Anda di halaman 1dari 29

BAB V

ANALISIS PUTUSAN

A. Posisi Kasus

1. Kronologi di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Pada tanggal 12 Februari 2020, pemohon mendaftarkan

permohonannya di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat dengan register Nomor : 35/Pdt.SusPKPU/

2020/PN.Niaga Jkt.Pst, telah menngajukan permohononannya sebagai

berikut:

Pada tanggal 13 Februari 2020, Pemohon selaku salah satu kreditur

Termohon mengajukan Permohonan PKPU melalui Pengadilan Niaga

pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Termohon, dengan nomor

register perkara 35/Pdt.SusPKPU/2020/PN.Niaga Jkt .Pst Termohon

PKPU berutang kepada pemohon PKPU dan banyak kreditur lainnya.

Apapun alasan para tergugat PKPU, faktanya para tergugat PKPU

mendapat uang (yang dalam hal ini telah berubah menjadi utang) dari para

pemohon PKPU dan banyak pihak lainnya. Uang pinjaman telah diterima

dan digunakan oleh termohon PKPU, namun pengembalian uang tersebut

tidak diberikan kepada pemohon PKPU sampai dengan Permohonan

PKPU a quo dibuat. Maksud pemohon PKPU adalah agar termohon

PKPU akan dicantumkan dalam PKPU agar termohon PKPU mengajukan


rencana perdamaian yang memuat penawaran untuk melunasi

kewajibannya kepada krediturnya yang telah memberikan pinjaman uang

kepada termohon PKPU. Dengan demikian, diharapkan Majelis Hakim

yang terhormat yang memeriksa dan mengadili perkara ini dapat

memberikan putusan yang seadil-adilnya.

PKPU tergugat mengusulkan pembangunan Condotel Paditeras yang

akan berlokasi di Jalan Lebak Sari No. 19, Banjar Umasari, Petitenget,

Kerobokan Kelod, Bali. Berdasarkan Sertifikat Hak Milik nomor 1869

tanggal 15 Mei 2006 dengan Surat Ukur nomor 1385 tanggal 30

November 2005, tanah di atas memiliki luas 855 m2 (delapan ratus lima

puluh lima meter persegi) dan Sertifikat Hak Milik nomor 3415 tanggal 27

Mei 2009 dengan Surat Ukur nomor 3050 tanggal 18 Mei 2009 yang

berlokasi di Desa Kerobokan Kelod memiliki luas 532 m2 (lima ratus tiga

puluh dua meter persegi).

Bahwa Termohon PKPU tidak memiliki dana yang cukup untuk

membangun Kondotel, Termohon PKPU meminta pinjaman dari berbagai

pihak, salah satunya pemohon PKPU I. Bahwa pinjaman dalam bentuk

Utang Jangka Menengah dikembalikan oleh Termohon PKPU kepada

pemohon PKPU I pada tanggal jatuh waktu yang tercantum dalam Bukti

Investasi. Adapun pinjaman Investasi yang telah diberikan oleh pemohon

PKPU I kepada termohon PKPU adalah berdasarkan surat-surat bukti

investasi (“SBI PEMOHON PKPU I”) sebagai berikut:


1. Surat Bukti Investasi No. SBI/SHJM-RO/PDT/0480/24/X/2016

tertanggal 24 Oktober 2016 yang diperbaharui terakhir kali dengan

Surat Bukti Investasi No. SBI/SHJM-RO/PDT/0797/12/X/2018

tertanggal 12 Oktober 2018 senilai Rp. 400.000.000,00 dengan

tanggal jatuh tempo pengembalian investasi pada tanggal 10

Januari 2019;

2. Surat Bukti Investasi No. SBI/SHJM-RO/PDT/0479/14/X/2016

tertanggal 14 Oktober 2016 yang diperbaharui terakhir kali dengan

Surat Bukti Investasi No. SBI/SHJM-RO/PDT/0796/2/X/2018

tertanggal 02 Oktober 2018 senilai Rp. 600.000.000,00 dengan

tanggal jatuh tempo pengembalian investasi pada tanggal 31

Desember 2018;

3. Surat Bukti Investasi No. SBI/SHJM-RO/PDT/0505/8/XII/2016

tertanggal 08 Desember 2016 yang diperbaharui terakhir kali

dengan Surat Bukti Investasi No.

