Tulisan ini berjudul ”Ceklek’an Sebagai Garap Gerak Kepenarian Cakil Gaya
Surakarta” bertujuan untuk mereformulasikan pemikiran penari Jawa tentang
fenomena ceklek’an dalam gerak Cakil. Fenomena estetik ini dibangun dari
beberapa gejala yang timbul tentang bagaimana ide atau gagasan sehingga menjadi
garap gerak dalam kepenarian Cakil gaya Surakarta. Kemampuan kepenarian
seorang penari Cakil ditentukan oleh keterampilannya dalam penguaan permainan
ceklek’an.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi,
yaitu menghimpun data melalui observasi dan wawancara, kemudian dianalisis
dan hasilnya dijelaskan secara deskriptif. di samping itu data akan dilihat dari
pengalaman secara ketubuhan (embodiment).
Kata Kunci: Cakil, ceklek’an, dan gaya Surakarta.
Abstract
Pengantar
Jacques Maritian dan George Santayana
Zaman akan terus mengalami dalam Sudarso mengatakan bahwa art is the
perubahan, hal ini kemudian memacu creation of beauty (Sudarso, 2006: 54). Seni
proses berfikir dan kreatif para pencipta merupakan ruang penciptaan yang berkaitan
seni untuk selalu menghasilkan karya-karya erat dengan kajian tentang keindahan,
baru. Proses yang terus berjalan sehingga perenungan dan penghayatan. Tari berbicara
menghasilkan pengalaman-pengalaman jauh lebih dalam sebagai teks ketubuhan
dan memberikan kepekaan terhadap hal yang menghasilkan bentuk dan memiliki
yang terjadi di lingkungan sekitar. Menurut makna estetis. Keleluasaan penciptaan tari
563
TEROB VOLUME VI NOMOR 2 APRIL 2016
tidak bisa dibatasi dalam koridor seni tradisi adalah bahwa segala bentuk kejahatan dan
ataupun modern, karena keduanya dapat keangkaramurkaan pasti kalah dengan
menyatu dan menemukan keseimbangan kebaikan. Proses garap gerak Cakil saat kini
serta posisi yang pas dalam visual yang mengalami perkembangan begitu kompleks.
sebenarnya. Hal ini disebabkan adanya perkembangan
daya reinterpretasi dari ide atau gagasan
Tari telah lama terbentuk sebagai
para koreografer dan penari Cakil.Garap
pertunjukan, ritual, dan kajian hayatan.
gerak dalam kepenarian Cakil gaya
Bahkan saat ini, tari telah menjadi kajian
Surakarta terletak dalam pengguasaan tehnik
penelitian dan mampu berkolaborasi dengan
ceklek’an. Keterampilan dalam memainkan
beragam bidang ilmu pengetahuan, teknologi,
tehnik ini sebagai wujud pencapaian akhir
kesehatan bahkan terapi sosial. Eksistensi tari
untuk mencapai nilai rasa dalam kepenarian
dapat dilihat dari kedudukannya sebagai teks
Cakil.
dan konteks dalam masyarakat. Tari adalah
ruang pembacaan yang lebih kritis tentang
Permasalahan
identitas, tradisi, modernitas, dan sejarah tari
1. Bagaimana pemikiran penari Cakil
itu sendiri (konteks). Pembacaan ruang bagi
tentang Ceklek’an dalam gerak Cakil gaya
reinterpretasi gerak tari untuk menelusuri
Surakarta?
apa yang tersembunyi di dalam bahasa, apa
yang ditangguhkan melalui tanda, apa yang
Metode Penelitian
ditunjuk, apa yang direpresentasikan.
1. Fenomenologi Trasendental atau
Pertunjukan Wayang Orang Panggung
psikologi
(WOP) merupakan personifikasi dari
pertunjukkan wayang kulit purwa. Penulisan Pandangan ini muncul pada pertengahan
Wayang Orang Panggung selanjutnya abad ke-19 dan merupakan gerakan dari ilmu
akan menggunakan singkatan WOP. WOP filsafat oleh Edmund Husserl. Pemikiran
kemudian berkembang menjadi sarana empirisme dan psikologisme Edmund
Husserl dipengaruhi oleh Frans Brentano,
hiburan yang diminati oleh masyarakat
John Locke dan David Hume. Fenomenologi
dan menjadi komoditi layanan komersial.
menurut Edmund Husserl dalam Sutiyono
Tari ini sebenarnya diadopsi dari salah satu adalah sebuah ilmu yang mempelajari proses
adegan yang ada dalam pementasan Wayang kesadaran manusia untuk melihat gejala
Kulityaitu adegan Perang Kembang dalam atau fenomena yang tampak di depan mata
pathet sanga. Ksatria adalah tokoh bersifat (2011: 25). Fenomenologi tidak melihat
halus dan lemah lembut, sedangkan Raksasa sebuah fenomena atau peristiwa yang hanya
menggambarkan tokoh kasar dan beringas. dilihat dalam kaca mata luar melainkan juga
Perang berlangsung atraktif dan energik. melihat kedalaman yakni apa yang ada di
Makna yang terkandung dalam tarian ini balik yang tampak.
