Anda di halaman 1dari 21

3

Bab 2

Data dan Analisa

2.1 Sumber Data

2.1.1 Referensi Buku


a. Buku Pintar Wayang
Buku Pintar Wayang merupakan sebuah buku yang memuat hal-hal
mendasar yang perlu diketahui tentang wayang di Indonesia. Buku ini
menjabarkan asal-usul wayang, jenis-jenisnya, dan filosofi yang terkandung
dalam pementasannya.
b. Ensiklopedi Wayang Indonesia
Buku yang memuat A-Z tentang wayang. Buku ini menambah referensi
penulis tentang sejarah wayang dan asal-usulnya.
c. Understanding Comics
Buku tentang apa itu komik. Melalui buku ini, penulis mendapatkan
pengetahuan yang dibutuhkan untuk melakukan eksekusi terhadap strategi
kreatif yang penulis lakukan, yaitu membuat buku pengetahuan bergambar.

2.1.2 Angket
2.1.3 Survei lapangan
Untuk lebih mengerti wayang secara mendalam, maka penulis perlu
menonton langsung pergelaran wayang. Pergelaran wayang yang penulis tonton
adalah pergelaran wayang kulit purwa di gdeung wayang.

2.2 Naskah Buku

BAB 1 Mengenal Wayang

A. Sejarah Wayang

Asal usul dan perkembangan wayang tidak tercatat secara akurat seperti
sejarah. Namun orang selalu ingat dan merasakan kehadiran wayang dalam
masyarakat. Wayang merupakan salah satu buah usaha akal budi bangsa
Indonesia. Wayang tampil sebagai seni budaya tradisional dan merupakan
puncak budaya daerah.

Sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini banyak para cendekiawan


dan budayawan berusaha meneliti dan menulis tentang wayang, diantaranya
Hazeu dan Rassers. Dan pandangan dari pakar Indonesia, seperti K.P.A,
Kusumadilaga, Ranggawarsita, Suroto, Sri Mulyono, dan lain-lain. Dan menurut
para cendekiawan, wayang sudah ada dan berkembang sejak lama, sekitar tahun
1500 SM.

3
4

Wayang ialah asli Indonesia. Wayang memiliki landasan yang kokoh.


Landasan utamanya memiliki sifat Hamot ( keterbukaan untuk menerima
pengaruh dan masukan dari dalam dan luar ) , Hamong ( kemampuan untuk
menyaring unsur-unsur baru itu sesuai nilai-nilai warna yang ada) ,
Hamemangkat (memangkat suatu nilai menjadi nilai baru. Periodisasi
perkembangan budaya wayang juga merupakan suatu hahasan yang menarik)

Bermula zaman kuna ketika nenek moyang bangsa Indonesia masih


menganut animisme dan dinamisme. Paduan dari animisme dan dinamisme ini
menempatkan roh nenek moyang yang dulunya berkuasa, tetap mempunyai
kuasa. Mereka tetap dipuja dan dimintai pertolongan. Roh nenek moyang yang
dipuja ini disebut hyang atau dahyang. Orang bisa berhubungan dengan
hyang atau dahyang ini melalui seorang medium yang disebut syaman.
Ritual pemujaan nenek moyang hyang dan syaman inilah yang akhirnya
menjadi asal mula pertunjukkan wayang. hyang menjadi wayang dan syaman
menjadi dalang. Sedangkan ceritanya ialah petualangan dan pengalaman nenek
moyang. Bahasa yang digunakan ialah bahasa Jawa asli yang masih dipakai
hingga sekarang. Jadi, wayang berasal dari ritual kepercayaan nenek moyang
bangsa Indonesia disekitar tahun 1500 SM.

Berjalan dengan seiringnya waktu, wayang terus berkembang sampai


pada masuknya agama Hindu di Indonesia sekitar abad keenam.

Dalam pewayangan cerita, bermula dari kisah Ramayana yang terus


bersambung dengan Mahabrata, dan diteruskan dengan kisah zaman kerajaan
kediri. Falsafah Ramayana dan Mahabrata yang Hinduisme diolah sedemikian
rupa sehingga diwarnai nilai-nilai agama Islam.

Masuknya agama Islam ke Indonesia pada abad ke-15, membawa


perubahan yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia.
Perubahan besar-besaran tersebut, tidak saja terjadi dalam bentuk dan cara
pergelaran wayang, melainkan juga isi dan fungsinya. Bentuk wayang yang
semula realistik proporsional seperti tertera dalam relief candi-candi, distilir
menjadi bentuk imajinatif seperti sekarang ini. Selain itu, banyak sekali
tambahan dan pembaharuan dalam peralatan seperti kelir atau layar, blencong
atau lampu sebagai alat penerangan pada pertunjukkan wayang kulit dan juga
mempunyai makna simbolik, yaitu memanfaatkan masukan serta pengaruh
budaya lain baik dari dalam maupun dari luar Indonesia, debog yaitu pohon
pisang untuk menancapkan wayang, dan masih banyak lagi.

Asal usul wayang Indonesia menjadi jelas dan mudah dibedakan dengan
seni budaya sejenis yang berkembang di India, Cina, dan negara-negara di
kawasan Asia Tenggara. Tidak saja berbeda bentuk serta cara pementasannya,
cerita Ramayana dan Mahabrata yang digunakan juga berbeda. Cerita terkenal
ini sudah digubah sesuai nilai dan kondisi yang hidup dan berkembang di
Indonesia. Keaslian Wayang bisa ditelusuri dari penggunaan bahasa seperti
Wayang, kelir, blencong, kepyak, dalang, kotak dan lain-lain. Kesemuanya itu
5

menggunakan bahasa Jawa asli. Berbeda dengan cempala, yaitu alat pengetuk
kotak yang menggunakan bahasa sansekerta. Biasanya wayang selalu
menggunakan bahasa campuran yang biasa disebut basa rinengga.

B. Filosofi Wayang

Kekuatan utama budaya Wayang ialah kandungan nilai falsafahnya.


Wayang yang tumbuh dan berkembang sejak lama itu ternyata berhasil
menyerap berbagai nilai-nilai keutamaan hidup dan dapat terus dilestarikan
dalam pertunjukkan wayang.

Memasuki pengaruh agama Islam, kokoh sudah landasan wayang sebagai


tontonan yang mengandung tuntunan, yaitu acuan moral budi luhur menuju
terwujudnya akhlaqul karimah. Wayang bukan lagi sebagai tontonan bayang-
bayang atau shadow play, melainkan sebagai wewayangane ngaurip, yaitu
bayangan hidup manusia.

Wayang juga dapat secara nyata menggambarkan konsepsi hidup


sangkan paraning damadi, yang berarti : manusia berasal dari Tuhan dan akan
kembali keribaan-Nya.

banyak ditemui seni budaya semacam wayang yang terkenal dinegara


lain dengan sebutan puppet show, namun tidak seindah dan sedalam maknanya
Wayang Kulit Purwa.

