Nama Kelompok:
1. Fauziah (200921017)
2. Okti Oktoviyani (200921036)
3. Fatikah (20091039)
4. Siti Fariha Azkiyah (200921019)
Kelas : IAT20- G1B -R1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas makalah yang berjudul “Hubungan antara sosiologi dan ilmu-ilmu
keIslaman” dengan lancar.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dosen, bapak Riza Awal Novanto, S.Pd.I.,M.Pd pada mata kuliah Sosiologi dan
Antropologi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang hubungan antara sosiologi dan ilmu keislaman dalam kehidupan manusia
bagi para pembaca, terutama bagi penulis makalah ini sendiri.
Selama melakukan penyusunan dan penulisan makalah ini penulis banyak
menghadapi tantangan dan hambatan. Semua itu dapat teratasi berkat bantuan dan
dukungan kedua orang tua, bapak dosen , teman-teman, dan terutama ridho Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. Untuk itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah turut
memberikan andil dan membantu penulis hingga menyelesaikan penyusunan
makalah ini.
Penulis menyadari, makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk kesempurnaan makalah yang akan datang.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini
bermanfaat.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI...............................................................................................................................
BAB I: PENDAHULUAN........................................................................................................
A. LATAR BELAKANG.............................................................................................
B. TUJUAN...................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
3
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
A. Pengertian Sosiologi ?
B. Tokoh dan perkembangan sosiologi sebagai pengetahuan?
C. Bagaimana pendekatan dalam kerja ilmiah sosiologi ?
D. Bagaimana pendekatan Sosiologi dalam studi islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
4
A. Pengertian Sosiologi
1. Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan,
teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini
dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang
berjudul "Cours De Philosophie Positive" karangan August Comte
(1798-1857). Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan
kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan
dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.[1]
2. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam
masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang
menguasai hidupnya itu. sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud
hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya
perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya,
keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu
dalam tiap persekutuan hidup manusia. Sementara itu, Soerjono
Soekanto sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata dalam
bukunya mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang
membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak
menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti
memberi arti petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan
kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. Di dalam ilm
ini juga dibahas tentang proses-proses sosial mengingat bahwa
pengetahuan perihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk
memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari
manusia.[2]
Dari dua definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang
menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur,
lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan
ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang
mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-
keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan
dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak
bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan
tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam agama
Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu
akhirnya bisa jadi penguasa di Mesir. Mengapa dalam melaksanakan
tugasnya Nabi Musa harus oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi contoh
yang lain. beberapa peristiwa tersebut baru bisa djawab dan sekaligus
dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu
sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit pula dipahami
maksudnya. Di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam
memahami ajaran agama.[3]
5
Sebuah contoh peristiwa jatuhnya Daulah Bani Umayah pada tahun 750 M
dan bangkitnya Daulah Bani Abbasiyah telah menarik perhatian banyak
sejarawan Islam klasik. Para sejarawan melihat bahwa kejadian itu unik
dan menarik, karena bukan saja merupakan pergantian dinasti tetapi lebih
dari itu adalah pergantian struktur social dan ideology. Maka, banyak
sejarawan yang menilai bahwa kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah
merupakan suatu revolusi dalam arti kata yang sebenarnya.
