Anda di halaman 1dari 15

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah terdapat berbagai macam jenis kesenian
tradisional kerakyatan yang tersebar di seluruh pelosok daerah.

Semuanya mempunyai corak dan ciri yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan sosial
budaya daerahnya. Jenis-jenis kesenian tradisional tersebut diantaranya adalah Wayang Orang.
Pertunjukan Wayang Orang ini pada awalnya dipentaskan dengan cara “mbarang” oleh
kelompok-kelompok wayang orang yang ada pada saat itu.Wayang Orang adalah suatu drama
tari berdialog prosa yang ceritanya mengambil dari epos Ramayana dan Mahabarata. Konsep
dasar wayang orang mengacu pada wayang purwa (wayang kulit). Oleh karena itu wayang orang
merupakan personifikasi wayang kulit. Wayang Orang merupakan sebuah genre yang
dihidangkan ke dalam drama tari tradisional. Yang dimaksud dengan genre adalah jenis
penyajian yang memiliki karakteristik struktur, sehingga secara audio visual dapat dibedakan
dengan bentuk pertunjukan yang lain.

Kesenian Wayang Orang memuat tentang ajaran-ajaran hidup. Oleh karena itu kesenian
Wayang Orang merupakan tontonan dan sekaligus tuntunan hidup bagi masyarakat Jawa, yang
relevan dengan perkembangan jaman.Bila ditelusuri tentang asal-usulnya, kesenian Wayang
Orang sudah ada pada masa Jawa Kuna, sekitar tahun 930, dan dikenal dengan nama “Wayang
Wong” seperti yang tercantum dalam prasasti Wimalasrama. Kelompok Wayang Orang yang ada
di Jawa Tengah antara lain adalah Kelompok Wayang Orang Sriwedari yang terletak di kota
Solo (Surakarta) dan Ngesti Pendowo di Semarang.Menilik dari sejarah seni pertunjukan budaya
Jawa, mayoritas dipengaruhi oleh kisah Mahabharata dan Ramayana dari India yang telah
berbaur dengan budaya lokal. Tetapi dari kedua sumber budaya ini, Mahabharatalah yang
menjadi runutan hampir mayoritas seni pertunjukan Jawa seperti wayang purwa, wayang orang
dan lain sebaginya.

Mahabhrata memiliki inti cerita seputar konflik antara Pandawa dan Kurawa mengenai
sengketa pemerintahan Negara Astina yang puncaknya terjadi pada perang Bharatayudha.
Mahabharata mulai populer di Jawa sekitar abad 10 masehi pada masa pemerintahan
Dharmawangsa Teguh ( 991-1016 M) dari Kediri. Lalu berkembang semakin populer dalam
bentuk Kakawin atau bentuk puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa kuno. Pencipta
kakawin yang paling terkenal adalah Mpu Sedah dalam karya Bharatayudha yang ditujukan
sebagai persembahan kepada Prabu Jaya Baya diakhir pemerintahannya. Kisah Mahabharata ini
mengilhami terciptanya beragam jenis kesenia daerah jawa seperti seni arsitektur yang terlihat
pada candi, seni tari seni lukis, dan pertunjukan. Sumber-sumber Mahabharata diera kerajaan
Jawa kuno banyak ditulis di daun lontar yang berisi tentang filosofi-filosofi kehidupan sosio-
budaya-politik masyarakat Jawa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Deskripsi dari Wayang Wong?
2. Bagaimana Perkembangan Tekstual Wayang Wong?
3. Bagaimana Perkembangan Kontekstual Wayang Wong?
4. Simpulkan:
• Pada Tahun Berapa Perkembangan Terjadi?
• Faktor Apakah yang Mempengaruhi Perkembangan?
• Bagaimana Periodesasinya?

BAB II PEMBAHASAN

A. Deskripsi Wayang Wong

Wayang orang atau wayang wong (bahasa jawa) merupakan wayang yang diperangkan
dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang itu sendiri. Wayang orang dibuat
oleh Sultan Hamangkurat I di tahun 1731. Wayang orang ini bukan diperangkan lagi dengan
boneka-boneka wayang tetapi sudah ditampilkan oleh manusia-manusia sebagai pengganti
bonek-boneka tersebut.

Mereka memakai pakaian yang memiliki kesamaan dengan hiasan-hiasan yang digunakan
pada wayang kulit. Tujuannya yaitu agar bentuk muka atau bangun muka mereka serupa dengan
wayang kulit (apabila dilihat dari samping), biasanya pemain wayang orang ini dihias/dimake up
mukanya dengan tambahan gambar atau lukisan.

Dalam cerita wayang orang, cerita yang diangkat yaitu berbasis pada due epic cerita kolosal
yaitu Mahabharata dan Ramayanga. Hal yang membuat menarik dari pertunjukan wayang orang
ini adalah terdapat tari kolosan atau individu per pemain pada masing-masing jeda cerita.
Lebih dari itu wayang orang juga menampilkan tokoh punakawan sebagai pencair suasana
yang ini adalah menggambarkan kondisi kawulo alit atau masyarakat secara umum dan abdi
dalem. R.M Soedarsono menyatakan, Wayang Wong merupakan salah satu jenis teater
tradisional Jawa yang merupakan gabungan antara seni drama yang berkembang di Barat dengan
pertunjukan wayang yang tumbuh dan berkembang di Jawa. Jenis kesenian wayang ini pada
awalnya berkembang utamanya di lingkungan Kraton dan kalangan priyayi atau bangsawan
Jawa.

a) Tujuan dan Fungsi Wayang Orang

Tujuan dari pertunjukan wayang orang antara lain yaitu:

• Sebagai sebuah tontongan atau hiburan


• Sebagai seni pertunjukan untuk memberikan nilai-nilai dalam bentuk yang simbolis
dan konotatif dan juga estetis.
• Ikut serta dalam menjaga dan mendukung eksistensi wayang orang.
b) Ciri-ciri Wayang Orang

Adapun ciri-ciri wayang orang antara lain yaitu:

1. Pertunjukan wayang orang tidak bisa dipisahkan dari banyak komponen antara lain
seperti gerak tari, kostum penari, irama gamelan, tembang, dialog sampai pada make up
yang seluruhnya menyatu menjadi satu pertunjukan seni yang membuat orang terpesona.
2. Untuk dapat menjadi seoragn penari Wayang Orang bukan saja hanya bisa menari,
namun juga harus dapat bernyanyi dan pastinya dalam bahasa Jawa. Dalam menari juga
tidak dapat sembarang menari ikut irama. Wayang orang adalah suatu pertunjukan yang
sangat penuh dengan aturan, wayang adalah filosofi kehidupan.
3. Dalam pertunjukan, tata krama, etika, sopan santun seluruhnya terdapat pada wayan
gorang. Seperti misalnya, Gatot Kaca yang gagah dan sakti, sifat ini terlihat dari gerakan
tarinya. Pemeran Gatot Kaca merupakan orang yang mempunyai angkatan kaki yang
tinggi, mata yang awas dan tangan yang selalu terlentang. Pada setiap gerakan
menujukkan kegagahan, tetapi ketika Gatot Kaca bertemu dan berbicaran dengan Arjuna,
pamannya, Gatot Kaca tidak boleh mengangkat kakinya tinggi-tinggi sebab tidak sopan.
Pada sisi ini merupakan sebuah nilai moral.
4. Selain menari ada dialog yang biasanya dalam bentuk tembang. Nembang atau menyanyi
terdapat dua macam, yakni yang pertama menyanyi tanpa diringi oleh musi yang
dinamakan dengan bhowo atau dapat pula dinamakan dengan sworo lola yang memiliki
arti suara sendiri. Yang kedua adalah greget saut, yang artinya keadaan, terdapat emosi
yang jelas.
5. Dalam tarian wayang orang ada istilah wirogo, wiromo. Wirogo artinya digerakkan oleh
raga (fisik), wiroso artinya digerakkan oleh rasa dan wiromo artinya mengikuti irama.
Tidak sama dengan tarian lainnya, seperti tarian danggut yang hanya sekedar mengikuti
irama saja, menggerakan badan, pada tarian wayang, tarian wayang tersebut selain
bergerak mengikuti irama juga dengan penjiwaan yang mendalam.
6. Kostum dan make up pada wayang oragn seluruhnya tergantung dari karakter toko
wayang yang sedang diperangkan. Setiap karakter memiliki ciri khas tersendiri dari
bentuk jamang (mahkota), aksesorisnya, senjatanya, bentuk matan dan lain sebagainya.

B. Analisis Perkembangan Wayang Wong Secara Tekstual

Pertunjukan wayang wong merupakan salah satu jenis pertunjukan yang diinspirasi dari
kesenian wayang. Kesenian wayang merupakan sistem kepercayaan masyarakat Jawa yang
mengandung unsur kepercayaan, ritual, etika, estetika, filsafat dan psikologi. Wayang adalah
refleksi dari budaya Jawa, dalam arti pencerminan dari kenyataan kehidupan, nilai dan tujuan
kehidupan, moralitas, harapan dan cita-cita kehidupan mengenai bagaimana hidup sesungguhnya
(das sein) dan bagaimana hidup itu seharusnya (das sollen). (Indah Nuraini, 2011: 3).

Kesenian wayang dalam konteks budaya terus disosialisasikan dan diwariskan dari generasi
ke generasi berikutnya, bahkan pada saat ini wayang telah menjadi sumber inspirasi bagi
beragam bidang seni di antaranya sastra seni, seni pertunjukan dan seni rupa. Upaya pelestarian
kesenian wayang yang sampai saat ini terus dilakukan menjadikan wayang tetap hidup dan
menjadi tradisi budaya yang mencerminkan cita rasa masyarakat Jawa.

Perkembangan kesenian wayang di Jawa tidak dapat dipisahkan dari pengaruh kebudayaan
kraton sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya. Pada tahun 1755 kerajaan Mataram pecah
menjadi dua yaitu kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Hal tersebut berdampak
pada bidang seni pertunjukan,masing-masing kraton memiliki arah perkembangan yang berbeda,
bahkan pembagian gaya tersebut masih berlaku hingga saat ini dan menjadi dasar penciri atau
kekhasannya. Pemisahan gaya kemudian terjadi lagi ketika di Surakarta pecah menjadi
Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran.

Demikian halnya dengan Yogyakarta menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten


Pakualaman. Pada perkembangannya keempat istana menjadi pusat kebudayaan yang
menghasilkan ragam karya seni yang memiliki gaya khasnya masing-masing. Salah satu karya
seni tersebut adalah pertunjukan wayang. Soedarsono mengungkapkan bahwa lahirnya wayang
wong di dua kraton, Yogyakarta dan Surakarta yaitu di Kadipaten Mangkunegaran itu
berhubungan dengan masa renaissance kesusasteraan Jawa (abad ke-18 sampai abad ke-19),
yang di-tandai dengan penulisan kembali kakawin (Jawa kuno) dalam bahasa Jawa baru. Dengan
demikian sejarah wayang wong diawali dari Kraton Kadipaten Mangkunegaran, di bawah
pemerintahan Pangeran Adipati Mangkunegara 1 (1757-1796) (Rustopo, 2007: 108-109)

Pertunjukan wayang wong menampilkan cerita dan beragam karakter tokoh yang
menggambarkan sebagian besar situasi kenyataan hidup, model kehidupan dan tingkah laku
masyarakat Jawa, tentunya dengan wujud yang diperhalus menjadi kemasan pertunjukan yang
artistik. Misalnya dalam penggunaan tata bahasa, dari jenis bahasa dan cara bertutur kata para
tokoh wayang, dapat diketahui tingkatan strata sosial dan karakternya.

Demikian pula dalam kehidupan nyata masyarakat Jawa, terdapat masyarakat lapisan atas
yang gaya bahasanya tertata dan terikat etika dan gaya bahasa rakyat kalangan bawah yang
cenderung bebas dan apa adanya. Pada pertunjukan wayang wong tidak semua bahasa dalam
dialog antar wayang adalah bahasa sehari-hari. Sebagian besar bahasa yang digunakan adalah
bahasa Jawa kedaton yang juga terdapat campuran bahasa sansekerta dan kawi. Gaya dialog pada
pertunjukan wayang wong sangat berbeda dengan kehidupan nyata, karena menggunakan unsur
antawecanadan pada beberapa adegan menggunakan tembang terutama untuk bagian palaran dan
gandrungan.

Pertunjukan wayang wong merupakan bentuk seni pertunjukan yang berbasis kesenian kraton
(istana). Pada mulanya wayang wong menjadi kemasan pertunjukan teater yang eksklusif dan
sangat elitis, sehingga hanya dapat dijangkau oleh masyarakat kelas atas atau priyayi. Menurut
George D. Larson, pada masa pemerintahan Mangkunegara VI sekitar tahun 1896-1916,
Kadipaten Mangkunegaran mengalami krisis ekonomi sehingga wayang wong mengalami
kemunduran bahkan banyak abdi dalem yang kemudian dirumah-kan. Tetapi sebelumnya
Mangkunegara V telah memberikan izin kepada seorang pengusaha Cina bernama Gan Kam
untuk mengemas pertunjukan wayang wong menjadi pertunjukan komersial (Hersapandi, 1999:
19). Tahun 1895 Gan Kam berhasil membentuk rombongan wayang wong yang sebagian besar
merupakan mantan abdi dalem Mangkunegaran. Hal ini menjadi titik awal dari perubahan dan
perkembangan wayang wong sampai keluar tembok kraton.

Pertunjukan wayang wong mengalami transformasi ketika keluar dari tembok kraton, tujuan
pertunjukan yang semula untuk persembahan bergeser menjadi tujuan komersial, semula bertipe
pertunjukan pendapa menjadi pertunjukan panggung prosenium, dan berbagainya. Pertunjukan
wayang wong kemasan Gam Kan diselenggarakan pada sebuah bangunan besar dengan
panggung yang diberi layar dan diberi bingkai prosenium (Rustopo, 2007:122). Panggung
prosenium ditinggikan sekitar satu meter, agar penonton dapat melihat dengan jelas pementasan
wayang wong sambil duduk. Panggung dilengkapi dengan bingkai prosenium, layar depan dan
skenario kanvas drop dan beberapa wing yang dilukis dengan gaya naturalistik untuk
menggambarkan suasana di lingkungan istana, hutan, alun-alun dan sebagainya. Penonton duduk
menghadap panggung dari arah depan dan antara tempat duduk penonton dengan panggung
terdapat ruang pemisah yang menjadi panggung untuk menempatkan seperangkat gamelan.

C. Analisis Perkembangan Wayang Wong Secara Kontekstual


I. Awal Kontak antara Wayang Wong Priangan dengan Wayang Wong Jawa Tengah

Ada sebuah pernyataan yang diutarakan oleh seorang warga menak Priangan bernama “ R.
Tjetje Somantri” mengenai ketertarikannya terhadap wayang wong Jawa Tengah, terutama
yyang bekembang di Keraton Yogyakarta. Ungkapan ketertarikannya tertuang dalam tulisannya
yang bejudul “Riwayat Beladjar Tari-tarian Djawa”. Ungkapan seorang yang berkecimpung di
dunia seni di Bandung, bisa menjadi landasan untuk mengamati pengaruh wayang wong Jawa
Tengah terhadap perkembangan wayang wong priangan.

Wayang wong sendiri merupakan renaisan wayang wong dari masa Majapahit yan dilakukan
oleh Sultan Hamengku Buwana I pada tahun 1756. Upaya menghidupkan kembali pertunjukan
ritual kenegaraan dari masa kejayaan Majapahit. Masa keemasan wayang wong Yogyakarta
terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hmengku Buwana VIII (1921-1939). Perkembangan seni
di sebuah negara memang tak pernah lepas dari perkembangan poltik, sosial, bahkan ekonomi.
Apabila diamati, perkembangan pertunjukan komersial yang berkembang di Pula Jawa, seperti
yang dipaparkan oleh James R. Brandon dalam bukunya theatre in southeast asia yang
merupakan hasil penelitian pada tahun 1960-an, bahwa perkembangan drama tari di Asia
Tenggara selalu berkaitan dengan bahasa penduduk.

Pergantian Mangkunegara IV, masih bisa mempertahankan bahkan busana wayang wong
konon mencapai bentuknya seperti yang sekarang pada masa pemerintahannya. Bisa diduga,
bahwa wayang wong dari Yogyakarta maupun wayang wong panggung dari Surakarta secara
langsung atau tidak, memiliki pengaruh terhadap pembentukan wayang wong priangan. Wayang
wong piangan mengalami perkembangan dua arah, yang berkembang dikalangan priyayi atau
kaum menak dan berkembang dikalangan masyarakat.

II. Pengaruh Lakon dan Struktur Dramatik Wayang Wong Jawa terhadap Wayang Wong
Priangan

1. Lakon Jabang Tutuka


Lakon Jabang Tutuka pada wayang wong priagan dikenal sebagai lakon “Lahire Gatutkaca”
atau “Lahirnya Gatutkaca” di Yogyakarta, yang beberapa tahun yang lalu di pergelarkan di
keraton Yogyakarta untuk memperingati berdirinya Keraton Yogyakarta.
Pada suatu hari, Bima beserta istrinya yang bernama Arimbi sedang kebingungan karena tali
ari-ari Jabang Tutuka yidak bisa putus dengan alat tajam sekalipun. Akhirnya, tali ari-ari putus
hanya dengan menggunaa sarung keris pusaka. Ketika Prabu Naga Percona sedang nenunggu
jawaban dari Dewi Supraba, tiba-tiba datanglah para dewa dengan membawa bayi Jabang Tutuka
yang masih merah untuk dihadapkan kepada sang raja. Segera Gatutkaca diperintahkan oleh
Batara Guru untuk menumpas Prabu Naga Percona di keajaan Gilingwesi. Namun rupanya,
Gatutkaca yang telah digembleng di Kawah Candradimuka tak dapat dikalahkan oleh Naga
Percona, bahkan ia tewas ditangan sang kesatria. Sebelum membantai Naga Percona, Gatutkaca
telah mengalahkan Patih Sakipu. Begitu Gatutkaca tampil sebagai pemenang, para abdi
pengawalnya yaitu Cepot, Dewala, dan Gareng ikt pula berperang melawan para prajurit raksasa
Gilingwesi.
2. Lakon Sanghyang Guruputra
Awal cerita Sanghyang Guruputra menggambarkan adegan, ketika di Keraton Dwarawati
Prabu Kresna sedang mengadakan pertemuan, yang dihadiri oleh Padmanaba (Sencaki) serta
Patih Udawa, dalam pertemuan ini Kresna memberi tahu bahwa ada seorang kestria yang
mengaku dirinya sebagai sanghyang atau dewa. Hanya Semar-lah yang kemudian berhasil
menyadarkan Gatutkaca, bahwa tindakannya menobatkan diri seebagai Sanghyang Guruputra
perlu segera diakhiri. Cerita singkat lakon Gakutkaca Nagih Janji ini dipaparrkan oleh R.M.
Soedarsono, yaitu sebagai berikut :
Lakon ini diawali dengan adegan ketika Prabu Suyudana sedang sibuk di balai penghadapan,
tiba-tiba datanglah Anoman yang bermaksud menyampaikan undangan kepada Prabu Suyudana
beserta kerabat Korawa nuk menghindari upacara penobatan Gatutkaca sebagai raja di Kerajaan
Junggring Salaka dengan gelar abhiseka Guruputra. Dalam upaya menangkap Anoman ini,
pertama tampil Aswatama tetapi dengan mudah dikalahkan oleh Anoman.
Adegan berikutnya, adalah ketika Banowati di Kerajaan Ngastina menerima kedatangan
Anoman yang menyampaikan undangan Gatutkaca, agar sang dewi bersedia hadir menyaksikan
penobatan Gatutkaca sebagai Prabu Guruputra. Sementara itu, di Kahyangan Junggring Salaka
Batara Guru sedang di hadap oleh Batara Narada, Batara Indra, serta Batara Panyarikan.
Kemudian menyusul adegan di Pringgadani, ketika Gatutkaca sedang dihadap oleh dua adiknya,
yaitu Antareja dan Antasena. Belum begittu lama Banowati menasehati Gatutkaca, datanglah
Batara Guru yang dikawal oleh Batara Narada. Batara Guru meminta agar Gatutkaca
membatalkan niatnya untuk menibatkan dirinya sebagai Prabu Guruputra yang menguasai
Kerajaan Junggring Salaka.
3. Lakon Srikandi-Rarasati
Di Keraton Yogyakarta lakon ini bernama “Srikandi Meguru Manah” atau “Srikandi
Jemparingan”. Lakon ini merupakan carangan yang menceritakan tentang peristiwa
menghilangnya Srikandi dari Kerajaan Cempala.

III. Pengaruh Karakteristik Busana dan Gerak Tari Wayang Wong Jawa terhadap Wayang
Wong Priagan

Karakterisasi Busana dan Rias


Karakterisasi busana wayang wong di Keraton Yogyakarta memang benar-benar sangat rinci,
hingga jamang dan diadem yang dikenakan oleh 4 karakter halus dan rendah hati seperti
Yudistira, Arjuna, Nakula, dan Sadewa pn berbeda. Busana wayang wong atau drama tari pada
umumya mengacu pada wayang kulit yang menampilkan cerita atau lakon yang sama. Maka tak
mengherankan apabila busana wayang wong priangan juga mengikuti karakterisasi pada busana
wayang golek Sunda.

Walaupun busana wayang wong Piangan secara garis besar mengacu pada busana wayang
golek purwa Sunda, tetapi karena busana wayang golek Purwa Sunda mengacu pada busana
wayang kulit Jawa maka, antara ketiganya memiliki kesamaan. Busana wayang wong priangan
kerumitan ornamentasinya lebih rumit dari kedua wayang wong dari Jawa Tengah, pada wayang
kulit Purwa Jawa terdapat 18 bentuk pentup kepala, yaitu:

1. Gelung supit urang 10. Mekutha pendek


2. Ngore polos 11. Gelung gondhel
3. Ngore gembel 12. Gelung keling
4. Ngore gimbal 13. Kethu dewa atau uncit
5. Ngore udhalan 14. Kethu pendhita
6. Dhalan gimbal 15. Kethu udheng atau trombosan/besekan
7. Jangkang atau songkok 16. Gelung putri polos
8. Mekutha atau tropong tinggi 17. Gelung putri udhal
9. Tropong pendek 18. Gelung putri sekar

Karakterisasi Gerak Tari Wayang Wong Priangan

Secara garis besar erak tari yang digunakan dalam wayang wong Priangan bisa dbagi
menjadi 4, yaitu :

1. Putri 3. Putra gagah


2. Putra halus 4. Raksasa

Pengaruh budaya Priyayi dan tari Jawa terhadap tari di Priangan tampak sangat jelas pada
karakterisasi wayang wong Pringan. Konsep alus dalam budaya Priyayi Jawa tampak menonjol
sekali dalam penampilan pahlawan ideal wayang wong Priangan.
IV. Kontak Antara Tari Wayang Priangan dengan Beksan dan Pethilan Jawa

1. Perang Sugriwa melawan Subali


Menurut versi yang bersumber dari “Serat Kandhaning Ringgit Purwa”, lakon ini berawal
dari hasrat seorang raja raksasa dari Kerajaan Kiskendha bernama Jatasura yang dibantu oleh
adiknya yang bernama Mahesasura yang ingin mempersunting putri seorang resi yang bernama
Resi Sakra, yaitu Dewi Tara. Subali berniat untuk mengikuti sayembara itu serta mengajak adik
kembarnya Sugriwa untuk menghadapi Jatasura dan Mahesasura.
Subali masuk ke istana Kiskendha melewati pintu goa yang sangat mengerikan. Tanpa
berpikir panjang, ia kemudian masuk dan menutup pintu goa itu dengan sebongkah batu besar.
Subali setelah berhasil membantai kedua musuhnya segera bergegas akan keluar dari goa tetapi
mendapatkan pintu goa itu tertutup oleh sebuah bongkahan batu besar. Dengan terengah-engah
Subali datang menjumpai Sugriwa yang terlah berdampingan dengan Dewi Tara. Bila
dilanjutkan ceritanya, Sugriwa mengalami kekalahan dan melarikan diri untuk mencari bantuan.
2. Perang Srikandi Melawan Mustakaweni
Perang antara dua putri ini merupakan lakon atau peran yang sangat digemari di kalangan
masyarakat Surakarta dan sekitarnya, dan merupakan cuplikan dari sebuah lakon carangan
dengan nama yang sama. Isi ringkas ceritanya berkisar pada usaha seorang raja seberang yang
menginginkan untuk dapat memiliki Jimat Kalimasada dari tangan Yudistira. Dengan berbagai
cara, termasuk penyamaran sebagai salah seorang kerabat Pandawa terpercaya yaitu Kresna,
Mustakaweni berhasil mendapatkan Jimat Kalimasada dari Prabu Yudistira. Apabila lakon ini
diteruskan, Mustakaweni baru berhasil ditundukkan setelah ia bberhadapan dengan Arjuna yang
melawannya dengan rayuan dahsyat.
3. Tari Panji
Dalam tarian Solo ini digambarkan bagaimana Panji berhias diri seperti bila ia akan
berjumpa dengan kekasihnya.rambutnya disisir rapih, penutup kepalanya dibenahi, hiasan
kepalanya dirapikan, serta kadang-kadang ia juga mengaca serta berusaha menangkap sesuatu
dihadapannya yang ia kira Candrakirana.
4. Tari Anjasmara
Anjasmara adalah putri seorang patih bernama Logender dari cerita Damarwulan yang
menjdi kekasih Darmawulan, tokoh utama cerita ini. Cerita yang konon merupakan ceita semi
historis ini menggambarkan keika Majapahit diperintah oleh seorang raja putri yan bernama
Kencawungu. Ratu Kencanawungu mempunya seorang patih bernama Patih Logender yang
berputra tiga orang, dua orang pria bernama Layang Seta dan Layang Kumitir,dan seorang putri
bernama Anjasmara. Kedatangan Damarwulan ke kepatihan menimbulkan kekhawatiran Patih
Logender, karena pemuda ini menjadi saingan anaknya sendiri dalam mendapatkan peluang
sebagai pendamping Ratu Kencanawungu.
5. Tari Jayengrana
Jayengrana adalah tokoh utama dalam cerita Menak yang bernuansa islam. Banyak lakon
Menak yang menggambarkan bagaimana Jayengrana berperang melawan raja-raja yang masih
kafir untuk bersedia memeluk agama yang peraya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
1) Tahun Perkembangan Wayang Wong

Wayang wong berkembang pada zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII (1877
-1921).

2) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan

Menurut Prof. Soetanto dalam bukunya, terdapat lima faktor yang berpengaruh dalam
perkembangan wayang, yakni kraton, lembaga pendidikan formal pedalangan, kebijakan para
dalang, popularitas dalang, dan orde yang berkuasa (Prakoso, 2012, hal. 43). Jika dikaitkan
dengan persebaran wayang dan penggunaannya dalam keagamaan, maka faktor yang relevan
adalah kraton sebagai pembuat pakem dan orde yang berkuasa.

Faktor berikutnya adalah orde yang sedang berkuasa, dalam hal ini adalah pemerintah di luar
kraton. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan atau digaungkan pemerintah kepada masyarakat
menjadi landasan penting dalam melihat perkembangan wayang. Pengakuan wayang sebagai
Warisan Budaya Indonesia yang wajib dilestarikan membuat berbagai daerah secara spontan
mendeklarasikan wayang miliknya.

Selain itu, faktor kesejarahan yang terkait dengan keagamaan juga mengandung unsur
penting dalam menciptakan jenis-jenis wayang. Sudah disebutkan sebelumnya bahwa wayang
sempat digunakan sebagai media dakwah pada masa Islam Kuno di Indonesia oleh Sunan
Kalijaga. Melalui hal itu maka tidaklah mengherankan jikalau cara yang unik dan menarik
tersebut menginspirasi para pendakwah dari berbagai kalangan untuk melakukan cara yang sama.
Faktanya, pada saat ini sudah muncul wayang yang berkisah mengenai “Kehidupan Yesus”,
sosok yang menjadi sentral dari kepercayaan Nasrani.

3) Masa Periodisasi
• Periode Pertumbuhan

Perkembanan seni pertunjukan Yogyakarta diawali sejak zaman pemerintahan Sultan


Hamengkubuwono I yang memerintah antara tahun 1755 – 1792 hingga masa pemerintahan
Sultan Hamengkubuwono VIII yang memerintah antara tahun 1921 – 1939.Pada masa itu
perkembangan seni pertunjukan.Khususnya wayang orang mendapat perhatian yang cukup besar
dari Sultan Hamengkubuwono I. Fungsi sosial dari wayang orang adalah untuk menumbuhkan
semangat patriotis dari rakyat Kesultanan Yogyakarta menghadapi penjajah Belanda.

Data tentang pementasan wayang orang pada masa awal tercatata sebagai berikut :

Masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792); lakon yang dipentaskan


Gandawerdaya dan Jayasemedi.

Masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono II (1792-1812) lakon yang dipentaskan


Jayapustaka, masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono III (1812-1814) tidak ditemukan data
pementasan, masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IV (1814-1823) tidak ditemukan data
pementasan.

• Periode Pembakuan

Tari gaya Yogyakarta yang terus tumbuh dan berkembang hingga pada masa pemerintahan
Sultan Hamengkubuwono VIII (1921-1939). Pada masa itu, banyak usaha-usaha pembaharuan
yang dilakukan, khsusunya mulai dari penyempurnaan gerak tari, tata busana, dan model
Pedalangan. Terlebih pada masa itu berdiri sebuah sekolah pedalangan yang disebut Habiranda
yang digukung oleh Java Institut.
Tahun 1960, pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX, mulai dilakukan
pembakuan-pembakuan, baik aspek teknis maupun aspek pemikiran yang bersifat filosofis. Pada
priode pembakuan wayang orang gaya Yogyakarta dapat disimak dapat disimak kronologisnya :

Sultan Hamengkubuwono V (1823-1855) lakon yang diproduksi antara lain Pragolog Pati,
Petruk Dados Ratu, Rabinipun Angkawijaya angsal Dewi Utari, Jayasemedi, dan Pergiwa-
Pergiwati.

Semasa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VI (1855-1877) tidak ada data pementasan,


sementara pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921) terdapat dua
pementasan dengan lakon Sri Suwela dan Pergiwa-Pergiwati. Pada tahun 1899, J. Groneman
mencatatat dalam bukunya yang berjudul “De Wayang Orang Pregiwain den Keraton te
Yogyakarta”, digambarkan bahwa wayang orang dipertunjukan selama tiga hari yang dihadiri
tidak kurang dari 35.000 penonton (Rusliana, 2001;13).

Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII (1921-1939) merupakan masa


keemasan wayang wong gaya Yogyakarta dengan mementasan yang cukup banyak dan besar-
besaran yaitu pementasan memakan waktu lebih dari 3 hari dengan mengembangkan lebih dari
20 lakon.

• Periode Pembaharuan dan Pengembangan

Pembaharuan tari gaya Yogyakarta memang tidak terjadi di dalam keraton, tetapi dengan
materi tari gaya Yogyakarta yang telah diizinkan oleh pihak keraton untuk disebarluaskan pada
masyarakat. Masa ini dimulai dari masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII dan Sultan
Hamengkubuwono IX (Wibowo, 1981: 45-47).

Masa pengembangan dan pembaharuan ini ditandai dengan berdirinya pusat-pusat latihan tari
gaya Yogyakarta yang dikelola oleh masyarakat seperti Krida Beksa Wirama yang didirikan
pada tahun 1918 di Yogyakarta. Semenjak saat itu seni tari mendapat perhatian yang cukup,
besar, terutama pada teknik pengajar.Sebab metode pengajaran yang dipakai dui dalam keraton
(metode tradisional) dianggap tidak relevan lagi.Apalagi untuk mempelajari tari dalam waktu
yang singkat.Selain itu tujuan pendidikan tari dalam taraf penyebarluasan, sifatnya masih
apresiatif.Ini berkaitan dengan masih langkanya orang mempelajari tari, waktu itu.
Terutama kalangan pelajar dan mahasiswa. Tidak mengherankan perkembangan seni tari di
zaman sebelum kemerdekaan RI (17 Agustus 45) jarang ada tari-tarian yang beraneka ragam
garapannya. Dan tari yang dipelajari masih memanfaatkan hasil produksi Istana (Keraton Jawa)
(Sedyawati 1981:8), yang lazim disebut tariklasik, seperti bȇdaya, lawung, srimpi,
wireng,pȇtikan, wayang wόng, dan sebagainya.

Selama perkembangan tersebut, terciptalah gerak-gerak tari baru yang diciptakan seniman,
pakar tari keraton antara lain sȇmbahan, sabȇtan, lumaksana, ngombak banyu, serta srisig.

Wayang orang mungkin memang kurang populer dibandingkan wayang kulit.Namun


sesungguhnya pertunjukan wayang orang tidak kalah menarik dengan wayang kulit.Wayang
orang terasa istimewa karena kita bisa menikmati cerita sembali melihat keindahan gerakan para
penari.Sama halnya dengan tari-tari tradisional, saat ini wayang orang sudah bisa disaksikan di
luar keraton.

Anda mungkin juga menyukai