Anda di halaman 1dari 5

TUGAS INIGENOUS DAN PSIKOLOGI BUDAYA

YOSIA ROBERT CRISTOFER


16081098
PSIKOLOGI
Budaya Wayang Kulit Kekayaan Seni
Nusantara.

Wayang kulit merupakan salah satu kesenian tradisi yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat Jawa. Lebih dari sekadar pertunjukan, wayang kulit dahulu digunakan sebagai media
untuk permenungan menuju roh spiritual para dewa. Konon, “wayang” berasal dari kata “ma
Hyang”, yang berarti menuju spiritualitas sang kuasa. Tapi, ada juga masyarakat yang
mengatakan “wayang” berasal dari tehnik pertunjukan yang mengandalkan bayangan
(bayang/wayang) di layar.

Wayang kulit diyakini sebagai embrio dari berbagai jenis wayang yang ada saat ini. Wayang
jenis ini terbuat dari lembaran kulit kerbau yang telah dikeringkan. Agar gerak wayang menjadi
dinamis, pada bagian siku-siku tubuhnya disambung menggunakan sekrup yang terbuat dari
tanduk kerbau.

Wayang kulit dimainkan langsung oleh narator yang disebut dalang. Dalang tidak dapat
diperankan oleh sembarang orang. Selain harus lihai memainkan wayang, sang dalang juga harus
mengetahui berbagai cerita epos pewayangan seperti Mahabrata dan Ramayana. Dalang dahulu
dinilai sebagai profesi yang luhur, karena orang yang menjadi dalang biasanya adalah orang yang
terpandang, berilmu, dan berbudi pekerti yang santun.

Sambil memainkan wayang, sang dalang diiringi musik yang bersumber dari alat musik
gamelan. Di sela-sela suara gamelan, dilantunkan syair-syair berbahasa Jawa yang dinyanyikan
oleh para pesinden yang umumnya adalah perempuan. Sebagai kesenian tradisi yang bernilai
magis, sesaji atau sesajen menjadi unsur yang wajib dalam setiap pertunjukan wayang. Sesajian
berupa ayam kampung, kopi, nasi tumpeng, dan hasil bumi lainnya, serta tak lupa asap dari
pembakaran dupa selalu ada di setiap pementasan wayang. Tapi, karena banyak yang
menganggap sesajian tersebut merupakan suatu hal yang mubazir, belakangan ini sesajian dalam
pementasan wayang juga diperuntukkan bagi penonton dalam bentuk makan bersama.

Wayang kulit merupakan kekayaan nusantara yang lahir dari budaya asli masyarakat
Indonesia yang mencintai kesenian. Setiap bagian dalam pementasan wayang mempunyai simbol
dan makna filosofis yang kuat. Apalagi dari segi isi, cerita pewayangan selalu mengajarkan budi
pekerti yang luhur, saling mencintai dan menghormati, sambil terkadang diselipkan kritik sosial
dan peran lucu lewat adegan goro-goro. Tidak salah jika UNESCO mengakuinya sebagai
warisan kekayaan budaya Indonesia yang bernilai adiluhung. [AhmadIbo/IndonesiaKaya]
NILAI FILOSOFI WAYANG
I PENGERTIAN ISTILAH

Sebagai kelanjutan dari yang disebutkan dalam pendahuluan, perlu disampaikan uraian
mendalam dalam sebuah judul “Pemahaman Nilai Filosofi, Etika, dan Estetika dalam Wayang”.
Untuk memperoleh kesamaan tolak pangkal berpijak dan guna menghindari kesimpangsiuran
interpretasi, perlu kita sepakati apa yang dimaksud dengan nilai, filosofi, etika, estetika, dan
wayang, dalam makalah ini.

Nilai

Perkataan “nilai” dapat didefinisikan sebagai perasaan tentang apa yang baik atau apa yang
buruk, apa yang diinginkan atau apa yang tidak diinginkan, apa yang harus atau apa yang tidak
boleh ada (Bertrabd 1967). Nilai berhubungan dengan pilihan, dan pilihan itu merupakan
prasyarat untuk mengambil suatu tindakan. Seorang berusaha mencapai segala sesuatu yang
menurut sudut pandangannya mempunyai nilai-nilai. Robin Williams (1960) membicarakan
“nilai sosial”, yaitu nilai yang dijunjung tinggi orang banyak. Ada juga “nilai etika atau moral”,
yakni ketentuan-ketentuan atau cita-cita dari apa yang dinilai baik atau benar oleh masyarakat.
Satu lagi, “nilai budaya” yakni konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagai
besar masyarakat, mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam
hidup. (Koentjaraningrat 1980).

Filosofi

Istilah filosofi berasal dari kata Yunani “philosophia” yang berarti “cinta kearifan”. Kata lain
dari filosofi adalah filsafah, falsafah, falsafat), yang berarti pengetahuan dan penyelidikan
dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada. Sebab, asal, dan hukumnya. Definisi lain,
ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi. Sementara Kamus Umum
Bahasa Indonesia susunan WJS Poerwadarminta didefinisikan dengan : pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab, asas hukum, dan sebagainya tentang segala yang
ada dalam alam semesta, ataupun mengenai kebenaran arti “adanya” sesuatu.