SBI/SHJM-RO/PDT/0795/28/IX/2018 tertanggal 29 September

2018 senilai Rp. 300.000.000,- dengan tanggal jatuh tempo

pengembalian investasi pada tanggal 27 Desember 2018;

4. Surat Bukti Investasi No. SBI/SHJM-RO/PDT/0506/7/XI/2016

tertanggal 07 November 2016 yang diperbaharui terakhir kali

dengan Surat Bukti Investasi No.

SBI/SHJM-RO/PDT/0794/26/IX/2018 tertanggal 26 September


2018 senilai Rp. 300.000.000,- dengan tanggal jatuh tempo

pengembalian investasi pada tanggal 25 Desember 2018.

5. Surat Bukti Investasi No. SBI/SHJM-RO/PDT/0538/30/I/2017

tertanggal 30 Januari 2017 yang diperbaharui terakhir kali dengan

Surat Bukti Investasi No. SBI/SHJM-RO/PDT/0798/21/X/2018

tertanggal 21 Oktober 2018 senilai Rp. 500.000.000,- dengan

tanggal jatuh tempo pengembalian investasi pada tanggal 19

Januari 2019.

6. Surat Bukti Investasi No. SBI/SHJM-RO/PDT/0541/3/XII/2016

tertanggal 03 Desember 2016 yang diperbaharui terakhir kali

dengan Surat Bukti Investasi No.

SBI/SHJM-RO/PDT/0793/24/IX/2018 tertanggal 24 September

2018 senilai Rp. 500.000.000,- dengan tanggal jatuh tempo

pengembalian investasi pada tanggal 23 Desember 2018.

7. Surat Bukti Investasi No. SBI/SHJM-RO/PDT/0506/29/XI/2016

tertanggal 29 November 2016 yang diperbaharui terakhir kali

dengan Surat Bukti Investasi No.

SBI/SHJM-RO/PDT/0792/20/VIII/2018 tertanggal 20 Agustus

2018 senilai Rp. 1.000.000.000,- dengan tanggal jatuh tempo

pengembalian investasi pada tanggal 18 November 2018.


Total nilai investasi yang dibayarkan oleh pemohon PKPU I

kepada termohon PKPU dan harus dikembalikan kepada pemohon

PKPU I adalah sebesar Rp. 3.600.000.000,- (tiga miliar enam ratus

juta Rupiah), dimana pengembalian pinjaman investasi yang harus

dibayar oleh termohon PKPU kepada pemohon PKPU I belum pernah

dibayarkan. Hutang ini harus dibayar secara terpisah oleh termohon

PKPU pada tanggal jatuh tempo masing-masing. Jika ditetapkan

bahwa hanya satu utang yang telah jatuh tempo tetapi belum dibayar

oleh tanggapan PKPU, pemohon PKPU I memiliki kedudukan sebagai

kreditur yang dapat menagih kewajiban yang telah jatuh tempo.

Kemudian Termohon PKPU juga mempunyai kewajiban-

kewajiban yang telah jatuh tempo, dapat dikembalikan, dan belum

dibayar kepada Pemohon PKPU II karena Termohon PKPU juga tidak

mengembalikan pinjaman investasi kepada Pemohon PKPU II dalam

jangka waktu yang ditetapkan dalam Bukti Penanaman Modal (“SBI

PKPU PEMOHON" II") sebagai berikut:

1. Surat Bukti Investasi No.

SBI/SHJM-RO/PDT/0808/13/IV/2017, jatuh tempo 13 April

2019;
2. Surat Bukti Investasi No.

SBI/SHJM-RO/PDT/0809/15/IV/2017, jatuh tempo 15 April

2019.

Seluruh pinjaman investasi utama adalah Rp. 300.000.000 (tiga

ratus juta Rupiah) dengan indikasi keuntungan sebesar Rp.

