Anda di halaman 1dari 5

NAMA : Eria Lupita

NIM : 2010822025
KELAS : Antropologi Sosial A
TUGAS : Review Artikel Terkait Foto Etnografi,Antro Visual dan Antropologi

Metode penciptaan seni fotografi digital yang merupakan dasar dari penciptaan seni secara
intuitif dalam domain digital, kemudian dicoba dirumuskan, berdasarkan penelaahan
heuristik dalam proses seni fotografi digital. Konsep ini dikembangkan dari pengalaman di
bidang fotografi digital dan antropologi visual, dipandu oleh teori-teori dasar kreativitas, teori
kuantum dalam seni, dan teori penciptaan seni yang telah ada sebelumnya. Melalui
pendekatan emosional sebagai metode, disertai dengan pendekatan sistematis yang terstruktur
dari foto-etnografi dan dengan kesadaran yang mendalam mengenai lingkungan dan
kehidupan sosial subjek mengarah pada penciptaan gambaran yang cenderung lebih baik dan
lebih bermakna, lebih produktif dalam arti sosial, dan menawarkan dokumentasi empiris yang
kredibel. Proyek fotografi yang dianggap telah menawarkan suatu bentuk analisis sosiologis
termasuk juga yang tidak atau belum tergolong sebagai karya-karya sosiologi visual atau
antropologi visual. Telaah literatur yang terutama terkait dengan pengumpulan data visual
dalam bidang sosiologi visual maupun antropologi visual, serta penyelidikan melalui
etnografi budaya pedesaan sebagai sub-disiplinnya melalui pendekatan kreatif dalam
representasi visualnya sebagai bentuk pengejawantahan sebuah ekspresi artistik. Namun
demikian, dalam ruang-ruang kreatif antropologi visual (Grenfell & Hardy, 2007: 165-169);
(Pink S. , 2006: 100-101) sebisa mungkin melalui keputusan intuitif diusahakan untuk selalu
menghindari segala bentuk penetrasi maupun intervensi terhadap hasil pemotretan yang
dilakukan, serta tetap menginginkan subjek yang benar-benar berbicara apa adanya secara
alamiah tentang keberadaannya (Bohm, 2004: 56-57); (Klein, 2002: 31-34); (Rader, 1973:
84-90). Antropologi visual secara logis merupakan hasil dari suatu keyakinan bahwa
kebudayaan terwujud melalui simbol-simbol yang terdapat dalam gerak-gerik, upacara ritual,
dan artefak-artefak yang terdapat di lingkungan bentukannya maupun lingkungan alamnya.
Meskipun asal dari antropologi visual secara historis dapat ditemukan dalam asumsi positivis
bahwa suatu realitas objektif itu dapat diamati, sebagian besar ilmuwan kebudayaan
kontemporer tetap menitikberatkan pentingnya realitas budaya yang secara sosial
berkembang alami sambil melakukan pemahaman terhadap sifat dari setiap kebudayaan.
Antropologi mempunyai fokus yang lebih holistik ketimbang sosiologi; sebuah penelitian
antropologis akan lebih menitikberatkan perhatiannya pada budaya manusia secara
keseluruhan, sedangkan penelitian sosiologis akan memberikan perhatian khusus pada
fenomena yang lebih kecil yang terjadi dalam sebuah budaya tertentu. Akibatnya, fotografi
antropologis sebagai metode sosiologi visual mencakup skala dan waktu yang lebih banyak
ketimbang penelitian yang menggunakan metode fotografi sosiologis. Secara konseptual
ranah ini dapat menjadi sangat luas, akan tetapi pada prakteknya antropologi visual terutama
sangat didominasi oleh ketertarikan terhadap media gambar (piktorial) sebagai alat
komunikasi ilmu dan pengetahuan antropologis, seperti film etnografis dan foto-etnografis,
maupun penelitian tentang manifestasi gambar (piktorial) dalam suatu kebudayaan.
Teori-teori antropologi yang khusus membahas kemunculan teknologi media dan kaitannya
dengan keragaman budaya banyak dipersepsikan sebagai sub-kajian baru, meskipun dari segi
konseptual dan analitik, kajian mengenai hubungan manusia dengan medium/material di luar
tubuhnya sudah setua antropologi itu sendiri. Jika kita menempatkan media sebagai
perantara, manifestasi, ekspresi, ataupun penyebab material dari proses sosial suatu
masyarakat, maka kajian antropologi atas media bukanlah satu hal yang baru. Durkheim,
meski dengan bingkai analisis yang tidak eksplisit, sebenarnya mengedepankan bagaimana
