Anda di halaman 1dari 10

Eksekutorial Arbitrase Internasional

Oleh:
Susan Himawan, S.H., M.A. & Associates
A. Putusan Arbitrase Internasional
1. Perbedaan Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional
Merujuk pada ketentuan Pasal 1 Ayat (9) UU No. 30/1999 secara a con
trario dapat definisikan bahwa pengertian dari Putusan Nasional adalah putu
san yang dijatuhkan oleh lembaga atau arbiter yang berada di wilayah huku
m Republik Indonesia. Sedangkan Putusan Arbitrase Internasional masih dal
am ketentuan ayat tersebut menerangkan bahwa Putusan Arbitrase Internasi
onal adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbit
er perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu
lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum
Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.

Disisilain, dalam UNCITRAL menyatakan arbitrase dikatakan internasi


onal jika:1
a. The parties to an arbitration agreement have, at the time of the conclusion
of that agreement, their place of business in different states; or
b. One the following places is situated outside the state in which the parties h
ave their places of business;
(i). the place of arbitration if determined in, or pursuant to, the arbitration
agreement;
(ii). Any place where a substantial part of the obligations of the commercia
l relationship is to be performed or the place with which the subject-m
atter of the dispute is most closely connected; or
c. The parties have expressly agreed that the subject matter of the arbitratio
n agreement relates to more than one country.

Dari pengertian tersebut diatas maka dapat diketahui jika parameter y


ang menentukan suatu putusan arbitrase dapat dikategorikan sebagai putusa
n arbitrase internasional maka harus didalamnya termasuk unsur yang terdir
i dari: perbedaan negara tempat usaha para pihak berlangsung, tempat arbitr
ase atau kewajiban utama ataupun objek sengketa paling dekat hubungannya
berada di luar negara tempat usaha para pihak dan para pihak menyatakan p
ermasalahan pihak dari perjanjian arbitrase melibatkan lebih dari satu negar
a. Sedangkan dalam Konvensi NewYor 1958 putusan arbitrase dituliskan: “ar
bitral awards made in the territory of a state other than the state where the re
cognition and enforcement of such awards are sought”. 2 Jika dilihat pengertian
yang terakhir ini, didapati hanya memfokuskan pada sifat pengakuan dan pel
aksanaan putusan arbitrase internasional tersebut. Dibandingkan dengan def
inisi dari UNCITRAL tentu terdapat perbedaan yang sangat mendasar, karena
1
Sasshia Diandra Anindita, Prita Amalia. Klasifikasi Putusan Arbitrase Internasional Menurut Hukum Indonesia
Ditinjau dari Hukum Internasional, Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol 2, No 1, 2017, Hlm. 45.
2
Ibid.
putusan arbitrase internasional dalam UNICITRAL memberi perhatian yang l
ebih pada prinsip kebangsaan, domisili atau tempat tinggal para pihak, bahka
n tempat dimana usaha para pihak berada.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa UU Arbitrase & APS di Indo


nesia memiliki pengertian yang terlampu sempit atau mempersempit penger
tian putusan arbitrase internasional, karena tidak mempertimbangkan unsur
sebagaimana yang telah disebutkan pada UNCITRAL Law. Arbitrase Indonesi
a tersandera oleh ketentuan Pasal 66 UU No. 30/1999 yang pada prinsipnya
hanya mengedepankan prinsip pengakuan, tidak bertentangan dengan ketert
iban umum dan harus memiliki perjanjian kerjasama degan Negara Indonesi
a. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, bagaimana jika para pihak yan
g bersengketa memiliki basis tempat usaha dan subjek berada pada negara y
ang berbeda-beda, bahkan kewajiban usaha harus dilakukan lintas negara, jik
a terjadi sengekta dan dibawa ke arbiter di Indonesia apakah kemudian putu
san yang dijatuhkan oleh arbiter Indonesia masuk dalam klasifikasi putusan
nasional atau internasional? Lebih daripada itu, sudah seharusnya UU Arbitr
ase & APS dilakukan revisi dan perubahan substansi yang memberi kepastian
hukum kepada masyarakat dunia khususnya para pelaku usaha/pembisnis.

