Anda di halaman 1dari 4

NAMA : Ikhsan Nurrokhman Wicaksono

NIM : 040537793

1. Sesuai yang tertuang pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Alternatif ini menjadi lebih banyak diminati
pelaku bisnis karena beberapa hal, antara lain karena lebih efisien (baik dari sisi waktu maupun
biaya) dan menerapkan prinsip win-win solution. Proses persidangan dan putusan arbitrase pun
bersifat rahasia sehingga tidak dipublikasikan, tetapi tetap bersifat final dan mengikat. Di
samping itu, arbiter yang ditunjuk sebagai pemeriksa perkara pun merupakan seorang yang
ahli dalam permasalahan yang tengah disengketakan sehingga dapat memberikan penilaian
lebih matang dan objektif. Pada dasarnya, arbitrase merupakan proses penyelesaian sengketa
yang lebih fleksibel dibandingkan penyelesaian di meja pengadilan. Masing-masing pihak
dapat lebih dulu mempersiapkan diri untuk menyampaikan bukti-bukti dan keterangan terkait
sengketa yang diperkarakan ketika di persidangan. Mereka diberi hak untuk mengutarakan
argumen. Hal ini tentu berbeda dengan persidangan di pengadilan negeri yang terkesan sangat
kaku dan hanya bertukar dokumen sidang. Apabila tidak ada saksi yang diajukan dalam
perkara tersebut pun, pembuktian hanya sekadar menyerahkan dokumen.
Kendati demikian, fungsi arbitrase dalam penyelesaian sengketa tidak serta merta hanya
sekadar mendengar kesaksian, memeriksa bukti, dan menetapkan putusan secara kaku. Majelis
atau arbiter tetap lebih dulu mengusahakan adanya perdamaian antara kedua pihak yang tengah
berselisih. Hal ini pun tercantum dalam pasal 1 Peraturan Prosedur Arbitrase BANI yang
berbunyi, “…penyelesaian sengketa secara damai melalui arbitrase di BANI dilandasi itikad
baik para pihak dengan berlandaskan tata cara kooperatif dan nonkonfrontatif”. Pernyataan ini
pun diperjelas pada pasal 20 mengenai Upaya Mencari Penyelesaian Damai. Majelis atau
arbiter wajib mengusahakan jalan damai bagi kedua belah pihak, baik atas usaha sendiri atau
dengan bantuan pihak ketiga. Jika persetujuan damai ini disepakati, maka Majelis atau arbiter
menyiapkan sebuah memorandum yang berisi persetujuan damai kedua belah pihak secara
tertulis. Memorandum ini memiliki kekuatan hukum dan mengikat kedua belah pihak. Namun
apabila jalur mediasi tidak berhasil dan tidak ada kesepakatan untuk damai dari kedua belah
pihak, maka prosedur pemeriksaan dan persidangan arbitrase tetap dijalankan sebagaimana
mestinya. Dalam proses pemeriksaan, apabila termohon tidak hadir tanpa memberikan alasan
yang sah pada hari yang ditentukan, majelis atau arbiter akan sekali lagi melakukan
pemanggilan. Jika dalam kurun waktu paling lama 10 hari setelah pemanggilan kedua,
termohon tetap juga tidak menghadap di muka persidangan tanpa memberikan alasan yang sah,
maka pemeriksaan akan diteruskan sebagaimana mestinya. Majelis atau arbiter akan
mengabulkan tuntutan pemohon seluruhnya selama tuntutan tersebut beralasan dan sesuai
dengan hukum yang berlaku. Salah satu hal yang perlu diperhatikan masing-masing pihak yang
akan menyelenggarakan arbitrase adalah soal biaya. Biaya yang harus dikeluarkan untuk
melakukan proses arbitrase ditentukan berdasarkan besarnya tuntutan pemohon yang
disertakan dalam berkas permohonan arbitrase. Apabila tuntutan bernilai kurang dari
Rp500.000.000,00 maka besarnya biaya administrasi adalah sebesar 10% dari nilai tuntutan
tersebut. Sementara itu, persentase maksimal biaya administrasi adalah 0,5% apabila tuntutan
yang diinginkan sebesar lebih dari Rp500.000.000.000,00 (untuk biaya yang berada pada
rentang Rp500.000.000,00 sampai Rp500.000.000.000,00 dapat dilihat pada tabel biaya yang
ditetapkan BANI). Biaya ini tidak termasuk biaya pendaftaran dan biaya lainnya (transportasi,
persidangan, dll)

2. Perjanjian arbitrase dengan “klausula arbitrase” adalah suatu klausula dalam perjanjian antara
para pihak yang mencantumkan adanya kesepakatan untuk menyelesaiakan sengketa yang
timbul antara para pihak melalui proses arbitrase. Klausula arbitrase sebagaimana yang
disarankan oleh BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) isinya adalah sebagai
berikut: Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan administrasi dan
peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), yang
keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa sebagai keputusan tingkat
pertama dan terakhir. Sedangkan Pactum De Compromittendo merupakan suatu klausula
dalam perjanjian arbitrase yang isinya menentukan bahwa para pihak sepakat untuk
mengajukan perselisihannya kepada seorang arbiter atau majelis arbitrase. Hal ini berarti
bahwa ada kesepahaman pikir antara para pihak yang bersengketa, yakni dengan melaksanakan
penyelesaian sengketa melalui mekanisme arbitrase. Dalam konteks ini, UU No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, mengakomodasinya melalui
Pasal 7, yang menyatakan bahwa para pihak dapat menyetujui sengketa yang terjadi atau yang
akan terjadi antara mereka diselesaikan melalui arbitrase.

3. Karena pertanyaan yang diajukan sama dengan yang terdapat di nomor pertama, maka jawaban
yang kami ajukan juga sama, dimana sesuai yang tertuang pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Alternatif ini
menjadi lebih banyak diminati pelaku bisnis karena beberapa hal, antara lain karena lebih
efisien (baik dari sisi waktu maupun biaya) dan menerapkan prinsip win-win solution. Proses
persidangan dan putusan arbitrase pun bersifat rahasia sehingga tidak dipublikasikan, tetapi
tetap bersifat final dan mengikat. Di samping itu, arbiter yang ditunjuk sebagai pemeriksa
perkara pun merupakan seorang yang ahli dalam permasalahan yang tengah disengketakan
sehingga dapat memberikan penilaian lebih matang dan objektif. Pada dasarnya, arbitrase
merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih fleksibel dibandingkan penyelesaian di
meja pengadilan. Masing-masing pihak dapat lebih dulu mempersiapkan diri untuk
menyampaikan bukti-bukti dan keterangan terkait sengketa yang diperkarakan ketika di
persidangan. Mereka diberi hak untuk mengutarakan argumen. Hal ini tentu berbeda dengan
persidangan di pengadilan negeri yang terkesan sangat kaku dan hanya bertukar dokumen
sidang. Apabila tidak ada saksi yang diajukan dalam perkara tersebut pun, pembuktian hanya
sekadar menyerahkan dokumen. Kendati demikian, fungsi arbitrase dalam penyelesaian
sengketa tidak serta merta hanya sekadar mendengar kesaksian, memeriksa bukti, dan
menetapkan putusan secara kaku. Majelis atau arbiter tetap lebih dulu mengusahakan adanya
perdamaian antara kedua pihak yang tengah berselisih. Hal ini pun tercantum dalam pasal 1
Peraturan Prosedur Arbitrase BANI yang berbunyi, “…penyelesaian sengketa secara damai
melalui arbitrase di BANI dilandasi itikad baik para pihak dengan berlandaskan tata cara
kooperatif dan nonkonfrontatif”. Pernyataan ini pun diperjelas pada pasal 20 mengenai Upaya
Mencari Penyelesaian Damai. Majelis atau arbiter wajib mengusahakan jalan damai bagi kedua
belah pihak, baik atas usaha sendiri atau dengan bantuan pihak ketiga. Jika persetujuan damai
ini disepakati, maka Majelis atau arbiter menyiapkan sebuah memorandum yang berisi
persetujuan damai kedua belah pihak secara tertulis. Memorandum ini memiliki kekuatan
hukum dan mengikat kedua belah pihak. Namun apabila jalur mediasi tidak berhasil dan tidak
ada kesepakatan untuk damai dari kedua belah pihak, maka prosedur pemeriksaan dan
persidangan arbitrase tetap dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam proses pemeriksaan,
apabila termohon tidak hadir tanpa memberikan alasan yang sah pada hari yang ditentukan,
majelis atau arbiter akan sekali lagi melakukan pemanggilan. Jika dalam kurun waktu paling
lama 10 hari setelah pemanggilan kedua, termohon tetap juga tidak menghadap di muka
persidangan tanpa memberikan alasan yang sah, maka pemeriksaan akan diteruskan
sebagaimana mestinya. Majelis atau arbiter akan mengabulkan tuntutan pemohon seluruhnya
selama tuntutan tersebut beralasan dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Salah satu hal yang
perlu diperhatikan masing-masing pihak yang akan menyelenggarakan arbitrase adalah soal
biaya. Biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan proses arbitrase ditentukan berdasarkan
besarnya tuntutan pemohon yang disertakan dalam berkas permohonan arbitrase. Apabila
tuntutan bernilai kurang dari Rp500.000.000,00 maka besarnya biaya administrasi adalah
sebesar 10% dari nilai tuntutan tersebut. Sementara itu, persentase maksimal biaya administrasi
adalah 0,5% apabila tuntutan yang diinginkan sebesar lebih dari Rp500.000.000.000,00 (untuk
biaya yang berada pada rentang Rp500.000.000,00 sampai Rp500.000.000.000,00 dapat dilihat
pada tabel biaya yang ditetapkan BANI). Biaya ini tidak termasuk biaya pendaftaran dan biaya
lainnya (transportasi, persidangan, dll)

Anda mungkin juga menyukai