Anda di halaman 1dari 9

1.

SENI DAN LEMBAGA KEBENARAN


Seseorang menemukan kesadarannya, maka menuntut dirinya untuk hidup dalam apa yang
disebutnya kebenaran. Apa yang benar bagi seseorang adalah apa yang sesuai dengan
kesadarannya,yang disetujuinya, yang dianggapnya baik, yang dianggapnya punya nilai, yang
dapat dijadikan pegangan dalam bertindak. Kebenaran bukanlah yang ada dalam diri kita sejak
lahir, namun harus dicari oleh setiap manusia. Tetapi, kebenaran bukanlah sesuatu yang sifatnya
statis. Kebenaran itu terlalu kaya, kebenaran itu berkembang, bertumbuh, memperkaya dirinya
tanpa batas, ada diluar alam manusia. Umat manusia dikenal sejumlah lembaga kebenaran yang
kita kenal sebagai agama, ilmu, filsafat, dan seni.
Dalam sejarah manusia lembaga kebenaran yang paling tua adalah agama atau sistem
kepercayaan. Secara historis, agama atau sistem kepercayaan merupakan lembaga kebenaran
yang paling tua, dasar agama adalah kepercayaan. Manusia percaya kepada agama sebagai
kebenaran mutlak yang harus dipatuhi secara mutlak pula. Hidup manusia diabdikan pada
kepercayaan itu. Apa yang dipercaya dalam agama bersifat adikodrati, melampaui kodrat
manusia itu sendiri. Agama sebagai lembaga kebenaran mengajarkan kesadaran terhadap apa
yang seharusnya dilakukan manusia agar dia hidup damai, harmonis, dan selamat, baik di dunia
maupun di akhirat. Kebenaran agama mutlak bagi para pemeluknya, walaupun kadang-kadang
kebenaran agama tersebut dianggap tidak sesuai dengan kebenaran berdasarkan pengalaman
inderawi dan nalar.
Manusia percaya kepada agama  sebagai kebenaran mutlak  yang dipercayai manusia itu
bersifat adikodrati atau melampaui kodrat manusia itu sendiri. Sejalan dengan itu lembaga
kebenaran yang paling dekat dengan kebenaran agama adalah seni.  Seperti halnya agama yang
menjangkau kebenaran mendasar, universal, menyeluruh, mutlak serta abadi, seni pun juga
menjangkau hal-hal tersebut, hanya saja alat untuk mencapai hal itu adalah perasaan dan intuisi.
Dasarnya adalah pengalaman inderawi manusia yang bersifat subjektif. Kehadiran sesuatu yang
transedental (yang bukan dari dunia ini yang dipercayai) dalam suatu kepercayaan dapat
ditemukan dalam seni. Seni bertujuan menciptakan suatu realitas baru dari kenyataan
pengalaman nyata. Bentuk seni itu sendiri adalah realitas yang dihayati secara inderawi.
Kebenaran seni bersinggungan dengan kebenaran empiris dan kebenaran ide kebenaran.
Dasarnya adalah pengalaman empirik manusia, tetapi yang ditemukannya realitas baru yang non
empiris.
Lembaga kebenaran berikutnya adalah filsafat. Alatnya adalah nalar, logika manusia yang
bersifat spekulatif  (bukan empirik) dan tidak ada metode yang baku, ciri-ciri lembaga kebenaran
ini adalah konseptual, logis, universal, mendasar, menyeluruh, dan mutlak. Berikutnya adalah
lembaga kebenaran yang bersifat relatif yaitu ilmu. Alat untuk menemukan kebenarannya adalah
nalar, logika, bermetode, dan sistematik, sistemnya bersifat empirik atau fakta apa adanya.
Tujuanya adalah pembuktian kebenaran secara kusus dan terbatas.
Lembaga kebenaran yang relatif ‘muda’ adalah ilmu. Alat untuk menemukan kebenarannya
adalah nalar, logika, bermetode dan sistematik. Sumbernya bersifat empirik, fakta dan apa
adanya. Tujuannya adalah pembuktian kebenaran secara khusus dan terbatas. Kegunaannya
sebagai deskripsi, prediksi dan kontrol atas kenyataan empirik. Ilmu seni harus dibedakan
dengan seni. Seni itu soal penghayatan, sedangkan ilmu adalah pemahaman. Seni untuk
dinikmati, sedangkan ilmu seni untuk dipahami,  banyak jenis seni yang kita ketahui seperti  seni
rupa, seni teater, seni tari, seni sastra, seni musi, seni arsitekstur dan lain-lain. Tiap-tiap bidang
seni tersebut memiliki ilmunya masing-masing.
Dengan demikian, tidak perlu orang mempertentangkan kebenaran yang ditemukan oleh
masing-masing lembaga tadi. Tetapi, dalam kenyataannya selalu saja terjadi konflik kebenaran
antara berbagai lembaga tadi. Untuk menyelaraskan kegiatan pencarian kebenaran dalam
masing-masing lembaga tersebut sering kita jumpai adanya kegiatan antar lembaga. Tetapi, dari
semua lembaga kebenaran tadi, lembaga filsafat selalu hadir. Ada filsafat seni, filsafat agama dan
filsafat ilmu
Kesimpulanya, dengan demikian manusia yang lengkap adalah  manusia yang menggunakan
semua potensi kejiwaan dirinya dalam mencari dan menemukan kebenaran. Ini berarti bahwa
manusia yang manusiawi itu bergerak dalam empat lembaga kebenaran itu secara seimbang.
Kalau ini tidak dapat dilakukan, maka sebaiknya harus mempunyai kepercayaan kepada orang
yang dipandangnya pakar didalalam lembaga yang tak dikuasainya itu. Hidup ini pendek
kebenaran itu abadi.

