Anda di halaman 1dari 13

i Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah terdapat berbagai macam jenis kesenian tradisional kerakyatan

yang tersebar di seluruh pelosok daerah. Semuanya mempunyai corak dan ciri yang berbeda-beda
sesuai dengan keadaan sosial budaya daerahnya. Jenis-jenis kesenian tradisional tersebut diantaranya
adalah Wayang Orang. Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong (bahasa Jawa) adalah
ayawayang yang dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut.
Pertunjukan Wayang Orang ini pada awalnya dipentaskan dengan cara mbarang oleh kelompokkelompok wayang orang yang ada pada saat itu.
Pengertian Wayang Orang
Wayang Orang atau disebut juga Wayang wong adalah suatu drama tari berdialog prosa yang ceritanya
mengambil dari epos Ramayana dan Mahabarata. Konsep dasar wayang orang mengacu pada wayang
purwa (wayang kulit). .
Oleh karena itu wayang orang merupakan personifikasi wayang kulit. Wayang Orang merupakan sebuah
genre yang dihidangkan ke dalam drama tari tradisional. Yang dimaksud dengan genre adalah jenis
penyajian yang memiliki karakteristik struktur, sehingga secara audio visual dapat dibedakan dengan
bentuk pertunjukan yang lain. Kesenian Wayang Orang memuat tentang ajaran-ajaran hidup. Oleh
karena itu kesenian Wayang Orang merupakan tontonan dan sekaligus tuntunan hidup bagi masyarakat
Jawa, yang relevan dengan perkembangan jaman.
Unsur-Unsur Yang Ada Dalam Pertunjukan Wayang Orang
1. Gedung
Gedung adalah tempat dimana wayang orang dipergelarkan. Di dalam gedung terdapat alat dan sarana
pendukung pertunjukan, seperti panggung dan pelengkapan lain seperti layar sebagai latar belakang
untuk pergantian suasana. Layar di sini berupa kain yang berukuran cukup besar yang ada lukisan yang
menggambarkan suasana adegan yang berlangsung. Lukisan ini biasanya berupa di dalam
kraton/istana, jalan, hutan, sungai dan pemandangan yang lain.
2. Dalang
Dalang adalah orang yang memainkan boneka wayang. Seorang dalang mempunyai kedudukan sentral
dalam pertunjukan wayang. Seorang dalang bertanggung jawab atas seluruh pergelaran yang sedang
berlangsung, memimpin musik, membuat hidupnya pertunjukan, bertindak sebagai penyaji.
3. Gamelan Dan Pangrawit
Setiap penyajian wayang orang diperlukan iringan gamelan (musik). Fungsi dari gamelan beserta
pengrawitnya adalah untuk mengiringi dan mendukung suasana yang diinginkan. Juga ritme gamelan
(musik) berfungsi untuk mendukung suasana pertunjukan.
4. Sutradara
Sutradara dalam pertunjukan wayang adalah individu/personal yang mengarahkan dan mengkoordinasi
segala unsur pertunjukan dengan paham, serta mempunyai kecakapan, sehingga mencapai suatu
pertunjukan yang berhasil.
5. Gerak Tari
Gerak tari adalah tata laku gerak dalam tari. Pada hakekatnya tari dalam pertujukan wayang orang
adalah merupakan bagian keseluruhan pertunjukan wayang orang. Tari yang digunakan di panggung
wayang orang adalah tari tradisional klasik. Tari wayang orang dibagi menjadi beberapa larakter, yaitu
tari putri luruh, tari putri lanyap, tari putra luruh, tari putra lanyap, tari putra gagah dan gecul. Ragam
gerak tari yang disajikan adalah gerak baku, artinya telah ada patokannya, misalnya ; gajah-gajahan,
golek iwak, bapang, ukel wutuh, besut, sabetan, lumaksana, kebyok kebyak sampur.
6. Busana
Busana adalah kostum yang berfungsi untuk menghidupkan perwatakan pelaku/tokoh wayang yang
dibawakan. Artinya, sebelum dia berdialog, kustum yang dikenakan sudah menunjukkan siapa dia
sebenarnya.
7. Rias
Tata rias dalam wayang orang, membuat wajah dan kepala sesuai dengan peran tokoh wayang yang
dikehendaki.
8. Lampu Dan Suara

