Anda di halaman 1dari 8

Visual Heritage: Jurnal Kreasi Seni dan Budaya

e-ISSN:2623-0305
Vol. 01 No. 01, Januari 2024
Hal. 110-119

ANALISIS MAKNA FILOSOFIS PADA PERTUNJUKAN SENI WAYANG KULIT

Andriansyah Nur Qomari1), Muhammad Arief Rifa’i2)

Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Indraprasta PGRI

Email: andriansyahqomari@gmail.com, ariefrifai9120@gmail.com

Abstrak

Wayang merupakan sebuah budaya yang berkembang di masyarakat Jawa. Wayang sendiri di
gunakan sebagai ritual atau upacara adat. Wayang sendiri juga diakui oleh UNISCO sebagai
warisan dari dunia, karena keunikan dan gaya perutnya yang khas. Pada masyarakat Jawa wayang
terbagi kedalam beberapa jenis, di antaranya wayang wong, wayang kulit, wayang golek, wayang
beber, dan wayang klitik. Pagelaran wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut
penghibur publik terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang
memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan berbahan kulit
kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah sungging (ukir kulit). Peneitian ini di lakukan
untuk mengetahui makna filosofis dari pertunjukan wayang kulit. Analisis menggunakan 3 tahap
pemaknaan filosofis yaitu Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Dengan menggunakan metode
penelitian yaitu deskriptif kualitatif. Hasil yang diperoleh dari penelitian yaitu pada pertunjukan
wayang kulit memiliki makna filosofis dari ontology, epistemologi, dan aksiologi.

Kata Kunci: Wayang Kulit, Filosofis, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi

Abstract

Wayang is a culture that developed in Javanese society. Wayang itself is used as a ritual or
traditional ceremony. Puppetry itself is also recognized by UNISCO as a world heritage, because
of its uniqueness and distinctive belly style. In Javanese society, wayang is divided into several
types, including wayang wong, wayang kulit, wayang golek, wayang beber, and wayang klitik.
Wayang Kulit performances are played by someone who could be called the greatest public
entertainer in the world. How could it not be, for a whole night, the puppeteer plays all the
characters of Wayang Kulit actors who are figures made of buffalo skin decorated with motifs made
from the tatah sungging (leather carving) craft. This research was conducted to find out the
philosophical meaning of wayang kulit performances. The analysis uses 3 stages of philosophical
meaning, namely Ontology, Epistemology and Axiology. Using a research method, namely
descriptive qualitative. The results obtained from the research are that shadow puppet
performances have philosophical meaning from ontology, epistemology and axiology.

Keywords: Wayang Kulit, Philosophical, Ontological, Epistemological, Axiological

Correspondence author: Andriansyah Nur Qomari,Muhammad Arief Rifa’i,andriansyahqomari@gmai.com,


ariefrifai9120@gmail.com, Jakarta, Indonesia.

