NPM : 191083093
Kelas :S
h. Klausa
Bahwa dengan telah ditandatanganinya Perjanjian Kerja ini oleh kedua belah
pihak, maka Pihak Pertama menyetujui untuk mengadakan hubungan kerja
dengan Pihak Kedua dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun, terhitung sejak
tanggal….. sampai dengan tanggal………
Jika pihak pertama (dalam hal ini disebut “defaulting party’) tidak
melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan ini, pihak kedua
(dalam hal ini disebut ‘aggrieved party) berhak untuk mengirimkan
peringatan tertulis kepada pihak pertama dengan menyebutkan kewajiban
yang tertera dalam perjanjian yang tidak dilaksanakan oleh pihak pertama
dan dengan menyebutkan bahwa pihak kedua akan memutuskan Perjanjian
ini jika kegagalan tersebut terus berlanjut. Jika dalam jangka waktu 30 hari
sejak dikeluarkannya pemberitahuan tertulis kegagalan tersebut tidak
diperbaiki, pihak kedua berhak untuk segera memutuskan Perjanjian ini.
Pemutusan perjanjian tersebut dinyatakan berlaku sejak dikeluarkannya
pemberitahuan pemutusan hubungan secara tertulis dari pihak kedua kepada
pihak pertama.
Seller : …………………………………
Buyer : …………………………………
Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dalam
tingkat pertama dan terakhir menurut peraturan prosedur BANI oleh arbiter
yang ditunjuk menurut peraturan tersebut. Tentang persetujuan ini dan
segala akibatnya kedua belah pihak memilih tempat tinggal hukum
(domisili) yang umum dan tetap di Kantor Panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat”. Kedua belah pihak tidak bertanggung jawab bila tidak dapat
melaksanakan perjanjian ini sebagai akibat timbulnya perang, pertukaran
atau perubahan peraturan atau karena adanya force majeure. Perjanjian ini
tunduk pada dan ditafsirkan dalam segala hal sesuai dengan hukum Republik
Indonesia, dengan ketentuan bahwa Pihak II bebas untuk mengambil
tindakan hukum pada Pengadilan-Pengadilan di Republik Indonesia atau di
tempat lain untuk melindungi dan melaksanakan ketentuan-ketentuan
Perjanjian ini atau dengan cara lain mendapat pembayaran dari jumlah-
jumlah dan uang yang harus dibayar berdasarkan Perjanjian ini.
(…Nama…)
(…Nama…)
Saksi-saksi :
1. ………………………………………(…Nama…)
2. ………………………………………(…Nama…)
i. Syarat formil :
2. Analisis
1. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa
perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan
diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa dan kemudian bahwa
peraturan perundang-undangan yang saat itu berlaku untuk penyelesaian sengketa
melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum
pada umumnya maka diberlakukanlah UU 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa mengatur tentang penyelesaian sengketa atau beda pendapat
antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan
perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda
pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan
diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Arbitrase
menurut Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya
melalui arbitrase. Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut
juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum
tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
2. Mediasi pada lembaga peradilan berlaku sejak sejak tahun 2002, yaitu sejak
diterbitkannya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung (SEMA) Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama
menerapkan Lembaga damai. Tujuannya adalah untuk mencapai pembatasan kasasi
secara substantif, Surat Edaran tersebut mengatur antara lain:
a) Mengharuskan semua hakim yang menyidangkan perkara agar sungguh sungguh
mengusahakan perdamaian dengan menerapkan ketentuan pasal 130 HIR/154 RBg,
tidak hanya sekedar formalitas saja menganjurkan perdamaian sebagaimana yang
telah biasa dilakukan selama ini.
b) Hakim yang ditunjuk dapat bertindak sebagai fasilitator/mediator untuk membantu
para pihak yang berpekara untuk mencapai perdamaian.
c) Hakim yang ditunjuk sebagai fasilitator/mediator oleh para pihak tidak dapat
menjadi hakim majelis dalam perkara yang bersangkutan, untuk menjaga
objektifitas.
d) Jangka waktu untuk mendamaikan para pihak adalah 3 bulan dan dapat
diperpanjang,apabila ada alas an untuk itu dengan persetujuan ketua pengadilan
negeri.
e) Apabila tercapai perdamaian, akan dituangkan dalam persetujuan tertulis dan
ditandatangan oleh para pihak.
