Anda di halaman 1dari 29

KARAKTERISASI DALAM WAYANG SASAK

Abstract

Wayang Sasak as one of the performing arts in Lombok has its own charm to be
studied. Wayang Sasak is led by a dalang as its central figure. This kind of leather
shadow puppet uses Serat Menak as the source of the story, it has two types of
dalang. First Dalang Wayang Sasak Islam and the second one Dalang Wayang
Sasak Hindu. Like two chefs with different tastes but cooking with the same
ingredients. That is the parable that can be used to describe this phenomenon.
Character figures are can be processed by a dalang to reach the dramatic ladder.
Therefore, the characterization process of a dalang will be extracted by using a
case study approach that exists in this type of qualitative research. This study
aims to produce documentation of the methods and creative process of Wayang
Sasak show groups. This study tried to uncover the creative process of Sasak
Puppet art groups by borrowing several literary reception theories to read the
results of the interpretation of a puppeteer against the text of Serat Menak which
influenced the performance.
Keyword: Wayang Sasak, Dalang/Puppeteer, Characterization, Reception

I. PENDAHULUAN
Karakterisasi merupakan bahan utama dalam karya seni yang berhubungan
dengan sastra seperti cerita pendek, novel, skrip film, naskah teater, dan lain
sebagainya. Karakterisasi atau yang biasa dikenal dengan penokohan merupakan
suatu proses pemberian watak terhadap tokoh-tokoh yang hadir dalam suatu
cerita. Ada tiga macam tokoh yang dikenal dalam penokohan yaitu protagonis,
antagonis, tritagonis. Protagonis merupakan tokoh panutan bagi apresiator.
Antagonis biasanya berlawanan dengan tokoh protagonis. Citra tokoh yang
berlawanan dengan norma dan nilai kebenaran melekat pada jenis tokoh ini.
Sedangkan tritagonis biasanya merupakan tokoh pelerai antara protagonis dan
antagonis. Rancangan watak yang mapan dari seorang seniman akan memberi
ruang dalam mengembangkan dinamika peristiwa dan plot cerita. Oleh karena itu
karakterisasi menjadi kunci penting dan menarik untuk dibahas.

Aktor dalam sebuah pertunjukan teater merupakan ujung tombak dalam presentasi
visual karakter tokoh. Perangkat tubuh aktor digunakan untuk menyampaikan
citra tokoh yang dimainkan di atas pentas. Seorang dalang dalam pertunjukan
wayang juga memegang peran yang sama seperti aktor dalam pertunjukan drama.
Namun terdapat sedikit perbedaan, di mana seorang dalang memvisualisasikan
karakter tokoh melalui boneka wayang. Jika ditelisik lebih dalam, hal menarik
yang dapat ditemukan dalam penelitian ini adalah: seorang dalang melakukan

1
karakterisasi yang bereda dengan seorang aktor. jika seorang aktor berhenti pada
tubuhnya sendiri, maka seorang dalang perlu melakukan negosiasi diri dengan
boneka wayang. Mengingat visual yang hadir dihadapan penonton berupa karakter
boneka.

Claire Holt menjelaskan bahwa dalang adalah kekuatan sentral dari dunia wayang.
Penulis ceritera dan produser, juru cerita utama dan konduktor, ia adalah pencipta
serta penggerak utama dari dunia bayang yang ilusif. Sastrawan Jawa R.M Noto
Soeroto dalam Nyanyian-Nyanyian Wayang menyamakan Tuhan dengan Dalang
Yang Tertinggi (Holt, 2000: 175). Dalang pertunjukan wayang memegang peran
yang sangat penting. Dalang merupakan aktor utama dalam pertunjukan wayang.
Bertugas menghidupkan karakter-karakter tokoh untuk membentuk tangga
dramatis yang hadir di balik kelir. Penguasaan terhadap teknik memainkan boneka
wayang, penguasaan lakon, musik, dan yang lainnya menjadi syarat mutlak yang
dimiliki seorang dalang. Melihat fenomena ini, penulis menyimpulkan bahwa
dalang merupakan sosok yang lengkap sebagai seorang aktor. Kata lengkap di sini
merujuk kepada syarat-syarat yang diperlukan untuk menjadi seorang dalang
sangat memiliki kedekatan dengan syarat untuk menjadi aktor yang baik.

Seorang dalang mampu menciptakan karakter tokoh wayang dengan menirukan


berbagai timbre suara. Seorang dalang dapat dengan sangat leluasa menyedot
perhatian penonton walaupun ia tampil seorang diri. Seorang dalang bisa
bernyanyi, mengikuti alunan gamelan yang mengiringinya. Dapat dikatakan
bahwa seorang dalang merupakan otak dari sebuah pertunjukan wayang. Seperti
seorang sutradara teater, seorang dalang juga menjadi sutradara yang mengatur
semua elemen pertunjukan wayang. Selain itu secara praktis seorang dalang
dalam setiap pertunjukan Wayang Sasak merupakan orang yang memiliki hak
penuh untuk memilih dan membawakan lakon. Tidak sedikit dari mereka
kemudian mendesain dan mencipta karakter boneka wayang.

Wayang Sasak sendiri merupakan sebuah pertunjukan wayang kulit yang ada di
pulau Lombok. Sebutan Wayang Sasak diberikan karena selain menggunakan
bahasa Jejawen (Jawa Kawi), pertunjukan ini juga menggunakan bahasa pribumi
yaitu bahasa Sasak. Sumber cerita yang digunakan dalam pertunjukan ini adalah
Serat Menak, mengisahkan tentang perjalanan Amir Hamzah, putra dari paman
baginda rasulullah Muhammad SAW. Serat Menak tidak serta merta bercerita
tentang nilai-nilai dan norma-norma agama Islam. Namun, tema-tema yang
diusung dalam setiap pertunjukan wayang di Lombok tidak jauh dan selalu
dikaitkan dengan ajaran agama Islam. Faktanya di Lombok terdapat dua jenis
dalang yaitu dalang Wayang Sasak Islam dan dalang Wayang Sasak Hindu. Dua
Jenis dalang ini menggunakan babon cerita yang sama. Keduanya juga mengakui

2
bahwa dalam pertunjukan mereka syarat akan muatan ajaran Islam. Polemik
antara Islam Sasak dan Hindu dari Bali yang ada di pulau Lombok telah ada sejak
lama. Mengingat pemutlakan kekuasaan yang dilakukan kerajaan Karangasem
Bali pada tahun 1740. Kerajaan Karangasem berhasil menguasai seluruh pulau
Lombok dan mendirikan negara vasal seperti: Singasari yang terletak di
Cakranegara, Pagesangan, Pagutan, Mataram, dan kerajaan Sengkongo (Gerung,
2011:13). Ada beberapa sistem yang diberlakukan oleh Raja Karangasem pada
masyarakat Lombok, antara lain: Sistem Kasta (kelas), Sistem Cakrawala
Mandala ( menguasai sumber kehidupajn, khususnya air), dan Sistem Strata-
Bahasa.

Penerapan sistem di atas, tentunya memberikan pengaruh terhadap kehidupan


sosial masyarakat suku Sasak pada saat itu. Bahkan sampai sekarangpun warna
Hindu (Bali) masih dapat disaksikan dalam beberapa lini kehidupan masyarakat
Sasak. Salah satu contohnya seni dan budaya. Karya-karya seni di Lombok dan
Bali seperti musik, tari, dan yang lainnya memiliki kesamaan. Banyak orang-
orang di luar Lombok yang mendengar musik gamelan Lombok mengira itu
adalah lantunan gamelan Bali. Begitu pula dengan beberapa jenis gerakan tarian
dan karya-karya seni lainnya. Meski terkesan mirip tentunya terdapat perbedaan di
antara karya-karya tersebut. Namun tidak dapat dipungkiri semua fenomena itu
terjadi karena penguasaan kerajaan Karangasem saat itu. Kembali pada Wayang
Sasak, diantara dua jenis dalang ini juga terdapat beberapa hal yang berbeda
meski memainkan sumber cerita yang sama. Karenanya, untuk mendapatkan
penjelesan dari beberapa fenomena menarik diatas dilakukan sebuah penelitian
yang berfokus pada bagaimana Bagaimana karakterisasi yang terjadi dalam
Wayang Kulit Sasak? dan Mengapa muncul dua jenis dalang di Lombok?