This work is licensed under a CC-BY-NC

1
Analisis Makna Filosofis Pada Pertunjukan Seni Wayang Kulit
Andriansyah Nur Qomari, Muhammad Arief Rifa’i

PENDAHULUAN

Budaya adalah sebuah warisan turun-temurun dari leluhur. Pada sebuah kelompok
masyarakat budaya merupakan kebiasaan yang sudah dilakukan terus menerus dan tidak dapat di
ubah. Budaya dapat juga dapat dikatakan sebagai bagian dari akal dan budi manusia. Budaya
dikatakan bagian dari akal manusia adalah sebuah hasil atau buah dari pikiran manusia yang bisa
berwujud apa saja. Budaya di katakan sebagai bagian dari budi manusia adalah sebuah bentuk
tindakan atau tingkah laku dari manusia. Dapat dikatakan budaya adalah sebuah bentuk pikiran dan
tindakan dari manusia. Hal ini menunjukkan bahwa budaya merupakan hasil dari proses rasa, karsa,
dan cipta manusia. Sebuah budaya juga dikaitkan dengan seni, sebagai bentuk ciptaan manusia yang
dapat di lihat dan diraba oleh panca indra.
Indonesia memiliki beragam kebudayaan dan tradisi yang masih melekat dalam masyarakat.
Kebudayaan dan tradisi yang masih dihidupi itu, dipandang memiliki nilai-nilai adiluhung dan
filosofis yang dapat menjadi cerminan dari kehidupan manusia. Salah satu kebudayaan yang
dipandang masih memiliki nilai-nilai tersebut adalah wayang. Wayang merupakan sebuah budaya
yang berkembang di masyarakat Jawa. Wayang sendiri di gunakan sebagai ritual atau upacara adat.
Wayang merupakan salah satu warisan budaya yang sudah ada dari zaman dulu sejak masa ajaran
Hindu Buda. Perkembangan wayang bisa dikatakan sangat pesat pada masanya terlebih di pulau
Jawa, sehingga wayang menjadi budaya yang sangat identik di masyarakat Jawa. Wayang sendiri
juga diakui oleh UNISCO sebagai warisan dari dunia, karena keunikan dan gaya perutnya yang
khas. Pada masyarakat Jawa wayang terbagi kedalam beberapa jenis, di antaranya wayang wong,
wayang kulit, wayang golek, wayang beber, dan wayang klitik.
Wayang juga menjadi sebuah karya sastra yang menonjol di masyarakat karena
keunikannya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Ardhi (Ardhi et al., 2010:17) yang menyatakan
wayang adalah bentuk seni yang mencakup banyak budaya, meliputi seni suara, seni musik, seni
tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan seni perlambang. Sebagai sebuah seni yang mencakup
seni lain pementasan wayang mengemasnya menjadi hal yang apik dan saling melengkapi, sehingga
menjadi satu hal yang indah untuk dinikmati. Setiawan (Setiawan, 2020:34) menyatakan bahwa
wayang merupakan sebuah bentuk dari teater tradisional yang tertua di Indonesia. Sebagai sebuah
karya teater tradisional wayang kulit membawakan sebuah cerita yang menggambarkan adegan dari
kehidupan tokoh. Pada umumnya cerita dalam wayang menggambarkan cerita kehidupan tokoh
yang biasanya tentang “Tuhan” atau “Dewa”. Dalam pementasan wayang tokoh yang dimunculkan
juga cukup beragam dengan penggambaran yang nyata. Dimana tokoh tidak hanya digambarkan
sebagai seorang yang baik melainkan juga ada yang tidak baik, hal ini menjadi sebuah bentuk
penggambaran bahwa sejatinya manusia tidak ada yang sempurna.
Seiring perkembangan zaman wayang juga mengalami perkembangan dari dulu hingga
sekarang. Hal ini dapat kita lihat dari cerita yang diangkat biasanya sangat erat kaitannya dengan
isu yang berkembang saat ini dan juga dapat kita lihat dari pembawaan dalang dalam
menyampaikan cerita, pada pementasan wayang saat ini dalang biasanya menyisipkan sedikit
guyonan dan menggunakan bahasa Indonesia. Disampingi itu perkembangan wayang juga dapat
kita lihat dari segi pemanfaatan wayang. Pada zaman dulu wayang digunakan sebagai media
dakwah dalam penyebaran agama, seperti yang dilakukan oleh salah satu Wali Songgo. Setelah itu
semenjak perkembangan zaman dan kemajuan teknologi wayang dapat dimanfaatkan sebagai
media penyampai pesan dengan berbagai macam tujuan, misalnya untuk tujuan pendidikan
karakter.
Wayang kulit mulai di pertontonkan zaman pemerintahan Airlangga. Hal ini bisa dilihat dari
beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu, yang menyebutkan kata-kata mawayang dan aringgit
yang sudah ada menunjuk pada pertunjukan wayang yang dimaksud disini adalah wayang kulit.
Dengan demikian kesenian wayang kulit sudah ada sejak zaman Airlangga dan masih berlangsung
sampai saat ini. Cerita wayang diambil dari buku Mahabharata atau Ramayana. Kesenian wayang
sudah ada di Indonesia sejak zaman kerajaan Hindu. Pada zaman dahulu, wayang merupakan
kesenian yang sangat populer. Pada masa pemerintahan raja-raja di Jawa, wayang dipakai sebagai
sarana hiburan bagi rakyat. Karena orang Jawa memandang bahwa wayang mengandung filsafat
yang dalam dan dan memberi peluang untuk melakukan pengajian filsafat dan ajaran keagamaan.
Wayang kulit sebagaimana adanya sekarang merupakan kreasi Walisongo, khususnya