2. ILMU-ILMU SENI

Ilmu seni harus dibedakan dengan seni. Seni itu soal penghayatan, sedangkan ilmu adalah
soal pemahaman. Seni untuk dinikmati, sementara ilmu seni untuk memahami. Seni dapat
ditinjau dari segi estetikanya,yang berarti menjadi objek ilmu sekaligus filsafat. Seni juga dapat
dianalisis berdasarkan bentuk formalnya. Seni dapat pula menjadi objek sejarah. Ada juga
sosiologi seni, antropologi seni, psikologi seni, perbandingan seni, kritik seni. Berikut ini adalah
jenis-jenis kajian, atau cabang-cabang disiplin, dalam ilmu seni atau estetika keilmuan :

 Psikologi estetika atau estetika psikologis


 Estetika sosiologis
 Antroplogi estetik
 Ekonomi seni
 Sejarah seni
 Teknologi seni (mempelajari bahan-bahan fisik, peralatan, dan cara-cara dalam produksi
seni)
 Pedagogi estetik
 Morfologi estetik (mempelajari bentuk dan gaya dalam seni)
 Taksonomi estetik (mempelajari klasifikasi seni, silih- hubungan antar macam-macam
seni)
 Aksiologi estetik (mempelajari nilai seni dalam hubungannya dengan kehidupan
manusia; jenis-jenis efek  seni pada berbagai tipe orang di bawah berbagai kondisi,   
serta hubungan efek-efek itu dengan  tujuan ideal  dan bakuan nilai, termasuk  moral  dan
praktis)
 Semiologi (atau semiotik) seni (mempelajari tata ungkap seni, “bahasa” seni)

Ilmu-ilmu seni tersebut masih harus didistribusikan lagi menjadi beberapa bidang seni
khusus. Ada ilmu-ilmu seni rupa, seni teater, seni tari, seni sastra, seni musik, seni arsitektur dan
lain-lain. Tiap-tiap bidang seni tersebut memiliki ilmunya masing-masing. Ilmu seni tidak dapat
ditumbuhkan mendadak. Ilmu seni didahului oleh sejumlah penelitian seni yang panjang dan
beragam. Ilmu-ilmu seni di Indonesia masih mencari bentuknya. Penelitian masih jarang
dilakukan dan sifatnya juga masih sporadis. Beum ada jurnal ilmiah sosiologi seni misalnya.
Atau jurnal sejarah seni. Ilmu-ilmu seni di Indonesia dapat menggarap objek seni etnis, seni
kraton atau klasik, seni modern. Belum ada telaah filsafat seni etnis, filsafat seni istana, filsafat
seni modern.

3. TAKSONOMI ILMU-ILMU SENI


Pengetahuan tentang seni bukan hanya berhubungan dengan penciptaan karya seni dan
penghayatan karya seni, tetapi juga pemahaman tentang karya seni. Ilmu-ilmu seni di Indonesia
baru disadari ketika seni modern muncul. Dalam perkembangan awalnya, ilmu-ilmu seni masih
diabaikan. Pengetahuan tentang seni bukan hanya berhubungan dengan penciptaan karya seni
dan penghayatan karya seni, tetapi juga pemahaman tentang karya seni. memahami seluk beluk
seni yang pada dasarnya adalah suatu evaluasi terhadap seni. Sementara itu, penghayatan seni
lebih merupakan perilaku apresiasi yang akan menghasilkan pengalaman seni yang khas.
Penciptaan seni merupakan persoalan kreativitas yang sifatnya subjektif dan juga penuh misteri.

Seni telah melahirkan berbagai ilmu – ilmu seni di lingkungan masyarakat yang tradisi
keilmuannya telah berusia cukup panjang, berbagai macam ilmu seni tersebut telah dapat disusun
peta keilmuannya. Terutama di masyarakat barat., yang tradisi pemahaman terhadap sesuatunya
telah berlangsung sejak zaman Yunani purba, sekitar 500SM. Dalam masyarakat tersebut,
perkembangan ilmu seni mengikuti penciptaan seni, bahkan penciptaan seni sering diilhami oleh
berbagai temuan keilmuan dan pemikiran seni.

Sementara itu di masyarakat Indonesia, tradisi pemahaman seni seperti itu tidak terjadi,
meskipun penciptaan karya seni telah dimulai sejak sekitar tahun 3000SM. Seni di Indonesia
hanya menyangkut soal penciptaan dan penghayatan saja. Hal ini dapat dipahami karena karya
seni Indonesia muncul dalam kebudayaan mistis, sampai saatnya bertemu kebudayaan ontologis.
Persoalan sikap menumbuhkan jarak antara manusia dengan hal-hal diluar kesadarannya baru
terjadi ketika bersentuhan dengan ikap ontologis tersebut.

Ilmu-ilmu seni di Indonesia baru disadari ketika seni modern muncul. Bahkan pada
perkembangan awalnya, ilmu-ilmu seni masih diabaikan. Kita ingat berbagai sanggar seni yang
berpusat pada guru-guru yang seniman. Di sana persoalan penghayatan dan penciptaan seni
diutamakan. Hasil akhir pendidikan semacam itu adalah penciptaan karya seni. inilah sebabnya
teknik seni amat menonjol diajarkan orang kurang peduli pada ilmu seni, konsep seni, dilosofi
seni, sejarah seni, hubungan masyarakat dengan seni, dan lain-lain. Baru setelah banyak
mahasiswa akademi seni kita belajar ke masuarakat barat, maka kesadaran terhadap ilmu-ilmu
seni dengan tujuan pemahaman seni, mulai masuk ke perguruan-perguruan tinggi seni kita.

Hasilnya memang belum tampak. Ilmu seni masih tetap ketinggalan dibandingkan
dengan penciptaan seni. ini tidak berarti bahwa ilmu seni lebih penting daripada penciptaan seni,
tetapi yang terakhir ini dapat dibantu oleh ilmu-ilmu seni, sebagaimana halnya dengan
penghayatan seni.

Karena ilmu seni belum berkembang, maka persoalan kritik seni juga menjadi masalah
dalam masyarakat kita. Kritik seni tidak hidup karena banyak pihak yang tidak puas terhadap
hasil evaluasinya. Interpretasi dan evaluasi seni sangat erat hubungannya dengan ilmu seni.
Kritik seni memang dimulai dengan penghayatan dan kemudian sampai pada pemaknaan atau
interpretasi, tetapi pada tahap evaluasi diperlukan kerja keilmuan yang berjarak. Objektivitas dan
pembuktian deskripsi data seni diperlukan. Dan disinilah jalan buntunya. Kritik seni kita lebih
banyak berhenti pada penghayatan dan upaya menjelaskan penghayatan tersebut secara verbal.
Disinilah pentingnya mengembangkan sikap keilmuan terhadap seni. Hasil-hasil ilmu seni dapat
berguna bagi siapa saja, baik dalam penciptaan maupun penghayatan.

Untuk memahami betapa miskinnya budaya seni kita dalam bidang ilmu seni ini, baiklah
kita menegok pada taksonomi ilmu-ilmu seni yang telah berkembang di negara maju. Tentu saja
taksonomi semacam itu tidak perlu kita tiru mentah-mentah. Kita hanya dapat mempelajarinya
dan mengembangkan taksonomi ilmu-ilmu kita sendiri. Namun setidaknya kita mengenal cara
mereka mengolong-golongkan berbagai ilmu seni tersebut.

1) Bagian utama dari ilmu seni adalah filsafat seni. Pada mulanya, ‘ilmu’ ini memang
merupakan bagian dari kajian filsafat yang spekulatif. Tetapi pada perkembangannya,
kedudukannya bergeser ke arah keilmuan juga, sehingga orang menamakannya estetika
modern atau estetika keilmuan. Kemudian kita mengenal stiliska atau ilmu gaya seni,
yang membahas hakikat gaya seni, keragaman gaya pribadi, gaya etnik, gaya mahzab,
gaya regional dan gaya sezaman. Juga dibicarakan dinamika gaya seni akibat
perkembangan sejarah, perubahan budaya dan percampuran budaya.
2) Yang kedua adalah ilmu tentang penghayatan seni, atau disini lebih  dikenal dengan
apresiasi seni, yang membahas pengaruh pengertian seni seseorang (temperamen
individual, kondisioning sosio kulturalnya, perolehan sikap dan nilai-nilai dalam hidup
lingkungannya). Juga dibicarakan arti seni, simbol, dan mitor dalam seni. Yang terakhir
mengenai apresiasi, interpretasi seni khusus, misalnya seni sastra, seni lukis dan seni
musik.
3) Yang ketiga kritik seni
4) Yang keempat adalah pendekatan ilmiah tertentu terhadap seni, seperti sosiologi seni,
antropologi seni, sejarah seni, perbandingan seni, arkeologi seni dan psikologi seni.
5) Yang kelima adalah ilmu tentang hubungan lembaga   dan seni yang membahas
pendayagunaan seni bagi masyarakatnya, soal perundangan atau peraturan pemerintah
atau berbagai lembaga sosial lain terhadap seni, hubungan seni dengan agama, ilmu dan
teknologi. Juga dibicarakan pelarangan seni serta sensor seni dan pendidikan seni dalam
masyarakat.
6) Yang keenam adalah ilmu ekonomi seni, yang membahas berbagai faktor yang
mempengaruhi nilai ekonomi seni, sistem pendanaan dalam aktivitas berkesenian, pasar
seni atau pemasaran seni, perlindungan hak cipta seni, juga soal-soal yang menyangkut
plagiat dalam seni, pembajakan seni dan yang semacam itu.
7) Yang ketujuh, pendidikan kesenimanan, membahas metode pengajaran seni kepada calon
seniman, seni sebagai pekerjaan, profesionalisme dan amatirisme dalam seni.
8) Yang kedelapan, ilmu-ilmu preservasi seni atau pelestarian karya seni meliputi persoalan
lembaga-lembaga kearsipan seni, museum, galeri dan perpustakaan seni. Juga
dibicarakan masalah pencatatan seni dan notasi, peranan industri dan komersialisasi seni,
peranan media elektronik dan mekanik dalam seni, masalah tradisi lisan dalam seni dan
tradisi seni.
9) Yang kesembilan atau yang terakhir adalah berbagai ilmu mengenai pemeran seni,
festival seni, pertunjukan seni dan aneka gejala jenis itu.

Dari berbagai bidang ilmu seni tersebut, tampaknya kita baru mengerjakan beberapa
sektor didalamnya, seperti kritik seni, apresiasi seni khusus (apresiasi seni sastra, apresiasi seni
lukis) dan sebagian pendekatan disiplin ilmu-ilmu lain dalam seni seperti sejarah seni dan
sosiologi seni. Tetapi dalam hal ilmu pemasaran seni, plagiat, pembajakan, permuseuman, tradisi
lisan seni dan lain-lain lagi masih belum tersusun ilmunya. Barangkali memang pernah ada yang
menyusun ilmu tentang hak cipta kesenian, tetapi baru beberapa artikel atau kumpulan artikel.
Peristiwa heboh novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck labih dari 30 tahun yang lalu sempat
membuahkan debat tentang plagiat dalam karya sastra. Tetapi begitu peristiwa itu berlalu, tidak
ada lagi yang mempermasalahkan apa yang sebenarnya dinamakan plagiatisme itu.

Begitulah, masih banyak hal yang masih kosong dalam lahan ilmu seni kita, baik yang
tradisional maupun yang modern. Meskipun telah berdiri beberapa perguruan tinggi seni di
Indonesia sejak tahun 1950, perkembangan ilmu-ilmu seni masih tertinggal jauh dari kerja
penciptaan seni. Begitu banyak karya penciptaan seni dihasilkan, tetapi begitu miskin ilmu yang
mencoba memahami gejala atau fenomena kesenian kita.

Dengan ilmu seni, kita mengevaluasi apa yang telah dikerjakan dalam dunia kesenian
kita. Dan hasil evaluasi ini akan membuka wawasan dan peluang penciptaan yang belum
dikerjakan atau kemungkinan untuk diciptakan. Ilmu seni adalah kompas atau pedoman
penciptaan seni selanjutnya. Ilmu seni yang berkualitas kadar keilmuannya sangat berarti bagi
penciptaan. 

4. MENUJU RIMBA FILSAFAT SENI

Di sejumlah Negara barat,buku tentang filsafat seni merupakan literature tersendiri,daftarnya


amat panjang. Di Indonesia, jumlah buku semacam itu dapat dihitung dengan jari, antara lain
Garis Besar Estetika oleh The Liang Gie (1976) yang sampai sekarang merupakan buku paling
komprehensif dalam menengok aneka persoalan filsafat seni. Rata-rata teori seniman Indonesia
merupakan way of life atau sikap kesenimanan, bukan sebagai bagian pengetahuan. Dengan
memahami filsafat seni, setiap orang dibekali berbagai pilihan untuk memilih filsafat seninya
sendiri. Atau setiap orang dipersilahkan membangun sendiri filsafat seninya.
Berdasarkan sudut tinjauan teori barat inilah kita dapat memahami teori seni Asia dan
kita sendiri. Untuk mengenal diri sendiri, ternyata kita harus mengenal orang lain terlebih
dahulu. Dibelahan bumi Barat, filsafat seni muncul dalam tahap budaya mistis. Seni modern
telah jelas bersifat teori seni Barat, hanya subject matter seninya sajalah yang Indonesia. Ilmu
seni di Indonesia perlu di benahi agar rumah kesenian Indonesia ini tertata rapi, tidak acak-
acakan dan karenanya setiap bahan pembicaraan, setiap masalah seni, dapat di agendakan secara
benar dan tepat. Ilmu seni dan filsafat seni penting untuk  memperoleh jawaban atas pertanyaan
seperti dari mana asal kita dan apa yang telah kita kerjakan selama ini.

5. FILSAFAT SENI DAN ESTETIKA

Pembahasan tentang seni masih dihubungkan dengan pembahasan tentang keindahan.


Pengetahuan  ini disebut filsafat keindahan, termasuk didalamnya keindahan alam dan keindahan
karya seni. Seni atau art yang aslinya bararti teknik, pertukangan, keterampilan, yang dalam
bahasa Yunani kuno sering disebut sebagai techne. Arti demikian juga berlaku dalam budaya
Indonesia kuno. Baru pada pertengahan abad ke-17, di Eropa dibedakan antara keindahan umum
(termasuk alam) dan keindahan karya seni atau benda seni. Inilah sebabnya lalu muncul istilah
fine arts atau high arts (seni halus dan seni tinggi) yang dibedakan dengan karya-karya seni
pertukangan (craft). Seni dikategorikan sebagai artifact atau benda bikinan manusia. Pada
dasarnya artefak itu dapat dikategorikan menjadi tiga golongan, yakni benda-benda yang berguna
tetapi tidak indah, kedua; benda-benda yang berguna dan indah, serta ketiga; benda-benda yang
indah tetapi tidak ada kegunaan praktisnya. Artefak jenis ketiga itulah yang dibicarakan dalam
estetika.
Estetika muncul pada tahun 1750 oleh seorang filsuf minor bernama A.G.Baumgarten (1714-
1762). Dipungut dari bahasa Yunani kuno, aishteton yang berarti “ kemampuan melihat lewat
penginderaan”. Tujuan estetika adalah keindahan, sedangkan tujuan logika adalah kebenaran.
Perbedaan antar estetika dan filsafat seni hanya dalam obyek materialnya saja. Setetika
mempersoalkan hakekat keindahan alam dan karya seni, sedangkan filsafat seni mempersoalkan
hanya karya seni atau benda seni atau artefak yang disebut seni. Estetika merupakan pengetahuan
tentang keindahan alam dan seni. Sedangkan filsafat seni hanya merupakan bagian estetika yang
khusus membahas karya seni.
Estetika adalah bagian dari filsafat. Estetika digolongkan dalam persoalan nilai, atau
filsafat tentang nilai, sejajar dengan nilai etika. Tetapi dalam penggolongan obyeknya, estetika
masuk dalam bahasan filsafat manusia, yang terdiri dari logika, estetika, etika dan antropologis.
Studi estetika sebagai filsafat yang bersifat spekulatif, ’mendasar’ menyeluruh dan logis ini, pada
mulanya merupakan bagian pemikiran filsafat umum seorang filsuf. Estetika ilmiah bekerja
dengan bantuan ilmu-ilmu lain, seperti psikologi, sosiologi, antropologi dan lain-lain. Filsafat
seni merupakan bagian dari studi estetika ilmiah ini. Dengan demikian sifat spekulatifnya makin
bergeser pada kegiatan empirik keilmuan. Ciri spekulatifnya masih dipertahankan, hanya disertai
penguatan empirik.
Aspek-aspek yang dibahas dalam filsafat seni biasanya meliputi pokok-pokok sebagai
berikut: Pertama, persoalan sikap estetik yang didalamnya dibahas masalah ketidakpamrihan seni
dan jarak estetik. Kedua, persoalan bentuk formal seni yang melahirkan berbagai konsep seni
yang melahirkan berbagai konsep seni yang muskil (sulit). Ketiga, persoalan pengalaman estetik
atau pengalaman seni. Keempat, persoalan nilai-nilai dalam seni. Kelima, persoalan pengetahuan
dalam seni.

6. TOKOH-TOKOH FILSAFAT SENI

a) Seni adalah komunikasi.  Tokoh yang meletakkan pemikiran ini adalah Leo Tolstoy atau
Lev Nikolayevich, Graf (count) Tolstoy (1828-1910), Jennifer A. McMahon, Curt John
Ducasse (1881–1969). Seni sebagai bahasa perasaan. Mood, sentimen, dan sikap
emosional, tentang apa yang di ekspresikan sebagai fakta. Tolstoy seni merupakan makna
dari mengkomunikasikan perasan, dan memiliki fungsi moral (tindakan).

b) Seni adalah kualitas pengalaman. Ada dua tokoh utama  meletakkan pemikiran seni
adalah kualitas pengalaman atau Art as Experience (1934) karya John Dewey, (1859-
1952), dan Yrjo Hirn (1870-1952). Seni sebagai mengidialkan kualitas pengalaman
(dunia yang dihayati) sehari-hari. Yrjo Hirn menyatakan seni merupakan kegiatan sosial
yang merupakan pengalaman manusia terbaik. Memberikan rangsangan nilai-nilai sosial
dan melahirkan bagian penting dari “pencarian resonansi sosial”.

c) Seni adalah bentuk pelarian manusia. Tokoh yang meletakkan pemikiran ini adalah
Susanne Katherina Langer (1895-1985), Arthur Schopenhauer (1788-1819), Friedrich
Nietzsche (1844-1900), Hans Vaihinger (1852-1933), seni adalah upaya manusia
melarikan diri  pada realitas dunia sehari-hari upaya menemukan dunia idial melalui seni.
Seni dapat memantu ketenangan. Arthur Schopenhauer menyatakan seni terutama musik
adalah pelarian dari cengkraman  kehendak kosmik irasional yang berada di dasar
realitas. 
d) Seni adalah hasil pemikiran (menemukan kebenaran). Tokoh yang meletakkan pemikiran
ini adalah Platon (427SM-423SM), Arthur Schopenhauer (1788-1819), The Neapolitan
Benedetto Croce (1860–1952), Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762), seni adalah
makna dari pemikiran realitas. Seni sebagai intuisi terhadap realitas jiwa. Seni adalah
ekspresi dari realitas tersebut. Seni memberikan pemikiran terhadap alam seperti halnya
kehendak itu sendiri. 

7. TAKSONOMI MASALAH ESTETIKA

Pendahuluan
Estetika adalah filsafat tentang nilai keindahan, baik yang terdapat di alam maupun dalam
aneka benda seni buatan manusia. Estetika muncul di lingkungan kebudayaan Barat, dimulai
sejak zaman Yunani kuno, yakni sejak Plato, Aristoteles dan Sokrates dan masih menjadi
persoalan sampai sekarang, seperti tampak dalam karya estetika Langer, Dickie, Dewey,
Santayana dan lain-lain. Pada mulanya, estetika merupakan bagian dari pemikiran filosofis
seorang filsuf.

Taksonomi umum
Pertanyaan ontologis tentang hakikat seni dapat didekati dari berbagai aspeknya, yakni
aspek benda seni itu sendiri, pencipta benda seni alias seniman, penerima seni dan konteks nilai
yang menjadi dasar bermainnya aspek seniman, benda seni dan public seni.

Seni sebagai benda


Benda seni ini akan dibicarakan masalah material seni dan medium seni yang akan
menentukan lahirnya jenis seni dan segala cabangnya. Dalam aspek tinjauan seni sebagai benda
atau artefak, dibahas dan diperdebatkan masalah nilai seni, nilaI intrinsik, nilai ekstrinsik, nilai
hidup, material seni, medium seni, bentuk seni,isi seni, imajinasi, metafora, simbol, mimesis,
ekspresi, subject matter dan tema seni, bentuk hidup, bentuk bermakna dan lain sebagainya.

Aspek seniman dalam seni.


Seni juga ditinjau dari sudut penciptanya, sebab tak ada nada karya atau benda tanpa
penciptanya yakni seniman. Tentang pribadi seniman ini dapat dipersoalkan pula hakikat pribadi
dan gaya keseniannya. Hal terakhir yang juga dipermasalahkan adalah jenis kelamin seniman
dalam penciptaan seni.

Masalah pengalaman seni.


Dalam analisis pengalaman seni diperkenalkan pula pengalaman artistik, empati, jarak
estetik, ketidaktertarikan, serta unsure dan struktur pengalaman seni.

Seni sebagai peneriamaan publik.


Dalam permasalahan ini, muncul permasalahan filosofis tentang komunikasi seni, relasi
seni, wacana seni, pendidikan nilai, intentional fallacy, interpretasi seni, evaluasi seni,selera seni
dan sebagainya.
http://metode1.blogspot.com/2015/09/seni-dan-lembaga-kebenaran.html

https://senirupa.fsrd.itb.ac.id/p-r-o-f-i-l/estetika-dan-ilmu-ilmu-seni/

http://rienazizah.blogspot.com/2015/02/taksonomi-ilmu-ilmu-seni.html

https://www.kompasiana.com/balawadayu/5b87cbbb12ae942444019243/pemikiran-filsafat-seni

Anda mungkin juga menyukai