C. Perkembangan Wayang
Berasal dari zaman animisme, wayang terus mengikuti perjalanan sejarah
bangsa sampai pada masuknya agama Hindu di Indonesia sekitar abad keenam.
Pertunjukan roh nenek moyang itu kemudian berkembang menjadi cerita
Ramayana dan Mahabarata. Selama abad X hingga XV, wayang berkembang
menjadi ritual agama dan pendidikan kepada masyarakat.
Semasa Kerajaan-kerjaan Hindu-Budha ini, kepustakaan wayang
mencapai puncaknya. Pegelaran wayang yang sudah bagus, diperkaya lagi
dengan penciptaan peraga wayang dari kulit yang dipahat, diiringi gamelan
dengan tatanan pentas yang bagus.
Wayang seolah-olah identik dengan Ramayana dan Mahabarata yang
aslinya berasal dari India. Namun perlu dimengerti bahwa Ramayana dan
Mahabarata versi India itu sudah banyak berubah di versi indonesianya.
Yang sangat menonjol perbedaannya adalah falsafah yang mendasari
kedua cerita itu, terlebih setalah masuknya agama Islam. Hinduisme dioleh
sedemikian rupa sehingga menjadi diwarnai nilai-nilai agama Islam. Wayang
diperkaya lagi dengan begitu banyaknya cerita gubahan baru yang disebut lakon
caranga , sehingga cerita Ramayana dan Mahabarata menjadi benar-benar
berbeda dari aslinya.
6

Masuknya agama Islam pada abad ke-15 membawa perubahan besar


terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk juga wayang. Dalam agama
Islam, penggambaran dari mahluk hidup dilarang, oleh karena itu, bentuk
wayang yang semula realistik dan proporsional , diperbaharui oleh para Wali
dan pujangga Jawa sehingga mengalami stilasi menjadi bentuk imajinatif seperti
sekarang ini.
Pada masa itu, wayang digunakan sebagai digunakan sebagai sarana
dakwah Islam. Fungsi wayang bergeser dari ritual agama, menjadi sarana
pendidikan, dakwah, penerangan, dan komunikasi massa. Fungsi dan peranan ini
terus berlanjut hingga dewasa ini.
Jadi bisa kita simpulkan bahwa wayang merupakan suatu karya seni yang
mampu mengikuti perkembangan zaman. Wayang saat ini tidaklah sama dengan
wayang pada masa lampau, dan wayang masa depan, tidaklah sama dengan
wayang masa kini. Hal ini disebabkan wayang memiliki landasan yang kokoh,
yaitu hamot , hamong, dan hamemangkat.
Hamot sendiri berarti keterbukaan menerima pengaruh dan masukan baik
dari dalam maupun luar. Hamong adalah kemampuan untuk menyaring unsur
yang baru dan sesuai dengan nilai yang ada. Dan Hamemangkat berarti
perubahan dari suatu nilai menjadi nilai baru yang melalui suatu proses yang
panjang dan dapat dicerna secara cermat.
Untuk itulah , banyak budayawan yang mengatakan bahwa kesenian
wayang merupakan suatu kebudayaan yang terus berkembang dan setia pada
misinya dan fungsi yang diembannya, yaitu sebagai sarana penerangan,
pendidikan, dan komunikasi massa.
Pada titik inilah, wayang kemudian menjadi pertunjukan yang telah
diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudyaan
yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan
sangat berharga (masterpiece of oral and intangible heritage of humanity)

BAB II Jenis-Jenis Wayang

A. Wayang kulit :
Apa wayang kulit itu? Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia,
terutama berkembang di Jawa dan di sebelah timur semenanjung Malaysia,
seperti di Kelantan dan Terengganu. Wayang kulit dimainkan oleh seorang
dalang yang juga menjadi narrator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan iringan
musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang
dinyanyikan oleh para pesinden.
Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat
dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu
minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain layar dapat
melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita
wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh
wayang yang bayangannya tampil di layar.
Secara Umum, wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan
Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standar) tersebut. Sebab,
seorang dalang atau biasa dipanggil ki dalang juga bisa memainkan lakon
7

carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji. wayang kulit
lebih popular di Jawa tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering
dimainkan di Jawa barat.
Wayang Kulit dibagi lagi menjadi :
1.Wayang Purwa
Kata Purwa (pertama) dipakai untuk membedakan wayang jenis
ini dengan wayang kulit lainnya. banyak jenis wayang kult, mulai
dari wayang wahyu, wayang sadar, wayang gedhog, wayang kancil,
wayang pancasila, dan sebagainya.
Wayang purwa diperkirakan mempuyai umur paling tua di antara
wayang kulit lainnya. Wayang purwa terbuat dari bahan kulit kerbau
yang ditatah, diberi warna sesuai dengan kaidah pulasan wayag
pedalangan, diberi tangkai dari bahan tanduk kerbaubule, yang diolah
sedemikian rupa dengan nama cempurit, yang terdiri dari ntuding dan
gapit..
2.Wayang Parwa
Wayang parwa adalah wayang kulit yang paling popular dan
terdapat di seluruh Bali. Wayang Parwa merupakan wayang kulit
yang membawakan lakon-lakon yang bersumber dari cerita
Mahabharata yang juga dikenal sebagai Astha Dasa parwa. Nah,
wayang ini dipentaskan pada malam hari, dengan memakai kelir dan
lampu blencong, diiringi dengan gamelan gender wayang.
Wayang Parwa dipentaskan dalam kaitannya dengan berbagai
jenis upacara adapt dan agama, walaupun pertunjukkannya sendiri
berfungsi sebagai hiburan yang bersifat modern. Dalam
pertunjukkannya, dalang wayang parwa bisa saja mengambil lakon
dari cerita Bharatayuda atau bagian lain dari cerita Mahabharata.
Oleh sebab itu, jumlah lakon wayang parwa paling banyak.
3. Wayang Madya
wayang madya adalah wayang kulit yang diciptakan oleh
Mangkunegara IV sebagai penyambung cerita wayang purwa dengan
wayang gedog. Cerita wayang madya merupakan peralihan cerita
purwa ke cerita panji. Salah satu cerita wayang madya yang terkenal
adalah cerita Anglingdarma. Wayang madya tidak sempat
berkembang di luar lingkungan Pura Mangkunegara.
4. Wayang Gedog
Wayang gedog atau wayang panji adalah wayang yang memakai
cerita dari serat Panji. Wayang ini mungkin telah ada sejak zaman
Majapahit. Bentuk wayangnya hamper sama dengan wayang purwa.
Tokoh-tokoh ksatria selalu memaki tekes dan repekan. Tokoh-tokoh
rajanya memakai garuda mungkur dan galung keeling. Dalam cerita
Panji, tidak ada tokoh raksasa atau kera. Sebagai gantinya terdapat
tokoh Prabu Klana dari Makassar yang memiliki tentara orang-orang
bugis. Namun, tidak selamanya tokoh klana berasal dari Makassar.
Dalam pementasannya, wayang gedog memakai gamelan berlaras
pelog dan memakai Punakawan Bancak dan Doyok untuk tokoh
Panji tua, Ronggotono dan Ronggontani untuk Klana, dan Sebut-
8

Palet untuk panji muda. Sering kali dalam wayang gedog, muncul
figure wayang aneh, seperti gunungan sekaten, siter (kecapi), paying
yang terkembang, perahu, dan lain-lain.
5. Wayang Calonarang
Wayang calonarang juga sering disebut sebagai wayang leyak,
adalah salah satu jenis wayang kulit Bali yang dianggap angker
karena dalam pertunjukkannya banyak mengungkapkan nilai-nilai
magis dan rahasia pangiwa dan panengen. Wayang ini pada dasarnya
adalah pertunjukan wayang yang mengkhususkan lako-lakon dari
cerita calonarang.
Pargelaran wayang kulit calonarang melibatkan sekitar 12 orang
pemain, yang terdiri dari 1 orang dalang, 2 orang pembantu dalang,
dan 9 orang penabuh.
6. Wayang Krucil
Wayang krucil pertama kali diciptakan oleh pangeran Pekik dari
Surabaya. Wayang ini terbuat dari bahan kulit dan berukuran kecil
sehingga lebih sering disebut wayang krucil. Dalam
perkembangannya, wayang ini menggunakan bahan kayu pipih (dua
dimensi) yang kemudian dikenal sebagai wayang klithik.
Gamelan yang digunakan untuk mengiringi pertunjukkan wayang
ini amat sederhana, berlaras slendro dan berirama playon bagomati
(srepegan). Namun, ada kalanya wayang krucil menggunakan
gending, gending besar.

