Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS YURIDIS PENERAPAN ASAS KETERTIBAN

UMUM DALAM PENOLAKAN PEMBERIAN EXEQUATUR


PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA1

1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Frans H. Winata, perkembangan politik dan ekonomi di
Indonesia sekarang telah menciptakan iklim investasi dan usaha yang
semakin baik. Perkembangan ini serentak meningkatkan transaksi
bisnis dan perdagangan internasional yang melibatkan pelaku usaha
domestic/nasional dan pelaku usaha asing/internasional. Menurutnya,
perlu menjadi catatan bahwa dalam setiap transaksi bisnis
internasional, para pelaku usaha akan dihadapkan pada benturan latar
belakang yang berbeda dari setiap Negara seperti perbedaan system
hukum, kebiasaan dan budaya. Perbedaan tersebut seringkali
menimbulkan suatu sengketa yang tidak dapat dihindari. Untuk
mengatasi hal tersebut diperlukan adanya suatu metode alternative
penyelesaian sengketa yang dapat memberikan solusi, yaitu suatu
putusan (award) yang adil, efektif dan dapat diterima oleh para pelaku
usaha. Dan untuk menjawab tuntutan atas hal tersebut, selain litigasi di
dalam pengadilan (court litigation), kini semakin dikenal pula suatu
alternatif penyelesaian sengketa berupa arbitrase.2
Bahkan menurut Klaus Peter Berger, sebagaimana dikutip Huala
Adolf, dewasa ini peran arbitrase di dalam menyelesaikan sengketa-
sengketa dagang nasional maupun internasional ini menjadi semakin
meningkat, dimana para pelaku usaha sudah semakin memahami dan
1Fransiskus Egidius N. Bonur, 12014001712
2Frans H Winata, Prinsip Proses dan Praktek Arbitrase di Indonesia Yang Perlu
Diselaraskan Dengan Kaidah Internasional. NASION: Jurnal Pusat Pengkajian
Strategi Nasional, Volume 12 Nomor 1 2016, hlm. 1.
mengandalkan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa dagangnya.
Klausul arbitrase sudah semakin lazim dimasukkan di dalam kontrak
dagang.3 Pendapat ini serentak menegaskan argument Baumer dan
Poindexter yang menyatakan, bahwa: arbitration requirements are
most commonly part of contract , dimana arbitrase dimaknai
sebagai a process through which generally binding resolution of
disputes are imposed by disintegrated parties (not courts).4
Di Indonesia, dasar hukum yang mengatur kedudukan arbitrase
termuat dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(UU AAPS). Arbitrase, sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 UU
AAPS, adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sementara,
Perjanjian arbitrase, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3
UU AAPS, adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri
yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Salah satu isu hukum yang menjadi perhatian penulis dalam
artikel ini sehubungan dengan adanya pengaturan arbitrase di
Indonesia dalam beleid tersebut adalah mengenai pengakuan dan
pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional, dimana wewenangnya
ada pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 65 UU AAPS, yang menurut Pasal 66 huruf c UU AAPS
hanya dapat di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak

3Huala Adolf, DASAR-DASAR, PRINSIP & FILOSOFI ARBITRASE, Cetakan ke-2,


(Bandung: Keni Media, 2015), hlm. 1.
4David L. Baumer & J.C. Poindexter, The Legal Environment of Business in the
Information Age (New York: McGraw-Hill/Irwin, 2004), hlm. 100.

2
bertentangan dengan ketertiban umum.5 Dalam beberapa kasus
ditemukan bahwa penerapan asas ketertiban umum menjadi alasan
pengadilan menolak pemberian exequatur putusan arbitrase
internasional. Karena itu, penulis mengangkat tema tentang: Analisis
Yuridis Penerapan Asas Ketertiban Umum Dalam Penolakan
Pemberian Exequatur Putusan Arbitrase Internasional di
Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, melalui tulisan ini penulis
hendak membuat analisis yuridis mengenai penerapan asas ketertiban
umum dalam penolakan pemberian exequatur putusan arbitrase
internasional di Indonesia. Oleh karena itu, penulis akan menjawab
sejumlah pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan hukum tentang arbitrase di Indonesia?
2. Bagaimana kedudukan hukum Putusan Arbitrasi internasional di
Indonesia?
3. Bagaimana landasan hukum penolakan pemberian pemberian
exequatur putusan arbitrase internasional di Indonesia?
4. Bagaimana dampak yuridis penerapan asas ketertiban umum
dalam penolakan pemberian exequatur Putusan Arbitrasi
internasional di Indonesia?

5Berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU AAPS, Putusan Arbitrase Internasional adalah


putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar
wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau
arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap
sebagai suatu putusan arbitrase internasional.

3
2. ANALISIS
A. Pengaturan Hukum tentang Arbitrase di Indonesia
Keberadaan lembaga arbitrase dan pengaturan hukum
terhadapnya bukanlah hal yang sama sekali baru dalam sistem hukum
Indonesia. Sebelum lahirnya UU AAPS, Pasal 615 sampai dengan
Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtsvoerdering, Staatblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen
Indonesia yang Diperbaharui (Het Herzeine Indonesisch Reglement,
Staatblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar
Jawa dan Madura (Rechts-reglement Builengewesten, Staatblad
1927:227) menjadi dasar hukum untuk perkara-perkara yang para
pihaknya memilih lembaga arbitrase sebagai tempat untuk
menyelesaikan permasalahannya.6 Namun, ketentuan-ketentuan
tersebut tidak berlaku lagi karena tidak sesuai dengan perkembangan
dunia usaha dan hukum pada umumnya dan oleh karena itu telah
diganti UU AAPS.7
Ada tiga pertimbangan diterbitkannya UU AAPS, yaitu:
a. bahwa berdasarkan peraturan-peraturan perundangan yang
berlaku, penyelesaian sengketa perdata, di samping dapat
diajukan ke pengadilan umum juga terbuka kemungkinan
melalui arbitrase penyelesaian sengketa;
b. bahwa peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase tidak sesuai dengan
perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan b, perlu membentuk undang-undang
tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

6Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternative Penyelesaian


Sengketa Ed. 1 Cet. 2 (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2014), hlm. 316-317.
7Bdk. Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 10

(Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2014), hlm. 143.

4
Menurut Huala Adolf, penyelesaian sengketa melalui arbitrase
hanya dapat terjadi atau terlaksana apabila para pihak telah sepakat
untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya kepada arbitrase.
Kesepakatan para pihak ini harus tercantum dalam klausul arbitrase di
dalam kontrak. Klausul arbitrase memberikan kewenangan atau
kompetensi absolut kepada arbitrase. Pasal 3 UU AAPS menegaskan
kewenangan ini bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase. Selain itu, Pasal 11 UU AAPS menegaskan pula
kewenangan badan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa.8
Menurut Salim H.S., bentuk klausula perjanjian arbitrase dibagi
dua macam, yaitu pactum de compromittendo dan akta kompromis.
Yang dimaksud dengan pactum de compromittendo adalah perjanjian
arbitrase yang dibuat sebelum terjadinya perselisihan. Pactum de
compromittendo ini biasa juga dikenal dengan istilah klausula arbitrase.
Isi klausula arbitrase ini bahwa para pihak menyetujui suatu sengketa
yang terjadi atau yang akan terjadi di antara mereka untuk diselesaikan
melalui arbitrase (Pasal 7 UU AAPS).9 Sementara yang dimaksud
dengan akta kompromis adalah suatu akta yang berisi perjanjian
arbitrase yang dibuat oleh para pihak setelah terjadinya sengketa.
Perjanjian arbitrase dibuat dalam Akta Notaris (Pasal 9 ayat (1) dan
ayat (2) UU AAPS).

8Huala Adolf, Perancangan Kontrak Internasional, Cet. 1 (Bandung: Keni Media,


2011), hlm. 99.
9Bdk. Salim H.S., op.cit., hlm. 146.