2
Analisis Makna Filosofis Pada Pertunjukan Seni Wayang Kulit
Andriansyah Nur Qomari, Muhammad Arief Rifa’i
Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Dengan wayang kulit, Sunan Kalijaga berharap pesan-
pesannya dapat dengan mudah diterima masyarakat yang saat itu sangat menggemari wayang.
Kreatifitas para wali memanfaatkan budaya setempat sebagai media penyebaran Islam yang efektif
tersebut, telah mempercepat pertumbuhan dan perkembangan Islam di Jawa. Selain itu para
Walisongo juga berjasa dalam mempopulerkan seni wayang sebagai bentuk kesenian pentas yang
merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang telah berakar jauh ke masa lalu dan
cukup banyak mengalami pertumbuhan dan penyempurnaan dari masa ke masa.
Pagelaran wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut penghibur publik
terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang memainkan seluruh
karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan berbahan kulit kerbau dengan dihias
motif hasil kerajinan tatah sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti
intonasi, mengeluarkan guyonan. Untuk menghidupkan suasana, dalang dibantu oleh musisi
yang memainkan gamelan dan para sinden yang menyanyikan lagu-lagu Jawa. Tokoh-tokoh dalam
pewayangan keseluruhannya berjumlah ratusan. Orang-orangan yang sedang tak dimainkan
diletakkan dalam batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat dimainkan, orang-orangan akan
tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada di depan sang dalang. Bayangan itu bisa
tercipta karena setiap pertunjukan wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang
membantu pemantulan orang-orangan yang sedang dimainkan. Setiap pementasannya selalu di
penuhi penonton.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitan deskriptif. Pendekatan
kualitatif adalah pendekatan yang bertujuan mendeskripsikan suatu situasi, fenomena, masalah atau
peristiwa (Kurniawan, 2018:13). Hal ini sesuai dengan pernyataan dari (Zaim, 2014, 13)
mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif menggambarkan prespektif fenomenologis. Dimana
dari penelitian ini bermaksud untuk mengetahui makna dari interaksi atau peristiwa yang dilakukan
manusia pada sebuah situasi atau keadaan. Penelitian kualitatif pada umumnya dilakukan untuk
memberikan pandangan terkait hal yang diteliti yang dipaparkan secara terperinci dalam bentuk
kata-kata. Metode deskriptif adalah sebuah metode yang digunakan dalam penelitian untuk
mendeskripsikan sebuah hasil penelitian dalam bentuk narasi. Penelitian deskriptif juga dipandang
sebagi penelitan yang dilakukan untuk menguraikan secara lengkap sebuah keadaan sosial,
fenomena ataupun variabel yang berkaitan dengan objek penelitian (Riyanto, 2020:7). Dari paparan
tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang dilakukan
untuk menggambarkan sebuah fenomena atau peristiwa yang terjadi secara naratif dan terperinci.

Penelitian ini menggunakan analisis 3 tahap pemaknaan filosofis yaitu Ontologi, Epistomologi dan
Aksiologi.