B. Wayang kayu :
Dibagi lagi menjadi :
1. Wayang Golek
Wayang golek adalah suatu seni pertunjukkan wayang yang
terbuat dari boneka kayu. Wayang jenis ini sangat popular, terutama
di wilayah tanah Pasundan.
Wayang adalah bentuk teater rakyat yang sangat popular. Banyak
diminati masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah. Di Jawa
Barat misalnya, selain wayang kulti, yang paling populer adalah
wayang golek.Yang menarik, wayang golek ini terdapat dua macam,
yaitu wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa yang ada
di daerah sunda. Kedua macam wayang itu dimainkan oleh seorang
dalang sebagai pemimpin pertunjukkan yang sekaligus menyanyikan
suluk, menyuarakan antawacana, mengatur gamelan, mengatur lagu,
dan lain-lain.
Saat ini, wayang golek lebih dominant sebagai seni pertunjukkan
rakyat, yang memiliki fungsi yang relevan degan kebutuhan-
kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan spiritual maupun material.
Hal demikian dapat kita lihat dari beberapa kegiatan di masyarakat,
misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam
9

rangka khitanan, pernikahan, dan lain-lain.

2. Wayang Menak
Wayang menak atau disebut juga wayang golek menak merupakan
wayang berbentuk boneka kayu yang diyakini muncul pertama kali di
daerah kudus pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana II.
Sumber cerita wayang menak berasal dari kitab Menak, yang ditulis
atas kehendak Kanjeng Ratu Mas Balitar, permaisuri Sunan Paku
Buwana I, pada tahun 1717 M.
Induk dari kitab Menak berasal dari Persia, menceritakan Wong
Agung Jayeng Rana atau Amir Ambyah (amir Hamzah), paman Nabi
Muhammad SAW. Isi pokok cerita adalah permusuhan antara Wong
Agung Jayeng Rana yang beragama Islah dengan Prabu Nursewan
yang belum memeluk agama Islam.
3. Wayang Klithik
Wayang klithik pertama kali diciptakan oleh Pangeran Pekik,
adipati Surabaya, dari bahan kulit dan berukuran kecil sehingga lebih
sering disebut dengan wayang krucil. Munculnya wayang menak
yang terbut dari kayu, membuat Sunan Pakubuwono II kemudian
menciptakan wayang klithik yang terbuat dari kayu pipih (dua
dimensi). Tangan wayang ini dibuat dari kulit yang ditatah. Berbeda
dengan wayang lainnya, wayang klithik memiliki gagang yang
terbuat dari kayu.
Cerita yang dipakai dalam wayang klithik umumnya mengambil
dari zaman Panji Kudalaleyan di Pajajaran hingga zaman Prabu
Brawijaya di Majapahit.
Gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan
wayang ini amat sederhana, berlaras slendro dan berirama playon
bangomati (spregan). Ada kalanya wayang klithik menggunakan
gending-gending besar.
C. WAYANG SUKET
Wayang suket merupakan bentuk tiruan dari berbagai figure wayang
kulit yang terbuat dari rumput (bahasa jawa : suket). Wayang suket biasanya
dibuat sebagai alat permainan atau penyampaian cerita pewayangan pada
anak-anak di desa-desa Jawa. Untuk membuatnya, beberapa helai daun
rerumputan dijalin, lalu dirangkai (dengan melipat) membentuk figure
serupa wayang kulit. Karena bahannya, wayang suket tdak bertahan lama.
kelebihan wayang suket adalah ruang yang sangat bebas bagi penonton
untuk membangun imajinasinya. Menafsir kembali siapa itu wayang-wayang
sebagai bayangan hidup. Manusia terus tumbuh, tapi wayang kulit tidak.
Filosofi suket sebagai sesuatu yang terus tumbuh adalah spirit yang luar
biasa. Suket hanya butuh air dan sinar matahari. Kekuatan filosofi ini
menggambarkan kekuatan ruang imajinasi dari wayang suket.
Pertunjukkannya merupakan symbol masyarakat bawah (grass root) yang
mempertanyakan tentang diri, bukan memberontak atau merusak.
D. WAYANG BEBER
10

Wayang beber adalah wayang yang muncul dan berkembang di jawa


pada masa pra-Islam dan masih berkembang daerah-daerah tertentu di Pulau
Jawa. Dinamakan wayang beber karena berupa lembaran-lembaran (beberan)
yang dibentuk menjadi tokoh-tokoh dalam cerita wayang, baik Mahabharata
maupun Ramayana.
Konon, wayang beber ini dimodifikasi bentuk oleh para wali menjadi
wayang kulit dengan bentuk-bentuk yang bersifat ornament yang dikenal
sekarang. Kata para wali, ajaran Islam mengharamkan bentuk gambar
mahluk hidup (manusia dan hewan). Wayang hasil modifikasi para wali
inilah yang dipergunakan untuk menyebarkan ajaran islam dan yang kita
kenal sekarang.
Yang menarik, wayang beber yang pertama (yang masih asli) sampai
sekarang bisa dilihat. Wayang beber yang asli ini bisa dilihat di daerah
Donorojo, Pacitan. Wayang ini dipegang oleh seseorang yang secara turun
temurun dipercaya memeliharanya dan tidak akan dipegang oleh orang dari
keturunan yang berbeda. Sebab, ada sebuah amanat luhur yang harus
dipelihara. Selain di Pacitan, sampai sekarang masih tersimpan dengan baik
dan masih dimainkan di dusun Gelaran Desa Bejiharjo, Karang mojo,
Gunungkidul.
E. WAYANG GUNG
Wayang gung adalah sejenis kesenian wayang orang pada suku banjar di
Kalimantan Selatan.
F. WAYANG TIMPLONG
Wayang timlpong merupakan kesenian tradisional yang konon mulai ada
sejak tahun 1910 dari dusun Kedung Bajul, Desa Jetis, Kecamatan Pace,
Provinsi Jawa Timur. WAyang ini terbuat dari kayu, baik kayu waru,
mentaos, maupun pinus.
Wayang ini menarik karena menggunakan instrument gamelan sebagai
musik pengiring. Sangat sederhana, yaitu hanya terdiri dari gambang yang
terbuat dari kayu atau bamboo, ketuk kenong, kempul dan kendang.
G. WAYANG POTEHI
Wayang potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Wayang
ini merupakan salah satu kesenian kebudayaan gabungan Tionghoa-
Indonesia. Potehi berasal dari kata poo (kain), tay (kantung), dan hie
(wayang). Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain
tersebut dan memainkannya layaknya jenis wayang lain. Kesenian ini sudah
berumur sekitar 3000 tahun dan berasal dari daratan Cina asli.
Diperkirakan, jenis kesenian ini sudah ada pada masa Dinasti Jin,
yaitupad abad ke-3 sampai dengan abad ke-5 Masehi dan berkembang pada
masa Dinasti Song di abad ke-10 hingga ke-13 masehi. Wayang potehi
masuk ke Indonesia (dulu nusantara) melalui orang-orang Tionghoa yang
masuk ke Indonesia di sekitar abad ke-16 sampai abad ke-19. Bukan sekedar
seni pertunjukan, wayang potehi, bagi keturunan Tiong Hoa, memiliki fungsi
social serta ritual. Tidak berbeda dengan wayang-wayang lain di Indonesia.
Alat musik wayang potehi terdiri atas gambreng, sulibng, gwik gim
(gitar), rebab, tambur, terompet, dan bek to. Alat terakhir ini berbentuk
silinder sepanjang lima sentimeter, mirip kentongan kecil penjual bakmi,
11

yang jika salah pukul tidak akan mengelurakan bunyi trok-trok seperti
seharusnya.

