Anda di halaman 1dari 11

KRITIK SASTRA WAYANG DALAM PRESPEKTIF SENI RUPA

Taj Aly Abdillah


S1 Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta
Tajaly.2020@student.uny.ac.id
Abstrak
Wayang adalah salah satu unsur kebudayaan Indonesia yang mengandung nilai seni, pendidikan
dan nilai pengetahuan yang tinggi yang menjadi sumber inspirasi. Kesenian ini berasal dari jawa
dengan kisah-kisah yang mengandung banyak nilai dan pesan didalamnya. Dewasa ini,
khususnya masyarakat perkotaan, mereka bahkan mengalami keterasingan dan marginalisasi
dalam dinamika sosial budaya masyarakat. Fakta ini terlihat dari munculnya kreasi wayang,
produk budaya yang telah mengalami transformasi dari unsur lamanya, yaitu unsur tradisional.
Keberadaan kreasi wayang pada akhirnya menjadi penggerak tersendiri yang menggambarkan
tempat wayang, sebagai bagian dari citra produk budaya tradisional sebagai bagian dari
kehidupan manusia. . Sejak lahirnya Islam, para Walisongo menggunakannya sebagai sarana
penyebaran Islam di Jawa. Wayang kulit pernah mengalami masa kejayaannya, bahkan pada
masa penyebaran agama Islam di pulau Jawa, para kurator menggunakan cerita dan pertunjukan
wayang yang tertanam dalam ajaran dan prinsip Islam sebagai sarana penyebaran Islam.
menggambarkan kehidupan manusia mengajarkan kita untuk hidup dengan benar, dalam hal ini
Islam mengajarkan hal yang sama agar memudahkan pengelola untuk memasukkan ajaran Islam
ke dalam cerita wayang. Penampilan wayang kreasi merupakan refleksi atau kritik terhadap
perkembangan masyarakat modern saat ini, khususnya dalam aspek budaya, dimana masyarakat
dapat mempelajari hakikat, bentuk, perkembangan sesuatu dan bagaimana membangun sesuatu.
Kata Kunci : Wayang, Budaya, Nilai, Masyarakat, Seni, Pertunjukan
PENDAHULUAN
Wayang adalah salah satu unsur kebudayaan Indonesia yang mengandung nilai seni,
pendidikan dan nilai pengetahuan yang tinggi yang menjadi sumber inspirasi. Kesenian ini
berasal dari jawa dengan kisah-kisah yang mengandung banyak nilai dan pesan didalamnya.
Pertunjukan wayang kulit dalam bentuk asli dalam peralatan yang sederhana dipastikan berasal
dari Indonesia dan diciptakan oleh bangsa Indonesia di Jawa, dan timbulnya sebelum
kebudayaan Hindu datang. Yakni kira-kira pada tahun 1500 Sebelum Masehi, berumur lebih dari
3400 tahun (Mulyono: 1978: 1 - 2).
Analisis karya seni atau karya sastra seringkali memberi perhatian khusus pada tokoh
walaupun tokoh-tokoh fiktif belaka. Pada umumnya para tokoh digambarkan dengan ciri-ciri
yang berhubungan dengan kepribadian mereka (berupa keteranganketerangan psikologis dan
atau sosial) serta sikap mereka (tingkah laku, tindakan) untuk memberi petunjuk tentang diri
tokoh, maka ia mengemukakan ciri-ciri dan tanda-tanda fisik, tanda moral, dan sosial (Zaimar,
1991:48)
Wayang sebagai produk budaya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan masyarakat dan
lingkungannya, sehingga menyatu dengan budaya masyarakat tersebut. Dewasa ini, khususnya
masyarakat perkotaan, mereka bahkan mengalami keterasingan dan marginalisasi dalam
dinamika sosial budaya masyarakat. Fakta ini terlihat dari munculnya kreasi wayang, produk
budaya yang telah mengalami transformasi dari unsur lamanya, yaitu unsur tradisional.
Keberadaan kreasi wayang pada akhirnya menjadi penggerak tersendiri yang menggambarkan
tempat wayang, sebagai bagian dari citra produk budaya tradisional sebagai bagian dari
kehidupan manusia. . Munculnya wayang inovasi serta transformasi wayang tradisional menjadi
wayang kontemporer menunjukkan banyak hal yang menarik. Pertama, wayang pada mulanya
merupakan wahana upacara keagamaan dan penyebarluasan ajaran agama, memberikan wawasan
atau pedoman bagaimana manusia bersikap, bertingkah laku, dan menjalani kehidupan di dunia
ini.mengikuti nilai – nilai adat yang menekankan keseimbangan, berubah menjadi sarana
menggambarkan bagaimana manusia saat ini, terutama dalam dinamika masyarakat, berperilaku,
berperilaku, dan berperilaku. Wayang kulit merupakan cara yang efektif untuk menyampaikan
pesan moral dan mendakwahkan moralitas. Sejak lahirnya Islam, para Walisongo
menggunakannya sebagai sarana penyebaran Islam di Jawa. Wayang kulit pernah mengalami
masa kejayaannya, bahkan pada masa penyebaran agama Islam di pulau Jawa, para kurator
menggunakan cerita dan pertunjukan wayang yang tertanam dalam ajaran dan prinsip Islam
sebagai sarana penyebaran Islam. menggambarkan kehidupan manusia mengajarkan kita untuk
hidup dengan benar, dalam hal ini Islam mengajarkan hal yang sama agar memudahkan
pengelola untuk memasukkan ajaran Islam ke dalam cerita wayang.
Penampilan wayang kreasi merupakan refleksi atau kritik terhadap perkembangan
masyarakat modern saat ini, khususnya dalam aspek budaya, dimana masyarakat dapat
mempelajari hakikat, bentuk, perkembangan sesuatu dan bagaimana membangun sesuatu.
Pertama-tama, wayang kreasi menunjukkan kepada kita suatu sistem pengetahuan, karena dalam
struktur wayang terdapat unsur-unsur mitologis, sehingga berfungsi memberikan pengetahuan
tentang dunia. Produk budaya wayang menjadi pendidikan humanistik, yaitu pendidikan yang
mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan pernyataan simboliknya, sebagai bagian integral dari
sistem budaya.
Kedua, dalam wayang kreasi, kita juga akan mempertimbangkan nilai-nilai inti yang
terkait dengan cara hidup masyarakat yang melalui pengalaman tersimpan tidak hanya dalam
jalinan hubungan produksi sistem ekonomi, tetapi juga dalam menggambarkan hubungan budaya
sebagai sebuah bagian integral dari sosial. , yang pada gilirannya memuat faktor-faktor kondisi
produksi dan konsumsi, pranata budaya, pola sirkulasi, dan produk budaya itu sendiri.
Artikel ini akan menjelaskan secara singkat seni wayang tradisional, budaya Jawa,
