Anda di halaman 1dari 6

INTRO:

Lex semper dabit remedium - hukum selalu memberikan solusi.


Permasalahan atau sengketa sering terjadi di kehidupan bermasyarakat khusus pada kegiatan
ekonomi dan bisnis. Perbedaan pendapat, benturan kepentingan, hingga rasa takut dirugikan
kerap menjadi sebab permasalahan atau sengketa tersebut terjadi. Salah satu solusi yang
ditawarkan untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah melalui arbitrase yang akan
menghasilkan putusan arbitase. Lalu apa itu putusan arbitase? mengapa dirasa cocok untuk
menjadi hasil dalam menyelesaikan sengketa keperdataan khususnya bidang ekonomi dan
bisnis?

Assalamualaikum wr wb (bareng-bareng)

Saya Ulfa, saya raisa, dan saya khasasa.


Kami dari kelompok 8 (barenf bareng) ,
akan membahas secara ringkas mengenai Putusan dan eksekusi arbitase.

Baiklah langsung kami mulakan saja,

PUTUSAN ARBITRASE

Putusan arbitrase dibedakan atas putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase
internasional. Putusan dapat ditentukan berdasarkan pada prinsip kewilayahan (territory) dan
hukum yang dipergunakan dalam penyelesaian sengketa arbitrase tersebut.

Di samping berdasarkan pada tempat dijatuhkan putusan arbitrase, juga didasarkan pada
hukum yang dipergunakan para pihak dalam menyelesaikan sengketa arbitrase tersebut.
Kalau mempergunakan hukum asing sebagai dasar penyelesaian sengketanya, walaupun
putusan dijatuhkan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia, putusan arbitrase tersebut
tetap merupakan putusan arbitrase internasional. Dan sebaliknya

BENTUK PUTUSAN ARBITRASE

 Putusan Arbitrase Ditinjau dari Bentuknya

Putusan Arbitrase Ditinjau dari Bentuknya Dengan berpedoman pada bunyi ketentuan
Undang-Undang No. 30 tahun 1999 sebagaimana telah dicantumkan, terutama pasal 32 ayat
(1), pasal 44 ayat (2), pasal 45 ayat (1) dan pasal 60, dapatlah disimpulkan bahwa bentuk
putusan arbitrase ada 4 (empat) macam:

1. Putusan sela
yang dimaksud pengertian putusan sela adalah Keputusan yang bukan akhir,
walaupun harus diucapkan dalam persidangan seperti halnya putusan akhir, tidak
dibuat sendiri- sendiri, akan tetapi termasuk dalam berita acara persidangan.
2. Putusan Akhir
Putusan akhir arbitrase dimaksud di sini adalah putusan akhir dari arbiter atau majelis
arbitrase dimana setelah semua proses penyelesaian sengketa antara kedua belah
pihak maupun dengan pihak lain dilakukan.
3. Putusan Perdamaian
Putusan perdamaian adalah putusan arbiter atau majelis arbitrase, yang tidak
didasarkan kepada kemauan arbiter atau majelis arbitrase, akan tetapi berdasarkan
kesepakatan bersama dari pihak pemohon dan termohon sebelum dijatuhkannya
putusan akhir.

4. Putusan Verstek

Putusan verstek adalah putusan arbiter maupun majelis arbitrase di luar hadirnya
termohon yang dijatuhkan dalam persidangan..

 Putusan Arbitrase Ditinjau dari Sifatnya

1. Putusan yang diktumnya bersifat deklaratoir, adalah diktum putusan yang bersifat
menerangkan saja atau menegaskan saja tentang suatu keadaan hukum.
2. Putusan yang diktumnya constitutif adalah putusan yang sifatnya meniadakan suatu
keadaan hukum atau yang menimbulkan suatu keadaan hukumyang baru.
3. Putusan condemnatoir, adalah diktum putusan yang berisi penghukuman terhadap
suatu pihak.

 Kekuatan Hukum Putusan Abitrase Dalam sistem hukum Indonesia,

Berdasarkan Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa, Putusan arbitrase bersifat
final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Lebih lanjut dalam
penjelasan Undang-Undang tersebut menerangkan bahwa putusan arbitrase merupakan
putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan
kembali. Sifat final and binding dari putusan arbitrase diatur secara tegas dalam berbagai
peraturan dan prosedur arbitrase.

kekuatan hukum putusan arbitrase lebih jelas dan kuat dibandingkan kekuatan hukum
kesepakatan mediasi. Putusan arbitrase memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan
pengadilan, yaitu memiliki kekuatan eksekutorial.

 Kekurangan Putusan Arbitrase


1. Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk memberikan
keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.
2. Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, maka perlu
perintah pengadilan untuk melaksanakan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut.
3. Pada prakteknya pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih menjadi
hal sulit.
4. Proses penyelsaian sengketa melalui arbitrase adalah tidak menjamin bahwa putusannya
akan mengikat.
PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE

1. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional


Pengaturan mengenai pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59
UU No. 30/1999 dimana disebutkan bawa dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik
putusan aritrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
panitera Pengadilan Negeri.

2. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional

UU No. 30 Tahun 1999 Pasal 65 menegaskan bahwa, yang berwenang menangani


masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan syarat-syarat yang telah ditentukan menurut
UU ini.
3. Pelaksanaan Putusan Badan Arbitrase Internasional Menurut Konvensi New
York 1958
Konvensi ini mengatur bahwa parak pihak dapat melaksanakan putusan di pengadilan
nasional dimana asset pihak lawan dapat ditentukan, dan dapat menolak
melaksanakan putusan arbitrase internasional.
4. Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing Menurut Peraturan MA No.1 Tahun
1990
Pasal 3
Peraturan MA memuat tentang syarat-syarat untuk dapat dilaksanakannya suatu
Putusan Arbitrase Asing. Pasal ini merupakan pedoman dalam menguji untuk
dilaksanakan atau ditolaknya suatu Putusan Arbitrase. Suatu putusan arbitrase asing
untuk dapat dilaksanakan di Indonesia harus memenuhi syarat-syarat dalam pasal ini.

PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

1. Menurut UU No. 30 Tahun 1999


Pasal 70
Pasal 70 UU Arbitrase, dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi
pihak yang terlibat dalam proses arbitrase, yang mempunyai dugaan bahwa putusan
arbitrase yang dijatuhkan terhadapnya mengandung unsur pemalsuan, tipu-muslihat,
atau penyembunyian fakta/ dokumen.

2. diluar UU No. 30/1999


 Pasal 22 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie (Peraturan
Umum mengenai Peraturan Perundang-Undangan untuk Indonesia; AB) dengan
keras menyatakan hakim yang menolak untuk mengadakan keputusan terhadap
perkara dengan dalih undang-undang tidak mengaturnya, terdapat kegelapan atau
ketidaklengkapan dalam undang-undang, dapat dituntut karena menolak mengadili
perkara.
 Pasal 16 (1) UU No. 4/2004 tentang Kekuasan Kehakiman kemudaian diganti
dengan UU No. 48/2009 bahwa Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
 Ada sepuluh alasan berdasarkan Pasal 643 Rv yang bisa dijadikan dasar
pembatalan putusan arbitrase.
PENDAPAT KELOMPOK

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dipandang sebagai solusi dalam menutupi kekurangan-
kekurangan penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi). Penyelesaian sengketa melalui
arbitrase akan menghasilkan putusan arbitrase yang bersifat final and binding (final dan
mengikat), yaitu putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para
pihak, sehingga diharapkan sengketa bisnis tersebut tidak berkepanjangan dan tidak
menghambat jalannya bisnis.
Meski demikian, UU Arbitrase memberikan peluang kepada para pihak yang tidak terima
terhadap suatu putusan arbitrase untuk melakukan pembatalan putusan arbitrase.
Sebagaimana artikel Pembatalan Putusan Arbitrase, Putusan Arbitrase dapat dimohonkan
pembatalan ke Pengadilan Negeri dengan alasan yang tertuang dalam Pasal 70 UU Arbitrase.
Atas putusan pembatalan tersebut, pihak Lembaga Arbitrase dapat mengajukan banding kepada
Mahkamah Agung atau dapat disebut juga kasasi.
Dengan demikian, jelas bahwasanya putusan arbitase menurut klp kami tidak dapat dikatan
final dan mengikat karena masih bisa dilakukan pembatalan ke pengadilan negeri oleh pihak
yang belum merasa puas atas putusan arbitse.

Saran kami untuk kedepannya:


1. Kepada Pengadilan Negeri, hendaknya berdasarkan ketentuan-ketentuan UU Arbitrase
menyatakan diri tidak berwenang dan menolak memeriksa, mengadili hingga memutus
permohonan sengketa bisnis berklausula arbitrase oleh pemohon, yang bukan untuk
diadakan suatu pembatalan putusan, melainkan untuk permohonan pemeriksaan
sengketa bisnis.
2. Kepada Pengadilan Negeri maupun lembaga arbitrase, hendaknya ada sinkronisasi
pemahaman dalam penyelesaian sengketa bisnis berklausula arbitrase. Kedua nya harus
paham dan menghormati tugas dan peran masing-masing dalam menyelesaikan suatu
sengketa sesuai undang-undang yang berlaku. Hal ini diharapkan agar menjadi bahan
evaluasi terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi di Indonesia.
3. Kepada para pihak yang bersengketa, hendaknya mengetahui dengan jelas perjanjian-
perjanjian di awal tentang penyelesaian sengketa bisnis mereka melalui lembaga
arbitrase. Pelaksanaan Pasal 11 ayat (1) UU Arbitrase, meniadakan hak-hak para pihak
untuk mengajukan permohonan sengketa bisnis mereka ke Pengadilan Negeri,
hendaknya menjadi konsekuensi para pihak untuk menyelesaikan sengketa bisnis
mereka di forum arbitrase.

Anda mungkin juga menyukai