Sejauh ini memang belum banyak catatan tentang hasil penelitian Wayang Sasak
yang ada di Lombok. Selain buku Deskripsi Wayang Sasak yang diterbitkan oleh
Museum Provinsi Nusa Tenggara Barat (1993), ada beberapa tulisan yang penulis
temukan. Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh
beberapa peneliti. Salah satunya yaitu laporan hasil penelitian berjudul Worlds of
Wayang Sasak: Music, Performance, and Negotiations of Religion and Modernity
oleh David Harnish tahun 2003. Tulisan ini mendeskripsikan instrumen-instrumen
musik yang ada dalam wayang sasak. Penjelasan mengenai proses persiapan
pementasan juga elemen-elemen produksi yang terlibat dalam satu garapan
pertunjukan. Informasi penting yang dapat diperoleh dari tulisan ini berupa
pengaruh penguasaan Jawa-Bali, Islam, dan era globalisasi terhadap pasang surut
pertunjukan tradisi pribumi tersebut. Melalui pemaparan data sejarah munculnya
wayang sasak David menjelaskan secara logis kira-kira darimana kesenian ini bisa
sampai dan berkembang di Lombok.

3
Laporan hasil penelitian berjudul “Wayang Kulit Sasak di Desa Kawo Kecamatan
Pujut Lombok Tengah” oleh Kusyoman Widiat Permana, I Gusti Made Budiarta,
I. G. Ngh. Sura Ardana tidak jauh berbeda dengan buku terbitan Museum Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Tulisan ini hanya berisi deskripsi tentang beberapa elemen
pertunjukan seperti sumber cerita, tokoh-tokoh wayang, dan lain sebagainya.
Perbedaan terletak pada studi kasusnya saja. Haris Supratno menulis disertasi
berjudul Wayang Sasak Lakon Dewi Rengganis Dalam Konteks Perubahan
Masyarakat Lombok, Kajian SosiologiKesenian, 1996. dari tulisan ini terdapat
data informasi mengenai wayang sasak saja, tidak tercatatkan tulisan yang
mengulas metode penciptaan dalang.

II. METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode untuk mengeksplorasi dan
memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap
berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan (Creswell 2010:4). Metode ini
dirasa tepat mengingat penelitian ini mencoba membaca perilaku proses kreatif
yang dijalani seorang dalang dalam mempersiapkan pertunjukannya. Dalam
penelitian kualitatif dikenal sebuah pendekatan studi kasus. Pendekatan ini
merupakan strategi penelitian di mana peneliti mengamati secara cermat suatu
program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu (Creswell
2010:20). Proses pengumpulan data dilakukan menggunakan prosedur-prosedur
yang telah ditentukan dalam batas waktu yang direncanakan. Adapun prosedur
tersebut dijabarkan sebagai berikut:

1. Proses Pencuplikan Data

Data-data pada penelitian kali ini akan didapatkan dengan beberapa langkah yaitu;
observasi, wawancara, pengamatan media, studi pustaka. Dalam penelitian
psikolog sosial dikenal satu teknik observasi yang dikenal sebagai observasi
sistematis (systematic observation) yakni mengamati secara hati-hati perilaku
yang ada (Baron, 2004:18). Dalam penelitian kali ini proses observasi dilakukan
secara terlibat dan juga tidak terlibat. Observasi secara terlibat peneliti lakukan
dengan ikut mengambil bagian dalam proses kreatif yang terjadi. Walaupun tidak
menjadi pelaku pertunjukan secara langsung. Saat melakukan observasi penulis
mengadopsi beberapa prinsip yang dicetuskan oleh James P. Spradley (1980)
dalam buku berjudul Partcipant Observation. Beberapa hal yang dapat
diperhatikan dan dicatat selama observasi antara lain; ruang, pelaku atau orang-
orang yang terlibat, kegiatan yang dilakukan, benda, tindakan, peristiwa, waktu,
tujuan, perasaan.

4
Kemudian observasi tidak terlibat dilakukan dengan mengadopsi teknik observasi
alamiah (narturalistic observation) yaitu observasi terhadap perilaku dalam situasi
alami (Linden, 1992). Pada observasi semacam ini, peneliti hanya akan
memperhatikan apa yang sedang terjadi dalam berbagai situasi. Ia tidak akan
melakukan apapun untuk mengubah perilaku orang-orang yang sedang diamati.
Sebenarnya, yang dibutuhkan dalam observasi semacam ini adalah peneliti tidak
boleh mempengaruhi orang yang sedang diamati (Barron, 2004:18). Situasi tidak
terlibat seperti ini bisa terjadi ketika peneliti mengamati pertunjukan secara
langsung dari sisi penonton.

Menurut Macoby dan Macoby wawancara adalah pertukaran informasi verbal


secara langsung (tatap muka), di mana satu orang satu orang sebagai penamanya,
mencoba untuk memperoleh informasi atau ekspresi melalui pendapat atau
keyakinan orang lain (Brinkmann, 2013:1). Wawancara merupakan satu langkah
pengumpulan data yang sangat khas dari metode kualitataif. Brinkmann (2013)
dalam bukuya berjudul Qualitative Interviewing menuliskan saran dari Mayo
(1933) bagi pewawancara dalam melakukan wawancara diantara:

a. Berikan seluruh perhatian Anda pada orang yang diwawancarai, dan


pastikan bahwa Anda melakukannya.
b. Dengarkan–jangan berbicara/menyela.
c. Jangan pernah berdebat; jangan pernah memberi saran.
d. Mendengarkan:
1) apa yang ingin dia katakan
2) apa yang tidak ingin dia katakan
3) apa yang tidak bisa dia katakan tanpa bantuan
e. Sewaktu Anda mendengarkan, plot secara tentatif dan berikutnya
lakukan koreksi terhadap pola (pribadi) yang ada di hadapan Anda.
Untuk menguji ini, dari waktu ke waktu ringkas apa yang telah
dikatakan dan hadir sebagai komentar (misalnya "apakah ini yang
Anda katakan kepada saya?"). Selalu lakukan ini dengan sangat hati-
hati, yaitu mengklarifikasi dengan cara yang tidak menambah atau
mendistorsi.
f. Ingat bahwa segala sesuatu dikatakan harus dianggap sebagai
kepercayaan diri pribadi dan tidak diungkapkan kepada siapa pun.
(Brinkmann, 2013:8).

Selanjutnya wawancara dilakukan dengan bentuk semi-terstruktur. Bentuk


wawancara semi-terstruktur ini didefinisikan sebagai wawancara dengan tujuan
untuk mendapatkan deskripsi tentang dunia kehidupan orang yang diwawancarai
secara berurutan untuk menafsirkan makna fenomena yang dijelaskan

5
(Brinkmann, 2013:21). Dalam wawancara bentuk ini pewawancara menyusun
daftar pertanyaan berdasarkan tema-tema yang diperoleh dari kajian pustaka yang
dipilih. Namun daftar pertanyaan ini hanya digunakan sebagi pemandu jalannya
proses wawancara. Pertanyaan tidak ditanyakan secara berurutan seperti yang ada
dalam bentuk wawancara terstruktur. Pertanyaan akan diajukan dengan merespon
situasi yang terjadi di lapangan. Narasumber utama dari wawancara adalah
dalang-dalang Wayang Sasak setempat. Narasumber pendukung yaitu anggota-
angota kelompok dari sanggar yang dipimpin dalang terkait. Bisa juga orang-
orang yang terlibat dalam setiap proses produksi pertunjukan Wayang Sasak.

