Anda di halaman 1dari 13

Fatkur Rohman Nur Awalin, Sejarah Perkembangan dan Perubahan Fungsi Wayang dalam Masyarakat

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERUBAHAN FUNGSI


WAYANG DALAM MASYARAKAT

(HISTORY OF DEVELOPMENT AND CHANGE OF WAYANG


FUNCTIONS IN SOCIETY)

Fatkur Rohman Nur Awalin1


IAIN Tulungagung, Jl. Mayor Sujadi Timur. No.46
Plosokandang, Kedungwaru, Tulungagung, Jawa Timur, Indonesia
email: fatkurrohman.awalin@gmail.com

Naskah diterima: 19 April 2018; direvisi: 25 Mei 2018; disetujui: 3 Juli 2018;

Abstract
Wayang art performance that develops in Java is a traditional performing art that is able to
survive and adapt to all aspects of its changes. The issue of this research is to know, how does the
history of development and change of wayang function in society? The development of wayang art
performance is influenced by social conditions, which affect the change of function of wayang art
performance. The objective of the research is to explain the history of development and change
of wayang function in society.This study uses descriptive method, with the support of literature
review and observation on wayang performance. The results show that the history of wayang
development is conceptually a combination of several cultural elements that enter in Indonesia
(Java), namely Indian culture with Hindu-Buddhism and Islam with sufism. Indicator of changes
in wayang function in the community is the change of pakeliran wayang as an industry tomeet
the entertainment market. Changes in ritual function can be seen from the waning of guidance
or moral values in wayang, so its has only entertainment or spectacle functions and as a popular
performances.
Keywords: history of development, changes in wayang functions, society

Abstrak
Seni pertunjukan wayang yang tumbuh dan berkembang di Jawa merupakan kesenian tradisonal
yang mampu bertahan dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman dengan segala aspek
perubahan-perubahannya. Masalah dalam penelitian ini adalah mengkaji mengenai bagaimana
sejarah perkembangan dan perubahan fungsi wayang dalam masyarakat? Perkembangan seni
pertunjukan wayang dipengaruhi oleh kondisi sosial, yang berpengaruh terhadap perubahan fungsi
seni pertunjukan wayang.Tujuannya adalah menjelaskan sejarah perkembangan dan perubahan
fungsi wayang dalam masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, dengan
dukungan kajian pustaka dan pengamatan (observasi) terhadap pergelaran wayang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sejarah perkembangan wayang secara konseptual merupakan perpaduan dari
beberapa unsur kebudayaan yang masuk di Indonesia (Jawa), yakni kebudayaan India dengan
Agama Hindu-Buddha dan Islam dengan tasawufnya. Indikator perubahan fungsi wayang dalam
masyarakat adalah perubahan pakeliran dalam wayang sebagai industri untuk memenuhi pasar
hiburan. Perubahan fungsi ritual dapat dilihat dari memudarnya nilai-nilai tuntunan atau moral
dalam wayang, sehingga wayang hanya mempunyai fungsi hiburan atau tontonan dan sebagai
pertunjukan populer.
Kata Kunci: sejarah perkembangan, perubahan fungsi wayang, masyarakat

1 Penulis adalah Dosen Bahasa Jawa di Jurusan Akidah dan Filsafat Islam (AFI) dan Sosiologi Agama (SA), Fakultas
Ushuludin, Adab dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung. Peneliti di Institute for Javanese Islam
Research (IJIR) IAIN Tulungagung.

77
Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 1, Agustus 2018

A. PENDAHULUAN Dalam rangka menggali nilai-nilai dalam


Seni pewayangan merupakan kesenian yang wayang perlu pembahasan secara komprehensif,
tumbuh dan berkembang di Jawa sejak zaman salah satunya dengan cara mengkaji wayang
prasejarah. Keberadaan wayang di Jawa hingga dari sisi sejarah wayang. Sejarah wayang perlu
sekarang menunjukkan tetap digemari di tengah- dipahami tidak secara fragmentaris namun
tengah masyarakat pendukungnya. Wayang menjadi satu kesatuan yang utuh. Pengkajian
sebagai kesenian tradisonal mampu bertahan wayang dari sisi sejarah, mempunyai fungsi
dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman antara lain: menyampaikan pesan budaya secara
dengan segala aspek perubahan-perubahannya. eksplisit maupun implisit untuk menanamkan
Pada zaman modern wayang tidak lantas nilai-nilai budaya.
tersingkirkan dalam perhelatan panggung hiburan. Fokus kajian dalam tulisan ini adalah untuk
Wayang mampu bertahan dan menjadi kesenian mengetahui bagaimana sejarah perkembangan
yang masih favorit masyarakat dengan berbagai dan perubahan fungsi wayang dalam masyarakat?
inovasi dan eksperimen yang dilakukan oleh para Rumusan masalahnya adalah sejarah
seniman wayang. perkembangan dan perubahan fungsi wayang
Dengan berbagai inovasi wayang menjadi dalam masyarakat. Sejarah perkembangan wayang
hiburan rakyat yang atraktif, seandainya wayang dari generasi ke generasi selalu mengalami
kalah dalam berkompetisi merebutkan panggung perubahan dan penyesuaian dalam masyarakat.
hiburan, wayang sudah mati dan tidak dikenal Perkembangan seni pertunjukan wayang
lagi dari dulu. Fakta realitasnya wayang masih dipengaruhi oleh kondisi sosial, yang berimplikasi
subur hingga saat ini. Apabila dibandingkan terhadap perubahan fungsi seni pertunjukan
dengan kesenian lainnya wayang memang wantek wayang. Sehingga fungsi pewayangan dalam
(tangguh) dan sudah balung sungsum (mengakar) masyarakat sebagai media hiburan yang bisa
dalam masyarakat pendukungnya. Sehingga memenuhi kebutuhan masyarakat dimana wayang
wayang menjadi hiburan masyarakat nomor itu tumbuh dan berkembang. Tujuan dari penelitian
satu. Setiap ada pagelaran wayang masyarakat ini adalah menjelaskan sejarah perkembangan dan
berduyun-duyun menonton wayang. Masyarakat perubahan fungsi wayang dalam masyarakat.
rela menonton wayang sampai semalam suntuk.
Kemampuan wayang bertahan dari gene­ B. KAJIAN LITERATUR
rasi ke generasi merupakan suatu prestasi yang B.1. Sejarah Wayang
patut diapresiasi. Kemampuan wayang tetap Secara historis penelusuran jejak sejarah
eksis di tengah gempuran modernisasi. Secara wayang ditemukan suatu indikasi yang
sosiokultural wayang menyesuaikan de­ ngan menyatakan bahwa wayang sudah ada sejak 1500
perkembangan di masyarakat. Dalam pewa­ SM. Indikasinya wayang pada zaman tersebut
yangan diberi “warna” sebagaimana yang dijum­ difungsikan sebagai medium untuk mendatangkan
pai dewasa ini, yaitu: lawakan, campursari, sam­ arwah leluhur. Kepercayaan terhadap arwah
pai dangdut. Hal tersebut untuk mengimbangi leluhur berkorelasi dengan sistem kepercayaan
peru­bahan-perubahan dalam masyarakat. masyarakat Jawa zaman prasejarah, di mana
Ketradisionalan dalam wayang tidak mem­ masyarakat pada zaman tersebut melakukan
buat seni pewayangan meredup dan tercerabut ritual penyembahan kepada arwah leluhur atau
dari akarnya. Tidak dipungkiri dengan kemajuan nenek-moyang atau kepercayaan kepada hyang,
banyak generasi muda yang tidak paham dengan selanjutnya dinamakan pergelaran wayang
wayang bahkan tidak mau menonton wayang. (Poespaningrat, 2005: 5). Wayang pada masa itu
Secara psikologis wayang menempel kuat dalam digunakan sebagai media pemujaan kepada arwah
benak masyarakat yang tidak mudah dihapus dari leluhur, dengan sebutan hyang atau dahyang.
ingatan. Apabila berkomunikasi dengan roh-roh itu,

