Anda di halaman 1dari 8

A.

Judul Proposal Penelitian


Menyusuri kebudayaan kesenian wayang untuk kehidupan Nusantara
B. Latar Belakang
Kesenian adalah salah satu budaya penting bagi bangsa Indonesia yang harus dijaga dan
dilestarikan. Banyak sekali jenis kesenian yang ada di Indonesia khususnya di Jawa seperti seni
tradisional tarling, reog, ronggeng Bugis dan banyak lainya. Apabila memperhatikan vitalitas
kesenian tradisional dewasa ini sungguh sangat memprihatinkan, disatu sisi karya nenek moyang
itu harus dilestarikan dan dikembangkan, tetapi di sisi lain masyarakat sebagai ahli warisnya
belakangan ini sudah semakin kurang peduli. Maka dari kondisi seperti itu, kesenian semakin
tidak berdaya. Eksistensinya semakin tenggelam tergerus produk budaya asing yang saat ini kian
deras menyerbu hingga ke sudut-sudut ruang kehidupan masyarakat
Manusia memiliki potensi mengembangkan kreatifitasnya dalam mengelola sumber daya
alam. Melalui hasil cipta, rasa dan karsa timbul aneka kebudayaan yang kemudian lambat laun
berkembang menyesuaikan keadaan masyarakatnya. Termasuk Kebudayaan Islam yang
berkembang di Nusantara merupakan akulturasi dari beberapa budaya. Setidaknya ada tiga hal
yang menjadi poin penting, yaitu; pertama; dokrin Islam itu sendiri (al-Qur’an al-Hadith) yang
telah diajarkan oleh nabi muhammad Saw.kedua; pemikiran budaya Arab melalui para penyebar
Islam (pendakwah yang notabene disebutkan dalam sejarah adalah para walisanga).Ketiga;
budaya lokal yang menjadi tempat penyebaran Islam.
Di Nusantara sebelum datangnya Islam telah berkembang budaya-budaya lokal yang
berakar kuat di tengah kehidupan masyarakat. Seperti budaya tontonan yang disebut dengan
wayang. Wayang dalam budaya Jawa diperkirakan telah ada sebelum ajaran islam berkembang
di Nusantara, yaitu sejak sekitar abad ke-15.Menampilkan adegan drama bayangan boneka yang
terbuat dari kulit binatang, terbentuk pipih,diwarna dan bertangkat.Karena itu, dalam wayang
dikenal sosok Dalang (aktor yang memainkan boneka) dan lakon (tokoh yang
diperankan),merupakan warisan kebudayaan leluhur yang telah mampu bertahan dan
berkembang selama berabad-abad. Dengan mengalami berbagai perubahan dan perkembangan
sampai pada bentuknya sekarang ini.
Masyarakat Nusantara sebelum Islam datang, mereka sudah mempunyai kepercayaan
animisme dan dinamisme,mereka membuat wayang sebagai perwujudan dari bayang-bayang
nenek moyang.Roh nenek moyang yang telah lama mati di anggap sebagai pelindung bagi
manusia yang masih hidup.Roh tersebut tinggal di bukit-bukit, gunung-gunung, pohon besar dan
benda-benda lainnya.Namun, sejak Islam datang dan disebarkan, wayang telah mengalami
perubahan.Para penyebar keislaman menggunakan wayang sebagai media dakwah dan syiar
Islam sebagai kekuatan pendekatannya terhadap masyarakat, yang mampu mengenalkan Islam
kepada masyarakat yang saat itu masih menganut kepercayaan animisme, dinamisme, serta
menganut Hindu.Setelah itu wayang dipertunjukkan di masjid, masyarakat bebas untuk
menyaksikan, namun, dengan syarat, mereka harus berwudhu dan mengucap syahadat dulu
sebelum masuk masjid
Sejarah perkembangan wayang tidak lepas dari peranan Sunan Kalijaga. Di mata
masyarakat Islam, wayang dan Sunan Kalijaga tidak bisa dipisahkan karena dalam dakwahnya
Sunan Kalijaga menjadikan wayang sebagai alat atau media demi suksesnya penyebaran Islam.
Selain itu Sunan Kalijaga terkenal sebagai tokoh yang telah menghasilkan kreasi baru yaitu
dengan adanya wayang kulit dan seperangkat gamelannya. Wayang kulit merupakan
pengembangan baru dari wayang Beber yang memang sudah ada sejak Zaman Erlangga. Di
antara wayang yang digubah bernafaskan Islami oleh Sunan Kalijaga bersama Sunan Bonang an
Sunan Giri adalah wayang Punakawan Pandawa yang terdiri dari: Semar, Petruk, Gareng dan
Bagong.
Penelitian tentang budaya wayang pra islam dan pasca kehadiran Islam di Nusantara telah
banyak dilakukan.Literatur yang penulis temukan belum ada yang mengkaji khusus tentang
korelasi wayang dengan pendidikan Islam.Dalam kesempatan kali ini,makalah ini akan dibahas
penulis dalam mendeskripsikan wayang untuk kehidupan nusantara
C. Rumusan Masalah
 Bagaimana sejarah wayang ?
 Apa tujuan pembuatan wayang ?
 Apa nilai-nilai yang terkandung dalam wayang di kehidupan agama Islam ?

