Anda di halaman 1dari 4

WAYANG SEBAGAI PETUAH BUDAYA

Oleh: Rustarim
Ilmu Al’Qur’an dan Tafsir
Universitas Muhammadiyah Cirebon

Wayang merupakan salah satu bentuk seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara
keanekaragaman karya budaya lainnya. Wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur,
seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan seni perlambang. Wayang terus berkembang dari zaman ke zaman,
juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

Wayang dianggap memiliki nilai yang sangat berharga dalam pembentukan karakter dan jati diri budaya
bangsa serta peradaban Indonesia. Diperkirakan wayang mulai dikenal dan berkembang di Nusantara
sejak 1500 SM sebagai bagian ritual. Nenek moyang kita percaya bahwa roh atau arwah orang yang
meninggal tetap hidup dan bisa memberi pertolongan pada yang masih hidup. Karena itu roh-roh tersebut
lantas dipuja dengan sebutan “hyang” atau “dahyang” yang diwujudkan dalam bentuk patung atau gambar.
Dari sinilah asal usul pertunjukkan wayang, walaupun masih dalam bentuk yang sederhana. Dalam
perkembangannya, fungsi wayang sebagai media untuk menghormati arwah nenek moyang juga
mengalami perkembangan. Saat periode Hindu Buddha di Indonesia, cerita Ramayana dan Mahabarata
berkembang pesat dengan penambahan tokoh-tokoh dalam cerita tersebut yang berakulturasi dengan
budaya masyarakat setempat.

Wayang merupakan seni edipeniadiluhung, artinya seni yang selain indah juga mengandung nilai-nilai
keutamaan hidup. Inilah yang membuat UNESCO menetapkan wayang sebagai Masterpiece of the Oral
and Intangible Heritage of Humanity pada 7 November 2003, dan kemudian masuk dalam daftar Warisan
Budaya Takbenda UNESCO untuk kategori Representative List of the Intangible Cultural Heritage of
Humanity dengan judul The Wayang puppet theater tertanggal 4 November 2008.

Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2018, tertanggal 17 Desember 2018,
Pemerintah telah menetapkan tanggal 7 November sebagai Hari Wayang Nasional (HWN).

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Hilmar Farid
mengatakan Presiden Joko Widodo langsung menandatangani Keputusan Presiden tentang penetapan
Hari Wayang Nasional di hadapan para perwakilan budayawan dan seniman di Istana Merdeka.

Menurut UNESCO, wayang merupakan Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan yang diproklamasikan
pada 2003. Indonesia terkenal karena wayangnya yang rumit dan gaya musiknya yang kompleks, bentuk
cerita kuno ini berasal dari Pulau Jawa.

Menariknya, seni teater wayang tercatat sanggup bertahan melampaui kurun waktu berabad-abad.
Sekalipun kini bisa dikata keberadaannya mulai telah terdesak oleh berbagai tawaran bentuk-bentuk
hiburan modern lain, hingga kini wayang masih mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia, khususnya
di Jawa dan Bali.
Fenomena ini setidaknya tecermin dari masih seringnya teater wayang ini digelar dalam acara-acara formal
maupun informal, baik oleh masyarakat maupun pejabat pemerintah. Selain itu, juga tercermin dari masih
berlangsungnya proses regenerasi terhadap profesi dalang, yaitu aktor utama dalam seni pertunjukan

Empat teori atau tafsiran itu, pertama, asal usul wayang adalah Jawa (Indonesia). Para peneliti yang
meyakini hipotesa itu ialah JLA Brandes, GAJ Hazeu, J Kats, Anker Rentse, dan lain sebagainya. Kedua,
wayang berasal dari India. Mereka yang berkesimpulan teater wayang berasal dari India yaitu R Pichel,
Poensen, Goslings, dan Rassers.

Ketiga, asal usul wayang yaitu perpanduan antara Jawa dan India. Sebutlah J Krom dan WH Rassers,
misalnya, tiba pada kesimpulan hipotetif tersebut. Dan terakhir atau keempat, wayang berasal dari Cina.
Peneliti yang tiba pada kesimpulan itu ialah G Schlegel.

Kemudian muncul pula cerita Panji yang berasal dari era Kerajaan Kadiri atau periode klasik di Jawa yang
menceritakan tentang kepahlawanan dan cinta yang berpusat pada dua orang tokoh utamanya yaitu
Raden Inu Kertapati atau Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana. Cerita ini
mempunyai banyak versi, dan telah menyebar di beberapa tempat di Nusantara, termasuk di antaranya
Jawa, Bali, Kalimantan, Malaysia, Thailand, Kamboja, Myanmar dan Filipina. Cerita dalam penampilan
wayang tidak menutup kemungkinan untuk menampilkan kisah-kisah lain di luar cerita-cerita klasik.

Awal mula penyebaran agama Islam, wayang dijadikan media dakwah dengan penambahan tokoh-tokoh,
pengembangan cerita, termasuk penyesuaian jalan cerita sehingga tidak bertentangan dengan ajaran
agama. Bahkan, pada era yang lebih modern, wayang lantas digunakan sebagai media propaganda politik.

Seiring perkembangan zaman, wayang tetap bertahan hidup dan terus mengalami perkembangan yang
dipengaruhi oleh agama, serta nilai-nilai budaya yang masuk dan berkembang di Indonesia. Proses
akulturasi ini berlangsung sejak lama sehingga seni wayang memiliki daya tahan dan daya kembang tinggi.