Pengamatan media dilakukan pada media cetak, televisi dan media on line yang
memuat berita, informasi dan analisis tentang Wayang Sasak. Studi pustaka
dilakukan dengan menelusuri penelitian terdahulu dengan topik penelitian yang
dilakukan. Data-data yang didapatkan dari beberapa prosedur di atas akan
dibedakan menjadi; data primer dan data sekunder. Data primer berupa: catatan
hasil observasi yang dilakukan dengan cara mengamati proses produksi dan
pertunjukan Wayang Sasak; transkrip hasil wawancara mendalam dengan
narasumber penelitian; dokumentasi foto dan video pementasan Wayang Sasak
dari dalang di Lombok. Data sekunder berupa: liputan pertunjukan mengenai
Wayang Sasak dan penelitian yang terkait dengan topik penelitian ini.

2. Proses analisis data

Proses analisis data yang telah terkumpul dilakukan dengan mereduksi semua
hasil transkripsi wawancara dan observasi. Dalam proses ini peneliti akan
memilah dan membuah data agar menjadi lebih fokus terhadap topik atau
pertanyaan penelitian yang ingin di jawab. Salah satu langkah yang dapat
dilakukan yaitu dengan pengkodean (coding). Pengkodean adalah serangkaian
proses data analisis untuk mendapatkan konseptualisasi dan mengidentifikasi
beberapa jenis data seperti transkrip, catatan lapangan, arsip, laporan, artikel surat
kabar dan seni. Proses pengkodean mengarah pada langkah-langkah peneliti untuk
mengidentifikasi, menyusun dan mensistematiskan ide, konsep maupun kategori
dari data-data yang tidak tercover. (Lofland & Lofland : 1995)

3. Alat-alat pencuplikan data


 Kamera dan tripot; dapat berupa kamera digital atau handphone untuk
merekam video dokumentasi pertunjukan. Memungkinkan juga untuk
merekam proses latihan, mengambil gambar/foto dari karakter wayang, alat
musik dan lain-lain.
 Alat tulis; untuk membuat memo atau catatan hasil observasi lapangan dan
lain-lain.

6
 Perekam audio; untuk merekam perbincangan dalam wawancara. Dibutuhkan
juga untuk berjaga-jaga jika data video terjadi permasalahan auditif.
 Daftar pertanyaan wawancara; pertanyaan wawancara disusun dengan
menentukan tema dari kajian literatur yang telah ada

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tokoh dalam suatu karya sastra merupakan sosok fiktif yang direka sedemikian
rupa dengan kesatuan bentuk –fisik, kehidupan sosial, sifat– yang utuh. Tokoh
fiktif merupakan media yang membawa imajinasi penonton masuk ke dalam plot
cerita yang ada. Melalui tokoh peristiwa dalam sebuah cerita dapat tebentuk. Oleh
karenanya dalam segitiga Aristotelian selalu dimulai dengan identifikasi tokoh
baru berlanjut ke jenjang pengenalan masalah, perumitan, klimaks, anti klimaks,
penyelesaian/ resolusi. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan tokoh
dalam sebuah cerita.

Tokoh-tokoh dalam karya sastra dapat dibendakan menjadi tokoh utama dan
tokoh pembantu. Tokoh utama merupakan karakter utama yang menjalankan
fungsi utama sebagai pemabawa ceria (alur) atau penderita peristiwa. Kedudukan
tokoh ini sangat penting, karena kisahnyalah yang akan berlaku dalam satu
naskah. Sedang tokoh pembantu adalah tokoh yang hadir untuk membantu
terbangunnya peristiwa dari tokoh utama. sedangkan menurut fungsinya jenis
tokoh ini dibagi menjadi tokoh protagonis, antagonis, tritagonis (pembantu).
Burhan Nurgiyantoro menjelaskan:

Menurut Altenbernd dan Lewis (1966), tokoh protagonis adalah tokoh yang
kita kagumi –yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero–tokoh
yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi
kita Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan
kita, harapan-harapan kita, pembaca. Sebuah fiksi harus mengandung
konflik, ketegangan, khususnya konflik dan ketegangan yang dialami oleh
tokoh protagonis. Tokoh penyebab terjadinya konflik disebut tokoh
antagonis. Tokoh antagonis, barangkali dapat disebut, beroposisi dengan
tokoh protagonis, secara langsung ataupun tak langsung, bersifat fisik
maupun batin. Konflik yang dialami oleh tokoh protagonis tidak harus
hanya yang disebabkan oleh tokoh antagonis seorang (beberapa orang)
individu yang dapat ditunjuk secara jelas. Ia dapat disebabkan oleh hal-hal
lain di luar individualitas seseorang, misalnya bencana alam, kecelakaan,
lingkungan alam dan sosial, aturan-aturan sosial, nilai-nilai moral,
kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi, dan sebagainya (1995: 178-179).

7
Setiap tokoh yang muncul dalam setiap cerita disertai dengan watak. Sudjiman
mengungkapkan bahwa watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya
yang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak tokoh dan penciptaan
citra tokoh ini yang disebut penokohan (Sudjiman, 1991: 23). Watak setiap tokoh
dalam sebuah cerita terkadang dideskripsikan langsung oleh penulis. Jika tidak
ada deskripsi secara langsung, bangunan watak dari setiap tokoh dapat dilihat dari
dialog antar tokoh yang ada dalam sebuah naskah. Penokohan dalam Wayang
Sasak tidak jauh berbeda dengan apa yang terdapat di Jawa dan Bali. Walau
mungkin terjadi pergeseran dari penyebutan nama maupun bentuk tubuh wayang.
Pengelompokan tokoh dalam Wayang Sasak disebut sebagai Wayang Kanan dan
Kiri. Melalui pembagian Wayang Kiri dan Wayang Kanan sudah sangat jelas
fungsi tokoh dalam cerita. Tokoh-tokoh Wayang Kanan merupakan tokoh
protagonis, dengan Wong Agung Menak Jayengrane sebagai tokoh sentral.
Tokoh-tokoh Wayang Kiri memegang fungsi sebagai tokoh Antagonis.
Sedangkan tokoh-tokoh Rerencekan berfungsi sebagai tokoh tritagonis. Tokoh-
tokoh Rerencekan ini merupakan tokoh-tokoh representatif masyarakat Lombok.
Tokoh ini selain sebagai pelerai peristiwa dalam cerita, juga berfungsi sebagai
penyampai informasi cerita maupun pesan kepada penoton yang tidak mengerti
bahasa Jawa Kawi ataupun Bali yang banyak digunakan oleh tokoh-tokoh
Wayang Kanan dan Wayang Kiri.

Dalam analisis keaktoran, tiga mata pisau yang sering digunakan untuk
menganalisis dan memahami tokoh yang diperankan yakni dengan
memperhatikan fisiologi, sosiologi dan psikologi tokoh. Fisiologi adalah
gambaran visual tokoh. Hal yang bisa ditelusuri mengenai bagai mana bentuk dari
matriks tubuh –kepala, kaki, tangan, badan, dan sebagainya– seorang tokoh.
Bagaimana struktur matriks tubuh seorang bergerak? Perlu juga untuk menjadi
perhatian. Sosiologi berupa kedudukan tokoh dalam kehidupan masyarakat.
Dengan mengetahui hal ini seorang aktor dapat melakukan pembacaan terhadap
kausalitas sikap tokoh satu dengan tokoh yang lainnya. Misalkan perbedaan sikap
tokoh anak dengan bapak nya, teman, adik, dan yang lainnya. Selanjutkan
Psikologi merupakan keadaan kejiwaan tokoh, seperti sifat pemarah, pengecut,
licik, dan lain sebagainya.Informasi teantang tiga dimensi tokoh di atas terdapat di
dalam naskah. Informasi tersebut merupakan imajinasi dari penulis naskah.
Informasi tersebut yang digunakan seorang aktor dalam mencipta karakter tokoh
yang ditampilkan. Melalui informasi ini jugalah seorang dalang ataupun penatah
wayang mencipta karakter bonekanya.