78
Fatkur Rohman Nur Awalin, Sejarah Perkembangan dan Perubahan Fungsi Wayang dalam Masyarakat

masyarakat Jawa memerlukan bantuan seorang (“Ada orang menonton atau melihat
syaman. Proses ini merupakan cikal bakal dari wayang menangis, kagum, sedih hatinya.
walaupun sudah mengerti bahwa yang
sejarah wayang yang berasal dari kata hyang,
dilihat hanya kulit dipahat berbentuk orang
kemudian disebut wayang dan syaman adalah dapat bergerak dan berbicara, yang melihat
dalang (Masroer, 2015: 25). wayang umpanya orang yang bernafsu
Dari kepercayaan arwah leluhur mengilhami dalam keduniawiaan yang serba niknat,
mengakibatkan kegelapan hati. Ia tidak
timbulnya cara bagaimana membuat wayang,
mengerti bahwa pada hakikatnya hanyalah
yaitu gambar bayangan para leluhur yang bayangan seperti sulapan, sesungguhnya
sudah meninggal. Gambar bayangan tersebut hanya semu saja”).
pada perkembangannya berdasarkan peradaban Berdasarkan uraian tersebut mengilustrasikan
manusia dinamakan wayang (Sunarto, 1989: orang yang sedang menonton wayang sampai
16-17). Penegasan paradigma makna wayang merasakan suasana dalam pergelaran wayang.
adalah bayangan. Makna wayang sebagai Uraian tersebut mengindikasikan wayang sudah
bayangan mengalami perubahan makna seiring menjadi tontonan masyarakat yang digemari.
perkembangan dalam masyarakat. Wayang tidak Wayang sudah menyuguhkan tontonan yang
lagi dimaknai sebagai bayangan namun wayang atraktif dan mampu menyihir para penonton
dimaknai sebagai pertunjukan panggung atau sehingga para penonton dengan khusuk menyimak
teater (Guritno, 1988: 30). pagelaran wayang. Walaupun sebenarnya yang
Pada dasarnya pertunjukan wayang adalah dilihat hanya boneka yang diukir, yang digerakkan
sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa kuno, oleh sang dalang dan pergelaran wayang masih
yang pada saat itu masih menganut kepercayaan sederhana dengan peralatan yang minim.
kepada arwah leluhur. Pada masa itu para Perkembangan seni pewayangan mengalami
pendahulu kita telah membuat alat-alat pemujaan penyesuaian paradigmatis ketika bangsa Nusan­
berupa arca sebagai media untuk memanggil roh- tara kontak budaya dengan negara lain, ditandai
roh atau arwah nenek moyang yang dinamakan masuknya kebudayaan India dengan agama Hindu
hyang (Marsaid, 2016: 60). di Nusantara. Wayang semakin berkembang,
Pemaknaan wayang sebagai pertunjukan dengan mengambil cerita dari kitab Mahabharata
panggung atau teater berkorelasi dengan puncak dan Ramayana. Mahabharata di India yang isinya
kesenian pewayangan di Jawa, yakni pada tahun berkaitan dengan dharma.
907 Masehi dan abad XI. Pergelaran wayang Masuknya kebudayaan Hindu ke Jawa
dipergelarkan dan menjadi daya tarik bagi yang membawa pengaruh pada pentas bayangan dan
menontonnya. Pokok pergelaran wayang sifatnya cerita wayang. Kitab Mahabharata dan Rama­
masih magis-religius. Alat-alat pendukung yang yana mulai dikenal setelah ditulis dalam bahasa
digunakan masih sederhana dan gendhing- Jawa Kuna yang bercampur dengan bahasa
gendhing yang mengiringi masih bernuansa Sansekerta pada masa pemerintahan Dyah
Hindu (Mulyono, 1989: 57). Balitung Raja Mataram I (892-910). Orang
Pemvisualisasian pertunjukan atau perge­ Jawa menerima pengaruh agama Hindu karena
laran wayang terdapat dalam kakawin “Arjuna- berprinsip toleransi agama, maka terjadi fusi
Wiwaha” karya Mpu Kanwa, Prabu Airlangga kepercayaan. Pertunjukan wayang yang semula
1030 Masehi. Ditulis dalam pupuh (bait) Cikharini menceritakan mitos nenek moyang berganti ke
pupuh kaping 9: epos Mahabharata dan Ramayana karena ada
“Hanonton ringgit manangis asekel mudha kesamaan, yaitu memuja dewa-dewa. Dewa-dewa
hidhepan huwus wruh tuwin yan walulang
pada epos Mahabharata dan Ramayana lebih
inukir molah angucap hatur ning wang
tresneng wisaya malaha ta wihikana ri konkret sehingga lebih mudah dirasakan. Orang
tatwa nyan maya sahana-hana ning bawa Jawa mengadopsi dewa dan pahlawan India dan
siluman”. mencampurnya dengan mitos kuno tentang asal-