73.500.000,- (tujuh puluh tiga juta lima ratus ribu Rupiah) yang telah

diakui oleh Termohon PKPU sebesar nilai utangnya. Dengan surat

tertanggal 25 Oktober 2018 Perihal: Pengembalian Pokok Investasi

Bahwa pemohon PKPU II mengajukan surat panggilan pada tanggal

24 Mei 2019 untuk menuntut pembayaran utang dan penghasilan

termohon PKPU, belum ada tanggapan atau pembayaran dari

termohon PKPU.

Para pemohon PKPU selain pemohon PKPU I dan PKPU II

memiliki utang sederhana yang telah jatuh tempo dan dapat ditagihkan

kepada pemohon PKPU III sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar

Rupiah) berdasarkan Sertifikat MTN (Konfirmasi Penanaman Modal)

No. 0334/BILYET/MTN/TGA/PTC/IV/2016 tanggal 21 April 2017

dan jatuh tempo pada tanggal 21 April 2017 dan pemohon PKPU III

kemudian menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli No.

0106/PPJB/MTN/TGA/PTC/V/2016 tanggal 02 Mei 2016 Program

Buy Back “PADITERAS” KONDOTEL Jalan Lebak Sari No. 19,


Banjar Umasari, Petitenget , Kerobokan Kelod, Bali (“PPJB III”)

untuk menjamin pembayaran utang termohon PKPU kepada PK. Jadi,

menurut PPJB III, termohon PKPU yang dikenal sebagai Penjual

berkomitmen untuk membeli kembali utang MTN tersebut pada saat

jatuh tempo yang tertera dalam PPJB III, sedangkan keuntungan yang

ditawarkan kepada pemohon PKPU III berupa potongan harga.

Berdasarkan fakta – fakta tersebut di atas, pemohon memohon

kepada Ketua Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk

memeriksa dan memberikan putusan sebagaimana posita Pemohon dan

mengangkat Kurator. Akibatnya, telah ditetapkan secara sah dan jelas

bahwa termohon PKPU memiliki kewajiban atas pemohon PKPU II

dan III yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

B. Df

Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebelum

menjatuhkan putusan terhadap perkara Nomor 35/Pdt.SusPKPU/ 2020/PN.Niaga Jkt.Pst

telah memberikan pertimbangan sebagai berikut:

Bahwa benar, Pemohon PKPU I, Pemohon PKPU II, dan Pemohon PKPU III adalah investor

pada Termohon PKPU berdasarkan Surat Bukti Investasi yang dipegang oleh masing-masing.

Akan tetapi, dalam Surat Bukti Investasi tersebut terdapat Ketentuan Butir 3 dan 4, sebagai

berikut: Butir 3 Surat Bukti Investasi, yang dikutip sebagai berikut:


Bahwa dengan jelas dinyatakan dalam Ketentuan Butir 3 dan 4 Surat Bukti Investasi

tersebut, agar dalam melihat hubungan hukum antara Pemohon PKPU I, Pemohon PKPU II,

dan Pemohon PKPU III dengan Termohon PKPU tidak semata-mata hanya dilihat dari isi dan

ketentuan Surat Bukti Investasi semata, akan tetapi harus dilihat bahwa Perjanjian

Pengikatan Jual Beli yang dibuat dan ditandatangani oleh masing-masing Pemohon PKPU I,

Pemohon PKPU II, dan Pemohon PKPU III. Dengan kata lain, investasi Surat Utang Jangka

Menengah pada Termohon PKPU menjadi satu kesatuan dengan Perjanjian Pengikatan Jual

Beli tentang Program Pembelian Kembali (Buy Back) “Paditeras” Kondotel. Bahwa Perjanjian

Pengikatan Jual Beli tentang Program Pembelian Kembali (Buy Back) “Paditeras” Kondotel

telah diatur mekanisme dan pembelian masing-masing unit kondotel yang akan ditingkatkan

menjadi milik masing-masing Pemohon PKPU I, Pemohon PKPU II, dan Pemohon PKPU III

apabila Termohon PKPU tidak dapat menjalankan program pembelian kembali (buy back)

atas investasi yang telah dimasukkan kepada Termohon PKPU. Hal tersebut senada dengan

maksud dan tujuan Perjanjian Pengikatan Jual Beli tentang Program Pembelian Kembali (Buy