Pada masa lalu saat awal perkembangannya, pertunjukan tari tradisional hanya diberi penerangan dari
api, yang bersumber dari minyak kelapa atau minyak tanah. Untuk pengaturan suara menggunakan
kenthongan. Dalam perkembangan selanjutnya kemudian menggunakan penerangan lampu listrik serta
menggunakan alat pengeras suara (sound system). Semua alat berfungsi untuk membantu pertunjukan,
baik untuk menerangi maupun mengatur suara dalam pertunjukan tari. Penataan lampu sebenarnya
bukan sekedar untuk penerangan semata, namun juga berfungsi untuk menciptakan suasana yang
diinginkan, dan memberi daya hidup pertunjukan secara langsung, yaitu efek sinar lampu dapat memberi
kontribusi pada suasana dramatik pertunjukan. Dan secara tidak langsung memberi suasana/daya hidup
pada busana penari dan perlengkapan lainnya. Sedangkan penataan suara dapat dikatakan berhasil jika
dapat menjadi jembatan komunikasi antara pertunjukan dengan penonton, artinya penonton dapat
mendengar dengan baik dan jelas tanpa gangguan apapun sehingga terasa nyaman menikmati
pertunjukan tari. Wayang orang atau yang aslinya dalam dalam Bahasa Jawa

disebut wayang wng adalah salah satu jenis teater tradisional Jawa yang merupakan
gabungan antara seni drama yang berkembang di Barat dengan pertunjukan wayang
yang tumbuh dan berkembang di Jawa. Jenis kesenian ini pada mulanya berkembang
terutama di lingkungan keraton dan kalangan para priyayiJawa. Wayang wng adalah
sebuah pertunjukan seni tari drama dan teater yang mengambil cerita Ramayana dan
Mahabarata sebagai induk ceritanya. Wayang orang yang digolongkan ke dalam bentuk
drama seni tari tradisional. Sebutan wayang berasal dari bahasa Jawa Kuno yang
berarti bayangan.
Diketahui bahwa wayang orang lahir di Mangkunegaran dan Yogyakarta, sedangkan
wayang orang panggung sebagai wayang orang komersil memang diciptakan diluar
keraton.
Rustopo didalam bukunya Menjadi Jawa yang membahas sejarah perkembangan
wayang orang, menyebutkan bahwa wayang orang di Surakarta ini berasal dari tradisi
pertunjukkan seni Pura Mangkunegaran yang pada awalnya dikembangkan oleh
Pangeran Adipati Mangkunegara I (1757-1796). Rustopo mengutip Soedarsono (R.M.
Soedarsono, Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta)
yang menyebutkan bahwa Keraton Yogyakarta dan Pura Mangkunegaran adalah tempat
kelahiran wayang orang ketika kesusasteraan Jawa mengalami masa renaissance pada
abad ke 18-19, yang ditandai dengan penulisan kembali kakawin (Jawa Kuno) dalam
bahasa susastra Jawa Baru. Sesungguhnya kerajaan-kerajaan di Jawa Timur abad ke 10
hingga ke 15, sendratari wayang orang yang menceritakan Ramayana dan Mahabarata
ini juga sudah dikembangkan.

Wayang orang sebagai salah satu produk seni adiluhung kebudayaan Jawa, memiliki
peran penting dalam menjadi suatu identitas Jawa. Adanya
dua gagrak atau style (gaya) dalam garap seni pertunjukan wayang orang
menunjukkan betapa sungguh kaya kebudayaan masyarakat Jawa. Walaupun sejatinya
tak dapat dipungkiri, dua gaya yang berbeda tersebut lahir berkat lembar hitam sejarah
politik adu domba penjajah pada masa lalu terhadap entitas tunggal Kesultanan
Mataram. Semua produk budaya Jawa yang awalnya hanya terdapat
satu gagrak tunggal yaitu gagrak Mataram, akhirnya terpecah menjadi dua,
yaitu gagrak Surakarta dan gagrak Yogyakarta. Masing-masing gaya memiliki sejarah,
cerita perkembangan, dan dinamikanya sendiri, berawal dari balik tembok istana hingga
tersebar grup wayang orang di beberapa kota di Indonesia.

