Anda di halaman 1dari 7

KAJIAN TEORI

Sejarah Wayang Kulit Indonesia


Wayang kulit merupakan salah satu kesenian tradisi yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat Jawa. Lebih dari sekedar pertunjukan, Wayang Kulit dahulu digunakan
sebagai media untuk permenungan menuju roh spiritual para dewa. Konon, “Wayang”
berasal dari kata “Ma Hyang“, yang berarti menuju spiritualitas sang kuasa. Tapi, ada
juga masyarakat yang mengatakan “Wayang“ berasal dari tehnik pertunjukan yang
mengandalkan bayangan (bayang atau Wayang) di layar. Wayang kulit diyakini
sebagai embrio dari berbagai jenis Wayang yang ada saat ini. Wayang jenis ini terbuat
dari lembaran kulit kerbau yang telah dikeringkan. Agar gerak Wayang menjadi
dinamis, pada bagian siku-siku tubuhnya disambung menggunakan sekrup yang
terbuat dari tanduk kerbau (Desriyanti, 2017).
Wayang Kulit merupakam pertunjukkan dengan mempertontonkan bias bayangan
boneka kulit pada helai kain (kelir) dan hasil sorotan lampu pertunjukkan (Blencong).
Dalam pertunjukan wayang kulit semua nilai-nilai lokal disampaikan pagelaran
melalui tokoh-tokoh wayang yang dimainkan oleh seorang Dalang. Seni budaya
dalam pertunjukan wayang kulit sangat penting dalam ikut serta mendidik moral
masyarakat (Hariyanto, 2019).
Wayang kulit dimainkan langsung oleh narator yang disebut dalang. Dalang tidak
dapat diperankan oleh sembarang orang. Selain harus lihai memainkan Wayang, sang
dalang juga harus mengetahui berbagai cerita epos pewayangan seperti Mahabrata
dan Ramayana. Dalang dahulu dinilai sebagai profesi yang luhur, karena orang yang
menjadi dalang biasanya adalah orang yang terpandang, berilmu, dan berbudi pekerti
yang santun (Desriyanti, 2017).
Dalam perkembangannya dari zaman ke zaman, wayang telah mengalami perubahan
sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat pendukungnya, baik dalam
bentuk atribut, fungsi maupun peranannya. Wayang telah melewati berbagai peristiwa
sejarah dari generasi ke generasi. Budaya pewayangan telah melekat dan menjadi
bagian hidup dari bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Usia yang demikian
panjang dan kenyataan bahwa sampai sekarang masih banyak orang yang
menggemari wayang menunjukan betapa tinggi nilai dan berartinya wayang bagi
kehidupan Masyarakat (Anggoro, 2018).
Wayang Kulit di Komunitas Etnis Jawa di Sumatera Utara
Suku Jawa memiliki beberapa jenis kesenian yang terkenal di masyarakat.
Salah satu kesenian yang masih berkembang di era modern ini adalah seni
lisan atau seni tradisi lisan. Tradisi lisan Jawa merupakan bagian dari kebudayaan
yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan sebagai milik bersama. Berbagai
macam tradisi lisan Jawa pun muncul tak sekedar pengisi waktu luang, melainkan
sebagai penyalur sikap dan pandangan, refleksi dari ide-ide kelompok. Tidak lain
halnya bahwa tradisi lisan merupakan salah satu bentuk komunikasi yang biasanya
digunakan sebagaimedia untuk menyampaikan pesan moral, nilai-nilai budaya
Jawa, pengesahan aturan sosial dan lain sebagainya.Wayang kulit merupakan bentuk
lisan dari bahasa Jawa yang tergolong ke dalam drama rakyat Jawa. Eksistensi
seni pertunjukan wayang kulit hingga saat ini masih terjaga kelestarian dan
kelanggengannya. Wayang kulit memiliki dua fungsi, yakni sebagai sarana ritual
secara vertikal dan juga sebagai sarana hiburan secara horizontal. Dalam aspek
hiburan pun, fungsi wayang sebagai media pengkomunikasian nilai kepada
masyarakat dianggap vital, karena selain membawa misi rekreatif, juga
mengemban fungsi pendidikan tentang nilai dan norma tertentu yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat (Diningrum, et al., 2023).
