Anda di halaman 1dari 7

Nama : Ulfa Nisatul Akmalia

NPM : 2003101010424
Kelas : Hukum Acara Pidana (G)

• PRAPERADILAN
A. Pengertian Praperadilan

Pengertian Praperadilan disebutkan Pasal 1 angka 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara


Pidana (KUHAP), yaitu :

“Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus


menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang;

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau pihak lain atas kuasanya
yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan”

Praperadilan merupakan tiruan dari Rechter Commisaris di Negeri Belanda, lembaga


Rechter Commisaris (hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan), muncul
sebagaibwujud dari peran serta keaktifan Hakim, yang di Eropa Tengah memberikan peranan
”Rechter Commisaris” suatu posisi yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya
paksa (dwang middelen), penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, pemeriksaan
surat-surat.

B. Tujuan Praperadilan

Praperadilan bertujuan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik
atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan undang-undang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum
serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pengawasan dan penilaian
upaya paksa inilah yang tidak dijumpai dalam tindakan penegakkan hukum dimasa HIR.
Bagaimanapun perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik
pada waktu itu, semuanya hilang oleh kewenangan yang tidak terawasi dan tidak terkendali
oleh koreksi lembaga manapun.
Persoalan praperadilan telah menjadi bagian dari tugas dan wewenang Pengadilan Negeri
yang tidak boleh ditangani oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan lain. Hanya saja yang
perlu diperhatikan, bahwa macam proses acara praperadilan bukanlah sebagian dari tugas
memeriksa dan memutuskan (mengadili) perkara tindak pidananya itu sendiri, sehingga
putusan praperadilan bukanlah merupakan tugas dan fungsi untuk menangani suatu tindak
pidana (pokok) yang berupa memeriksa dan memutus perkara tindak pidana yang berdiri
sendiri sebagai putusan akhir.

Jika demikian, putusan praperadilan walaupun yang mencakup sah atau tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan juga bukan merupakan atau yang dapat digolongkan
sebagai putusan akhir walaupun dapat dimintakan banding. Putusan akhir mengenai hal
tersebut ada pada Pengadilan Negeri. Oleh karenanya, apapun yang diputus oleh praperadilan
adalah yang khas, spesifik, dan mempunyai karakter sendiri, sebab disini hakim hanya
mempunyai tugas dan wewenang sebagai sarana pengawasan secara horisontal demi
penegakan hukum, keadilan dan kebenaran. Sifat dan atau fungsi praperadilan yang khas,
spesifik dan karakteristik tersebut akan menjembatani pada usaha pencegahan tindakan upaya
paksa sebelum seseorang diputus oleh Pengadilan, pencegahan tindakan yang merampas hak
kemerdekaan setiap warga negara, pencegahan atau tindakan yang melanggar hak asasi
tersangka atau terdakwa, agar segala sesuatunya berjalan atau berlangsung sesuai dengan
aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan aturan main.

C. Peranan Praperadilan

Peranan praperadilan adalah dalam rangka penegakan aturan yang ada untuk melindungi
hak dari tersangka. Tidak terlalu berbeda antara fungsi dan peranan praperadilan. Jika fungsi
dari praperadilan adalah sebagai kontrol bagi penegakan hukum atas apparat penegakan hukum
itu sendiri dan peranan praperadilan untuk melindungi hak-hak dari tersangka atau terdakwa,
peranan praperadilan muncul dalam rangka penegakan aturan yang ada untuk melindungi hak
dari tersangka. Hal ini dapat diperhatikan bahwa putusan hakim yang berbeda dalam kasus
yang sama dalam kasus praperadilan dapat terjadi karena adanya perbedaan penafsiran yang
terdapat dalam hakim praperadilan.

D. Wewenang Praperadilan

Wewenang Praperadilan sendiri diatur dalam KUHAP, khususnya dalam BAB X yang
mengatur tentang Wewenang Pengadilan Dalam Mengadili khususnya dari Pasal 77 sampai
dengan Pasal 83 dan BAB XII mengenai Ganti Rugi dan Rehabilitasi. Sebagaimana diatur
dalam Pasal 77 KUHAP, disebutkan bahwa Praperadilan hanya merupakan tambahan
wewenang yang diberikan kepada Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang:

1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian


penuntutan, dan;
2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Melihat Pasal 77 butir a, jelas bahwa dalam
pemeriksaan praperadilan, pengadilan negeri hanya berwenang untuk memeriksa dan
memutus sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan, serta sah atau tidaknya
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Kondisi ini menyebabkan hakim
prapedilan hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus hal-hal tersebut saja.

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 79 KUHAP, adalah:

1. Mengenai sah atau tidaknya suatu penangkapan tersangka, keluarga, dan kuasanya.
2. Mengenai sah atau tidaknya penahanan, tersangka, terdakwa, keluarga dan kuasanya.
Mengenai permohonan Praperadilan terhadap pemeriksaan sah atau tidaknya
penghentian penyidikan atau penuntutan, pihakpihak yang diberi wewenang
untukmengajukan permohonan Praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 80
KUHAP
3. Mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan:
a. Penuntut Umum;
b. Pihak ketiga yang berkepentingan.
4. Mengenai sah atau tidaknya penghentian penuntutan:
a. Penyidik;
b. Pihak ketiga yang berkepentingan.

Mengenai permohonan Praperadilan terhadap permintaan ganti rugi dan/atau rehabilitasi,


pihak-pihak yang diberi wewenang untuk mengajukan permohonan Praperadilan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 81 KUHAP adalah tersangka, terdakwa dan pihak ketiga yang
berkepentingan. Mengenai permohonan Praperadilan karena adanya benda yang disita yang
tidak termasuk alat pembuktian, pihakpihak yang diberi wewenang untuk mengajukan
permohonan Praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP
adalah tersangka, terdakwa dan pihak ketiga atau darimana benda tersebut disita.

Dalam hal Baik penyidik maupun penuntut umum berwenang untuk menghentikan
penyidikan atau penuntutan. Alasan penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut sebab:
“Hasil pemeriksaan penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti untuk meneruskan
perkaranya ke sidang pengadilan. Atau apa yang disangkakan kepada tersangka bukan
merupakan kejahatan atau pelanggaran tindak pidana. Sebab itu tidak mungkin untuk
meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. Mungkin juga penghentian penyidikan atau
penuntutan dilakukan penyidik atau penuntut umum atas alasan nebis in idem, karena
ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah
pernah dituntut dan diadili, dan putusan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bisa
juga penghentian dilakukan penyidik atau penuntut umum, disebabkan dalam perkara yang
disangkakan kepada tersangka terdapat unsur kadaluwarsa untuk menuntut.”

Guna menghindari penyalahgunaan wewenang dalam penghentian penyidikan atau


penuntutan, maka undang-undang memberi hak kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan untuk mengajukan pemeriksaan kepada praperadilan tentang sah tidaknya
penghentian penyidikan tersebut. Sebaliknya, penyidik atau pihak ketiga juga dapat
mengajukan pemeriksaan praperadilan tentang sah tidaknya penghentian penuntutan kepada
praperadilan.

E. Tata cara pemeriksaan praperadilan

Tata cara pemeriksaan praperadilan diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)) dalam Bab X bagian kesatu Pasal 79
sampai dengan Pasal 83, yang berhak mengajukan permohonan praperadilan adalah tersangka,
kuasa hukum atau keluarganya / penuntut umum dan pihak ke 3 (tiga) yang berkepentingan,
penyidik / pihak ke 3 (tiga) yang berkepentingan, tersangka, ahli waris atau kuasanya,
tersangka/pihak ke 3 (tiga) yang berkepentingan menuntut ganti kerugian.

Tata cara pengajuan praperadilan adalah:

▪ Permohonan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri;


▪ Permohonan diregister dalam perkara praperadilan;
▪ Ketua Pengadilan Negeri segera menunjuk hakim dan panitera;
▪ Pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal;

Tata pemeriksaan praperadilan :

a. Penetapan hari sidang 3 (tiga) hari sesudah di register;


b. Pada hari penetapan sidang sekaligus hakim menyampaikan panggilan;
c. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari putusan sudah harus dijatuhkan.
• PERKARA KONEKSITAS

Koneksitas adalah adalah suatu sistem peradilan yang diterapkan atas suatu tindak pidana
dimana diantara Tersangka atau Terdakwanya terjadi penyertaan (deelneming) atau secara
bersama-sama (mede dader) antara orang sipil dengan orang yang berstatus militer (prajurit
TNI). Menurut Prof Andi Hamzah yang dimaksud dengan Peradilan Koneksitas adalah sistem
peradilan terhadap tersangka pembuat delik penyertaan antara orang sipil dengan orang militer.
Dengan demikian, maka sudah dapat dipastikan bahwa peradilan koneksitas pasti menyangkut
delik penyertaan antara yang dilakukan oleh orang sipil bersama-sama dengan orang militer
yang diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.

Landasan koneksitas terdapat pada Pasal 22 Undang-Undang Pokok Kekuasaan


Kehakiman, (Undang-Undang No. 14 Tahun 1970). Apa yang diatur dalam KUHAP
merupakan pelaksanaan Pasal 22 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970. Akan tetapi, jauh
sebelum KUHAP lahir, telah diusahakan suatu bentuk “Keputusan Bersama” antara Menteri
Kehakiman, Menhankam/Pangab, dan Jaksa Agung. Keputusan Bersama tersebut
(No.B/16/XII/1971) berupa pedoman pelaksanaan ketentuan Pasal 22 Undang-Undang No. 14
Tahun 1970, mengenai kebijaksanaan perkara koneksitas.

Dengan demikian, sambil menunggu lahirnya undang-undang yang mengatur pemeriksaan


perkara koneksitas, pada tahun 1971 telah keluar Keputusan Bersama tiga instansi yang
mengatur kebijaksanaan penyelesaian pemeriksaan perkara koneksitas. Bahkan kalau
diperhatikan dengan teliti, ketentuan kebijaksanaan yang digariskan dalam keputusan bersama,
hampir bersamaan isinya dengan pasal-pasal yang dirumuskan dalam Bab XI KUHAP. Dengan
demikian Surat Keputusan Bersama tersebut merupakan transfer dari penjelasan Pasal 22
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970.

• SENGKETA KEWENANGAN MENGADILI

Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang
kewenangan mengadili :

a. antara Pengadilan di lingkungan Peradilan yang satu dengan Pengadilan di Lingkungan


Peradilan yang lain;
b. antara dua Pengadilan yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Tingkat Banding
yang berlainan dari Lingkungan Peradilan yang sama;
c. antara dua Pengadilan Tingkat Banding di Lingkungan Peradilan yang sama atau antara
lingkungan Peradilan yang berlainan.

Sengketa tentang kewenangan mengadili terjadi :

a. jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan berwenang mengadili perkara yang
sama;
b. jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan tidak berwenang mengadili
perkara yang sama.

• GANTI KERUGIAN

Menurut pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahin 1981 tentang KUHAP, ganti
kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berapa
imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangny atau hakim yang diterapkan
menurut cara yang diatur dalam UU ini. Adapun yang berhak mengajukan ganti kerugian,
yaitu: tersangka, terdakwa, terpidana, dan ahli warisnya

Ganti kerugian diajukan sebelum penuntut umum mengajukan penuntutan. Apabila


penuntut umum tidak hadir, maka permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim
menjatuhkan putusan.

• REHABILITASI

Rehabilitasi menurut pasal 1 angka 23 UU No. 8 Tahun 1981 ialah hak seseorang untuk
mendapat pemilihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang
diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hakim yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU ini.

Pasal 97 KUHAP:

1. Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau
diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
2. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam
Pasal 77.

Anda mungkin juga menyukai