A. Ontologis
Ontologi adalah bagian dari ruang lingkup kajian filsafat yang akan menentukan arah
objek kajian filsafat itu sendiri. Kata ontologi ialah sebuah kata yang diambil dari bahasa
Yunani yakni ‘To On Hei On’, kata ‘On’ adalah sebuah kata netral dari kata ‘Oon’ yang
memiliki bentuk genetif ‘Ontos’ dimana kata itu memiliki arti “yang ada sebagai yang ada”.
Kata ‘Ontos’ sendiri adalah bentuk partisipatif yang berasal dari kata kerja ‘einai’ yang
memiliki arti “ada/pengada”. Sedangkan secara istilah, ontologi ialah studi mengenai ciri dari
esensial atas yang ada pada dirinya sendiri, dengan menempatkan keberadaan berbeda pada
yang ada secara khusus. Mempersoalkan yang ada dalam bentuk yang begitu abstrak dengan
melahirkan persoalan; apa itu ada pada dirinya sendiri? Apa hakikat ada sebagai
ada?(Mohammad Anas, 2018:21-22). bahwa dalam ontologi itu memberikan pembahasan
mengenai seluruh yang ada, jadi apa pun yang bersifat materi maka itu menjadi objek kajian
filsafat, misalkan saja hewan, tumbuhtumbuhan, dan bahkan manusia itu sendiri. Dalam sebuah
perspektif kami menemukan pulah bahwa ontologi bukanlah sekadar membatasi pada apa yang
bersifat materi melainkan lebih daripada itu, bahkan yang bersifat immaterial termasuk
kedalamnya.
B. Epistemologi
Landasan dari epistemologis menyajikan kepada kita mengenai pembahasan tentang
cara kerja dari sebuah ilmu pengetahuan untuk merealisasikan kegiatan ilmiah melalui langkah,
3
Analisis Makna Filosofis Pada Pertunjukan Seni Wayang Kulit
Andriansyah Nur Qomari, Muhammad Arief Rifa’i
metode, dan sarana yang sejalan atas sasaran dari keigiatan ilmiah (Paulus Wahana, 2016: 6).
Secara etimologi, kata epistemologi diambil dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata
yakni ‘episteme’ yang memiliki arti pengetahuan dan ‘logos’ yang memiliki arti ilmu atau
penjelasan, dengan demikian, maka epistemologi adalah penjelasan tentang ilmu (Sumarto,
2017:11). Secara terminologi, epistemologi adalah salah satu cabang dari filsafat yang
menyajikan pembahasan secara umum terkait sebuah pengetahuan, sumber pengetahuan,
otoritas, validitas, terkhusus cara yang digunakan dalam memperoleh pengetahuan (Saifullah
Idris, 2016: 129). Secara umum epistemologi dapat diklasifikasikan pada dua hal: pertama,
epistemologi dasar ‘general epistemology’, yakni menyajikan pembahasan terkait teori-teori
mengenai pengetahuan demi ‘qua’ pengetahuan, kebenaran dan kepastian ‘qua’ kebenaran dan
kepastian, pengetahuan dan kepentingan-Nya demi pengetahuan itu sendiri dengan cakupan
‘origin of knowledge’, ‘method of knowledge’, ‘structure of knowledge’ yang terakhir ialah
‘validity of knowledge’. Kedua, epistemologi khusus ‘special epistemology’, spesial
epistemologi membatasi diri pada pengetahuan yang bersifat khusus, misalkan saja ilmu,
metode dan seterusnya. Pada bagian inilah yang namanya filsafat pengetahuan memiliki
hubungan erat dengan filsafat ilmu.
C. Aksiologi
Secara teoretis tentang aksiologi, maka secara etimologi aksiologi merupakan kata yang
berasal dari bahasa Yunani ‘axios’ yang memiliki arti nilai, dan kata ‘logos’ yang memiliki arti
ilmu (Suaedi,2016:106). Daripada itu disimpulkanlah bahwa aksiologi itu adalah nilai ilmu.
Secara terminologi, aksiologi adalah sebuah nilai mengenai kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh (Jujun S,, 2010:234). Aksiologi adalah sebuah nilai mengenai kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh. Nilai yang ditunjukkan oleh aksiologi ialah sebagai ‘conditio sine
qua non’ yang harus dipatuhi dalam aktivitas manusia, baik pada bagian penelitian yang
dilakukan atau pada penerapan ilmu.