Suku Jawa di Sumatera Utara saat ini merupakan salah satu suku pendatang yang
jumlahnya cukup banyak sesudah suku Melayu dan suku Batak. Suku Jawa pada
hakekatnya mempunyai watak yang berusaha menyesuaikan diri dengan orang
dilingkungannya dan mementingkan keharmonisan tetapi tidak pernah melupakan
adat dan istiadat yang mereka miliki. Seiring dengan perpindahan secara besar-
besaran tersebut secara tidak langsung suku Jawa juga membawa kebudayaan dan
kesenian tradisonal Jawa ketempat dimana mereka tinggal seperti : Wayang Wong
(wayang orang), Gamelan, Wayang Golek, Wayang Kulit, Kuda Lumping, Ronggeng
Jawa, Ludruk, Ketoprak, musik Campursari dan masih banyak lagi (Sitinjak, 2013).
Di Sumatera Utara, khususnya Kabupaten Deli Serdang yang beretniskan Melayu,
ada juga etnis pendatang seperti Jawa, Padang, China dan sebagainya. Suku Jawa
merupakan salah satu suku pendatang yang ada di Kabupaten Deli Serdang, mereka
banyak yang bertempat tinggal di Kecamatan Pantai Labu dan Batang Kuis.Dalam
suku Jawa terdapat jenis kesenian tradisional diantaranya adalah Wayang
Orang.Wayang Orang adalah suatu drama tari berdialog yang cara penyampaiannya
melalui gerakan. Wayang Orang ini biasanya dipertunjukkan pada saat acara-acara
pernikahan, sunat rasul dan lain-lain. Wayang Orang ini mengacu pada Wayang
Kulit (Zuraidah, 2015).
Kedatangan etnis Jawa di Sumatera Timur secara tidak langsung juga membawa
masuk kesenian tradisional Jawa ke Sumatera Timur khususnya kota Medan dan
sekitarnya. Pada awalnya pihak-pihak perkebunan dengan sengaja membawa
perkelengkapan kesenian-kesenian tradisional Jawa untuk dijadikan hiburan bagi para
buruh Jawa yang tinggal di dalam perkebunan milik pemerintah kolonial. Pada
periode tertentu, ketika para buruh menerima gaji, pihak majikan perkebunan sengaja
mengadakan berbagai hiburan terutama wayang kulit yang menjadi primadona
sebagai hiburan bagi buruh Jawa (Dedi, 2009).
Makna dan Nilai Budaya Wayang Kulit
Dalam kesenian wayang kulit terdapat dua entitas penting yang selalu dinamis
mengikuti perubahan zaman dan isu yang hangat ditengah masyarakat yaitu
sosok dalang dan lakon (tokoh yang diperankan). Dalang sebagai aktor yang
memainkan boneka dengan mengarahkan penonton pada sebuah kisah (cerita) yang
ingin dituju. Dalang sebagai pengatur jalannya cerita pertunjukan wayang. Dalam
pertunjukan wayang kulit, dalang adalah bagian terpenting dan utama. Dalang
berasal dari akronim ngudhal piwulang.Kata ngudhalberarti membongkar atau
menyebar luaskan dan piwulangberarti ajaran, tuntunan, pendidikan, ilmu,
informasi. Jadi fungsi dalang dalam pergelaran wayang kulit bukan saja pada segi
pertunjukan atau hiburan, namun juga harus memberi tuntunan dan tontonan.