Back) “Paditeras” Kondotel sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 (Maksud dan Tujuan),

dimana telah disepakati bahwa program pembelian kembali (buy back) berkaitan dengan

formulir transaksi jual beli efek dan MTN (medium term notes) dan merupakan satu

kesatuan.

sebagaimana telah disepakati oleh Pemohon PKPU I, Pemohon PKPU II, dan Pemohon PKPU

III dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli tentang Program Pembelian Kembali (Buy Back)

“Paditeras” Kondotel yang dibuat dan ditandatangani bersama dengan OCO DARMOWASITO

secara pribadi, maka penyelesaian dengan mekanisme sebagaimana dimaksud di atas tentu
harus melibatkan OCO DARMOWASITO secara pribadi melalui mekanisme penyelsaian yang

disepakati dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli tentang Program Pembelian Kembali (Buy

Back) “Paditeras” Kondotel; Bahwa apabila mekanisme penyelesaian yang telah disepakati

dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli tentang Program Pembelian Kembali (Buy Back)

“Paditeras” Kondotel tidak memuaskan Pemohon PKPU I, Pemohon PKPU II, dan Pemohon

PKPU III, maka secara hukum dapat dibawa penyelesaian melalui Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan (vide Pasal 12);

Bahwa lagi pula, baik Pemohon PKPU I, Pemohon PKPU II, dan Pemohon PKPU II BELUM

PERNAH mengajukan penyelesaian untuk membeli unit dan sekaligus meningkatkan PPJB

menjadi Akta Jual Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, sebab dengan jelas telah

disepakati bahwa kegagalan Termohon PKPU melalukan buy back akan dapat ditingkatkan

dengan penandatanganan Akta Jual Beli.

Bahwa dengan demikian, mekanisme penyelesaian tersebut di atas harus terlebih dahulu

dilakukan oleh masing-masing Pemohon PKPU I, Pemohon PKPU II, dan Pemohon PKPU III

dengan Oco Darmowasito. Jika tidak, maka Pemohon PKPU I, Pemohon PKPU II, dan

Pemohon PKPU III akan mendapatkan keuntungan yang luar biasa dua kali lipat dengan

mendapatkan pembayaran keuntungan dari Termohon PKPU dan disisilain, akan

mendapatkan unit dari Oco Darmowasito.

C. Bh
Bahwa sebagaimana telah diuraikan dalil-dalil mengenai tidak adanya utang yang

jatuh waktu dan dapat ditagih Termohon PKPU terhadap Para Pemohon PKPU,

dengan alasan bahwa tidak adanya wanprestasi pembayaran yang telah dilakukan

oleh Termohon PKPU sebab seharusnya mekanisme penyelesaian harus

dilaksanakan terlebih dahulu sebagaimana diamanatkan dalam Perjanjian

Pengikatan Jual Beli tentang Program Pembelian Kembali (Buy Back) “Paditeras”

Kondotel yang sudah ada. Tanpa adanya mekanisme penyelesaian yang telah

dijalankan oleh masing-masing pihak termasuk Para Pemohon PKPU maupun Hj. M.

Murdiwati dan Paula Naniwati Dasuki, maka syarat adanya utang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal Pasal 222 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU

Kepailitan dan PKPU menjadi TIDAK TERPENUHI.

ahwa sekali lagi untuk menguji mengenai ada utang atau tidaknya yang menjadi

kewajiban hukum Termohon PKPU, tentu harus dicermati juga ketentuan dalam

Perjanjian Pengikatan Jual Beli tentang Program Pembelian Kembali (Buy Back)

“Paditeras” Kondotel. Sehingga, jika program pembelian kembali (buy back)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilaksanakan maka dengan sendirinya akan

menyebabkan hak dan kewajiban masing-masing pihak menjadi sempurna terjadi

dimana Para Pemohon PKPU dan Hj. M. Murdiwati dan Paula Naniwati Dasuki akan

memperoleh unit yang menjadi obyek perjanjian dalam Perjanjian Pengikatan Jual

Beli tentang Program Pembelian Kembali (Buy Back) “Paditeras” Kondotel PKPU

maupun Hj. M. Murdiwati dan Paula Naniwati Dasuki mempunyai hak tagih secara

hukum dan menyebabkan Termohon PKPU mempunyai kewajiban berupa utang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 222 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 2 ayat

