Anda di halaman 1dari 21

TUGAS MATAKULIAH FILOLOGI

ANALISIS NASKAH MELAYU RIAU


“LANCANG KUNING”
BERDASARKAN TEORI STRUKTURALISME

NAMA : FARIZAN
NIM : 2014940007

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
UNIVERSITAS DR. SOETOMO
SURABAYA
2015
ANALISIS NASKAH MELAYU
“LANCANG KUNING”
BERDASARKAN TEORI STRUKTURALISME

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam ilmu filologi, naskah merupakan objek pengkajian utama. Naskah ini
berbentuk karya (tulisan) yang merupakan salah satu peninggalan kongret msa silam
suatu bangsa. Teks yang tertuang di dalam naskah diposisikan sebagai bahan analisis
dengan tujuan untuk mengungkapkan produk masa lampau yang berupa karya
(tulisan), mengungkapkan fungsi karya tulisan itu dalam masyarakat penghasil atau
ahli waris karya itu dan dalam masyarakat masa kini, serta mengungkapkan nilai-nilai
budaya yang terkandung dalam karya. Secara khusus tujuan studi filologi adalah
mengungkapkan sejarah perkembangan teks, mengungkapkan sambutan penerima
teks, dan menyajikan suntingan teks dalam bentuk yang dapat dibaca oleh masyarakat
masa kini.
Banyaknya naskah peninggalan dari budaya masa lampau Nusantara namun
sediktnya filologi yang mampu mengkaji teks naskah-naskah itu saat ini menjadi
permasalahan dalam mengungkapkan tujuan-tujuan dari studi filologi itu sendiri. Oleh
karena itu, perlu adanya pembelajaran untuk mengkaji teks dan naskah sehingga
diharapkan adanya ketertarikan untuk terus mengkaji teks dan naskah yang ada.
Meskipun dalam pengkajian ini haya sebatas analisis teks semata. Tetapi, paling tidak
telah ada usaha untuk mengkaji teks secara sederhana.
Pengkajian filologi tidak terlepas dari metode-metode yang terus berkembang.
Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah dengan teori-teori sastra. Adapun
dalam makalah ini, metode pengkajian naskah adalah dengan sastra yang
menggunakan teori strukturalisme, yaitu salah satu pendekatan kesastraan yang
menekankan pada kajian hubungan antarunsur yang membangun sebuah karya sastra
yang bersangkutan.
Naskah yang dianalisis dalam makalah ini adalah naskah yang tumbuh dalam
masyarakat Melayu. Artinya naskah yang dimaksud berupa karya sastra yang tertulis
dengan Arab-Melayu. Dengan huruf “Arab-Melayu” dimaksudkan huruf Arab yang
digunakan untuk menulis bahasa Melayu. Naskah ini berjudul “Lancang Kuning”.
Naskah ini ditemukan penulis terdapat dalam sebuah buku pelajaran Sekolah
Menengah Pertama Negeri 2 Kundur Barat, Karimun, Kepulauan Riau. Meskipun
naskah ini terbilang muda, tetapi teks yang terdapat di dalamnya merupakan teks yang
sudah tua. Cerita ini dahulu sering disampikan secara lisan, kemudian mulai
dituliskan sehingga dapat diajarkan pada siswa untuk tetap mempertahankan
kabudayaan masa lampau. Selain siswa dapat mempelajari tulisannya, siswa juga
dapat mengenal sejarah yang terkandung di dalamnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat kita ketahui bahwa sedikit sekali orang-
orang yang ingin menganalisis naskah untuk mengungkap khasanah kebudayaan masa
lampau. Oleh sebab itu penulis ingin menganalisis naskah Melayu yang berjudul
“Lancang Kuning” ini secara sederhana. Adapun metode analisis yang digunakan
adalah metodependekatan strukturalisme.

C. Landasan Teoritis
TEORI STRUKTURALISME
Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme
Praha. Ia mendapat pengaruh langsung dari Saussure yang mengubah studi linguistik
dari pendekatan diakronim menjadi sinkronik. Studi linguistik tidak lagi ditekankan
pada sejarah perkembangannya, melainkan hubungan antarunsurnya. Masalah unsur
dan hubungan antarunsur merupakan hal yang penting dalam pendekatan ini. Unsur
bahasa misalnya, unsur fonologi, unsur morfologi dan sintaksis, maka dalam studi
linguistik pun dikenal adanya studi fonetik, fonemil, morfologi dan sintaksis.
(Nurgiyantoro, 2010:36).
Sebuah karya sastra, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang
dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Disatu pihak,
Abrams (dikutip Nurgiayntoro, 2010:36) karya sastra dapat diartikan sebagai susunan,
pengeseran, dan gambaran semuabahan dan bagian yang menjadi komp[onennya serta
bersama membentuk kebulatan yang indah. Sementara di pihak lain struktur karya
sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat
timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama
membentuk satu kesatuan yang utuh.
Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi,
mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsiknya. Mula-
mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa-
peristiwa, plot, tokok, latar, dll. Setelah itu, kaitkan unsur satu dengan unsur yang lain
sehingga membentuk suatu kepaduan dalam karya sastra. Dengan demikian, pada
prinsipnya kajian strukturalisme bertujuan untuk memaparkan secermat mungkin
fungsi dan keterkaitan antarunsur intrinsik yang menunjang sebuah karya sastra
sehingga membentuk kepaduan yang menyeluruh.

II. PEMBAHASAN
A. Transliterasi Naskah Melayu “Lancang Kuning” ke dalam Aksara Bahasa
Indonesia.
Lancang adalah sebuah perahu dengan ukuran yang berbeda-beda, karena ada
yang kecil dan ada pula yang besar, yang jelas lancang adalah alat perhubungan air
pada masa lalu. Dalam masyrakat Riau lebih dikenal dengan Lancang Kuning yang
merupakan suatu lambang kebesaran daerah Riau. Karena itu Lancang Kuning
ditetapkan menjadi lambang dan nyayian daerah Riau.