564
TEROB VOLUME VI NOMOR 2 APRIL 2016
565
TEROB VOLUME VI NOMOR 2 APRIL 2016
tersebut akan digali dari pengalaman para pelaku termasuk pelaku seni maupun
ketubuhan para pelaku yang melakukan masyarakat Jawa. Metode etnografi dirasa
praktek ceklek’an, termasuk pemikiran- tepat sebagai metode untuk mengungkap
pemikiran, imajinasi, dan perasaan terhadap pengalaman ketubuhan yang berhubungan
ceklek’an. dengan bentuk gerak, konsep, gagasan,
ide dan praktek ketubuhan dengan sudut
Penelitian ini akan dilaksanakan
pandang para informan yang dihimpun oleh
di wilayah Surakarta. Beberapa tempat-
peneliti. Tugas peneliti adalah mengeduk
tempat itu ialah; Wayang Orang
pengetahuan dari pemikiran yang sudah
Sriwedari, Wayang Orang RRI (Radio
ada dari para pelaku dan masyarakat Jawa
Republik Indonesia), Balekambang,
khususnya Surakarta. Posisi peneliti sebagai
Keraton Surakarta, Mangkunegaran, dan
orang ketiga dan melaporkan secara objektif
Institut Seni Indonesia Surakarta. Jenis
informasi yang telah dihimpun.
penelitian yang akan digunakan adalah
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif Peneliti etnografi melibatkan dirinya
mengutamakan penjelasan cermat dengan ke dalam budaya dan subbudaya dalam
model analisis yang ketat dan sistematis penelitiannya dan mencoba untuk melihat
sehingga temuan yang dihasilkan padat dunia dari sudut pandang budaya pelaku.
dan menyeluruh. Penelitian kualitatif tidak Data dikumpulkan melalui wawancara dan
semata-mata mendeskripsikan tetapi yang observasi partisipan. Peneliti mengobservasi
lebih penting adalah menemukan makna praktek-praktek ketubuhan para penari
yang terkandung dibaliknya, sebagai makna Jawa, dan berusaha memahami makna dan
yang tersembunyi atau dengan sengaja interpretasi. Fokus utama etnografi adalah
disembunyikan (Ratna, 2010: 94). Penelitian mengumpulkan data dengan observasi
tidak memungkinkan menyajikan data dan wawancara, deskripsi yang tebal dan
bertumpuk-tumpuk sehingga diperlukan mendalam secara alamiah, bekerja bersama
tindakan seleksi data secara ketat. informan kunci, dan dimensi ‘emik-etik’.
Dimensi emik adalah persepsi dari dalam
Penelitian ini menggunakan metode
atau persepsi pemilik budaya, sedangkan etik
etnografi realis. Etnografi realis adalah sebuah adalah persepsi luar atau persepsi peneliti.
pendekatan tradisional yang digunakan oleh Pandangan tentang praktek ketubuhan
sebagian antropolog. Menurut Van Maanen penari Jawa kemudian akan dihimpun
dalam Creswell, bahwa etnografi realis dan dirumuskan menjadi sebuah rumusan
merefleksikan suatu pendirian tertentu yang ilmiah sehingga dari penjelasan tersebut
diambil oleh peneliti terhadap individu yang mampu memberikan jawaban atas masalah
diteliti (Creswell, 2014: 129). Esensi dari penelitian.