filsafat ontologis, epistemologi, dan aksioma-aksioma ilmu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Wayang
Wayang secara harfiah berarti bayangan, namun seiring berjalannya waktu pengertian
tersebut berubah, dan kini wayang bisa berarti panggung atau pertunjukan teater atau bisa
juga berarti aktor dan aktris. Konon ada dua pendapat tentang asal muasal wayang kulit ini.
Pertama-tama, wayang kulit berasal dan lahir di pulau Jawa tepatnya di Jawa Timur.
Kesenian wayang sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial budaya dan religi masyarakat
Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Kedua wayang tersebut berasal dari India, dibawa
bersama agama Hindu ke Indonesia. Kebanyakan ahli percaya bahwa wayang berasal dari
India.
Kesenian wayang khususnya wayang kulit dipercaya berasal dari Indonesia pada masa
pemerintahan Airlangga penguasa kerajaan Kahuripan. Karya sastra Jawa menjadi sumber
cerita wayang yang ditulis oleh pujangga Indonesia abad ke-10, seperti Ramayana kakawin
Jawa Kuna yang ditulis pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung. Wayang kulit mulai
dipertunjukkan pada masa pemerintahan Airlangga. Hal ini terlihat dari beberapa prasasti
yang dibuat pada masa itu yang merujuk pada kata mawayang dan aringgit yang sudah
merujuk pada pertunjukan wayang yang di sini dipahami sebagai wayang kulit. Wayang
adalah salah satu jenis seni pertunjukan yang bercerita tentang tokoh atau kerajaan dalam
dunia pewayangan. Wayang berasal dari kata Ma Hyang yang berarti menuju roh ketuhanan,
dewa atau Tuhan Yang Maha Esa. Wayang kulit adalah walulang inukir (kulit ukiran) dan
Anda bisa melihat bayangan layar. Cerita wayang diambil dari kitab Mahabharata atau
Ramayana. Wayang kulit memiliki banyak makna simbolik karena dalam pementasannya ia
menggambarkan perjalanan hidup, yaitu manusia yang mencari jati dirinya dari akarnya,
bukan manusia yang hanya hidup dan tak pernah mati. Gambaran yang jelas terlihat dari
struktur lakon yang dimainkan dalang yang menceritakan kehidupan salah satu tokoh
wayang.
Pewayangan dilakukan oleh seseorang yang bisa disebut seniman massa. Dalang yang
memainkan semua karakter pelaku wayang kulit adalah wayang kulit kerbau yang dihias
dengan pola mozaik (ukiran kulit). Dalang harus mengubah karakteristik suaranya,
mengubah intonasinya, membuat lelucon, bahkan bernyanyi. Untuk memeriahkan suasana,
dalang dibantu oleh penabuh gamelan dan sinden yang membawakan lagu-lagu Jawa.
Wayang sebagai wahana yang tepat untuk melakukan dakwah Islam pada masa itu sangat
sesuai dengan budaya lokal masyarakat setempat. Wayang merupakan warisan budaya yang
masih ada dan berkembang hingga saat ini. Mengetahui cara untuk berubah dan berkembang
hingga mencapai bentuknya yang sekarang, sesuai dengan kebutuhan zaman. Wayang juga
dikenal oleh sebagian besar masyarakat Jawa, dengan corak, bentuk, dan kualitas yang khas.
Wayang digunakan sebagai metode komunikasi karena merupakan seni tradisional yang
paling populer di masyarakat. Selain itu, sebagai sarana edukasi dan komunikasi langsung
dengan masyarakat diyakini efektif untuk penyebaran agama Islam.
Salah satu alat yang mereka gunakan untuk mendukung dakwahnya adalah wayang. Para
pengurus banyak melakukan penyesuaian terhadap adat setempat agar lebih sejalan dengan
ajaran Islam. Wujud wayang telah diubah, semula berwujud manusia, menjadi wujud baru.
Profil samping, leher memanjang, lengan panjang sampai kaki, bahan kulit kerbau. Tentu
saja, dari segi fitrah yang disampaikan dalam cerita-cerita tersebut, terkandung unsur
moralitas Islam. Misalnya dalam lakon Bima Suci, Bima sebagai tokoh sentral diminta
percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Yang menciptakan dunia dan segala isinya.
Tidak berhenti sampai di situ, dengan kepercayaannya Bima mengajarkannya kepada
kakaknya, Arjuna. Karya ini juga mengandung ajaran tentang mencari ilmu, kesabaran,
keadilan, dan sopan santun dengan manusia lain. Kisah ini sangat bagus dan sangat terkenal
di Kasepuhan karena mengandung perenungan yang mendalam tentang asal usul dan tujuan
hidup manusia.
Lebih jauh lagi, wayang memainkan peran penting dalam Islamisasi Jawa, bahkan
wayang sendiri merupakan peninggalan agama Hindu. Mereka tahu bahwa pertunjukan
wayang sudah mendarah daging di masyarakat dan tidak bisa dihilangkan. Oleh karena itu,
para wali, termasuk Sunan Kalijaga, memiliki inisiatif untuk mengubah, memperbaiki dan
menyempurnakan wayang, kemudian mengisinya dengan nilai-nilai, etika Islam, akhlak
mulia, dengan nafas Islam. Berkat media wayang, Sunan Kalijaga dinilai berhasil melakukan
dakwah melalui media wayang. Unsur baru berupa ajaran Islam dimasukkan ke dalam
wayang. Hal ini dilakukan agar pemirsa dapat menerima ajaran Islam secara sukarela dan
mudah tanpa paksaan.
Bicara tentang wayang berarti kita sudah berfilsafat karena wayang adalah filosofi Jawa.
Karena wayang mengambil ajarannya dari sistem kepercayaan dan memberikan falsafah
hidup yang berbeda-beda berdasarkan sistem kepercayaan tersebut. Hidup harus didasarkan
pada apa yang disebut kebenaran. Dan menurut wayang, "kebenaran sejati" hanya datang dari
Tuhan. Untuk mencapainya, manusia harus mampu mencapai 'kesadaran sejati' dan memiliki
'ilmu sejati'. Untuk ini, orang akan dapat melihat "kenyataan sebenarnya" dengan melakukan
dua hal. Pertama, mempersiapkan jiwa dan raga menjadi pribadi yang kuat dan suci, dan
kedua, mencari ridho Allah. Nilai-nilai filosofis yang terdapat dalam cerita pewayangan
selalu mengajak masyarakat untuk berbuat baik dan menjauhi kemungkaran, serta
menanamkan dalam masyarakat semangat “amar ma’ruf nahi munkar” atau istilah
pewayangan “memayu hayuning bebrayan agung”. sesuai dengan ajaran agama dan
kepercayaan masyarakat.