79
Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 1, Agustus 2018

usul dan kepahlawanan nenek moyang, maka Dalam Prasasti Wahara Kuti tahun 762 saka (804
terjadi akulturasi Hindu ke Jawa dan proses M) dan Prasasti Mantyasih 826 saka (904 M)
Jawanisasi budaya Hindu. Cerita wayang yang ditemukan kata “hatapukan” atau “matapukan”.
merupakan fusi Jawa-Hindu kemudian ditulis dan Dalam Prasasti Candi Perot tahu 772 saka (850
dikenal orang sebagai sumber cerita wayang, dan M) ditemukan kata “manepel” dan Prasasti
sering disebut sebagai wiracarita Mahabharata Wilamaasrama tahun 952 saka (930 M) ditemukan
dan Ramayana (Nurgiyantoro, 2011: 115). kata “wayang wwang”.
Berdasarkan sumber dari prasasti setidaknya
B.2. Sumber Sejarah Wayang dapat dilacak keberadaan wayang, yakni sekitar
Data akurat mengenai sumber-sumber sejarah abad IX sudah ada wayang. Wayang sudah
wayang dapat ditelusuri dari berbagai sumber dipentaskan digunakan sebagai ritus religius.
sejarah, yakni prasasti, kepustakaan Jawa Kuna Bentuk wayang masih sederhana dan peralatan
ataupun dari relief di candi-candi. Penelusuran penunjang wayang juga masih sederhana.
sumber sejarah wayang berdasarkan pemaparan Masyarakat sangat antusias dengan pergelaran
Timoer, (1988: 33-48), adalah berdasarkan wayang. Wayang menjadi hiburan yang merakyat.
prasasti dan kepustakaan Jawa Kuna. Adapun Wayang berkembang dan tumbuh akibat peran
penjelasan dari sumber-sumber tersebut adalah serta dari keraton, yang artinya adalah penguasa.
sebagai berikut:
B.2.a. Prasasti B.2.b. Kepustakaan Jawa Kuna
Prasasti yang menyebutkan adanya peng­gu­ Sumber sejarah wayang selanjutnya adalah
naan nama “mawayang” adalah prasasti pada za­ dari kepustakaan Jawa Kuna. Dalam lontar kaka­
man Prabu Dyah Balitung tahun 829 Saka (709 M). win “Arjuna Wiwaha” karangan Mpu Kanwa
“...sinalu macarita bhima kumara mangingal pada masa Prabu Airlangga kurang lebih tahun
kicaka/si jaluk macarita Ramayana/ mamirus
1030 masehi, di tulis di pupuh Cikharini kaping
mabanol si muk muk/ si galigi mawayang
buat hyang macarita bhima ya kumara...”. 9 sebagai berikut:
(“Diadakan pertunjukan, yaitu menyanyi “Hananonton ringgit manangis asekel
(nembang) oleh Sang Tangkil, Hyang si mudha hidhepan huwus wruh tuwin yan
Nalu bercerita Bhima kumara dan menarikan walulang inukir molah angucap hatur ning
Kicaka. Si jaluk bercerita Ramayana, menari wang tresneng wisaya malaha ta wihikana
topeng dan melawak oleh Si Mungmuk. Si ri tatwa nyan maya sahana-hana ning bawa
Galigi memainkan wayang untuk hyang siluman”
(arwah nenek moyang) dengan cerita (“Ada orang menonton wayang, mena­ngis,
(Bhima) kumara”). sedih, kacau hatinya. Telah tahu pula, bahwa
kulit yang dipahatlah yang bergerak dan
Prasasti tersebut memuat peristiwa pen­
bercakap itu. Begitulah rupanya orang yang
ting, yakni terkait dengan digelarnya pentas lekat akan sasaran indera, melongo saja,
pewayangan. Dalam prasasti tersebut diterangkan sampai tak tahu, bahwa pada hakikatnya
pementasan pergelaran wayang yakni menyanyi mayalah segala yang ada, sulapan belaka”).
(menembang), bercerita dan memainkan wayang. Selanjutnya dalam kakawin Wrtasancaya
Sisi menariknya adalah memainkan wayang karangan Mpu Tanakung, di pupuh 93 “madaraka”
untuk arwah nenek moyang, dapat dikatakan sebagai berikut:
wayang digunakan sebagai ritus religius. Dengan “Lwir mayawang tahen gati nikang wukir
demikian pada masa tersebut sudah ada pentas Kineliran himawang anipis
wayang, digemari oleh masyarakat, digunakan Bungbung ikang petung kapawanan
sebagai ritus religius dan yang menyelenggarakan Yateka tudunganya munyangarangin,
adalah orang penting (raja). Paksi ketur salundinganika
Prasasti lain yang mengindikasikan diguna­ Kinangsyani pamangsuling kidang alon.
kannya kata “wayang” dengan nama “ringgit” (“Ketika itu pemandangan alam sangat indah
adalah Prasasti Jaha tahun 762 saka (840 M). dan permai selaras adanya. Gunung-gunung

80
Fatkur Rohman Nur Awalin, Sejarah Perkembangan dan Perubahan Fungsi Wayang dalam Masyarakat

bertanaman penuh, Pohon-pohonnya laksana teliti. Dapat dikatakan prasasti merupakan sumber
wayang kulit yang ditancapkan pada gedebog. sejarah yang otentik. Prasasti jumlahnya banyak
Mega tipis yang hampir tak kelihatan
dan bertebaran di mana-mana. Setiap kerajaan
meliputi alam laksana kelir. Bambu-bambu
petung berlobang tertiup angin menimbulkan yang ada di Nusantara dapat dipastikan ada
bahana laksana tudungan (suling) yang prasastinya. Prasasti merupakan suatu penanda
seakan-akan datangnya dari jauh, sangat peristiwa penting. Sumber sejarah selanjutnya
menarik hati. Suara gemak terdengar laksana
adalah kakawin sebagaimana yang telah diuraikan
suara kempul gong. Di antara kesemuannya
itu suara teriakan kijang dari jauh terdengar di atas (Zoetmulder, 1985: 385).
sayup-sayup menyamai bunyi saron yang Dengan demikian dengan merujuk sumber-
dipukul imbal (bergantian). Suara burung sumber sejarah dari prasasti dan kakawin dapat
merak yang melampiaskan hasrat asmaranya,
dipertanggungjawabkan kesahihannya. Perujukan
suaranya terdengar sangat merdu laksana
lagu madraka yang meluluhkan hati”). dengan prasasti dan kakawin berdasarkan
Berdasarkan penelusuran dari dua sumber penelitian para ahli yang sudah mensahihkan
sejarah, yakni prasasti dan kepustakaan Jawa prasasti maupun kakawin sebagai sumber
Kuna yang diambilkan dari beberapa kakawin, sejarah. Sebagai sumber sejarah prasasti di tulis
yakni Arjuna Wiwaha, Wrtasancaya, Kitab Tantu dengan cermat dan teliti, dengan kecermatan dan
Pagelaran, sampai pada kakawin Bhatarayuda ketelitian tingkat akurasi prasasti tinggi. Sesuatu
pada zaman Majapahit. Sumber sejarah itu dapat yang di tulis ke dalam prasasti merupakan
digunakan untuk mengambil suatu hipotesa tentang penanda adanya suatu peristiwa penting pada
keberadaan wayang. Berdasarkan sumber wayang zamannya. Wayang kalau ditulis ke dalam prasasti
sudah ada sejak abad kurang lebih IX. Walaupun merupakan peristiwa yang penting.
jauh sebelum abad IX sudah ada wayang dalam
bentuk yang sederhana dan sebagai medium B.3. Perkembangan Wayang
menyembah arwah nenek moyang. Dengan Wayang dari bentuknya yang sederhana
merujuk sumber sejarah prasasti dan kakawin kemudian menjadi bentuk yang sekarang ini
dapat diketahui wayang itu berkembang dan telah mengalami perkembangan menyesuaikan
terdapat evolusi dalam wayang. Sifatnya wayang zamannya dan adanya evolusi. Berikut
adalah dinamis menyesuaikan sosiokultural perkembangan wayang dari zaman ke zaman
masyarakatnya. Secara psikologis wayang tidak berdasakan Salam, (1988: 36-41) sebagai berikut:
bisa hilang dalam benak masyarakat. a. Prabu Jayabaya di Mamenang menggambar
Wayang pada abad IX merupakan wayang leluhurnya kemudian dinamakan “wayang
dalam wujud yang lebih sempurna. Wayang purwa”. Prabu Jayabaya kemudian dikenal
sudah dipentaskan, digelar yang menonton sebagai pencipta wayang pertama kali.
adalah masyarakat. Wayang pada masa tersebut Prabu Jayabaya adalah raja dari Kerajaan
sudah mewujud dalam bentuk wayang yang Kahuripan, Kediri, yang memerintah tahun
dipentaskan. Pementasan wayang pada masa itu 1135-1157. Pada masa ini juga mulai ada
masih sederhana dan kegunaannya masih sama, pertunjukan wayang.
yakni bersendikan magis-religius, salah satunya b. Padan tahun 1145, pada masa Raden Panji
sebagai upacara keagamaan. Kasatrian menjadi raja di Kerajaan Jenggala
Sumber sejarah dari prasasti mempunyai yang bergelar Prabu Surjamisesa, diadakan
bobot sejarah yang tinggi yang dapat pertunjukkan wayang purwa. Dalang dari
dipertanggungjawabkan. Menulis di prasasti pertunjukkan wayang tersebut adalah Raden
mempunyai tujuan mencatat dengan cermat Panji Kasatrian sendiri. Pada zaman ini
dekrit raja, tanggal dekrit raja, para pejabat yang wayang kulit purwa menggunakan iringan
melakukan upacara-upacara magis-religius, gamelan slendro dan menggunakan suluk
semua ihwal tersebut dicatat dengan rinci dan sekar ageng.