(1) UU Kepailitan dan PKPU.

jika Hj. M. Murdiwati dan Paula Naniwati Dasuki merasa punya hak tagih yang

belum terbayarkan maka langkah yang harus dilakukan sesuai dengan yang

disepakati dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli tentang Program Pembelian

Kembali (Buy Back) “Paditeras” Kondotel yaitu dengan meminta kepada Oco

Darmowasito untuk meningkatkan PPJB yang sudah ada dengan Akta Jual Beli (AJB)

sekaligus balik nama. Sebab, skema dan metode seperti itulah yang disepakati dari

awal dan telah disepakati oleh Hj. M. Murdiwati dan Paula Naniwati Dasuki,

sehingga prosesnya harus terlebih dahulu dilalui. Jika kemudian, ternyata Oco

Darmowasito tidak mau melaksanakan pembelian kembali (buy back) atas unit yang

dimaksud dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli tentang Program Pembelian

Kembali (Buy Back) “Paditeras” Kondotel, maka dengan sendirinya secara hukum

menyebabkan baik Termohon PKPU maupun Oco Darmoasito mempunyai

kewajiban hukum.

Menimbang, bahwa Pasal 222 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan “Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitur yang mempunyai lebih dari 1

(satu) Kreditor atau oleh Kreditor”, dan ayat (3) menentukan bahwa Kreditor yang

memperkirakan Debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah

jatuh waktu dan dapat ditagih dapat memohon agar kepada Debitor diberi

penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan Debitor


mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau

seluruh utangnya kepada Kreditornya.

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang,

baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung

maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontijen, yang timbul karena

perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak

dipenuhi, memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta

kekayaan Debitor.

Menimbang, bahwa oleh karena pemberian Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang yang diajukan oleh Kreditur ini dapat berakibat Pailit jika Debitor pada

akhirnya tidak mau mengajukan Rencana Perdamaian atau Rencana Perdamaian

yang diajukan tidak disetujui oleh Para Kreditur, maka untuk dapat mengabulkan

permohonan PKPU, Pengadilan selain mengacu pada ketentuan pasal 222 ayat (3)

Undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, juga harus mengacu pada ketentuan pasal 2 ayat (1) Jo. pasal 8

ayat (4) Undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu : “apabila terdapat fakta atau keadaan yang

terbukti secara sederhana bahwa debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan

tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat

ditagih.

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat para Pemohon PKPU bertanda : P. 3a

s/d P. 3g serta bukti surat Termohon PKPU bertanda : T. 21 s/d T. 26 masing-masing


berupa Surat Bukti Investasi, ternyata bahwa Pemohon PKPU I telah melakukan

investasi kepada PT. Taras Graha Advisindo (Termohon PKPU) sebesar

Rp.3.600.000.000,00 (tiga milyar enam ratus juta rupiah) dalam 7 (tujuh) kali

investasi sejak tanggal 4 Agustus 2018 sampai dengan 21 Oktober 2018 dan

investasi tersebut harus dikembalikan oleh PT. Taras Graha Advisindo (Termohon

PKPU) kepada Pemohon PKPU I pada tanggal 18 November 2018 sampai dengan 19

Januari 2019, sesuai dengan jatuh waktu setiap investasi tersebut.

Menimbang, bahwa sampai dengan perkara permohonan a quo diajukan ke

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, uang investasi tersebut

tidak dikembalikan oleh Termohon PKPU kepada para Pemohon PKPU walaupun

sudah jatuh waktu;

bahwa sebagaimana diuraikan di atas, telah ternyata bahwa Termohon PKPU

mempunyai utang para Pemohon PKPU dan utang tersebut telah jatuh waktu dan

dapat ditagih serta dapat pula dibuktikan secara sederhana dan dengan perhatikan

tenggang waktu tidak dibayarnya utang Termohon PKPU tersebut, maka para

Pemohon PKPU sebagai Kreditor patut memperkirakan Termohon PKPU sebagai

debitor tidak dapat membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih

tersebut, sebagaimana ditentukan dalam Pasa 222 ayat (3) Undang-undang No. 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(PKPU)

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung berpendapat

terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh
Pemohon Kasasi, selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini

dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini. Menimbang, bahwa oleh

karena permohonan kasasi dikabulkan, maka Termohon Kasasi harus dihukum untuk

membayar semua biaya perkara dalam semua tingkat peradilan. Memperhatikan

Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan

perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009, serta peraturan

perundang-undangan lain yang bersangkutan.

