teoritis yang tinggi serta
imajinasi historis yang baik.5

C. Sejarah Perkembangan Bahasa Melayu-Arab

Bahasa-bahasa di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia pada waktu sebelum dan


masa kedatangan serta penyebaran Islam bermacam-macam. Di Jawa, bahasa yang
dipergunakan ialah bahasa Jawa Kuno, Sunda Kuno dan didaerah-daerah Sumatera dan
semenanjung Melayu dipergunakan bahasa Melayu. Terdapat bahasa-bahasa daerah lain
seperti bahasa Batak, Kubu, Nias, Minangkabau, Padang dan sebagainya. Demikian
pula di Kalimantan, terdapat bahasa Banjar, Melayu dan Dayak, di Sulawesi bahasa
Bugis, Makasssar dan di Maluku juga terdapat bermacam-macam bahasa.
Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa bahasa Melayu telah mulai digunakan
sebagai bahasa kerajaan pada abad ke-7. Sejumlah prasasti peninggalan dari periode itu
membuktikan hal demikian. Prasasti tersebut ditulis dengan huruf Pallawa dalam bahasa
Melayu Lama, yakni prasasti Kedudukan Bukit (683M) berisi piagam pembentukan
Kerajaan Sriwijaya, prasasti Talang Tuo (684M) berisi segala tanaman dan buah-buahan
untuk kesejahteraan rakyat dan prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka, yang berisi
sumpah serapah bagi mereka yang tindak tunduk pada penguasa Kerajaan Sriwijaya.
Teks yang berasal dari India pun banyak disalin, didiskusikan, dan diberikan
komentar dalam bahasa Jawa Kuno. Selama beberapa abad, bahasa Sanskerta
merupakan salah satu bahasa yang terpenting bagi kalangan cendekiawan dan
agamawan di Sumatra, Jawa dan Bali.
Hingga abad ke-10, pengaruh agama Hindu-Buddha masih sangat kuat mewarnai
tradisi tulis naskah Indonesia di Jawa Tengah, Timur dan Pulau Bali. Naskah sastra dan
agama pada kurun waktu tersebut ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, Jawa Tengahan, dan
bahkan Sanskerta di atas daun lontar, yang tradisinya terus berlanjut hingga abad ke-15.
Ini berarti bahwa diantara berbagai tradisi tulis asli Nusantara, tradisi Jawa dapat
dianggap sebagai yang tertua dan juga yang menghasilkan naskah dalam jumlah
terbanyak mulai dari masa pra-Islam sampai abad ke-19. Hanya saja, seperti yang
diisyaratkan Th. Pigeud, tidak semua karya sastra Jawa itu bertahan dan sampai ke
generasi sekarang.6
Sejalan dengan proses konsolidasi bahasa Melayu sebagai linguafranca di
Nusantara, tulisan Jawi juga mengalami suatu perkembangan penting; tulisan Jawi telah
disesuaikan dengan kaidah-kaidah bahasa Melayu, baik dari segi fonem, ejaan,
penggantian tanda baca, maupun penciptaan huruf saksi. Proses inilah yang
mempertegas sistem ejaan Jawi, yang semakin tegas dan mapan sebagai skrip dan ejaan
bahasa Melayu. Pada perkembangan abad ke-16 dan 17.
Khusus terkait Sriwijaya, kemunculan bahasa Melayu berlangsung sejalan dengan
peran penting kerajaan tersebut dalam arus perdagangan di laut Asia Tenggara, tepatnya
rute perdagangan India dan China. Dalam kondisi demikian, bahasa Melayu tumbuh

5
Badri Yatim. Op.Cit. hlm. 3
6
Oman Fathurrahman, “Filologi Indonesia Teori dan Metode”, Kencana, Jakarta, 2017, hlm. 42
menjadi bahasa perantara perdagangan di kota-kota pelabuhan, yang tersebar
disepanjang wilayah kepulauan. Sejak itu, bahasa Melayu menjadi linguafranca satu-
satunya di antara penduduk Nusantara dan orang asing.
Momentum perkembangan bahasa Melayu menjadi linguafranca bermula di
Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13. Ada beberapa yang perlu ditegaskan disini
adalah bahwa Kerajaan Samudera Pasai tidak hanya mewarisi bahasa Melayu sebagai
bahasa resmi negara, sebagaimana halnya Kerajaan Sriwijaya, tapi juga
memfasilitasinya untuk berkembang lebih luas, baik dalam pengertian geografis
maupun kebahasaan. Hal terakhir ini berlangsung sejalan dengan posisinya sebagai
pusat perdagangan internasional, dimana banyak pedagang dari berbagai negara datang
dan melakukan transaksi ekonomi di lingkungan kerajaan. Di samping perdagangan dari
China dan India, Samudera Pasai juga menerima kedatangan para pedagang dari dunia
Muslim di Timur Tengah, khususnya Arab dan Persia. Dalam kondisi demikian, di
mana kontak dengan para pedagang dari berbagai negara berlangsung intensif, bahasa
Melayu mengalami banyak proses pengayaan dengan menerima kosakata baru yang
sebagian besar berasal dari bahasa Arab-Islam. Masuknya unsur-unsur bahasa asing
tersebut pada akhirnya telah memperkenalkan konsep-konsep baru dalam bahasa
Melayu, seperti konsep yang berhubungan dengan konsep agama, filsafat, dan sisitem
sosial yang baru.7