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diungkapkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
 Mengungkapkan sejarah wayang
 Mengpungkapkan tujuan pembuatan wayang
 Mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung dalam wayang di kehidupan agama Islam
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengungkapan fakta bagi ilmu dan
pengetahuan sastra, seni dan budaya terutama kaitannya dengan kesenian tradisional. Selain itu,
penelitian ini dapat menambah wawasan pembaca mengenai wayang
F.Penelitian Terdahulu
Melihat banyaknya referensi induk mengenai wayang Khususnya wayang kulit penulis tertarik
untuk mencoba ikut berkarya melalui penelitian ini. Dalam penelitian tentang wayang penulis
menemukan beberapa skripsi yang membahas secara khusus mengenai wayang kulit secara
umum yaitu :
1.Skripsi Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah (Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Surdadi
didesa Pringapus Semarang) oleh Yogyasmara. P. Ardhi ( Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,
2010). Dalam skripsi ini dijelaskan mengenai metode dakwah Islam menggunakan wayang kulit
dengan gagrak Semarang. Penekanan dalam pembahasan skripsi ini ialah pada aspek metode
dakwah dan metode interaktif secara komunikatif bukan pada sejarah atau perkembangan Islam.
2.Skripsi Efektivitas Wayang Sebagai Media Dakwah Pada Masa Sunan Kalijaga dan Masa
Kini karya Atik Malikhah (Semarang: IAIN Walisongo, 2004). Atik Malikhah sebagai penulis
dan peneliti wayang yang karyanya dibukukan dalam skripsinya pada tahun 2004 mengenai
efektifitas dakwah melalui media wayang yang cakupan wilayah penelitiannya dikerucutkan
pada studi tokoh yaitu Sunan Kalijaga. Dalam karyanya dijelaskan mengenai banyak kelebihan
dan kendala dalam sebuah pementasan wayang kulit sebagai media dakwah. Kelebihan
mendasarnya ialah masyarakat Indonesia khususnya sudah mengenal apa itu wayang, seperti apa
bentuk dan apa kegunaanya,sedangkan kendala yang didapat ialah pementasan wayang kekinian
khusunya banyak dilakukan dimalam hari dimana pada saat itu ialah waktu untuk beristirahat
yang mengakibatkan kurangnya fungsi wayang dari dakwah hanya menjadi hiburan belaka.
3.Skripsi Nilai-Nilai Dalam Cerita Walisanga Pada Pagelaran Wayang Kulit Lakon Lahirnya
Sunan Giri Di Desa Manyar Kecamatan Sekaran Lamongan Melalui Media Video karya
Imam Wahyudi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2011). Sedikit mengkritik karya Atik, dalam
skripsi ini detil dan gamblangnya mengenai efek dari pagelaran wayang dijelaskan, seperti
misalnya dari fungsi-fungsi alat, nilai-nilai yang terkandung atau falsafah dalam wayang, materi-
materi Islami yang diterapkan oleh dalang namun sama dengan karya Yogyasmara, Imam
mencoba untuk membatasi wilayah penelitian yaitu pada Desa Manyar Kecamatan Sekaran
Kabupaten Lamongan saja
4.Jurnal Wayang Kulit Cirebon: Warisan Diplomasi Seni Budaya Nusantara karya Moh. Isa
Pramana Koesoemadinata (Bandung: ITB, 2013). Dalam jurnal ini dijelaskan secara rinci
mengenai perkembangan bentuk dan modifikasi wayang, termasuk juga perbandingan bentuk
dan fungsi wayang, khususnya wayang kulit yang dilakukan sebagai bagian dari proses
diplomasi terhadap budaya.
F. Landasan Teori
A. Ruang Lingkup Wayang Kulit
1. Pengertian Wayang Kulit
Pengertian wayang menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah : “Boneka tiruan yang
dibuat dari kulit yang diukir, kayu yang dipahat, dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk
memerankan tokoh dipertunjukan drama tradisional yang dimainkan oleh seorang dalang.”1
Pengertian wayang adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada
kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita
kenal sekarang. Tapi akhirnya makna kata ini meluas menjadi segala bentuk pertunjukan yang
menggunakan dalang sebagai penuturnya disebut wayang. Oleh karena itu terdapat wayang
golek, wayang beber, dan lain-lain. Pengecualian terhadap wayang orang yang tiap boneka
wayang tersebut diperankan oleh aktor dan aktris sehingga menyerupai pertunjukan drama2.
Wayang adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan
Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai
karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan
sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Wayang kulit
adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama berkembang di Jawa dan di sebelah timur
semenanjung Malaysia seperti di Kelantan dan Terengganu. Wayang kulit dimainkan oleh
seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokohtokoh wayang, dengan diiringi oleh musik
gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden.
Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih,
sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para
penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir.
Untuk dapat memahami cerita wayang(lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan
tokohtokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
2. Sejarah Perkembangan Wayang kulit
WAYANG adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling
menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara,
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia.h, 1010
2
Sri Mulyono, Wayang: asal-usul Filsafat dan Masa Depannya (PT. Gunung Agung, 1976), h. 154 17
seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya
wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan,
dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Menurut penelitian para ahli
sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Keberadaan wayang sudah berabadabad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun
cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India,
yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami
pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa
terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi
merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya,
kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_
pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk
memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan
yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli
sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang
merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. 18 Hazeau itu adalah
walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian,
wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.3
Ada dua pendapat mengenai asal - usul wayang. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan
lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan
dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian
sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau,
Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt. Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang
masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya
orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk,
Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan

3
S. Haryono, Pratiwimba Adiluhung, Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Yogyakarta: Penerbit
Djambatan, 1988), Cet, ke-1 h-24 19
istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama
dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen,
Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa
yang pernah menjajah India. Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah
sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari
negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman
pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur
itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis
oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin
berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang
merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para
pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa
Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa
kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan
yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli
versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini
dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160). Wayang sebagai
suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga.
Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata
“mawayang” dan `aringgit’ yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.4
3. Dalang Sebagai Juru Dakwah Dalam dunia pewayangan dalang merupakan unsur penting
pada sebuah pementasan, terlepas dari apa pun tema yang akan di pentaskan. Berkaitan dengan
kegiatan dakwah Islamiah, seorang dalang pun dapat di katagorikan sebagai juru dakwah atau
seorang Da’i melalui profesinya tersebut. Hal ini memungkinkan karena dalam setiap
pementasan sabuah pagelaran wayang seorang dalang sangat mungkin menyampaikan pesan-
pesan agamis dalam setiap lakon yang dipentaskan. Dahulu pada saat awal-awalnya
perkembangan Islam di Nusantara, para penyebar Islam khususnya Walisongo yaitu Sunan Kali
Jaga, juga telah menggunakan media wayang untuk mendukung kegiatan dakwahnya, dan

4
Sri Mulyono, Wayang: asal-usul Filsafat dan Masa Depannya (PT. Gunung Agung, 1976), h. 239-245 20
ternyata berhasil. Faktor-faktor yang memungkinkan seorang dalang menjadi seorang juru
dakwah di antaranya adalah :
a. Karakter dalang yang faham betul isi cerita setiap lakon pewayangan yang umumnya
mengandung tema kehidupan sosial. Apapun temanya, baik tentang kerajaan, mahabrata, cerita
hindu dan sebagainya, namun semua itu bisa dimasuki pesan-pesan bernilai Islami tanpa harus
merubah inti dan isi cerita secara keseluruhan atau sebagian, dengan kecerdasan dan wawasann
yang dimiliki, profesi seorang dalang dapat dengan mudah untuk melakukannnya.
b. Wayang merupakan kesenian tradisional yang masih banyak digemari, dan biasanya dalang
sangat dikagumi oleh para penggemarnya. Situasi ini dapat digunakan oleh seorang dalang untuk
menyampaikan pesan-pesan bernilai Islami pada setiap pementasannya, tentunya di selingi oleh
humor-humor yang mendidik yang dapat mempengaruhi para audiennya.
c. Tema wayang mengikuti zaman, sehingga dalang tidak akan ditinggalkan oleh penggemarnya,
sehingga ia akan terus berdakwah.
d. Dalang adalah Guru, Victoria M, Clara dalam bukunya Dalang di Balik Wayang (1967)
”menyatakan bahwa dalang yang dahulu menganggap dirinya sendiri sebagai guru masyarakat ,
sekarang justru menyebut dirinya sebagai seniman, sementara itu kaum elit baru, berbeda dari
kaum tradisional, justru sekarang tertarik pertama-tama dan terutama terhadap peranan dalang
sebagai guru, tulisnya.”5

5
Sigit Oerdianto, “Berdakwah Keliling Kota dengan Wayang Kulit, Suara Merdeka, senin 31 Oktober 2008

Anda mungkin juga menyukai