Adapun cerita Lancang Kuning adalah berasal dari sebuah kerajaan yang
terdapat di Bukit Batu, wilayah Kabupaten Bengkalis. Kerajaan ini diperintah oleh
raja yang bernama Datuk Laksmana Perkasa Alam serta dibantu oleh dua orang
panglima yaitu Panglima Umar dan Panglima Hasan. Panglima Umar adalah seorang
panglima yang dipercaya oleh Datuk Laksmana Perkasa untuk menyelesaikan sesuatu
jika terjadi persoalan dalam kerajaan. Umpamanya jika terjadi perampokan di
perairan, setiap tugas dapat diselesaikan dengan baik.
Pada suatu hari Panglima Umar menghadap Datuk Laksmana untuk
menyampaikan hasrat hati mempersunting Zubaidah, seorang gadis negeri itu.
Permohonan Umar disambut dengan baik oleh Datuk Laksmana. Dengan persetujuan
Datuk Laksmana dilangsungkan pernikahan dan tanda kegembiraan diadakan pesta
dan keramaian besar-besaran.
Rupanya kepercayaan yang diberikan dan perkawinan Umar dengan Zubaidah
menimbulkan rasa tidak senang dan timbul dendam bagi Panglima Hasan. Hal ini
timbul karena Panglima Hasan juga simpati dan mencintai Zubaidah yang telah
didahului Panglima Umar.
Untuk melepas rasa sakit hati Panglima Hasan mencari akal bagaimana, agar
Zubaidah dapat dimilikinya, maka dengan akal busuknya Panglima Hasan menyuruh
Domo menyampaikan kepada Datuk bahwa dia bermimpi agar Datuk Laksmana
membuat Lancang Kuning untuk mengamankan semua perairan dari lanun. Apa yang
disampaikan Pawang Domo diterima oleh Datuk Laksmana, sehingga Lancang
Kuning dikerjakan siang malam. Setelah Lancang Kuning hampir selesai tersebar
berita bahwa Batin Sanggoro telah melarang para pelaut untuk mencari ikan di
Tanjung Jati.
Dengan adanya berita ini Datuk Laksmana memerintahkan agar Panglima Umar
berangkat dan menemui Batin Sanggoro, sungguh berat hati Panglima untuk
berangkat karena istrinya sedang hamil tua dan tak lama lagi akan melahirkan, akan
tetapi karena tugas yang sangat penting, semua perasaan itu ditahan, demi kerajaan
yang tercinta.
Setelah berlayar beberapa hari, sampailah Panglima Umar kepada Batin
Sanggoro dan diceritakan semua berita yang tersebar di Bukit Batu. Mendengar cerita
itu Batin Sanggoro terkejut, karena selama ini dia tidak pernah melarang nelayan
Bukit Batu menangkap ikan di Tanjung Jati. Mendengar penjelasan Batin Sanggoro,
Panglima Umar termenung dan berpikir, apa gerangan yang terjadi di balik peristiwa
ini? Melihat keadaan ini lalu Batin Sanggoro menganjurkan agar cerita ini diselidiki
dari mana asal mulanya, dan diselidiki sewaktu perjalanan pulang.
Rupanya apa yang disampaikan Batin Sanggoro dituruti Panglima Umar,
sewaktu perjalanan pulang Panglima Umar berkeliling karena mencari siapa yang
membuat berita itu, sehingga tidak dirasakan bahwa perjalanan sudah satu bulan.
Malam ini tepat lima belas hari bulan purnama. Malam ini Lancang Kuning
akan diluncurkan ke laut. Di balai-balai telah banyak awak kerajaan dan penduduk
negeri untuk menyaksikan peluncuran Lancang Kuning tersebut. Bermacam-macam
hiburan daerah dipertunjukkan. Semua penduduk negeri bergembira kecuali
Zubaidah, karena suaminya Panglima Umar sudah satu purnama pergi dan sampai
saat ini belum juga kembali, dan karena itu Zubaidah tidak pergi menghadiri acara
peluncuran Lancang Kuning ke laut pada malam itu.
Setelah semua keperluan peluncuran Lancang Kuning disiapkan Pawang Domo
memberi petunjuk kepada Datuk Laksmana. Acara peluncuran diawali dengan tepung
tawar pada dinding Lancang Kuning kemudian dilanjutkan dengan pengasapan dan
barulah semua yang hadir diperintahkan supaya berdiri di samping Lancang Kuning
dan semua bunyi-bunyian dibunyikan. Dan semua yang telah memegang Lancang
Kuning mendorong, tetapi alangkah anehnya, Lancang Kuning tersebut tiak bergerak
sedikitpun. Hal ini dilakukan berulang-ulang bahkan tenaga sudah ditambah, namun
Lancang Kuning tidak juga bergerak. Hadirin yang hadir merasa heran dan bertanya-
tanya, muka Pawang Domo merah padam.
Pawang Domo segera bersembah kepada Datuk Laksmana dan berkata “ampun
tuanku yang mulia! Rupanya Lancang Kuning tidak bisa diluncurkan jika... jika apa
Wak Domo? Kata Datuk Laksmana, katakanlah! Jika Lancang Kuning ingin juga
diluncurkan maka harus ada korban. Korban berapa ekor kerbau yang diperlukan Wak
Domo? Tuanku yang mulia! Bukan kerbau”. Pawang Domo menghampiri Datuk
Laksamana dan membisikkan bahwa korban yang diperlukan adalah perempuan hamil
sulung. Datuk Laksmana tertunduk dan termenung serta berkata kepada Pawang
Domo bahwa tidak mungkin itu dilakukan, maka Datuk Laksmana menerintahkan
agar peluncuran Lancang Kuning diundurkan saja.