H. WAYANG GAMBUH
wayang Gambuh adalah salah satu jenis wayang Bali yang langka, pada
dasarnya adalah pertunjukkan wayang kulit yang melakonkan ceritera Malat,
speerti wayang panji ynag ada di Jawa. Karena lakon dan pola acuan
pertunjukan adalah Dramatari gambuh, maka dalam banyak hal wayang
Gambuh merupakan pementasan Gambuh melalui wayang kulit. Tokoh-
tokoh yang ditampilakn ditransfer dari tokoh-tokoh Pegambuhan, demikian
pula gamelan pengiring dan bentuk-betuk ucapannya.
Konon, perangkat wayang Gambuh yang kini tersimpan di Blahbatuh
adalah pemberian dari raja Mengwi yang bergelar I Gusti Agung Sakti
Blambangan, yang membawa wayang dari tanah Jawa (Blambangan) setelah
menaklukan raja Blambangan sekitar tahun 1634. Alamarhum I Ketut Rinda
adalah salah satu wayang Gambuh angkatan terakhir yang sebelum
meninggal sempat menurunkan kaehliannya kepada I Made Sidja dari
(Bona) dan I Wayang Nartha (Dari Sukawati).
I. WAYANG ORANG
Wayang orang adalah wayang yang dimainkan dengan menggunakan
orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut. Wayang orang disebut
juga dengan istilah wayang wong (bahasa Jawa).
Sesuai dengan sebutannya, wayang tersebut tidak lagi digelar dengan
memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit yang biasanya terbuat dari
bahan kulit kerbau ataupun yang lain), akan tetapi menampilkan manusia-
manusia sebagai pengganti boneka wayang tersebut. Mereka memakai
pakaian sama seperti hiasan-hiasan yang dipakai pada wayang kulit. Supaya
bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai wayang kulit (kalau
dilihat dari samping), sering kali pemaiin wayang orang ini diubah atau
dihias mukanya dengan tambahan gambar atau lukisan.
Pertunjukkan wayang orang masih ada saat ini, salah satunya wayang
orang barata (dikawasan Pasar Senin, Jakarta), Taman Mini Indonesia Indah,
Taman Sriwedari Solo, dan lain-lain.
J. WAYANG KULIT GAGRAG BANYUMASAN
Wayang kulit gagrag banyumasan merupakan salah satu gaya
pedalangan di tanah Jawa. Wayang ini lebih dikenal dngan istilah pakeliran,
dan berperan sebagai bentuk seni klanengan serta dijadikan wahana untuk
mempertahankan nilai etika, devosional, dan hiburan, yang kualitasnya
selalu terjaga dan ditangani sungguh-sungguh oleh para pakar yang
memahami benar. Pakeliran ini mencakup unsur-unsur lakon wayang
(penyajian alur cerita dan maknanya), sabet (seluruh gerak wayang), catur
(narasi dan cakapan), dan karawitan (gendhing, sulukan dan property,
panggung).
Yang menarik, pakeliran gagarag banyumasan mempunyai nuansa
kerakyatan yang kental, sebagaimana karakter masyarakatnya, yaitu jujur
dan terus terang serta hidup dan berkembang di daerah Karesidenan
12

Banyumas. Selain itu, wayang ini memiliki ekspresi yang indah dan sifatnya
lebih bebas, sederhana, serta lugas dan mampu bertahan sampai saat ini.
K. WAYANG KULIT BANJAR
Wayang kulit banjar adalah wayang kulit yang berkembang dalam
budaya suku Banjar di Kalimantan Selatan maupun di daerah perantauan
suku seperti di Indragiri Hilir.
Konon, sejarah wayang ini dimulai dari pasukan Majapahit yang
dipimpin oleh Andayaningrat yang membawa serta seorang dalang wayang
kulit bernama R. Sakar Sungsang lengkap debgan pengrawitnya. Pergelaran
langsung (sesuai pakem tradisi Jawa) yang dimainkannya kurang dapat
dinikmati oleh masyarakat Banjar, karena lebih banyak menggunakan idion-
idion Jawa yang sulit dimengrti masyarakat setempat.
Menurut catatan sejarah, masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan
Sejatinya telah mengenal pertunjukkan wayang kulit sekitar awal abad XIV.
Pernyataan ini diperkuat karena pada kisaran tahun 1300 sampai dengan
1400, Kerajaan Majapahit telah menguasai sebagian wilayah Kalimantan
(Tjilik Riwut, 1993), dan membawa serta menyebarkan pengaruh agama
Hindu dengan jalan pertunjukkan wayang kulit.

K. WAYANG SIAM KELANTAN


Wayang siam kelantan adalah kesenian tradisional wayang yang
populer di Kelantan, Malaysia. Wayang siam dimainkan oleh seorang
dalang, didampingi oleh delapan orang pemain musik. Wayang siam
dimainkan dalam bahasa Melayu logat Kelantan.
Asal wayang siam tidak jelas. beberapa bukti menunjukkan kesenian
ini berasal dari Jawa, terlihat dari istilah-istilah panggung yang berasal dari
bahasa Jawa. Namin, munurut para dalang di Kelantan, waayng siam berasal
dari Patani, yang sekarang menjadi wilayah Thailand. Itulah sebabnya
kesenian ini diberi nama wayang siam.
Kisah yang ditampilkan dalam kesenian wayang siam, didasarkan pada
versi cerita rakyat Melayu dari Ramayana, Cerita Maharaja Wana. Nama
Wana adalah versi melayuy dari Rahwana. Kisah ini berbeda dari versi
dalam satra Melayu, Hikayat Seri Rama.
Perlu diketahui, di Kelantan terdapat pula jenis kesenian wayang lain,
yang disebut sebagai wayang Jawa. Seperti namanya, wayang Jawa tidak
lebih dari versi Kelantan dari wayang Purwa, namun ditampilkan dalam
logat Kelantan. Wayang Jawa merupakan kesenian istana, berbeda dengan
wayang siam yang merupakan kesenian rakyat.