5
B. Kedudukan Hukum Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional di Indonesia
Sebelum mengulas kedudukan hukum putusan arbitrase
internasional di Indonesia, perlu dipahami terlebih dahulu bagaimana
menentukan dan mengkualifikasikan apakah sebuah putusan
merupakan putusan arbitrase internasional dan putusan arbitrase
nasional. Dalam menentukan kualifikasi suatu putusan arbitrase
termasuk dalam putusan arbitrase nasional atau internasional, UU
Arbitrase menganut asas teritorial.10
Salah satu materi penting dalam UU AAPS adalah putusan
arbitrase internasional, yang didefinisikan sebagai: Putusan yang
dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di
luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum
Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase
internasional. Dari definisi tersebut, dapat dipahami, jika suatu majelis
arbitrase berisikan arbiter asing, namun putusan dijatuhkan di
Indonesia, maka putusan arbitrase tersebut tetaplah merupakan
putusan arbitrase nasional.11
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia
didasarkan pada ketentuan Pasal 65 UU AAPS yang memberi
kewenangan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam

10Dimana kedudukan suatu putusan arbitrase ditentukan dari tempat dimana putusan
arbitrase tersebut dijatuhkan. Selama putusan arbitrase dijatuhkan dalam wilayah
negara Republik Indonesia maka kedudukannya sebagai putusan arbitrase nasional,
walaupun para pihaknya berbeda kewarganegaraan. Ketika putusan arbitrase
tersebut dijatuhkan di luar wilayah Negara Republik Indonesia, maka kedudukannya
menjadi putusan arbitrase internasional, walaupun para pihaknya sama-sama
berkewarganegaraan Indonesia. BP Lawyers, Kedudukan Putusan Arbitrase
Nasional dan Internasional, 31 Oktober 2016 (online), diakses dari
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt58172539bb270/kedudukan-putusan-
arbitrase-nasional-dan-internasional pada 5 April 2017
11BP Lawyers, Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, 27

Agustus 2016 (online), diakses dari http://blog.bplawyers.co.id/pelaksanaan-putusan-


arbitrase-internasional-di-indonesia/ pada 5 April 2017.

6
menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan abitrase
internasional di Indonesia. Agar suatu putusan arbitrase internasional
diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia,
maka putusan tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat
pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral,
mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional (asas resiprositas).
2. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam
huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum
perdagangan.
3. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam
huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada
putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
4. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia
setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat; dan
5. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia
setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.

Selanjutnya, untuk permohonan pelaksanaan putusan arbitrase


internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan
didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.

7
C. Landasan Hukum Penolakan Pemberian Pemberian
Exequatur Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia
Dengan disahkannya UU AAPS pada 12 Agustus 1999,
pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia secara
limitatif diatur dalam UU AAPS dalam Bab IV tentang Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Bagian Kedua tentang Arbitrase Internasional (Pasal
65 69 UU AAPS). Sebelum lahirnya UU AAPS, Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 1990 merupakan instrument yang menjadi
pedoman tentang tata cara pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di
Indonesia (Perma 1/1990).12
Pada Pasal 3 Perma 1/1990 diatur sejumlah syarat yang harus
dipenuhi dalam rangka diakui dan dilaksanakannya suatu Putusan
Arbitrase Asing di dalam wilayah hukum Republik Indonesia:
(1) Putusan ini dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun
perorangan di suatu Negara yang dengan Negara Indonesia ataupun
bersama-sama dengan Negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi
internasional perihal pengakuan serta Pelaksanaan Arbitrase Asing.
Pelaksanaan didasarkan atas azas timbal balik (resiprositas).
(2) Putusan-putusan Arbitrase tersebut dalam ayat (1) di atas hanyalah
terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum
Indonesia termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang.
(3) Putusan-putusan Arbitrase Asing tersebut dalam ayat (1) di atas
hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan-putusan
yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

12Perma 1/1990 menjadi suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang


secara substansial mengisi kekosongan hukum Indonesia terkait ketentuan-
ketentuan hukum acara perdata Indonesia sebagaimana terdapat dalam Reglemen
Indonesia yang diperbaharui (Stbl. 1914 No. 44), Reglemen Daerah-daerah Luar
Jawa dan Madura (S. 1927-227) maupun ketentuan-ketentuan Reglement op de
Rechtsvordering (S. 1847-52 yo 1849-63) yang tidak memuat ketentuan mengenai
pelaksanaan suatu putusan Arbritase Asing dan merupakan tanggapan atas terbitnya
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981
tentang Ratifikasi "Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Awards.

8
(4) Suatu putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan di Indonesia
setelah memperoleh Exequatur dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
Pada Pasal 65 UU AAPS secara tegas dinyatakan bahwa yang
berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional di Indonesia adalah Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Berkenaan dengan ketentuan tersebut, agar dapat dilaksanakan
di Indonesia, suatu Putusan Arbitrase Internasional wajib memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 66 UU AAPS, yakni:
a. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat
pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral,
mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional (asas resiprositas).
b. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam
huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum
perdagangan.
c. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam
huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada
putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia
setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat; dan
e. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia
setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.

Merujuk pada syarat-syarat yang telah dikemukakan tersebut, tampak


bahwa kedua peraturan perundang-undangan ini, secara filosofis

9
mempunyai energi yang sama. Energi yang sama ini terletak pada
ketentuan mengenai tidak dapat dilaksanakannya suatu putusan
Arbitrase Asing/ Putusan Arbitrase Internasional apabila bertentangan
dengan ketertiban umum.

D. Penerapan Asas Ketertiban Umum Dalam Penolakan


Pemberian Exequatur Putusan Arbitrase Internasional di
Indonesia
Dalam praktik ditemukan bahwa proses eksekusi putusan
arbitrase internasional tidak dapat dilaksanakan dengan alasan
putusan arbitrase bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia.
Dalam Pasal 66 huruf c UU AAPS dinyatakan bahwa putusan arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di
Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum.
Contoh kasus perihal penerapan asas ketertiban umum dalam
penolakan pemberian exequatur putusan arbitrase internasional di
Indonesia misalnya adalah Kasus antara E.D & F. Man Sugar, Ltd
melawan Jani Harjanto pada tahun 1991. Kasus ini berawal dari
perjanjian impor gula dari London ke Indonesia oleh Jani Harjanto
dengan E.D & F.Man Sugar, Ltd. Ketika E.D & F.Man Sugar, Ltd telah
memenuhi prestasinya, Jani Harjanto baru mengetahui bahwa impor
gula harus dilakukan BULOG berdasarkan Kepres Nomor 43 Tahun
1971 juncto Kepres Nomor 39 tahun 1978. Kemudian Jani Harjanto
mengajukan pembatalan perjanjian dengan alasan perjanjian impor
gula tersebut melanggar ketertiban umum, yaitu melanggar dua
keppres tersebut.
Ketertiban umum memiliki makna luas dan bisa dianggap
mengandung arti mendua (ambiguity). Dalam praktik telah timbul
berbagai penafsiran tentang arti dan makna ketertiban umum antara

10
lain Penafsiran Sempit yaitu dengan demikian yang dimaksud
dengan pelanggar/bertentangan dengan ketertiban umumhanya
terbatas pada pelanggaran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan saja oleh karena itu, putusan arbitrase yang
bertentangan/melanggar ketertiban umum, ialah putusan yang
melanggar/bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan Indonesia.
Sedangkan Penafsiran Luas adalah Penafsiran luas tidak
membatasi lingkup dan makna ketertiban umum pada ketentuan
hukum positif saja ,Tetapi meliputi segala nilai-nilai dan prinsip-
prinsip hukum yang hidup dan tumbuh dalam kesadaran
masyarakat, Termasuk ke dalamnya nilai-nilai kepatutan dan prinsip
keadilan umum (general justice rinciple), Oleh karena itu, putusan
arbitrase asing yang melanggar/bertentangan dengan nilai - nilai
dan prinsip-prinsip yang hidup dalam kesadaran dan pergaulan
lalu lintas masyarakat atau yang melanggar kepatutan dan
keadilan, tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.13
Secara etimologis, ketertiban umum dalam bahasa Belanda
Openbare Orde dan dalam bahasa Perancis Ordre Public,
sedangkan dalam bahasa Anglo Saxon disebut sebagai Public
Policy. Ketertiban umum ini menjadi bagian yang penting dalam
HPI karena dalam memberlakukan hukum asing, suatu negara
terikat dengan kepentingan nasional negaranya,sehingga hukum
asing tersebut tidak harus diberlakukan oleh suatu negara, ketika
dianggap bertentangan dengan ketertiban umum. Jadi, ketertiban
umum ini merupakan filter terhadap pemberlakuan hukum asing di
suatu Negara.14

13Imelda Onibala, Ketertiban Umum Dalam Perspektif Hukum Perdata Internasional


dalam Jurnal Hukum Vol. I/No.2/April-Juni/2013 Edisi Khusus, hlm. 124.
14Sidargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (Bandung:

Binacipta, 1977), hlm. 133.

11
Menurut Hakim Agung Sudrajat Dimyati, pemahaman mengenai
defenisi ketertiban umum menjadi sangat penting mengingat hal itu
menjadi salah satu syarat agar suatu putusan arbitrase dapat diakui
dan dilaksanakan di wilayah negara Republik Indonesia. Menurutnya,
ketertiban umum harus dipergunakan sebagai suatu perisai, rem
darurat dan juga sebagai benteng pertahanan terakhir dalam usaha
menjaga agar tidak terjadi pelanggaran terhadap sendi-sendi asasi dari
system hukum dan tata susula masyarakat atas pelaksanaan suatu
perjanjian arbitrase internasional di Indonesia.15

3. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
penerapan asas ketertiban umum dalam penolakan pemberian
exequatur putusan arbitrase internasional di Indonesia dapat terjadi
sebab ternyata putusan arbitrase tersebut bertentangan dengan
ketertiban umum di negara Indonesia. Secara sempit, ketertiban umum
itu menyangkut ketentuan hukum positif atau terbatas pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Namun, secara luas, ketertiban
umum tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum positif dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia,
melainkan sangat berkorelasi dan meliputi nilai-nilai dan prinsip hukum
yang hidup dan tumbuh dalam kesadaran masyarakat, termasuk di
dalamnya nilai-nilai kepatutan dan prinsip keadilan umum (general
justice principle).

15
Agung Sudrajat Dimyati, Proses Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional (Makalah
Presentasi dalam Seminar LPP Pertamina, 05 April 2017)

12
DAFTAR PUSTAKA

Frans H Winata. Prinsip Proses dan Praktek Arbitrase di Indonesia


Yang Perlu Diselaraskan Dengan Kaidah Internasional.
NASION: Jurnal Pusat Pengkajian Strategi Nasional, Volume 12
Nomor 1 2016.

Huala Adolf. DASAR-DASAR, PRINSIP & FILOSOFI ARBITRASE,


Cetakan ke-2, (Bandung: Keni Media, 2015).

David L. Baumer & J.C. Poindexter, The Legal Environment of


Business in the Information Age (New York: McGraw-Hill/Irwin,
2004).

Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternative


Penyelesaian Sengketa Ed. 1 Cet. 2 (Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika, 2014).

Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,


Cet. 10 (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2014).

Huala Adolf, Perancangan Kontrak Internasional, Cet. 1 (Bandung:


Keni Media, 2011).

BP Lawyers, Kedudukan Putusan Arbitrase Nasional dan


Internasional, 31 Oktober 2016 (online), diakses dari
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt58172539bb270/kedu
dukan-putusan-arbitrase-nasional-dan-internasional pada 5 April
2017

13
BP Lawyers, Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di
Indonesia, 27 Agustus 2016 (online), diakses dari
http://blog.bplawyers.co.id/pelaksanaan-putusan-arbitrase-
internasional-di-indonesia/ pada 5 April 2017.

Imelda Onibala, Ketertiban Umum Dalam Perspektif Hukum Perdata


Internasional dalam Jurnal Hukum Vol. I/No.2/April-Juni/2013
Edisi Khusus.

Sidargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional


Indonesia (Bandung: Binacipta, 1977).

Agung Sudrajat Dimyati, Proses Eksekusi Putusan Arbitrase


Internasional (Makalah Presentasi dalam Seminar LPP
Pertamina, 05 April 2017).

14

Anda mungkin juga menyukai