Dalam seni pewayangan merupakan sebuah tuntunan hidup bagi masyarakat Jawa,
syarat akan kandungan nilai-nilai luhur yang sampai sekarang masih didambakan
(Suwaji, 1993). Dalang harus menguasai teknik pedalangan sebagai aspek
hiburan, juga berpengetahuan luas dan mampu memberikan pengaruh. Seorang
dalang yang hebat, tidak hanya cakap dalam bercerita, akan tetapi juga mampu
mengarahkan alur doktrinisasi terhadap penonton serta menggunakan suatu simbol
tertentu yang penuh penjiwaan, cipta dan rasa. Sehingga pementasan wayang
kulit tidak hanya sebatas hiburan rakyat semata. Lakon sangat dipengaruhi unsur
budaya lokal klasik dan budaya luar. Lakon yang dipengaruhi budaya lokal
didasarkan pada kisah-kisah leluhur dan hasil kreasi dalang pendahulu, seperti tokoh
Semar, Gareng, Petrukdan Bagong. Sedangkan lakon yang berasal dari budaya
luar seperti yang dikisahkan dalam kisah Ramayana dan Mahabarata dengan
lakon Rama, Rahwana, hingga Pandawa Lima, 100 kurawa dan seterusnya (Ridin,
2004).
Pertunjukan wayang bukanlah sekedar hiburan semata, namun pertunjukan wayang
mempunyai makna yang dalam. Pada zaman pra Islam, wayang diartikan sebagai
bayangan roh nenek moyang. Ketika Islam masuk ke Jawa melalui Walisongo,
boneka wayang tidak lagi dimaksudkan sebagai bayangan roh nenek moyang sebab
menurut ajaran Islam hal tersebut menjadi larangan, karena dianggap sebagai suatu
bentuk syirik (Koentjaraningrat, 1992).
Selanjutnya dijelaskan bahwa sejak zaman Walisongo itu pula wayang dimaksudkan
sebagai lambang watak manusia. Sebagai contoh adalah tokoh wayang Buto Cakil
yang merupakan lambang watak dengki, iri, jahil, mukanya berwarna merah sebagai
lambang watak suka marah, matanya sipit seperti bentuk bulan tanggal muda yang
disebut mata penanggalan atau kriyipan, melambangkan watak dengki dan kurang
terbuka. Mulut terbuka lebar, rahang bawah menjorok ke depan, gigi taring bagian
bawah dan mencuat hampir sampai ke hidung. Mulut Buto Cakil sebagai perlambang
watak orang yang sombong, banyak membicarakan hal-hal yang kurang baik.
Demikian juga dengan tokoh yang lain, tokoh Bima misalnya berukuran tinggi dan
besar berkesan gagah, kokoh, perkasa dan tangguh. Bima perlambang watak pantang
mundur, jujur, lugas, tegas dan berani karena jujur dan benar. Mukanya menunduk
dan berwarna hitam melambangkan sifat kesungguhan, kejujuran, dan ketenangan,
matanya thelengan (bulat utuh) berkesan tegas dan berani, berpakaian sederhana dan
tidak banyak mengenakan perhiasan yang memberi kesan watak lugas dan sederhana.
Bima juga mengenakan kain poleng (kain bermotif kotak dua warna yaitu hitam dan
putih) yang berkesan angker dan magis. Wayang menunjukkan bahwa
kebaikankebaikan juga terdapat dalam diri atau orang-orang yang dianggap rendah.
Anoman adalah makhluk kera yang luar biasa pengabdiannya kepada Rama. Juga
Jatayu, si makhluk Garuda yang mencoba merebut Shinta dari Cengkraman Rahwana
(Hazim, 1991).
Secara garis besar dari berbagai bentuk boneka wayang itu dapat dipilah menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok tokoh wayang yang melambangkan kejahatan dan
kelompok tokoh wayang yang melambangkan watak baik. Wayang melambangkan
kebaikan ditempatkann pada bagian sebelah kanan dalang, artinya yang baik itu di
kanankan (Jawa: ditengenake atau pradaksina), sedangkan wayang yang
melambangkan kejahatan ditempatkan pada bagian sebelah kiri dalang, (Jawa:
dikiwakake atau bala kiwa/ala) (Purwanto, 2018).