benda-benda dan citra memproyeksikan dan meregulasi bentuk-bentuk sosial, terutama dalam
kajiannya mengenai totem dan emblem. Hal serupa juga sudah bisa kita baca dari beragam
kasus yang dielaborasi Marcel Mauss ataupun antropolog-antropolog lainnya yang membahas
perputaran benda yang menandai lalu lalang informasi dan perpanjangan kehadiran seseorang
pada kalung, manik-manik, atau sesederhana masakan yang didistribusikan dalam rantai
pertukaran. Elaborasi Alfred Gell, yang berangkat dari tradisi antropologi Melanesia, juga
membahas kompleksitas hubungan antara manusia dan benda dengan analisis berbasis
semiotik, dengan melihat hubungan antara indeks (index), purwarupa (prototype), penerima
(recipient), dan artis (artist). Dalam kajiannya, benda sebagai indeks bisa mensubstitusi
kapasitas agensi sosial, kapasitas untuk mempengaruhi dan menyebabkan elemen tertentu
(Gell). Rekombinasi atas hubungan tiap unsur itulah yang biasanya menunjukkan betapa
beraneka ragam hubungan manusia dan objek di luar dirinya, juga memfasilitasi upaya
melihat kompleksitas jalin-kelindan manusia dan medium di luar dirinya. Lebih lanjut lagi,
berangkat dari perspektif teoritis yang berbeda, kajian mengenai manusia dan benda, serta
hubungan relasional keduanya juga dieksplorasi oleh antropolog-antropolog yang
dipengaruhi pendekatan linguistik dan semiotik. Perspektif yang dikembangkan oleh Webb
Keane dalam mengulas ideologi semiotic (Semiotic Ideology) merupakan salah satunya.
Keane mengemukakan pendekatan yang mengedepankan analisis sosial atas objek-objek
material. Dalam ulasannya, ideologi semiotik dapat didefinisikan sebagai asumsi dasar
mengenai apa itu benda dan bagaimana mereka berfungsi di dunia. Hal tersebut memengaruhi
apa yang dianggap penting dalam proses penandaan dan intensi di baliknya dalam suatu
masyarakat, kekuatan-kekuatan apa yang ada di balik proses penandaan tersebut, baik secara
arbitrer atau tidak, terkait dengan sebuah objek material (Keane, 419).
Selanjutnya,fotografi merupakan perkembangan dari nalar manusia yang paling primitif
yaitu keinginan untuk bercerita atau berkomunikasi. Bercerita pada mulanya dilakukan secara
lisan. Tetapi bercerita secara lisan kurang memberikan kepuasan bagi para pendengarnya.
Keinginan manusia untuk meneruskan pengalaman-pengalamannya kepada orang lain
direkam yang disampaikan secara lisan belum dapat memenuhi hasrat orang akan
keingintahuannya. Maka kemudian manusia menceritakan pengalamannya melalui saran
yang dapat dilihat oleh kasat mata yaitu berupa coretan-coretan primitif dan ilmu
berkomunikasi secara visual pun lahir. Dalam proses penelitian (khususnya Antropologi)
pengumpulan data melalui observasi merupakan bagian yang selalu dilakukan. Seorang
peneliti akan mengumpulkan data dengan melihat perilaku, interaksi, dan tentu saja artefak
masyarakat yang diteliti. Data dikumpulkan dengan mengandalkan kekuatan indera
penglihatan (mata) yang dimiliki peneliti, namun pada prakteknya kemampuan mata manusia
terbatas. Apa yang kita lihat hanyalah yang ingin kita lihat dan kita ingin menanggapinya
(Collier, 1990). Sehingga seringkali kita memiliki perbedaan terhadap apa yang dilihat oleh
orang lain walaupun dalam posisi geometris yang nyaris sama. Penggunaan fotografi untuk
ilmu sosial sebenarnya sudah lama dilakukan. Contohnya pada disiplin Sosiologi pada abad
ke-19. Fotografi dan sosiologi memiliki waktu kelahiran yang sama, yaitu pada saat Auguste
Comte memberi nama Sosiologi sebagai ilmu, serta kelahiran fotografi pada tahun 1839
ketika Daguerre memunculkan karya fotografi pertamanya pada pelat logam. Satu dari dua
karya awal Daguerre, adalah eksplorasi masyarakat. Begitu juga dengan antropologi. Sejalan
dengan perkembangan penggunaan data visual dalam penelitian antropologi, dalam hal ini
menggunakan pendekatan etnografi, banyak pelaku-pelaku fotografi saat ini mencoba
melakukannya. Aktivitas tersebut muncul dengan istilah Etnofotografi. Dari tinjauan
linguistik, Etnofotografi merupakan merupakan perpaduan antara etno dan fotografi. Sebagai