Richard Frye dalam sebuah artikelnya berjudul “The Abbasid Conspiracy
and Modern Revolutionary Theory” pada tahun 1952 menyatakan bahwa
ciri-ciri yang menyertai kebangkitan Daulah bani Abbasiyah ketika itu
sama dengan ciri-ciri yang menyertai revolusi di berbagai Negara di dunia
modern sekarang ini. Fyre menggunakan teori anatomi revolusi yang
dikembangkan oleh Crane Brinton yang menyatakan bahwa dari empat
buah revolusi yang diamatinya, yaitu Inggris, Amerika, Perancis dan
Rusia, sedikitnya ada empat persamaan. Pertama, bahwa pada masa
sebelum revolusi, ideology yang sedang berkuasa mendapat kritik keras
dari masyarakat disebabkan oleh kekecewaan dan penderitaan masyarakat
yang ditimbulkan oleh ketimpangan-ketimpangan dari ideology yang
berkuasa itu. Kedua, mekanisme pemerintahannya tidak efisien karena
kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan
perkembangan keadaan dan tuntutan zaman. Ketiga, terjadinya
penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideology yang berkuasa
kepada wawasan baru yang ditawarkan oleh si pengeritik. Brinton
menamakan hal ini dengan “The dissertion of the intellectuals”. Keempat,
bahwa revolusi itu umumnya bukan hanya dipelopori dan digerakkan oleh
orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan juga oleh sebagian kau
penguasa yang karena hal-hal tertentu merasa tidak puas dengan system
yang ada.[4]
6
Ibn Khaldun telah merumuskan tentang model suku bangsa nomaden
yang keras dan masyarakat yang halus bertipe menetap dalam suatu
hubungan yang kontras. Model Khaldun mengenai tipe-tipe sosial dan
perubahan sosial diwarnai oleh warisan khusus dari pengalaman dunia
gurun pasir di Arab. Tujuannya tidak hanya untuk memberikan suatu
deskripsi historis mengenai masyarakat Arab, namun untuk
mengembangkan prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang
mengatur dinamika-dinamika masyarakat dan proses-proses perubahan
sosial secara keseluruhan.[6]
Sebagian besar sosiolog memandang konstribusi Ibn Khaldun begitu
kecil dalam sosiologi. Mereka lebih mengakui Karl Marx dan august
Comte sebagai orang yang paling berjasa bagi disiplin ilmu baru ini.
itulah makanya, rentetan panjang revolusi politik yang dihantarkan
oleh Revolusi Perancis 1789 dan revolu yang berlangsung sepanjang
abad ke-19 dipandang sebagai faktor yang paling besar perannya
dalam pembentukan sosiologi.[7]
7
adalah makhluk social. Mereka perlu bekerja bersama untuk
menghasilkan segala sesuatu yang mereka perlukan untuk hidup.[9]
1. Evolusionisme
Pendekatan ini memusatkan telaahnya pada mencari pola perubahan
dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda.
Titik tekan perhatiannya pada pertanyaan “apakah ada pola umum
perubahan yang bisa ditemukan dalam sebuah masyarakat?” misalnya
“apakah pengaruh proses industrialisasi terhadap keluarga di Negara
berkembang akan sama dengan yang ditemui di Barat?”; “apakah
proses pemudarnya masyarakat tradisional sama untuk setiap bangsa
dan Negara.[13]
2. Interaksionalisme
Pendekatan ini memusatkan perhatiannya pada interaksi antar individu
dan kelompok. Interaksi ini terjadi bisa dengan mengunakan symbol-
8
simbol atau isyarat. Kemudian, diperhatikan reaksi orang terhadap
makna dari symbol-simbol itu dan dihubungan benda-benda atau
kejadian-kejadian yang berlangsung. Dalam perspektif ini sering
muncul pernyataannya bahwa suatu kata, benda atau kejadian tidak
bermakna apa-apa jika orang di masyarakat ini tidak sependapat bahwa
hal itu memiliki arti khusus, misalnya “lampu merah,hjau, dan kuning
lalu lintas”.[14]
3. Fungsionalisme
Dalam pendekatan ini, masyarakat dipandang sebagai satu jaringan
kerja sama kelompok yang saling membutuhkan satu sama lain dalam
sebuah system yang harmonis, misalnya fenomena saling
ketergantungan antara “sekolah, anak didik dan orang tua keluarga”,
keluarga berencana dengan usaha meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan serta hubungan dengan mutu pendidikan” dan
sebagainya.[15]
4. Konflik
Pendekatan ini sebenarnya merupaka reaksi keras terhadap pendekatan
fungsionalisme di atas. Pendekatan konflik berpendapat, bahwa
“masyarakat itu terikat kerja sama yang erat karena kekuatan
kelompok-kelompok atau kelas yang dominan”. Ia mewariskan sebuah
ketegangan yang terus menerus dalam sebuah fenomena setiap
kelompok ingin mempertahankan dominasinya.[17]
9
masalah sosial. Jalaludin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya
perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam terhadap masalah sosial,
dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut.
