Anda di halaman 1dari 13

Nama : Lucky Juane Dyaddini

NPM : 191083093

Kelas :S

1. Analisa Teori dan Norma Serta Asas-asas:


a. Pada dasarnya APS ini adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan
(sebagai alternatif dari pengadilan), di dalamnya termasuk arbitrase.
Pengertian arbitrase dalam APS merupakan pengertian yang luas, namun ia juga
mempunyai pengertian sempitnya. Menurut Undang-Undang nomor 30 tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada pasal
1, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa.
b. Tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya
sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para
pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka. Sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Di dalam penjelasan Pasal 3
ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan antara lain bahwa
penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui
arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai
kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi
(executoir) dari pengadilan.
c. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen
Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan
Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch
Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah
Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad
1927:227), dinyatakan tidak berlaku. Penyelesaian melalui non litigasi ialah
penyelesaian sengketa yang dilakukan menggunakan cara-cara yang ada di luar
pengadilan atau menggunakan lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Di
Indonesia, penyelesaian non litigasi ada dua macam, yakni Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS).
d. Kelebihan
1) Aspek kerahasiaan/Confidentiality
Sifatnya yang konfidensial membuat arbitrase dipandang sebagai alternatif
penyelesaian yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Hal ini
dikarenakan arbitrase diselenggarakan secara tertutup. Tidak seperti metode
penyelesaian sengketa di peradilan umum yang terbuka, arbitrase hanya
dihadiri oleh para pihak yang berkepentingan atau dengan kata lain pihak
yang bersengketa.
2) Fleksibilitas dalam prosedur dan persyaratan administrative
Prosedur arbitrase sebagaimana yang telah diatur dalam Bab IV UU No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam
penerapannya bisa lebih fleksibel dengan memperhatikan kesepakatan para
pihak. Sedapat mungkin arbiter yang ditunjuk mempertemukan kepentingan
para pihak yang bersengketa.
3) Hak pemilihan/penunjukan arbiter berada di tangan para pihak
Ada kebebasan para pihak untuk memilih siapa orang yang akan menjadi
arbiter. Hal seperti ini tidak bisa ditemukan dalam pengadilan umum
lainnya. Menurut Husseyn, pada pengadilan arbitrase, para pihak yang
bersengketa dapat memilih arbiter sesuai dengan latar belakang sengketa
yang sedang dihadapi. Hal ini bertujuan agar proses penyelesaian sengketa
dengan ranah yang berbeda-beda dapat ditangani oleh arbiter yang sesuai
dengan ranah sengketa terkait.
e. Landasan Filosofis
Pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi
suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Landasan Sosiologis
Pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek, serta
menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan
masyarakat dan negara.
Landasan Yuridis
Pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
f. Secara sederhana, Pactum de compromittendo dapat diartikan sebagai klausula
arbitrase yang di buat oleh para pihak sebelum terjadinya sengketa. Dengan kata
lain, di awal perjanjian para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan
perselisihan yang mungkin terjadi di kemudian hari melalui proses arbitrase. UU
No 30 Tahun 1999 tidak menyebutkan syarat mengenai Pactum de
compromittendo, kecuali yang dinyatakan dalam Pasal 7, yaitu sebagai berikut:
“Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi
antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase”
Dikarenakan pemilihan arbitrase sebelum terjadinya sengketa, maka ketentuan
umum hukum kontrak lah yang berlaku. Karena itu pula para pihak bebas
menentukan apakah klausula arbitrase terpisah dari perjanjian pokok atau
dimuat dalam perjanjian pokok, sebagaimana lazimnya dalam praktek. Secara
sederhana, Acte compromis/ Akta Kompromis dapat diartikan sebagai klausula
arbitrase yang di buat oleh para pihak setelah terjadinya sengketa atau
perselisihan sehubungan dengan perjanjian pokok. Kedua bentuk klausula
arbitrase pactum de compromittendo maupun acte compromis pada dasarnya
memiliki tujuan serta konsekuensi hukum yang sama, yang membedakan
hanyalah bentuk serta waktu pembuatan dari perjanjian tersebut. Artinya,
perjanjian arbitrase akan melahirkan kompetensi absolut forum arbitrase untuk
memeriksa sengekta para pihak.
g. Baik UUAAPS maupun Petunjuk Teknis Mahkamah Agung telah menegaskan
bahwa seluruh sengketa yang terikat pada klausula arbitrase merupakan
wewenang absolut dari lembaga arbitrase tersebut untuk memeriksa dan
mengadilinya, baik masalah wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum.