Setelah sebagian orang pualng, Panglima Hasan pergi ke rumah Zubaidah dan
didapatinya Zubaidah sedang duduk termenung di depan pintu rumahnya. Zubaidah
terkejut dengan kedatangan Panglima Hasan sembil barkata “mengapa lagi kau datang
ke sini Panglima Hasan? Berkata Panglima Hasan, apa lagi yang kau tunggu
Zubaidah? Suamimu tidak akan kembali lagi, karena itu bair aku yang akan menjadi
ayah anakmu itu! Apa katamu panglima penghianat? Biar saya mati dari pada
bersuamikan kamu! Jawab Panglima Hasan, jika kamu masih menolak permintaanku,
kamu akan saya jadikan gilingan Lancang Kuning yang akan diluncurkan ke laut”.
Karena Zubaidah tetap menolak permintaan Panglima Hasan, makan Zubaidah
ditarik dan matanya ditutup dengan bantuan pengawalnya, setelah sampai disekitar
Lancang Kuning diluncurkan, Panglima Hasan mendorong tubuh Zubaidah ke bawah
Lancang Kuning dan saat itu juga Panglima Hasan memerintahkan supaya Lancang
Kuning didorong ke laut. Hanya didorong oleh beberapa orang saja Lancang Kuning
itu meluncur dengan mulus.
Setelah Lancang Kuning sampai di laut tampaklah darah dan daging Zubaidah
berserakan di tanah dan ketika itu turunlah hujan serta petir dan angin kencang serta
bertepatan waktu itu Panglima Umar merapat ke pelabuhan Bukit Batu.
Setelah perahu ditambatkan di pelabuhan Panglima Umar langsung ke rumah
untuk melihat istrinya dan anaknya yang telah ditinggalkan selama satu purnama,
tetapi setibanya di rumah, rumahnya kosong, dipanggilnya Zubaidah tetapi tidak ada
jawaban. Hati Panglima Umar mulai gelisah, maka ia berangkat ke pelabuhan, di
tengah perjalanan ia bertemu dengan Panglima Hasan, lalu Panglima Umar bertanya
kepada Panglima Hasan, dimana gerangan istriku? Panglima Hasan menceritakan,
Zubaidah telah dijadikan gilingan Lancang Kuning oleh Datuk Laksmana.
Mendengar cerita Panglima Hasan tersebut Panglima Umar langsung pergi ke
tempat peluncuran Lancang Kuning, alangkah terkejut dan sedihnya hati Panglima
Umar melihat tubuh istrinya itu, disapunya darah yang ada di tanah dan diusapkan ke
muka serta berkata bahwa dia akan membalas atas kematian istrinya itu kepada Datuk
Laksmana, tetapi baru saja dia berjalan dilihatnya Datuk Laksmanaberjalan
kearahnya.
Setelah mereka bertemu Panglima Umar langsung menyerang Datuk Laksmana
dengan pedang yang panjang ke perut Datuk Laksmana, tanpa ada pembicaraan
sedikitpun, akhirnya Datuk Laksmana mati di tangan Panglima Umar, ketika itu juga
datanglah Pawang Domo dan menceritakan semua kejadian yang sebenarnya, bahwa
yang menjadikan Zubaidah untuk gilingan Lancang Kuning adalah Panglima Hasan,
tanpa mengulur waktu Panglima Umar pergi mencari Panglima Hasan.
Dari kejauhan Panglima Umar melihat Panglima Hasan sudah bersiap-siap
untuk melarikan diri menuju Lancang Kuning tapi belum sempat melepaskan talinya
Panglima Umar telah sampai, dengan pedang terhunus sambil berkata “nah...malam
ini...engkau atau aku yang akan mati”. Dengan disaksikan penduduk mereka berkelahi
di atas Lancang Kuning. Dan akhirnya Panglima Hasan dapat ditikam Panglima Umar
dan matinya jatuh ke laut.
Waktu itu Panglima Umar melihat ke pantai dan berkata kepada orang yang
berada di pantai bahwa ia telah membunuh Datuk Laksmana karena perbuatan
Panglima Hasan dan Panglima Hasan pun sudah mati di tangannya, karena itu ia akan
pergi dengan Lancang Kuning untuk selama-lamanya, dan ketika sampai di Tanjung
Jati datanglah ombak besar dan angin topan sehingga Lancang Kuning tersebut karam
dan ia bersama Lancang Kuning terkubur dalam laut Tanjung Jati serta kejayaan
kerajaan negeri bukit batu berangsur-angsur mundur dan akhirnya tingal setumpuk
rumah saja.
B. Analisis Naskah Melayu “Lancang Kuning” berdasarkan Teori Strukturalisme
1. Analisis Plot pada Teks Melayu “Lancang Kuning”
Plot atau alur cerita merupakan salah satu unsur yang sangat penting
dalam sebuah karya sastra fiksi, bahkan tak sedikit orang menganggap plot
unsur terpenting sebagai pembangun karya fiksi. Tinjauan struktural pun sering
ditekankan pada pembahasan plot. Stanton (dikutip Nurgiyanto, 2010:113)
Mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun
tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu
menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Plot ini dimanifestasikan lewat
perbuatan, tingkah laku dan sikap-sikap tokoh utama cerita.
Peristiwa demi peristiwa yang ditampilkan yang hanya mendasarkan
pada urutan waktu belum dapat dikatakan plot. Agar menjadi sebuah plot,
peristiwa-peristiwa tersebut harus disiasati secara kreatif, sehingga
menghasilkan sesuatu yang menarik dan indah. Abrams (dikutip Nurgiyanto,
2010:113) yang menyetujui adanya perbedaan cerita dengan plot,
mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-
peristiwa, yaitu sebagaimana terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai
peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.