D. Tradisi Penulisan Naskah Melayu

Penulisan manuskrip Melayu sebenarnya mempunyai kaitan yang dekat dengan


sejarah bahasa Melayu. Hasil kajian awal terhadap bahasa Melayu mendapati bahawa ia
telah digunakan secara meluas sejak zaman Hindu dan Buddha. Ia digunakan sebagai
bahasa pengajaran di pusat-pusat pengajian Buddha di Sriwijaya untuk mengajar bahasa
Sanskrit dan falsafah. Walau bagaimanapun, penggunaannya pada waktu itu terbatas
disebabkan monopoli oleh bahasa Sanskrit dan bahasa Jawa Kuno. Tambahan pula,
tidak ditemui peninggalan yang menerangkan penggunaan bahasa Melayu sebagai
bahasa kesusasteraan ketika itu. Namun, kegiatan penulisan dalam bahasa Melayu mulai
berkembang dengan pesat setelah kedatangan Islam ke alam Melayu.
Setelah beberapa lama, Islam diterima secara meluas oleh masyarakat alam Melayu
dan bahasa Arab mulai digunakan oleh masyarakat Melayu sebagai sistem tulisan
mereka. Kemudian, perlahan-lahan bahasa Melayu yang menggunakan huruf Jawi
dibentuk setelah menguasai bahasa Arab. Perkataan Jawi ini adalah kata sifat yang
membawa arti “Orang Jawa” atau berasal dari “Tanah Jawa”. Oleh itu, orang Arab
memberi gelaran kepada orang Melayu dan orang Jawa dengan bangsa Jawi dan tulisan
Melayu yang menggunakan huruf Arab itu disebut sebagai tulisan Jawi. Tambahan pula
tulisan tersebut dibentuk dengan menggabungkan huruf-huruf Arab dengan huruf-huruf
baru yang direka seperti huruf ca (‫)خ‬, nga (‫)غ‬, pa (‫)ف‬, ga (‫ )ض‬dan nya (‫)ث‬. Ia
diperkenalkan bukan saja bagi membolehkan masyarakat untuk membaca al-Qur’an,
malah bertujuan untuk menelaah kitab dalam pelbagai bidang ilmu. Justeru, melalui

7
Jajat Burhanuddin, “Islam dalam Arus Sejarah Indonesia”, Kecana, Jakarta, 2017, hlm. 161
tulisan Jawi ulama-ulama berkesempatan untuk menghasilkan pelbagai manuskrip bagi
merakamkan buah pikiran mereka.
Dalam menghasilkan manuskrip, mereka sering kali mencatatkan sebab penulisan
atau penyalinan berkenaan dilakukan. Antaranya disebabkan perintah pembesar,
contohnya pengarang Tuhfah al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman al-Mukminin,
Muhammad Arsyad bin Abd al-Allah al-Banjari mencatatkan

“...dan telah menuntut daripada aku oleh seorang laki-laki yang tiada
boleh daku menyalahi daripada setengah orang besar-besar pada masa
itu...”

Manakala Shaykh Nur al-Din al-Raniri dalam kitab Sirat al-Mustaqim mencatatkan
bahawa beliau diminta oleh orang besar-besar:

“...Sesungguhnya telah meminta padaku setengah daripada orang


besar-besar daripada sahabatku pada menghimpunkan suatu kitab pada
menyatakan ilmu fikah...”

Ia juga ditulis dan disalin untuk dibaca sebagai alat hiburan dalam kalangan
penghuni istana, bangsawan serta rakyat jelata. Bagi rakyat jelata, terdapat tukang baca
yang akan membacakan manuskrip dengan nada yang bersesuaian seolah-olah
melakonkan cerita. Malah, ia juga dijadikan sebagai alat rujukan bagi para istana,
bangsawan serta ulama. Adapun manuskrip bercorak Islam diperkenalkan untuk
membantu masyarakat membentuk akhlak mulia seperti mana yang terdapat pada para
anbiya‟ dan orang soleh seperti sifat keberanian, keikhlasan, kejujuran dan sebagainya.
Ia juga dikembangkan untuk menyebarkan ajaran Islam seperti mana yang terdapat
dalam Kitab Durr al-Fara’id bi Sharh al-„Aqa’id di mana pengarangnya mencatatkan:

“...maka dipindahkan faqir daripada bahasa Arab kepada bahasa


Jawi supaya mudah pada segala orang yang tiada tahu bahasa Arab
kepadanya...”