Menjembatani perbedaan dan problematika tersebut diatas, sejatinya


baik itu putusan arbitrase nasional atau putusan arbitrase internasional masi
ng-masing memiliki sifat mengikat secara hukum dan final, hanya tentu saja s
etiap negara-negara memiliki kedaulatan dalam menentukan arah hukumnya
atau yang dikenal dengan asas kebangsaan atau asas territory.

2. Hukum Yang digunakan dalam Putusan Arbitrase Internasional


Mengenai hukum yang berlaku terhadap penyelesaian dan pelaksanaa
n putusan arbitrase khususnya arbitrase internasional maka perlu kemudian
untuk memberi perhatian pada syarat utama suatu sengketa menjadi yuridik
si atau wewenang lembaga arbitrase, yaitu dengan merujuk para perjanjian p
okoknya. Dalam kontrak/perjanjian bisnis biasanya akan ditentukan suatu kl
ausul mengenai tempat diselesaikannya perselisihan, baik itu lewat lembaga
pengadilan (regular court) atau melalui lembaga arbitrase, disini maka dapat
dikatakan bahwa yang menjadi rujukan hukum yang digunakan adalah kesep
akatan atau perjanjian para pihak itu sendiri, atau jika memang tidak ditentu
kan demikian, maka berlakulah asas lex loci contractus dengan artian bahwa t
erhadap perjanjian-perjanjian yang mungkin melibatkan para pihak yang ber
domisili pada negara berbeda maka berlakulah hukum dimana tempat perjan
jian tersebut dibuat.

Selain dari pada hal yang disebutkan diatas suatu pengakuan, kerjasa
ma antar negara dan konvensi menjadi sangat penting dalam hal menentuka
n aturan hukum mana yang akan digunakan dalam memeriksa perkara arbitr
ase internasional. Merujuk pada Article II Clause Convention on the Recogniti
on and Enforcement of Foreign Arbitral Awards New York 1958:
Clause 1. Each Contracting State shall recognize an agreement in writing unde
r which the parties undertake to submit to arbitration all or any differences wh
ich have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal r
elationship, whether contractual or not, concerning a subject matter capable of
settlement by arbitration.
Clause 2. The term “agreement in writing” shall include an arbitral clause in a c
ontract or an arbitration agreement, signed by the parties or contained in an e
xchange of letters or telegrams.
Clause 3. The court of a Contracting State, when seized of an action in a matter
in respect of which the parties have made an agreement within the meaning of
this article, shall, at the request of one of the parties, refer the parties to arbitra
tion, unless it finds that the said agreement is null and void, inoperative or inca
pable of being performed.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka ketentuan hukum yang diguna


kan dalam memeriksa perkara arbitrase internasional harus menghargai dan
memberi legitimasi kuat atas dasar kesepakatan para pihak pada arbitrase m
ana perselisihan yang timbul akan diselesaikan oleh karena lembaga arbitras
e yang ditunjuk tidak boleh menolak dan harus mengakui perkara tersebut m
enjadi bagian dari yuridiksi dan kewenangannya. Dengan demikian, hukum y
ang berlaku adalah hukum dimana lembaga arbitrase yang ditunjuk para pih
ak tersebut berada dan/atau terhadap pelaksanaanya tunduk pada konvensi
yang telah diratifikasi oleh negara tersebut.

Hal yang serupa diatur dalam Article 28, Article 45, and Article 48 on
UNICITRAL LAW yang mana dalam ketentuan tersebut bahwa lembaga arbitr
ase harus selaras dalam memeriksa perkara dengan hukum yang telah disepa
kati oleh para pihak, dan wajib diberikan legitimasi atas pengakuan dan pela
ksanaan putusan tersebut.
Dengan demikian, berdasarkan seluruh uraian tersebut diatas maka h
ukum yang diterapkan dalam pemeriksaan perkara arbitrase internasional te
rgantung pada asas territory dan dan asas lex loci contractus.