Nilai luhur dalam seni olah tari dalam wayang orang dapat diambil dari falsafah joged
Mataram, yaitu suatu ilmu seni pertunjukan yang mencakup aspek teknis dan juga
aspek kebatinan [sawiji (kosentrasi total), grgd (dinamika atau

semangat), sngguh (percaya diri), serta ora mingkuh (pantang mundur)]. Ilmu seni
pertunjukan tersebut konon diciptakan oleh Sultan Hamengkubuwono I dari Kesultanan
Yogyakarta. Para guru tari gaya Yogyakarta tidak dapat menunjukan dokumen atau
sumber tentang ilmu seni pertunjukan tersebut. Mereka mengenal dan memahami dari
ketekunan menafsirkan dan menghayati petunjuk lisan yang disampaikan guru mereka.
Beberapa alasan dikemukakan oleh guru tari gaya Yogyakrta tentang perihal ilmu seni
pertunjukan tersebut tidak dituliskan, sebab ilmu tersebut adalah titah (sabda) Sultan
ketika mengajarkan joged Mataram. GBPH. Suryobrongto mengemukakan salah satu
sumber yang menunjukan bahwa filsafat joged Mataram itu merupakan sabda Sultan
Hamengkubuwono I didapatkan pada Babad Giyanti dalam salah satu bentuk tembang
sekar sinom, terjemahan bebasnnya sebagai berikut :
1. Sejarah Perkembangan Wayang Orang
Sudah hal umum, masyarakat Jawa mengetahui adanya persaingan kultural dalam
duagagrak utama dalam kebudayaan Jawa. Kondisi itut tak lepas dari aspek historis
kehadiran dua gagrak tersebut. Dulu hanya dikenal satu gagrak di kawasan geografis
Kesultanan Mataram.
Namun setelah adanya aksi politis pemerintah Hindia Belanda untuk memecah-belah
Mataram menjadi dua menjadi Surakarta dan Yogyakarta, maka sejak itulah semua
aspek kehidupan, termasuk kesenian, ikut terpengaruh. Lewat Perjanjian
Giyanti (palihan negari) tahun 1755, Mataram terbelah menjadi Kesultanan Yogyakarta
dan Kasunanan Surakarta. Dalam bidang kebudayaan atau kesenian, hal politis itu pun
berimbas.
Termasuk dalam seni wayang orang. Wayang orang merupakan seni tradisi yang
memadukan seni tari, seni drama, seni musik, dan seni rupa. Cerita wayang orang
bersumber pada lakon Mahabarata dan Ramayana. Wayang orang merupakan suatu
produk kebudayaan yang syarat dengan filsafat dan pendidikan yang mengajarkan kita
memahami falsafah hidup, etika, dan tuntutan budi pekerti dalam kehidupan dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Konon, Pertunjukan wayang orang pertama kali digelar pada kurun waktu yang hampir
bersamaan di Kesultanan Yogyakarta dibawah penguasaan Sultan Hamengkubuwono I
dan di Praja Mangkunegaran Surakarta pada masa Adipati Mangkunegara I.
Berdasarkan penelitian Leyveld (1931), lakon pertama yang diciptakan