Menyentuh tentang bilakah bermulanya penulisan manuskrip Melayu, sehingga


kini masih belum ada catatan tepat mengenainya. Ini karana kebanyakan manuskrip
yang ditemui tanpa tahun dan nama pengarang. Ada pendapat yang mengatakan bahawa
penulisan manuskrip Melayu berkembang pada abad ke-15 dan mencapai kemuncaknya
pada abad ke-17. Jika ini diambil, maka andaian bahwa bermulanya penulisan
manuskrip Melayu adalah beberapa abad sebelum itu, paling tidak pun pada abad ke-9.
Pendapat ini bersandarkan kepada bukti bahawa pada abad itu sudah muncul kerajaan
Islam di Perlak yang terletak di utara Sumatera.

Walaupun tidak semua manuskrip yang ditemui tidak dicatat tahun, namun ada
juga yang dicatat tahunnya. Maka berdasarkan catatan inilah para pengkaji membuat
anggapan manakah antara manuskrip yang ditemui adalah manuskrip yang tertua.
Manuskrip Melayu tertua yang ditemui ini bertanggal 998 H / 1590 M juga
menggunakan tulisan Jawi. Manuskrip ini merupakan satu terjemahan daripada kitab
agama Islam Aqa‟id al-Nasafi.

Menurut Zuber Usman, penulisan terawal dilakukan dalam bahasa Melayu adalah
dalam bentuk tulisan kitab agama atau risalah agama di mana pada permulaannya ia
berkisarkan perkara asas agama Islam seperti syahadah, solat, puasa, zakat dan rukun
haji. Namun setelah masyarakat Islam memahami perkara asas agama, maka mereka
memerlukan penulisan yang lebih mendalam dalam bidang agama. Lalu muncullah
tulisan-tulisan lain seperti dalam bidang feqah, tafsir, hadith, ilmu kalam, falsafah,
tasawwuf dan sebagainya. Antara manuskrip yang menyentuh ilmu feqah atau ibadah
seperti Bughyah al-Tullab dan Sirat al-Mustaqim karya Shaykh Nur al-Din al-Raniri
dan Sabil al-Muhtadin li al-Tafaqquh fi Amar al-Din karya Shaykh Muhammad Arsyad
bin Abd Allah al-Banjari. Tiga buah manuskrip ini merupakan kitab Jawi besar yang
terlengkap dalam perkara ibadah di alam Melayu.8

E. Naskah-naskah Melayu-Islam yang terdapat di Nusantara

a. Kaitan dengan Biografi

1. Hikayat Iskandar Zulkarnain

Hikayat Iskandar Zulkarnain adalah sebuah hikayat yang mengisahkan riwayat


hidup Iskandar Agung (365-323 SM), putra Philipus dari Makedonia. Dalam
hidupnya yang singkat, Iskandar Agung pernah menaklukan Mesir, Parsi dan
membawa tentaranya hingga ke India. Oleh karena itu, semasa hidupnya cerianya
sudah tersebar ke mana-mana.
Setelah wafatnya pada usia yang muda, yaitu 33 tahun di Babylon karena
diracun, muncullah hikayat Iskandar, atau the Alexander Romance, yang
sebagiannya berdasarkan sejarah, sebagian lagi cerita kepahlawanan yang dianggap
telah dilakukan oleh Iskandar. Hikayat ini kemudian diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa di Eropa, diantaranya dalam bahasa Latin Tengah, Yunani, Prancis,
dan Jerman Kuno. Sadurannya juga terdapat dalam bahasa Syria, Arab, Parsi, Turki,
Hindu, dan Indonesia, Jawa, Bugis, serta Melayu.
Hikayat Iskandar Zulkarnain yang terdapat dalam bahasa Melayu itu sudah tua
usianya. Cerita pertama Sejarah Melayu mengambil bahannya dari “hikayat yang
termasyur itu”, yaitu Hikayat Iskandar Zulkarnain. Raja Singapura yang melarikan
diri dari Singapura dan mendirikan kesultanan Malaka itu juga bernama Raja
Iskandar Zulkarnain, karena “tatkala anak raja itu lahir ditumpu oleh bidannya ulu
baginda, menjadi lambang sama tengah, tinggi, kiri kanan.
dari manakah asalnya cerita Iskandar dalam bahasa Melayu? Menurut P.J van
Leeuwen dalam disertasinya, Hikayat Iskandar berasal atau disadur dari bahasa
Arab, tetapi bukan dari satu versi bahasa Arab tertentu. Alsannya ialah al-Suri
pernah disebut sebagai pengarang versi Arab. R.O Windstedt juga menunjukkan
bahwa ada beberapa naskah Melayu yang menyebut al-Suri sebagi pengarang dan
8
S. Haji Mohd Zain, Sejarah Penulisan Manuskrip Melayu, 2012.
sumber al-Suri ialah Abdullah ibn al-Mukaffa, penerjemah Kalila wa Dimna ke
dalam bahasa Arab.

