A. Latar Belakang
Di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah terdapat berbagai macam jenis kesenian
tradisional kerakyatan yang tersebar di seluruh pelosok daerah.
Semuanya mempunyai corak dan ciri yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan sosial
budaya daerahnya. Jenis-jenis kesenian tradisional tersebut diantaranya adalah Wayang Orang.
Pertunjukan Wayang Orang ini pada awalnya dipentaskan dengan cara “mbarang” oleh
kelompok-kelompok wayang orang yang ada pada saat itu.Wayang Orang adalah suatu drama
tari berdialog prosa yang ceritanya mengambil dari epos Ramayana dan Mahabarata. Konsep
dasar wayang orang mengacu pada wayang purwa (wayang kulit). Oleh karena itu wayang orang
merupakan personifikasi wayang kulit. Wayang Orang merupakan sebuah genre yang
dihidangkan ke dalam drama tari tradisional. Yang dimaksud dengan genre adalah jenis
penyajian yang memiliki karakteristik struktur, sehingga secara audio visual dapat dibedakan
dengan bentuk pertunjukan yang lain.
Kesenian Wayang Orang memuat tentang ajaran-ajaran hidup. Oleh karena itu kesenian
Wayang Orang merupakan tontonan dan sekaligus tuntunan hidup bagi masyarakat Jawa, yang
relevan dengan perkembangan jaman.Bila ditelusuri tentang asal-usulnya, kesenian Wayang
Orang sudah ada pada masa Jawa Kuna, sekitar tahun 930, dan dikenal dengan nama “Wayang
Wong” seperti yang tercantum dalam prasasti Wimalasrama. Kelompok Wayang Orang yang ada
di Jawa Tengah antara lain adalah Kelompok Wayang Orang Sriwedari yang terletak di kota
Solo (Surakarta) dan Ngesti Pendowo di Semarang.Menilik dari sejarah seni pertunjukan budaya
Jawa, mayoritas dipengaruhi oleh kisah Mahabharata dan Ramayana dari India yang telah
berbaur dengan budaya lokal. Tetapi dari kedua sumber budaya ini, Mahabharatalah yang
menjadi runutan hampir mayoritas seni pertunjukan Jawa seperti wayang purwa, wayang orang
dan lain sebaginya.
Mahabhrata memiliki inti cerita seputar konflik antara Pandawa dan Kurawa mengenai
sengketa pemerintahan Negara Astina yang puncaknya terjadi pada perang Bharatayudha.
Mahabharata mulai populer di Jawa sekitar abad 10 masehi pada masa pemerintahan
Dharmawangsa Teguh ( 991-1016 M) dari Kediri. Lalu berkembang semakin populer dalam
bentuk Kakawin atau bentuk puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa kuno. Pencipta
kakawin yang paling terkenal adalah Mpu Sedah dalam karya Bharatayudha yang ditujukan
sebagai persembahan kepada Prabu Jaya Baya diakhir pemerintahannya. Kisah Mahabharata ini
mengilhami terciptanya beragam jenis kesenia daerah jawa seperti seni arsitektur yang terlihat
pada candi, seni tari seni lukis, dan pertunjukan. Sumber-sumber Mahabharata diera kerajaan
Jawa kuno banyak ditulis di daun lontar yang berisi tentang filosofi-filosofi kehidupan sosio-
budaya-politik masyarakat Jawa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Deskripsi dari Wayang Wong?
2. Bagaimana Perkembangan Tekstual Wayang Wong?
3. Bagaimana Perkembangan Kontekstual Wayang Wong?
4. Simpulkan:
• Pada Tahun Berapa Perkembangan Terjadi?
• Faktor Apakah yang Mempengaruhi Perkembangan?
• Bagaimana Periodesasinya?
BAB II PEMBAHASAN
Wayang orang atau wayang wong (bahasa jawa) merupakan wayang yang diperangkan
dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang itu sendiri. Wayang orang dibuat
oleh Sultan Hamangkurat I di tahun 1731. Wayang orang ini bukan diperangkan lagi dengan
boneka-boneka wayang tetapi sudah ditampilkan oleh manusia-manusia sebagai pengganti
bonek-boneka tersebut.
Mereka memakai pakaian yang memiliki kesamaan dengan hiasan-hiasan yang digunakan
pada wayang kulit. Tujuannya yaitu agar bentuk muka atau bangun muka mereka serupa dengan
wayang kulit (apabila dilihat dari samping), biasanya pemain wayang orang ini dihias/dimake up
mukanya dengan tambahan gambar atau lukisan.
Dalam cerita wayang orang, cerita yang diangkat yaitu berbasis pada due epic cerita kolosal
yaitu Mahabharata dan Ramayanga. Hal yang membuat menarik dari pertunjukan wayang orang
ini adalah terdapat tari kolosan atau individu per pemain pada masing-masing jeda cerita.
Lebih dari itu wayang orang juga menampilkan tokoh punakawan sebagai pencair suasana
yang ini adalah menggambarkan kondisi kawulo alit atau masyarakat secara umum dan abdi
dalem. R.M Soedarsono menyatakan, Wayang Wong merupakan salah satu jenis teater
tradisional Jawa yang merupakan gabungan antara seni drama yang berkembang di Barat dengan
pertunjukan wayang yang tumbuh dan berkembang di Jawa. Jenis kesenian wayang ini pada
awalnya berkembang utamanya di lingkungan Kraton dan kalangan priyayi atau bangsawan
Jawa.
1. Pertunjukan wayang orang tidak bisa dipisahkan dari banyak komponen antara lain
seperti gerak tari, kostum penari, irama gamelan, tembang, dialog sampai pada make up
yang seluruhnya menyatu menjadi satu pertunjukan seni yang membuat orang terpesona.
2. Untuk dapat menjadi seoragn penari Wayang Orang bukan saja hanya bisa menari,
namun juga harus dapat bernyanyi dan pastinya dalam bahasa Jawa. Dalam menari juga
tidak dapat sembarang menari ikut irama. Wayang orang adalah suatu pertunjukan yang
sangat penuh dengan aturan, wayang adalah filosofi kehidupan.
3. Dalam pertunjukan, tata krama, etika, sopan santun seluruhnya terdapat pada wayan
gorang. Seperti misalnya, Gatot Kaca yang gagah dan sakti, sifat ini terlihat dari gerakan
tarinya. Pemeran Gatot Kaca merupakan orang yang mempunyai angkatan kaki yang
tinggi, mata yang awas dan tangan yang selalu terlentang. Pada setiap gerakan
menujukkan kegagahan, tetapi ketika Gatot Kaca bertemu dan berbicaran dengan Arjuna,
pamannya, Gatot Kaca tidak boleh mengangkat kakinya tinggi-tinggi sebab tidak sopan.
Pada sisi ini merupakan sebuah nilai moral.
4. Selain menari ada dialog yang biasanya dalam bentuk tembang. Nembang atau menyanyi
terdapat dua macam, yakni yang pertama menyanyi tanpa diringi oleh musi yang
dinamakan dengan bhowo atau dapat pula dinamakan dengan sworo lola yang memiliki
arti suara sendiri. Yang kedua adalah greget saut, yang artinya keadaan, terdapat emosi
yang jelas.
5. Dalam tarian wayang orang ada istilah wirogo, wiromo. Wirogo artinya digerakkan oleh
raga (fisik), wiroso artinya digerakkan oleh rasa dan wiromo artinya mengikuti irama.
Tidak sama dengan tarian lainnya, seperti tarian danggut yang hanya sekedar mengikuti
irama saja, menggerakan badan, pada tarian wayang, tarian wayang tersebut selain
bergerak mengikuti irama juga dengan penjiwaan yang mendalam.
6. Kostum dan make up pada wayang oragn seluruhnya tergantung dari karakter toko
wayang yang sedang diperangkan. Setiap karakter memiliki ciri khas tersendiri dari
bentuk jamang (mahkota), aksesorisnya, senjatanya, bentuk matan dan lain sebagainya.
Pertunjukan wayang wong merupakan salah satu jenis pertunjukan yang diinspirasi dari
kesenian wayang. Kesenian wayang merupakan sistem kepercayaan masyarakat Jawa yang
mengandung unsur kepercayaan, ritual, etika, estetika, filsafat dan psikologi. Wayang adalah
refleksi dari budaya Jawa, dalam arti pencerminan dari kenyataan kehidupan, nilai dan tujuan
kehidupan, moralitas, harapan dan cita-cita kehidupan mengenai bagaimana hidup sesungguhnya
(das sein) dan bagaimana hidup itu seharusnya (das sollen). (Indah Nuraini, 2011: 3).
Kesenian wayang dalam konteks budaya terus disosialisasikan dan diwariskan dari generasi
ke generasi berikutnya, bahkan pada saat ini wayang telah menjadi sumber inspirasi bagi
beragam bidang seni di antaranya sastra seni, seni pertunjukan dan seni rupa. Upaya pelestarian
kesenian wayang yang sampai saat ini terus dilakukan menjadikan wayang tetap hidup dan
menjadi tradisi budaya yang mencerminkan cita rasa masyarakat Jawa.
Perkembangan kesenian wayang di Jawa tidak dapat dipisahkan dari pengaruh kebudayaan
kraton sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya. Pada tahun 1755 kerajaan Mataram pecah
menjadi dua yaitu kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Hal tersebut berdampak
pada bidang seni pertunjukan,masing-masing kraton memiliki arah perkembangan yang berbeda,
bahkan pembagian gaya tersebut masih berlaku hingga saat ini dan menjadi dasar penciri atau
kekhasannya. Pemisahan gaya kemudian terjadi lagi ketika di Surakarta pecah menjadi
Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran.
Pertunjukan wayang wong menampilkan cerita dan beragam karakter tokoh yang
menggambarkan sebagian besar situasi kenyataan hidup, model kehidupan dan tingkah laku
masyarakat Jawa, tentunya dengan wujud yang diperhalus menjadi kemasan pertunjukan yang
artistik. Misalnya dalam penggunaan tata bahasa, dari jenis bahasa dan cara bertutur kata para
tokoh wayang, dapat diketahui tingkatan strata sosial dan karakternya.
Demikian pula dalam kehidupan nyata masyarakat Jawa, terdapat masyarakat lapisan atas
yang gaya bahasanya tertata dan terikat etika dan gaya bahasa rakyat kalangan bawah yang
cenderung bebas dan apa adanya. Pada pertunjukan wayang wong tidak semua bahasa dalam
dialog antar wayang adalah bahasa sehari-hari. Sebagian besar bahasa yang digunakan adalah
bahasa Jawa kedaton yang juga terdapat campuran bahasa sansekerta dan kawi. Gaya dialog pada
pertunjukan wayang wong sangat berbeda dengan kehidupan nyata, karena menggunakan unsur
antawecanadan pada beberapa adegan menggunakan tembang terutama untuk bagian palaran dan
gandrungan.
Pertunjukan wayang wong merupakan bentuk seni pertunjukan yang berbasis kesenian kraton
(istana). Pada mulanya wayang wong menjadi kemasan pertunjukan teater yang eksklusif dan
sangat elitis, sehingga hanya dapat dijangkau oleh masyarakat kelas atas atau priyayi. Menurut
George D. Larson, pada masa pemerintahan Mangkunegara VI sekitar tahun 1896-1916,
Kadipaten Mangkunegaran mengalami krisis ekonomi sehingga wayang wong mengalami
kemunduran bahkan banyak abdi dalem yang kemudian dirumah-kan. Tetapi sebelumnya
Mangkunegara V telah memberikan izin kepada seorang pengusaha Cina bernama Gan Kam
untuk mengemas pertunjukan wayang wong menjadi pertunjukan komersial (Hersapandi, 1999:
19). Tahun 1895 Gan Kam berhasil membentuk rombongan wayang wong yang sebagian besar
merupakan mantan abdi dalem Mangkunegaran. Hal ini menjadi titik awal dari perubahan dan
perkembangan wayang wong sampai keluar tembok kraton.
Pertunjukan wayang wong mengalami transformasi ketika keluar dari tembok kraton, tujuan
pertunjukan yang semula untuk persembahan bergeser menjadi tujuan komersial, semula bertipe
pertunjukan pendapa menjadi pertunjukan panggung prosenium, dan berbagainya. Pertunjukan
wayang wong kemasan Gam Kan diselenggarakan pada sebuah bangunan besar dengan
panggung yang diberi layar dan diberi bingkai prosenium (Rustopo, 2007:122). Panggung
prosenium ditinggikan sekitar satu meter, agar penonton dapat melihat dengan jelas pementasan
wayang wong sambil duduk. Panggung dilengkapi dengan bingkai prosenium, layar depan dan
skenario kanvas drop dan beberapa wing yang dilukis dengan gaya naturalistik untuk
menggambarkan suasana di lingkungan istana, hutan, alun-alun dan sebagainya. Penonton duduk
menghadap panggung dari arah depan dan antara tempat duduk penonton dengan panggung
terdapat ruang pemisah yang menjadi panggung untuk menempatkan seperangkat gamelan.
Ada sebuah pernyataan yang diutarakan oleh seorang warga menak Priangan bernama “ R.
Tjetje Somantri” mengenai ketertarikannya terhadap wayang wong Jawa Tengah, terutama
yyang bekembang di Keraton Yogyakarta. Ungkapan ketertarikannya tertuang dalam tulisannya
yang bejudul “Riwayat Beladjar Tari-tarian Djawa”. Ungkapan seorang yang berkecimpung di
dunia seni di Bandung, bisa menjadi landasan untuk mengamati pengaruh wayang wong Jawa
Tengah terhadap perkembangan wayang wong priangan.
Wayang wong sendiri merupakan renaisan wayang wong dari masa Majapahit yan dilakukan
oleh Sultan Hamengku Buwana I pada tahun 1756. Upaya menghidupkan kembali pertunjukan
ritual kenegaraan dari masa kejayaan Majapahit. Masa keemasan wayang wong Yogyakarta
terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hmengku Buwana VIII (1921-1939). Perkembangan seni
di sebuah negara memang tak pernah lepas dari perkembangan poltik, sosial, bahkan ekonomi.
Apabila diamati, perkembangan pertunjukan komersial yang berkembang di Pula Jawa, seperti
yang dipaparkan oleh James R. Brandon dalam bukunya theatre in southeast asia yang
merupakan hasil penelitian pada tahun 1960-an, bahwa perkembangan drama tari di Asia
Tenggara selalu berkaitan dengan bahasa penduduk.
Pergantian Mangkunegara IV, masih bisa mempertahankan bahkan busana wayang wong
konon mencapai bentuknya seperti yang sekarang pada masa pemerintahannya. Bisa diduga,
bahwa wayang wong dari Yogyakarta maupun wayang wong panggung dari Surakarta secara
langsung atau tidak, memiliki pengaruh terhadap pembentukan wayang wong priangan. Wayang
wong piangan mengalami perkembangan dua arah, yang berkembang dikalangan priyayi atau
kaum menak dan berkembang dikalangan masyarakat.
II. Pengaruh Lakon dan Struktur Dramatik Wayang Wong Jawa terhadap Wayang Wong
Priangan
III. Pengaruh Karakteristik Busana dan Gerak Tari Wayang Wong Jawa terhadap Wayang
Wong Priagan
Walaupun busana wayang wong Piangan secara garis besar mengacu pada busana wayang
golek purwa Sunda, tetapi karena busana wayang golek Purwa Sunda mengacu pada busana
wayang kulit Jawa maka, antara ketiganya memiliki kesamaan. Busana wayang wong priangan
kerumitan ornamentasinya lebih rumit dari kedua wayang wong dari Jawa Tengah, pada wayang
kulit Purwa Jawa terdapat 18 bentuk pentup kepala, yaitu:
Secara garis besar erak tari yang digunakan dalam wayang wong Priangan bisa dbagi
menjadi 4, yaitu :
Pengaruh budaya Priyayi dan tari Jawa terhadap tari di Priangan tampak sangat jelas pada
karakterisasi wayang wong Pringan. Konsep alus dalam budaya Priyayi Jawa tampak menonjol
sekali dalam penampilan pahlawan ideal wayang wong Priangan.
IV. Kontak Antara Tari Wayang Priangan dengan Beksan dan Pethilan Jawa
A. Kesimpulan
1) Tahun Perkembangan Wayang Wong
Wayang wong berkembang pada zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII (1877
-1921).
Menurut Prof. Soetanto dalam bukunya, terdapat lima faktor yang berpengaruh dalam
perkembangan wayang, yakni kraton, lembaga pendidikan formal pedalangan, kebijakan para
dalang, popularitas dalang, dan orde yang berkuasa (Prakoso, 2012, hal. 43). Jika dikaitkan
dengan persebaran wayang dan penggunaannya dalam keagamaan, maka faktor yang relevan
adalah kraton sebagai pembuat pakem dan orde yang berkuasa.
Faktor berikutnya adalah orde yang sedang berkuasa, dalam hal ini adalah pemerintah di luar
kraton. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan atau digaungkan pemerintah kepada masyarakat
menjadi landasan penting dalam melihat perkembangan wayang. Pengakuan wayang sebagai
Warisan Budaya Indonesia yang wajib dilestarikan membuat berbagai daerah secara spontan
mendeklarasikan wayang miliknya.
Selain itu, faktor kesejarahan yang terkait dengan keagamaan juga mengandung unsur
penting dalam menciptakan jenis-jenis wayang. Sudah disebutkan sebelumnya bahwa wayang
sempat digunakan sebagai media dakwah pada masa Islam Kuno di Indonesia oleh Sunan
Kalijaga. Melalui hal itu maka tidaklah mengherankan jikalau cara yang unik dan menarik
tersebut menginspirasi para pendakwah dari berbagai kalangan untuk melakukan cara yang sama.
Faktanya, pada saat ini sudah muncul wayang yang berkisah mengenai “Kehidupan Yesus”,
sosok yang menjadi sentral dari kepercayaan Nasrani.
3) Masa Periodisasi
• Periode Pertumbuhan
Data tentang pementasan wayang orang pada masa awal tercatata sebagai berikut :
• Periode Pembakuan
Tari gaya Yogyakarta yang terus tumbuh dan berkembang hingga pada masa pemerintahan
Sultan Hamengkubuwono VIII (1921-1939). Pada masa itu, banyak usaha-usaha pembaharuan
yang dilakukan, khsusunya mulai dari penyempurnaan gerak tari, tata busana, dan model
Pedalangan. Terlebih pada masa itu berdiri sebuah sekolah pedalangan yang disebut Habiranda
yang digukung oleh Java Institut.
Tahun 1960, pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX, mulai dilakukan
pembakuan-pembakuan, baik aspek teknis maupun aspek pemikiran yang bersifat filosofis. Pada
priode pembakuan wayang orang gaya Yogyakarta dapat disimak dapat disimak kronologisnya :
Sultan Hamengkubuwono V (1823-1855) lakon yang diproduksi antara lain Pragolog Pati,
Petruk Dados Ratu, Rabinipun Angkawijaya angsal Dewi Utari, Jayasemedi, dan Pergiwa-
Pergiwati.
Pembaharuan tari gaya Yogyakarta memang tidak terjadi di dalam keraton, tetapi dengan
materi tari gaya Yogyakarta yang telah diizinkan oleh pihak keraton untuk disebarluaskan pada
masyarakat. Masa ini dimulai dari masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII dan Sultan
Hamengkubuwono IX (Wibowo, 1981: 45-47).
Masa pengembangan dan pembaharuan ini ditandai dengan berdirinya pusat-pusat latihan tari
gaya Yogyakarta yang dikelola oleh masyarakat seperti Krida Beksa Wirama yang didirikan
pada tahun 1918 di Yogyakarta. Semenjak saat itu seni tari mendapat perhatian yang cukup,
besar, terutama pada teknik pengajar.Sebab metode pengajaran yang dipakai dui dalam keraton
(metode tradisional) dianggap tidak relevan lagi.Apalagi untuk mempelajari tari dalam waktu
yang singkat.Selain itu tujuan pendidikan tari dalam taraf penyebarluasan, sifatnya masih
apresiatif.Ini berkaitan dengan masih langkanya orang mempelajari tari, waktu itu.
Terutama kalangan pelajar dan mahasiswa. Tidak mengherankan perkembangan seni tari di
zaman sebelum kemerdekaan RI (17 Agustus 45) jarang ada tari-tarian yang beraneka ragam
garapannya. Dan tari yang dipelajari masih memanfaatkan hasil produksi Istana (Keraton Jawa)
(Sedyawati 1981:8), yang lazim disebut tariklasik, seperti bȇdaya, lawung, srimpi,
wireng,pȇtikan, wayang wόng, dan sebagainya.
Selama perkembangan tersebut, terciptalah gerak-gerak tari baru yang diciptakan seniman,
pakar tari keraton antara lain sȇmbahan, sabȇtan, lumaksana, ngombak banyu, serta srisig.