B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia


Mengenai pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia dala
m UU No 30/1999 menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang ma
na putusan arbitrase asing itu diserahkan dan didaftarkan pada Kepaniteraan Pe
ngadilan Negeri Jakarta Pusat hal ini sebagaimana telah diatur dalam ketentuan P
asal 67 UU No. 30/1999. Disisilain, terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusa
n arbitrase asing menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk me
mberikan keputusan apakah putusan arbitrase asing tersebut dapat dilaksanakan
di wilayah hukum Republik Indonesia.

Lebih lanjut, putusan arbitrase internasional/asing hanya dapat diakui da


n dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia apabila memenuhi sy
arat-syarat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 66 UU No. 30/1999 yaitu:
a) Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase
di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik se
cara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Pu
tusan Arbitrase Internasional;
b) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbat
as pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam r
uang lingkup hukum perdagangan;
c) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya
dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentang
an dengan ketertiban umum;
d) Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah mem
peroleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang m
enyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengket
a, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah
Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan N
egeri Jakarta Pusat.

Selain dari pada itu, Mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasiona


l harus diakui masih terdapat sejumlah problematika khususnya mengenai meka
nisme pelaksanaannya yang dinilai tidak leluasa. Sebagaimana diatur Pasal 66 UU
No. 30/1999 bahwa putusan arbitrase internasional yang diakui harus memenuhi
syarat sebagai berikut:

a) Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitras


e di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, ba
ik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaa
n Putusan Arbitrase Internasional; [Kritik: Ketentuan pasal ini dipandang m
embatas pelaksanaan putusan internasional karena dibatasi dengan keharus
an adanya ikatan perjanjian baik bilateral/multilateral dan wajib diakui terle
bih dahulu. Keluar dari perdebatan jalinan perjanjian antar negara tersebut, s
udah seharusnya diakomidir pula putusan arbitrase internasional yang tidak
menjalin kerjasama dengan Negara Indonesia demi mengedepankan keadilan
hukum. Bagaimana misalnya jika ada seorang warga negara Indonesia yang d
imenangkan oleh putusan arbitrase internasional yang pelaksanaan putusan
nya ada di Indonesia, namun dianulir karena negara Indonesia tidak mempun
yai kerjasama dan pengakuan terhadap putusan arbitrase negara tersebut. A
pakah kemudian hak hukum dan pengakuan dimata hukum orang yang dime
nangkan itu tidak diakui? Sedangkan orang tersebut merupakan warga negar
a Indonesia yang hak-haknya dilindungi oleh Konstitusi].
b) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbat
as pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam
ruang lingkup hukum perdagangan; [Kritik: Undang-Undang No. 30/1999 se
harusnya tidak membatasi ruang lingkupnya terbatas pada hukum perdagan
gan, sehingga dipandang perlu kemudian untuk mengakomodir ruang lingku
p bentuk/jenis bisnis lainnya yang dari waktu kewaktu semakin berkemban
g].
c) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya
dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentan
gan dengan ketertiban umum; [Kritik: Batasan ini dipandang terlalu mengad
a-ada, karena makna “ketertiban umum” sangatlah multitafsir dan masih me
njadi perdebatan para pakar ketertiban hukum seperti apa yang dimaksud. O
leh karenanya, perlu kemudian untuk menspesifikasikan makna dari batasan
ketertiban umum / public policy tersebut.]

Disisilain, problematika lainnya dapat dijumpai pada ketentuan Pasal


67 Ayat (1) UU No.30/1999 yang menyatakan bahwa: “Permohonan pelaksan
aan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut disera
hkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadil
an Negeri Jakarta Pusat”. Hal ini dipandang memunculkan permasalahan bar
u yaitu mengenai permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
hanya dapat didaftarkan oleh arbiter/kuasanya, artinya arbiter negara lain m
emiliki kewajiban untuk mendaftarkan putusan itu sendiri bukan para pihak,
padahal yang memiliki kepentingan mengenai pelaksanaanya adalah kebutuh
an para pihak dan bukan majelis arbiter. Jika harus demikian, maka arbiter m
enanggung biaya-biaya untuk pendaftaran putusan tersebut dan mewajibkan
dirinya untuk hadir kenegara Indonesia, hal ini tentu sangat merugikan bagi
arbiter/kuasanya.

C. Penolakan dan Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional


Penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional pada dasarnya berbeda
dengan pembatalan putusan arbitrase internasional. Perbedaan tersebut dapat
dilihat berdasarkan konsekuensi atau akibat hukum yang ditimbulkannya.
Perbedaan antara penolakan dan pembatalan juga dapat dilihat berdasarkan
jurisdiksi primer dan jurisdiksi sekunder dari putusan arbitrase yang telah dibuat.
Pembatalan putusan arbitrase dapat dilakukan oleh tempat jurisdiksi primer dari
putusan arbitrase dibuat. Sedangkan penolakan putusan arbitrase asing dilakukan
oleh jurisdiksi sekunder putusan arbitrase dibuat.3

Perbedaan antara penolakan dan pembatalan putusan arbitrase internasional


juga dapat dipahami sebagai berikut:4
1. Berdasarkan proses dan alasan untuk pembatalan putusan arbitrase diatur
dalam peraturan perundang-undangan suatu negara dan tidak diatur dalam
sebuah perjanjian internasional, sedangkan proses dan alasan penolakan
putusan arbitrase asing justru diatur dalam perjanjian internasional yang
kemudian ditransformasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan
nasional.

3
SUdargo Gautama, 2004, Arbitrse Luar Negeri dan Pemakaian Hukum Indonesia, Bandung, Penerbit PT Citra
Aditya Bakti, Hal. 73
4
Hikmahanto Juwana, 2002, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Nasional, Jakarta:
Jurnal Hukum Bisnis Vol 21, Hal. 67
2. Berdasarkan konsekuensi hukumnya, pembatalan putusan arbitrase berakibat
pada dinafikannya atau seolah tidak pernah dibuat suatu putusan arbitrase dan
pengadilan dapat meminta agar para pihak mengulang proses arbitrase.

Pembatalan putusan arbitrase tidak membawa konsekuensi pada pengadilan


yang membatalkan untuk memiliki wewenang memeriksa dan memutus sengketa.
Sementara itu, penolakan putusan arbitrase oleh pengadilan, tidak berarti
menafikan putusan tersebut. Penolakan mempunyai konsekuensi tidak dapatnya
putusan arbitrase dilaksanakan di yurisdiksi pengadilan yang telah menolaknya.
Apabila ternyata di negara lain terdapat aset dari pihak yang dikalahkan, pihak
yang dimenangkan masih dapat meminta eksekusi di pengadilan negara tersebut. 5

1. Penolakan Putusan Arbitrase Internasional


Berdasarkan konvensi New York 1958, para pihak diberikan kewenangan
untuk mengajukan penolakan terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan
Arbitrase Internasional. Pada prinsipnya untuk mengajukan penolakan
terhadap putusan arbitrase internasional tersebut, pihak yang mengajukan
harus menyampaikan dan membuktikan alasan-alasan penolakan tersebut, yang
mana dalam Konvensi New York 1958 telah membatasi alasan-alasan yang
dapat diterima dalam mengajukan penolakan, sebagai berikut:6
a) Bahwa para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut ternyata menurut
hukum nasionalnya tidak mampu, atau menurut hukum yang mengatur
perjanjian tersebut dibuat, apabila tidak ada petunujuk hukum mana yang
berlaku.
b) Bahwa pihak terhadap mana putusan diminta tidak diberikan
pemberitahuan yang sepatutnya tentang penunjukan arbitrator atau
persidangan arbitrasae atau tidak dapat mengajukan kasusnya.
c) Bahwa putusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang
diserahkan untuk diputuskan oleh arbitrase, atau putusan tersebut
mengandung hal-hal yang berada diluar dari hal-hal yang seharusnya
diputuskan.
d) Bahwa komposisi wewenang arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai
dengan persetujuan para pihak, atau tidak sesuai dengan hukum nasional
tempat arbitrase berlangsung.
e) Bahwa putusan tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau
dikesampingkan atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara
dimana putusan itu dibuat.

Penolakan terhadap putusan arbitrase internasional dapat juga dilakukan


oleh pejabat yang berwenang tanpa harus adanya permohonan dari pihak yang
bersengketa atau pihak yang kalah apabila berdasarkan penilaian pejabat
tersebut jika putusan arbitrase internasional mengandung pelanggaran

5
Ibid.
6
Article V Paragraph (1) Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New
York, 1958)
terhadap sistem hukum di negara tempat putusan arbitrase internasional
tersebut di buat.7

Sementara itu, ICSID juga memberikan kesempatan kepada pihak untuk


mengajukan penolakan terhadap putusan arbitrase internasional dengan
alasan-alasan yang dapat diterima sebagai berikut:8
a) Pembentukan Majelis Arbitrase Tidak Tepat
Pembentukan majelis arbitrase yang memutus sengketa tidak dilakukan
menurut tata cara yang tepat, pembentukannya mengandung pelnggaran
terhadap ketentuan yang dibenarkan. Apabila penunjukan arbiter yang
duduk didalam majelis arbitrase yang memutus sengketa bertentangan
dengan penggarisan tata cara pembentukan yang ditentukan dalam pasal 37
s/d Pasal 40 ICSID, maka dengan sendirinya putusan yang diambilnya tidak
sah.

b) Majelis Arbitrase Melampaui Batas Kewenangannya


Majelis arbitrase dalam mengambil putusan atas sengketa, nyata-nyata
melampaui batas kewenangan (the tribunal has manifestly exceeded its
power). Suatu putusan dianggap mengandung cacat berupa melampaui
batas kewenangan majelsi arbitrase apabila:

1) Telah diputuskan atau dikabulkan sesuatu hal yang sama sekali tidak
dituntut dalam permohonan oleh pihak pemohon, maupun dalam
counter claim (rekonpensi) oleh pihak termohon; atau
2) apabila putusan telah mengabulkan melebihi dari apa yang dituntut
dalam permohonan atau counter claim (ultra petitum partitum)

c) Salah Seorang Anggota Arbiter Melakukan Kecurangan Pembatalan Putusan


Arbitrase Internasional
Salah seorang anggota arbiter yang duduk dalam mahkamah pemutus
melakukan korupsi. Pengertian korupsi disini bisa diartikan adanya suap,
kecurangan atau itikad jahat.

d) Penyimpangan yang Serius pada Tata Cara Pemeriksaan


Yang dimaksud dengan putusan yang mengandung penyimpangan yang
serius dan fundamental, apabila proses pemeriksaan melanggar ketentuan
tata tertib beracara yang ditentukan hukum

e) Tidak Cukup Dasar Pertimbangan Putusan


Majelis arbitrase gagal atau tidak mampu mengungkapkan dan
menjelaskan dasar-dasar alasan pertimbangan hukum dalam putusan.
Motivasi pertimbangan putusan tidak ada atau tidak cukup. Putusan hanya

7
Article V Paragraph (2) Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New
York, 1958)
8
Article 52 Paragraph (1) International Centre for Settlement of Investment Dsputes (ICSID) Convention,
Regulations and Rules.
berisi kesimpulan yang tidak jelas dasar alasannya, dari mana kesimpulan
itu ditarik.

2. Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional


Putusan arbitrase merupakan putusan yang terakhir dan mengikat (final
and binding). Oleh karenanya, dalam proses pembatalan putusan arbitrase,
pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa pokok perkara yang
dipersengketakan oleh para pihak, melainkan kewenangan pengadilan hanya
terbatas pada kewenangan untuk memeriksa keabsahan dari segi prosedur
pengambilan putusan arbitrase, antara lain proses pemilihan arbiter hingga
pemberlakuan hukum yang dipilih oleh para pihak dalam penyelesaian
sengketa. Alasan-alasan sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase lazimnya
diatur dalam hukum arbitrase dari suatu Negara.9

Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional diatur dalam pasal 70 Undang-


Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang menyatakan terhadap putusan arbitrase para pihak dapat
mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga
mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.

b) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,


yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau
c) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional haruslah sangat hati-hati


mengingat akibat dari pembatalan tersebut akan melahirkan keraguan terhadap
hukum arbitrase di Indonesia baik di mata Internasional maupun nasional.
Sehingga patutlah kehati-hatian dalam membatalkan Putusan tersebut dengan
batasan-batasan, pertama, pembatalan hanya dapat dilakukan apabila ada hal-
hal yang sifatnya sangat teramat fundamental telah dilanggar oleh suatu
arbitrase. Kedua, pembatalan menimbulkan atau melahirkan dampak negatif
yang sangat fundamental pula.10

D. Asas Ketertiban Umum


Asas ketertiban umum menjadi salah satu alasan penolakan pelaksanaan
putusan arbitrase Internasional di suatu negara. Konteks Indonesia tercantum
dalam pasal 66 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selain itu adanya asas ketertiban umum yang
berkenaan dengan alasan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase ini pun telah

9
Hikmahanto Juwana, Op.Cit, Hal. 3
10
Tri Ariprabowo dan R. Nazriyah, Pembatalan Putusan arbitrase oleh Pengadilan dalam Putusan Mahkaah
Konsitutsi Nomor 15/PUU-XII/2014, Jurnal Konstitusi, Volume 14, Nomor 4, Desember 2017, Hal. 723
diatur di dalam Konvensi New York 1958 pada Pasal V ayat (2) huruf b yang
menyatakan “The recognition or enforcement of the award would be contrary to the
public policy of that country”

Ketertiban umum memiliki istilah yang berbeda-beda. Selain berbeda istilah,


definisi dari ketertiban umum pun berbeda antara satu negara dengan negara yang
lain. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh sistem negara yang dianut, falsafah dan
juga kondisi politik serta kepribadian bangsa.

Ketertiban umum memiliki makna luas dan bisa dianggap mengandung arti
mendua (ambiguity). Dalam praktik telah timbul berbagai penafsiran tentang arti
dan makna ketertiban umum. Menurut penafsiran sempit arti dan lingkup
ketertiban umum hanya terbatas pada ketentuan hukum positif saja. Dengan
demikian yang dimaksud dengan pelanggar/bertentangan dengan ketertiban
umum, hanya terbatas pada pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan saja. Oleh karena itu, putusan arbitrase yang bertentangan/melanggar
ketertiban umum, ialah putusan yang melanggar/ bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan Indonesia. Sedangkan dalam penafsiran luas tidak
membatasi lingkup dan makna ketertiban umum pada ketentuan hukum positif
saja, tetapi meliputi segala nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum yang hidup dan
tumbuh dalam kesadaran masyarakat termasuk ke dalamnya nilai-nilai kepatutan
dan prinsip keadilan umum (general justice principle). Oleh karena itu, putusan
arbitrase asing yang melanggar/bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-
prinsip yang hidup dalam kesadaran dan pergaulan lalu lintas masyarakat atau
yang melanggar kepatutan dan keadilan, tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.11

Selain itu, sesuatu dapat diakatakan bertentangan dengan ketertiban umum


suatu negara apabila didalamnya terkandung suatu hal tau keadaan yang
bertentangan dengan sendi-sendi dan nilai asasi sistem hukum dan kepentingan
nasional suatu bangsa.12

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa asas ketertiban


umum adalah ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan sendi-sendi hukum
nasional baik suatu hukum positif berupa perundang-undangan ataupun segala
nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum yang hidup dan tumbuh dalam kesadaran
masyarakat termasuk ke dalamnya nilai-nilai kepatutan dan prinsip keadilan
umum. sehingga segala bentuk hukum internasional tidak dapat diterapkan dalam
suatu negara apabila bertentangan dengan asas ketertiban umum di negara
tersebut.

11
Yahya Harahap, 2011, Diskusi Online Definsi Ketertiban Umum, dalam http://hukumonline.com
12
Sudargo Gautama, 1999, Undang-Undang Arbitrase Baru 1999, Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti, Hal. 2

Anda mungkin juga menyukai