Dalam teks “Lancang Kuning” ini plot yang sangat menonjol adalah
ketika Panglima Hasan menjadikan Zubaidah sebagai gilingan Lancang Kuning
dan dia mengatakan kepada Panglima Umar bahwa Datuk Laksmana yang
melakukannya, menyebabkan Datuk Laksmana terbunuh di tangan Panglima
Umar tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu. Kemudian berita itu diluruskan
oleh Pawang Domo sehingga diketahuilah bahwa pelaku sebenarnya adalah
Panglima Hasan. Hal ini kembali menyebebkan terjadinya pembunuhan yang
dilakukan oleh Panglima Umar terhadap Panglima Hasan di atas Lancang
Kuning.
Untuk lebih jelas mengenai plot yang terdapat pada teks yang berjudul
“Lancang Kuning” ini, dapat kita urut peristiwa, konflik dan klimaks sebagai
berikut.
a. Peristiwa
Sejauh ini kita sering mendengar kara peristiwa maupun kejadian
disebut-sebut oleh banyak orang dalam pembicaraan tentang karya fiksi,
namun belum diketahui secara jelas apa sebenarnya peristiwa itu. Dalam
berbagao literatur berbahasa Inggris sering ditemukan penggunaan istilah
action (aksi, tindakan) atau event (peristiwa, kejadian) secara bersama atau
bergantian, walau sebenarnya kedua istilah itu menyaran pada dua hal yang
berbeda. Action merupakan sebuah aktivitas yang dilakukan oleh tokoh
manusia, misalnya memukul dan memarahi. Dipihak lain, event lebih luas
cakupannya menyaran pada sesuatu yang dilakukan dan atau dialami oleh
manusia yang terjadi diluar aktivitas manusia, misalnya perstiwa alam
seperti banjir dan tanah longsor. Dalam penulisan ini, kedua hal itu
disederhanakan menjadi peristiwa atau kejadian. Peristiwa dapat diartikan
sebagai peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Luxemburg
dikutip Nurgiyantoro, 2010:117).
Peristiwa yang terjadi dalam teks “Lancang Kuning” ada enam,
dimulai dari niat Panglima Umar yang hendak mempersunting Zubaidah,
seorang putri raja di daerah Bukit Batu, wilayah Kabupaten Bengkalis, pada
masa lampau. Suntingan Panglima Umar terhadap Zubaidah diterima dan
dilangsungkan pesta pernikahan secara besar-besaran. Peristiwa kemudian
beralih kepada perasaan Panglima Hasan yang terluka dan sakit hati karena
niatnya telah didahulukan oleh Panglima Umar. Dari rasa sakit hatinya itu,
muncul niat jahat Panglima Hasan dengan menyiarkan kabar bahwa Batin
Sanggoro telah melarang para pelaut untuk mencari ikan di Tanjung Jati.
Kemudian peristiwa beralih pada Batin Sanggoro yang tidak mengakui
kebenaran berita itu setelah ditanyakan oleh Panglima Umar. Sanggoro
meminta Panglima Umar mencari kebenaran berita itu, dari mana asal
mulanya. Perjalanan Panglima Umar mencari kebenaran berita itu
berlangsung selama sebulan. Selama itu pula ia meninggalkan Zubaidah
yang sedang hamil tua.
Di samping peristiwa itu, juga terdapat peristiwa lain yang dialami
oleh Datuk Laksmana dan masyarakat Bukit Batu. Ketika Datuk Laksmana
mendapat berita dari Pawang Domo untuk membuat perahu yang digunakan
untuk mengusir para lanun dari perairan Bukit Batu, maka perahu yang
diberi nama Lancang Kuning itu dikerjakan siang dan malam. Tetapi ketika
Lancang Kuning sudah selesai dikerjakan dan hendak diluncurkan ke laut
melalui berbagai ritual, Lancang Kuning tetap tidak mau meluncur ke laut
karena membutuhkan korban dari seorang wanita yang sedang hamil sulung.
Peristiwa beranjak pada perbuatan Panglima Hasan yang keinginannya
untuk menjadi suami Zubaidah ditolak oleh Zubaidah, kemudian menjadiakn
Zubaidah sebagai korban untuk meluncurkan Lancang Kuning ke laut.
Sesaan setelah kejadian itu, Panglima Umar kembali ke Bukit Batu dan
mendapat kabar dari Panglima Hasan bahwa istrinya delah dijadikan
gilingan Lancang Kuning oleh Datuk Laksmana. Kemudian peristiwa
beranjak pada peristiwa pembunuhan Datuk Laksmana dan Panglima Hasan
oleh Panglima Umar. Sementara peristiwa akhir dari kisah kerajaan Bukit
Batu ini ditandai dengan kepergian Panglima Umar berlayar dengan
Lancang Kuning dan tenggelam di perairan Tanjung Jati, serta
mengakibatkan mundurnya kerajaan Bukit Batu.
b. Konflik
Konflik juga termasuk salah satu unsur yang penting dalam sebuah
plot. Peristiwa yang terjadi berupa peristiwa yang fungsional, utama, atau
kernel yang sangat esensial dalam pengembangan sebuah plot. Konflik
menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang
terjadi dan dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita, yang jika tokoh-tokoh itu
dapat memilih, ia memilih peristiwa itu tidak akan menimpa dirinya
(Meredith & Fitzgerald dikutiup Nurgiantoro, 2010:122). Konflik adalah
sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang
seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek & Warren
dikutip Nurgiantoro, 2010:122). Dengan demikian, konflik menyaran pada
konotasi yang negatif, sesuatu yang tidak menyenangkan. Peristiwa dan
konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu
dengan yang lain, bahkan kinflik pun hakikatnya merupakan sebuah
peristiwa. Adanya peristiwa tertentu dapat menimbulkan konflik. Konflik
demi konfil yang disusul peristiwa demi peristiwa pada akhirnya dapat
menyebabkan konfik semakin meningkat dan mencapai klimaks.