Hubungan antara dalang dan juga boneka wayang dalam pertunjukan Wayang
Sasak adalah sebagai satu bangunan karakter utuh yang tidak bisa dipisahkan satu
dengan yang lainnya. Menurut Paul Piris (2014): “Puppet is not an Other but the

8
image of an Other. Altough this images initiated by perception, it appears to
consciousness as an imagined being because consciousness i directed toward an
absence (Piris, 2014:59). Pendapat tersebut penulis pahami dengan makna sebagai
berikut: boneka merupakan hasil imajinasi dari sesuatu yang berada di luar diri.
Diinisiasi oleh persepsi untuk muncul sebagai sosok imajinatif. Pada pertunjukan
Wayang Sasak boneka wayang hadir dan dinikmati sebagai bayangan dari
belakang kelir. Dengan matriks tubuh yang telah dirancang ketika proses
penatahan wayang, bayangan yang hadir dihadapan penonton berdiri sebagai
sosok karakter yang utuh. Kemit Love mengatakan bahwa: ketika aktor masuk di
atas pentas, ia perlu membuat sebuah pernyataan, ketika boneka masuk di atas
pentas, ia merupakan pernyataan itu sendiri (Bass, 2014:79). Walau tanpa dialog
kehadirannya sudah memberikan impresi sendiri pada penonton. Kemudian unsur
suara dan juga gerak yang diberikan dalang terhadap boneka menyempurnakan
bangunan karakter yang sudah ada. Untuk itu tugas dalang disini ialah
menghadirkan bangunan gerak dan suara yang tidak mendistorsi bangunan
karakter yang telah ada pada boneka wayang. Jika diumpamakan dalang bertindak
sebagai Tuhan sedangkan boneka wayang yang menjalankan kehidupan sesuai
dengan takdir yang telah ditentukan.

1. Karakterisasi Bertingkat dalam Pertunjukan Wayang Sasak

Karakterisasi dalam pertunjukan Wayang Kulit Sasak terjadi dalam tiga tahap.
Tahapa pertama dimulai dari penulis naskah. Tahan kedua merupakan proses
pembuatan boneka wayang kemudian tahap ketiga adalah tahapan pembentukan
karakter gerak dan suara dari dalang yang memainkan. Mengapa tiga tahap ini
dianggap proses karakterisasi, hal ini mengacu pada teori resepi yang diajukan
oleh beberapa orang ahli sastra (Jaus dan Iser) yang jika penulis simpulkan bahwa
pemaknaan dari sebuah karya sastra (baca: Serat Menak) terjadi karena interaksi
antara pembaca dengan teks. Maka dari itu proses tafsir tidak lepas dari aspek
pencipta, karya, pembaca dan lingkungannya. Setiap pencipta pastinya telah
memikirkan target pembaca tertentu yang akan dia tuju. Hal ini kemudian akan
mempengaruhi bentuk karya yang lahir dan hadir di tengah masyarakat pembaca.
Horison harapan yang dihadirkan oleh pencipta dalam karyanya belum tentu dapat
mencakupi beragamnya horison harapan dari pembaca. Mengingat masyarakat
pembaca sangat beragam dengan latar belakang yang berbeda-beda. Seorang
pembaca yang berasal dari tempat lahirnya karya sastra akan melakukan
pembacaan yang jelas berbeda dengan pembaca yang berada diluar lingkungan
asal karya tersebut.

Sebut saja Serat Menak sebagai contoh yang konkrit. Naskah sastra yang
diadaptasi dari naskah Persia oleh penulis asal kerajaan di Surakarta, Solo, Jawa

9
Tengah ini tentunya telah disesuaikan dengan keadaan dan situasi pembaca
setempat. Ketika naskah ini dibawa oleh para Wali untuk menyebarkan agama
Islam di Lombok tentunya akan menimbukan tafsir yang berbeda ketika pembaca
pribumi yang melakukannya. Tafsir inilah yang pada ujungnya nanti
mempengaruhi bentuk karya Wayang Sasak yang hadir ditengah masyarakat.
Perbedaan kebudayaan antara orang Lombok dan juga Jawa tentunya
menghadirkan ruang kosong (Unbestimmtheitsstellen/ Leerstellen) yang dengan
bebas dan kreatif dapat diisi oleh pembaca dalam menafsirkan Serat Menak.
Pembaca dalam kasus ini merupakan para penatah dan dalang Wayang Sasak yang
konkretisasikan hasil tafsir mereka kedalam bentuk karakter tokoh dan
pertunjukan Wayang Sasak. Maka adapun tiga tahap karakterisasi dalam Wayang
Sasak Lombok dipaparkan sebagai berikut:

a. Karakterisasi penulis naskah

Pencipta naskah ini termasuk kedalam proses karakteriasi yang terjadi dalam
Wayang Sasak karena masih ada beberapa aspek dalam nakah mengenai
penokohan yang dipertahankan oleh para dalang. Tahap ini merupakan langkah
awal karena dari informasi yang ada dalam naskah para penatah dan dalang
mendapatkan instruksi atau gambaran bagaimana karakter tokoh yang akan dibuat
dan dimainkan. Contoh riilnya akan dijelaskan di bawah. Ada beberapa metode
karakterisasi dalam naskah fiksi. Albertine Minderop menggunakan dua cara atau
metode dalam karyanya, yaitu metode langsung/telling dan metode tidak
langsung/showing (Minderop, 2011:6). Disebut metode langsung karena
dilakukan secara langsung oleh penulis naskah. Metode ini banyak digunakan
pada karya-karya sastra zaman dahulu. Metode langsung meliputi: karakterisasi
melalui penggunaan nama tokoh (chararterization through the use of the names),
karakterisasi melalui penampilan tokoh (chararterization through appearance),
dan karakterisasi melalui tuturan pengarang (chararterization by the author).

Metode tidak langsung adalah metode yang banyak ditemukan karya-karya


belakangan ini. Banyak penulis-penulis zaman sekarang yang menganggap
metode showing lebih menarik bagi pembaca. Pada metode ini pembaca dituntut
untuk memahami dan menghayati watak para tokoh melalui dialog dan peristiwa
yang berlangsung. Di samping itu, pembaca merasa tertantang untuk memahami
dan menghayati karakter para tokoh sehingga tidak menimbulkan rasa bosan dan
monoton. Metode tidak langsung terdiri atas karakterisasi melalui dialog, lokasi
dan situasi percakapan, jatidiri tokoh yang dituju oleh penutur, kualitas mental
para tokoh, nada suara, tekanan, dialek, dan kosa kata, dan karakterisasi melalui
tindakan para tokoh.

10
Pada Wayang Sasak yang babon cerita berasal dari Serat Menak, lebih cenderung
menggunakan metode langsung. Dapat terlihat jelas dari bentuk naskah Serat
Menak yang berbentuk mocapat yang merupakan penuturan secara langsung dari
penulis. Hal ini dapat dilihat juga dari sitem penamaan yang ada pada tokoh-tokoh
di dalamnya. Misalkan saja tokoh Jayengrane yang berasal dari kata Jaya Ing
Rana yang memiliki makna menang dalam setiap pertempuran. Hal ini dapat
menggambarkan bahwa tokoh Jayengrane adalah sosok yang kuat perkasa.
Naskah Serat Menak di Lombok diresepsi oleh para seniman ke dalam bentuk
salinan naskah baru. Salinan-salinan ini beragam, seperti Pen, Dabidan, ataupun
Palinan (lihat kembali pada bagiantemuan penelitian) yang berupa ringkasan
pengadeganan di atas pentas. Bahasa yang gunakanpun beragam yaitu bahasa
Sasak, Bali, bahkan Jawa.
Sistem penokohan yang ada dalam naskah asli diadopsi juga oleh penulis dalam
salinan-salinan baru ini. seperti yang dapat dilihat pada Palinan (salinan) oleh
Djenah di mana informasi mengenai tokoh Raden Banjaransari yang dituturkan
secara langsung. Contoh:
Banjaran Sari gedek jok dengan sak pesilak tame jok dalem taman no:
Banjaran Sari (Ibnu Kelan) enekne mele tame. Trus Banjaran Sari berdoa
terus dateng emban sik due kance Minsar. Trus tunggang jaran B. Sari
sugul jok Taman Jamintoran. Trus B.Sari surak. Crite beh pratu peki isiq
surakne. R.B. Sari persis marak surak mamiqne Jayengrane.
Artinya:
Banjaran Sari kemudian marah dipaksa masuk ke dalam taman. Banjaran
Sari membaca mantera lalu menunggangi kudanya untuk keluar dari taman
Jamintoran kemudian ia memekikkan suaranya. Dikisahkan semua prajurit
tumbang oleh pekikkan tersebut. Pekikan itu persis seperti milik
ayahandanya Jayengrane.
Contoh Palinan diatas dengan sangat jelas memaparkan secara langsung sikap,
sifat, dan kekuatan Raden Banjaran Sari anak dari Jayengrane yang sama seperti
ayahnya. Karakterisasi secara langsung melaui penamaan tokoh juga digunakan
oleh para penatah dan dalang. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dalam
penyebutan nama dalam naskah asli dengan salinannya. Contoh tokoh Dewi
Muninggar berubah menjadi Dewi Munigarim. Sebutan Munigarim yang berasal
dari kata Muni dan Garim yang berarti Tutur dan Halus. Dengan melihat makna
kata tersebut maka dapat digambarkan bahwa tokoh Munigarim adalah sosok
wanita yang lembut dan berperilaku halus.