B. Perlengkapan Wayang
Seni memainkan wayang yang biasa disebut pagelaran, merupakan kombinasi harmonis
dari berbagai unsur kesenian. Pada pagelaran wayang kulit dituntut adanya kerjasama yang
harmonis baik unsur benda mati maupun benda hidup (manusia). Unsur benda mati yang
dimaksud adalah sarana dan alat yang digunakan dalam pagelaran wayang kulit. Sementara
unsur benda hidup (manusia) adalah orang-orang yang berperan penuh dalam seni pagelaran
wayang kulit. Dua unsur tersebut, antara lain :
 Unsur Benda
Unsur benda yang ada dalam pagelaran wayang kulit adalah alat-alat yang berupa
benda tertentu yang digunakan dalam pagelaran wayang tersebut. Bahkan terdapat unsur
materi yang harus ada (karena tidak bisa digantikan). Unsur materi yang dimaksud antara
lain: wayang yang terbuat dari kulit lembu, kelir, debog (batang pohon pisang),
seperangkat gamelan, keprak, kepyak, kotak wayang, cempala, dan blencong.
Seperangkat alat tersebut harus ada, karena alat-alat tersebut tidak bisa digantikan.
 Unsur Manusia
Dalang, penyimping, penabuh, dan sinden adalah orang-orang yang berperan
penting dalam kelancaran dan keberhasilan sebuah pagelaran wayang. Mereka adalah
orang-orang yang memiliki kemahiran khusus dalam bidangnya masing-masing. Berkat
kemahiran khusus tersebut, terkadang mereka tidak bisa digantikan oleh sembarang
orang. Peranan dalang sangat penting dan paling menentukan bagi perkembangan dunia
perwayangan.

