Anda di halaman 1dari 5

1. 2 cara APS untuk penyelesaian sengketa yang efektif adalah mediasi dan negosiasi.

Karena
mediasi merupakan suatu proses perundingan terhadap sengketa yang dipertengahi oleh pihak
ketiga. Mediasi memungkinkan para pihak yang bersengketa untuk duduk berdiskusi
mengenai permasalahan mereka dengan pihak ketiga yang tidak memihak untuk tercapainya
penyelesaian sengketa. Tahapan dalam mediasi itu (1) memulai sesi mediasi, (2) merumuskan
masalah dan menyusun agenda, (3) mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak, (4)
membangkitkan pilihan-pilihan penyelesaian sengketa, (5) menganalisa pilihan-pilihan
penyelesaian sengketa, (6) proses tawar menawar akhir dan (7) mencapai kesepakatan formal.
Mediasi ini sering dianggap sebagai perluasan dari negosiasi. Contoh mediasi seperti
terjadinya wanprestasi antara penjual dan pembeli. Sehingga membuat terjadinya sengketa.
Penjual dan pembeli kemudian melakukan mediasi. Mediasi juga dapat dilakukan di
pengadilan, biasanya dapat ditemui pada kasus perceraian. Nah, kemudian negosiasi itu
merupakan interaksi sosial antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan berbeda yang
terlibat di dalamnya untuk mencapai kesepakatan. Contoh negosiasi dapat ditemukan jual beli
antara pedagang dan pembeli di pasar. Tahap-tahap negosiasi itu ada (1) tahap persiapan, (2)
tahap tawaran awal, (3) tahap pemberian konsesi, dan (4) tahap akhir permainan. Tahap ini
negosiator membuat komitmen yang mana komitmen ini harus dijalankan oleh para pihak.

2. Persamaan dan perbedaan


Perbedaan APS dengan Arbitrase
1) Hasil dari putusan APS biasanya adalah win win solution sedangkan hasil putusan
Arbitrase biasanya adalah win-lose.
2) Hasil putusan APS bersifat dapat dipersengketa kembali dengan metode yang berbeda
seperti misal apabila hasil putusan mediasi ternyata tidak berhasil, pihak yang bersengketa
dapat membawanya ke arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa yang lain sedangkan
hasil putusan Arbitrase bersifat final dan mengikat.
3) Hakim dalam arbitrase berperan aktif dalam penyelesaian sengketa daripada pihak ketiga
dalam APS. Hal ini dapat dilihat di APS, yang mana pihak ketiga hanya sebagai penengah
dan memberikan pendapat ahlinya namun tidak mengintervensi penyelesaian sengketa.
Persamaan APS dengan Arbitrase
1) APS dan Arbitrase prosesnya cepat.
2) Penggunaan APS dan Arbitrase bersifat sukarela. Karena pihak-pihak yang bersengketa
dapat memilih alternatif-alternatif penyelesaian sengketa dengan konsultasi, mediasi,
konsiliasi, negosiasi, penilaian ahli atau arbitrase.
3) Pihak ketiga dalam APS maupun Arbitrase bersifat netral.
4) APS dan Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
5) Proses APS maupun Arbitrase bersifat tertutup dan rahasia.

3. Masing pengertian beserta urutannya menurut saya yang penting lebih dulu
1. Confidentiality
Confidentiality adalah proses arbitrase dijamin kerahasiaan dan dilakukan secara tertutup.
2. Tribunal quality
Tribunal quality adalah majelis hakim yang menangani perkara arbitrase merupakan ahli
dalam bidangnya.
3. Flexibility
Flexibility adalah Arbiter memiliki keleluasaan untuk memungkinkan arbiter dengan
kebebasan penuh para arbiter untuk memilih hakim arbitrasi.
4. Efficiency
Efficiency bisa diukur dengan dua standar seperti waktu dan uang. Arbitrase yang efisien
adalah arbitrase yang prosesnya cepat dan biaya yang lebih murah.
5. Speed
Speed adalah proses-proses arbitrase sampai putusan akhir arbitrase dikeluarkan dengan
cepat.
6. Enforcement of arbitral award
Enforcement of abitral award adalah putusan arbitrase tersebut diakui dan didaftarkan di
pengadilan negeri.

4. Proses arbitrase dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS.
Dalam Pasal 7 UU Arbitrase dan APS dijelaskan bahwa para pihak dapat menyetujui suatu
sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui
arbitrase. Kemudian dalam Pasal 8 ayat (1) menjelaskan bahwa dalam hal timbul sengketa,
pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail, atau
dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon
atau termohon berlaku. Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (1) dijelaskan bahwa dalam hal para
pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan
mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh
para pihak. Lalu, dalam Pasal 9 ayat (3) dijelaskan bahwa perjanjian tertulis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memuat (a) masalah yang dipersengketakan; (b) nama
lengkap dan tempat tinggal para pihak; (c) nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau
majelis arbitrase; (d) tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; (e)
nama lengkap sekretaris, (f) jangka waktu penyelesaian sengketa; (g) pernyataan kesediaan
dari arbiter; dan (h) pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung
segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Apabila
perjanjian tertulis tidak memuat sebagaimana hal dimaksud maka batal demi hukum. Dalam
Pasal 10 dijelaskan mengenai keadaan tertentu pada suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi
batal. Dengan dibuatnya perjanjian arbitrase tertulis maka hak para pihak untuk mengajukan
sengketa di pengadilan ditiadakan sebagaimana diatur dalam Pasal 11. Di bagian kedua UU
Arbitrase dan APS mengatur mengenai syarat pengangkatan arbiter dari Pasal 12 hingga Pasal
21. Lalu, dalam bagian ketiga UU Arbitrase dan APS mengatur mengenai hak ingkar yang
diatur dari Pasal 22 hingga Pasal 28. Bagian keempat UU Arbitrase dan APS mengatur
mengenai acara yang berlaku dihadapan majelis arbitrase dari Pasal 27 hingga Pasal 48. Lalu,
pada bagian kedua saksi dan saksi ahli dimulai dari Pasal 49 hingga Pasal 51. Bab V UU
Arbitrase dan APS mengatur mengenai pendapat dan putusan arbitrase dari Pasal 52 hingga
Pasal 58. Bab VI UU Arbitrase mengatur mengenai pelaksanaan putusan arbitrase yang mana
bagian pertama mengenai arbitrase nasional dan bagian kedua mengenai arbitrase
internasional. Bab VII mengenai pembatalan putusan arbitrase dan Bab VIII mengenai
berakhirnya putusan arbiter. Bab IX mengenai biaya arbitrase dan Bab X mengenai ketentuan
peralihan.

Apabila dikaitkan dengan kasus Karaha Bodas, ada sejumlah pasal yang telah sesuai dengan
UU Arbitrase dan APS ini. Di dalam Pasal 7, dijelaskan bahwa para pihak dapat menyetujui
suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui
arbitrase. Pihak Pertamina dan KBC telah memiliki perjanjian penyelesaian sengketa melalui
arbitrase yang tertuang dalam perjanjian JOC dan ESC. Selanjutnya, ketentuan dalam Pasal 8
dapat ditemui dalam notice of Arbitration oleh KBC kepada Pertamina, PLN dan Pemerintah
Indonesia. Pengangkatan arbiter dalam kasus ini disesuaikan dengan Prosedur UNCITRAL.
Dalam Pasal 28 UU Arbitrase dan APS dijelaskan bawa bahasa yang digunakan dalam semua
proses arbitrase adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis
arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan. Dalam kasus ini, bahasa
yang digunakan adalah bahasa Inggris. Tempat arbitrase dipilih oleh kedua belah pihak di
Jenewa, Swiss, sehingga hal ini sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) UU Arbitrase dan APS.
Arbiter juga memberikan waktu paling lama 14 hari kepada termohon untuk memberikan
jawabannya hal ini juga diatur sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 39 UU Arbitrase dan
APS. Pemeriksaan sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter
atau majelis arbiter terbentuk juga belum terlaksana dalam kasus ini. Hal ini dapat dilihat dari
pada 24 Juli 1998, Dewan Arbitrase telah terbentuk dan pada 18 December 2000, putusan
arbitrase UNCITRAL keluar. Selanjutnya setelah putusan keluar, sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 65 UU Arbitrase dan APS, Putusan Arbitrase Internasional itu harus didaftarkan
untuk diakui dan dilaksanakan di Indonesia pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun,
alih-alih mendaftarkan, Pertamina mengajukan pembatalan putusan arbitrase internasional
tersebut pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Padahal sebagaimana dijelaskan dalam Pasal
70 UU Arbitrase dan APS dijelaskan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat
mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-
unsur sebagai berikut:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui
palsu atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.

Bahkan dalam Pasal 71 dijelaskan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase harus
diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari
penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Putusan
arbitrase Internasional yang dilaksanakan di Jenewa tersebut sudah sesuai dengan Pasal 66
yang mana menjelaskan bahwa putusan arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat
dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat berikut
ini:

a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun
multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional;
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum
perdagangan;
c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum;
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut
Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat
dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Hal ini dikarenakan Indonesia meratifikasi The New York Convention dan ICSID.

Anda mungkin juga menyukai