h. Klausa

Perjanjian …..ini dibuat (dan ditanda tangani) pada tanggal…bulan…,


tahun dua ribu, oleh dan antara :

AA, yang beralamat di Jl. XYZ No. 1 Jakarta-Pusat, 10320, selanjutnya


disebut sebagai pihak kedua.

Bahwa dengan telah ditandatanganinya Perjanjian Kerja ini oleh kedua belah
pihak, maka Pihak Pertama menyetujui untuk mengadakan hubungan kerja
dengan Pihak Kedua dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun, terhitung sejak
tanggal….. sampai dengan tanggal………

Waktu pengiriman merupakan bagian yang terpenting dari kontrak


ini. Buyer (Pembeli) berhak untuk menolak barang dan untuk membatalkan
semua atau salah satu bagian dari pesanan ini bila Seller (Penjual) gagal
mengirimkan barang sesuai dengan masa pemesanan ini.

Jika pihak pertama (dalam hal ini disebut “defaulting party’) tidak
melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan ini, pihak kedua
(dalam hal ini disebut ‘aggrieved party) berhak untuk mengirimkan
peringatan tertulis kepada pihak pertama dengan menyebutkan kewajiban
yang tertera dalam perjanjian yang tidak dilaksanakan oleh pihak pertama
dan dengan menyebutkan bahwa pihak kedua akan memutuskan Perjanjian
ini jika kegagalan tersebut terus berlanjut. Jika dalam jangka waktu 30 hari
sejak dikeluarkannya pemberitahuan tertulis kegagalan tersebut tidak
diperbaiki, pihak kedua berhak untuk segera memutuskan Perjanjian ini.
Pemutusan perjanjian tersebut dinyatakan berlaku sejak dikeluarkannya
pemberitahuan pemutusan hubungan secara tertulis dari pihak kedua kepada
pihak pertama.

a. Semua pemberitahuan yang diberikan yang berkaitan dengan Perjanjian


ini harus diberikan secara tertulis dan dalam Bahasa Inggris dan bisa
dikirimkan lewat surat tercatat, kabel, telex, telefax atau bentuk telegraf
lainnya, dan dikirimkan ke alamat berikut (kepada masing-masing pihak
berikut ini):

Seller : …………………………………

Buyer : …………………………………

b.   Salah satu pihak boleh mengganti alamatnya dengan pemberitahuan


terlebih dahulu dan memberitahukan alamat yang baru kepada pihak
yang lain secara tertulis.

c.   Surat pemberitahuan yang diberikan sesuai dengan ketetapan ini


dinyatakan berlaku sejak surat pemberitahuan tersebut diterima oleh
pihak yang dikirimi dengan ketentuan bahwa surat pemberitahuan yang
dikirimkan dengan surat tercatat tersebut dianggap telah diterima
sepuluh (10) hari sejak surat tersebut dikirimkan oleh pihak pos di
negara tempat pihak yang mengirimkan pemberitahuan tersebut
berdomisili.
perjanjian ini tunduk pada dan ditafsirkan dalam segala hal sesuai
dengan hukum Republik Indonesia, dengan ketentuan bahwa Pihak II bebas
untuk mengambil tindakan hukum pada Pengadilan-Pengadilan di Republik
Indonesia atau di tempat lain untuk melindungi dan melaksanakan
ketentuan-ketentuan Perjanjian ini atau dengan cara lain mendapat
pembayaran dari jumlah-jumlah dan uang yang harus dibayar berdasarkan
Perjanjian ini.

Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dalam
tingkat pertama dan terakhir menurut peraturan prosedur BANI oleh arbiter
yang ditunjuk menurut peraturan tersebut. Tentang persetujuan ini dan
segala akibatnya kedua belah pihak memilih tempat tinggal hukum
(domisili) yang umum dan tetap di Kantor Panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat”. Kedua belah pihak tidak bertanggung jawab bila tidak dapat
melaksanakan perjanjian ini sebagai akibat timbulnya perang, pertukaran
atau perubahan peraturan atau karena adanya force majeure. Perjanjian ini
tunduk pada dan ditafsirkan dalam segala hal sesuai dengan hukum Republik
Indonesia, dengan ketentuan bahwa Pihak II bebas untuk mengambil
tindakan hukum pada Pengadilan-Pengadilan di Republik Indonesia atau di
tempat lain untuk melindungi dan melaksanakan ketentuan-ketentuan
Perjanjian ini atau dengan cara lain mendapat pembayaran dari jumlah-
jumlah dan uang yang harus dibayar berdasarkan Perjanjian ini.

Demikianlah perjanjian ini dibuat dengan rangkap 4 (empat) yang terdiri


dari 2 (dua) rangkap yang bermeterai cukup merupakan dokumen asli, satu
rangkap untuk pihak pertama dan lainnya untuk pihak kedua, serta 2 (dua)
rangkap lagi yang tanpa meterai adalah merupakan tindasan untuk pihak-
pihak yang memerlukannya.

Ditandatangani untuk dan atas nama Pembeli, PT ABC, oleh :


(cap perusahaan)     (tandatangan)

(…Nama…)

Ditandatangani untuk dan atas nama Penjual, PT XYZ, oleh :


(cap perusahaan)
(tandatangan)

(…Nama…)

Saksi-saksi :

1.      ………………………………………(…Nama…)

2.      ………………………………………(…Nama…)

i. Syarat formil :

1) Kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN


BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Kalimat
tersebut merupakan irahirah putusan yang menjadikan putusan
arbitrase memiliki kekuatan eksekutorial.
2) Nama lengkap dan alamat para pihak.
3) Uraian singkat sengketa.
4) Pendirian para pihak.
5) Nama lengkap dan alamat arbiter.
6) Tempat dan tanggal putusan.
7) Tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase. Namun dalam hal ini,
apabila putusan arbitrase tidak ditandatangani oleh salah seorang
arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia, tidak
mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan. Selanjutnya, alasan
tidak adanya tanda tangan salah satu arbiter harus dicantumkan
dalam putusan. Ketentuan ini untuk mengantisipasi apabila salah
satu arbiter yang tidak sependapat dengan mayoritas arbiter,
penolakan arbiter minoritas tersebut tidak mengurangi keabsahan
putusan, sepanjang mayoritas arbiter tersebut telah memberikan
tanda tangan. Putusan tetap mempunyai kekuatan hukum dan
putusan dianggap telah ditandatangani oleh semua anggota arbiter.
Adapun syarat-syarat materiil dalam putusan arbitrase antara lain
8) Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase
mengenai keseluruhan sengketa. Putusan harus menguraikan alasan
atau dasar-dasar pertimbangan yang merupakan argumentasi
kesimpulan hukum berdasarkan fakta-fakta dan pembuktian yang
ditemukan dalam proses pemeriksaan. Pertimbangan harus meliputi
seluruh permasalahan yang dipersengketakan. Dalam pertimbangan
hukum harus jelas diuraikan halhal apa yang terbukti, dan mana
yang ditolak atau tidak dapat diterima. Putusan yang tidak lengkap
secara menyeluruh dan tidak argumentatif, dianggap putusan yang
kurang motivasinya atau onvoldoende gemotiverd atau imperfect
judgement.
9) Pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat
dalam majelis arbitrase. Dalam pemeriksaan sengketa oleh suatu
majelis arbitrase, tidak selamanya seluru anggota majelis tersebut
dapat menyetujui suatu putusan yang akan diambil. Apabila hal itu
terjadi, maka pendapat masing-masing arbiter yang saling berbeda
tersebut harus disebutkan dalam putusan arbitrase.

Akta Kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat


para pihak setelah timbul sengketa. Sebelum UU arbitrase berlaku,
ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen
Acara Perdata (Rv). Klausula arbitrase adalah suatu ketentuan (clause)
yang tercantum didalam kontrak dagang atau perjanjian lainnya, bahwa
apabila dikemudian hari timbul suatu sengketa berkenaan dengan
perjanjian tersebut maka penyelesaianya diserah- kan atau dilakukan
secara arbitrase.

j. Yang dimaksud putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung


memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK ini
mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Jadi,
akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya hukum lain yang dapat
ditempuh terhadap putusan tersebut. Semantara,
sifat mengikat bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para
pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
k. Konsekuensi sutau putusan arbitrase yang tidak didaftarkan oleh Arbiter
yang memeriksa suatu perkara arbitrase atau kuasanya dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diputus berakibat putusan arbitrase tidak
dapat dilaksanakan oleh pengadilan.
l. Sebenarnya pelaksanaan putusan arbitrase adalah suka rela artinya
bahwa para pihak yang kalah harus melaksanakan putusan tersebut
secara suka rela tanpa upaya paksa dari pengadilan. Akan tetapi sering
juga putusan arbitrase tidak dipatuhi oleh para pihak khusunya pihak
yang kalah, sehingga dibutukan bantuan pengadilan. Putusan Arbitrase
Internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai
salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah
memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
m. Laurence Bolle menyatakan “mediation is decision-making process in which the
parties are assisted by a third party, the mediator; the mediator attempts to
improve the process of decision-making and to assist the parties reach an
outcome to which of them can assent. Sedangkan j. Folberg dan A. Taylor
mengatakan mediasi dengan “ the process by which the participant, together
with the assistance of a neutral person, systematically isolate dispute in order to
develop option, consider alternatif, and reach consensual settlement that will
accomandate their need.” bahwa penyelesaian sengketa melalui mediasi harus
dilakukan bersama-sama oleh para pihak yang bersengketa dan dibantu oleh
mediator atau pihak netral. Mediator dapat menawarkan dan mengembangkan
pilihan penyelesaian sengketa, dan para pihak dapat pula mempertimbangkan
tawaran mediator sebagai suatu alternatif menuju kesepakatan dalam
proses penyelesaian sengketa. Ada 2 jenis mediasi, yaitu di dalam pengadilan
dan di luar pengadilan. Mediasi di luar pengadilan ditangani oleh mediator
swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian
sengketa yang dikenal sebagai Pusat Mediasi Nasional (PMN). Contoh lembaga
mediasi :
- Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI)
- Badan Arbitrase dan Mediasi Penjaminan Indonesia (BAMPI)
- Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI)
- Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)
- Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP)

2. Analisis
1. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa
perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan
diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa dan kemudian bahwa
peraturan perundang-undangan yang saat itu berlaku untuk penyelesaian sengketa
melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum
pada umumnya maka diberlakukanlah UU 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa mengatur tentang penyelesaian sengketa atau beda pendapat
antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan
perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda
pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan
diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Arbitrase
menurut Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya
melalui arbitrase. Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut
juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum
tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
2. Mediasi pada lembaga peradilan berlaku sejak sejak tahun 2002, yaitu sejak
diterbitkannya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung (SEMA) Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama
menerapkan Lembaga damai. Tujuannya adalah untuk mencapai pembatasan kasasi
secara substantif, Surat Edaran tersebut mengatur antara lain:
a) Mengharuskan semua hakim yang menyidangkan perkara agar sungguh sungguh
mengusahakan perdamaian dengan menerapkan ketentuan pasal 130 HIR/154 RBg,
tidak hanya sekedar formalitas saja menganjurkan perdamaian sebagaimana yang
telah biasa dilakukan selama ini.
b) Hakim yang ditunjuk dapat bertindak sebagai fasilitator/mediator untuk membantu
para pihak yang berpekara untuk mencapai perdamaian.
c) Hakim yang ditunjuk sebagai fasilitator/mediator oleh para pihak tidak dapat
menjadi hakim majelis dalam perkara yang bersangkutan, untuk menjaga
objektifitas.
d) Jangka waktu untuk mendamaikan para pihak adalah 3 bulan dan dapat
diperpanjang,apabila ada alas an untuk itu dengan persetujuan ketua pengadilan
negeri.
e) Apabila tercapai perdamaian, akan dituangkan dalam persetujuan tertulis dan
ditandatangan oleh para pihak.
PERMA No.02 Tahun 2003 kemudian di revisi dengan diterbitkannya
PERMA No.01 Tahun 2008, kehadiran PERMA No. 1 Tahun 2008 ini dimaksudkan
untuk memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaikan
para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa. Hal ini dapat dilakukan dengan
menginsentifkan dan mengintegrasian proses mediasi kedalam prosedur berpekara
di pengadilan. Mediasi mendapat kedudukan penting dalam PERMA No. 01 Tahun
2008, sebagai bagian beracara yang wajib ada dalam proses berperkara di
pengadilan, yang berkonsekuensi, bila Hakim melanggar dan enggan untuk
menerapkan mediasi, maka produk putusan hakim tersebut batal demi hukum.
3. Dalam sistem hukum Indonesia, pengaturan mediasi secara umum (mediasi di luar
Pengadilan) diatur dalam bentuk Undang-undang yaitu Undang-undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Aletrnatif Penyelesaian Sengketa. UU Arbitrase
dan APS tersebut, pengaturan berkenaan dengan mediasi di luar Pengadilan pada
umumnya terdapat hanya 2 (dua) Pasal saja, yaitu Pasal 1 angka 10 dan Pasal 6
yang mengaturnya. lembaga damai (dading) yang diatur dalam ketentuan hukum
acara perdata Indonesia yang berlaku sejak sebelum Indonesia merdeka diatur
dalam HIR / RBG dan RR maupun dalam ketentuan hukum perdata materiil yang
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) berdasarkan
asas konkordansi dan pasca kemerdekaan Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 dan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945
Hasil perubahan keempat tahun 2002. Lembaga damai (dading) baik di luar ataupun
di dalam Pengadilan sebagai penyelesaian sengketa belum begitu efektif, sehingga
perlu diberdayakan lembali. Oleh karena itu, Mahkamah Agung memandang perlu
dilakukan pemberdayaan Pengadilan Tingakat Pertama dalam menerapkan upaya
perdamaian (Lembaga Dading) sebagaimana ditentukan dalam pasal 130 HIR/Pasal
154 RBg. Dan pasal-pasal lainnya dalam Hukum Acara yang berlaku di Indonesia,
Khususnya Pasal 132 HIR/Pasal 156 RBg, dengan cara Mahkamah Agung
menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (“SEMA”) No. 01 Tahun 2002
tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.
Sekitar lebih dari satu tahun kemudian, guna melengkapi hukum acara peradilan
yang belum cukup diatur oleh peraturan perundangundangan, maka demi kepastian,
ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk
menyelesaikan suatu sengketa perdata, dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan
Mahkamah Agung, dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung R.I.
(“Perma”) No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Setelah
Mahkamah Agung R.I. melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur Mediasi
di Pengadilan berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 ternyata ditemukan beberapa
permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga
Perma No. 2 Tahun 2003 tersebut perlu direvisi dengan maksud untuk lebih
mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan,
dengan menerbitkan Perma No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan. Selanjutnya menurut Mahkamah Agung, Perma Nomor 1 Tahun 2008
belum optimal memenuhi kebutuhan pelaksanaan Mediasi yang lebih berdayaguna
dan mampu meningkatkan keberhasilan Mediasi di Pengadilan, sehingga perlu
menyempurnakan Perma Nomor 1 Tahun 2008 tersebut, dengan menerbitkan Perma
No. 01 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang diberlakukan
hingga sekarang.

Anda mungkin juga menyukai