81
Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 1, Agustus 2018

c. Pada tahun 1166, ketika Kerajaan Jenggala gedog mirip dengan wayang purwa.
sudah hancur, yang menjadi raja adalah j. Tahun 1486, Sunan Bonang membuat wa­
Prabu Maesakandremen yang bertempat di yang gedog, menggunakan tabuhan rebab,
Kerajaan Pajajaran. Ia juga menciptakan kendang, terbang, angklung, kenong dan
wayang purwa yang mirip dengan wayang keprak.
purwa buatan dari Jenggala. k. Pada tahun 1505, masa Jaka Tingkir menjadi
d. Pada tahun 1283, masa kerajaan Majapahit Sultan di Pajang yang bergelar Sultan Hadi­
yang menjadi raja adalah Raden Jaka Sesuruh wijaya, membuat wayang purwa dengan
bergelar Prabu Branata. Ia membuat wayang melakukan sedikit perubahan.
purwa yang digambar pada kertas yang lebar. l. Pada tahun 1542, ketika Panembahan
Wayang tersebut kemudian disebut sebagai Senopati menjadi raja di Mataram, membuat
wayang beber. wayang purwa dengan dasarnya wayang
e. Ketika masa kerajaan Majapahit yang ciptaan Pajang.
menjadi raja adalah Prabu Brawijaya I, ia m. Pada tahun 1552, pada masa Sunan Prabu
menugaskan anaknya untuk menggambar Cakrawati di Mataram, membuat wayang
bentuk dan corak dengan beraneka warna purwa dengan dasarnya dari wayang kidang
menurut adegan masing-masing. Prabu kencana, tetapi sedikit dilakukan perubahan.
Brawijaya I menugaskan hal tersebut n. Ketika yang menjadi raja di Mataram
kepada anaknya karena anaknya pandai (Mataram III) adalah Sunan Kanjeng Sultan
menggambar. Masa pembuatan wayang Agung, juga membuat wayang purwa.
tersebut terjadi pada tahun 1301. Semenjak Perkembangan wayang sebagaimana dirinci
masa itu, setiap pergantian raja, wayang juga merupakan hasil evolusi dalam jangka waktu yang
mengalami perubahan wujud dan bentuk. panjang. Wayang selalu dikreasi, direkonstruksi
f. Pada tahun 1443, berdasarkan usulan dari wujud yang sederhana menjadi wujud yang
Sunan Kalijaga, para wali menciptakan lebih sempurna. Perubahan bentuk pada wayang
wayang purwa dan dibuat satu-satu. Adapun yang semula en face, kemudian berubah menjadi
bahan untuk membuat wayang adalah kulit en trois quart dan menjadi en profil. Evolusi pada
kambing. Masing-masing wayang dijapit wayang di pengaruhi perubahan sosial budaya
satu-satu yang berguna untuk tempat pada masanya.
menancapkan. Sedangkan tangan wayang Perubahan wayang yang rekonstruktif dan
masih diiris seperti wayang Bathara Guru. paradigmatis dikatakan oleh para ahli karena
g. Pada tahun 1447, masa R. Trenggono menjadi masuknya agama Islam yang berkembang di Jawa.
Sultan III dikerajaan Demak, menyem­ Perubahan pada wayang beralih dari yang realistik-
purnakan wayang purwa dengan menatah naturalistik (en face) menjadi abstrak dekoratif dan
mulut, mata, dan telinganya. abstrak simbolik. Dalam teori seni wayang adalah
h. Pada tahun 1480, ketika Sunan Ratu Tunggal gambar ideoplastik, bukan visioplastik. Gambar
di Giri mewakili raja di Demak, membuat dalam wayang bukan terlahir dari pengamatan
perubahan terhadap wayang purwa. Wujud visual akan tetapi hasil dari ekspresi pembuatnya.
wayang diperkecil dan kemudian disebut Berpijak pada teori Herbert Read sebagaimana
sebagai wayang kidang kencana. Dalam wa­ yang dikutip Sulanjari,2 wayang berasal dari alam,
yang kidang kencana yang perempuan diberi kemudian ditransfer dalam bentuk gambar tetapi
perlengkapan anting-anting, kroncong, dan
sebagainya. Sedangkan wayang laki-laki 2 Sulanjari, Bambang. 2015. Wayang Kulit dari Sisi
Sejarah, Ikonografi, dan Lakon: Menuju Pemahaman
ram­butnya ada yang dikonde dan ada yang Komprehensif. 13 Mei 2015. http://ikadbudi.uny.ac.id/
tidak.­ informasi/wayang-kulit-dari-sisi-sejarah-ikonografi-
i. Tahun 1485, Sunan Giri membuat wayang dan-lakon-menuju-pemahaman-komprehensif, diunduh
tanggal 7 September 2017.