b. Karakterisasi Penatah

Dalam membuat karakter-karakter boneka dari setiap tokoh, seorang penatah


wayang telah menjadi seorang dramaturg visual. Mengutip dari Eric Bass dengan

11
pernyataannya sebagai berikut: “as visual dramaturgs, the space, our materials,
imbalance of our images, the actual transformation of our elements, al have the
potential to contain dramatic tention (Bass, 2014:84)”, artinya sebagai dramaturg
visual; ruang, bahan, ketimpangan dari imaji, transformasi aktual dari unsur-unsur
pertunjukan semuanya memiliki potensi untuk membangun tangga dramatik. Dari
pendapat ini dapat disimpulkan bahwa segala pertimbangan atas tindakan yang
dilakukan dalam menciptakan karakter boneka oleh seorang penatah akan
memberikan watak yang utuh bagi tokoh yang akan membantu terbentuknya
tangga dramatik dari pementasan.

Karakterisasi yang dilakukan oleh seorang penatah dimulai dari pemilihan bahan
seperti kulit sapi dan warna yang akan dibentuk. Proses ini kemudian berlanjut
pada bentuk matriks-matriks tubuh karakter wayang yang dibuat. Mulai dari
bentuk kepala, wajah, bahu, lengan, badan, kaki, serta busana tokoh. Busana yang
digunakan tokoh akan memberikan informasi tentang keadaan sosial seorang
tokoh. Dapat juga digali sifat-sifat dari masing-masing tokoh dengan melihat satu
aspek ini. Misalkan saja pernyataan penatah Amaq Darwilis mengenai kostum
Wayang Kanan yang lebih sederhan di bandingkan dengan Wayang Kiri
(Darwilis, wawancara 19 Maret 2018). Kesederhanaan ini kemudian dikaitkan
dengan ajaran agama Islam, yang mengajarkan hidup sederhana lebih baik dari
berfoya-foya dan bermegah-megah. Tafsir semacam ini muncul karena tujuan
dibawanya pertunjukan Wayang Sasak pada mulanya untuk menyebarkan agama
Islam. Ajaran agama yang diterima oleh para penatah atau dalang (dalam hal ini
dalang yang sekaligus menatah wayangnya sendiri) mempengaruhi horison
harapan mereka sehingga menafsirkan dan membentuk bonwka wayang
berdasarkan jajaran Islam. Jika melihat tokoh Jayengrane yang ada di Lombok
akan sangat berbeda dengan Jayengrane yang ada di pulau Jawa.

12
Gambar 27. Perbandingan karakter Jayengrana Jawa dan Sasak
(gambar Jayangrana kiri di unduh dari www.pitoyo.com 17-07-
2018)

Gambar 28. Perbandingan karakter Umarmaya Jawa dan Sasak


(gambar Umarmaya kiri di unduh dari www.pitoyo.com 17-07-
2018)

13
Gambar 29. Perbandingan karakter Patik Betara Nursiwan Jawa
dan Sasak(gambar Patik Betara Nursiwan kiri di unduh dari
www.pitoyo.com 17-07-2018)

Gambar 30. Perbandingan karakter Bestak dan Baktak(satu


karakter berbeda nama, gambar Bestak di unduh dari
www.pitoyo.com 17-07-2018)

Dari gambar di atas terlihat sangat dapat terlihat sangat jelas, bahwa terjadi
tranformasi pada tokoh wayang Jayengrana yang menjadi lebih sederhana tanpa
balutan aksesoris yang megah. Hal ini dapat terlihat juga pada karakter tokoh
yang lain seperti Umarmaya. Namun pada katrakter Wayang Kiriaksesoris yang

14
megah masih dipertahankan. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan sifat tamak
dan pamer dari karakter wayang tersebut wayang tersebut. Selain dari segi
kostum,untuk menggambarkan sifat karakter tokoh penatah wayang dan dalang di
Lombok menerapkan bentuk simbolik pada bagian tubuh karakter seperti mata,
bibir dan yang lainnya. Menurut para seniman di Lombok bentuk-bentuk ini
dipertahankan dari dahulu hingga sekarang (Darwilis, wawancara 19 Maret 2018).
Meski menggunakan simbol bentuk untuk penggambaran sifat karakter tokoh,
namun dalam Wayang Sasak tidak serta merta bentuk dari bagia tubuh wayang ini
menggambarkan sifat sepenuhnya dari karakter tersebut. Hal ini sama seperti
manusia, tidak selalu tampilan mereka menggambarkan sifat mereka yang
sebenarnya.

Sesuai dengan apa yang tertulis dalam buku Deskripsi Wayang Kulit Sasak
Daerah Nusa Tenggara Barat, ada lima macambentuk mata dalam Wayang Sasak
yaitu: Mata Mirah atau Tolang Timun, Mata Tolang Kedele, Mata Gandung atau
Buaq Kedondong, Mata Melong, dan Mata Cekiq. Sedangkan bentuk bibir/mulut
wayang ada lima macam juga diataranya: Memanisan, Galak Manis, Keraksasan,
Ngagaq, dan Bekemelan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993: 87-98).
Berikut penjelasan tentang pengagamban sifat dan karakter tokoh dengan simbol
bentuk mata:

1) Mata Mirah atau Tolang Timun


Jenis bentuk mata ini banyak ditemukan pada karakter-karakter tokoh
kanan/baik. Mata Mirah atau Tolang Timun menggambarkan sifat tidak
sombong, sopan santun, suka menolong, tenang, sabar, jujur, taat beribadah,
dan sebagainya. Sesuai arti dari kata Tolang (biji) Timun (mentimun), kornea
pada jenis mata ini berbentuk oval memanjang seperti biji mentimun dengan
kelopak berbentuk segitiga tumpul. Tokoh-tokoh yang memiliki mata ini
antara lain: Jayaengrana, Maktal, Banjaransari, Umarmaya, serta seluruh
tokoh putri.
2) Mata Tolang Kedele

Kata Tolang Kedele berarti biji kedelai. Bentuk mata ini hampir sama dengan
bentuk mata di atas. Hanya saja korne mata tampak lebih besar sehingga
kelopaknya juga lebih besar. Mata ini menggambarkan sifat yang hampir
sama juga dengan Mata Mirah namun sedikit lebih keras dan kurang sabar.
Karakter tokoh Wayang Kanan yang memiliki jenis mata ini antara lain:
Taptanus dan Santanus. Sedangkan Wayang Kiri diantaranya: Patik Betara
Nursiwan.