Konflik-konflik yang terjadi dalam teks “Lancang Kuning” mulai
muncul ketika Zubaidah dijadikan gilingan perahu Lancang Kuning oleh
Panglima Hasan. Hal ini terjadi akibat penolakan Zubaidah terhadap
Panglima Hasan yang ingin menjadi Zubaidah dengan alasan bahwa
Panglima Umar takkan pernah kembali lagi. Zubaidah menolak keras
permintaan Panglima Hasan dan menyebabkan ia diseret ke pantai untuk
dijadikan gilingan Lancang Kuining. Zubaidah yang dijadikan gilingan
Lancang Kuning meninggal dengan mengenaskan. Daging dan darahnya
berserakan di pasir pantai. Seketika turun hujan dan serentak dengan
kepulangan Panglima Umar yang sudah merapat di pelabuhan Bukit Batu.
Panglima Umar yang tidak menemukan istrinya di rumah menemui
Panglima Hasan secara tak sengaja. Pada saat itulah Panglima Hasan
mengatakan bahwa istrinya dijadikan gilingan Lancang Kuning oleh Datuk
Laksmana. Perkataan Panglima Hasan mengundang amarah Panglima Umar
yang menyebabkan kematian Datuk Laksmana.
Dapat kita lihat dari penjelasan di atas bahwa konflik muncul secara
berurut. Konflik pembunuhan Datuk Laksmana oleh Panglima Umar terjadi
karena peristiwa yang dipicu oleh Panglima Hasan yang menjadikan
Zubaidah sebagai gilingan perahu Lancang Kuning dan memfitnah Datuk
Laksmana. Dari konfik nini dapat kita ketahui karakter tokoh Panglima
Hasan yang tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang telah ia lakukan.
Pangima Hasan rela mengorbankan nyawa Datuk Laksmana untuk menutupi
kesalahan dirinya dan pura-pura tidak tahu atas kejadian itu. Selai itu dapat
juga kita lihat karakter tokoh Zubaidah yang rela mati demi
mempertahankan kehormatan dirinya dan rumah tangganya yang sudah ia
bangun bersama Panglima Umar. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
keterkaitan antara unsur-unsur intrinsik yang membangun sebuah karya
fiksi. Unsur-unsur itu tidak dapat berdiri sendiri karena melalui salah satu
unsur, kita dapat mengetahui unsur pendukung lainnya.
c. Klimaks
Konflik dan klimaks merupakan unsur yang paling penting dalam
struktur pembangun plot. Konflik demi konflik yang terjadi telah mencapai
titik puncak dapat menyebabkan terjadinya klimaks (puncak konflik).
Dengan demikian terdapat keterkaitan yang erat antara kinflik dan klimaks.
Klimaks hanya akan terjadi jika terdapat konflik yang mendukungnya.
Namun tidak semua konflik dapat mencapai klimaks. Klimaks, menurut
Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2010:127) adalah saat konflik telah mencapai
tingkat intensitas tertinggi, dan saat itu merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindari kejadiannya. Klimaks merupakan kejaddian puncak yang menarik
dan menegangkan dan biasanya tidak ada lagi kejadian lain yang sama
dengan klimak. Kalaupun ada, itu hanyalah kejadian/konflik ringan yang
masih bisa diatasi sebagai peregangan untuk menuju penyelesaian atau akhir
dari sebuah cerita.
Klimaks dalam teks Melayu “Lancang Kuning” terjadi ketika konflik-
konflik yang diawali oleh Panglima Hasan ini sudah semakin meruncing.
Jika meninjau kembali pembahasan penulis mengenai konflik-konflik yang
terjadi dalam teks “Lancang Kuning”, dapat kita lihat bahwa terbunuhnya
Datuk Laksmana merupakan konflik penegangan tetapi belum mencapai
klimaks. Klimaks terjadi ketika Pawang Domo yang melihat Datuk
Laksmana sudah terbunuh mengatakan kepada Panglima Umar mengenai hal
yang sebenarnya, yaitu Panglima Hasan lah yang menjadikan Zubaidah
sebagai gilingan perahu Lancang Kuning. Semakin beranglah Panglima
Umar. Ia mencari Panglima Hasan dan menemukannya ketika Panglima
Hasan hendak melarikan diri bersama Lancang Kuning. Tetapi usahanya
sempat ditunda oleh Panglima Umar. Dengan sigap Panglima Umar naik ke
Lancang Kuning dan bertarung dengan Panglima Hasan. Akhirnya pada
pertarungan itu Panglima Hasan terbunuh dan mayatnya jatuh ke laut.
Melalui konflik dan klimaks dapat kita lihat bahwa Panglima Umar
merupakan seseorang yang tidak sabar dan terlalu cepat menyimpulkan
suatu permasalahan. Ia membunuh Datuk Laksmana tanpa bertanya terlebih
dahulu mengenai kebenaran meninggalnya Zubaidah. Ia lebih memilih tak
lagi bicara dan langsung membunuh Datuk Laksmana sehingga Datuk
Laksmana yang tidak bersalah ikut menjadi korban amarahnya.
Dari penjelasan peristiwa, konflik dan klimaks dapat kita simpulkan
bahwa plot yang terdapat dalam teks Melayu “Lancang Kuning”
menggunakan plot lurus, yaitu plot yang peristiwa-peristiwa dan konflik-
konfliknya terjadi secara kronologis dan dapat mudah diururt. Melalui plot
juga dapat kita tentukan karakter tokoh Panglima Umar, Panglima Hasan
dan Zubaidah.