Filsafat menurut anggapan orang Jawa ialah, usaha manusia untuk memperoleh pengertian dan
pengetahuan tentang hidup menyeluruh dengan mempergunakan kemampuan rasio plus indera
batin (cipta-rasa). Maka bagi kita, berfilsafat berarti “cinta kesempurnaan” (ngudi kasampurnan,
ngudi kawicaksanan) dan bukan semata-mata “cinta kearifan”. 2) Jika orang jawa menyebut
bahwa wayang mengandung filsafat yang dalam, dunia perwayangan memberi peluang bagi
orang Jawa untuk melakukan suatu pengkajian filsafi dan mistis sekaligus. Dunia perwayangan
kaya sekali dengan lambang atau pasemon, bahkan hampir seluruh eksistensi wayang itu sendiri
adalah “pasemon”.
Etika

Bidang yang bersifat normatif, yang bersangkut paut dengan kesusilaan (akhlak, moral),
merupakan salah satu bidang filsafat yang disebut “etik” atau “etika”. Dalam hal ini, etik
memberi nilai buruk atau baik atas perbuatan seseorang. Dengan demikian, etik atau etika
(ethice), merupakan filsafat tingkah laku yang di dalamnya memuat perihal penilaian, yaitu
penilaian terhadap tindakan yang dapat dikatakan baik atau buruk berdasarkan ukuran-ukuran
tertentu. Oleh karena itu, Miklananda mendefinisikan etika sebagai ilmu yang mengajarkan
manusia “bagaimana seharusnya hidup”, atau Plato memandangnya sebagai ilmu yang mengajar
manusia “bagaimana manusia bijaksana hidup”, (Hazim Amir 1991; 97). Hal ini sesuai dengan
konsep etika menurut wayang yakni mendidik manusia ke arah tingkah laku yang sempurna,
yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Estetika

Estetika (estetis) adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni (art) dan keindahan (beauty).
Istilah estetika berasal dari kata Yunani “aesthesis”, yang berarti pencerapan indrawi,
pemahaman intelektual, atau bisa juga berarti pengamatan spiritual. Istilah art (seni) berarti seni,
keterampilan, ilmu, atau kecakapan. Keindahan atau estetika merupakan bagian dari sebuah
filsafat, sebuah ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi. Batasan
keindahan sulit dirumuskan. Karena keindahan itu abstrak, identik dengan kebenaran. Maka
batas keindahan pada sesuatu yang indah, dan bukannya pada “keindahan sendiri”

Wayang.

Yang dimaksud wayang di sini, pertunjukan panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor
dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukan panggung di mana sutradara (dalang)
ikut bermain yang peranannya dapat mendominasi pertunjukan seperti dalam wayang Purwa di
Jawa, wayang Ramayana di Bali, dan wayang Banjar di Kalimantan.. 3) Ada puluhan jenis
wayang yang terbesar di Indonesia. Dari semua jenis wayang itu, yang paling terkenal dan
tersebar luas di dalam dan di luar negeri adalah, wayang purwa. Sebuah jenis pertunjukan
wayang kulit lakon-lakon yang semula bersumber pada cerita kepahlawanan India, yaitu

Ramayana dan Mahabharata. Dari Jawa Timur, wayang purwa menyebar ke Bali, Kalimantan,
dan Sumatra dan dipentaskan dengan bahasa-bahasa setempat. Wayang purwa atau wayang kulit
(meski nama ini tidak tepat), telah disebut dalam Kakawin Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa di
zaman Airlangga (109-1043), dalam sarga V syair ke-9.Wayang yang dibahas dalam makalah ini
adalah jenis wayang purwa, yang difokuskan pada telaah ritual ruwatan dengan lakon
Murwakala. Di sini digunakan cara pendekatan yang berpangkal tolak dari penguraian wayang
purwa, yang ciri-ciri pokoknya dapat dibandingkan dengan jenis-jenis wayang lainnya.
NILAI FILOSOFI WAYANG

Filsafat dan wayang, keduanya tidak dapat dipisahkan. Berbicara tentang wayang berarti kita
berfilsafat. Wayang adalah filsafat Jawa. Karena wayang mengambil ajaran-ajarannya dari
sumber sistem-sistem kepercayaan, wayang pun menawarkan berbagai macam filsafat hidup
yang bersumber pada sistem-sistem kepercayaan tersebut, yang dari padanya dapat kita tarik
suatu benang merah filsafat wayang.

Pengaruh pada diri sendiri.

Melalui pergelaran wayang, penonton bisa memetik beragam nilai di luar nilai yang sekedar
bersifat hiburan, misalnya nilai yang bersifat filosofis-transendental. Lakon-lakon tertentu
sengaja dipilih dan disiapkan agar kedua nilai yang saling memperkaya Wayang kulit merupakan
kekayaan nusantara yang lahir dari budaya asli masyarakat Indonesia yang mencintai kesenian.
Setiap bagian dalam pementasan wayang mempunyai simbol dan makna filosofis yang kuat.
Apalagi dari segi isi, cerita pewayangan selalu mengajarkan budi pekerti yang luhur, saling
mencintai dan menghormati, sambil terkadang diselipkan kritik sosial dan peran lucu lewat
adegan goro-goro.

Tentang apakah wayang bisa tetap eksis. Bisa saja menurut saya, meski dalam era globalisasi ini.
Wayang harus tetap dilestarikan dan mungkin jika perlu dikemas dalam kemasan yang lebih
modern. Kita lihat sekarang pagelaran wayang biasa diiringi dengan campursari dan sebagainya.
Tetapi bentuknya yang lebih tradisional jangan ditinggalkan. Dan jika perlu dipentaskan dalam
upacara-upacara tertentu, seperti Suro atau ruwatan.

Anda mungkin juga menyukai