C. Wayang Kreasi dan Jenisnya


Penciptaan Wayang Kreasi dilakukan karena berbagai alasan, seperti kebutuhan untuk
menceritakan kisah-kisah kehidupan atau sejarah masyarakat selain Mahabharata dan
Ramayana, sebagai media informasi atau penyuluhan, sampai alasan komersial. Alasan lain
dikemukakan, perlunya penciptaan wayang kreasi baru karena wayang pakem sudah mulai
ditinggalkan oleh masyarakat modern karena dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan zaman, seperti pertunjukan yang kaku baik dari tata bahasa dan cerita maupun
lamanya waktu pertunjukan.
Heri Dono menyampaikan bahwa terjadi gap/ kesenjangan antara seniman wayang tua
yang masih berpegang pada anggapan wayang adalah benda keramat yang tidak bisa disentuh
sembarangan, dengan generasi muda yang tidak bisa berbuat hal kreatif pada dunia
pewayangan, yang mengakibatkan generasi muda tersebut beralih pada media hiburan
modern. Hal ini mengakibatkan wayang semakin ditinggalkan dan ditampilkan hanya pada
acara-acara tertentu saja, yang kemudian mempengaruhi penghidupan para pekerja
pedalangan serta pewayangan.

Kemudian jenis jenis wayang kreasi yaitu sebagai berikut :


1. Wayang Revolusi
Wayang revolusi diciptakan untuk keperluan propaganda pada masa kemerdekaan
Indonesia. Tokoh-tokoh Wayang Revolusi menggambarkan tokoh-tokoh revolusi
Indonesia, pejuang, masyarakat dan penjajah kolonial. Saat ini Wayang Revolusi yang
berjumlah sekitar 150 buah tersimpan di Museum Bronbeek, Belanda.

2. Wayang Kreasi Karya Ki Enthus Susmono


Ki Enthus Susmono, merupakan seorang dalang dan pencipta wayang, pernah
mendapatkan rekor dari Museum Rekor Indonesia (MURI) karena menciptakan lebih dari
1400 wayang dari berbagai gaya dan jenis, terutama karena banyak menciptakan wayang
kreasi baru. Beberapa karya wayang kreasi beliau adalah:
 Wayang Rai Wong
Rai Wong, Rai yang berarti kepala/ wajah sedangkan Wong berarti manusia, hasil
kreasi pada jenis wayang ini adalah kreasi visualisasi wajah wayang, tidak lagi seperti
halnya Wayang Kulit Purwa, yang mengalami distorsi bentuk, Wayang Rai Wong
dibuat dengan bentuk wajah berupa karikatur menyerupai wajah manusia, sedangkan
bagian badan ada yang tetap mengikuti pakem Wayang Kulit Purwa, namun ada juga
yang lepas dari pakem tersebut. Adapula yang menggunakan tokoh-tokoh politik atau
tokoh masyarakat serta penggabungan keduanya, yaitu menggambarkan tokoh politik
namun dengan menggunakan atribut dan karakter Wayang Kulit Purwa yang telah
disesuaikan, misalnya tokoh George Bush, mantan Presiden Amerika Serikat yang
dikenal sebagai pencetus Perang Teluk, digambarkan dengan karakter Batara Guru
pada Wayang Kulit Purwa.

 WayangWayang Superstar
Ki Enthus Susmono menciptakan Wayang Superstar karena menurutnya anak-
anak sekarang lebih mengenal tokoh-tokoh pahlawan dari luar negeri, seperti Batman,
Superman, Ksatria Baja Hitam dan tokoh film seperti Harry Potter. Berdasarkan hal
tersebut, beliau menciptakan wayang yang berdasarkan tokoh pahlawan super
tersebut dan mempertemukan dengan tokoh wayang tradisional seperti Gatotkaca di
dalam pertunjukan wayang.

3. Wayang Kampung Sebelah Karya Ki Jlitheng Suparman


pengembangan dari Wayang Kampung yang diciptakan oleh Suharman (Mance)
seorang dosen dari Surabaya. Wayang Kampung Sebelah kemudian dikembangkan oleh
Ki Jlitheng dengan beragam tokoh yang berperan dalam dinamika masyarakat kampung.
Cerita atau lakon pada Wayang Kampung Sebelah menggambarkan kehidupan
masyarakat pedesaan dengan dinamikanya, dimana pada setiap pementasan selalu
mengangkat isu-isu terkini seperti kondisi masyarakat, kondisi politik termasuk
kesenjangan masyarakat miskin dengan masyarakat berada, dll.