1) Dalam al-Qur’an atau kitab Hadis, proporsi terbesar kedua sumber
hukum Islam itu berkenaan dengan urusan mu’amalah.
2) Bahwa ditekankanya masalah muamalah atau sosial dalam Islam ialah
adanya kenyataan apabila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan
urusan Muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau
ditangguhkan, melainkan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
3) Bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran
lebih besar dari ibadah yang bersifat perorangan.
4) Dalam Islam terdapat ketentuan apabila urusan ibadah dilakukan tidak
sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka
kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah
sosial.
5) dalam Islam terdapat ajar-an amal baik dalam bidang Kemasyarakatan
mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah Sunnah.
Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama, dapat dengan masalah
sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya
mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk
memahami agamanya.
1. Perhatian Agama Islam Terhadap Masalah Sosial.
Alasan besarnya perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam
terhadap masalah sosial adalah:
a. Dalam al-Qur’an atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua
sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah.
b. Bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam
ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan
waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah
boleh diperpendek atau ditangipahami, karena banyak sekali ajaran
agama yang bekaitan denguhkan (tentu bukan ditinggalkan),
melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
c. Bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi
ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat persorangan.
Karena itu salah yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih
tinggi nilainya daripada salat yang dikerjakan sendirian (munfarid)
dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
d. Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak
sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka
kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan msalah sosial. Bila puasa tidak mampu
dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar
fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin.
e. Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang
kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah
sunnah. Dalam hubungannya dengan ini misalnya membaca hadits
10
yang artinya sebagai berikut.“Orang yang bekerja keras untuk
menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan
Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang terus
menerus salat malam dan terus menerus berpuasa”. (H.R. Bukhari
dan Muslim).[18]
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai aneka ragam sebutan
pada prinsipnya adalah makhluk yang saling bergantung pada
sesamanya, baik yang menyangkut sandang, pangan, papan,
keselamatan diri dan harta, harga diri, potensi untuk berkembang
maupun kasih sayang, di samping kebergantungan di bidang
politik,ekonomi, budaya, dan hukum. Kebergantungan itu
menunjukkan bahwa manusia saling membutuhkan dalam banyak
aspek, guna memenuhi hasrat dan kebutuhan hidupnya masing-
masing. Kebutuhan itu satu sama lain terkadang saling
bertentangan ; kalau tidak diatur dalam suatu kaidah atau norma
yang jelas, itu bisa menimbulkan kekacauan karena masing-masing
berusaha sebisa mungkin memenuhi obsesi hidupnya. Norma
tersebut adalah mekanisme pengendalian social (mechanism of
social control) yang dilakukan untuk melaksanakan proses untuk
mendidik, mengajak, atau bahkan emmaksa individu atau
masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan
nilai-nilai kehidupan.[19]
Dengan adanya norma-norma (yang paling penting diantaranya
adalah norma-norma agama) memungkinkan disesuaikannya
tingkah laku manusia dengannya. Namun penyesuaian (terhadap
norma-norma sosial) itu ternyata lebih besar kemungkinannya
apabila norma-norma itu ditunjang oleh ganjaran-ganjaran dan
hukuman-hukuman yang berat. Ganjaran-ganjaran dan hukuman-
hukuman (atau sanksi-sanksi) social tersebut, sampai taraf tertentu
memang diakui dalam semua norma social, walaupun kebanyakan
orang hanya karena merasa diberi ganjaran secara psikologis, mau
menyesuaikan diri dengan nora-norma itu, atau karena pernah
menerima hukuman dalam arti informal dan sanksi hukum berupa
cemoohan dari teman-teman mereka. Akan tetapi jika norma-
norma itu terdapat dalam kerangka acuan yang bersifat sacral,
maka norma-norma tersebut dikukuhkan pula dengan sanksi-sanksi
yang sakral; dan dalam hampir semua masyarakat sanksi-sanksi
sakral tersebut mempunyai kekuatan memaksa yang istimewa.