82
Fatkur Rohman Nur Awalin, Sejarah Perkembangan dan Perubahan Fungsi Wayang dalam Masyarakat

tidak melalui pengamatan visual. Dapat dikatakan yang ditujukan untuk roh leluhur bagi penganut
wayang adalah hasil ekspresi apa yang telah kepercayaan “hyang”. Selanjutnya, wayang
dilihat, didengar dan didengar oleh penciptanya. mengalami pergeseran peran, yaitu sebagai
Bentuk wayang yang unik akibat dari pencipta media komunikasi sosial. Dalam lakon-lakon
yang ingin merekam alam dengan selengkap- yang ditampilkan dalam perwayangan biasanya
lengkapnya. Misal kalau melihat bentuk wayang menyimpan beberapa nilai, seperti pendidikan,
lima jari kaki yang dilukiskan apa adanya. kebudayaan dan ajararan-ajaran dari filsafat Jawa.
Wayang adalah manifestasi multi-seni, di Peran ini lambat laun mengalami pergeseran,
dalamnya terdapat kebulatan, kesatuan dalam hingga wayang hanya sebatas hiburan atau
penciptaan, penyajian dan pemirsaan. Wayang tontonan (Masroer, 2015: 45-46).
dibuat untuk dipentaskan, sehingga perubahan Ditinjau dari aspek seni pertunjukan fungsi
yang terjadi pada satu unsurnya akan terasa dan peran pertunjukan wayang purwa dapat
pengaruhnya pada unsur lain. Kebulatan ini dirinci sebagai berikut:, (1) sebagai sarana ungkap
kemudian disepakati dan dipahami bersama orang Jawa dalam memahami alam semesta, baik
sebagai sesuatu yang sempurna. Wayang sebagai rohani maupun bendawi:, (2) penghubung antara
simbol yang telah disepakati, oleh karena itu budaya tradisional klasik (baca kraton) dengan
akan melahirkan kontroversial. Perubahan itu budaya tradisional kerakyatan; serta, (3) frame of
akan membentuk sesuatu yang baru, bukan referance dalam menyeimbangkan ekspresi moral
menyempurnakan yang telah ada (Sedyawati, (etika), keindahan seni (estetika), peribadatan
1981: 29-30). (devosional), dan hiburan (Murtiyoso, 2017: 77).
Wayang terus dikembangkan dan dikreasikan. Apabila ditinjau dari aspek wayang
Para seniman wayang melakukan berbagai diartikan sebagai bayangan adalah:, (1) Semua
eksperimen, menyajikan wayang yang menarik wayang dipentaskan pada waktu malam hari
untuk di pentaskan. Misalnya bentuk wayang yang dengan menggunakan penerangan yang disebut
dipentaskan oleh Almarhum Ki Enthus Susmono, “blencong”. Deskripsi “blencong” adalah
dalang kondang dari Tegal Jawa Tengah. Selain lampu diatasnya dalang untuk menerangi
sebagai dalang Almarhum Ki Enthus Susmono pementasan wayang. Efek cahaya blencong
pernah menjabat sebagai Bupati Tegal, Provinsi menimpa gambar yang ada di depan kelir (layar)
Jawa Tengah. Setiap pementasannya menyajikan sehingga menghasilkan bayangan di atas layar.
bentuk-bentuk wayang yang atraktif dan menarik. Bayangan itulah yang disebut dengan wayang
Misal menciptakan wayang Jokowi, Ahok, dan atau pertunjukan:, (2) Wayang sebagai lambang
sebagainya. Dengan demikian wayang terus perikehidupan manusia. Dewasa ini melihat
berkembang dan dinamis menyesuaikan dengan wayang dapat dilakukan dari dua arah pandang,
perubahan sosikultural dalam masyarakat. yaitu depan kelir dan belakang kelir. Menurut
bagian yang di depan kelir yaitu bagian yang
B.4. Fungsi Wayang terang melambangkan suatu kehidupan di alam
Fungsi wayang dapat ditinjau dari berbagai fana, sedang di belakang kelir atau bagian gelap,
multipersepektif. Fungsi wayang adalah sebagai melambangkan kehidupan di alam baka:, (3)
media efektif dalam menyampaikan pesan, Wayang sebagai lambang perwatakan manusia.
informasi dan pelajaran. Wayang dulu digunakan Pada waktu melihat pementasan wayang, kita
sebagai media efektif dalam menyebarkan agama dapat melihat bermacam-macam bentuk figur
mulai dari agama Hindu sampai agama Islam. wayang. Perbedaan tersebut bukanlah hanya segi
Karena begitu luwesnya wayang hingga saat ini visualnya saja melainkan pesan yang terdapat
eksistensinya masih kuat dan digunakan untuk pada bentuk figur tersebut juga akan berlainan.
berbagai keperluan. Misalnya tokoh Janoko yang mempunyai bentuk
Fungsi asalnya, wayang merupakan ritual figur luruh sebagai lambang dari watak kesatria

83
Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 1, Agustus 2018

yang rendah hati akan berlainan dengan bentuk dapat belajar tentang kepemimpinan, keberanian,
Drona yang licik (Sastroamijoyo, 1964: 125). keteguhan hati, kejujuran, ketulusan hati. Selain
Wayang sebagai seni dekoratif merupakan itu dari wayang bisa bercermin dari sifat angkara
ekspresi kebudayaan nasional. Wayang sebagai murka yakni tamak, iri dengki, bengis, serakah
media pendidikan, berdasarkan tinjauan isi dan ambisius.
wayang yang banyak memberikan ajaran
moralitas kepada masyarakat. Wayang sebagai C. METODE
media pendidikan memfokuskan pada pendidikan Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
moral dan budi pekerti. kualititatif mengenai sejarah perkembangan
Wayang sebagai media komunikasi, dari wayang dalam mayarakat, dengan dukungan studi
aspek penampilan wayang merupakan media pustaka serta pengamatan terhadap pergelaran
yang komunikatif dalam masyarakat. Wayang wayang. Metode kualitatif merupakan prosedur
digunakan sebagai sarana memahami suatu tradisi, dalam penelitian yang menghasilkan data
pendekatan kepada masyarakat, penerangan dan deskriptif, yakni berupa kata-kata yang dapat
penyebarluasan nilai-nilai. Sedangkan wayang dituliskan dari orang-orang yang berperi laku
sebagai media hiburan, wayang difungsikan yang dapat diamati. Pengumpulan data dilakukan
sebagai sarana hiburan, tontonan bagi masyarakat dengan menggunakan latar alamiah dan holistik.
yang bisa digunakan berbagai macam keperluan Metode deskriptif kualitatif yang dimaksud
sarana hiburan. adalah memahami fenomena tentang apa yang
Dari tinjauan multiperspektif fungsi dialami oleh subjek penelitian, yakni perilaku,
wayang, wayang merupakan sarana, media untuk persepsi, motivasi, dan tindakan. Caranya adalah
pembentuk manusia seutuhnya. Fungsi wayang dalam bentuk kata-kata dan bahasa dengan
adalah sarana pembentuk manusia seutuhnya memanfaatkan metode ilmiah (Moleong, 2013:
berdasarkan nilai-nilai dalam wayang. Hal ini 5-6).
sejalan dengan wayang adalah kesenian adiluhung. Metode deskriptif digunakan untuk menaf­
Korelasi wayang sebagai sarana pembentuk sirkan, menggambarkan dan mendeskripsikan
manusia seutuhnya, yakni diambilkan dari nilai- sejarah perkembangan dan perubahan fungsi
nilai dalam wayang adalah sarana pembentuk wayang dalam masyarakat sesuai dengan fakta.
pendidikan karakter. Pendidikan karakter Metode deskriptif digunakan untuk memperoleh
merupakan suatu yang urgen dan fundamental, data yang bersifat naturalistik, tanpa ada dalam
dengan adanya pendidikan karakter dapat kondisi tertentu dan hasilnya adalah menekankan
membentuk pribadi yang mempunyai perilaku makna. Dengan menggunakan metode deskriptif
baik. Menurut Lickona, karakter berkaitan hasil dari kajian sejarah perkembangan dan
dengan konsep moral (moral knowing), sikap perubahan fungsi wayang dalam masyarakat dapat
moral (moral felling), dan perilaku moral (moral di deskripsikan secara mendalam, mendetail dan
behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat holistik.
dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung Sumber data dalam kajian ini yang digu­
oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan nakan adalah buku karangan, Wayang Kulit dan
untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan Perkembangannya (Soetarno dan Sarwanto,
kebaikan (Dewabrata, 2011: 1-2). 2010). Buku tersebut membahas perkembangan
Wayang sebagai media pendidikan karakter dan perubahan dalam wayang kulit. Sebagai
tidak hanya terletak pada unsur ceritanya, cara pelengkap digunakan literatur lainnya yang ada
pentas, instrumen, seni pedalangan, namun sangkut pautnya dengan objek kajian, di antaranya
perwujudan gambar wayang dari masing-masing Wayang Kulit Purwa, Dalam Pandangan Sosio-
tokoh wayang. Perwujudan tokoh wayang dapat Budaya, (Sunarto, 2009).
menggambarkan watak seseorang. Dari wayang Berdasarkan atas studi pustaka selanjutnya