4. Wayang Kreasi Sebagai Pelestari Budaya


Budaya, terutama tradisi kebudayaan lokal dalam hal ini khususnya pewayangan,
memberikan identitas yang unik kepada masyarakat dalam kehidupan bermasyarakatnya.
Perkembangan masyarakat dengan pengaruh ekonomi dan teknologi memaksa seni
pewayangan untuk ikut menyesuaikan diri, namun perlu adanya batasan-batasan agar
tradisi budaya tradisional tidak ‘melacur’ dan terjebak pada kepentingan industri. Tradisi-
tradisi tertentu masih harus dipertahankan untuk menjaga keseimbangan kehidupan pada
masyarakat sesuai dengan falsafah masyarakat Nusantara. Oleh karena itu perlu dipahami
sejauh mana seni pewayangan dapat bertransformasi sesuai jaman atau sebaliknya harus
dipertahankan untuk menjaga masyarakat tidak tenggelam oleh derasnya arus negatif
yang disebabkan pesatnya kemajuan jaman.

D. Wayang Secara Aksiologi


Dalam bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios yang berarti nilai dan logos yang
berarti teori atau ilmu. Oleh karena itu, aksioma adalah teori nilai. Aksioma juga dapat
disebut teori nilai atau teori nilai. Berikut beberapa definisi menurut Suriasumantri (1987:
234) aksioma adalah teori nilai mengenai kegunaan pengetahuan yang diperoleh. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 19), aksiologi adalah penggunaan ilmu pengetahuan
bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai, khususnya etika. Menurut Wibisono, aksioma
adalah nilai-nilai yang dianggap sebagai ukuran kebenaran, etika dan moralitas yang menjadi
landasan normatif bagi penelitian dan penemuan, serta penerapan ilmu. Dari pengertian
aksioma di atas, bila diterapkan pada seni wayang maka yang dapat dianalisis adalah
pemanfaatan seni wayang. Kesenian wayang dalam masyarakat seringkali hanya dipahami
sebagai hiburan. Konotasi ini perlu diperjelas, tidak hanya sebagai sarana hiburan, seni
wayang juga dapat berfungsi sebagai media pendidikan, dan sebagai sarana komunikasi
untuk menyampaikan maksud-maksud tertentu, baik yang berkaitan dengan agama, kritik
sosial, bahkan sebagai sarana pamer. dimana pemerintah mengkomunikasikan setiap program
atau menyebarluaskan informasi tentang kebijakan pemerintah yang relevan.
Pertunjukan wayang harus mengandung pendidikan. Pendidikan ini terkait dengan nilai-
nilai yang ada dalam pewayangan serta terkait dengan perlindungan saksi dan korban. Kedua
mata pelajaran ini memiliki nilai yang terkait satu sama lain. Wayang mengandung nilai-nilai
kehidupan yang bermanfaat bagi umat manusia. Nilai-nilai tersebut secara tradisional
ditanamkan oleh para leluhur melalui pertunjukan. Tokoh, kepribadian serta topik yang
diangkat harus menekankan bahwa kebajikan mengalahkan kejahatan, kebenaran
mengalahkan ketidakadilan dan keadilan mengalahkan ketidakadilan (wayang adalah simbol
kehidupan).
Nilai-nilai religi dalam wayang tergambar dengan baik baik dalam konteks bahasa dan
sastra, seni, adat istiadat dan artefak. Mantra dan doa, ekspresi artistik pada unsur
pertunjukan, tradisi ritual dalam kehidupan manusia, baik dalam kandungan maupun saat
lahir ke dunia, objek dalam pertunjukan penyucian diri, bermain dengan tema kesucian dan
ketuhanan (Sudamala, Murwakala, Bharatayuda, Pandawa tani, Sri Mulih, mengungkapkan,
dll) adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan kepercayaan/keagamaan. Wayang juga
mengandung nilai ilmiah dan filosofis. Di dalam kondisi wayang dengan ikon. Setiap elemen
pertunjukan berisi ikon ini.
Dalang adalah Tuhan, layar adalah alam semesta, wayang adalah makhluk, batang pisang
adalah bumi, blencong adalah cahaya kehidupan, gamelan adalah harmoni kehidupan. Bima
Snunga sebagai manusia Jawa dapat mencapai kehadiran Tuhan, tatanan wayang kanan dan
kiri sebagai keutamaan dan kesombongan (dualisme), gunungan sebagai alam semesta, dll.
Ekspresi artistik termasuk drama, musik, tari, sastra dan visual dapat dilihat sepanjang
pertunjukan wayang. Keindahan drama yang dibantu kehalusan ekspresi gerak, musik dan
sastra membentuk sensasi tertentu, seperti nges, sem, greget dan lawakan.