sebuah metode, etnofotografi merupakan kerja etnografi yang menggunakan medium
fotografi untuk menunjang kerja dalam pengumpulan data untuk bahan analisis. Dengan
demikian penggunaan materi fotografi menjadi bahan utama untuk ber etnografi. Peneliti
antropologi atau sosiologi yang bekerja dengan etnografi pada umumnya melakukannya tidak
hanya dengan kunjungan sepekan atau dua pekan, tetapi dengan tinggal (live in) di kelompok
yang diamati hingga bertahun-tahun. Metode etnografi tidak digunakan untuk mencari
pembuktian dari gejala umum, namun mengamati gejala khusus dari suatu kelompok
masyarakat secara mendalam melalui sudut pandang subjek. Etnografi di dalam praktik
fotografi dikenal sebagai etnofotografi. Dengan pendekatan etnografi, fotografi dapat
mengungkap lapisan-lapisan kerumitan kehidupan sehari-hari, tidak berhenti pada
warna-warni baju adat, atau keriuhan upacara, atau kemolekan wajah. Untuk itu, diperlukan
kecakapan dan keahlian, yang biasanya didapat dari pelatihan yang relatif panjang. Kita mesti
peka di dalam mendekati subjek, agar jangan sampai menyinggung, menyudutkan,
merugikan, atau menyakiti mereka. Masing-masing kelompok masyarakat memiliki nilai,
kepercayaan, dan anggapan tabu yang berbeda, Ada yang melarang memfoto anak atau
perempuan, ada yang sehari-hari berpakaian minim, sehingga juru foto perlu berhati-hati di
dalam merekam dan menampilkan hasil rekamannya. Ada pula yang bahkan menganggap
fotografi sebagai hal yang tabu. Sebagai juru foto, kita perlu bijaksana di dalam
merepresentasikan suatu kebudayaan melalui foto-foto yang kita buat. Di dalam buku Kisah
Mata, Seno Gumira Ajidarma mengajukan pertanyaan: Sebuah foto bercerita, diberi cerita,
atau mengundang cerita? Buku itu kemudian membahas, betapa makna tidak berada pada
foto itu sendiri, namun hadir di dalam pemahaman subjek. Dengan demikian, untuk dapat
berkisah melalui foto, kita perlu memahami keberaksaraan visual (visual literacy).
Keberaksaraan visual bukanlah suatu keterampilan khusus, melainkan bagaimana kita mampu
memanfaatkan serangkaian keterampilan (seperti semiotika, sejarah, seni, atau lain
sebagainya) untuk membuat suatu gambar yang kita lihat menjadi bermakna bagi kita. Seperti
halnya menjadi beraksara (melek huruf), menjadi melek visual atau beraksara secara visual
(visually literate) bukan hanya soal mampu membaca makna di dalam suatu gambar atau
foto, melainkan juga mampu menyusun petunjuk yang bermakna ke dalam gambar atau foto,
agar dapat dibaca oleh orang lain. Namun demikian, perlu dipahami pula, bahwa
keberaksaraan visual hanya alat untuk mencari dan menyusun makna. Makna sendiri
terbentuk dari rujukan yang kita punya, sebab itu kita perlu memperkaya perbendaharaan
rujukan, agar mampu mendapatkan makna yang lebih kaya pula di dalam membuat dan
membaca foto. Sebagai seorang juru foto, kita harus tahu terlebih dahulu apa yang mau
dikisahkan sebelum kita mampu menyampaikannya melalui foto kita. Kita mesti yakin, apa
yang mau kita kisahkan dan dengan cara apa kisah itu akan kita sampaikan. Kita perlu
memahami poin-poin kunci di dalam topik atau kisah itu, siapa melakukan apa, di mana dan
kapan, bagaimana dia melakukannya, mengapa demikian, dan sebagainya. Inilah sebabnya
pendekatan terhadap subjek penting, sebagai bagian dari upaya kita untuk meneliti dan
memahami subjek dan kisahnya.

Daftar Bacaan :
1. Datoem,Arif.(2013).”Foto-Etnografi dalam Proses Penciptaan Karya Seni
Fotografi”. Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 23, No. 2, Juni 2013: 109 -
209.1-18.
2. Ardhianto,Imam.(2020).”Mereinajinasi Metodologi Dan Mengatasi Sains Fiksi :
Pendekatan-Pendekatan Dalam Antropologi Terhadap Fenomena Mediasi Digital”.
Human Narratives Vol.1, No.2, Maret 2020, pp. 66-75 e-ISSN: 2746-1130.
3. Yasa,Purnama,I Dewa.(2020).”PENDEKATAN ETNOFOTOGRAFI DALAM KARYA
FOTO DOKUMENTER”.Prosiding Seminar Nasional Desain dan Arsitektur
(SENADA) Vol.3, Maret 2020 p-ISSN 2655-4313 (Print), e-ISSN 2655-2329.391-396.
4.

Anda mungkin juga menyukai