BAB III SEKILAS CERITA DAN TOKOH WAYANG

A. PUNAKAWAN
Punakawan adalah sebutan umum untuk para pengikut ksatriya dalam
khasanah kesusastraan Indonesia, terutama di Jawa. Pada umumnya para
panakawan ditampilkan dalam pementasan wayang, baik itu wayang kulit,
wayang golek, ataupun wayang orang sebagai kelompok penebar humor
untuk mencairkan suasana. Namun di samping itu, para panakawan juga
13

berperan penting sebagai penasihat nonformal ksatriya yang menjadi asuhan


mereka.
1. Peran Punakawan
Istilah punakawan berasal dari kata pana yang bermakna "paham", dan
kawan yang bermakna "teman". Maksudnya ialah, para panakawan tidak
hanya sekadar abdi atau pengikut biasa, namun mereka juga memahami
apa yang sedang menimpa majikan mereka. Bahkan seringkali mereka
bertindak sebagai penasihat majikan mereka tersebut.
Hal yang paling khas dari keberadaan panakawan adalah sebagai
kelompok penebar humor di tengah-tengah jalinan cerita. Tingkah laku
dan ucapan mereka hampir selalu mengundang tawa penonton. Selain
sebagai penghibur dan penasihat, adakalanya mereka juga bertindak
sebagai penolong majikan mereka di kala menderita kesulitan. Misalnya,
Sewaktu Bimasena kewalahan menghadapi Sangkuni dalam perang
Baratayuda, Semar muncul memberi tahu titik kelemahan Sangkuni.
Dalam percakapan antara para panakawan tidak jarang bahasa dan istilah
yang mereka pergunakan adalah istilah modern yang tidak sesuai dengan
zamannya. Namun hal itu seolah sudah menjadi hal yang biasa dan tidak
dipermasalahkan. Misalnya, dalam pementasan wayang tokoh Petruk
mengaku memiliki mobil atau handphone, padahal kedua jenis benda
tersebut tentu belum ada pada zaman pewayangan.
2. Tokoh-Tokoh Punakawan wayang versi Jawa, antara lain
sebagai berikut :
a. Semar : atau bernama lengkap Kyai Lurah Semar
Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama
dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan
sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam
pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana.
Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli
kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sansekerta,
karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar
pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan
Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk
kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam
Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama
cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa.
Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja,
melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan
suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam
berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan
sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang
dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu
sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah
satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya
14

Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar


masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran
aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin
meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya
sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat
jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari
Batara Guru, raja para dewa.
b. Gareng : Nama lengkap dari Gareng sebenarnya adalah
Nala Gareng, hanya saja masyarakat sekarang lebih akrab
dengan sebutan Gareng.
Gareng adalah punakawan yang berkaki pincang. Hal ini
merupakan sebuah sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula
yang selalu hati-hati dalam bertindak. Selain itu, cacat fisik
Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah. Ini
adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka
mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit
kanannya terkena semacam penyakit bubul.
Dalam suatu carangan Gareng pernah menjadi raja di
Paranggumiwayang dengan gelar Pandu Pragola. Saat itu
dia berhasil mengalahkan Prabu Welgeduwelbeh raja dari
Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari saudaranya
sendiri yaitu Petruk.
Dulunya, Gareng berujud satria tampan bernama Bambang
Sukodadi dari pedepokan Bluktiba. Gareng sangat sakti
namun sombong, sehingga selalu menantang duel setiap
satria yang ditemuinya. Suatu hari, saat baru saja
menyelesaikan tapanya, ia berjumpa dengan satria lain
bernama Bambang Panyukilan. Karena suatu
kesalahpahaman, mereka malah berkelahi. Dari hasil
perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan
wajah mereka berdua rusak. Kemudian datanglah Batara
Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena
Batara Ismaya ini adalah pamong para satria Pandawa yang
berjalan di atas kebenaran, maka dalam bentuk Jangganan
Samara Anta, dia (Ismaya) memberi nasihat kepada kedua
satria yang baru saja berkelahi itu.
Karena kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua satria itu
minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang
Kadempel, titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya
Jangganan Samara Anta bersedia menerima mereka, asal
kedua satria itu mau menemani dia menjadi pamong para
kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan akhirnya mereka
berdua setuju. Gareng kemudian diangkat menjadi anak
tertua (sulung) dari Semar.
c. Petruk : Petruk adalah tokoh punakawan dalam
pewayangan Jawa, di pihak keturunan/trah Witaradya.
15

Petruk tidak disebutkan dalam kitab Mahabarata. Jadi jelas


bahwa kehadirannya dalam dunia pewayangan merupakan
gubahan asli Jawa. Di ranah Pasundan, Petruk lebih dikenal
dengan nama Dawala atau Udel.
Menurut pedalangan, ia adalah anak pendeta raksasa di
pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan
Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk
Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan
maupun tingkah laku dan senang berkelahi. Ia seorang yang
pilih tanding/sakti di tempat kediamannya dan daerah
sekitarnya. Oleh karena itu ia ingin berkelana guna menguji
kekuatan dan kesaktiannya.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari
pertapaan Bluluktiba yang pergi dari padepokannya di atas
bukit, untuk mencoba kekebalannya. Karena mempunyai
maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka
berkelahi sangat lama, saling menghantam, bergumul, tarik-
menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga
tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud
aslinya yang tampan. Perkelahian ini kemudian dipisahkan
oleh Smarasanta (Semar) dan Bagong yang mengiringi
Batara Ismaya. Mereka diberi petuah dan nasihat sehingga
akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada
Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya.
Demikianlah peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon
Batara Ismaya Krama.
Karena perubahan wujud tersebut masing-masing kemudian
berganti nama. Bambang Pecruk Panyukilan menjadi
Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng.
d. Bagong : Ki Lurah Bagong adalah nama salah satu tokoh
punakawan dalam kisah pewayangan yang berkembang di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tokoh ini dikisahkan sebagai
anak bungsu Semar. Dalam pewayangan Sunda juga
terdapat tokoh panakawan yang identik dengan Bagong,
yaitu Cepot atau Astrajingga. Namun bedanya, menurut
versi ini, Cepot adalah anak tertua Semar. Dalam wayang
banyumasan Bagong lebih dikenal dengan sebutan Bawor.
Beberapa versi menyebutkan bahwa, sesungguhnya Bagong
bukan anak kandung Semar. Dikisahkan Semar merupakan
penjelmaan seorang dewa bernama Batara Ismaya yang
diturunkan ke dunia bersama kakaknya, yaitu Togog atau
Batara Antaga untuk mengasuh keturunan adik mereka,
yaitu Batara Guru.
Togog dan Semar sama-sama mengajukan permohonan
kepada ayah mereka, yaitu Sanghyang Tunggal, supaya
masing-masing diberi teman. Sanghyang Tunggal ganti
mengajukan pertanyaan berbunyi, siapa kawan sejati
16