2. Analisis Tokoh pada Teks Melayu “Lancang Kuning”
Tokoh merupakan pelaku cerita. Istilah “tokoh” menunjuk pada
orangnya, pelaku cerita. Tokoh cerita, menurut Abrams (dalam Nurgiantoro,
2010:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau
drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang didesktipsikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa antara
seorang tokok dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dengan penerimaan
pembaca.
Tokoh yang terdapat dalam teks “Lancang Kuning” dibedakan
berdasarkan penting tidaknya tokoh ada Zubaidah dan Panglima Hasan sebagai
tokoh utama serta Panglima Umar, Datuk Laksmana dan pawang Domo
sebagai tokoh tambahan. Dari penting tidaknya tokoh, perannya dominan
karena sejak awal Panglima Hasan selalu memulai untuk menimbulkan sebuah
peristiwa dan memunculkan konflik. Sementara Zubaidah adalah tokoh yang
dijadikan korban dan merupakan salah satu penyebab munculnya konflik yang
terjadi antara Panglima Hasan dan Panglima Umar. Dengan demikian,
Panglima Hasan dan Zubaidah dapat disebut sebagai tokoh utama. Tanpa
Panglima Hasan memunculkan peristiwa dan konflik maka cerita ini tidak akan
menemukan klimaks. Begitupun Zubaidah, tanpa peran Zubaidah yang
dijadikan korban untuk gilingan perhu Lancang Kuning, Panglima Umar tidak
akan marah dan tidak akan membunuh Datuk Laksmana dan Panglima Hasan.
Sementara itu, tokoh tambahan dalam cerita ini adalah Panglima Umar,
Datuk Laksmana dan Pawang Domo. Peran mereka tidak terlalu besar dalam
cerita ini tapi cukup fungsional karena tanpa mereka tokoh Panglima Hasan
hanya akan melakukan hal yang sia-sia. Jika Panglima Umar tidak ada,
perbuatan Panglima Hasan tidak ada yang menentang dan Panglima Hasan
tidak mendapatkan aksi balasan dari tokoh yang bertentangan dengannya. Hal
yang sama juga berlaku pada Datuk Laksmana dan Pawang Domo. Masing-
masing mereka haya dominan muncul pada proses peluncuran Lancang Kuning
ke laut. Kemudian muncul kembali pada bagian akhir cerita ketika Datuk
Laksmana muncul dan langsung dibunuh oleh Panglima Umar, sedangkan
Pawang Domo muncul setelah kejadian terbunuhnya Datuk Laksmana.
Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh dalam teks “Lancang
Kuning” dapat dibagi menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh
antagonis dalam teks ini adalah Panglima Hasan. Sangat jelas terlihat melalui
percakapan tokoh dengan Zubaidah. Selain itu karakter tokoh dapat dilihat
melalui tingkah laku tokoh yang bertanggung jawab menjadi salah satu
indikator bahwa tokoh Panglima Hasan bukanlah seorang yang baik. Sementara
itu, tokoh Panglima Umar, Datuk Laksmana, Pawang Domo, dan Zubaidah
merupakan tokoh protagonis dalam certia ini. Tidak tampak perbuatan masing-
masing tokoh untuk berbuat jahat. Tokoh Panglima Umar dinilai baik oleh
penulis karena Panglima Umar bersedia melakukan perintah Datuk Laksmana
untuk mencari kebenaran berita tentang larangan melaut di Tanjung Jati kepada
Batin Sanggoro. Datuk Laksmana dinilai baik karena ia tidak ingin
mengorbankan siapapun demi kelancaran peluncuran Lancang Kuning ke laut.
Pawang Domo menunjukkan sikap baiknya dengan memberitahu hal yang
sebenarnya terjadi kepada Zubaidah. Sedangkan Zubaidah dinilai sebagai tokoh
protagonis karena ia berani mempertahankan kehormatan dirinya dan rumah
tangganya dengan Panglima Umar yang juga diajarkan oleh agama islam.
Tokoh-tokoh ini dapat diketahui penggolongannya melalui dialog tokoh
ataupun tingkah laku tokoh terhadap tokoh lain. Karakter tokoh juga dapat
dilihat melalui peristiwa-peristiwa yang menimbulkan konflik-konflik yang
terjadi dalam cerita. Ini membuktikan bahwa unsur tokoh dan plot memiliki
katerkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, setiap unsur
instrinsik yang membangun sebuah cerita tidak dapat berdiri sendiri.
3. Analisis Latar pada Teks Melayu “Lancang Kuning”
Berbicara tentang sebuah karya sastra khususnya fiksi, akan berkaitan
dengan latar yang mendukung tempat terjadinya peristiwa atau konflik dalam
cerita. Sebuah karya fiksi tidak akan lengkap unsurnya tanpa ada latar yang
menggambarkan tempat terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Layaknya
cerita yang terjadi dalam kehidupan nyata, karya fiksi juga memerlukan latar
sebagai ruang bagi tokoh untuk bernuat atau melakukan sesuatu. Latar atau
setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan (Abrams dikutip Nurgiantoro, 2010:216). Sementara
itu, Stanton (dalam Nurgianto, 2010:216) mengelompokkan latar, bersama
dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan
dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita
fiksi.