4
Analisis Makna Filosofis Pada Pertunjukan Seni Wayang Kulit
Andriansyah Nur Qomari, Muhammad Arief Rifa’i

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Wayang Secara Ontologis

Wayang Secara Ontologis Ontology merupakan salah satu dari kajian filsafat yang paling
tua dan berasal dari yunani. Dilihat dari bahasa Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan
logos . Ontos berarti sesuatu yang berwujud ( being ) dan logos berarti ilmu, pembahasannya
tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisik
(ma ba’da al-Thobi’ah). Selain itu Ontology merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat
kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif
filsafat tentang apa dan bagaimana yang ada.
Terkait dengan kesenan wayang dengan pandangan onotologi maka hakikat wayang secara
filosofi Wayang merupakan bayangan, gambaran atau lukisan mengenai kehidupan alam semesta.
Di dalam wayang digambarkan bukan hanya mengenai manusia, namun kehidupan manusia dalam
kaitannya dengan manusia lain, alam, dan Tuhan.
Kalau kita mendengar kata wayang, maka pemikiran kita tertuju pada 4 aspek tentang
wayang. Aspek pertama mengacu pada boneka wayang atau sejenisnya. Boneka-boneka wayang
pada prinsipnya merupakan tokoh-tokoh wayang yang dimainkan atau digerakkan oleh seniman/
dalang. Mereka membawakan karakterkarakter yang secara mayoritas bersifat stereotip. Aspek
yang kedua, wayang mengacu pada pertunjukannya, dalang sebagai seniman yang mementaskan
lakon tertentu dan sekaligus menyutradarai pertunjukan tersebut untuk menerapkan sanggitnya,
baik dalam panggung artis maupun panggung pakeliran. Aspek yang ketiga, mengacu pada sastra
atau khasanah lakon. Sastra wayang yang diacu oleh para seniman/ dalang berupa lakon balungan
atau lakon jangkep. Lakon balungan menyajikan pokok-pokok peristiwa sedangkan lakon jangkep
menyajikan secara lengkap elemenelemen di dalam pertunjukan. Aspek yang keempat, mengacu
pada penari-penari wayang. Penari-penari wayang memerankan tokoh wayang sesuai dengan
karakter tokoh wayang yang bersifat stereotip.
Dalam pementasan wayang terdapat pesan yang ingin disampaikan, adapun pesan tersebut
disampaikan melalui unsur-unsur estetik pertunjukan, meliputi:
1. Catur Catur adalah unsur estetik dalam seni pewayangan yang berhubungan dengan katakata,
meliputi monolog, dialog, deskripsi dan narasi.
2. Sabet Sabet adalah unsur estetik dalam seni pewayangan yang berhubungan dengan ragam
pola gerak, ekspresi dan komposisi wayang yang membentuk kesan emosional maupun
penceritaan adegan tertentu.
3. Karawitan Karawitan adalah unsur estetik dalam seni pewayangan yang berhubungan dengan
semua unsur bunyi-bunyian misalnya suluk, komposisi gendhing, tembang/lagu, dhodhogan
dan keprakan.

Ada tiga jenis cara penyampaian pesan dalam pertunjukan wayang:


1. Melok Melok menyampaikan pesan dengan cara verbal, blak-blakan, menembak langsung
pada sasaran.
2. Medhang Miring Medhang Miring menyampaikan pesan dengan cara menyerempet pada
sasaran, menggunakan kalimat-kalimat kiasan.
3. Nyampar Pikoleh Nyampar Pikoleh menyampaikan pesan dengan cara disamarkan dalam
peristiwa-peristiwa lain yang secara esensi mengandung pesan yang sama dengan materi yang
ingin disosialisasikan.