Wayang adalah lambang budi, sehingga penciptaan bentuk-bentuk bayang didasarkan
pada pengetahuan tipologi dan karakterologi. Nilainilai falsafah hidup dalam
pertunjukan wayang disampaikan melalui karakter atau watak tokoh wayang. Pada
cerita wayang, tiap-tiap tokohnya merupakan refleksi atau representasi dari sikap,
watak, dan karakter manusia secara umum. Pagelaran wayang kulit merupakan
lambang dari drama kehidupan manusia, menyajikan banyak kata mutiara, ajaran
pendidikan, serta imajinasi dalam petuah-petuah ditunjukkan salah satunya oleh
perilaku punakawan, namun penyampaiannya secara simbolik. Dalam adegan goro-
goro peranan Punakawan sangat jelas dipertunjukan sebagai tokoh penting. Semar
merupakan tokoh inti dan semuanya tergantung pada pribadinya. Goro-goro
merupakan pertanda munculnya punakawan, yang tidak pernah ketinggalan pada
setiap lakon wayang Jawa, sebab nilai-nilai filosofis orang Jawa sering terlihat pada
perilaku punakawan (Sabunga, et al., 2016).
Tantangan, Upaya Pelestarian, Revitalisasi, dan Adaptasi Wayang Kulit di
Tengah Perubahan Zaman
Pada awalnya banyak masyarakat yang menganggap masuk dan berkembangnya era
modernisasi menjadi permasalahan baru yang cukup rumit dalam hal pewarisan
budaya. Kendala terhadap berkurangnya kesadaran akan rasa kepemilikan terhadap
identitas budaya tradisi karena lahirnya budaya baru yang diadopsi oleh masyarakat
seolah menjadi tonggak transformasi peradaban. Selanjutnya, tumbuh secara massif
generasi-generasi di era modernisasi yang mendapatkan aktualisasi dari masyarakat
sehingga generasi ini dianggap sebagai generasi digital atau media baru. Perubahan
dan perkembangan zaman adalah segala sesuatu yang tidak dapat dicegah, oleh
karena itu agar pewarisan budaya dapat terus dilestarikan dan mencapai esensinya
oleh generasi terbaru, dalam dinamika perkembangan, maka dihadirkanlah teknologi
digitalisasi koleksi-koleksi warisan budaya baik terhadap peninggalan tangible
maupun intangible. Proses digitalisasi ini dianggap menjadi solusi paling tepat dalam
menjembatani sejarah, walaupun dalam perjalanannya terdapat banyak rintangan
yang harus dihadapi sebagai upaya mendekatkan pewaris budaya pada warisannya
(Santosa, 2015).
Dari hasil penelitian Irawan, et al., (2023), menunjukkan bahwa pertunjukan
Wayang Kulit di Desa Sidoharjo-1 Pasar Miring masih memegang peranan
penting dalam menjaga warisan budaya lokal dan mempererat hubungan sosial
antar masyarakat. Acara ini tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga sebagai media
pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai moral dan budaya kepada generasi muda.
Namun, tradisi wayang kulit menghadapi tantangan pelestarian akibat perubahan
pola pikir dan gaya hidup masyarakat modern. Oleh karena itu, diperlukan
upaya kolaborasi antara pemerintah, lembaga budaya, dan masyarakat
setempat untuk menjamin keberlangsungan tradisi ini.
Wayang kulit merupakan satu diantara beberapa kesenian tradisional masyarakat
Jawa. Dalam perkembangannya dari zaman ke zaman, wayang telah mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat pendukungnya. Wayang telah
melewati berbagai peristiwa sejarah dari generasi ke generasi. Sehingga budaya
pewayangan telah melekat bagi bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat tidak selalu berjalan sangat
lancar, terdapat kendala-kendala yang sering terjadi misalnya perbedaan antara
kebudayaan maupun kebiasaan yang lama dan yang baru. Wayang kulit saat ini telah
mengalami perubahan besar, baik itu dari segi bentuk, ornamen hiasan pada pakaian
wayang maupun penambahan tokoh-tokoh cerita pewayangan (Anis dan Choiriah,
2019).