manusia. Togog menjawab "hasrat", sedangkan Semar


menjawab "bayangan". Dari jawaban tersebut, Sanghyang
Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil
bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta
menjadi manusia bertubuh bulat, bernama Bagong.
Versi lain menyebutkan, Semar adalah cucu Batara Ismaya.
Semar mengabdi kepada seorang pertapa bernama Resi
Manumanasa yang kelak menjadi leluhur para Pandawa.
Ketika Manumanasa hendak mencapai moksha.
B. RAMAYANA
Ramayana dari berasal dari kata Rma dan Ayaa yang berarti
"Perjalanan Rama", adalah sebuah cerita epos dari India yang digubah oleh
Walmiki (Valmiki) atau Balmiki. Cerita epos lainnya adalah
Mahabharata.Ramayana terdapat pula dalam khazanah sastra Jawa dalam
bentuk kakawin Ramayana, dan gubahan-gubahannya dalam bahasa Jawa
Baru yang tidak semua berdasarkan kakawin ini.Dalam bahasa Melayu
didapati pula Hikayat Seri Rama yang isinya berbeda dengan kakawin
Ramayana dalam bahasa Jawa kuna.
1. Ringkasan Cerita :
Wiracarita Ramayana menceritakan kisah Sang Rama yang
memerintah di Kerajaan Kosala, di sebelah utara Sungai Gangga,
ibukotanya Ayodhya. Sebelumnya diawali dengan kisah Prabu
Dasarata yang memiliki tiga permaisuri, yaitu: Kosalya, Kekayi, dan
Sumitra. Dari Dewi Kosalya, lahirlah Sang Rama. Dari Dewi Kekayi,
lahirlah Sang Bharata. Dari Dewi Sumitra, lahirlah putera kembar,
bernama Lakshmana dan Satrugna. Keempat pangeran tersebut sangat
gagah dan mahir bersenjata.
Pada suatu hari, Rsi Wiswamitra meminta bantuan Sang Rama untuk
melindungi pertapaan di tengah hutan dari gangguan para rakshasa.
Setelah berunding dengan Prabu Dasarata, Rsi Wiswamitra dan Sang
Rama berangkat ke tengah hutan diiringi Sang Lakshmana. Selama
perjalanannya, Sang Rama dan Lakshmana diberi ilmu kerohanian dari
Rsi Wiswamitra. Mereka juga tak henti-hentinya membunuh para
rakshasa yang mengganggu upacara para Rsi. Ketika mereka melewati
Mithila, Sang Rama mengikuti sayembara yang diadakan Prabu
Janaka. Ia berhasil memenangkan sayembara dan berhak meminang
Dewi Sita, puteri Prabu Janaka. Dengan membawa Dewi Sita, Rama
dan Lakshmana kembali pulang ke Ayodhya.
Prabu Dasarata yang sudah tua, ingin menyerahkan tahta kepada Rama.
Atas permohonan Dewi Kekayi, Sang Prabu dengan berat hati
menyerahkan tahta kepada Bharata sedangkan Rama harus
meninggalkan kerajaan selama 14 tahun. Bharata menginginkan Rama
sebagai penerus tahta, namun Rama menolak dan menginginkan hidup
di hutan bersama istrinya dan Lakshmana. Akhirnya Bharata
memerintah Kerajaan Kosala atas nama Sang Rama.
Dalam masa pengasingannya di hutan, Rama dan Lakshmana bertemu
dengan berbagai rakshasa, termasuk Surpanaka. Karena Surpanaka
17

bernafsu dengan Rama dan Lakshmana, hidungnya terluka oleh pedang


Lakshmana. Surpanaka mengadu kepada Rawana bahwa ia dianiyaya.
Rawana menjadi marah dan berniat membalas dendam. Ia menuju ke
tempat Rama dan Lakshmana kemudian dengan tipu muslihat, ia
menculik Sinta, istri Sang Rama. Dalam usaha penculikannya, Jatayu
berusaha menolong namun tidak berhasil sehingga ia gugur.
Rama yang mengetahui istrinya diculik mencari Rawana ke Kerajaan
Alengka atas petunjuk Jatayu. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan
Sugriwa, Sang Raja Kiskindha. Atas bantuan Sang Rama, Sugriwa
berhasil merebut kerajaan dari kekuasaan kakaknya, Subali. Untuk
membalas jasa, Sugriwa bersekutu dengan Sang Rama untuk
menggempur Alengka. Dengan dibantu Hanuman dan ribuan wanara,
mereka menyeberangi lautan dan menggempur Alengka.
Rawana yang tahu kerajaannya diserbu, mengutus para sekutunya
termasuk puteranya Indrajit untuk menggempur Rama. Nasihat
Wibisana (adiknya) diabaikan dan ia malah diusir. Akhirnya Wibisana
memihak Rama. Indrajit melepas senjata nagapasa dan memperoleh
kemenangan, namun tidak lama. Ia gugur di tangan Lakshmana.
Setelah sekutu dan para patihnya gugur satu persatu, Rawana tampil ke
muka dan pertarungan berlangsung sengit. Dengan senjata panah
Brahmstra yang sakti, Rawana gugur sebagai ksatria.
Setelah Rawana gugur, tahta Kerajaan Alengka diserahkan kepada
Wibisana. Sita kembali ke pangkuan Rama setelah kesuciannya diuji.
Rama, Sita, dan Lakshmana pulang ke Ayodhya dengan selamat.
Hanuman menyerahkan dirinya bulat-bulat untuk mengabdi kepada
Rama. Ketika sampai di Ayodhya, Bharata menyambut mereka dengan
takzim dan menyerahkan tahta kepada Rama.
2. Tokoh-Tokoh Sentral dalam cerita Ramayana mencakup :
a. Rama : Dalam agama Hindu, Rama (atau Ramacandra )
adalah seorang raja legendaris yang terkenal dari India yang
konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya
atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang
beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia
merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke
bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah
kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah
sastra Hindu Kuno yang disebut Ramayana, tersebar dari Asia
Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung
dari pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya, ia dipandang
sebagai Maryada Purushottama, yang artinya "Manusia
Sempurna". Setelah dewasa, Rama memenangkan sayembara
dan beristerikan Dewi Sita, inkarnasi dari Dewi Laksmi.
Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lawa.
b. Sita : Sita (St, juga dieja Shinta) adalah tokoh protagonis
dalam wiracarita Ramayana. Ia merupakan istri dari Sri
Rama, tokoh utama kisah tersebut. Menurut pandangan
18

Hindu, Sita merupakan inkarnasi dari Laksmi, dewi


keberuntungan, istri Dewa Wisnu.
Inti dari kisah Ramayana adalah penculikan Sita oleh
Rahwana raja Kerajaan Alengka yang ingin mengawininya.
Penculikan ini berakibat dengan hancurnya Kerajaan Alengka
oleh serangan Rama yang dibantu bangsa Wanara dari
Kerajaan Kiskenda.
Dalam tradisi pewayangan Jawa, Sita lebih sering dieja
dengan nama Shinta.
c. Rahwana : Dalam mitologi Hindu, Rahwana (kadangkala
dialihaksarakan sebagai Raavana dan Ravan atau Revana)
adalah tokoh utama yang bertentangan terhadap Rama dalam
Sastra Hindu, Ramayana. Dalam kisah, ia merupakan Raja
Alengka, sekaligus Rakshasa atau iblis, ribuan tahun yang
lalu.
Rawana dilukiskan dalam kesenian dengan sepuluh kepala,
menunjukkan bahwa ia memiliki pengetahuan dalam Weda
dan sastra. Karena punya sepuluh kepala ia diberi nama
"Dasamukha" (bermuka sepuluh), "Dasagriva" (berleher
sepuluh) dan "Dasakanta" (berkerongkongan sepuluh). Ia
juga memiliki dua puluh tangan, menunjukkan kesombongan
dan kemauan yang tak terbatas. Ia juga dikatakan sebagai
ksatria besar.

C. MAHABHARATA
Mahabharata adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh
Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas
kitab, maka dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab).
Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan
kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang
dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi.
Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa
lima dengan saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai
sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang
Bharatayuddha di medan Kurusetra dan pertempuran berlangsung selama
delapan belas hari.