E. Wayang Secara Ontologis


Ontologi adalah salah satu studi filosofis tertua dan berasal dari Yunani. Secara ontologis,
bahasa terdiri dari dua suku kata, ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud dan
logos berarti pengetahuan, pembahasannya tentang hakikat realitas yang ada, baik dalam
wujud fisiknya maupun dalam wujud metafisiknya. Lebih lanjut, ontologi merupakan hakikat
ilmu itu sendiri, dan hakikat kebenaran dan realitas yang melekat pada pengetahuan ilmiah
tidak dapat dipisahkan dari pandangan filosofis tentang apa dan bagaimana.
Dikaitkan dengan visi ontologis seni wayang, maka hakikat filosofis wayang adalah
bayangan, gambaran atau gambaran kehidupan alam semesta. Dalam wayang digambarkan
tidak hanya tentang manusia, tetapi juga kehidupan manusia dalam hubungannya dengan
sesama, alam dan Tuhan. Ketika mendengar kata wayang, pikiran kita tertuju pada empat
aspek wayang. Aspek pertama mengacu pada wayang atau wayang sejenis. Wayang wayang
pada prinsipnya adalah tokoh wayang yang dimainkan atau digerakkan oleh pelaku/pemain
wayang.
Aspek kedua, wayang mengacu pada pertunjukan, dalang adalah seorang seniman yang
membawakan karya tertentu dan sekaligus mengarahkan pertunjukan dengan menggunakan
sanggitnya, baik di panggung pelaku maupun di panggung pakeliran. Aspek ketiga mengacu
pada sastra atau repertoar lakon. Sastra wayang yang dimaksud oleh seniman/dalang berupa
lakon balungan atau lakon jangkep. Lakon balungan menyajikan acara utama sedangkan
lakon jangkep menyajikan unsur-unsur pementasan secara lengkap. Aspek keempat berkaitan
dengan penari wayang. Penari wayang memainkan karakter wayang mengikuti stereotip
karakter wayang.
Dalam pementasan wayang terdapat pesan yang ingin disampaikan, Adapun pesan
tersebut disampaikan melalui unsur-unsur estetik pertunjukan, yaitu :
 Catur
Catur adalah unsur estetik dalam seni pewayangan yang berhubungan dengan
kata- kata, meliputi monolog, dialog, deskripsi dan narasi.

 Sabet
Sabet adalah unsur estetik dalam seni pewayangan yang berhubungan dengan
ragam pola gerak, ekspresi dan komposisi wayang yang membentuk kesan emosional
maupun penceritaan adegan tertentu.

 Karawitan
Karawitan adalah unsur estetik dalam seni pewayangan yang berhubungan dengan
semua unsur bunyi-bunyian misalnya suluk, komposisi gendhing, tembang/lagu,
dhodhogan dan keprakan.

Ada tiga jenis cara penyampaian pesan dalam pertunjukan wayang, yaitu :
 Melok
Melok menyampaikan pesan dengan cara verbal, blak-blakan, menembak
langsung pada sasaran.

 Medhang Miring
Medhang Miring menyampaikan pesan dengan cara menyerempet pada sasaran,
menggunakan kalimat-kalimat kiasan.

 Nyampar Pikoleh
Nyampar Pikoleh menyampaikan pesan dengan cara disamarkan dalam peristiwa-
peristiwa lain yang secara esensi mengandung pesan yang sama dengan materi yang ingin
disosialisasikan.

Dalam seni wayang terdapat standar bagaimana warisan nilai-nilai kebangsaan


diwujudkan dan diwariskan secara turun-temurun selama berabad-abad. Wayang juga
mencerminkan bagaimana manusia hidup pada masanya, sehingga penampilan wayang saat
ini sangat menggambarkan seperti apa negara saat ini. Upaya terus-menerus untuk
menciptakan sinergi antara kehidupan sosial dan seni sebenarnya adalah model pendidikan
yang bijak, di mana nilai-nilai (termasuk hukum) disosialisasikan dengan cara yang mulia
dan indah menempatkan manusia pada kodratnya sendiri dan sebaliknya nilai-nilai ideal.
dalam wayang akan mempengaruhi kualitas moral dan estetika masyarakat dalam kehidupan
nyata.