etnografi adalah memusatkan usahanya untuk Informan bertindak sebagai sumber
mencari dan menemukan susunan pemikiran informasi yang memiliki pengetahuan
566
TEROB VOLUME VI NOMOR 2 APRIL 2016
567
TEROB VOLUME VI NOMOR 2 APRIL 2016
pengambilan gambar atau video secara (Vansina, 2014: 231). Rangkaian masa
mendetail. Peneliti merupakan orang yang lalu terakumulasi dalam suatu ingatan
pernah terlibat dalam kepenarian Cakil dapat menjadi informasi penting bagi masa
sehingga pengalaman ini kemudian dapat kini. Berawal dari bahasa lisan kemudian
merangsang peneliti untuk mengungkap direpresentasikan ke dalam karya tulis
permasalah ceklek’an. sehingga menjadi bahan kajian ilmiah
sebagai pengetahuan baru. Tradisi lisan
Pengamatan terlibat sebagai metode
pada masyarakat Jawa khususnya Surakarta
untuk menjelaskan dan membantu proses
disampaikan dari mulut ke mulut. Pesan atau
konfirmasi data. Kemunculannya mampu
informasi yang disampaikan oleh informan
menjadi pengetahuan yang tidak hanya
dipandang sebagai sumber pengetahuan.
sekedar diketahui melalui lisan saja
melainkan menjadi kajian ilmiah yang dapat Istilah ceklek’an memiliki bermacam-
digali dari gejala-gejala estetik yang muncul macam jenis dalam pengucapannya
di permukaan. Hal inilah yang menarik yaitu nyeklek, coklek, poklek, tholek, dan
pemikiran penulis untuk menggali jauh lebih ceklek’an. Pada penulisan selanjutnya akan
dalam mengenai ceklek’an sebagai konsep menggunakan istilah ceklek’an. Hal ini
garap gerak. dikarenakan istilah ceklek’an lebih umum
digunakan dalam kalangan seniman tari.
Pembahasan
Menurut Utomo dalam Kamus Bahasa Jawa,
Istilah ceklek’an bukan suatu istilah ceklek’an memiliki arti patahan (Utomo,
yang asing bagi masyarakat Jawa, karena 2007:68). Makna patahan akan merujuk pada
istilah tersebut lahir dan tumbuh dari bermacam-macam imajinasi dan konsepsi.
masyarakat itu sendiri. Ceklek’an hadir Patahan berkaitan dengan bentuk maupun
dalam percakapan sehari-hari, baik itu makna.
menjadi sebuah ungkapan-ungkapan atau
Penerapan arti pada istilah ini
mengarah pada sesuatu hal yang bersifat
akan melahirkan makna yang berbeda-
objektif. Jalinan ini menunjukkan suatu fakta
beda. Berikut ini beberapa gejala yang
bahwa masyarakat Jawa, disadari atau tidak
terjadi dalam istilah ceklek’an dalam
dalam menggunakan istilah pada muaranya
praktik budaya masyarakat Jawa. Istilah
melahirkan suatu makna dan nilai mendalam.
ceklek’an digunakan untuk sebutan yang
Akibatnya, mampu mempengaruhi cara pikir
merepresentasikan bentuk, proses, dan hasil
pada masyarakat Jawa.
kerja dari objek yang telah patah. Selain
Penelusuran istilah ini akan dilihat itu terdapat juga ungkapan yang digunakan
dari gejala bahasa maupun tradisi lisannya. ketika memberi nasehat terhadap orang
Sumber-sumber dari tradisi lisan terdiri lain seperti ”dadi wong kuwi ojo gampang
dari informasi yang ada dalam ingatan ceklek’an aten” (Jadi orang itu jangan
568
TEROB VOLUME VI NOMOR 2 APRIL 2016
mudah putus asa), (wawancara Wahyu, sengkala yang berbunyi “Tangan Yaksa
17 Oktober 2014). Istilah ini juga muncul Satataning Janma”. Dengan demikian
dalam benda seni yaitu wayang kulit, dilihat dapat diketahui bahwa Cakil diciptakan
dari konstruksi tangan yang sedang bergerak pada zaman pemeritahan Sultan Seda
pada bagian siku yang seolah-olah menjadi Krapyak, raja Mataram kedua. Cakil selalu
patahan. mati tertusuk kerisnya sendiri maka dalam
kehidupan masyarakat tokoh ini dipakai
Selanjutnya istilah ceklek’an pada
sebagai contoh perilaku yang buruk. Cakil
gerak Cakil gaya Surakarta. Ceklek’an
termasuk salah satu dari buta prepat atau
menjadi istilah untuk menyebut nama
raksasa empat sekawan. Tiga jenis raksasa
suatu teknik gerak. Nama ini kemudian
lainnya yaitu buta rambut geni, buto terong,
berkembang lebih pesat dan menjadi pusat
dan Bragalba (Sena Wangi, 1999:350-353).
teknik sehingga menjadi titik pencapaian
Cakil atau Gendirpenjalin berwujud
kualitas kepenarian Cakil gaya Surakarta.