Karena, tidak hanya menyangkut ganjaran-ganjaran dan hukuman-
hukuman yang bersifat duniawi dan manusiawi, tetapi juga
ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang bersifat supra
manusiawi dan ukhrawi.[20]
11
dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-sebab
yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan
sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua
itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya
mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.
[21]
Elizabeth K. Nottingham dalam bukunya mengemukakan
berikut adalah kekuatan agama yang mampu membujuk orang-
orang dan pihak-pihak (yang bersangkutan) untuk mengorbankan
kepentingan pribadi mereka demi terpenuhinya kepentingan
masyarakat secara keseluruhan:
12
sebagainya dapat diteliti sampai sejauh mana tema-tema tersebut
dipraktekkan dalam masyarakat. Salah satu rumusan penelitian al-
Qur’an yang diidentifikasikan dengan istilah living Qur’an adalah
salah satu paradigma dalam menempatkan al-Qur’an sesuai dengan
masyarakat pembacanya. Definisi living Qur’an sebagai studi tentang
al-Qur’an, tetapi tidak bertumpu pada eksistensi tekstualnya,
melainkan studi tentang fenomena sosial yang lahir terkait dengan
kehadiran al-Qur’an dalam wilayah geografi tertentu dan mungkin
masa tertent (SahironSyamsudin, 2007: 39). Upaya tentang penelitian
living Qur’an dengan akar pendekatan sosiologis adalah semata-mata
tidak untuk mencari kebenaran positivistik yang selalu melihat
konteks, tetapi semata-mata melakukan “pembacaan” objektif terhadap
fenomena keagamaan yang menyangkut langsung dengan al-Qur’an.
Kalau Living Qur’an ini dikategorikan sebagai penelitian agama
dengan kerangka penelitian agama sebagai gejala sosial, maka
desainnya akan menekankan pentingnya penemuan keterulangan gejala
yang diamati sebelum sampai pada kesimpulan(Atho Mudzhar, 2002:
68).
a. Manfaat teoritis-epistimologi
Bahwa sosiologi pengetahuan dapat membantu para pengkaji ilmu-
ilmu keislaman untuk memahami substansi ilmu dan mengembangkan
paradigma di dalamnya, sehingga ilmu bisa lebih dinamis. Pemahaman
terhadap substansi ilmu dilakukan melalui penemuan eksemplar-
eksemplar itu, dan pengidentifikasian metode-metode dalam suatu
paradigm. Semetara pengembangan paradigm dilakukan melalui
penelusuran kaitan antara paradigm dengan konteks sosio-historisnya,
pencarian paradigm baru berdasarkan analisis persoalan sosio-historis
kontemporer, dan pencarian teori-teori baru dalam paradigm baru.
b. Manfaat praktis sosiologis adalah bahwa sosiologi pengetahuan dapat
memperkaya metode penelitian ilmu-ilmu keislaman. Ilmu keislaman
sudah selayaknya dilihat dengan berbagai cara (apa saja boleh),
asalkan semua cara itu dilakukan dengan bertanggung jawab dan dapat
memperluas perspektif para pengkaji. Hanya dengan cara
memperbanyak perspektif inilah akan terwujud ilmu keislaman yang
ramah terhadap segala keragaman dan problematika kehidupan. Di
samping itu, ilmu keislaman yang multiperspektif juga akan mudah
diterima semua kalangan karena dinamika dan kelenturannya yang
tinggi ketika harus bersentuhan dengan realitas masyarakat. Misalnya,
sebagai ilmu, ilmu ushul fikih bukanlah ilmu yang terbentuk dari ruang
hampa dan steril dari pengaruh lokasi sosial pada zaman tertentu. Oleh
karena itu, biarlah orang-orang terdahulu merumuskan prinsip-prinsip
13
ilmu ushul fikih yang sesuai pada saat itu, dan kita juga merumuskan
prinsip-prinsip ilmu ushul fikih kita sendiri sesuai dengan zaman kita.