3) Mata Gandung atau Buaq Kedondong

15
Jenis mata ini berukuran lebih besar dari dua jenis mata sebelumnya. Kornea
yang besar dan hampir sama seperti buah kedondong, dengan kelopak mata
seperti daun yang terbelah dua. Jenis mata ini menggambarkan sifat keras,
pemarah, tidak sabar, namun rela berjkorban demi kebenaran. Karakter tokoh
yang memiliki jenis mata ini adalah tokoh Selandir dari kelompok Wayang
Kanan.
4) Mata Melong
Jenis mata ini berbentuk bulat yang memberi kesan keras, kasar, marah. Jenis
mata ini menggambarkan sifat culas, pemarah, kejam, bengis, egois dan cinta
akan hal-hal duniawi. Tokoh-tokoh yang memiliki bentuk mata ini sebagian
besar berasal dari Wayang Kiri yaitu tokoh-tokoh raja, para patih (kecuali
Baktak yang bermata Mirah), tokoh-tokoh raksa, dan lain sebagainya.
5) Mata Cekiq
Mata Cekiq berarti mata sipit. Secara umum dimiliki oleh tokoh-tokoh yang
berbadan gemuk sepeti tokoh Umarmadi dari Wayang Kanan yang terkenal
suka makan sehingga badannya gemuk juga Tambi Jumiril ayah dari
Umarmadi.

Kemudian pengagambaran sifat dan karakter tokoh dengan simbol bentuk bibir
antara lain:

1) Memanisan
Bibir jenis ini berbentuk kecil memanjang dengan bibir atas lebih tipis dan
sedikiut terbuka sehingga gigi seri bagian atas tampak. hal ini dilakukan agar
tokoh wayang tampak tersenyum manis. Bentuk bibir ini memberi kesan
ramah dan bertutur halus. Bentuk bibir ibni sebagian besar dimiliki oleh
tokoh-tokoh wayang kanan, seluruh tokoh putri, dan beberapa dari tokoh
Wayang Kiri. Contoh: tokoh Jayengrana.
2) Galak Manis
Bibir jenis sedikit lebih besar dari jenis yang di atas. Bibir bagian atas lebih
tebal. Pemilik bentuk bibir ini bersifat keras, penuh perhitungan dalam
bertindak. Contoh: tokoh Selandir dan beberapa tokoh raja dan Mahapatih
dari Wayang Kiri (kecuali Baktak).
3) Keraksasan
Kata Keraksasan berarti menyerupai raksasa. Berbentuk memanjang dengan
bibir atas sedikit terbuka sehingga baris gigi taring dan seri atas terlihat.
Biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh Wayang Kiri yang memiliki sifat antara
manusia dan raksasa.
4) Ngangak
Kata Ngangak berarti menganga atau terbuka lebar sehingga eluruh gigi
bagian atas ataupun bawah tampak semua. Bibir seperti ini umumnya dimiliki

16
oleh tokoh raksasa dari Wayang Kiri. Para raksasa bersifar rakus, ganas, suka
mengganggu, bersuara keras dan besar, semua sifat-sifat jelek dimilikinya.
5) Bekemelan
Bibir jenis ini bisa digerakkan. Memberi kesan mulut yang berbicara.
Biasanyarahang bagian bawah tokoh dilepas dan disatukan dengan engsel
yang dibuat dari tanduk. Bentuk bibir ini banya ditemukan pada tokoh-tokoh
penakawan dan rerencekan, yang terkenal banyak bicara. Mengingat fungsi
mereka sebagai tokoh penyambung lidah antara raja dengan rakyatnya.

Gambar 31. Bentuk Mata Mirah dan Bibir Memanisan

17
Gambar 32. Bentuk mata Tolang Kedele dan bibir Memanisan

Gambar 33. Bentuk mata Gadung dan bibir Galak Manis

18
Gambar 34. Bentuk mata Melong dan bibir Keraksasan

Gambar 35. Bentuk mata Melong dan bibir Ngangaq

19
Gambar 36. Bentuk mata Cekiq dan bibir Bekemelan

Selain bentuk mata dan bibir terdapat juga bentuk lengan dan postur tubuh.
Bentuk lengan dibedakan menjadi dua yaitu terlepas dan tidak. Bentuk tangan
terlepas biasanya dimiliki oleh Wayang Kanan yang menggambarkan manusia
yang giat bekerja sesuai tugasnya dan seimbang antara lahir batin. Bentuk tangan
tidak lepas biasanya terjadi pada salah satu lengan saja. Bentuk ini biasa dimiliki
oleh Wayang Kiri seperti rakasa yang bersifat buruk dan tidak sopan. Selain itu
bentuk tangan kedua ini dimiliki oleh banyak karakter prajurit. Hal ini
dimaksudkan untuk memudahkandalang dalam memainkan adegan peperangan
yang ramai dengan karakter-karakter tokoh wayang . Sedangkan bentuk postur
tubuh dibedakan dengan bentuk ramping, kekar, buncit, kecil, sedang, dan besar.
Biasanya bentuk-bentuk ini di padupadankan, seperti contoh bentuk postur tubuh
sedang dengan perut ramping dimiliki oleh sebagian besar Wayang Kanan yang
tidak mementingkan perut sendiri. Tubuh besr dengan perut buncit yang dimiliki
oleh Wayang Kiri yang menggambarkan keegoisan dan kerakusan
sehinggaperutnya berubah buncit.

Bentuk-bentuk yang telah disebutkan di atas telah mengalami tafsir sendiri dari
para seniman. Hal ini dapat dilihat dari penamaan bentuk yang telah disesuaikan
dengan bahasa setempat. Namun jika dilihat dari bentuk tatahan semua karakter
yang disebutkan di atas meminjam dari bentuk yang dibawa dari Jawa. Hal ini
dapat dilihat dari bentuk keseluruhan busana yang dikenakan pada karakter
wayang seperti gambar di bawah ini:

20
Gambar 37. Busana wayang laki-laki urutan dari atas: Petitis,
Gelung, Ronron, Sekartaji, Sengkakng/Gondala, Tondang, Gelang
Kana (atas), Naga Wangsul, Keris, Dodot Bengkung,
Gegonjer/Kembang Waru, Gelang Kana (bawah), Ali-ali, Kereng,
dan Lancingan.

21
Gambar 38. Busana wayang putri urutan dari atas: Petitis, Gelung,
Ronron, Sekartaji, Sengkakng/Gondala, Tondang, Naga Wangsul,
Gelang Kana (atas), Ateng, Gelang Kana (bawah), Ali-ali, Kereng.

Pemaparan tentang bentuk-bentuk karakter wayang di atas merupakan hasil


adopsi dari bentuk yang ada di Jawa yang telah mengalami penyesuaian dengan
keadaan Lombok. Namun dalam naskah Serat Menak sendiri yang notabene
berbahasa Jawa Klasik menciptakan ruang kosong (Unbestimmtheitsstellen/
Leerstellen) dimana tidak terdapatnya tokoh yang berbahasa daerah setempat
sehingga hal ini memancing horizon harapan dari dalang bekerja. Pada akhirnya
hal tersebut menyebabkan lahirnya tokoh-tokoh karakter Rerencekan. Tokoh
Rerencekan ini berfungsi sebagai tokoh yang memberikan informasi bagi
penonton yang tidak mengerti dengan bahasa Jawa untuk memahami alur cerita
dan peristiwa yang terjadi di atas pentas. Jika menilik dari bentuk tatahan yang
sederhana dan warna wayang yang begitu bebas, maka dapat dikatakan bahwa
bentuk ini merupakan realisasi konkrit yang memiliki nilai orisinalitas seniman
setempat. Singkatnya semua karakter tokoh baik Wayang Kanan maupun Wayang
Kiri merupakan tokoh kerajaan yang didatangkan dari luar yang mengalami
bebrapa peyesuaian, sedangkan tokoh Rerencekan ini merupakan penggambaran
kaum-kaum marginal Lombok yang berusaha menyuarakan pendapat mereka.

