Anda di halaman 1dari 7

Ringkasan Arbitrase

Nama : Iqbal Perdana


NIM : 1003101020204

Mata Kuliah :Hukum Penyelesaian Sengketa


Tugas Ringkasan

Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata Arbitrare (bahasa Latin) yang berarti
kekuasaan
untuk
menyelesaikan
sesuatu
perkara
menurut
kebijaksanaan. Definisi secara terminologi dikemukakan berbeda-beda
oleh para sarjana saat ini walaupun pada akhirnya mempunyai inti makna
yang sama.
Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau
pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan
persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan
yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih1.
H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses
pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti oleh
para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada
bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak2.
H.M.N. Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase
yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak
bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat
mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak
memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat
bagi kedua belah pihak.
Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus Pengadilan. Poin
penting yang membedakan Pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur
Pengadilan (judicial settlement) menggunakan satu peradilan permanen
atau standing court, sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal
yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut. Dalam arbitrase, arbitrator
bertindak sebagai hakim dalam mahkamah arbitrase, sebagaimana
hakim permanen, walaupun hanya untuk kasus yang sedang ditangani.
Menurut Frank Elkoury dan Edna Elkoury, arbitrase adalah suatu proses
yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang
ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan

1 Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung, 1992, hlm.1.


2 H. Priyatna Abdurrasyid, Penyelesaian Sengketa Komersial Nasional dan Internasional) di luar
Pengadilan, Makalah, September 1996, hlm.1.

pilihan mereka di mana keputusan berdasarkan dalil-dalil dalam perkara


tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan
tersebut secara final dan mengikat.
Di Indonesia, perangkat aturan mengenai arbitrase yakni UU No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1
angka 1 mendefinisikan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Blacks Law Dictionary juga memberikan definisi arbitrase sebagai a
method of dispute resolution involving one or more neutral third parties
who are usually agreed to by the disputing parties and whose decision is
binding, atau Arbitration is an arrangement for taking an abiding by the
judgement of selected persons in some disputed matter, instead of
carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the
formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation.
Dari berbagai pengertian arbitrase di atas, maka terdapat beberapa unsur
kesamaan, yaitu:
1.

Adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketasengketa, baik yang akan terjadi maupun telah terjadi kepada seorang
atau beberapa orang pihak ketiga di luar peradilan umum untuk
diputuskan;
2.

Penyelesaian sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang


menyangkut hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya,
khususnya di sini dalam bidang perdagangan industri dan
keuangan; dan
Putusan tersebut merupakan putusan akhir dan mengikat (final and
binding).

3.

Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:

Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis


yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de
compromitendo); atau
Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa (Akta Kompromis).

Historis Yuridis Arbitrase di Indonesia

Pasal II Aturan PeralihanUUD1945 Pasal II Aturan Peralihan UUD


1945 menentukan bahwa semua peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD
ini. Demikian pula halnya dengan HIR yang diundang pada zaman

Kolonial Hindia Belanda masih tetap berlaku, karena hingga saat ini
belum diadakan pengantinya yang baru sesuai dengan Peraturan
Peralihan UUD 1945 tersebut.

Pasal 377 HIR Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum


dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG yang menyatakan
bahwa : Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing
menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau
arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang
berlaku bagi orang Eropa. Sebagaimana dijelaskan di atas,
peraturan pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropa yang
dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah semua ketentuan tentang Acara
Perdata yang diatur dalam RV.

Pasal 615 s/d 651 RV Peraturan mengenai arbitrase dalam RV


tercantum dalam Buku ke Tiga Bab Pertama Pasal 615 s/d 651 RV,
yang meliputi :
1

- Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter


(Pasal 615 s/d 623 RV)

- Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674


RV)

3
4

- Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)


- Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641
s/d 674 RV)
- Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)

Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang


Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Setelah
Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan
lembaga arbitrase dapat kita temukan dalam memori penjelasan
Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan
Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau
melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan.

Pasal80UUNo.14Tahun1985tentangMahkamahAgung

Satu-satunya

undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di


Indonesia yaitu UU No. 14 Tahun 1985, sama sekali tidak mengatur
mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan yang termuat dalam Pasal
80 UU No. 14 Tahun 1985, menentukan bahwa semua peraturan
pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan
tetap berlaku sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan

dengan Undang-Undang Mahkamah Agung ini. Dalam hal ini kita


perlu merujuk kembali UU No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan
Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU
No. 1 Tahun 1950 menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan
yang memutus dalam tingkat yang kedua atas putusan arbitrase
mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang lebih dari Rp.
25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1 Tahun 1950).

Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing Dalam hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1967
menyatakan: Jikalau di antara kedua belah pihak tercapai
persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara pembayaran
kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang
putusannya mengikat kedua belah pihak. Pasal 22 ayat (3) UU No.
1 Tahun 1967 : Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih
oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan
orang ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh
pemerintah dan pemilik modal. UU No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing kemudian dicabut dan digantikan dengan
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pada Pasal 32
menyatakan :
5

(1) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal


antara Pemerintah dengan penanaman modal, para pihak
terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui
musyawarah dan mufakat.

(2)
Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian
sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau
alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal


antara Pemerintah dengan penanaman modal dalam negeri,
para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut melalui
arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika
penyelesaian
sengketa
tersebut
akan
dilakukan
di
pengadilan.

(4) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal


antara Pemerintah dengan penanaman modal asing, para
pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui
arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.

UU No. 5 Tahun 1968 tentang Pengesahan Persetujuan Atas


Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan
Warga Asing Mengenai Penanaman Modal atau sebagai ratifikasi
atas International Convention On the Settlement of Investment
Disputes Between States and Nationals of Other States Dengan
undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai
wewenang untuk memberikan persetujuan agar suatu perselisihan
mengenai

Obyek Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar
pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hanyalah
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum
dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik
intelektual. Sementara itu Pasal 5 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, memberikan perumusan
negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundangundangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam
KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
Jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase
melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan
berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase,
misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya
arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan
penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati
oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam
sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh
berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka
tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang
dikeluarkan oleh badan- badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional

Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration


dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The
Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of
Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut
mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul
arbitrase sebagai berikut:
"Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan
diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut
peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya
mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam
tingkat pertama dan terakhir".
Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United
International Trade Law) adalah sebagai berikut:

Nation

Comission

of

"Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau


sehubungan dengan perjanjian ini, atau wanprestasi, pengakhiran atau
sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan
aturan-aturan UNCITRAL.
Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali
adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya
klausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan
diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja
klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.
Hubungan Arbitrase dan Pengadilan
Walaupun arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di
luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase, namun
lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan,
misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Hal ini terjadi karena
masih adanya keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di
pengadilan negeri. Sehingga ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase
tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati
putusan.
Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar Pasal 14
ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999, antara lain mengenai penunjukkan arbiter
atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan dan
dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional
yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu
pendaftaran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik
putusan. Bagi arbitrase internasional mengambil tempat di Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat.


Dalam hal sengketa para pihak yang telah ditentukan penyelesaian
sengketanya melalui lembaga arbitrase, maka Lembaga Peradilan
diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat
dalam Pasal 11 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa
pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang
telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak
dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang
telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal tersebut merupakan prinsip limited
court involvement.
Namun, dalam prakteknya masih saja ditemukan pengadilan yang
menentang, bahkan ketika lembaga arbitrase itu sendiri sudah
menjatuhkan putusannya. Hal tersebut terjadi, seperti dalam kasus
Bankers Trust Company dan Bankers Trust International PLC (BT)
melawan PT Mayora Indah Tbk (Mayora), PN Jakarta Selatan tetap
menerima gugatan Mayora (walaupun ada klausul arbitrase didalamnya)
dan menjatuhkan putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999,
yang memenangkan Mayora.
Ketua
PN
Jakarta
Pusat
dalam
putusan
No.001
dan
002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST
juncto
02/Pdt.P/2000/PNJKT.PST,
tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan BT bagi pelaksanaan
putusan Arbitrase London, dengan alasan pelanggaran ketertiban umum,
pelanggaran ketertiban umum yang dimaksud adalah bahwa perkara
tersebut masih dalam proses peradilan dan belum memiliki kekuatan
hukum tetap. Penolakan PN Jakarta Pusat tersebut dikuatkan oleh Putusan
Mahkamah Agung No.02 K/Exr/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal 5 September
2000.

Referensi :
Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2006).
UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa;
Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung, 1992;
Budhy Budiman, Mencari Model Ideal penyelesaian Sengketa, Kajian
Terhadap Praktik Peradilan Perdata Dan undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999, http://www.uika- bogor.ac.id/jur05.htm

Anda mungkin juga menyukai