PERMA No.02 Tahun 2003 kemudian di revisi dengan diterbitkannya
PERMA No.01 Tahun 2008, kehadiran PERMA No. 1 Tahun 2008 ini dimaksudkan
untuk memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaikan
para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa. Hal ini dapat dilakukan dengan
menginsentifkan dan mengintegrasian proses mediasi kedalam prosedur berpekara
di pengadilan. Mediasi mendapat kedudukan penting dalam PERMA No. 01 Tahun
2008, sebagai bagian beracara yang wajib ada dalam proses berperkara di
pengadilan, yang berkonsekuensi, bila Hakim melanggar dan enggan untuk
menerapkan mediasi, maka produk putusan hakim tersebut batal demi hukum.
3. Dalam sistem hukum Indonesia, pengaturan mediasi secara umum (mediasi di luar
Pengadilan) diatur dalam bentuk Undang-undang yaitu Undang-undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Aletrnatif Penyelesaian Sengketa. UU Arbitrase
dan APS tersebut, pengaturan berkenaan dengan mediasi di luar Pengadilan pada
umumnya terdapat hanya 2 (dua) Pasal saja, yaitu Pasal 1 angka 10 dan Pasal 6
yang mengaturnya. lembaga damai (dading) yang diatur dalam ketentuan hukum
acara perdata Indonesia yang berlaku sejak sebelum Indonesia merdeka diatur
dalam HIR / RBG dan RR maupun dalam ketentuan hukum perdata materiil yang
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) berdasarkan
asas konkordansi dan pasca kemerdekaan Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 dan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945
Hasil perubahan keempat tahun 2002. Lembaga damai (dading) baik di luar ataupun
di dalam Pengadilan sebagai penyelesaian sengketa belum begitu efektif, sehingga
perlu diberdayakan lembali. Oleh karena itu, Mahkamah Agung memandang perlu
dilakukan pemberdayaan Pengadilan Tingakat Pertama dalam menerapkan upaya
perdamaian (Lembaga Dading) sebagaimana ditentukan dalam pasal 130 HIR/Pasal
154 RBg. Dan pasal-pasal lainnya dalam Hukum Acara yang berlaku di Indonesia,
Khususnya Pasal 132 HIR/Pasal 156 RBg, dengan cara Mahkamah Agung
menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (“SEMA”) No. 01 Tahun 2002
tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.
Sekitar lebih dari satu tahun kemudian, guna melengkapi hukum acara peradilan
yang belum cukup diatur oleh peraturan perundangundangan, maka demi kepastian,
ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk
menyelesaikan suatu sengketa perdata, dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan
Mahkamah Agung, dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung R.I.
(“Perma”) No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Setelah
Mahkamah Agung R.I. melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur Mediasi
di Pengadilan berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003 ternyata ditemukan beberapa
permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga
Perma No. 2 Tahun 2003 tersebut perlu direvisi dengan maksud untuk lebih
mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan,
dengan menerbitkan Perma No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan. Selanjutnya menurut Mahkamah Agung, Perma Nomor 1 Tahun 2008
belum optimal memenuhi kebutuhan pelaksanaan Mediasi yang lebih berdayaguna
dan mampu meningkatkan keberhasilan Mediasi di Pengadilan, sehingga perlu
menyempurnakan Perma Nomor 1 Tahun 2008 tersebut, dengan menerbitkan Perma
No. 01 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang diberlakukan
hingga sekarang.