Selain itu dalam kesenian wayang memiliki ukuran-ukuran tentang bagaimana pewarisan
nilainilai kebangsaan itu dilakukan dan berlangsung turun-temurun selama berabad-abad. Wayang
juga merupakan refleksi kehidupan masyarakat pada jamannya sehingga seperti apa wayang saat
ini sebenarnya menggambarkan juga seperti apa bangsa ini sekarang. Usaha terus menerus untuk
membuat sinergi antara kehidupan bermasyarakat dengan kesenian sesungguhnya merupakan pola
edukasi yang bijak, di mana nilai-nilai (termasuk hukum) disosialisasikan dengan cara yang indah
dan dengan mendudukkan manusia pada kodratnya dan pada gilirannya nilai-nilai ideal dalam
wayang tersebut akan mempengaruhi kualitas etika dan estetika masyarakat di kehidupan nyata.
5
Analisis Makna Filosofis Pada Pertunjukan Seni Wayang Kulit
Andriansyah Nur Qomari, Muhammad Arief Rifa’i

B. Wayang Secara Epistemologi

Definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas
tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu,
makrifat, dan pengetahuan manusia.
Kesenian wayang secara Etimologi, Wayang bervariasi dengan kata wayang berasal dari kata
Wad an Hyang, artinya "leluhur", tapi ada juga yang berpendapat bahwa wayang berasal dari kata
"bayang" berarti “bayang-bayang” atau “bayangan”, yang memiliki nuansa menerawang, samar-
samar, atau remangremang; dalam arti harfiah wayang merupakan bayang-bayang yang dihasilkan
oleh “bonekaboneka wayang” di dalam teatrikalnya. Bonekaboneka wayang mendapat cahaya dari
lampu minyak (blencong) kemudian menimbulkan bayangan, ditangkaplah bayangan itu pada layar
(kelir), dari balik layar tampaklah bayangan; bayangan ini disebut wayang. Wayang berasal dari
kata “hyang”, berarti “dewa”, “roh”, atau “sukma”. Partikel wa pada kata wayang tidak memiliki
arti, seperti halnya kata wahiri yang berarti iri, ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa
wayang merupakan perkembangan dari sebuah upacara pemujaan kepada roh nenek moyang/
leluhur bangsa Indonesia pada masa lampau (prasejarah). Pemujaan kepada para leluhur yang
dilakukan masyarakat neolitikum dipimpin oleh seorang saman, yang bertugas sebagai
penghubung antara dunia profane dengan supranatural. Inti sari dari tradisi ini terlihat pada upacara
ruwatan, bersih desa, dan suran, yaitu wayang sebagai media pembebasan malapetaka bagi
seseorang/ kelompok orang yang terkena sukerta/ noda gaib dan persembahan/pemujaan kepada
roh nenek moyang.
Wayang merupakan media pertunjukan yang dapat memuat segala aspek kehidupan manusia
(momot kamot). Pemikiran manusia, baik terkait dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya,
hukum maupun pertahanan dan keamanan dapat termuat di dalam wayang. Di dalam wayang
melalui kecanggihan dalang dapat membahas masalah-masalah aktual dalam masyarakat. Secara
konvensional disajikan sistem ideology yang mengidam-idamkan sebuah negara yang gemah,
ripah, loh, jinawi, tata, tentrem, karta, raharja; struktur sosial dalam sistem tata Negara kerajaan (
raja, pendeta, panglima, prajurit, dan sebagainya ). Symbol baik-buruk, utama-angkara, terpuji-
tercela; keutamaan mengalahkan keangkaraan; sistem religi/ keagamaan, dan lain-lain. Di samping
itu permasalahan kehidupan sehari-hari manusia secara aktual dikupas di dalam adegan agak santai
( limbukan dan gara-gara ). Di dalam pertunjukan wayang dikandung aturan main beserta tata cara
mendalang dan bagaimana memainkan wayang, secara turun temurun dan mentradisi, lama
kelamaan menjadi sesuatu yang disepakati sebagai pedoman ( konvensi ). Konvensi ini diakrabi
baik oleh seniman maupun penonton, misalnya bagaimana komunikasi antara raja dengan senapati,
atau sebaliknya, raja dengan pendeta atau sebaliknya (udanegara). Di dalam wayang pun juga
dikandung ajaran-ajaran yang dapat dipergunakan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat,
misalnya ajaran kepemimpinan: hendaknya seorang pemimpin meneladani watak surya, candra,
kartika, akasa, kisma, tirta, dahana, dan samirana (asthabrata). Namun wayang juga dipandang
sebagai seni pertunjukan yang menarik, memukau, dan menghibur; artinya dapat membahagiakan
hati penonton.