2. Hikayat Amir Hamzah

Hikayat Amir Hamzah adalah satu satu hikayat yang sangat digemari. Dalam
Sejarah Melayu (Cerita 34) diceritakan bahwa tatkala Malaka hendak diserang
Portugis, hulubalang-hulubalang Melayu meminta Hikayat Muhammad Hanafiah pada
Sultan Ahmad, Sultan Ahmad memberikan Hikayat Amir Hamzah kepada mereka dan
berkata bahwa dia berharap anak buahnya berani seperti Amir Hamzah.
Itu merupakan bukti betapa tuanya hikayat tersebut. Windtedt berpendapat bahwa
hikayat ini pasti sudah ditulis pada tahun 1536, Honykaas menyatakan dua
kemungkinan penyebutan Hikayat Amir Hamzah dalam Sejarah Melayu adalah suatu
anakronisme, atau tambahan kemudian. Misalnya dalam Hikayat Hang Tuah disebut
bahwa Hang Jebat membacakan Hikayat Amir Hamzah untuk raja, sedangkan kita tahu
bahwa Hikayat Hang Tuah masih muda usianya. Disamping itu ada juga bukti-bukti
yang memastikan tuanya hikayat ini. di Bali, ada cerita-ceriata Amir Hamzah yang
ditulis dalam bahasa Jawa tengahan yang sudah beberapa abad usianya. Lagi pula
Hikayat Amir Hamzah banyak mengandung cerita-ceita pengembaraan dan cerita di
negara-negara di daratan Asia. Dimana pada saat yang sama, pengenalan dunia Barat
terhadap Asia hanya mungkin bertepat pada abad ke 17, ketika orang-orang barat
melakukan perdagangan monopoli.
Amir Hamzah sebenarnya adalah seoranng tokoh historis. Ia adalah paman Nabi
Muhammad SAW. Sebagai kaum keluarganya, Kaum Hasyim, mula-mula Amir
Hamzah juga memusuhi nabi Muhammad yang termasyur. Amir Hamzah sendiri
meninggal ditikam seorang hamba Habsyi yang dihasut oleh Muawiyah. Orang Parsi
sangat memuliakan Amir Hamzah, sehingga pada akhirnya terjadi suatu dongeng
tentang Amir Hamzah yang agak menyimpang dari sejarah. Menurut Prof. Van Ronkel,
banyak tokoh-tokoh ditambahkan hal ini menunjukkan bahwa beberapa peristiwa yang
dilakukan Amir Hamzah sebenarnya adalah perbuatan orang lain.
Hikayat Amir Hamzah adalah sebuah hikayat yang sangat populer. Terjemahannya
terdapat berbagai bahasa. Terjemahan yang mula-mula dibuat ialah dalam bahasa Arab.
Terjemahan ini berlaku dalam suatu masa yang agak tua, sehingga Van Ronkel merasa
perlu untuk membuktikan bahwa versi asli Hikayat Amir Hamzah tertulis dalam bahasa
Parsi dan bukan bahasa Arab.9

b. Kaitan dengan Ushuluddin

1. Sirat al-Mustakim

Kitab ini merupakan kitab Fikih tertua di dalam bahasa Melayu. Pada masa
Kedah masuk agama Islam, kitab inilah yang dikirim ke Kedah. Sampai hari ini