Tokoh-Tokoh Sentral dalam cerita Mahabharata mencakup


a. Pandawa : Pandawa adalah sebuah kata dari bahasa
Sanskerta, yang secara harfiah berarti anak Pandu , yaitu
salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita Mahabharata.
Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putra mahkota
kerajaan tersebut. Dalam wiracarita Mahabharata, para
Pandawa adalah protagonis sedangkan antagonis adalah para
Korawa, yaitu putera Dretarastra, saudara ayah mereka
(Pandu). Menurut susastra Hindu (Mahabharata), setiap
19

anggota Pandawa merupakan penjelmaan (penitisan) dari


Dewa tertentu, dan setiap anggota Pandawa memiliki nama
lain tertentu. Misalkan nama "Werkodara" arti harfiahnya
adalah "perut serigala". Kelima Pandawa menikah dengan
Dropadi yang diperebutkan dalam sebuah sayembara di
Kerajaan Panchala, dan memiliki (masing-masing) seorang
putera darinya..
Para Pandawa merupakan tokoh penting dalam bagian
penting dalam wiracarita Mahabharata, yaitu pertempuran
besar di daratan Kurukshetra antara para Pandawa dengan
para Korawa serta sekutu-sekutu mereka. Kisah tersebut
menjadi kisah penting dalam wiracarita Mahabharata, selain
kisah Pandawa dan Korawa main dadu.
Pandawa terdiri dari :
1. Yudistira
Yudistira merupakan saudara para Pandawa yang paling tua.
Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Yama dan lahir dari
Kunti. Sifatnya sangat bijaksana, tidak memiliki musuh, dan
hampir tak pernah berdusta seumur hidupnya. Memiliki moral
yang sangat tinggi dan suka memaafkan serta suka
mengampuni musuh yang sudah menyerah. Memiliki julukan
Dhramasuta (putera Dharma), Ajathasatru (yang tidak
memiliki musuh), dan Bhrata (keturunan Maharaja Bharata).
Ia menjadi seorang Maharaja dunia setelah perang akbar di
Kurukshetra berakhir dan mengadakan upacara Aswamedha
demi menyatukan kerajaan-kerajaan India Kuno agar berada
di bawah pengaruhnya. Setelah pensiun, ia melakukan
perjalanan suci ke gunung Himalaya bersama dengan
saudara-saudaranya yang lain sebagai tujuan akhir kehidupan
mereka. Setelah menempuh perjalanan panjang, ia
mendapatkan surga.
2. Bima
Bima merupakan putra kedua Kunti dengan Pandu. Nama
bhim dalam bahasa Sansekerta memiliki arti "mengerikan".
Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Bayu sehingga memiliki
nama julukan Bayusutha. Bima sangat kuat, lengannya
panjang, tubuhnya tinggi, dan berwajah paling sangar di
antara saudara-saudaranya. Meskipun demikian, ia memiliki
hati yang baik. Pandai memainkan senjata gada. Senjata
gadanya bernama Rujakpala dan pandai memasak. Bima juga
gemar makan sehingga dijuluki Werkodara. Kemahirannya
dalam berperang sangat dibutuhkan oleh para Pandawa agar
mereka mampu memperoleh kemenangan dalam pertempuran
akbar di Kurukshetra. Ia memiliki seorang putera dari ras
rakshasa bernama Gatotkaca, turut serta membantu ayahnya
berperang, namun gugur. Akhirnya Bima memenangkan
peperangan dan menyerahkan tahta kepada kakaknya,
20

Yudistira. Menjelang akhir hidupnya, ia melakukan


perjalanan suci bersama para Pandawa ke gunung Himalaya.
Di sana ia meninggal dan mendapatkan surga. Dalam
pewayangan Jawa, dua putranya yang lain selain Gatotkaca
ialah Antareja dan Antasena.
3. Arjuna
Arjuna merupakan putra bungsu Kunti dengan Pandu.
Namanya (dalam bahasa Sansekerta) memiliki arti "yang
bersinar", "yang bercahaya". Ia merupakan penjelmaan dari
Dewa Indra, Sang Dewa perang. Arjuna memiliki kemahiran
dalam ilmu memanah dan dianggap sebagai ksatria terbaik
oleh Drona. Kemahirannnya dalam ilmu peperangan
menjadikannya sebagai tumpuan para Pandawa agar mampu
memperoleh kemenangan saat pertempuran akbar di
Kurukshetra. Arjuna memiliki banyak nama panggilan,
seperti misalnya Dhananjaya (perebut kekayaan karena ia
berhasil mengumpulkan upeti saat upacara Rajasuya yang
diselenggarakan Yudistira); Kirti (yang bermahkota indah
karena ia diberi mahkota indah oleh Dewa Indra saat berada
di surga); Partha (putera Kunti karena ia merupakan putra
Perta alias Kunti). Dalam pertempuran di Kurukshetra, ia
berhasil memperoleh kemenangan dan Yudistira diangkat
menjadi raja. Setelah Yudistira mangkat, ia melakukan
perjalanan suci ke gunung Himalaya bersama para Pandawa
dan melepaskan segala kehidupan duniawai. Di sana ia
meninggal dalam perjalanan dan mencapai surga.
4. Nakula
Nakula merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri
dan Pandu. Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama
Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama
Sadewa, yang lebih kecil darinya, dan merupakan penjelmaan
Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia
bersama adiknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain.
Nakula pandai memainkan senjata pedang. Dropadi berkata
bahwa Nakula merupakan pria yang paling tampan di dunia
dan merupakan seorang ksatria berpedang yang tangguh. Ia
giat bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam
masa pengasingan di hutan, Nakula dan tiga Pandawa yang
lainnya sempat meninggal karena minum racun, namun ia
hidup kembali atas permohonan Yudistira. Dalam
penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja
Wirata, ia berperan sebagai pengasuh kuda. Menjelang akhir
hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung Himalaya
bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal dalam
perjalanan dan arwahnya mencapai surga.
5. Sadewa
21

Sadewa merupakan salah satu putera kembar pasangan Madri


dan Pandu. Ia merupakan penjelmaan Dewa kembar bernama
Aswin, Sang Dewa pengobatan. Saudara kembarnya bernama
Nakula, yang lebih besar darinya, dan merupakan penjelmaan
Dewa Aswin juga. Setelah kedua orangtuanya meninggal, ia
bersama kakaknya diasuh oleh Kunti, istri Pandu yang lain.
Sadewa adalah orang yang sangat rajin dan bijaksana. Sadewa
juga merupakan seseorang yang ahli dalam ilmu astronomi.
Yudistira pernah berkata bahwa Sadewa merupakan pria yang
bijaksana, setara dengan Brihaspati, guru para Dewa. Ia giat
bekerja dan senang melayani kakak-kakaknya. Dalam
penyamaran di Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Raja
Wirata, ia berperan sebagai pengembala sapi. Menjelang
akhir hidupnya, ia mengikuti pejalanan suci ke gunung
Himalaya bersama kakak-kakaknya. Di sana ia meninggal
dalam perjalanan dan arwahnya mencapai surga.
b. Kurawa : Korawa atau Kaurawa adalah istilah dalam bahasa
Sanskerta yang berarti "keturunan (raja) Kuru." Dalam
budaya pewayangan Jawa, istilah ini merujuk kepada
kelompok antagonis dalam wiracarita Mahabharata, sehingga
Korawa adalah musuh bebuyutan para Pandawa.
Dalam Mahabharata diceritakan bahwa Gandari, istri
Dretarastra, menginginkan putra. Kemudian Gandari
memohon kepada Byasa, seorang pertapa sakti, dan beliau
mengabulkannya. Gandari menjadi hamil, namun setelah
lama ia mengandung, putranya belum juga lahir. Ia menjadi
cemburu kepada Kunti yang sudah memberikan Pandu tiga
orang putera. Gandari menjadi frustasi kemudian memukul-
mukul kandungannya. Setelah melalui masa persalinan, yang
lahir dari rahimnya hanyalah segumpal daging. Byasa
kemudian memotong-motong daging tersebut menjadi seratus
bagian dan memasukkannya ke dalam guci, yang kemudian
ditanam ke dalam tanah selama satu tahun. Setelah satu tahun,
guci tersebut dibuka kembali dan dari dalam setiap guci,
munculah bayi laki-laki. Yang pertama muncul adalah
Duryodana, diiringi oleh Dursasana, dan saudaranya yang
lain.
Seluruh putra-putra Dretarastra tumbuh menjadi pria yang
gagah-gagah. Mereka memiliki saudara bernama Pandawa,
yaitu kelima putra Pandu, saudara tiri ayah mereka. Meskipun
mereka bersaudara, Duryodana yang merupakan saudara
tertua para Korawa, selalu merasa cemburu terhadap
Pandawa, terutama Yudistira yang hendak dicalonkan
menjadi raja di Hastinapura. Perselisihan pun timbul dan
memuncak pada sebuah pertempuran akbar di Kurukshetra.
Setelah pertarungan sengit berlangsung selama delapan belas
hari, seratus putera Dretarastra gugur, termasuk cucu-
22