22
Kostum dari tokoh Rerencekan ini sangat sederhana hanya menggunakan sarung
(kereng) bagi yang laki-laki (walaupun ada beberapa karakter tokoh yang
dikenakan baju atau jas) dan kebaya untuk tokoh perempuan. Pewarnaan wayang
tidak terikat sistem simbolisai karakter. Semua dilakukan secara subjektif dan
intuitif sesuai penuturan dari Ki Dalang Lalu Irwan “ ...ape saq menurutke ndeq
seusue muq gentike, pade soq maraq misal side nane ngelukis dait dengan lain
ngelukis. Belum tentu ape saq menurut side bagus bagus untuk niye. Selapuk
tulak jok diriqte mesaq...”, artinya “... apa yang menurut saya tidak sesuai
(maksudnya dari segi kostum dan warna karakter tokoh wayang) saya ganti. Sama
halnya dengan ketika anda melukis dan orang lain melukis. Belum tentu apa yang
anda anggap bagus itu menurut orang lain juga agus. Semua itu kembali pada diri
kita masing-masing...” (wawancara Ki Dalang Lalu Irwan, 2 Maret 2018).

c. Karakterisasi Dalang

Karakterisasi yang dilakukan seorang dalang berada pada ruang pemberian ruh.
seperti perumpamaan yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa dalang adalah
Tuhan yang akan mengerakan karakter boneka sehingga terbentuknya dinamika
peristiwa dalam pentas. Dengan berbagai proses latihan yang dilalui dalang,
mereka hanya ingin mencapai penciptaan bangunan karakter yang utuh. Seperti
perusakan (pembentukan) suara yang dilakukan bertujuan untuk memperluas
range timbre suara yang dimiliki agar dapat memainkan semua karakter.

Basil Jones dalam Puppetry, Authorship, and The Ur-Narrative menuliskan


bahwa dalam memainkan boneka seorang aktor/puppeteers harus bermain pada
dua level, yakni level makro dan level mikro. Level makro merupakan sesuatu
yang berkaitan dengan skrip dan koreografi. Sedangkan mikro adalah laku yang
tanpa disadari dilakukan dalam kegiatan sehari-hari. Kekuatan level mikro dalam
pertunjukkan adalah penonton dapat merosansi atau merasakan kedekatan laku
tersebut dalam interaksinya dengan dunia. (2009: 89-95).

Oleh dalang Wayang Sasak, level makro yang disebutkan oleh Basil Jones
tentunya masih dilakukan. Seperti halnya dalang Wayang Sasak yang membangun
pemahaman tentang alur cerita, tokoh-tokoh yang ada, peristiwa, dan lain
sebagainya yang dimulai sejak usia dini. Kemudian teknik-teknik sitematis
pertunjukan seperti pembukaan, peperangan, penutup dan lain-lain. Namun pada
level mikro, dalang Wayang Sasak justru tidak berusaha melakukan peniruan
terhadap laku sesuai konvensi yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
dikarenakan bentuk pertunjukan wayang sasak yang masih mempertahankan
bentuk dua dimensi yang menyuguhkan bayang saja kepada penonton. Gerakan-
gerakan yang dilakukan justru gerakan hiperbolik atau stilisasi agar gerak sedapat
mungkin menarik perhatian penonton.

23
Untuk menyuguhkan karakter yang utuh kepada penonton, seorang dalang tentu
melakukan pembacaan terhadap bentuk tubuh karakter yang dimainkan. Dari
sistem penamaan dan sifat karakter bobeka yang sudah dipakemkan secara turun
temurun, seorang dalang Sasak akan berlatih untuk menemukan karakter suara
dan gerak setiap tokoh. Bagi dalang yang membuat karakter tokoh wayangnya
sendiri, pembacaan ini sudah dilakukan dalam proses karakterisasi yang dilakukan
oleh seorang penatah. Dengan demikian, secaraotomatis seorang dalang yang juga
menatah akan memikirkan karakter suara dan juga teknik bergerak dari karakter
tokoh ciptaanya.

2. Dalang Wayang Sasak Hindu dan Islam

Meskipun banyak yang mengatakan Wayang Sasak erat hubungannya dengan


agama Islam, terdapat dua jenis dalang pertunjukan Wayang Kulit Sasak di
Lombok, yakni; dalang Islam /Lombok dan dalang Hindu/Bali. Ki Dalang
Darumdia (dalang Hindu/Bali) menyatakan bahwa dahulu kakeknya bernama Ki
Dalang Nengah Goang selalu mendalang di pura-pura namun tetap menggunkan
syahadat yang dilakukan oleh orang Islam (Darundia, 24 Maret 2018). Sedangkan
I Nengah Giur –murid Nengah Goang– yang juga merupakan dalang Wayang
Sasak Hindu, menyatatakan bahwa dirinya tetap berpegang pada lontar Aji
Dharma pewayangan, sebuah lontar yang berisi tentang ajaran-ajaran atau
ketentuan-ketentuan mutlak yang harus dipatuhi oleh dalang Bali (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1993:52).

Dua jenis dalang Wayang Sasak ini muncul sebagai akibat dari peperangan
perebutan kekuasaan antara kerajaan Islam dan Hindu di Lombok. John Ryan
Bartholomew menyatakan bahwa Lombok adalah pulau yang seolah-olah tidur
dan terbelakang, merupakan situs dari bermacam-macam inkursi (baca:
penyerangan/serbuan) yang mempengaruhi praktik-praktik dan kepercayaan suku
Sasak. Perubahan-perubahan sosial akibat dari inkursi-inkursi ini memberikan
stimulus perasaan akan kebutuhan untuk memperbarui agama (Bartholomew,
2001: 93). Pada tahun 1334 kepercayaan Hindu-Budha masuk ke Lombok melalui
penyatuan politik yang dilakukan oleh Patih Gajah Mada (Gerung, 2011:6;
Asnawi, 2005:3). Lebih jauh Goris menyatakan:
Before the arrival of Islam, Lombok had experienced a long period of
Hindu-Buddhist influence that reached the island through Java. The
Negarakertagama, the 14th century palm leaf poem that was found on
Lombok, places the island as one of the vassals of the Majapahit empire.
According to the legends, two of the oldest villages on the island, Bayan and
Sembalun, were founded by a prince of Majapahit.
Artinya:

24
Sebelum agama Islam datang, Lombok dalam waktu yang cukup lama
pernah mengalami pengaruh agama Hindu Budha yang datang dari Jawa.
Dalam Kitab Negarakertagama dijelaskan bahwa Lombok sudah ditemukan
pada abad ke 14 M dan takluk di bawah kerajaan Majapahit. Menurut
legenda, ada dua kampung tua yaitu Bayan dan Sembalun sebagai bukti
sejarah yang terdapat di pulau ini dan ditemukan oleh seorang pangeran
Majapahit (Asnawi, 2005:3-4).

Kemudian penguasaan kerajaan Karangasem Bali pada tahun 1740 memberikan


pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan sosial masyarakat Lombok
hingga saat ini. Selanjutnya pengaruh kerajaan islam yang masuk ke Lombok
pada tahun 1545 melalui Sunan Prapen anak dari Sunan Giri (Asnawi, 2005:1;
Zuhdi, 2011:67). Selain itu terdapat juga cerita bahwa dahulu Wayang Sasak
muncul karena adanya perintah dari Raja kerajaan Karangasem yang menitahkan
kepada seorang bernama Sangling Labangkara untuk membuat wayang kulit. Lalu
terciptalah tokoh Jayengrana dan Dewi Munigarim. Dari kisah ini penulis
mensinyalir bahwa titah pembuatan Wayang Sasak di masa pendudukan Bali ini
merupakan suatu upaya menekan penyebaran agama Islam melalui Wayang Sasak
yang mengancam kekuasaan mereka. Hal inilah yang kemudian menyebabkan
munculnya dua macam dalang di Lombok hingga sekarang ini.