9
Liaw Yock Fang, “Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik”, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011,
hlm. 312
kitab ini masih diajarkan di perguruan tinggi Islam dan merupakan kitab pegangnan
umat Islam. Mungkin itulah yang mendorong seorang ulama terkenal, yaitu
Muhammad Arsyad al-Banjari menyusun sebuah kitab yang mencontoh Sirat al-
Mustakim dan menamainya Sabil Muhtadin. Sirat al-Mustakim dianggap terlalu
sukar untuk orang yang bukan Aceh, karena banyak kata dan ungkapan Aceh yang
terdapat di dalamnya.
Di dalam kitab ini, Nuruddin menguraikan rukun Islam, seperti salat, puasa,
zakat haji, dan lain-lain masalah yang dihadapi kaum Muslimin setiap hari. Di
dalam kitab ini juga dikatakan bahwa hikayat-hikayat seperti Hikayat Sri Rama dan
Hikayat Indra Putra boleh dipakai untuk beristinjak, jikalau nama Allah tidak
terdapat di dalamnya.
Sirat al-Mustakim terdiri dari 7 kitab, ktab thararah, kitab sembahyang kitab
hukum zakat, kitab hukum haji, kitab hukum perburuan dan menyembelihnya dan
kitab hukum segala makanan halal dan haram.
Kitab thararah terdiri dari 5 bab yang menguraikan segala najis dan
menghilangkannya, air sembahyang, segala yang mewajibkan mandi , tayamum,
haid dan nifas.
Kitab sembahyang menguraikan waktu dan syarat sembahyang, salat orang
musafir , salat jamaah, shalat dalam ketakutan, shalat gerhana matahari dan bulan,
salat minta hujan dan hukum jenazah.
Kitab hukum zakat menguraikan hukum zakat binatang, zakat tumbuh-tumbuhan
dan zakat emas serta perak.
Kitab hukum puasa menguraikan segala yang wajib berpuasa, kifarat, jimak,
fidhyah, dan iktikaf.
Kitab hukum haji menguraikan rukun haji dan umrah seperti ihram, tawaf, sa’i,
wukuf, tahlil, dan sebagainya. Di dalam kitab ini juga diuraikan tentang aqidah.
Kitab hukum perburuan dan kitab makanan sangat ringkas uraiannya.
Demikianlah isi Surat al-Mustakim secara ringkas

2. Kitab Bustanus Salatin

Bustanus Salatin atau judul lengkapnya Bustan al-Salatin fi Dhikr al-Awwalin


wal-Akhirin (Kebun segala raja-raja dan menyatakan permulaan segala kejadian dan
kesudahannya) adalah sebuah hasil karya yang paling besar di dalam bahasa
Melayu. Kitab yang mengandung 7 bab dan lebih dari 1250 halaman itu
menguraikan kejadian alam, sejarah dunia dan Nusantara, raja-raja yang adil
danraja-raja yang pertapa. Naskahnya juga bahnyak sekali. Hanya saja kemudian
naskah itu hanya mengandung satu atau dua bab saja. Yang paling lengkap ialan
naskah yang tersimpan di perpustakaan Universitas Malaya. Naskah itu terdiri dari
lima bab, 787 halaman dalam ukuran 20 x 15 cm dan 19 baris satu halaman.
Bustanus Salatin juga besar pengaruhnya dalam sastra Melayu lama.
Pendahuluan Sejarah Melayu (edisi W.A Shellabear) dikutip dalam buku ini.
pengarang Hikayat Hang Tuah juga mengambil bahannya tentang istana dan taman
Sultan Rum dari riwayat mengenai taman yang dibuat oleh Sultan Iskandar. Tidak
kurang penting ialah dalam bab 2 pasal 12, disebut bahwa Bendahara Paduka Raja
adalah pengarang Sejarah Melsyu. Penyebutan ini menolong kita menemukan
pengarang kitab tersebut.
Disini saya mencoba untuk mengulas tiga bab dari tptal tujuh bab yang ada,
karena keterbatasan waktu dan tempat.
Dalam bab I. Menyatakan kejadian langit , dan bumi, diantaranya kejadian Nur
Muhammad, kejadian Lauhul Mahfudz, kejadian Kalam, kejadian arasy, kejadian
kursi, kejadian malaikat, kejadian Sidratul Muntaha, kejadian matahari, bulan dan
bintang, kejadian kilat dan halilintar, dll. Suku bangsa yang mendiami dunia
kemudian ditrngkan lebih lamjut di bab selanjutnya.
Bab II terdiri atas 13 pasal, yaitu:
Pasal yang pertama menyatakan tarikh segala anbiya yang mursal dan anbiya yang
tidak mursal.
Pasal yang kedua menyatakan segala raja yang menjadi raja pada zaman dahulu kala
kemudian daripada masa nabi Allah Adam.
Pasal yang ketiga menyatakan hal ikhwal segala raja yang menjadi raja di benua
Yunan dan benua Syam pada zaman dahulu kala
Pasal yang keempat menyatakan hal ikhawal segala raja di Mesir
Pasal yang kelima menyatakan raja yang menjadi raja Arab
Pasal yang keenam menyatakan hal ikhwal segala raja yang menjadi raja di negeri
Kendah
Pasal yang ketujuh menyatakan hal ikhwal segala raja yang menjadi raja di benua
Hijaz
Pasal yang kedelapan menyatakan hal ikhwal kejadian nabi Muhammad SAW dan
menjelaskan nasab-nasabnya
Pasal yang kesembilan menyatakan hal ikhwal raja yang menjadi raja-raja di benua
Syam daripada Bani Umayah
Pasal kesepuluh, menyatakan hal ihwal Dinasti Abbasiyah
Pasal kesebelas, menyatakan hal ikhwal raja yang menjadi raja-rahja di Hindustan
atau India
Pasal keduabelas, menyatakan taikh segala raja Malaka dan Pahang
Pasal ketigabelas, menyatakan hal ikhwal segala raja yang enajdi raja di Aceh
Bab ke V terdiri atas du pasal, yaitu seperti ini:
Pasal pertama menyatakan kelakuan segala raja yang aniaya dan pasal kedua
menyatakan segala wazir yang zalim. Sebagai contoh raja yang aniaya diceritakan raja
yang mau membeli rumah seorang perempuan yang dekat denagn mahligainya. Apabila
perempuan itu tidak mau menjual rumahnya, raja meruntuhkan rumah itu, kemudian
hukum Allah pun berlaku; istana raja tersebut hilang ditelan bumi. Di samping itu, ada
juga cerita supaya jangan terlalu percaya pada perempuan dengan membukakan rahasia
padanya dan suatu lagi yang menganjurkan supaya jangan percaya pada perempuan
yang kurang setia.