raksasa dengan gigi tongos berpangkat
Menurut Wahyu Santoso Prabowo, konsep
Tumenggung. Tokoh Cakil hanya dikenal
penciptaan tari dalam ranah tradisi Jawa
dalam cerita pedalangan Jawa dan selalu
banyak terpengaruh oleh unsur-unsur alam.
dimunculkan dalam perang kembang,
Selain itu, Wahyu meyakini bahwa perihal
perang antara kesatria melawan raksasa yang
tersebut terjadi atas ‘kedekatan’ seniman pada
merupakan lambang perang nafsu angkara
masanya terhadap alam atau lingkungan.
murka yang terjadi di dalam diri manusia
Kedekatan ini rupanya membawa pengaruh
(Sumari dkk, 2010: 565).
yang saling terhubung dan berkelindan satu
sama lainnya namun memiliki fungsi dan
Gejala ceklek’an yang terdapat dalam
posisi yang berbeda-beda. Penelitian ini
gerak Cakil dipandang memiliki keterkaitan
akan memfokuskan ceklek’an dalam kajian
erat dengan sabet dalam wayang kulit purwa.
tari Jawa gaya Surakarta. Istilah ceklek’an
Sabet merupakan istilah yang digunakan
dikenal dan muncul dalam gerak Cakil gaya
untuk menyebut teknik permainan dalam
Surakarta.
kesenian wayang kulit purwa.Keterkaitan ini
Ceklek’an Sebagai Garap Gerak Gaya dilihat dari fokus permainan gerak sabet pada
Surakarta wayang kulit dan ceklek’an pada gerak Cakil.
Tokoh Cakil hanya terdapat dalam Keduanya memiliki kesamaan yang terletak
dunia pewayangan Indonesia, dan tidak ada pada olah tubuh pada bagian persendian siku
dalam Mahabarata. Tokoh wayang raksasa tangan. Fenomena ini kemudian mampu
yang kedua tangannya dapat digerakkan, menginspirasi seniman tari untuk melakukan
diciptakan oleh seniman wayang pada inovasi gerak. Namun tidak semata-mata
zaman Mataram, tepatnya tahun 1630 atau diadopsi langsung melainkan melalui suatu
1552 Saka. Hal ini ditandai dengan candra proses panjang dengan penyesuaian dan
569
TEROB VOLUME VI NOMOR 2 APRIL 2016
stilisasi oleh seniman sebagi penari. Adanya bawah. Proses inilah yang menjadi fokus
proses penyesuaian dikarenakan tubuh utama dalam kacamata penelitian. Perubahan
manusia sebagai seniman sangat berbeda setiap segmen dan aksentuasi yang muncul
dengan media wayang. ditentukan oleh beberapa faktor elemen
gerak yaitu: kecepatan, ruang, volume, level,
Teknik ini banyak dijumpai dalam
tenaga, dan tekanan dalam melakukannya.
gerak Cakil gaya Surakarta dan digunakan
Identifikasi ini dapat dilihat melalui ragam
sebagai dasar kualitas yang utama
gerak Cakil.
kepenarian Cakil. Berikut ini contoh gambar
menunjukkan letak ceklek’an pada gerak Kemampuan dan penguasaan
Cakil gaya Surakarta. melaksanakan teknik ini menentukan
kepiawaian dalam kepenarian karakter Cakil
gaya Surakarta. Menurut Didik menyatakan
bahwa penari Cakil yang baik itu “kudu
mayang kuliti”. Pernyataan di atas merupakan
syarat khusus mengenai pencapaian kualitas
kepenarian Cakil. Kemampuan seorang
penari Cakil ditentukan dalam teknik
ceklek’an yang dianalogikan seperti dalam
Gambar 1. Penerapan ceklek’an pada gerak Cakil gaya
bentuk permainan wayang kulit. Mayang
Surakarta, ragam gerak sempok’an oleh Anggono. kuliti merupakan imajinasi yang seolah-olah
Foto: koleksi Didik Bambang Wahyudi, 2010. tubuh ketika bergerak dapat terlihat seperti
Gambar di atas menunjukkan bahwa wayang kulit aslinya.