Zuraidah, Nita (2015) BENTUK PENYAJIAN PERTUNJUKKAN WAYANG ORANG
DI KECAMATAN BATANG KUIS KABUPATEN DELI SERDANG. Undergraduate
thesis, UNIMED.
HARIYANTO, NICO (2019) Persepsi Masyarakat Jawa Terhadap Kesenian Wayang
Kulit di Desa Bandar Klippa Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli
Serdang. Undergraduate thesis, UNIMED.
Sitinjak, Helen Kurnia (2013) PERANAN GAMELAN SEBAGAI PENGIRING
WAYANG KULIT DI GROUP KRIDO LARAS KOTA MEDAN. Undergraduate thesis,
UNIMED.
Diningrum, S. A., Sirait, H. R., dan Nabawy, R. 2023. Antusias Pemuda Terhadap
Seni Pertunjukan Wayang Kulit di Desa Limau Manis.
JournalofHumanAndEducationVolume3,No.2,Tahun2023,pp218-223E-ISSN2776-
5857,P-ISSN2776-7876.
Desriyanti, L. 2017. Diplomasi Budaya Indonesia Melalui Wayang Kulit Di Amerika
Serikat. JOM FISIP Volume 4 No. 2 Oktober 2017.
Dedi, S. 2009. “Kedatangan dan Perkembangan Wayang Kulit di Kota Medan”.
Skripsi. Medan: Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera
Utara.
Anggoro, B. 2018. Wayang dan Seni Pertunjukan: Kajian Sejarah Perkembangan Seni
Wayang di Tanah Jawa sebagai Seni Pertunjukan dan Dakwah. JUSPI: Jurnal Sejarah
Peradaban Islam. Vol. 2 No. 2 Tahun 2018. ISSN 2580-8311.
SuwajiBastomi, Nilai-Nilai Seni Pewayangan, (Semarang: Dahara Prize, 1993), 4.
Ridin Sofwan, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, (Yogyakarta: Gama
Media, 2004), 80
Hazim, A. 1991. Nilai-nilai Etis dalam Wayang (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1991), hal. 61.
Purwanto, S. 2018. Pendidikan Nilai Dalam Pagelaran Wayang Kulit. TA’ALLUM:
Jurnal Pendidikan Islam. Volume 06, Nomor 01, Juni 2018, Halaman 1-30 p-ISSN:
2303-1891; e-ISSN: 2549-2926.
Sabunga, B., Budimansyah, D., dan Sauri, S. 2016. “Nilai-nilai Karakter dalam
Pertunjukan Wayang Golek Purwa,” Jurnal Sosio Religi 14, no. 1 (2016): 2,
http://ejournal.upi.edu/index.php/SosioReligi/article/view/5558.
Santosa, O. E. (2015). Revitalisasi dan eksplorasi kearifan lokal (Local Wisdom)
dalam konteks pembangunan karakter bangsa. Forum (Semarang), 40(2), 12–26.
Irawan, A. G., Harahap, M. H., Nasution, K. S., Hanafi, M. R., dan Khalis, S. A.
2023. Tradisi Pertunjukan Wayang Kulit Bahasa Jawa: Studi Kasus Pertunjukandi
Desa Sidoharjo-1 Pasar Miring, Kecamatan Pagar Merbau, Kabupaten Deli Serdang.
JournalofHumanAndEducationVolume3,No.2,Tahun2023,pp197-202E-ISSN2776-
5857,P-ISSN2776-7876Website:https://jahe.or.id/index.php/jahe/index.
Anis, M. dan Choiriah. 2019. Dinamika Kesenian Wayang Kulit Di Kota Langsa.
SEUNEUBOK LADA Jurnal Ilmu-ilmu Sejarah, Sosial, Budaya dan Kependidikan, 6
(1), 2019: 82-89 ISSN : 2356-0770 e-ISSN : 2685-2705.

Anda mungkin juga menyukai