Hamengkubuwono I adalah Gandawerdaya, sedangkan Mangkunegara I mengambil


lakon Wijanarka. Awal dari wayang orang ini diperkirakan muncul pada abad ke 18.
1. Wayang Orang Gaya Yogyakarta
Pada awal pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I, kesenian yang mendapat
perhatian besar adalah seni karawitan dan seni tari, tetapi aspek pertahanan dan
keamanan juga mendapat perhatian yang besar. Mengingat waktu itu Sultan juga
menghadapi kekuatan Belanda.
Oleh sebab itu teknik-teknik menari tidak jauh berbeda dengan latihan militer,
ketegasan, ketagapan tubuh, kesungguhan, dan semangat menjadi sangat utama.
Bentuk dramatari yang pertama diciptakan Sultan Hamengkubuwono I adalah seni
wayang orang dengan lakon Gandawerdaya. Lakon ini mengandung spirit patriotisme
yang digali dari epos Mahabarata, khususnya mengemukakan patriotisme dari para
kesatria Pandawa yang gagah berani membela kebenaran atas kelicikan para Kurawa
(Wibowo,1981: 33).
Wayang orang di Kesultanan Yogyakarta merupakan tari kelompok yang sangat
sederhana, karena tidak memusatkan pada gemerlapan kostum dan piranti lainnya,
tetapi lebih mencitrakan semangat dan penghayatan yang kuat terhadap karakter
tokoh. Sehingga tari klasik gaya Yogyakarta menampakan ciri bentuk yang lebih klasik
dari pada tari gaya Surakarta yang berkesan romantik.
Perbedaan tersebut membuat tari klasik gaya Yogyakarta, termasuk wayang orang,
mendapat sebutan yang ekslusif yaitu joged Mataram. Penari-penari wayang orang
yang memegang peranan penting harus memiliki bekal falsafah dalam joged
Mataram ini secara baik. Sebab apabila tidak, akan sukar menyalurkan dinamika
dalam dari karakter yang dibawakannya. Seorang yang memiliki grgd, pada waktu
memerankan seorang tokoh wayang akan kelihatan ekspresi dari gerak dalam
jiwanya, biarpun ia dalam keadaan tidak sedang menari.
Perkembangan tari gaya Yogyakarta sejak pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I
hinga sekarang tetap mendapat perhatian, dan selalu terjadi peningkatan-peningkatan
pada setiap generasi ataussetiap sultan yang memerintah. Oleh sebab itu dapat
dikelompokkan menjadi 3 periode, yaitu :

1. Periode Pertumbuhan
Perkembanan seni pertunjukan Yogyakarta diawali sejak zaman pemerintahan Sultan
Hamengkubuwono I yang memerintah antara tahun 1755 1792 hingga masa
pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII yang memerintah antara tahun 1921
1939. Pada masa itu perkembangan seni pertunjukan. Khususnya wayang orang
mendapat perhatian yang cukup besar dari Sultan Hamengkubuwono I. Fungsi sosial
dari wayang orang adalah untuk menumbuhkan semangat patriotis dari rakyat
Kesultanan Yogyakarta menghadapi penjajah Belanda.
Data tentang pementasan wayang orang pada masa awal tercatata sebagai berikut :
1) Masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792); lakon yang
dipentaskan Gandawerdaya dan Jayasemedi.
2) Masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono II (1792-1812) lakon yang
dipentaskan Jayapustaka, masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono III (18121814) tidak ditemukan data pementasan, masa pemerintahan Sultan
Hamengkubuwono IV (1814-1823) tidak ditemukan data pementasan.
2. Periode Pembakuan
Tari gaya Yogyakarta yang terus tumbuh dan berkembang hingga pada masa
pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII (1921-1939). Pada masa itu, banyak
usaha-usaha pembaharuan yang dilakukan, khsusunya mulai dari penyempurnaan
gerak tari, tata busana, dan model Pedalangan. Terlebih pada masa itu berdiri sebuah
sekolah pedalangan yang disebut Habiranda yang digukung oleh Java Institut.
Tahun 1960, pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX, mulai dilakukan
pembakuan-pembakuan, baik aspek teknis maupun aspek pemikiran yang bersifat
filosofis. Pada priode pembakuan wayang orang gaya Yogyakarta dapat disimak dapat
disimak kronologisnya :
1) Sultan Hamengkubuwono V (1823-1855) lakon yang diproduksi antara lain Pragolog
Pati, Petruk Dados Ratu, Rabinipun Angkawijaya angsal Dewi Utari, Jayasemedi, dan
Pergiwa-Pergiwati.

