Anda di halaman 1dari 3

Wayang Role Model Masyarakat dalam Keberagaman

Oleh: Fatkur Rohman Nur Awalin, M.Pd.


IAIN Tulungagung, Jawa Timur

Wayang dari sisi kesejarahannya mempunyai bentangan sejarah yang


panjang dalam konstelasi sejarah Nusantara. Hingga wayang ditasbihkan menjadi
warisan dunia “World Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity” oleh
badan PBB UNESCO pada tanggal 07 November 20013. Dalam konteks peradaban
Jawa wayang merupakan budaya adi luhung, sebagai puncak kebudayaan Jawa.

Wayang adalah bayangan, dalam bahasa Jawa ayang-ayang. Hal ini


berkorelasi pada jaman prasejarah, wayang merupakan bayangan arwah nenek
moyang. Wayang pada tahap awal yang masih sederhana digunakan sebagai media
upacara religius dan sakral. Wayang disini digunakan sebagai media untuk
penyembahan kepada arwah nenek moyang, yang dilakukan pada malam hari. Pada
perkembangan selanjutnya istilah bayangan berkembang menjadi bayangan yang
menggambarkan prilaku manusia. Wayang digunakan sebagai filosofi kehidupan,
melihat wayang sama halnya melihat bayangan kita. Ibarat cermin wayang adalah
pantulan bayangan kita. Maka ketika menonton wayang yang paling tepat adalah
bayangannya dari belakang kelir bukan dari depan. Dari menonton wayang dapat
digunakan untuk merefleksikan diri dan berkontemplasi mengambil hikmah dalam
pagelaran wayang.

Wayang masa sejarah ketika bangsa Nusantara kontak budaya dengan


budaya luar yakni India dengan agama Hindu dan Buddha, wayang tidak
ditinggalkan. Wayang dikembangkan, diramu dan digunakan sebagai media
menyebarkan agama Hindu-Buddha beserta kebudayaannya. Begitu juga dengan
kedatangan agama Islam wayang digunakan sebagai media untuk menyebarkan
agama Islam. Dan kemudian dibarengi masuknya agama-agama seperti Kristen,
wayang digunakan sebagai media menyebarkan agamanya. Hal ini dibuktikan
dengan adanya jenis wayang Wahyu yang isinya mengambil dari Alkitab.

Dengan demikian wayang mempunyai sifat luwes, adaptif dan siapa saja bisa
menggunakan wayang dengan berbagai kepentingannya. Wayang mampu
mengakomodasi dan wayang mudah diterima siapa saja, dari latar belakang
apapun. Wayang sebagai simbolisme terbuka orang bebas menterjemahkan
wayang. Dalam artian tidak sebebas-bebasnya dalam menterjemahkan wayang,
akan tetapi tetap berpatokan pada nilai-nilai dalam wayang atau paugeran dalam
pewayangan. Hal tersebut untuk menjaga nilai-nilai keagungan, sakralitas dalam
wayang.

Hipotesanya mengapa wayang, berdasarkan penjabaran di atas wayang


adalah hasil pemikiran bangsa Nusantara. Wayang tumbuh dan berkembang di
Jawa dan menjadi budaya asli bangsa Nusantara. Wayang tidak hanya milik orang
Jawa namun wayang sudah menjadi milik bersama dan diakui dunia lewat
UNESCO. Dalam wayang terdapat budaya adi luhung yakni sebagai filosofi
kehidupan dan dapat dijadikan panutan dalam kehidupan.

Wayang Role Model Masyarakat dalam Keberagaman

Wayang sebagai kearifan lokal di Jawa mempunyai landasan kokoh sehingga


wayang mampu bertahan hingga saat ini. Eksistensi wayang dalam masyarakat
masih kuat dan ada ikatan emosional antara wayang dengan masyarakat
pendukungnya. Landasan yang kokoh dalam wayang adalah hamot, hamong dan
hamemangkat. Hamong, wayang dalam posisi ini memposisikan diri dengan segala
keterbukaan dalam menerima pengaruh dan masukan budaya dari dalam maupun
dari luar. Hamong merupakan kemampuan wayang dalam menyaring unsur-unsur
baru yang sesuai dengan nilai-nilai dalam wayang dan hamemangkat, ketika proses
hamot dan hamong sudah berjalan maka wayang akan mengangkat sesuatu nilai
menjadi nilai yang baru dalam wayang.

Wayang disini dijadikan sebagai role model masyarakat dalam keberagaman,


yakni sebagai panutan masyarakat untuk menciptakan kesalehan sosial. Dalam
rangka membangun masyarakat dalam bingkai keragaman budaya di Indonesia,
sebagai modal sosial untuk menangkal diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan
ekstrimimisme. Wayang sebagai role model digunakan sebagai sarana komunikasi
untuk menyampaikan pesan-pesan kerukunan, kedamaian, keberagaman yang
dimiliki bangsa Indonesia. Dengan demikian wayang mengemban misi untuk
menyatukan persepsi melalui pagelaran wayang yang di bawakan oleh Ki Dalang.
Secara sosial sebagai media hiburan orang yang melihat pagelaran wayang
adalah beragam dari berbagai latar belakang baik suku, agama maupun ras.
Pagelaran wayang tidak terbatas haya untuk golongan tertentu, namun wayang
adalah panggung hiburan yang terbuka siapa saja boleh menonton wayang, siapa
saja boleh menikmati pagelaran wayang. Istilahnya kalau suka silahkan menonton
kalau tidak suka tidak usah susah-susah menonton wayang.

Ketika ada pagelaran wayang orang yang menonton wayang berkumpul


menjadi satu disinilah wayang bisa menyatukan berbagai orang dengan berbagai
latar belakang. Dan disinilah terjalin komunikasi sosial yang saling menguatkan
diantara elemen masyarakat. Kesamaan rasa, secara psikologis dapat menyatukan
ikatan emosional diantara penikmat wayang. Rasa persatuan dan kesatuan dapat
dipupuk melalui budaya wayang.

Penutup

Wayang dalam panggung sejarah Nusantara merupakan hasil budaya bangsa


Nusantara yang mencapai taraf budaya adi luhung. Wayang adalah filosofi
kehidupan, bayangan kehidupan manusia. Menonton wayang sama halnya
menonton bayangan kehidupan yang diperankan oleh berbagai karakter dalam
tokoh pewayangan. Dalam sejarahnya wayang digunakan sebagai media
komunikasi dan menyebarkan agama di Nusantara.

Sifatnya wayang adalah luwes, adaptif, terbuka dan merupakan simbolisme


terbuka. Wayang sebagai role model masyarakat dalam keberagaman adalah
wayang digunakan sebagai panutan untuk membentuk masyarakat Indonesia yang
beragam. Wayang digunakan sebagai sarana menyampaikan informasi se[erti
keberagaman, kedamaian dan kerukunan kepada masyarakat. Pagelaran wayang
adalah panggung hiburan yang terbuka untuk siapa saja dari berbagai latar
belakang. Dengan demikian wayang menyatukan dari berbagai elemen masyarakat.
Sehingga dengan menonton wayang akan membentuk kesalehan sosial dan
memperkuat ikatan emosional antar elemen masyarakat dan pagelaran wayang
dapat digunakan untuk menangkal diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan
ekstrimimisme.

Yogyakarta, 08 Januari 2018

Anda mungkin juga menyukai