Dominasi antar generasi hanya akan menghasilkan kejumudan dan
kemandegan berpikir. Wacana tertutupnya pintu ijtihad yang sempat
terdengar, sesungguhnya tiada lain adalah tidak dapat dilakukannya
ijtihad karena paradigm lama dalam ilmu ushul fikih telah mengalami
keusangan (obsolete) dan keterjebakan ideologis, sehingga mengalami
disfungsi. [24]
Inilah yang digambarkan al-Jabiri dalam kutipan berikut: “Masalah-
masalah khusus di masa lalu, meski mirip dan sejenis terbatas atau
memungkinkan untuk dibatasi; teks-teks syariat (al-Qur’an dan sunah)
juga terbatas, dan demikian pula ijtihad memahami kata-kata dan
batas-batas petunjuk dari teks-teks itu…, akhirnya mau tidak mau
akan sampai pada titik di mana tak ada lagi yang tersisa, dan
kemudian akibat yang sudah pasti adalah “tertutupnya” pintu ijtihad,
bukan “ditutup” (dengan sengaja) seperti yang dikatakan orang.[25]
Sebenarnya, tak ada seorangpun dalam Islam yang memiliki
kekuasaan untuk “menutup” pintu ijtihad, baik para penguasa, para
ahli fikih atau yang lain karena dalam Islam tak ada gereja atau
lembaga apapun yang mempunyai kekuasaan untuk “menutup” atau
“membuka” pintu ijtihad. Jadi, ijtihad merupakan salah satu dasar dari
pembuatan hukum Islam, dan ia adalah pengerahan upaya pemikiran
dalam rangka mengetahui hukum-hukum syariat, dan ini adalah hak
bagi setiap Muslim yang memenuhi hukum-hukum syarat-syarat
keilmuan yang memungkinkannya untuk melakukan ijtihad.
Dengan demikian, pintu ijtihad dengan sendirinya tertutup ketika di sana
tidak ada lagi tersisa ijtihad dalam kerangka peradaban di mana kaum
Muslim hidup di dalamnya. Ketika semua masalah yang dilontarkan dan
yang mungkin dilontarkan di dalam kerangka peradaban yang sama telah
tuntas diliput, dan ketika pemanfaatan segala kemungkinan yang
disediakan oleh teks dalam arti hubungan kata dengan makna telah
sempurna, dan kasus-kasus terdahulu yang bisa dijadikan sandaran analogi
telah habis…, maka mau tidak mau pintu ijtihad dengan sendirinya
tertutup dan orang-orangpun berbelok kepada taqlid….”[26]
“Dari sini, Nampak jelas bahwa seruan kepada ijtihad” dan membuka
pintu ijtihad, akan tetap saja suara di udara selama upaya “membuka”
nalar yang merupakan titik utama tugas ijtihad, belum tercapai. Hal ini
karena pintu ijtihad tidak pernah ditutup, tetapi ia tertutup dengan
sendirinya ketika nalar yang menjalankan ijtihad itu tertutup di dalam
kerangka peradaban dan kebudayaan yang telah berhenti bergerak dan
tumbuh. Dengan demikian, mau tidak mau diperlukan keterbukaan baru
bagi nalar Arab Islam agar ia sanggup menghadapi keterbukaan peradaban
yang telah terjadi. Tanpa hal ini, tidak akan pernah ada ijtihad pada tatanan
masalah-masalah kontemporer.”[27]
Islam telah meletakkan dasar-dasar umum cara bermasyrakat. Di
dalamnya diatur hubungan antara individu dengan individu, antara
14
individu dengan masyarakat, anatar satu komunitas masyarakat dengan
komunitas masyarakat lainnya. Aturan itu mulai yang sederhana sampai
kepada yang sempurna, mulai dari hukum berkeluarga sampai bernegara.
Al-Qur’an memang bukan buku sejarah yang secara sistematis membahas
keadaan masyarakat masa lampau namun sebagai bukti petunjuk yang di
dalamnya di dapati hukum-hukum perubahan masyarakat (sosial) yang
berlaku sepanjang sejarah manusia. Oleh karena itu di dalamnya terdapat
ayat-ayat yang berisi perintah agar manusia memperhatikan sejarah umat
terdahulu.
15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat
lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling
berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-
faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-
keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Orang yang pertama kali menggagas sekaligus mempraktikkan sosiologi sebagai
sebuah disiplin ilmu yang mandiri adalah Ibn Khaldun kemudian dilanjtkan oleh
August Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, dan Karl Mennheim.
Pendekatan yang dilakukan dalam pendekatan studi Islam meliputi beberapa teori,
yaitu evolusionisme, interaksionalisme, fungsionalisme dan konflik.
Kaitan antara pendeatan sosiologi dengan agama adalah: Pertama, agama telah
membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai isi dan kewajiban-
kewajiban sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi
menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-
kewajiban sosial mereka. Dalam peranan ini agama telah membantu menciptakan
sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh. Kedua, terdapat alasan-alasan
yang kuat untuk mempercayai bahwa agama juga telah memainkan peranan vital
dalam memberikan kekuatan memaksa yang mendukung dan memperkuat dan
memperkuat adat-istiadat. Dalam hal ini patut diketahui bahwa sikap
mengagungkan dan rasa hormat, terutama yang berkaitan dengan adat istiadat
(moral) yang berlaku, berhubungan erat dengan perasaan-perasaan kagum yang
ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
16
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 2012, Jakarta: Rajawali Pers.
M. Atho Mudzhar, Pendekatakan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, 1998,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi sebagai Cara Pandang, 2008,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ida Zahara Adibah Jurnal Inspirasi – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2017, 1–20 ISSN
2548-5717
17
[1] Wikipedia Bahasa Indonesia, Sosiologi, (online) diakses melalui
http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi, tanggal akses, 28 November 2014.
[2] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 38-
39.
[3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 39.
[4] M. Atho Mudzhar, Pendekatakan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,
(Yogyakarta: Pustaka Pelaja, 1998), hlm. 83.84
[5] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi sebagai Cara Pandang,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 20-21.
[6] Santribaralah, Sejarah Perkembangan Sosiologi Agama, (online) diakses melalui
http://santriblarah.blogspot.com/2013/04/sejarah-perkembangan-sosiologi-
agama_9077.html, tanggal akses 28 November 2014.
[7]Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 21-22.
[8] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 22-23.
[9] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 27.
[10] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , 25.hlm.
[11] Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai-nilai Kemasyarakatan, (Bandung: Refika
Aditama, 2009) , hlm. 46
[12] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… ,hlm. 34.
[13] Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama; Tafsir Sosial Fenomena Multi-Religius
Kontemporer, (Malang: UIN Malang Press, 2006), hlm. 115.
[14] Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm 115
[15] Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm. 116.
[16] Sugiatmo, Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam, (online) diakses melalui
http://mrlungs.wordpress.com/2010/08/16/pendekatan-sosiologis/, tanggal akses 28
November 2014.
[17] Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm. 116.
[18] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 40-41.
[19] Atang Abd, Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 223.
[20] Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan
Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1996) , hlm. 39-40.
[21] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 41-42.
[22] Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan
Masyaraka…, hlm, 36.
[23]Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan
Masyarakat…, hlm. 36.
[24] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , , hlm. 185.
[25] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 185.
[26] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 186.
[27] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 186.
18
19