Latar fisik pada teks Melayu “Lancang Kuning” adalah Bukit Batu,
daerah Kabupaten Bengkalis dan Tanjung Jati. Naskah ini tidak jauh berbeda
dengan dengan cerita lisan masyarakat Riau yang menyebutkan bahwa Lancang
Kuning memang terjadi di daerah Bukit Batu dan Lancang Kuning karam di
perairan Tanjung Jati. Hal ini memperkuat teks yang terdapat dalam naskah
melayu yang berjudul “Lancang Kuning” bahwa terdapat kerajaan di Bukit Batu
pada masa lalu. Tetapi pada dasarnya cerita ini hanyalah fiktif pengarang yang
tidak diketahui penulisnya. Penekanan unsur latar di Bukit Batu dapat dilihat
pada peristiwa peluncuran Lancang Kuning ke laut serta sebagian besar
kehidupan yang diceritakan dalam teks. Kemudian latar yang menunjukkan
daerah Tanjung Jati terdapat pada peristiwa ketika Panglima Umar mendatangi
Batin Sanggoro untuk menanyakan prihal kebenaran larangan untuk berlayar
dan melaut di perairan Tanjung Jati.
Latar di Bukit Batu lebih dominan dijelaskan ketika Lancang Kuning
hendak diluncurkan, yaitu di pantai Bukit Batu. Latar dipilih sebuah pantai
karena peristiwa yang sedang terjadi adalah masyarakat bukit Batu hendak
meluncurkan Lancang Kuning ke laut. Lancang Kuning merupakan nama
sebuah perahu, sehingga latar yang dipilih adalah latar tempat di pantai.
Latar waktu tidak digambarkan dengan jelas dalam teks ini sehingga
tidak dapat dijelaskan secara detil mengenai penggambaran latar waktu yang
terdapat dalam cerita ini. Hanya saja latar waktu disebutkan ketika peluncuran
Lancang Kuning ke laut dilakukan pada malam hari ketika tepat pada malam ke
limabelas bulan purnama. Sementara untuk tahun terjadinya peristiwa itu tidak
disebutkan.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan untuk menentukan latar
terjadinya sebuah peristiwa, kita tetap harus memperhatikan peristiwa apa yang
sedang terjadi dan berhubungan dengan latar itu, baik latar waktu maupun latar
tempat.
4. Analisis Sudut Pandang pada Teks Melayu “Lancang Kuning”
Membaca dua buah karya fiksi yang berbeda akan memungkinkan kita
menghadapi dua person yang berbeda pula. Person itu dari satu sisi dapat
dipandang sebagai tokoh cerita, di sisi tertentu, dapat juga dipandang sebagao
pencerita. Sudut pandang menyaran pada sebuah cerita dilukiskan. Abrams
(dalam Nurgiyantoro, 2010:248) mengatakan bahwa sudut pandang merupakan
cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk
cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam teks Melayu “Lancang
Kuning” ini berupa sudut pandang person ketiga serba tahu, gaya “dia”. Person
ketiga ini adalah orang berada di luar cerita tapi serba mengetahui kejadian yang
terjadi disetiap bagian cerita. Hal ini dapat diketahui dengan mudah karena
pengarang menggambarkan tokoh dengan menyebutkan nama tokoh. Dapat kita
lihat pada kutipan cerita di bawah ini. Malam ini tepat lima belas hari bulan
purnama. Malam itu Lancang Kuning akan diluncurkan ke laut, di balai-balai
telah banyak awak kerajaan dan penduduk negeri untuk menyaksikan
peluncuran Lancang Kuning tersebut. Bermacam-macam hiburan daerah
dipertunjukkan. Semua penduduk negeri bergembira kecuali Zubaidah, karena
suaminya Panglima Umar sudah satu bulan pergi dan sampai saat ini belum juga
kembali dan karena itu ia tidak pergi menghadiri acara peluncuran Lancang
Kuning ke laut pada malam itu.
Dari kutipan di atas dapat dilihat secara jelas pengarang mengetahui
kejadian yang bersifat fisik atau pun keadaan batih yang sedang
dirasakan/dialami oleh tokoh. Seperti yang terdapat dalam cerita, pengarang
mampu menggambarkan kegembiraan masyarakat Bukit Batu karena
diadakannya acara peluncuran Lancang Kuning. Semua orang berhembira
kecuali Zubaidah karena ia sedang mananti kepulangan suaminya yang sudah
sebulan meninggalkannya. Rasa sedih itu juga yang menyebabkan ia tidak ingin
menghadiri acara yang sedang digelar tersebut.
Dapat disimpulkan, untuk menentukan sudut pandang kita masih
membutuhkan unsur lain, mislnya plot. Plot perlu diperhatikan dalam
menentukan sudut pandang yaitu menunjuk pada peristiwa apa yang sedang
terjadi. Atau dapat juga kita perhatikan melalui penceritaan nyata yang
dilakukan oleh pengarang untuk melukiskan cerita yang ditulisnya, misalnya
melalui tokoh. Sudut pandang juga dapat dicermati melalui peran-peran tokoh
yang terdapat dalam cerita sehingga cerita tersebut menapakkan sebuah
kepaduan.
5. Analisis Tema pada Teks Melayu “Lancang Kuning”
Berbicara karya sastra fiksi tidak lengkap jika tidak berbicara tentang
tema. Stanton dan Kenny (dikutip Nurgiantoro, 2010:66) mengatakan bahwa
tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema ini menjadi landas
tumpu bagi pengarang untuk membuat sebuah cerita. Tanpa tema, cerita tidak
akan dapat dilukiskan dengan baik karena tidak terdapat kejelasan konsep bagi
pengarang untuk melukiskan cerita. Dari sbuah tema, pengarang dapat
menentukan plot, tokoh cerita yang mendukung, latar yang mendukung
terjadinya sebuah peristiwa atau konflik, maupun amanat yang ingin
disampaikan.