2) Semasa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VI (1855-1877) tidak ada data


pementasan, sementara pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII (18771921) terdapat dua pementasan dengan lakon Sri Suwela dan Pergiwa-Pergiwati. Pada
tahun 1899, J. Groneman mencatatat dalam bukunya yang berjudul De Wayang Orang
Pregiwain den Keraton te Yogyakarta, digambarkan bahwa wayang orang
dipertunjukan selama tiga hari yang dihadiri tidak kurang dari 35.000 penonton
(Rusliana, 2001;13).
3) Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII (1921-1939) merupakan
masa keemasan wayang wong gaya Yogyakarta dengan mementasan yang cukup
banyak dan besar-besaran yaitu pementasan memakan waktu lebih dari 3 hari dengan
mengembangkan lebih dari 20 lakon.
3. Periode Pembaharuan dan Pengembangan
Pembaharuan tari gaya Yogyakarta memang tidak terjadi di dalam keraton, tetapi
dengan materi tari gaya Yogyakarta yang telah diizinkan oleh pihak keraton untuk
disebarluaskan pada masyarakat. Masa ini dimulai dari masa pemerintahan Sultan
Hamengkubuwono VIII dan Sultan Hamengkubuwono IX (Wibowo, 1981: 45-47).
Masa pengembangan dan pembaharuan ini ditandai dengan berdirinya pusat-pusat
latihan tari gaya Yogyakarta yang dikelola oleh masyarakat seperti Krida Beksa Wirama
yang didirikan pada tahun 1918 di Yogyakarta. Semenjak saat itu seni tari mendapat
perhatian yang cukup, besar, terutama pada teknik pengajar. Sebab metode pengajaran
yang dipakai dui dalam keraton (metode tradisional) dianggap tidak relevan lagi.
Apalagi untuk mempelajari tari dalam waktu yang singkat. Selain itu tujuan pendidikan
tari dalam taraf penyebarluasan, sifatnya masih apresiatif. Ini berkaitan dengan masih
langkanya orang mempelajari tari, waktu itu. Terutama kalangan pelajar dan
mahasiswa. Tidak mengherankan perkembangan seni tari di zaman sebelum
kemerdekaan RI (17 Agustus 45) jarang ada tari-tarian yang beraneka ragam
garapannya. Dan tari yang dipelajari masih memanfaatkan hasil produksi Istana
(Keraton Jawa) (Sedyawati 1981:8), yang lazim disebut
tariklasik,seperti bdaya, lawung, srimpi, wireng,ptikan, wayang wng, dan
sebagainya.

Selama perkembangan tersebut, terciptalah gerak-gerak tari baru yang diciptakan


seniman, pakar tari keraton antara lain smbahan, sabtan, lumaksana, ngombak
banyu, serta srisig.
Wayang orang mungkin memang kurang populer dibandingkan wayang kulit. Namun
sesungguhnya pertunjukan wayang orang tidak kalah menarik dengan wayang kulit.
Wayang orang terasa istimewa karena kita bisa menikmati cerita sembali melihat
keindahan gerakan para penari. Sama halnya dengan tari-tari tradisional, saat ini
wayang orang sudah bisa disaksikan di luar keraton.
1. Wayang Orang Gaya Surakarta
Diketahui bahwa wayang orang gaya Surakarta lahir di Pura Mangkunegaran,
sedangkan wayang orang panggung sebagai wayang orang komersil memang
diciptakan di luar keraton.
Adalah Pangeran Adipati Mangkunegara I, yang pada sekitar tahun 1757 menciptakan
sebuah bentuk sendratari wayang orang, yang berfungsi sebagai sajian ritual Pura
Mangkunegaran dan untuk konsumsi dalam para bangsawan saat itu. Penyebab
pergeseran kedudukan seni wayang wong dari pertunjukan kaum elite menjadi
pertunjukan bagi semua kalangan adalah keadaan keuangan Mangkunegaran yang
mengalami kemerosotan dan kebijakan Mangkunegara VI dalam upaya mengembalikan
perekonomian Mangkunegaran.
Diawalai pada masa pemerintahan Mangkunegara IV, Mangkunegaran mengalami masa
kejayaan. Banyak didirikan perkebunan-perkebunan kopi dan tebu di wilayah
Mangkunegaran serta pembangunan pabrik gula Tasikmadu dan Colomadu.
Keberhasilan bidang ekonomi ini membawa Mangkunegara IV dalam mengembangkan
bidang kesenian. Terbukti dengan hasil seni sastranya yang terkenal yaitu Serat
Wedhatama. Dalam seni tari Mangkunegara IV menciptakan opera Langendriyan,
fragmen-fragmen epos Ramayana dan Mahabharata, serta Beksan Wireng. Dalam dunia
pewayangan menciptakan Kyai Sebet, yaitu wayang kulit pusaka Mangkunegaran dan
pagelaran wayang madya.
Pada masa pemerintahan Mangkunegara V didukung oleh perekonomian yang kuat
peninggalan dari Mangkunegara IV, Mangkunegara V bisa lebih fokus dalam
mengembangkan dan menyempurnakan kesenian warisan dari Mangkunegara IV
terutama kesenian wayang wong. Pada masa inilah kesenian wayang wong mengalami

masa kejayaannya. Hal ini terbukti ketika Mangkunegara V mulai membuat standarisasi
tata busana wayang wong dengan diilhami tata busana wayang purwa dan gambar
Bima pada relief Candi Sukuh di Kabupaten Karanganyar.
Standarisasi busana ditunjukan dalam sebuah manuskrip yang berjudul Pratelan
Busananing Ringgit Tiyang. Tidak hanya pada standarisasi tata busana, Mangkunegara
V juga menciptakan naskah lakon dan pertunjukannya.
Untuk melestarikan seni wayang orang di keraton ini membutuhkan biaya yang tidak
sedikit, tetapi ketika terjadi krisis ekonomi yang disebabkan oleh gagalnya panen kopi
karena serangan hama dan bangkrutnya pabrik gula karena beredar luasnya gula bit di
Eropa, akhirnya mengakibatkan kemerosotan kegiatan seni di Pura Mangkunegaran.
Selain karena krisis keuangan, juga kegiatan seni wayang orang ini digolongkan
sebagai kegiatan yang memboroskan. Akibatnya sebagian besar abdi dalem kesenian,
termasuk abdi dalem wayang orang diberhentikan dan menganggur.
Merosotnya seni wayang orang di Mangkunegaran sebagai akibat dari krisis ekonomi di
keraton ini menarik minat seorang pengusaha batik Tionghoa Surakarta yang bernama
Gan Kam. Leluhur dan keluarga Gan Kam yang bernenek seorang wanita Jawa diketahui
sejak lama mempunyai hubungan dekat dengan keluarga Pura Mangkunegaran.
Anggota keturunan keluarga Gan yang Muslim, apabila meninggal dunia jenazahnya
dimakamkan di makam keluarga Gan di Desa Pajang pemberian Mangkunegara III
sebagaipenghargaan atas jasa leluhur Gan kepada Mangkunegaran ketika terjadi
Perang Jawa (1825-1830). Gan Kam berhasil merayu Mangkunegara V untuk
memboyong wayang orang Mangkunegara keluar tembok istana untuk dipasarkan atau
agar dapat dinikmati oleh orang kebanyakan dan penduduk kota.
Sekiranya Gan Kan tidak melanjutkan seni tradisi wayang orang tersebut diluar keraton,
kemungkinan besar warisan seni wayang orang ini akan hilang untuk selamanya. Dan
atas peranannya, seni wayang orang dari keraton itu bergeser menjadi bagian seni
tradisi pertunjukkan masyarakat yang tidak sakral lagi (desakralisasi) atau menjadi
pertunjukkan hiburan yang bersifat komersil dan populis dalam bentuk wayang
panggung (komersil).
Pada tahun 1895, Gan Kam yang dikenal sebagai perintis yang mempopulerkan wayang
orang Mangkunegaran membentuk rombongan wayang orang komersil pertama yang

sebagian besar pemainnya direkrut dari mantan abdi dalem penari wayang orang
Mangkunegaran yang diberhentikan.
Ada perbedaan antara wayang orang Mangkunegaran dengan wayang orang panggung.
Atas izin Mangkunegara V, Gan Kam mengemas pertunjukkan wayang orang dalam
durasi waktu yang agak pendek, lebih mementingkan dialog daripada tarinya, sehingga
dapat menghibur penonton. Garapan tari yang terlalu halus, rumit dan lama yang
dianggap dapat membosankan penonton dikurangi. Kalau peranan tokoh wayang orang
di Pura Mangkunegaran semuanya dimainkan oleh laki-laki (termasuk tokoh
wanitanya), maka pada wayang orang panggung, peranan tokoh laki-laki tertentu
(alusan) seperti Arjuna, Abimanyu, Wibisana, dan yang sejenisnya diperankan oleh
penari perempuan (dengan alasan-alasan tertentu yang terlalu panjang kalau
disebutkan). Diketahui ketika itu bahwa banyak penduduk Tionghoa di sekitar
Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Madiun, dan lainnya menjadi penggemar-penggemar
wayang orang dan kerawitan Jawa. Tidak jarang bahwa suatu waktu deretan kursi-kursi
terdepan di Gedung Wayang Orang Sriwedari seolah-olah menjadi milik nyonya-nyonya
Tionghoa, karena sudah dipesan atau diabonemen sebelumnya. Gan Kam, bapak
pendiri wayang orang panggung (komersil) itu meninggal dunia pada tahun 1928.
2. Perbandingan Garap Wayang Orang Gaya Surakarta dan Yogyakarta
Untuk menyelenggarakan pertunjukan wayang orang secara lengkap, biasanya
dibutuhkan pendukung sebanyak 35 orang, yang terdiri dari :
1). 20 orang sebagai pemain (terdiri dari pria dan wanita);
2). 12 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara;
3). 2 orang sebagai waranggana;
4). 1 orang sebagai dalang.
Dalam pertunjukan wayang orang, fungsi dalang yang juga merupakan sutradara tidak
seluas seperti pada wayang kulit. Dalang wayang orang bertindak sebagai pengatur
perpindahan adegan, yang ditandai dengan suara suluk atau monolog. Dalam dialog
yang diucapkan oleh pemain, sedikit sekali campur tangan dalang. Dalang hanya
memberikan petunjuk-petunjuk garis besar saja. Selanjutnya pemain sendiri yang
harus berimprovisasi dengan dialognya sesuai dengan alur ceritera yang telah diberikan
oleh sang dalang.

Pola kostum dan make up wayang orang disesuaikan dengan bentuk (patron) wayang
kulit, sehingga pola tersebut tidak pernah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Pertunjukan wayang orang menggunakan konsep pementasan panggung yang bersifat
realistis. Setiap gerak dari pemain dilakukan dengan tarian, baik ketika masuk
panggung, keluar panggung, perang, ataupun yang lain-lain.
Gamelan yang dipergunakan seperti juga dalam wayang kulit adalah pelog dan slendro
dan bila tidak lengkap biasanya dipakai yang slendro saja. Lama pertunjukan wayang
orang biasanya sekitar 7 atau 8 jam untuk satu lakon, biasanya dilakukan pada malam
hari. Pertunjukan pada siang hari jarang sekali dilakukan. Sebelum pertunjukan di
mulai sering ditampilkan pra-tontonan berupa atraksi tari-tarian yang disebut ekstra,
yang tidak ada hubungannya dengan lakon utama.
Garap wayang orang memiliki perbedaan dalam masing-masing gaya. Yogyakarta yang
masih menjalankan budaya Mataram asli memiliki ciri khas sendiri, begitu pula dengan
Mangkunegaran (Surakarta) yang memiliki ciri khas sendiri hasil yasa enggal atau
membuat yang baru.
Perbedaan itu salah satunya bisa dilihat pada tata rias pemain wayang orang. Dalam
garapan gaya Surakarta, busana rias pemain tampak sangat gemerlapan serta
berkesan romantik. Sementara dalam gaya Yogyakarta, busana pemain menampakkan
ciri bentuk yang lebih klasik dari pada busana gaya Surakarta. Untuk pakaian tokoh
kera dalam adegan Ramayana misalnya, riasan wajah pemain kera gaya Surakarta
hanya mengandalkan riasan make up wajah (irah-irahan) serta aksesoris berupa taring
dan rumbai rambut pasangan. Sementara dalam gaya Yogyakarta, penggambaran citra
wajah tokoh kera menggunakan aksesori topeng kayu. Begitu pula dalam tokoh
raksaksa, gaya Yogyakarta juga menggunakan akseoris topeng kayu untuk
menggambarkan ciri wajah dan perangai raksaksa yang diperankan.
Perbedaan yang ada di antara dua aliran terdapat terutama pada intonasi dialog, tan,
dan kostum. Dialog dalam wayang orang gaya Surakarta lebih bersifat realis sesuai
dengan tingkatan emosi dan suasana yang terjadi, dan intonasinya agak bervariasi.
Dalam wayang orang gaya Yogyakarta dialog distilisasinya sedemikian rupa dan
mempunyai pola yang monoton.

Kini, hampir kebanyakan grup wayang orang yang dijumpai menggunakan dialog gaya
Surakarta. Jika ada perbedaan, perbedaan tersebut hanya terdapat pada tarian atau
kadangkala pada kostum.
Perkembangan dua gaya dalam pementasan wayang orang merupakan suatu kekayaan
budaya adiluhung yang tak ternilai harganya. Masing-masing gaya memiliki ciri khas
tersendiri, yang menjadikan suatu identitas bagi daerah tersebut. Begitu pelik dan
rumitnya olah garap sendratari wayang orang baik secara fisik maupun falsafah yang
terkandung di dalamnya, menunjukkan bahwa Bangsa Jawa telah mampu menciptakan
sebuah karya seni budaya yang sudah sangat maju dan terstruktur rapi, serta begitu
halus dan estetis.
Berhasil tidaknya regenerasi wayang orang tidak dapat dipandang secara sepintas.
Kesenian wayang orang yang diturunkan dari masa ke masa tersebut, tidak boleh
punah di tangan generasi saat ini.
Walaupun sempat mengalami pasang surut dalam perkembangannya, sendratari
wayang orang masih tetap eksis di tengah moderenisasi. Di tengah hingar bingar
hiburan moderen, wayang orang menjadi salah satu rujukan hiburan dengan sensasi
dan suasana yang berbeda, tradisional namun elegan.
Sebagai masyarakat Jawa yang diwarisi berbagai produk budaya yang beraneka ragam
tersebut, sudah seharusnya memiliki hak dan juga berkewajiban untuk ikut
melestarikan produk-produk budaya itu, termasuk pula di dalamnya wayang orang.
Melestarikan seni budaya tidak perlu harus menjadi pelaku aktif dalam bidang seni
budaya tersebut, walaupun memang lebih baik jika seperti itu. Semua bisa dimulai dari
yang paling mendasar, yaitu merasa memiliki, kemudian bangga, serta menyukai dan
mencintai. Sekalipun kita tidak memiliki bakat dan minat menjadi pemain wayang
orang, kita masih bisa ikut berpartisipasi dalam melestarikan seni wayang orang, yaitu
dengan bangga akan seni wayang orang dan gemar menyaksikan pergelaran wayang
orang. Dengan demikian, suatu produk budaya akan tetap lestari di tengah gempuran
arus kemajuan dan moderenisasi.
Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong (bahasa Jawa) adalah wayang yang
dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut. Wayang orang
diciptakan oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731.

Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi dipergelarkan dengan memainkan
boneka-boneka wayang (wayang kulit yang biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang
lain), akan tetapi menampilkan manusia-manusia sebagai pengganti boneka-boneka wayang
tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan yang dipakai pada wayang kulit.
Supaya bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari
samping), sering kali pemain wayang orang ini diubah/dihias mukanya dengan tambahan gambar
atau lukisan.
Pertunjukan wayang orang yang masih ada saat ini, salah satunya adalah wayang orang Barata (di
kawasan Pasar Senen, Jakarta), Taman Mini Indonesia Indah, Taman Sriwedari Solo, Taman
Budaya Raden Saleh Semarang, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai