Anda di halaman 1dari 7

1.

Perkembangan Tari Sunda di Jawa Barat


Perkembangan tari Sunda dari di masa silam hingga sekarang, sangat sulit
untuk di bahas melalui periodisasi yang sangat ketat, karena begitu kompleks faktorfaktor yang melatarbelakanginya. Begitu pula dengan genre-genre tari yang sampai
saat ini masih bermunculan dari pencipta-pencipta tari yang cukup diminati oleh
masyarakat.
Periodisasi mengenai tari Sunda tidak tepat apabila dibedakan kedalam jenisjenis tarian berdasarkan masa periodisasinya, karena tari sunda di masa lampau masih
memegang peranan dalam pementasan tari sunda di masa sekarang.
Seperti yang telah diketahui bahwa seni tari telah dikenal sejak masa
prasejarah hingga sekarang. Sehingga berdasarkan masyarakat pendukungnya,
periodisasi tentang tari dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu masyarakat primitif yang
hidup pada zaman prasejarah, masyarakat feodal yang hidup sejak di Indonesia
dimulai pada saat kemunculan kerajaan Hindu yang tertua sekitar tahun 400 M,
sampai kemerdekaan Indonesia yaitu sejak bangsa Indonesia hidup sebagai
masyarakat yang demokratis.
Dengan demikian, dalam bukunya Pengantar Pengetahuan Tari Sunda
Moh. Tarya (2014, hlm. 9-10), periodisasi tentang tari dibedakan menjadi tiga, yakni :
1) Zaman masyarakat primitif (20.000 SM 400 M)
2) Zaman masyarakat feodal (400 M 1945 M)
3) Zaman masyarakat modern (sejak 1945)
Zaman masyarakat primitif / komunal
Aktifitas tari dalam sejarah perjalanan hidup manusia telah berlangsung sejak
masyarakat primitif. Sesuai dengan kepercayaan budaya primitif, kegiatan tari yang
masih sangat sederhana itu sebagaian besar didasari dari ungkapan ekspresi manusia
yang sering dihubungkan dengan pemujaan atau cara berkomunikasi dengan dewadewa maupun penguasa diatas nya, penyembahan terhadap roh nenek moyang, dan
untuk mempengaruhi kekuatan alam atau kekuatan supranatural. Oleh karena itu,
pelembagaan tari masyarakat ini pada umumnya sarat dengan sifat mistis, magis dan
untuk kepentingan ritual.
Cikal bakal munculnya keanekaragaman khasanah tari di Indonesia adalah
akibat dari berbaurnya keoercayaan animisme, dinamisme, totemisme, serta pengaruh
Hindu. Selain itu, adanya kebutuhan untuk media penyebaran agama Islam.
Lingkungan manusia yang melahirkannya adalah sebagian besar hasil dari kalangan
rakyat yang tinggal di pedesaan-pedesaan, yang hasilnya kemudian dikenal dengan

sebutan tari rakyat. Para pakar budaya dan tari berpendapat bahwa sesungguhnya taritarian rakyat lebih dulu lahir karena merupakan hasil dari ritus siklus alam, siklus
hidup dan pertanian (Kusnara Adang dalam S.Nalan Arthur, 1996, hlm. 45).
Di Jawa Barat pun aktivitas tari telah muncul dan berlangsung dari masyarakat
primitif, dimana kepercayaan manusia masih bergantung pada alam, dewa dan roh
nenek moyang. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa pelembaagn tari pada
masyarakat primitif sarat dengan sifat mistis, magis dan untuk kepentingan ritual. Di
Jawa Barat pada zaman itu telah menyelenggarakan pertunjukan tari yang ada
kaitannya dengan upacara ritual, khususnya yang berkaitan dengan padi, yang
dilaksanakan pada waktu tertentu yang tetap dan telah ditentukan, di tempat yang di
anggap sakral, ditarikan oleh penari yang dianggap suci tidak kotor dan biasanya
diadakan sesaji sebagai bentuk penghargaan untuk para dewa serta untuk keperluan
tertentu. Antara lain, Tarawangsa, di Sumedang, Ngarot di Indramayu, dan Seren
Taun di Sukabumi. Pertunjukan tarian tersebut merupakan suatu ritual untuk
persembahan kepada dewi padi sebagai tanda syukur karena telah diberikan
kesuburan terhadap lahan pertaniannya. Penyajian tarian pada upacara padi, diyakini
memiliki kekuatan magi simpatetis dan berpengaruh terhadap upacara persembahan
itu.
Selain itu, masyarakat Sunda yang masih dapat dikatakan sederhana
kehidupannya adalah masyarakat Baduy di pedalaman Banten. Tarian pada
masyarakat ini pun masih sederhana dan tidak terlepas dari unsur religi, gerakgeraknya dilakukan secara spontan dan tidak ada aturan yang mengikat, tetapi pada
umumnya mereka melakukan gerakan secara seragam dan kompak. Tarian mereka
sangat dipengaruhi oleh alam dimana mereka hidup. Peniruan terhadap gerak-gerak
binatang dan kehidupan sehari-hari manusia menjadi suatu ciri yang kuat.
Zaman masyarakat feodal
Zaman feodal ditandai dengan nilai adanya kerajaan dan tepatnya adalah sejak
di Indonesia mulai ada kerajaan Hindu tertua (Kerajaan Tarumanagara) di Jawa Barat.
Seperti halnya zaman komunal, corak serta struktur kehidupan pada zaman inipun
mendukung khasanah tari-tarian Indonesia. Perkembangan seni tari di Jawa barat pada
zaman dahulu cukup baik, karena pada zaman tersebut Jawa Barat menjadi pusat
kerjaan Indonesia Hindu dan kerajaan Indonesia Islam. Kerajaan-kerajaan tersebut
yang menjadi pusat dan berkembangnya tari gaya Sunda.

Pada zaman inilah perkembangan tari jauh lebih maju, terutama bagi daerah
yang menjadi pusat-pusat kerajaan besar di Indonesia seperti Jawa, Bali dan Sumatra
yang ternyata banyak mewarisi perkembangan tari yang baik.
Walaupun bukti-bukti otentik mengenai tari (tulisan, relief dan sebagainya) di
Jawa Barat sangat sedikit, namun hal ini tidak berarti bahwa di Jawa Barat tidak hidup
seni tari. Pada abad ke-7 menurut Cerita Parahiyangan, di kerajaan Galuh sudah ada
tarian yang diiringi dengan gamelan. Disebutkan pula dalam cerita tersebut bahwa
ketika Rababu pergi ke istana Galuh, dari kejuhan ia mendengar bunyi gamelan
bergemuruh. Ketika ia tiba di pelataran besar kemudian menari dengan asyiknya.
Keindahan tariannya menarik perhatian raja Galuh, Sang Mandiminyak. Keterangan
tersebut menunjukan bahwa aktivitas tari telah terjadi pada abad ke-7.
Perkembangan yang lebih maju lagi ialah sejak zaman kerajaan Banten dan
Cirebon (setelah abad ke-XVI). Di Banten terdapat suatu Drama Tari Topeng yang
dikenal dengan nama Raket. Perkembangan tari selanjutnya terutama di Cirebon
tumbuh dengan baik dibandingkan dengan Banten, hal ini disebabkan kerajaan Banten
lebih dulu runtuh.
Salah satu tarian yang hidup di Cirebon yang sampai sekarang terpelihara
dengan baik adalah tari Topeng Cirebon. Tari Topeng Cirebon adalah suatu teater
tradisionil yang lebih bertitik berat pada segi tarinya. Tarian tersebut, dikenal pula
dengan sebutan Topeng Kecil (Topeng Babakan) yang lebih bersifat karakteristik
daripada dramatik dan mempunyai latar belakang cerita Panji.
Di Jawa Barat topeng berdasarkan gayanya diberi nama menurut tempatnya
masing-masing,

tetapi

secara

umum

orang

berkeyakinan

bahwa

sumber

penyebarannya ialah Cirebon. Tarian ini dapat kita jumpai di pelosok-pelosok kota
Cirebon seperti Desa Slangit, Kreo, Kalianyer, Gegesik, Losari, Ciliwung, Palimanan
dan lain-lain. Tarian inipun sama seperti halnya wayang wong, tidak hidup di keraton,
sehingga lebih banyak orang beranggapan bahwa tarian ini adalah tari topeng
tradisionil rakyat.
Unsur kerakyatan pada tari topeng ini bisa kita lihat pada aturan/susunan
tarian yang tidak begitu mengikat. Hal ini disebabkan karena hampir seluruh seniman
alam (tradisionil) di Cirebon masih mempunyai hubungan keluarga, mereka bersal
dari satu keturunan.
Dari segi pelaksanaan, pertunjukan tari topeng Cirebon ada dua macam, yaitu
sebagai bebarang (ngamen) dan ditanggap. Bebarang atau ngamen yaitu pertunjukan
yang dilakukan secara berkeliling. Sedangkan ditanggap yaitu menerima/memnuhi

panggilan untuk menghibur, biasanya pada perayaan-perayaan khitanan, perkawinan


dan sebagainya.
Seperti yang dikatakan dalam bukunya, Narawati Tati (2005) menyebutkan
bahwa pemaparan genre-genre besar pernah dikibarkan di Jawa Barat sejak hadirnya
dua golongan masyarakat pendukung tari, yaitu golongan menak dan golongan
rakyat biasa (hlm. 53).
Sementara itu tari pergaulan di Priangan menyimpan perhatian yang cukup
besar pada seni tari, sehingga pada saat itu banyak para bangsawan dan kaum menak
yang mempelajari tari karena tidak ingin dipandang sebagai menak yang tidak
menguasai tarian yang berkembang pada saat itu dan akan merasa awam apabila tidak
pandai menari. Sehingga para bangsawan dahulu belajar menari, di bawah bimbingan
seorang juru tari yang diangkat oleh bupati. Tarian yang sangat digemari oleh para
menak dan orang-orang berada adalah Tayuban. Tarian ini mulanya tidak berkembang
ke masyarakat luas Jawa Barat. Hal ini disebabkan karena pada jaman ini terdapat
garis pemisah antara golongan ningrat dan rakyat jelata, sehingga tek berlebihan kalau
kita mengatakan bahwa pada zaman itu tari hidup secra sendiri-sendiri. Maksudnya,
tari yang hidup di kalangan bangsawan seolah-olah hanya untuk bangsawan dan
begitupun sebaliknya.
Menurut keterangan lisan dari R.A.A Suriadiningrat dalam Moh Tarya (2014)
bahwa kurang lebih tahun 1871 dan berikutnya para bupati yang terkenal sangat
menaruh perhatian serta mahir menari, diantaranya:
1. Pangeran Kusumah Dinata Bupati Sumedang
2. Adipati Wiratanudatar Bupati Garut
3. Adipati Wiradingrat Bupati Manonjaya (Sukapura Tasikmalaya) (hlm. 12).
Pada setiap bulan, di kabupaten-kabupaten Pasundan sudah biasa diadakan
Nayuban baik dalam acara rapat dinas maupun acara selamatan. Nayuban pada
mulanya merupakan tarian yang hanya dilakukan oleh para bangsawan, namun sejalan
dengan perkembangannya, Nayuban telah menyebar di kalangan masyarakat melalui
pelatihan-pelatihan tari yang tersebar di seluruh kabupaten di Pasundan sehingga
terbentuk sebuah tarian yang telah tersusun secara sistematik menggunakan metode
dan patokan-patokan tertentu sesuai dengan guru yang mengajar di paguron-paguron
tersebut. Sehingga tari Tayub mengalami pergeseran nama menjadi tari keurseus.
Tari keurseus ini membuka sejarah baru pada awal tahun 20-an, dimana tari
Sunda menyebar relatif cepat dikalangan masyarakat umum yang hingga sekarang
masih terpelihara dan dipelajari dengan baik di kalangan para pelaku seni dan di
wilayah kependidikan. Walaupun kehidupannya belum mencapai puncaknya sampai

saat ini namun pada tarian ini kita melihat nilai-nilai visual yang cukup tinggi. Tari
keurseus ini oleh para penerusnya dijadikan salah satu sumber kreativitas, dan lahirlah
tari wayang gaya Priangan, tari Topeng gaya Priangan dan tari-tarian putri lainnya.
Sebelum zaman feodal berakhir seorang penyusun tari topeng gaya Priangan,
yitu R. Tjetje Soemantri telah menemukan pribadinya melalui karya tarinya. Ia sangat
produktif dalam menyusun tari-tarian putri. R.Tjetje Soemantri dengan segala
keuletannya membuat beberapa karya tari-tarian Sunda terutama jenis tari Putri yang
sudah dirintis sejak tahun 1935 seperti: Tari Dewi, Sekar Putri, Puja, Golek Rineka,
Sri Gati dan masih banyak lagi. Perkembangan tari Sunda melalui karya tari beliau,
menambah khasanah kekayaan tari Sunda.
Zaman Masyarakat Modern
Dalam masa perang kemerdekaan Republik Indonesia, dimana seluruh rakyat
dan para pejuang sangat gigih dan cekatan dalam mempertahankan kemerdekaannya,
tari Sunda masih tetap dalam perhatian para tokoh, namun pada saat itu yang
menguasai dan mempelajari tarian Sunda hanyalah para putra-putri petinggi saja.
Setelah Indonesia merdeka tidak ada lagi anggapan bahwa tarian yang dibawakan
oleh seorang wanita itu dipandang tidak baik.
Namun pada zaman ini kesenian pada umumnya lebih maju dibandingkan
dengan jaman sebelum kemerdekaan. Khusus untuk seni tari, walaupun hidupnya
masih jauh lebih lamban apabila kita bandingkan dengan seni-seni lainnya, akhirakhir ini telah menunjukan kepesatan dalam perkembangannya.
R. Sambas Wirakusumah, selain terus menyebarluaskan tari keurseus di Jawa
Barat, ia menyusun pula tari-tarian wayang seperti tari Gatotkaca (Gunung Sari), tari
putri Serimpi, yang komposisinya masih berdasarkan pola-pola tari keurseus.
Sayangnya tari-tarian putri ciptaan R. Sambas Wirakusumah tidak berkembang seperti
tari wayangnya.
Tari Keurseus Wirahmasari Rancaekek berkembang di Bandung pada
perkumpulan Wirahma Sari yang dipimpin oleh R. Dadan Sunarya Kusumadinata,
yang akhirnya melahirkan gaya tersendiri, tetapi dasarnya masih tetap menginduk
pada Wirahma Sari pusat (Rancaekek). Perkumpulannya diteruskan oleh muridmuridnya dan perkembangannya semakin maju lagi setelah R. Dadan Sunarya
Kusumadinata meninggal.
Sujana Anis (dalam S. Nalan Arthur, 1996, hlm.85) menyebutkan bahwa
Di Bandung terdapat pula suatu organisasi kesenian yang diorganisir oleh
Jawatan Kebudayaan yaitu Badan Kesenian Indonesia (BKI), grup ini adalah
merupakan studio seni dari Jawatan Kebudayaan Jawa Barat yang menampung

para peminat seni khususnya masyarakat dan para pelajar dalam bidang seni.
Grup ini dalam perkembangannya mampu mengibarkan benderanya,
khususnya dalam mempromosikan seni Sunda, pada akhirnya nama BKI lebih
dikenal darpada Kantor Jawatan Kebudayaan itu sendiri. Tari Sunda adalah
salah satu kegiatan yang terdapat dalam organisasi tersebut dan sebagai
gurunya adalah R. Tjetje Soemantri.
Dengan tersebar luasnya karya-karya tari dari kedua tokoh tersebut (R. Sambas
Wirakusumah dan R. Tjetje Soemantri) maka seringkali diadakan pasanggiri baik tari
keurseus maupun tari karya R. Tjetje Soemantri.
Ditengah-tengah masyarakat yang kini semakin maju di deru oleh derasnya
arus globalisasi yang kian hari kian pesat, namun tari Sunda masih tetap bertahan
menahan segala pengaruh dari luar. Kesadaran dan minat untuk mencintai kebudayaan
daerah membawa hasil yang baik terhadap perkembangan seni tari Sunda. Hal ini
dibuktikan dengan dijadikannya seni tari sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan
yang berdiri sendiri. Lahirnya sekolah tari seperti Konservatori Tari Indonesia (KORI)
yang dibuka awal tahun 1968 tentu akan berpengaruh besar pada perkembangan seni
tari secara teoritis dan praktis, serta adanya tuntutan methodis dalam cara
mengajarkannya. Pada tahun 1971, KORI diresmikan menjadi Akademi Seni Tari
Indonesia (ASTI) bidang Tari Sunda oleh pemerintah.
Pada tahun 1970, Jawa Barat sudah mulai menampilkan wajahnya pada
festival Ramayana Nasional di Yogyakarta dengan sendratari Ramayana Gaya Sunda
yang disutradarai oleh R. I. Maman Suryaatmadja dan pada tahun 1971 Jawa Barat
tampil kembali dalam festival Sendratari Ramayana Internasional yang menampilan
sendratari Ramayana bertopeng di Pandaan Surabaya.
Sebagai pengawetan dan peningkatan mutu kesenian, pemerintah Jawa Barat
telah menyelenggarakan pula festival sendratari pada tahun 1972 di Bandung, 1973 di
Bogor dan tahun 1977 di Bandung, teater tradisionil, sandiwara dan tari.
Perkembangan tari kreasi baru di Jawa Barat tumbuh setapak demi setapak.
Tari Sekar Putri, Merak, Sulintang dll adalah tarian yang termasuk kedalam golongan
kreasi baru yang disusun oleh R. Tjetje Soemantri. Tarian tersebut adalah kreasi baru
yang masih banyak menggunakan patokan-patokan atau pola tradisi baik tari maupun
karawitannya.
Dengan demikian tari sunda dalam perkembangannya terbagi kedalam tiga
periodisasi yakni, pada (1) zaman primitif dimana pada saat itu kesenian khususnya
dalam bidang seni tari masih berhubungan kuat dengan tradisi dan kepercayaan yang
kental akan hal-hal magis untuk memperkuat kesenian tersebut dalam kesmpurnaan
penampilannya, (2) zaman feodal, pada zaman ini sudah mulai masuk kerajaan-

kerajaan besar yang tersebar di wilayah Jawa Barat. Meskipun tidak ditemukan bukti
otentik mengenai tari, pada abad ke-7 menurut Cerita Parahiyangan, di kerajaan
Galuh sudah ada tarian yang diiringi dengan gamelan, serta (3) setelah kemerdekaan
seni tari semakin berkembang di Jawa Barat dengan berdirinya perkumpulanperkumpulan tari di setiap daerah di Jawa Barat, dan juga pelatihan tari sudah masuk
kedalam dunia pendidikan. Sehingga perkembangan seni tari di Jawa Barat semakin
berkembang, terlepas pada saat ini banyak kebudayaan asing yang masuk kepada
kebudayaan daerah, namun kebudayaan daerah tidak kalah saing dengan kebudayaan
asing, dibuktikan dengan sering ditampilkannya tarian-tarian khas Jawa Barat di event
Internasional.

Anda mungkin juga menyukai