cucunya, kecuali Yuyutsu, putra Dretarastra yang lahir dari


seorang dayang-dayang. Yang terakhir gugur dalam
pertempuran tersebut adalah Duryodana, saudara tertua para
Korawa. Sebelumnya, adiknya yang bernama Dursasana yang
gugur di tangan Bima. Yuyutsu adalah satu-satunya putra
Dretarastra yang selamat dari pertarungan ganas di
Kurukshetra karena memihak para Pandawa dan ia
melanjutkan garis keturunan ayahnya, serta membuatkan
upacara bagi para leluhurnya.

BAB IV WAYANG DI ERA GLOBALISASI

Dalam era globalisasi saat ini, tantangan untuk mempertahankan


eksistensi wayang terasa semakin berat. Maraknya budaya barat yang
masuk ke Indonesia secara halus menjadi tantangan tersendiri bagi
perkembangan seni pagelaran wayang. Ditambah lagi menjamurnya
media televis, radio, computer, bahkan internet, tentu jika wayang tidak
memiliki daya hibur yang tinggi dan disajikan dengan kreatif mengikuti
perkembangan zaman, lama-lama akan sulit mencari penggemar.
Di sinilah seni pewayangan mengalami tantangan yang berat.
Sebab jika seni wayang hanya mengandalkan hiburan saja tanpa
dibarengi dengan makna yang dapat digali di dalamnya, bisa dipastikan
akan tergerus dan diabaikan oleh generasi muda sekarang. Sebab, jika
ditilik dari segi hiburan, musik-musik zaman sekarang ataupun
permainan-permaina, yang beredar saat ini, jelas lebih menarik
dinamdingkan wayang.
Oleh karena itu, dalam hiburan wayang, tak hanya menyajikan
hiburan semata. Ada banyak hal yang bisa digali dari seni wayang. jika
boleh dikata, yang menjadikan seni pewayangan bisa tetap eksis di
tengah era globalisasi yang begitu kencang adalah sesuatu yang dapat
diandalkan dari seni pewayangan ini. Misalnya dalam seni pewayangan
ada nilai-nilai tradisional yang positif dan dapat terus dipertahankan dan
dikembangkan, sekaligus mencegah atau mengurangi berkembangnya
nilai-nilai baru yang negatif. Dengan kata lain, wayang itu sejatinya
memiliki fungsi ganda. Dalam pagelaran wayang, ada hiburan yang
dapat dinikmati, ada pendidikan yang bisa dipelajari, ada nilai moral
yang perlu diambil, ada nilai kemanusiaan yang perlu ditiru, dan ada
nilai spiritual yang perlu diterjemahkan.
Lebih dari itu, wayang sebagai salah satu media komunikasi
pembangunan merupakan langkah yang sangat positif dan bijaksana.
Pertama; wayang berfungsi mengembangkan dan melestarikan
warisan nilai budaya nenek moyang bangsa. Apalagi, jika diingat bahwa
kemajuan yang sangat pesat dalam bidang teknologi dan informasi telah
melahirkan berbagai kecenderungan baru dalam kehidupan masyarakat
saat ini.
23

Kedua; wayang sebagai suatu bentuk kesenian tradisional telah


berakar kuat dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa,
maka ia relatif memiliki kedekatan-kedekatan nilai, kepercayaan, tradisi
dan sebagainya dengan masyarakat setempat. Sebagai kesenian
tradisional, wayang pun relatif memiliki kapasitas tinggi tuntuk dititipi
pesan-pesan pembangunan, sehingga eksistensinya sebagai media
komunikasi tidak hanya pelengkap, melainkan mitra sejajar dari berbagai
media komunikasi modern yang selama ini digunakan, baik elektronik
maupun cetak.
Untuk itu, dalam rangka meningkatkan kualitas dalang, tampaknya
para dalang perlu diberi kesempatan yang lebih luas untuk melakukan
pergelaran secara berkesinambungan dengan dukungan dari pemerintah.
Sebab, tanpa dukungan pemerintah, seni pewayangan akan mengalamai
kseulitan dalam melebarkan sayapnya.
Karenanya, penyediaan berbagai sarana dan prasarana seperti
gedung pertunjukan yang representatif dengan biaya sewa yang relatif
murah, akan sangat membantu terlaksananya usaha tersebut. Kesempatan
lain bagi para dalang untuk memperlihatkan dan meningkatkan kreasi
dan ketrampilannya adalah arena festival, seperti Festival Greget Dalang
yang pernah diadakan di Solo, di mana para dalang dapat berkompetisi
secara sehat dengan dalang-dalang lainnya serta tanggap dan bisa
mengikuti perkembangan yang terjadi.
Dalang-dalang yang berkualitas diharapkan mampu tampil sebagai
komunikator yang tangguh dan siap menjawab tantangan perkembangan
zaman. Mereka haruslah terus diberikan ruang yang seluas-luasnya.
Sebab, dalang-dalang berkualitas merupakan ujung tombak untuk
menegaskan citra pagelaran wayang dalam rangka menjawab era
globalisasi yang terus berjalan ini. Sebab, tanpa dalang yang kreatif dan
selalu meng-update wawasan, seni pewayangan barangkali akan mudah
tergerus oleh hiburan modern yang semakin akut seperti seperti yang kita
lihat belakangan ini.
Lebih menarik lagi, adanya suatu forum dialog yang bisa
dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan, baik yang berupa
seminar, sarasehan, lokakarya, ataupun yang lainnya menjadi sesuatu
yang penting untuk menjaga kelestarian wayang. Sebab, dalam
kesempatan tersebut, para praktisi bisa dipertemukan, teoritisi juga
peminat dan pencinta wayang pun bertukar pikiran, sehingga berbagai
masukan untuk pengembangan dan pelestarian seni pewayangan dapat
mudah diwujudkan.
Nah, usaha-usaha tersebut merupakan pekerjaan besar, yang tentu
saja memerlukan proses panjang. Perlu adanya komitmen dan kerja sama
dari berbagai pihak yang berkepentingan, baik dari pemerintah maupun
para pendukung pergelaran wayang (niyaga, pesinden, dan teutama
dalang). Dengan adanya komitmen dan kerja sama ini, diharapkan
wayang, sebagai salah satu warisan budaya nasional, dapat terus
dipelihara dan dipertahankan eksistensinya, sehingga bisa menjadi seni
tonton sekaligus tuntunan yang tak lekang oleh zaman.

Anda mungkin juga menyukai