C. Wayang Secara Aksiologi

Wayang Secara Aksiologi Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya
nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga
disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut beberapa pengertian menurut
Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah
kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.
Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral
sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
Dari pengertian aksiologi diatas bila diterapkan dalam kesenian wayang yang dapat
dianalisi adalah kegunaan kesenian wayang. Kesenian wayang dalam masyarakat sering diartikan
hanya sebagai hiburan. Konotasi inilah yang perlu kita perjelas, tidak hanya sebagai media hiburan

6
Analisis Makna Filosofis Pada Pertunjukan Seni Wayang Kulit
Andriansyah Nur Qomari, Muhammad Arief Rifa’i
kesenian wayang dapat pula berfungsi sebagai sarana pendidikan, dan sebagai sarana komunikasi
untuk menyampaikan maksud tertentu, baik itu berhubungan dengan keagamaan, kritik sosial dan
bahkan sebagai sarana pemeritah dalam menyampaikan setiap program atau dalam
mensosialisasikan kebijakan dari pemerintah terkait.
Dalam pergelaran wayang yang seyogyanya mengandung pendidikan. Pendidikan tersebut
terkait dengan nilai-nilai yang ada di dalam wayang maupun yang terkait dengan perlindungan
saksi dan korban. Kedua topik ini memiliki nilai-nilai yang terkait satu sama lain. Di dalam wayang
dikandung nilai-nilai kehidupan yang bermanfaat bagi umat manusia. Nilai-nilai tersebut
ditanamkan oleh para leluhur secara mentradisi melalui pertunjukan. Tokoh dan penokohan serta
tema yang diangkat diharapkan dapat mempertegas bahwa keutamaan mengalahkan
keangkaramurkaan, kebenaran mengalahkan kertidakbenaran, dan keadilan mengalahkan
ketidakadilan (wayang sebagai simbol kehidupan). Masyarakat diajak untuk merenung dan berfikir
mengenai nilainilai dualisme; baik-buruk, utama-angkara, terpujitercela, dan sebagainya, yang
pada akhirnya masyarakat tersebut selalu memenangkan yang baik (positif konstruktif). Nilai-nilai
religi, ilmu pengetahuan-filsafat, dan seni merupakan nilai dasar yang perlu dipegang teguh oleh
para seniman dan masyarakat perwayangan. Nilai religi di dalam wayang tergambar secara jelas
baik dalam konteks bahasa, dan sastra, kesenian, adat-istiadat, maupun artefak. Mantra-mantra dan
doa, ekspresi seni pada unsur-unsur pertunjukan, tradisi upacara dalam kehidupan manusia, baik
ketika masih dalam rahim maupun telah lahir di dunia, benda-benda dalam pertunjukan yang
disucikan, lakon yang bertema kesucian dan kesakralan (Sudamala, Murwakala, Bharatayuda,
Pandawa tani, Sri Mulih, wahyuwahyu dan sebagainya) merupakan aspek-aspek yang terkait
dengan keagamaan/ religi. Di dalam wayang pun dikandung nilai ilmu pengetahuanfilsafat. Di
dalam wayang syarat dengan simbolsimbol. Setiap unsur di dalam pertunjukan mengandung simbol
itu. Dalang sebagai Tuhan, layar sebagai jagad raya, wayang sebagai makhluk hidup, batang pisang
sebagai bumi, blencong sebagai cahaya kehidupan, gamelan sebagai keserasian hidup. Bima
Snunga sebagai manusia Jawa yang telah dapat mencapai hadirat Tuhan, tatanan wayang kanan
dan kiri sebagai keutamaan dan keangkaraan (dualisme), gunungan sebagai jagad raya, dan
sebagainya. Ekspresi seni, baik drama, musik, gerak tari, sastra, maupun rupa tampak pada
pertunjukan wayang secara utuh. Keindahan drama yang didukung oleh kecanggihan dalam
mengekspresikan gerak, musik, dan sastra membentuk rasa tertentu seperti nges, sem, greget, dan
banyol.