c. Kaitan dengan Sejarah


1. Hikayat Raja Pasai

“Hikayat Raja-Raja Pasai” merupakan karya sastra yang bersifat sejarah yang tertua
dari zaman Islam Nusantara. Dalam naskah ini diceritakan peristiwa-peristiwa yang
terjadi antara tahun 1250 – 1350 M. Zaman ini adalah masa pemerintahan raja Meurah
Siloo yang kemudian masuk agama Islam dan mengganti namanya dengan Mâlik al-
Shâlih. Hikayat ini merupakan satu-satunya peninggalan sejarah zaman kerajaan Pasai.
Menurut perkiraan Dr. Russel Jones hikayat ini ditulis pada abad ke-14. Hikayat ini
mencakup masa dari berdirinya Kesultanan Samudera Pasai sampai penaklukannya oleh
kerajaan Majapahit.
Dimulai dengan teks yang berbunyi: ”alkisah peri menyatakan cerita raja yang
pertama masuk agama Islam di Pasai. Maka ada diceriterakan oleh orang yang empunya
ceritera ini, negeri yang di bawah angin ini Pasailah yang membawa iman akan Allah
dan akan rasulnya Allah. Isi “Hikayat Raja-Raja Pasai” ini menceritakan mengenai
unsur-unsur legalisasi susunan keluarga yang memerintah, menyatakan asal-usul yang
sakral keluarga tersebut, tetapi disamping itu, juga mempunyai fungsi intimidasi. Raja
yang zalim akan mendapatkan hukuman, negerinya musnah. Disamping halnya dengan
Sultan Malik al- Mansur, yang merampas gundik abangnya. Demikian pula halnya
dengan Sultan Ahmad yang cemburu terhadap putera-puteranya dan oleh sebab itu
membunuh mereka. “Hikayat Raja-Raja Pasai” memiliki persamaan-persamaan yang
mencolok dalam pokok pembicaraan serta susunan ayatnya dengan “Sejarah Melayu”.
“Hikayat Raja-Raja Pasai” merupakan salah satu sumber tentang cerita masuknya
Islam ke Sumatera. merupakan karya dalam bahasa Melayu yang bercerita tentang
kerajaan Islam pertama di Nusantara, Samudera-Pasai, sekarang terletak di Nanggroe
Aceh Darussalam.
Menurut Hikayat yang ditulis setelah 1350 ini, disebutkan bahwa. Khalifah di
Mekah mendengar tentang adanya Samudra dan memutuskan untuk mengirim sebuah
kapal ke sana untuk memenuhi harapan forecasting (peramalan) Nabi Muhammad SAW
bahwa suatu hari nanti akan ada sebuah kota besar di timur yang bernama Samudra,
yang akan menghasilkan orang suci. Kapten kapal itu, Syekh Ismail, singgah dulu di
India untuk menjemput seorang sultan yang telah mengundurkan diri karena ingin
menjadi da’i. Penguasa Samudra, Meurah Siloo (atau Siloo). Di Pasai, ia membuat
Meurah Siloo, penguasa setempat masuk Islam. Meurah Siloo kemudian mengambil
gelar Mâlik al-Shâlih yang Wafat pada 698/1297.
Dalam cerita ”Hikayat Raja-Raja Pasai” Meurah Siloo bermimpi bahwa Nabi
menampakkan diri kepadanya, mengalihkan secara gaib pengetahuan tentang Islam
kepadanya dengan cara meludah ke dalam mulutnya, dan memberinya gelar Sultan
Mâlik al-Shâlih. Setelah terbangun, Sultan yang baru ini mendapati bahwa dia dapat
membaca Qur’an walaupun dirinya belum pernah diajar, dan bahwa dia telah dikhitan
secara gaib. Dapat dimengerti bahwa para pengikutnya merasa takjub atas kemampuan
sultan mengaji dalam bahasa Arab. Kemudian kapal dari Mekah tadi tiba. Ketika Syekh
Ismail mendengar pengucapan dua kalimat syahadat Mâlik al-Shâlih, maka dia pun
melantiknya menjadi penguasa dengan tanda-tanda kerajaan dan jubah-jubah
kenegaraan dari Mekah. Syekh Ismail terus mengajarkan dua kalimat Syahadat. Syekh
Ismail kemudian meninggalkan Samudra, sedangkan da’i yang berkebangsaan India
tetap tinggal untuk menegakan Islam secara lebih kokoh di Samudra. Sultan Mâlik al-
Shâlih meninggal pada tahun 1297 M. Dibawah pemerintahan Sultan Muhammad Mâlik
al-Zhâhir (1297 – 1326), kerajaan Samudra Pasai mengeluarkan mata uang emas yang
beridentitas ketuhanan. Mata uang tersebut, sampai saat ini, dianggap sebagai mata uang
emas tertua yang pernah di keluarkan oleh sebuah kerajaan Islam di Asia Tenggara.10