“Akhir-akhir pekan kemarin tepatnya pada tanggal 18 Februari 2022 setelah beranda instragram dipenuhi
dengan beredarnya video pagelaran wayang yang digelar oleh Pondok Pesantren Ora Aji milik Gus Miftah,
video pendek itu viral lantaran tampak sesosok wayang kulit yang dinilai mirip Ustadz Khalid Basalamah
sedang dihajar oleh wayang lainnya. Bahkan, sang dalang dengan penuh emosi terlihat membanting-
banting wayang kulit yang lengkap dengan peci dan jenggot itu.”

Setelahnya ramai berita soal Gus Miftah di berbagai media massa. Bahkan, di platform Twitter dan kolom
komentar Instagram, konon akun Gus Miftah dibanjiri hujatan warganet. Gus Miftah pun berkilah bahwa
lakon wayang itu merupakan domain sang dalang, tak ada kaitannya dengan dia. Bahkan, dia
menerangkan, “kalau dimaknai pentas wayang itu merupakan reaksi atau respons dari apa yang terjadi
hari ini, saya pikir kurang pas.” Sebab, menurut penuturannya, pesantren tersebut memang rutin
mengadakan pagelaran wayang.

Wayang menjadi suatu produk kebudayaan mampu menumbuhkan nilai-nilai tersendiri bagi masyarakat
Indonesia, mulai dari bukti eksistensi budaya itu sendiri, sebagai media penyampai dakwah atau pelajaran,
rekam jejak sejarah, sampai hanya sekedar menjadi hiburan belaka. Agama tidak selalu bertentangan
dengan budaya. Bahkan, agama dengan keluhuran ajarannya mampu menginfiltrasi budaya menjadi lebih
masuk akal dan dapat diterima tanpa menghilangkan keyakinan yang menetap pada jati diri atau berakibat
kemusyrikan.

Tentu saja hal tersebut bergantung bagaimana kita memandang, memahami, dan menilai makna dari
sebuah kebudayaan tersebut. Penilaian, anggapan, dan pemahaman masyarakat terhadap suatu produk
kebudayaan bisa saja berbeda dan berubah, seiring berkembangnya IPTEKS dan dinamika dalam
kebudayaan itu sendiri. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa budaya juga mengalami perubahan dan
perkembangan, baik secara dorongan dari dalam maupun dorongan dari luar. “Budaya dapat juga
mengalami perubahan dengan masuknya atau hilangnya dasar-dasar ekologinya,” ujar Kuntowijoyo.

Bahkan, suatu budaya, kebudayaan, dan produk kebudayaan bisa bergeser, berubah, bahkan punah.
“Kebudayaan dapat menjadi tidak fungsional jika simbol dan normanya tidak lagi didukung oleh lembaga-
lembaga sosialnya,” kata Kuntowijoyo. Sebab itu, wayang sebagai produk kebudayaan juga bisa saja
punah karena tidak ada yang menonton atau menikmatinya lagi. “Tanpa dimusnahkan, wayang akan
musnah sendiri kalau gak ada lagi yg nonton/nanggap,” kata budayawan Sujiwo Tejo dalam Twitter
@sudjiwotedjo, 15 Februari 2022.

Pementasan wayang yang awalnya begitu identik dengan ritual-ritual dan kisah-kisah mitis, berisi mitologi
yang mungkin ke arah kemusyrikan, ketika direfleksikan dengan ajaran Islam, menjadi lebih realistis. Itulah
yang dilakukan para ulama yang kita sebut Wali Songo ketika mendakwahkan ajaran Islam melalui
kesenian yang populer pada masa itu. Dari sini, saya garis bawahi bahwa pergesekan budaya dengan
agama, tidak memunculkan ketegangan yang berujung perpecahan atau perseteruan, melainkan
memunculkan kesenian baru dengan napas baru yang tidak hanya dinikmati, tetapi juga dapat memberikan
pelajaran kepada para penikmatnya.

Dengan demikian wayang merefleksikan budaya yang dapat memberikan petuah dan menggambarkan
nasehat yang kita resapi maknanya dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi tidak heran, ketika kemudian
muncul rupa-rupa wayang modern. Modern dari segi bentuknya, sampai kisah-kisah yang tidak lagi melulu
bicara soal sejarah atau kisah pewayangan, melainkan juga cerita-cerita yang muncul dalam kehidupan
sehari-hari kita. Salah satu contoh bentuk wayang kulit mirip Ustadz Khalid Basalamah yang muncul dalam
pementasan di Ponpes Gus Miftah itu merupakan bentuk wayang kulit modern.

Tulisan ini hanya untuk membuka wawasan pembaca akan pentingnya melestarikan budaya yang dapat
merpresentasikan jati diri bangsa Indonesia, bukan perpecahan antar umat beragama. Karena sejatinya
budaya akan terasa oleh penikmatnya jika saling menjaga dan melestarikan makna atau nilai-nilai
positifnya, bukan saling membenarkan diri masing-masing, seolah orang lain salah dan diri kita benar.
Bacaan:
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Bandung: Tiara Wacana.

https://indonesia.go.id/kategori/keanekaragaman-hayati/751/keragaman-wayang-indonesia

https://www.suara.com/news/2022/02/23/115903/dihujat-gegara-tokoh-wayang-mirip-ustaz-khalid-gus-
miftah-pasrah-enggak-apa-apa-salah-saya?page=2

https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4712780/mengenal-wayang-yang-jadi-warisan-budaya-indonesia

Anda mungkin juga menyukai