Anda di halaman 1dari 2

Wayang Sebagai Petuah Budaya

Oleh: Rustarim

Awal mula penyebaran agama Islam, wayang dijadikan media dakwah dengan
penambahan tokoh-tokoh, pengembangan cerita, termasuk penyesuaian jalan cerita sehingga
tidak bertentangan dengan ajaran agama. Bahkan, pada era yang lebih modern, wayang lantas
digunakan sebagai media propaganda politik. Seiring perkembangan zaman, wayang tetap
bertahan hidup dan terus mengalami perkembangan yang dipengaruhi oleh agama, serta nilai-
nilai budaya yang masuk dan berkembang di Indonesia. Proses akulturasi ini berlangsung
sejak lama sehingga seni wayang memiliki daya tahan dan daya kembang tinggi.
Belum lama ini jagad maya telah beredar video pagelaran wayang yang digelar oleh
Pondok Pesantren Ora Aji milik Gus Miftah, video pendek itu viral lantaran tampak sesosok
wayang kulit yang dinilai mirip Ustadz Khalid Basalamah sedang dihajar oleh wayang
lainnya. Bahkan, sang dalang dengan penuh emosi terlihat membanting-banting wayang kulit
yang lengkap dengan peci dan jenggot itu. Setelahnya ramai berita soal Gus Miftah di
berbagai media massa. Bahkan, di platform Twitter dan kolom komentar Instagram, konon
akun Gus Miftah dibanjiri hujatan warganet. Gus Miftah pun berkilah bahwa lakon wayang
itu merupakan domain sang dalang, tak ada kaitannya dengan dia. Bahkan, dia menerangkan,
“kalau dimaknai pentas wayang itu merupakan reaksi atau respons dari apa yang terjadi
hari ini, saya pikir kurang pas.” Sebab, menurut penuturannya, pesantren tersebut memang
rutin mengadakan pagelaran wayang.
Wayang menjadi suatu produk kebudayaan mampu menumbuhkan nilai-nilai
tersendiri bagi masyarakat Indonesia, mulai dari bukti eksistensi budaya itu sendiri, sebagai
media penyampai dakwah atau pelajaran, rekam jejak sejarah, sampai hanya sekedar menjadi
hiburan belaka. Agama tidak selalu bertentangan dengan budaya. Bahkan, agama dengan
keluhuran ajarannya mampu menginfiltrasi budaya menjadi lebih masuk akal dan dapat
diterima tanpa menghilangkan keyakinan yang menetap pada jati diri atau berakibat
kemusyrikan.
Tentu saja hal tersebut bergantung bagaimana kita memandang, memahami, dan
menilai makna dari sebuah kebudayaan tersebut. Penilaian, anggapan, dan pemahaman
masyarakat terhadap suatu produk kebudayaan bisa saja berbeda dan berubah, seiring
berkembangnya IPTEKS dan dinamika dalam kebudayaan itu sendiri. Kuntowijoyo
menjelaskan bahwa budaya juga mengalami perubahan dan perkembangan, baik secara
dorongan dari dalam maupun dorongan dari luar. “Budaya dapat juga mengalami perubahan
dengan masuknya atau hilangnya dasar-dasar ekologinya,” ujar Kuntowijoyo.
Bahkan, suatu budaya, kebudayaan, dan produk kebudayaan bisa bergeser, berubah,
bahkan punah. “Kebudayaan dapat menjadi tidak fungsional jika simbol dan normanya tidak
lagi didukung oleh lembagalembaga sosialnya,” kata Kuntowijoyo. Sebab itu, wayang
sebagai produk kebudayaan juga bisa saja punah karena tidak ada yang menonton atau
menikmatinya lagi. “Tanpa dimusnahkan, wayang akan musnah sendiri kalau tidak ada lagi
yang nonton atau nanggap,” kata budayawan Sujiwo Tejo dalam Twitter @sudjiwotedjo,
pada 15 Februari 2022.
Pementasan wayang yang awalnya begitu identik dengan ritual-ritual dan kisah-kisah
mitis, berisi mitologi yang mungkin ke arah kemusyrikan, ketika direfleksikan dengan ajaran
Islam, menjadi lebih realistis. Itulah yang dilakukan para ulama yang kita sebut Wali Songo
ketika mendakwahkan ajaran Islam melalui kesenian yang populer pada masa itu. Dari sini,
bisa kita garis bawahi bahwa pergesekan budaya dengan agama, tidak memunculkan
ketegangan yang berujung perpecahan atau perseteruan, melainkan memunculkan kesenian
baru dengan napas baru yang tidak hanya dinikmati, tetapi juga dapat memberikan pelajaran
kepada para penikmatnya.
Dengan demikian wayang merefleksikan budaya yang dapat memberikan petuah dan
menggambarkan nasehat yang kita resapi maknanya dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi
tidak heran, ketika kemudian muncul rupa-rupa wayang modern. Modern dari segi
bentuknya, sampai kisah-kisah yang tidak lagi melulu bicara soal sejarah atau kisah
pewayangan, melainkan juga cerita-cerita yang muncul dalam kehidupan sehari-hari kita.
Salah satu contoh bentuk wayang kulit mirip Ustadz Khalid Basalamah yang muncul dalam
pementasan di Ponpes Gus Miftah itu merupakan bentuk wayang kulit modern.
Tulisan ini hanya untuk membuka wawasan pembaca akan pentingnya melestarikan
budaya yang dapat merpresentasikan jati diri bangsa Indonesia, bukan perpecahan antar umat
beragama. Karena sejatinya budaya akan terasa oleh penikmatnya jika saling menjaga dan
melestarikan makna atau nilai-nilai positifnya, bukan saling membenarkan diri masing-
masing, seolah orang lain salah dan diri kita benar.

Anda mungkin juga menyukai