84
Fatkur Rohman Nur Awalin, Sejarah Perkembangan dan Perubahan Fungsi Wayang dalam Masyarakat

dilakukan observasi terhadap pergelaran wayang. mendorong terjadinya perubahan yang besar di
Observasi (pengamatan), adalah aktivitas dalam berbagai bidang kebudayaan, baik menyangkut
proses untuk mengamati objek kajian dengan perilaku manusia maupun hasil budayanya.
tujuan memahami sebuah fenomena berdasarkan Wayang mengalami perubahan besar mengalami
pengetahuan dan gagasan yang sudah dipelajari, perubahan secara total, baik menyangkut wujud
untuk mendapatkan informasi-informasi yang maupun nilai yang terkandung dalam wayang
dibutuhkan. Observasi dilakukan dalam rangka (Sunarto, 2006: 16-17).
mengamati objek kajian untuk memperoleh Di Jawa, wayang kulit dimanfaatkan dan
informasi pendukung dalam kajian ini, yakni dipergunakan untuk media dakwah agama Islam.
perkembangan wayang kulit dan perubahan fungsi Wayang mengalami transformasi dalam aspek
wayang dalam masyarakat. Data yang diamati visual dan aspek pendukung lainnya seperti
adalah pagelaran wayang kulit purwa di daerah karawitan, sastra dan sebagainya. Perkembangan
Tulungagung, Jawa Timur. Adapun pagelaran wayang melibatkan peranan dan pengaruh para
wayang yang di amati adalah pagelaran wayang ulama sufi dan pihak penguasa lokal yang telah
Ki Eko Kondho Prisdianti dari Boyolangu, memeluk Islam. Walisanga terlibat intensif dalam
Tulungagung Jawa Timur dan Ki Sun Gondrong, mengembangkan wayang, terutama Susuhunan
Miri Gambar, Tulungagung Jawa Timur. Dua Kalijaga dan putranya Susuhunan Panggung.
dalang ini yang terkenal atau kondang di daerah Mereka berusaha keras untuk mendiplomasikan
Tulungagung. antara seni wayang yang berbau non-Islam
Untuk menganalisa data yang sudah di dengan ajaran Islam. Berkat peranan mereka,
kumpulkan menggunakan deskriptif analisis. seni wayang kulit oleh sebagian pihak dimaknai
Deskriptif analisis dimaksudkan memberikan mengandung ajaran Islam (tarekat) dalam tiap
deskripsi mengenai subjek penelitian berdasarkan aspeknya, meskipun masih berkisah tentang epik
data yang telah diperoleh. Tujuan deskriptif India Hindu-Buddha (Koesoemadinata, 2013: 70).
analisis adalah membuat penjelasan secara Wayang sebagai kesenian adiluhung, pada
sistematis, faktual, akurat mengenai fakta-fakta abad XIV pada masa Islam berkembang pesat di
yang ada yang ditemukan peneliti. Nusantara yang disebarluaskan oleh walisanga
dijadikan media dakwah yang efektif dan strategis.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN Para wali bersepakat menggunakan wayang
D.1. Perkembangan Wayang dalam Masyarakat sebagai media dakwah. Para wali merekonstruksi
Masuknya agama Hindu di Nusantara wayang dari Hinduistis ke Islamistis. Bentuk dan
disusul dengan masuknya agama-agama lain wujud wayang dipadukan dengan syariat Islam
yakni Buddha dan Islam. Sebagaimana agama supaya tidak bertentangan. Wayang yang aslinya
Hindu yang menggunakan wayang sebagai media gambaran wajah manusia menghadap kedepan
dakwahnya, agama Buddha juga menjadikan diubah menjadi miring dan pipih (Poespaningrat,
wayang sebagai media dakwah mengembangkan 2005: 190).
ajarannya. Dapat dikatakan wayang hingga menjadi
Ketika agama Islam berkembang, mubaligh bentuk saat ini adalah hasil evolusi, perubahan-
Islam yang kemudian dinamakan walisanga perubahan dan hasil rekonstruksi pada masa
menggunakan wayang dan gamelan sebagai media Islam berkembang di Jawa yang diprakarsai oleh
dakwah ditransformasikan menjadi kesenian para wali. Wayang menjadi media yang strategis
bernafaskan keislaman, wayang dilaraskan dalam mengembangkan suatu ajaran. Wayang
dengan ajaran-ajaran dalam agama Islam yang tidak hanya sebagai tontonan media hiburan tanpa
bersendikan Islam tasawuf (Hadiatmaja dan makna, namun juga sebagai tuntunan yang isinya
Endah, 2010: 139-140). Kedatangan agama ada nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman
Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa, dalam kehidupan, sehinga wayang menjadi

85
Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 1, Agustus 2018

filosofi kehidupan atau filsafat kehidupan. Surakarta (Solo).


Secara konseptual sejarah perkembangan Perhatian keraton terhadap perkembangan
wayang adalah perpaduan dari beberapa unsur pedalangan di buktikan dengan didirikannya
kebudayaan yang masuk di Indonesia (Jawa). pendidikan formal dalang yang di kelelola
Kebudayaan yang masuk ke Indonesia adalah dengan profesional. Di Surakarta atas prakarsa
kebudayaan India dengan Agama Hindu-Buddha Paku Buwono X (1893-1939) yang dinamakan
dan Islam dengan tasawufnya. sehingga unsur Pasinaon Dhalang Ing Surakarta kemudian
kehinduan dalam wayang tidak dihilangkan, di singkat PADHASUKA berdiri tahun 1923,
unsur-unsur kehinduan tetap dipertahankan. bertempat di Museum Radya Pustaka.
Cerita wayang mengambil dari epos Mahabharata- Berdirinya sekolah pedalangan di Surakarta
Ramayana, alur ceritanya tetap tidak berubah. memantik Keraton Ngayogyakarta untuk men­
Perubahannya terletak dalam paradigma wa­yang dirikan sekolah pedalangan. Atas inisiatif dan
yakni sufisme atau tasawuf. Para wali mere­ perintah Sri Sultan Hamengku Buwana VIII
konstruksi wayang dari Hinduistis ke Islamistis. (1912-1939), pada tahun 1925 didirikan pendi­
Bentuk dan wujud wayang di padukan dengan dikan dalang dengan tradisi keraton Ngayo­
syariat Islam supaya tidak bertentangan. Wayang g­
yakarta yang dinamakan Hambiwarakake
yang aslinya menghadap ke dapan diubah menjadi Rancangan Andhalangan, terkenal dengan nama
miring dan pipih (Poespaningrat, 2005: 190). HABIRANDHA.
Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam kong­ Bentuk pakeliran wayang tradisi keraton
res wayang 2005 mengatakan wayang dipadukan mengutamakan nilai estetis, Umar Kayam
dengan ajaran agama Islam dengan mengambil mengatakan tradisi agung. Sedangkan di luar
cerita babon Hinduistis menjadi Islamistis. keraton pedalangan yang berkembang di nama­
ben­tuk wayang dirombak total sehingga tidak kan tradisi kecil yakni pola kebudayaan dari
bertentangan dengan ajaran Islam. Karena Islam masyarakat pertanian atau komunitas kecil. Dua
yang masuk dalam tanah Jawa merupakan Islam kebudayaan dalam pakeliran pewayangan terdapat
bercorak tasawuf, cerita wayang serasa sufistis. perbedaan yang paradigmatis. Perbedaan dua
Penerapan akidah, syariah bersifat aplikatif, kebudayaan dalam pakeliran pewayangan seiring
fikih dan ketahuidan dibungkus dengan berbagai berkembangnya teknologi dan perubahan sosial
simbol yang multitafsir. dalam masyarakat membawa implikasi yang
Dari aspek perjalanan sejarah kerajaan- signifikan, yakni kehidupan kesenian pertunjukan
kerajaan di Jawa. Keraton mempunyai fungsi wayang. Kehidupan pewayangan terjadi dialog
strategis dalam perkembangan seni pertunjukan atau komunikasi antara tradisi kecil dan tradisi
wayang. Munculnya gaya-gaya pedalangan agung. Keterpaduan antara budaya keraton dan
di ilhami oleh kehidupan kraton Jawa yakni budaya rakyat terekspresi dalam pertunjukan
kerajaan Mataram yang terbagi menjadi dua wayang kulit semenjak munculnya dalang
kerajaan. Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan Nartasabda (1960). Kemunculan Nartosabdo
Ngayogyakarta Hadiningrat, yang membawa dalam jadad pakeliran pewayangan membawa
perkembangan dua gaya pedalangan yakni gaya implikasi terhadap dalang-dalang lainnya dalam
pedalangan Surakarta dan gaya pedalangan menggarap seni pedalangan (Soetarno dan
Ngayogyakarta atau Mataram. Di sisi lain juga Sarwanto, 2010: 65-66).
ada gaya pedalangan kerakyatan yang hidup di Dengan demikian laju perkembangn yang
desa-desa. Pada perkembangannya dua gaya progresif dari ilmu, teknologi dan ekonomi ikut
dalam pedalangan yakni gaya Ngayogyakarya dan mempengaruhi perkembangan dalam wayang.
gaya Surakarta populer di masyarakat pendukung Wayang yang semula mengutamakan nilai-nilai
pewayangan. Sampai saat ini masyarakat familiear estetis dan respek terhadap tradisi pedalangan,
dengan dua gaya pedalangan Ngayogyakarta dan sekarang wayang tercampuri dengan kebudayaan

86
Fatkur Rohman Nur Awalin, Sejarah Perkembangan dan Perubahan Fungsi Wayang dalam Masyarakat

Industri. Wayang hanya tontonan saja mulai praktis mementingkan unsur hiburan. Hal
meninggalkan nilai-nilai estetis dalam wayang. tersebut berdampak dalam pertunjukan wayang
yang cenderung memenuhi permintaan pasar
D.2. Perubahan Fungsi Wayang dalam dan cenderung glamour, lekoh, gobyog, mlaha.
Masyarakat Dengan sendirinya pertunjukan wayang tercerabut
Perubahan fungsi wayang dalam masyarakat dan mengabaikan nilai estetis dalam wayang
karena adanya pergeseran dalam pertunjukan (Soetarno dan Sarwanto, 2010: 80-81).
wayang yang dipengeruhi arus globalisasi yang Apabila dikomparasikan dengan hasil
progresif dan masif. Berkembangnya teknologi pengamatan di lapangan yang dilakukan di daerah
komunikasi modern membawa dampak ke Tulungagung, pada bulan Agustus 2017. Ketika
barbagai aspek kehidupan termasuk kesenian. menonton wayangan Ki Eko dan Ki Sun Gondrong,
Sehingga menyebabkan perubahan paradigma ada indikator yang menunjukkan wayangan
dalam kesenian termasuk wayang. Perubahan- sebagai pemenuhan praktis mementingkan unsur
perubahan fungsi wayang dalam masyarakat hiburan. Indikator pertama wayangan dimulai
adalah: pada jam kurang lebih 22.30 WIB, padahal
normalnya dimulai antara jam 21.00-21.30 WIB.
D.2.a. Perubahan Pakeliran Wayang Kedua adalah ketika selesai limbukan yang
Perkembangan pembangunan pada abad pada awalnya penontonnya membludak, ketika
XXI membawa dampak yang siginifikan selesai limbukan semua penonton berduyun-
bagi kehidupan bangsa Indonesia. Dampak duyun pulang. Indikator-indikator menunjukkan
pembangunan yang kentara bagi bangsa Indonesia pentas pewayangan di Tulungagung Jawa Timur
adalah permasalahan dalam segala aspek adanya suatu pergeseran yakni perubahan fungsi
kehidupan. Salah satu dampak yang menonjol wayang dalam masyarakat. Fungsi wayang dalam
adalah terjadinya perubahan sistem nilai. Nilai- masyarakat khususnya di daerah Tulungagung
nilai baru yang masuk dalam kehidupan bangsa Jawa Timur digunakan sebagai hiburan pemenuhan
Indonesia belum bisa dikatakan mantap dalam pasar. Pakeliran wayang dibuat menarik, atraktif
hal mengarahkan fungsinya sebagai acuan dan glamour, sehingga penonton merasa senang
kehidupan bangsa Indonesia. Sehingga yang dan terhibur.
terjadi adalah perongrongan nilai-nilai budaya Dimulainya pentas pewayangan kira-kira
tradisional, konsekuensi logisnya menimbulkan pukul 22.30 WIB mengindikasikan dari sisi lakon
ketidakpastian fundamental dalam bidang norma pewayangan hanya disampaikan singkat. Lakon
dan nilai. Perubahan sosial yang cepat dalam wayang yang disampaikan dengan singkat, lakon
masyarakat akan membawa dampak hilangnya jati wayang yang memuat nilai-nilai, filosofi, simbol
diri. Kemajuan teknologi komunikasi membawa dan etika tidak tersampaikan dengan sepenuhnya.
dampak terjadinya persilangan kebudayaan. Pada akhirnya pentas pewayangan bisa dikatakan
Kebudayaan hanya menjadi komoditas industri, tidak mengena pada sasaran untuk menyampaikan
sebagai akibat dari progresifnya kemajuan ilmu pesan nilai yang terkandung dalam wayang.
pengetahuan dan teknologi. Dalang dan unsur-unsurnya terfokus pada unsur
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan menghibur penonton.
teknologi, kebudayaan tidak bisa menghindarkan
diri dari kebudayaan modern. Kebudayaan D.2.b. Perubahan Fungsi Ritual Wayang Kulit
menjadi komoditas industri untuk pemenuhan Purwa
pasar. Konsekuensi logisnya adalah bentuk- Wayang kulit purwa sarat dengan nilai,
bentuk kebudayaan dan kesenian menyesuaikan kandungan nilai dalam wayang kulit purwa berupa
dengan pasar. Dengan demikian suatu kebudayaan ajaran dan nilai estetis yang bersumber dari ajaran
dan kesenian disajikan dalam rangka pemenuhan agama, sistem filsafat dan etika. Ajaran-ajaran

87
Jurnal Kebudayaan, Volume 13, Nomor 1, Agustus 2018

dan nilai-nilai dalam wayang digunakan sebagai yang sejatinya pertunjukan yang adiluhung
acuan dan landasan untuk kelangsungan hidup. memudar. Nilai sakralitas dalam pewayangn
Nilai yang termaktub dalam wayang kulit purwa yang teraplikasikan dalam bersih desa, ruwatan
sudah terbukti keluhurannya, telah lulus dari dan sebagainya jarang dipentaskan. Pertunjukan
berbagai ujian. Konsekuensinya nilai-nilai dalam wayang lebih sering dipentaskan dalam rangka
wayang hingga saat ini masih dianut dan lestari untuk memenuhi kebutuhan pasar, sehingga pentas
dari masa ke masa (Amir, 1994: 125). wayang yang teraplikasikan dalam ruwatan,
Fungsi wayang dari aspek historis digunakan bersih desa dan sebagainya mulai ditinggalkan.
sebagai keperluan ritual. Fungsi ritual dalam
wayang merupakan bentuk pertunjukan yang E. PENUTUP
berasal dari kebudayaan pra-Hindu. Pertunjukan Dari hasil penelitian dan pembahasan kajian
wayang kulit representasi persembahan roh nenek perkembangan dan perubahan fungsi wayang
moyang pada masa pra-sejarah. Dengan demikian dalam masyarakat menunjukkan suatu indikator-
pertunjukan wayang kulit merupakan sutau indikator adanya perkembangan dan perubahan
kegiatan upacara yang berkorelasi dengan masalah fungsi wayang dalam masyarakat. Indikator-
kepercayaan. Kristalisasi dari pertunjukan indikar tersebut adalah adanya perubahan
wayang kulit oleh masyarakat Jawa digunakan sosiokultural dalam masyarakat yang progresif,
sebagai fungsi ritual wayang untuk kepentingan di sisi lain perkembangan teknologi informasi
seperti bersih desa, ruwatan dan lainnya. Fungsi komunikasi juga berdampak signifikasn terhadap
ini masih lestari dalam masyarakat Jawa (Sunarto, wayang. Konsekuensi logisnya adalah menjadi
2009: 98 ). komoditas industri hiburan. Dampak yang dibawa
Wayang sejatinya sarat dengan nilai, adalah kesenian wayang menyesuaikan dengan
kandungan nilai dalam wayang berupa ajaran kebutuhan pasar. Wayang dijadikan industri
dan nilai estetis yang bersumber dari ajaran hiburan bagi masyarakat, nilai-nilai dalam wayang
agama, filsafat dan etika. Wayang secara historis dengan sendiri akan tercerabut sebagai jati diri
di posisikan sebagai ritual yang sakral memuat wayang. Dalam konteks mayarakat Tulungagung
nilai-nilai sakralitas yang teraplikasikan dalam ada suatu fenomena yakni selesai limbukan
ruwatan, bersih desa dan lainnya. Perkembangan penonton berduyun-duyun meninggalkan pentas
seni pertunjukan wayang dipengaruhi oleh kondisi pewayangan. Hanya tinggal beberapa orang dan
sosial, yang berpengaruh terhadap perubahan beberapa orang itu menunjukkan yang mengerti
fungsi seni pertunjukan wayang. dengan pewayangan.
Hal ini apabila di komparasikan dengan Hal ini berdampak pada fungsi wayang dalam
perkembangan wayang di Tulungagung Jawa masyarakat mengalami suatu perubahan, yakni
Timur, fungsi wayang yang sejatinya sarat dengan menyesuaikan dengan kebutuhan pasar, wayang
nilai dan secara historis sebagai ritual mulai sebagai komoditas insdustri huburan yang praktis.
memudar. Pertunjukan wayang di Tulungagung Ditinjau dari sejarah perkembangngan dan fungsi
Jawa Timur lebih mengarah ke pertunjukan wayang yang di fungsikan sebagai sumber nilai,
populer. Hal ini terlihat ketika melakukan estetika dan sakralitas. Fungsi wayang kini
pengamatan pada bulan Agustus 2017. ditinjau dari aspek pakeliran menyuguhkan hal-hal
Masyarakat Tulungagung Jawa Timur pada yang glamuor dan kekinian tanpa memintingkan
umumnya menonton wayang hanya sampai estetika dalam wayang. Fungsi wayang sebagai
pada limbukan yang menyuguhkan lawakan- ritual yang sakral memudar, wayang hanya
lawakan dan nyanyian-nyanyian yang sifatnya dipandang sebagai tontonan yang menarik,
menghibur. Perubahan fungsi wayang dalam sehingga wayang hanya sebagai hiburan atau
masyarakat Tulungagung Jawa Timur mengarah tontonan dan mengarah ke pertunjukan populer.
pada pertunjukan populer. Pertunjukan wayang

88
Fatkur Rohman Nur Awalin, Sejarah Perkembangan dan Perubahan Fungsi Wayang dalam Masyarakat

DAFTAR PUSTAKA Nurgiyantoro, B. 2011. “Wayang Dan


Amir, Hazim. 1994. Nilai-nilai Etis dalam Wayang Pengembangan Karakter Bangsa.” Jurnal
Kulit Purwa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Pendidikan Karakter 1, no. 1, Oktober 2011.
Hlm. 18-34.
Dewabrata, Wisnu. 2011. Superhero Wayang.
Yogyakarta: Crop Circle Crop. Poespaningrat, Pranodja. 2005. Nonton Wayang
dari Berbagai Pakeliran. Yogyakarta: PT.
Guritno, Pandam. 1988. Wayang: Kebudayaan BP KR.
Indonesia dan Pancasila. Jakarta: UI Press.
Sastroamijoyo, Seno. 1964. Renungan Tentang
Koesoemadinata, M.I.P. 2013. “Wayang Kulit Pertunjukan Wayang Kulit. Jakarta: Kinta.
Cirebon: Warison Diplomasi Seni Budaya
Nusantara.” Journal of Visual Art and Design Sedyawati, Edy. 1981. Pertumbuhan Seni
4, no. 2, Desember 2013. Hlm. 142-154. Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.

Hadiatmaja, S. dan Endah, K. 2010. Filsafat Sunarto. 1989. Wayang Kulit Purwa Gaya
Jawa. Yogyakarta: Kanwa Publiser. Yogyakarta: Sebuat Tinjauan entang bentuk,
ukiran sunggingan. Jakarta: Balai Pustaka.
Masroer, Ch. Jb. 2015. “Spiritualitas Islam Dalam
Budaya Wayang Kulit Masyarakat Jawa dan ________. 2006. “Pengaruh Islam dalam
Sunda.” Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama 9, Perwujudan Wayang Kulit Purwa.” Jurnal
no. 1, Januari-Juni 2015. Hlm. 38-61. Seni Rupa dan Desain. No. 3, November
2006. Hlm. 40-51.
Marsaid, A. 2016. “Islam dan Kebudayaan:
Wayang sebagai Media Pendidikan Islam ________. 2009. Wayang Kulit Purwa, dalam
di Nusantara.” Jurnal Kontemplasi 4, no. 1 Pandangan Sosio-Budaya. Yogyakarta:
tahun 2016. Hlm. 102-130. Arindo Offset.

Moleong, Lexy J. 2013. Metode Penelitian Soetarno dan Sarwanto. 2010. Wayang Kulit dan
Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung : PT. Perkembangannya. Solo: ISI Press.
Remaja Rosdakarya. Sulanjari, Bambang. 2017. “Wayang Kulit: Dari
Mulyono, Sri. 1989. Wayang dan Filsafat Sisi Sejarah, Ikonografi, dan lakon, menuju
Nusantara. Jakarta: Gunung Agung. pemahaman komprehensif,” 2017, http://
ikadbudi.uny.ac.id/ informasi/wayang-kulit-
Murtiyoso, B. 2017. “Fungsi dan Peran dari-sisi-sejarah-ikonografi-dan-lakon-
Pagelaran Wayang Purwa Bagi Pendidikan menuju-pemahaman-komprehensif. Diunduh
Budi Pekerti Bangsa,”, http://pepadijateng. 7 September 2017.
com/ article/163414/fungsi-dan-peran-
wayang.html#.Wb6k7DWyTIW. diunduh 17 Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan. A Survey of
September 2017. Old Javanese Literature. cetakan 2. Jakarta:
Penerbit Djambatan Anggota IKAPI.

89

Anda mungkin juga menyukai