SIMPULAN
Kesenian wayang jika kita lihat dari 3 (tiga) pilar filsafat ilmu maka secara Ontologis,
hakikat wayang secara filosofi Wayang merupakan bayangan, gambaran atau lukisan mengenai
kehidupan alam semesta. Ada 4 aspek dalam pementasan wayang, yaitu : aspek pertama mengacu
pada boneka wayang atau sejenisnya, pertunjukannya, sastra atau khasanah lakon, dan pada penari-
penari wayang.
Dalam ekesenian wayang terdapat nilai dan pesan didalamnya, selain itu wayang juga
merupakan refleksi kehidupan masyarakat pada jamannya sehingga seperti apa wayang saat ini
sebenarnya menggambarkan juga seperti apa bangsa ini sekarang. Sedangkan secara Epistemologi,
wayang merupakan perkembangan dari sebuah upacara pemujaan kepada roh nenek moyang/
leluhur bangsa Indonesia pada masa lampau (prasejarah).
Wayang merupakan media pertunjukan yang dapat memuat segala aspek kehidupan
manusia (momot kamot). Pemikiran manusia, baik terkait dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, hukum maupun pertahanan dan keamanan dapat termuat di dalam wayang. Dan yang
terakhir jika dilihat secara Aksiologi, maka kesenian wayang berfungsi sebagai sarana pendidikan,
dan sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan maksud tertentu, baik itu berhubungan
dengan keagamaan, kritik sosial dan bahkan sebagai sarana pemeritah dalam menyampaikan setiap
program atau dalam mensosialisasikan kebijakan dari pemerintah terkait

DAFTAR PUSTAKA

Ardhi, Y. P., Kulit, W., Media, S., Studi, D., Wayang, P., Dalang, K., Sudardi, K., & Semarang,
P. (2010). ( Studi Pada Wayang Kulit Dalang Ki Sudardi di Desa Pringapus Semarang

7
Analisis Makna Filosofis Pada Pertunjukan Seni Wayang Kulit
Andriansyah Nur Qomari, Muhammad Arief Rifa’i
).Hal 17
Deva, O. C., & Bagus W. S. (2023). Makna Filosofis Pertunjukan Wayang Pada Kegiatan
Nyadran Dusun Puncu Kecamatan Ngluyu Kabupaten Nganjuk. Visual Heritage: Jurnal
Kreasi Seni dan Budaya, 06(01), 139-14.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010). 234.
Kurniawan, Khaerudhin. 2018. Metode Penelitian Bahasa Dan Sastra Indonesia. Bandung: CV
PUSTAKA SETIA
Mardinal. T., Siti. I. F., Nisa F. T,dkk. (2022). Landasan Ontologi, Epistemologi, Aksiologi
Keilmuan. Jurnal Studi Sosial dan Agama, 2, (2), 95-103
Mohamad Anas, Ilhamuddin Nukman, Filsafat Ilmu: Orientasi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis Keilmuan (Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya, 2018). 21-22.
Paulus Wahana, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Pustaka Diamond, 2016). 6.
Saifullah Idris, Fuad Ramly, Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu (Yogyakarta:
Darussalam Publishing, 2016). 129.
Setiawan, E. (2020). Makna Nilai Filosofi Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah. Jurnal Al-
Hikmah, 18(1), 37–56.
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu (Bogor: PT. Penerbit IPB Press, 2016), 106.
Sumarto, Filsafat Ilmu (Jambi: Pustaka Ma’arif Press, 2017). 11
Zaim, M. (2014). Metode Penelitian Bahasa: Pendekatan Struktural. Metode Penelitian Bahasa:
Pendekatan Struktural, 1–123.

Anda mungkin juga menyukai