F. Wayang Secara Epistemologi


Definisi epistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji dan membahas tentang
batasan, dasar dan landasan, alat, tolok ukur, nilai, keabsahan, dan kebenaran pengetahuan,
makna dan pengetahuan manusia tentang seni wayang. an Hyang berarti “leluhur”, tetapi ada
juga orang yang percaya bahwa wayang berasal dari kata “bayangan” yang berarti
“kegelapan” atau “naungan” dengan perasaan melamun, gelap atau suram; secara harfiah,
wayang adalah bayangan (bayangan) yang diciptakan oleh “wayang wayang” selama
pementasannya.
Wayang merupakan evolusi pemujaan dewa/leluhur Indonesia masa lalu (prasejarah).
Pemujaan leluhur dalam masyarakat Neolitikum dipimpin oleh seorang saman, yang
bertindak sebagai penghubung antara alam duniawi dan alam gaib. Esensi dari tradisi ini
dapat dilihat pada ritual ruwatan, pensucian desa dan suran, khususnya wayang sebagai
sarana pembebasan dari malapetaka bagi seseorang/kelompok masyarakat yang terkena
sukerta/noda gaib dan persembahan/penyembahan kepada roh leluhur. Wayang merupakan
media pertunjukan yang dapat mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pemikiran
rakyat, baik yang berkaitan dengan ideologi, politik, ekonomi, kemasyarakatan, budaya,
hukum maupun pertahanan keamanan negara dapat dituangkan dalam wayang.
Biasanya sistem pemikiran yang dikemukakan terhadap suatu negara adalah gemah,
ripah, loh, jinawi, tata, perdamaian, karta, raharja; struktur sosial dalam sistem negara
pengadilan (raja, pendeta, panglima, prajurit, dll.). Selain itu, masalah kehidupan manusia
sehari-hari sebenarnya diselesaikan dalam suasana yang agak santai (siput dan kekacauan).
Program wayang memuat aturan dan tata cara permainan. dalang dan lakon wayang, yang
diwariskan secara turun-temurun dan tradisi, lambat laun menjadi sesuatu yang menyatu
sebagai konvensi (convention). Konvensi ini akrab bagi pemain dan penonton, seperti
bagaimana raja dan senapati berkomunikasi, atau sebaliknya, raja dan pendeta atau
sebaliknya. Wayang juga mengandung ajaran-ajaran yang dapat dijadikan pedoman bagi
kehidupan masyarakat, seperti tentang kepemimpinan:
Seorang pemimpin harus meneladani karakter Surya, Candra, Kartika, Akasa, Kisma,
Tirta, Dahana dan Samirana. Namun, wayang juga dianggap sebagai seni pertunjukan yang
menyenangkan, indah, dan menghibur, yang berarti dapat membuat penonton senang.

SIMPULAN
Wayang menjadi salah satu unsur kebudayaan Indonesia yg mengandung nilai-nilai seni,
pendidikan, & nilai-nilai pengetahuan yg tinggi diperkirakan ada kira-kira dalam 34 abad yg lalu.
Wayang menjadi sebuah produk budaya nir bisa dilepaskan menurut eksistensi rakyat &
lingkungannya, sebagai akibatnya terintegrasi menggunakan kebudayaan dalam rakyat tersebut.
Begitu jua menggunakan Desain, keilmuannya pun menuntut dirinya buat berelasi menggunakan
keilmuan lain yg lalu dijadikan sandaran buat bisa menyebarkan bentuk-bentuk lain yg sinkron
menggunakan empiris dilingkungan rakyat. Wayang Kreasi menjadi pandangan baru menurut
wayang-wayang lain yg sebelumnya pernah terdapat merupakan bentuk komprehensif antara
dimensi kebudayaan, desain & sosial.
Kesenian wayang apabila kita lihat menurut 3 (tiga) pilar filsafat ilmu maka secara
Ontologis, hakikat wayang secara filosofi Wayang adalah bayangan, citra atau lukisan tentang
kehidupan alam semesta. Ada 4 aspek pada pementasan wayang, yaitu :
Aspek pertama mengacu dalam boneka wayang atau sejenisnya, pertunjukannya, sastra atau
khasanah lakon, & dalam penari-penari wayang. Dalam ekesenian wayang masih ada nilai &
pesan didalamnya, selain itu wayang jua adalah refleksi kehidupan rakyat dalam jamannya
sebagai akibatnya misalnya apa wayang ketika ini sebenarnya mendeskripsikan jua misalnya apa
bangsa ini sekarang. Sedangkan secara Epistemologi, wayang adalah perkembangan menurut
sebuah upacara pemujaan pada roh nenek moyang/ leluhur bangsa Indonesia dalam masa lampau
(prasejarah). Wayang adalah media pertunjukan yg bisa memuat segala aspek kehidupan insan
(momot kamot). Pemikiran insan, baik terkait menggunakan ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, aturan juga pertahanan & keamanan bisa termuat pada pada wayang. Dan yg terakhir
apabila dipandang secara Aksiologi, maka kesenian wayang berfungsi menjadi wahana
pendidikan, & menjadi wahana komunikasi buat mengungkapkan maksud tertentu, baik itu herbi
keagamaan, kritik sosial & bahkan menjadi wahana pemeritah pada mengungkapkan setiap acara
atau pada mensosialisasikan kebijakan menurut pemerintah terkait.
Ada 2 unsur pada perlengkapan wayang kulit, yaitu:
Unsur benda terdiri menurut:
wayang kulit, gamelan, kelir, debog, blencong, kotak wayang, cempala, panggung, soundsistem.
Sedangkan menurut unsur insan, terdiri menurut:
dalang, penyimping, panjak, waranggan.
Wayang merogoh ajaran-ajarannya menurut asal sistem agama , & menunjukkan banyak
sekali macam filsafat hayati yg bersumber dalam sistem-sistem agama tersebut. Hidup haruslah
dari pada apa yg dinamakan kebenaran. Dan dari wayang, “kebenaran sejati” datangnya hanyalah
menurut Tuhan. Untuk menerima ini, insan wajib bisa mencapai “pencerahan sejati” & memiliki
“pengetahuan sejati”. Nilai-nilai filosofi yg masih ada pada cerita pewayangan selalu mengajak
rakyat buat berbuat baik & menghindari kejahatan.