Tema yang terdapat dalam teks “Lancang Kuning” berkisar pada sebuah
kisah cinta dua panglima kerajaan Bukit Batu terhadap Zubaidah, seorang putri
raja Kerajaan Bukit Batu, yang berujung dengan petaka dan kemunduran
Kerajaan Bukit Batu. Cerita digambarkan berawal dari suntingan Panglima
Umar kepada Zubaidah yang menyebabkan Panglima Hasan merasa sakit hati
karena telah didahului oleh Panglima Umar. Rasa sakit hatinya itu ia lancarkan
dengan melakukan rencana licik untuk memiliki Zubaidah. Tetapi hampir
memasuki bagian klimaks, konflik terjadi ketika Panglima Hasan membunuh
Zubaidah dengan dengan menjadikannya korban untuk gilingan Lancang
Kuning meluncur ke laut. Konflik ini memicu amarah Panglima Umar yang
membabi buta sehingga menyebabkan Datuk Laksmana ikut terbunuh walaupun
ia tak bersalah.
Penyimpulan sebuah tema dalam karya fiksi dapat dilihat dari setiap
konflik yang terjadi. Dapat juga dari sebab-sebab yang mendukung terjadinya
konflik tersebut. Semua dapat diurut sehingga menghasilkan satu ide. Ide yang
satu dan padu itulah yang kemudian disimpulkan sebagai tema dalam sebuah
karya sastra. Selain peristiwa dan konflik yang mendukung tema, tokoh dan latar
juga mendukung tema. Misalnya pada teks yang berjudul “Lancang Kuning” ini
juga menggambarkan latar tempat di pantai. Wajar saja tempat dipilih pantai,
karena Lancang adalah sebuah parahu dalam masyarakat daerah Riau.
6. Analisis Amanat/Pesan Moral pada Teks Melayu “Lancang Kuning”
Amanat/pesan moral menurut Kenny (dikutip Nurgiyantoro, 2010:321)
dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral
tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita
yang bersangkutan oleh pembaca. Amanat biasanya disampaikan melalui dikap
tokoh-tokoh yang mendukung jalan cerita.
Pada teks Melayu “Lancang Kuning” ini pengarang ingin menyampaikan
amanat dari masing-masing tokoh cerita. Misalnya Panglima Umar, melalui
sikapnya yang terlalu cepat mengambil keputusan dan tidak sabar
mengakibatkan Datuk Laksmana ikut terbunuh sementara Datuk Laksmana
bukanlah orang yang harus disalahkan atas kematian Zubaidah, pengarang ingin
menyampaikan bahwa pembaca jangan terlalu cepat mengambil suatu
keputusan. Apalagi pengambilan keputusan itu dilakukan dalam keadaan marah.
Keputusan yang diambil tidak akan baik. Seharusnya sebelum melakukan
sesuatu kita berpikir dengan cermat segala dampak yang mungkin timbul jika
kita melakukannya. Atau jika dalam permasalahan, ada baiknya permasalahan
itu dibicarakan dengan baik-baik sehingga tidak terjadi kesalahpahaman yang
bisa berakibat buruk.
Pesan moral lainnya yang ingin disampaikan oleh pengarang terdapat
dalam sikap tokoh Panglima Hasan. Melalui Panglima Hasan pengarang ingin
menyampaikan bahwa sikap tideak bertanggung jawab dapat mengakibatkan
sesuatu yang lebih buruk dari pada perkiraan kita. Apalagi Panglima Hasan itu
seorang panglima yang sudah semestinya memiliki rasa tanggung jawab
terhadap perbuatan yang sudah dilakukan. Dalam menghadapi kehidupan, kita
tidak dapat melarikan diri dari kanyataan. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap
bertanggung jawab untuk menghadapi kehisupan ini. Entah itu yang sifatnya
besar maupun kecil terhadap kehidupan yang sedang kita jalani ini.
Amanat yang paling berhubungan dengan tema adalah janganlah kita
menanamkan rasa yang berlebihan kepada seseorang. Apalagi cinta itu tak
kesampaian akan megakibatkan rasa sakit hati yang dalam. Apalagi Rasulullah
telah mengajarkan kita untuk tidak terlalu sayang atau benci terhadap seseorang
karena bisa jadi suatu saat perasaan kita menjadi terbalik dari perasaan
sebelumnya.

III. PENUTUP
Kesimpulan
Melalui semua analisis yang dilakukan penulis terhadap teks Melayu yang
berjudul “Lancang Kuning” dapat disimpulkan bahwa teks ini memiliki unsur-unsur
intrinsik yang tidak dapat berdiri sendiri. Terdapat hubungan yang erat antara satu
unsur dengan unsur yang lain. Unsur-unsur itu memiliki keterkaitan sehingga
membentuk sebuah cerita yang padu dan menarik. Dapat kita perhatikan dari unsur
Plot. Ternyata plot memiliki terkaitan secara langsung dengan unsur tokoh, latar
maupun sudut pandang pengarang. Melalui plot, kita dapat menentukan karakter
tokoh yang terdapat dalam cerita. Melalui plot juga kita dapat menentukan unsur latar
yang digunakan pengarang sebagai tempat kejadian sebuah peristiwa atau konflik.
Melalui plot juga dapat kita tentukan sudut pandang apa yang digunakan pengarang
untuk melukiskan cerita yang dibuat.
Selain plot, tema juga berhubungan secara langsung dengan latar dan amanat.
Latar tempat yang mendukung terjadinya peristiwa tidak dapat dikatakan tidak bahwa
latar juga mendukung tema yang terdapat dalam sebuah cerita. Jika latar mendukung
terjadinya sebuah peristiwa yang memunculkan konflik dan konflik mendukung tema
yang dibuat, secara otomatis latar juga berarti berhubungan dengan tema sebuah karya
fiksi. Intinya, setiap unsur instrinsik yang terdapat dalam sebuah karya sastra
khususnya fiksi, tidak dapat berdiri sendiri. Setiap unsur itu saling menunjang dan
mendukung unsur lain sehingga menghasilkan cerita yang padu dan menarik untuk
dibaca.
DAFTAR PUSTAKA

Nurgiantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Sudjiman, Panuti. 1995. Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Semi, Atar.1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai