“Auguste Comte”
Makalah ini disusun
Sebagai tugas kelompok yang diberikan
Dosen mata kuliah Filsafat Umum
Disusun Oleh:
1. Aslan Arifin
2. Cut Aya Shofia Shafira
3. Muhammad Haikal Akmal
4. Laiyina Miska
5. Saskia Niraqieta
6. Syimahara Temas Mikko
Filsafat Umum C
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL............................................................................................................ iii
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk lebih meningkatkan lagi pemahaman
kita mengenai filsafat barat pada umumnya, dan filsafat positivisme pada khususnya.
Pada filsafat ini nanti akan kami bahas mengenai riwayat hidup dari Auguste Comte,
sejarah dari positivisme, pemikiran positivisme dari Auguste Comte, konsep sentral
serta komparasi dari ajaran lain dan kritik-kritik dari pemikiran. Selain itu juga akan
kami bahas berbagai sub bab/pokok yang berkaitan dengan positivisme. Sehingga
diharapkan setelah membaca makalah yang kami susun ini, kita semua bisa
mengetahui tentang positivisme itu sendiri dan dapat mengambil hal positif untuk
dipublikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
4
BAB II
PEMABAHASAN
5
pembimbingnya tersebut. Namun, walaupun Comte tidak lagi bekerjasama dengan
Simon, pengaruhnya tetap saja melekat sepanjang hidup Comte.
Pasca meninggalkan Simon, Comte selanjutnya meneliti tentang filosofi
Positivisme. Rencananya ini kemudian dipublikasikan dengan nama“Plan de travaux
scientifiques nécessaires pour réorganiser la société”pada tahun 1822 (Rencana studi
ilmiah untuk pengaturan kembali masyarakat). Tetapi ia gagal mendapatkan posisi
akademis sehingga menghambat penelitiannya.
Sementara Comte sedang mengembangkan filsafat positifnya yang
komprehensif, ia menikah dengan seorang bekas pelacur bernama Caroline Massin.
Comte dikenal arogan, kejam dan mudah marah sehingga pada tahun 1826 dia dibawa
ke sebuah rumah sakit jiwa, tetapi ia kabur sebelum sembuh. Kemudian setelah
kondisinya distabilkan oleh Massin, ia mengerjakan kembali apa yang dulu
direncanakannya. Namun sayangnya, pada tahun 1842 ia bercerai dengan Massin.
Saat-saat di antara pengerjaan kembali rencananya sampai pada perceraiannya, ia
mempublikasikan bukunya yang berjudul “Course of Positive Philosophy”.
Pada tahun 1844, Comte menjalin kasih dengan Clothilde de Vaux, seorang
wanita yang sedang di tinggal suaminya. Perasaan Comte terhadap Clothilde cukup
besar, namun sayangnya hal itu tak berlangsung lama karena Clothilde mengidap TBC
dan akhirnya meninggal. Hal ini mengakibatkan Comte cukup terguncang, sampai
bersumpah bahwa ia akan membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadari” nya
tersebut.
Sifat tulisan Comte umumnya berubah secara mencolok pasca menjalin
hubungan dengan Clothilde. Dalam karya keduanya “System of Positive Politics”, ia
menggagas bahwa kekuatan yang sebenarnya mendorong orang dalam kehidupannya
adalah perasaan, bukan pertumbuhan intelegensi manusia yang mantap. Dia
mengusulkan suatu reorganisasi masyarakat, dengan sejumlah tata cara yang
dirancang untuk membangkitkan cinta murni tanpa egois demi kebesaran manusia.
Tujuannya ialah mengembangkan suatu agama yang baru yaitu agama Humanitas.
Dan pada gilirannya ia menyatakan diri sebagai pendiri agama universal, Imam
Agung Humanitas. Meskipun egois dan egosentris, Auguste Comte mengabdikan
dirinya untuk kemajuan masyarakat sampai akhir hayatnya.Ia meninggal karena
kanker perut di Paris pada tanggal 5 September 1857.
6
2.2 KARYA AUGUSTE COMTE
7
adanya. Setelah itu kita berusaha untuk mengatur fakta-fakta tadi menurut hukum
tertentu, akhirnya dengan berpangkal kepada hukum-hukum yang telah ditemukan
tadi kita mencoba melihat ke masa depan, apa yang akan tampak sebagai gejala dan
menyesuaikan dengan dirinya.
Pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia
menyempurnakan empirisme dan rasionalisme. Dengan kata lain, ia menyempurnakan
metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya eksperimen dan
ukuran-ukuran. Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah hal yang logis, ada
bukti empiris yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting positivisme.
Misalnya, hal panas. Positivisme mengatakan bahwa air mendidih adalah 100 derajat
celcius, besi mendidih 1000 derajat celcius, dan yang lainnya misalnya tentang ukuran
meter, ton, dan seterusnya. Ukuran - ukuran tadi adalah operasional, kuantitatif, tidak
memungkinkan perbedaan pendapat.
Intinya, positivisme tidak hanya menggunakan metode rasionalisme saja atau
empirisme saja, tetapi menggabungkan keduanya dengan cara melihat gejala yang
fakta dan nampak lalu merasionalkannya dengan mencoba meramalkan gejala yang
akan terjadi setelahnya. Contohnya hari ini langit mendung, itu adalah bagian dari
empirisme, lalu diperkirakan sebentar lagi akan turun hujan, itu merupakan bagian
dari rasionalisme. Jadi ide positivisme di sini adalah berpatokan pada gejala yang telah
nampak.
8
2.3 PEMIKIRAN AUGUSTE COMTE
.
A. Hukum tiga tahap
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam 3 tahap
atau 3 zaman, yaitu zaman teologis, zaman metafisis, dan zaman ilmiah atau zaman
positif.
1. Tahap Teologis
Pada zaman atau tahap teologis orang mengarahkan rohnya kepada hakekat
batiniah segala sesuatu. Jadi orang masih percaya kepada kemungkinan adanya
pengetahuan yang mutlak. Oleh karena itu orang berusaha memilikinya. Orang yakin,
bahwa di belakang tiap kejadian tersirat suatu pernyataan kehendak yang secara
khusus. Pada tahap ini terdapat 3 tahap lagi, yaitu:
a) tahap yang paling bersahaja atau primitif, ketika orang menganggap, bahwa segala
benda berjiwa (animisme);
b) tahap ketika orang menurunkan kelompok-kelompok hal-hal tertentu seluruhnya
masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati yang
melatarbelakanginya, sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki
dewa-dewanya sendiri (politeisme);
c) tahap yang tertinggi, ketika orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu
dengan satu tokoh tertinggi, yaitu dalam monoteisme.
2. Tahap Metafisik
Zaman yang kedua, yaitu zaman metafisika, sebenarnya hanya mewujudkan
suatu perubahan saja dari zaman teologis. Sebab kekuatan-kekuatan yang adikodrati
atau dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak, dengan
pengertian-pengertian atau dengan pengada-pengada yang lahiriah yang kemudian
dipersatukan dengan sesuatu yang bersifat umum yang disebut alam dan yang
dipandang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang khusus.
3. Tahap Positif
Zaman positif adalah zaman ketika orang tahu bahwa tiada gunanya untuk
berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan
teologis, maupun pengenalan metafisis. Ia tidak lagi mau melacak hakekat yang sejati
dari segala sesuatu yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha
menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang
telah dikenal atau disajikan padanya, yaitu dengan pengamatan dan dengan memakai
9
akalnya. Pada zaman ini pengertian “menerangkan” berarti: fakta-fakta yang khusus
dihubungkan dengan dengan suatu fakta yang umum. Tujuan tertinggi dari zaman ini
akan tercapai bilamana segala gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu fakta
yang umum saja.
Hukum 3 zaman atau 3 tahap di atas bukan hanya berlaku bagi perkembangan
rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi tiap orang sendiri-sendiri.
Seperti contoh: sebagai kanak-kanak orang adalah seorang teolog, sebagai pemuda ia
menjadi seorang metafisikus dan sebagai orang dewasa ia adalah seorang fisikus.
Contoh praktisnya adalah dalam pelajaran matematika sebuah rumus bagi anak-
anak hanya dijadikan sebuah teori dan tidak ada usaha untuk mengkritisinya atau
mempraktekannya. Ketika remaja dia sudah mulai mengkritisi dan mempraktekannya
dan mempunyai gambaran-gambaran atau abstraksi metafisik tentang rumus tersebut.
Dan ketika sudah dewasa dia telah menemukan hasil dari nilai praktis rumus tersebut.
B. Prinsip-prinsip Keteraturan Sosial
Sejalan dengan perspektif organiknya, Comte sangat menerima saling
ketergantungan yang harmonis antara bagian-bagian masyarakat, dan sumbangan
terhadap bertahannya stabilitas sosial. Meskipun keteraturan sosial dapat terancam
oleh anarki sosial, moral, dan intelektual, selalu akan diperkuat kembali. Analisis
Comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase.Pertama, usaha untuk
menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode positif.
Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang
normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan
positivisme, tetapi yang menyangkut perasaan juga intelek.
Menurut comte, individu dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan sosial,
sehingga satuan masyarakat asasi adalah bukan individu-individu, melainkan
keluarga. Dalam keluargalah individu diperkenalkan kepada masyarakat.
Keteraturan sosial juga bergantung pada pembagian pekerjaan dan kerja sama
ekonomi. Individu menjalankan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
individunya. Akan tetapi begitu pembagian pekerjaan muncul, partisipasi individu
dalam kegiatan ekonomi menghasilkan kerja sama, kesadaran akan saling
ketergantungan dan muncul ikatan-ikatan sosial baru. Pembagian pekerjaan
meningkat bersama industrialisasi, dan bertambahnya spesialisasi yang berhubungan
dengan itu mendorong individualisme, sekaligus meningkatkan derajat saling
ketergantungan.Jadi, keteraturan yang stabil dalam suatu masyarakat kompleks,
10
berbeda dengan masyarakat primitif yang berstruktur longgar dan berdiri sendiri,
berstandar pada saling ketergantungan itu yang perkembangannya dibantu oleh
pembagian pekerjaan yang sangat tinggi.
C. Agama Humanitas
Wawasan Comte tentang konsekuensi-konsekuensi agama yang
menguntungkan dan ramalannya terhadap tahap positif postreligius dalam evolusi
manusia menghadapkan dia pada masalah rumit. Melirik fakta sejarah, ia tidak bisa
menafikan peran penting agama terhadap keteraturan sosial yang paling utama. Akan
tetapi, kalau dilihat dalam perspektif ilmiah (positif), agama didasarkan pada
kekeliruan intelektual asasi yang mula-mula sudah berkembang pada saat-saat awal
perkembangan intelektual manusia. Lalu, pertanyaan rumit yang dihadapi Comte
adalah bagaimana keteraturan sosial itu dapat dipertahankan dalam masyarakat positif
pada masa-masa yang akan datang, Dengan satu dasar tradisi pokok mengenai
keteraturan sosial yang digali oleh positivisme.
Mengatasi masalah tersebut, Comte kemudian mengemukakan gagasan untuk
mendirikan satu agama baru yakni agama Humanitas, dan mengangkat dirinya sebagai
imam agung agama tersebut.Ini aspek kedua dari perhatian Comte mengenai
keteraturan sosial.Aspek pertama meliputi suatu analisis objektif mengenai sumber-
sumber stabilitas dalam masyarakat, sedangkan aspek kedua ini meliputi usaha
meningkatkan keteraturan sosial dengan agama Humanitas sebagai cita-cita
normatifnya.
Gagasan Comte mengenai satu masyarakat positive di bawah bimbingan moral
agama Humanitas makin lama makin terperinci.Misalnya, dia menyusun satu kelender
baru dengan hari-hari tertentu untuk menghormati ilmuan-ilmuan besar dan lainnya,
yang sudah bekerja demi kemanusiaan dan kemajuan manusia. Akan ada beberapa
ritus doa yang disusun untuk menyalurkan hasrat-hasrat individu dan memasukkannya
ke dalam “the great being of humanity”. Selain itu, ada juga ritual dimana Comte
sebagai imam agung berlutut didepan altarnya sambil memegang seikat rambut kepala
Cothilde de Vaux.Ia juga bahkan mengusulkan agar kuburan de Vaux dijadikan
sebagai tempat ziarah. Dalam agama baru ini, moralitas tertinggi adalah cinta dan
pengabdian kepada kemanusiaan. Allah pada abad pertengahan digantikan dengan
“Le Grand Etre” (Ada Agung), yakni Kemanusiaan.
11
D. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Comte membagi ilmu pengetahuan berdasarkan gejala-gejala dan penampakan-
penampakan, yang mana ilmu pengetahuan harus disesuaikan oleh itu semua. Segala
gejala yang dapat diamati hanya akan dapat dikelompokan dalam beberapa pengertian
saja. Pengelompokkan itu dapat dilakukan sedemikian rupa sehingga penelitian tiap
kelompok menjadi dasar bagi penelitian kelompok berikutnya.Sehingga terjadilah
dikotomi ilmu pengetahuan yang mana asal mualanya adalah satu. Lalu terjadi
dikotomi dari ilmu pengetahuan itu berdasarkan gejala yang diamati lalu muncullah
kelompok peneliti lain yang memungkinkan dikotomi yang lain hingga mencapai
gejala yang paling sederhana. Gejala yang sederhana ini adalah gejala yang tidak
memiliki kekhususan hal-hal yang individual.
Comte membagi-bagikan segala gejala yang pertama-tama dalam dua hal yaitu
gejala yang bersifat organis dan yang tidak bersifat anorganis.Yang dimaksud dengan
sifat organis adalah segala hal yang bersifat makhluk hidup.Dan sifat anorganik adalah
yang tidak bersifat hidup. Menurutnya dalam mempelajari yang organis harus terlebih
dahulu mempelajari hal-hal yang bersifat anorganis, karena dalam makhluk hidup
terdapat hal-hal yang kimiawi dan mekanis dari alam yang anorganis, contoh: manusia
yang makan, yang mana didalamnya terdapat proses kimiawi dari sesuatu yang
anorganis yaitu makanan.
Ajaran tentang segala sesuatu yang anorganis dibagi menjadi dua hal yaitu
tentang astronomi, yang mempelajari segala gejala umum yang ada dijagat raya dan
tentang fisika serta kimia yang mempelajari segala gejala umum yang terjadi dibumi.
Menurutnya, pengetahuan tentang fisika harus didahulukan, sebab proses-proses
kimiawi lebih rumit dibanding dengan proses alamiah dan tergantung daripada proses
alamiah.
Dan ajarannya tentang yang organis juga dibagi menjadi dua bagian yaitu:
proses-proses yang berlangsung dalam individu-individu dan proses-proses yang
berlangsung dalam jenisnya yang lebih rumit. Ilmu yang diusahakan disini adalah
ilmu biologi, yang menyelidiki proses dalam individu. Kemudian muncul sosiologi
yang menyelidiki gejala-gejala dalam hidup kemasyarakatannya dan ilmu sosial baru
harus dibentuk atas dasar pengamatan dan pengalaman (pengetahuan positif)
Demikianlah sosiologi yang menurutnya menjadi puncak bangunan ilmu
pengetahuan.Akan tetapi ilmu ini baru dapat berkembang jika segala sesuatu telah
mencapai kedewasaanya.
12
E. Kedudukan Ilmu Pasti dan Psikolog
Kedudukan ilmu pasti yang mana ilmu pasti bukan sebagai sesuatu yang bersifat
empiris, dan bagaimana dengan psikologi yang berarti mempelajari jiwa manusia, diri
sendiri ataupun orang lain. Menurut Comte ilmu pasti merupakan dasar dari filsafat
karena ia memiliki dalil-dalil yang bersifat umum dan paling abstrak, dalam hal ini ia
setuju dengan Descartes dan Newton. Dan menurutnya pula bahwa ilmu pasti adalah
ilmu yang paling bebas.
Sedangkan psikologi tidak diberi ruang dalam system Comte. Hal ini sesuai dengan
pendapatnya bahwa manusia tidak akan pernah menyelidiki diri sendiri. Tetapi orang
masih dapat menyelidiki nafsu-nafsunya karena menurutnya nafsu-nafsu itu terpisah
dari manusia.
F. Konsep Sentral dan Komparasi dari ajaran Positivisme
Konsep sentral dari ajaran positivisme ini lebih pada tahap-tahap pemikiran
manusia atau hukum 3 tahap dan masyarakat, karena dengan pemikiran tersebut
Auguste Comte juga disebut Bapak dari sosiologi. Sedang komparasi terhadap ajaran
positivisme ini lebih pada pemikiran empirismenya Hegel. Kesamaan antara
positivisme dengan empirisme seperti yang timbul di Inggris, keduannya
mengutamakan pengalaman. Bahwa ajaran positivisme hanya membatasi diri pada
pengalaman-pengalaman yang bersifat obyektif. Namun untuk empirisme hanya
menerima pengalaman-pengalaman yang bersifat bathiniah atau pengalaman yang
subyektif.Untuk ajaran Comte tentang masyarakat yang mewujudkan suatu filsafat
tentang sejarah. Bahwasannya ajaran Comte tentang hukum 3 tahap atau 3 zaman,
secara formal sejenis dengan dialetikanya Hegel.Sama seperti Hegel, Comte
memeriksa banyak sekali fakta-fakta sejarah serta menggabungkannya menjadi suatu
sistem. Kedalam filsafat sejarah itu dimasukkan perkembangan kenegaraan,
kehakiman, dan kemasyarakatan, juga perkembangan kesenian, agama, ilmu dan
filsafat. Disinilah Comte melebihi Hegel. Di mana-mana ditemukannya hukum 3
tahap. Tiap tahap sesuai dengan suatu bentuk masyarakat tertentu.Umpamanya, pada
zaman teologi di bidang social terdapat kepercayaan kepada hukum ilahi, sedang di
bidang pemerintahan terdapat bentuk feodalisme.
13
G. Kritikan dari Positivisme Auguste Comte
Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya
terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua ”proses dapat direduksi
menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa ”proses-proses
sosial dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan
bahwa ”organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”.
Untuk pemakalah sendiri ada dua hal yang menjadi landasan atas kritikan dari
ajaran Positivisme diantaranya Pertama, ketidaktepatan positivisme memahami aksi
sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan
mendukung status quo. Positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa
yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas
objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara
sosial. Kritik kedua, menunjuk bahwa positivisme tidak memiliki elemen refleksif
yang mendorongnya berkarakter konservatif.Karakter konservatif ini membuatnya
populer di lingkaran politik tertentu
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif,
sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan
filsafat dan ilmu pengetahuan. Positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri
sendiri.Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerjasama.
Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan
memasukkan perluanya eksperimen dan ukuran-ukuran. Dengan demikian
positivisme sama dengan empirisme plus rasionalisme
Dalam kaitannya tentang sosial, positivisme merupakan doktrin Comte yang
menjadi pondasi strategi rekonstruksi masyarakat. Bagi Comte, sosiologi merupakan
puncak perkembangan positivisme dan menjadikannya ratu dari ilmu-ilmu sosial.
Sehingga, sosiologi positif diharapkan Comte mampu menjadi kunci kemajuan
sosial dimasa depan
Ujung dari pencarian kebenaran yang dilakukan oleh Auguste Comte adalah
falsafahnya tentang hidup manusia yang membutuhkan hubungan dengan zat yang
sempurna, yang diwujudkan dalam bingkai teori sosiologinya.
3.2 Saran
Kami menghimbau kepada teman-teman seperjuangan untuk mencari lebih luas
lagi tentang Positivisme Auguste Comte yang belum dapat kami bahas pada makalah
ini. Demikian yang kami uraikan pada makalah ini, mudah-mudahan dapat memberi
manfaat bagi kami dan yang mengkaji makalah ini. Dalam pembuatan makalah ini
pasti banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan demi penyempurnaan pada penulisan karya ilmiah mendatang.
15
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 110
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 54
Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 110
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), 858
Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum, (Bandung; Pustaka Setia, 2008) hlm 296.
Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2007) hlm, 206.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal 113
16