DAFTAR PUSTAKA
Priyanto, S.S., M.Hum Darmoko, S.S., M.Hum. (2012). Buku Ajar MPK Seni Wayang.
Universitas Indonesia.
https://www.academia.edu/download/38322704/Modul_Mata_Kuliah_Pengembangan_K
epribadian_Seni_Wayang.pdf
Fujiatuti, Deftidwibudi (2012) Perancangan Buku Ilustrasi Bergambar Wayang Wong Sriwedari
Sebagai Media Informasi.  Skripsi diploma, Universitas Komputer Indonesia.
https://repository.unikom.ac.id/id/eprint/21850
Maulana, Fariz. (2012). Perencanaan Buku Cerita Bergambar Wayang “Werkudara Dalam
Lakon Dewa Ruci” Sebagai Upaya Dalam Meningkatkan Pengetahuan Bagi Anak-Anak.
Surakarta. https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/29027
R, Kurniawan. Pengembangan Buku Ilustratif untuk Pengenalan Wayang Krucil bagi Remaja
Usia Sekolah Menengah Pertama di Kota Malang. Surabaya.
https://www.researchgate.net/profile/Rahmat-Kurniawan-2/publication/
330899607_Pengembangan_Buku_Ilustratif_untuk_Pengenalan_Wayang_Krucil_bagi_R
emaja_Usia_Sekolah_Menengah_Pertama_di_Kota_Malang/links/
5c5a56a292851c48a9bd73a7/Pengembangan-Buku-Ilustratif-untuk-Pengenalan-Wayang-
Krucil-bagi-Remaja-Usia-Sekolah-Menengah-Pertama-di-Kota-Malang.pdf
Susetyo, R., Supatmo, S., & Haryanto, E. (2019). PERANCANGAN BUKU CERITA
BERGAMBAR RAMAYANA SEBAGAI MEDIA PENYAMPAI PESAN MORAL
BAGI GENERASI MUDA. Arty: Jurnal Seni Rupa, 5(1), 53-64.
https://doi.org/10.15294/arty.v5i1.35109
Setiawan, Eko. 2020. Makna Nilai Filosofi Wayang Kulit Sebagai Media Dakwah. Al-Hikmah.
Vol, 18 No. l April 2020. file:///C:/Users/acer/OneDrive/Documents/Model%20semester
%205/kritik%20wayang%20seni%201.pdf
Mudana, IW, & Ribek, PK (2017). Komodifikasi Seni Lukis Wayang Kamasan Sebagai Produk
Industri Kreatif Penunjang Pariwisata. Mudra Jurnal Seni Budaya , 32 (1).
https://doi.org/10.31091/mudra.v32i1.83
Kasim, Sunardi. 2018. Wayang Dalam kajian Ontologo, Epsitimologi Dan Aksiologi Sebagai
Landasan Filsafat Ilmu. Universitas Nusa Tenggara Barat.
https://www.sangkareang.org/index.php/SANGKAREANG/article/view/156
Anwar, Akhmad Syaiful. (2018). Augmented Reality Buku Edukasi Mahabarata Rupa Tokoh
Wayang Pandawa Untuk Remaja. Skripsi S1, Fakultas Seni Rupa Dan Desain.
http://repository.isi-ska.ac.id/2665/
Nur, Muhammad Kurnia Fauqou., Nugraha, Novian Denny. (2018). Perancangan Buku Cerita
Bergambar Tentang Wayang Landung Ciamis (Gumelar Putra Werkudara). Bandung
Barat. https://openlibrarypublications.telkomuniversity.ac.id/index.php/artdesign/article/
view/7371#
Devi, Anggita Shita., Maisaroh, Siti. (2017). Pengembangan Media Pembelajaran Buku Pop-up
Wayang Tokoh Pandhawa Pada Mata Pelajaran Bahasa Jawa Kelas V SD. Yogyakarta:
PGSD Indonesia. https://web.archive.org/web/20180428101557id_/http://upy.ac.id/ojs/
index.php/jpi/article/viewFile/985/783
Pratama, Dendi. 2011. Wayang Kreasi: Akulturasi Seni Rupa Dalam Penciptaan Wayang Kreasi
Berbasis Realitas Kehidupan Masyarakat. Jakarta Selatan : Universitas Indraprasta PGRI.
https://journal.lppmunindra.ac.id/index.php/Deiksis/article/view/442/741
Sutanto, Edy. 2016. Wayang Sebagai Sumber Inspirasi Dan Energi dalam sastra Indonesia
Modern: Analisis Genetis Reseptif. Jakarta : populis.
http://journal.unas.ac.id/populis/article/view/195/110
Suseno,Franz Magnis.1995.Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta:Gramedia
Mertosedono, Amir. 1990. Sejarah Wayang: Asal - usul, Jenis, dan Cirinya. Bahasa Prize,
Semarang
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

Anda mungkin juga menyukai