2. Sejarah Melayu

Sejarah Melayu atau Sulalatus Salatin adalah hasil sastra sejarah yang terpenting.
Karena bahasannya yang dianggap benar dan indah, dan juga karena gambaran yang
diberikannya tentang masyarakat Melayu lama, Sejarah Melayu sudah lama mendapat
perhatian para sarjana. Pada tahun 1831, Munsyi Abdullah sudah menerbitkannya untuk
keperluan anak-anak yang ingin belajar bahasa Melayu yang benar. Selama seratus lima
puluh tahun ini, Sejarah Melayui pernah beberapa kali diterbitkan, dan dislain ke dalam
berbagai bahasa, diantarannya bahasa Inggris, Prancis,dan Tionghoa.
Sejarah Melayu ditulis untuk menunjukkann kedaulatan dan kebesaran raja-raja
Melayu. Dengan kedaulatannya ini diharapkan segala rakyat takut dan menunjukkan
taat setia yang tidak berbelah lagi kepada raja dan segala raja-raja kecil juga tunduk
menyerahkan diri. Sebenarnya taat setia dan pantang durhaka adalah salah satu konsep
penting dalam kebudayaan Hindu, tetapi Sejarah Melayu mewarnainnya dengan unsur
Islam.
Mengenai siapa pengarang Sejarah Melayu, mestillah ditentukan dulu versi Sejarah
Melayu itu sendiri, sebab Sejarah Melayu ditulis oleh beberapa pengaranng dan pada
masa yang berlainan pula. Menurut R. Roolvink, ada paling sedikit tujuh versi Sejarah
Melayu, yaitu daftar keturunan raja-raja Melayu, versi yang diwakili Maxwell 105,
Raffles 18, versi pendek, versi panjang, versi Siak, versi Palembang. Kebanyakan versi-

10
Hikayat Raja Pasai (HRP) adalah hikayat mengenai sejarah negara Pasai dan mencerminkan period
yang terawal dalam historiografi Melayu Islam. Tarikh HRP belum ditentukan lagi. Walaupun di
dalamnya tidak tercatat apa-apa tarikh, kita dapat menduga bahawa hikayat ini mencakup jangka waktu
kira-kira dari tahun 1280 sampai 1400 Masihi atau kira-kira dari tahun 680 hingga 800 Hijrah. Versi yang
lebih kurang telah tersusun dalam bentuk yang terakhir mungkin siap pada akhir abad yang ke 14.
Salinan muncul di Jawa 1797. Terdapat tiga buah naskah. Yang paling terkenal - naskah MS Raffles Malay
N. 67 yang tersimpan di The Royal Asiatic Society, London (Ms A), Yang kedua - ialah naskah yang disalin
langsung daripada Ms A yang dilakukan oleh seorang sarjana Perantis, Edouard Dulaurier in 1838.
tersimpan di Bibliotheque Nationale Paris, No Mal.-Pol.50. Naskah ini hampir tidak berguna untuk kerja
perbandingan. Naskah yang ketiga - bari titemui pada tahun 1986 di London, dan dibeli oleh British
Library in 1986 (Ms B). Ada 6 edisi teks Hikayat Raja Pasai: 1/ Edouard Dulaurier. Collection des
Principalec Chroniques Malayes. premier fascicule La chronique du Royaume de pasey. Paris, 1849:;
Edisi Jawi bermutu tinggi, malah mungkin lebih baik daripada edisi-edisi yang diterbitkan selepasnya. 2/
J.P. Mead. “A Romanised version of The Hikayat Raja-raja Pasai. JSBRAS, 66 Singapore. 1914 hlm 1-55; 3/
Dr.A.H. Hill “Hikayat Raja-Raja Pasai, a revised romanised version with an English translation, an
introduction and notes. JMBRAS 33, Bhg 2, 1960. Edisi yang paling lengkap; 4/ Teuku Ibrahim Alfiah
“Kronika Pasai. Sebuah Tinjauan Sejarah. Yogyakarta. 1973 5/ Russel Jones. Hikayat raja Pasai. KL 1987;
6/ Hikayat Raja Pasai. Dikaji dan diperkenalkan oleh Russel Jones. Yayasan karyawan&penerbit Fajar
Bakti, KL, 1999.
versi ini masih belum cukup diselidiki dan sukar ditentukan siapa pengarang dan masa
tertulisnya. Yang dapat dipastikan ialah Raffles 18 ditulis pada tahun 1021 H (1612 M)
seperti ang tersebt dalam mukaddimahnya. Entang versi panjang dan pendek, R.
Roolvink berpendapat, kedua versi ini disusun lepas pada tahun 1720, yaitu oada paruh
kedua abad ke-18.
Tetapi pendapat umum yang lebih diterima ialah bahwa Tun Sri Lanang, Bendahara
Paduka Rajalah pengarang atau penyusun Sejarah Melayu. Pendapat ini berdasarkan
pernyataan,
1. Nama Tun Sri Lanang disebut didalam pendahuluan versi pendek dan panjang
2. Bustanus Salatin, pasal 12, bab 12 ada menyebut bahwa Sulalatus Salatin
dikarang oleh Bendahara Paduka Maharaja yang bergelar Tun Sri Lanang11

BAB III
Kesimpulan

11
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, Yyasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, Jakarta
Perkembangan Islam di Asia Tenggara khususnya di tanah Melayu, banyak
memuat tradisi-tradisi baru yang tetap tidak meninggalkan tradisi lama penduduk
setempat. Dalam hal ini bahasa memberikan peran yang sangat penting sebagai sarana
komunikasi. tak hanya bahasa Sansakerta yang banyak dijumpai di kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha di pulau Jawa, tetapi juga ada bahasa Melayu yang jadi bahasa pengantar
kerajaan Hindu-Buddha khususunya di bumi Sumatera.
Jeniusnya para ulama terdahulu dalam menggunakan bahasa Melayu sebagai
bahasa pengantar untuk Muslim Asia Tenggara bukan bahasa Arab. Membuat
perkembangan Islam teramat pesat. Hal inilah yang membuat banyak masyarakat
setempat untuk berpindah agama. berbeda dengan bahasa Sansakerta yang memang
hanya khusus untuk kalangan tertentu, bahasa Melayu bukan hanya sebagai bahasa yang
digunakan sehari-hari (linguafranca), tetapi juga sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Banyak karya-karya yang telah dihasilkan oleh para ulama, hampir setiap bidang
sastra dengan berbagai tema disusupi oleh unsur Islam. tentu saja tema Ushuluddin
menjadi tema yang paling banyak menghasilkan sebuah kitab. Membuat banyak
masyarakat yang akhirnya tidak hanya meyakini saja apa yang ia yakini, tetapi juga
mengimplikasikannya ke dunia nyata.
Demikian makalah mengenai pembahasan Tradisi Penulisan dan Penelitian
Naskah-naskah Melayu dan KeIslaman pada Umumnya saya buat. Semoga bermanfaat

Daftar Pustaka

Fathurrahman, Oman, “Filologi Indonesia Teori dan Metode”, Kencana, Jakarta, 2017
Yatim, Badri, “Historiografi Islam”, Logos Wacana Ilmu, Pamulang, 1997
Imas Emalia, “Historiografi Indonesia Sejak Masa Awal sampai Masa Kontenporer”,
UIN Jakarta Press, 2006
Burhanuddin, Jajat, “Islam dalam Arus Sejarah Indonesia”, Kecana, Jakarta, 2017
Liaw Yock Fang, “Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik”, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta, 2011,

Anda mungkin juga menyukai