gambar A ceklek’an terjadi pada wayang
Beberapa penerapan istilah ceklek’an
kulit dengan fokus pada konstruksi kedua
menunjukkan bahwa ceklek’an telah hidup
tangannya. Pergerakannya hanya dapat
dilakukan dikedua siku tangan. Gambar dan berkembang di sisi masyarakat Jawa
B ceklek’an yang dilakukan dengan tubuh khususnya Surakarta. Ceklekan menjadi
penari, kedua tangan tampak sama menekuk suatu proses dan praktek ketubuhan yang
dengan kekuatan fokus pada sendi sebelah di dalamnya memiliki nilai-nilai mendalam
kanan. Gambar C fokus masih sama pada secara konseptual maupun filosofis. Gerak
tangan sebelah kanan. Ceklek’an mengalami yang dihasilkan melalui material tubuh yang
perubahan bentuk, fokus terletak pada mengalami, merasa, dan merekam suatu
pemutaraan siku sebelah kiri dengan memori tentang apa itu bentuk, garis, dan
tekanan dan tenaga yang berbeda sehingga warna. Ceklek’an telah diolah melalui indera
membentuk dan mencipta ruang yang lebih dan terwujudkan pada sikap-sikap gerak,
sempit. Pada gambar B dan C ceklek’an bentuk, ruang yang kemudian diberi rasa.
dilakukan dengan menggunakan level Di dalam proses ketubuhan penari Jawa
570
TEROB VOLUME VI NOMOR 2 APRIL 2016
tidak berhenti pada praktek secara fisik saja, penari. Kesan atraktif suatu pertunjukan
namun ceklek’an adalah sebuah proses yang Cakil menjadi ukuran dalam menentukan
di dalamnya terdapat konsepsi mengenai hal tingkat kepiawaian penari.
yang menginspirasi sehingga ceklek’an itu Keterbukaan dalam memberikan
menjadi sebuah bentuk estetis yang khas. kebebasan pada mahasiswa dan pelaku
Praktek ketubuhan menjadi arah utama seni guna mengembangkan diri dalam
sebagai tombak untuk menelaah bagaimana proses pembelajaran tari, melahirkan
tubuh penari Jawa mengalami ceklek’an. pribadi-pribadi yang kuat sebagai penari.
Tubuh yang terbentuk dari sebuah proses Namun demikian gesekan dari pengaruh
pendalaman panjang melalui pengalaman yang terjadi diberbagai ranah dalam proses
sehingga tubuh tersebut pada muaranya pembentukam tari, tanpa disadari telah
mampu memberikan bentuk estetis dalam mengabaikan standarisasi kualitas garap
menari. gerak tari Cakil. Gaya tari Cakil sekarang
cenderung menekankan pada penampilan
Pengayaan garap teknik dan vokabuler
teknik dan akrobatik, gaya panggung
gerak khususnya dalam tari Cakil WOP
yang verbal yang kurang memperhatikan
Sriwedari mengalami perkembangan untuk
komunikasi kinestetis. Suatu hal yang
melengkapi selera masyarakat. Tentunya
menjemukan tentunya, tapi tidak demikian,
pengaruh ini tidak semata-mata diadopsi
karena Wayang wong memang sejak awalnya
langsung melainkan melalui suatu proses
dipentaskan dalam waktu yang cukup lama
panjang dengan penyesuaian dan proses
(Soedarsono, 1979: 34).
stilisasi oleh senimannya. Karakter Cakil
termasuk dalam karakter raksasa yang Gesekan pengaruh antara mahasiswa
berani, sombong, suka menang sendiri, dan dengan para penari Cakil WOP melahirkan
berwatak kejam. Tingkah lakunya membuat perkembangan gaya tari Cakil baru.
Cakil dikenal sebagai tokoh yang lincah, Perkembangan ini kemudian membawa
trengginas, dan gesit. Hal ini berlaku pula dapak positif sehingga muncul keberagaman
pada teknik dan vokabuler gerak tari yang gaya dari setiap penari. Keberagaman gaya
diciptakan sesuai dengan perwatakan Cakil membawa angin segar bagi pertumbuhan
itu sendiri. Tari Cakil dalam WOP Sriwedari serta
Bagi seorang dalang dalam adegan dapat mendongkrak minat peminat seni
perang kembang ini membutuhkan tradisi.
penguasaan teknik sabet khusus, karena Kaitannya dengan hal tersebut, peran
mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi. serta penari memiliki posisi penting dalam
Penata tari dan penari Cakil berorentasi proses perkembangan garap. Setiap penari
pada pertimbangan garap koreografi secara mempunyai daya interpretasi masing-masing
estetis. Selain dilihat dari segi garap gerak sehingga muncul daya kreatif dan mampu
juga dapat dilihat dari segi jumlah garap mendobrak perkembangan Tari Cakil. Dalam
571
TEROB VOLUME VI NOMOR 2 APRIL 2016
572
TEROB VOLUME VI NOMOR 2 APRIL 2016
Narasumber
573