Ada beberapa perbedaan antara dalang Wayang Sasak Islam dan juga Hindu
sekarang ini. Pada pertunjukan Wayang Sasak Hindu ritual-ritual keagamaan
masih dilakukan. Misalkan menyediakan sesajen ketika ingin melakukan
pementasan. Fungsi dari Wayang Sasak bagi warga Hindu di Lombok meskipun
bersumber dari Serat Menak, sekiranya tak jauh berbeda dengan fungsi wayang
yang sering dipakai sebagai Ruwatan di Jawa ataupun Bali. Namun untuk dalang
Wayang Sasak Islam pertunjukan wayang berfungsi sebagai alat untuk
mendekatkan diri pada Tuhan dan syiar agama Islam atau sekedar hiburan.

IV. KESIMPULAN

Dari penelitian yang dilakukan selama dua bulan, dimulai bulan Maret sampai
bulan April penulis menemukan bahwa Wayang Sasak adalah sebuah kesenian
pertunjunjukan boneka yang dibawa dari Jawa. Wayang sasak di Lombok diyakini
erat kaitannya dengan penyebaran agama Islam. Banyak versi cerita yang ada di
tengah masyarakat tentang awal mula munculnya kesenian ini di Lombok.
Wayang Sasak adalah sebuah pertunjukan wayang kulit yang ada di pulau
Lombok. Selain menggunakan bahasa Jawa (Jejawen) bahasa Sasak juga
digunakan untuk dapat menjangkau penonton yang tidak mengerti dengan bahasa
Jawa. Serat Menak yang merupakan babon cerita dari Wayang Sasak dibawa dari
Jawa, yang merupakan cerita adaptasi dari cerita Persia yaitu kitab Qissai Emr

25
Hamza. Ditulis kembali dalam bahasa Jawa oleh Ki Caraik Narawita atas perintah
Kanjeng Ratu Mas Balitar, permaisuri Susuhunan Pakubuwono I (Pangeran
Puger) di Kraton Kertasura.

Melihat dari bentuk pertunjukan dan karakter-karakter wayang yang ada, Wayang
Sasak memang mirip dengan pertunjukan wayang yang ada di Jawa. Dalam
pertunjukan Wayang Sasak, penonton tetap berada di depan layar. Bayangan
karakter boneka yang diterangi lampu blencong (lampu neon pada pertunjukan
saat ini) adalah suguhan utama yang disaksikan oleh penonton. Pertunjukan
berlangsung semalam suntuk, mulai dari sekitar pukul sembilan malam sampai
pukul lima pagi. Meski terbilang mirip, namun ada beberapa khasanah lokal yang
masih dapat terlihat jelas dalam pertunjukan. Hal ini merupakan hasil tafsir dari
para seniman pribumi terhadap teks yang didatangkan pada mereka. Seperti
karakter tokoh Rerencekan yang dimana sistem penamaan menggunkan bahasa
Sasak dan berntuk karakter yang sederhana.

Melalui teori resepsi penulis melihat bagaimana pengaruh keyakinan dan


kepercayaan serta pengalaman para seniman terhadap karakteriasi tokoh yang
diciptakan. Dengan beberapa tinjauan dari dramaturgi visual dan estetika seni
teater boneka penulis melakukan analisis yang berusaha menjawab pertanyaan
penelitian yang diajukan, antara lain:

 Bagaimana karakterisasi yang terjadi dalam Wayang Kulit Sasak?


 Mengapa muncul dua jenis dalang di Lombok?

Dengan itu penulis menemukan jawaban sebagai berikut:

1. Karakterisasi dalam Wayang Sasak Lombok terdapat karakterisai bertingkat


yang dimulai dari karakterisasi penulis naskah, karakterisasi penatah, dan
karakterisasi dalang. Tiga hal ini diyakini sebagai proses karakterisasi melihat
dalam pemaknaan sebuah karya sastra melibatkan antara pencipta teks, teks
atau karya itu sendiri, dan pembaca dengan latar belakangnya masing-masing.
Informasi yang ingin disampaikan seorang pencipta dititipkan melalui
teksnya, kemudian interaksi antara pembaca dengan teks memunculkan
sebuah pemaknaan yang menghasilkan tanggapan. Proses pemaknaan ini
terjadi pada babon cerita Wayang Sasak yakni Serat Menak. Serat Menak
yang telah ditulis untuk masyarakat Jawa menciptakan sebuah ruang kosong
untuk para dalang dan penatah memaknai teks tersebut sesuai dengan keadaan
dan situasi mereka saat itu. Suksesnya penyebaran agama Islam di Lombok
menyebabkan Wayang Sasak menjadi salah satu media dakwah, sehingga
semua substansi pertunjukan maupun filosofi Wayang Sasak disesuaikan
dengan ajaran agama Islam. Akhirnya lahirlah bentuk-bentuk sederhana dari

26
karakter boneka lokal seperti yang dapat dilihat pada karakter-karakter tokoh
Rerencekan.
2. Lombok yang pernah menjadi tempat perebutan kekuasaan antara kerajaan
Goa dan Karangasem disinyalir menjadi penyebab munculnya dua jenis
dalang di Lombok.
3. Asal usul Wayang Sasak jika dikaitkan dengan tahun terbit babon ceritanya
maka dapat disimpulkan bahwa pertamakali Wayang Sasak ada di Lombok
pada kisaran tahun 1700-1800-an.

DAFTAR PUSTAKA

Asnawi. (Januari 2005). “Respon Kultural Masyarakat Sasak Terhadap Islam ”


dalam Ulumuna, Jurnal Studi Keislaman,Volume IX edisi 15, UIN
Mataram, Mataram.

Baron, A. Robert dan Donn Byrne. (2003). Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Gelora
Aksara Pratama.

Bartholomew,John R. (2001). Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak


terj.Imron Rosyidi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Bass, Eric. (2014). Visual Dramturgy: Some Thoughts for Puppet Theatre Makers
an essay on Companion to Puppetry and Material Performance. New
York: Routledge.

Brinkmann, Svend. (2013). Qualitative Interviewing. New York: Oxford


University Press.

Creswell, J.W. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan


Mix. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1993). Deskripsi Wayang Kulit Sasak.


Lombok: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Gerung, Daud. (2011). Lombok Mirah Sasak Adi: Penaklukan dan Pemutlakan
Kekuasaan Bali. Jakarta. IMSAK press.

Harnish, David. (2003). Worlds of Wayang Sasak: Music, Performance, and


Negotiations of Religion and Modernity. Texas: University of Texas
Press.

Holt, Claire. (2000). Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia terj. R.M
Soedarsono. Bandung: Art.line.

27
Jones, Basil. (2014). Puppetry, Authorship, and The Ur-Narrative an essay on
Companion to Puppetry and Material Performance. New York:
Routledge.

Loftland J and L.H Loftland. (1995) . Analyzing Social Settings : a guide to


qualitative observation and analysis. Belmont, CA:Wadsworth
Publishing Company.

Minderop, Albertine. (2011). Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta Yayasan


Pustaka Obor Indonesia

Nurgiyantoro, Burhan. (1995). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Universitas


Gajah Mada.

Piris, Paul. (2014). The Co-Presence and Ontological Ambiguity of The Puppet an
essay on Companion to Puppetry and Material Performance. New York:
Routledge.
Spradley,J.P (1980). Participant Observation. New York:Holt, Rinehart
&Winston.

Sudjiman, Panuti. (1991). Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sukistono, Dewanto. (2013). Wayang Golek Menak Yogyakarta: Bentuk dan


truktur Pertunjukan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Zuhdi, Harfin M. (2011). Lombok Mirah Sasak Adi; Islam Wetu Telu di Bayan
Lombok. Jakarta: IMSAK Press.

NARASUMBER

Amaq Darwilis (57 tahun) seorang Penatah Wayang Sasak Daerah Gunung
Malang, Lombok barat, wawancara tanggal 19 Maret 2018

Lalu Irwan (58 tahun) seorang dalang Dalang berdomisili diPuyung Timuk Peken,
Lombok Tengah, wawancara tanggal 2 Maret 2018

Made Darundia seorang Dalang berdomisili Cakranegara, Mataram, wawancara


tanggal 27 Februari, 20, 24 Maret 2018

28
29

Anda mungkin juga menyukai