D. Dkdnf

Debitor diwajibkan melaksanakan pembayaran utangnya kepada para kreditor, sedangkan

para kreditor berhak untuk menerima pelunasan utang dari debitor sesuai dengan total

tagihan dan cara pembayaran yang telah ditentukan. Akan tetapi, apabila Debitor

lalai/wanprestasi terhadap pelaksanaan perjanjian perdamaian, maka pihak Kreditor dapat

memohonkan pembatalan perdamaian sebagaimana ketentuan yang diatur di dalam Pasal

170 ayat (1) dan Pasal 171 UUKPKPU.

Berikut ini perbuatan Debitor yang dapat disebut sebagai perbuatan lalai dalam memenuhi

perjanjian perdamaian PKPU, yaitu1 :

a. Debitor bertindak dengan iktikad buruk dalam melakukan pengurusan terhadap

hartanya, selama waktu PKPU.


b. b. Debitor telah merugikan atau mencoba merugikan Kreditornya.

c. Debitor melanggar Pasal 240 Ayat (1) UUK yang mengharuskan Debitor bertindak

mengenai hartanya berdasarkan kewenangan yang diberi oleh Pengurus.

d. Debitor lalai melaksanakan tindakan – tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh

Pengadilan pada saat atau setelah PKPU diberikan, atau lalai melaksanakan

tindakan-tindakan yang disyaratkan oleh pengurus demi kepentingan harta Debitor.

e. Selama waktu PKPU, keadaan harta Debitorternyata tidak lagi memungkinkan

dilanjutkannya PKPU.

f. Keadaan Debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap

para Kreditor pada waktunya

Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitur tidak mampu untuk melakukan

pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya. Keadaan tidak

mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial

distress) dari usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. Kepailitan adalah putusan

pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang

telah ada maupun yang akanada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan pailit

dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama

menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang

debitur pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur

kreditur. 9
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang diberikan definisi “Kepailitan adalah sita umum atas semua

kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di

bawah pengawasan hakim pengawas”. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.37

Tahun 2004, kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau

Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-

Undang No.37 Tahun 2004, debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian

atau Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.

Berdasarkan pada hasil penelitian yang penulis lakukan di Pengadilan Niaga Pada Pengadilan

Negeri Jakarta, bahwa putusan yang diputuskan oleh hakim ketua majelis telah sesuai

dengan Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, Termohon terbukti telah memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 ayat (4), dan Pasal 15 ayat (1) dan

ayat (3) Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang. Atau dalam putusan hakim mengenai perkara kepailitan yaitu putusan

Nomor 35/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga Jkt.Pst Hakim menjatuhkan putusan didasarkan

pada pertimbangan, kemudian hakim mengkualifikasi persyaratan untuk dinyatakan pailit.

Pasal 1 ayat (2) telah dijelaskan secara jelas bahwa orang yang mempunyai piutang karena

perjanjian dapat ditagih di muka pengadilan. Adanya permohonan kepailitan yang diajukan

di pengadilan niaga, digambarkan Halim Santoso sebagai Pemohon, sedangkan yang

dipailitkan adalah PT. Taras Graha Advisindo, di mana Termohon memiliki kreditur lebih
dari satu. Pertama, Halim Santoso sebagai Pemohon, di luar Halim Santoso dia juga

mempunyai utang terhadap kreditur-kreditur lain yaitu: (1) Sanfransiska; (2) Zamharil Z.

Anwar, dengan demikian Termohon sudah memenuhi syarat bahwa utang-utang ini telah

jatuh tempo.

Pengadilan Niaga dalam menjatuhkan putusan terhadap Termohon pailit mengingat

ketentuan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran (PKPU) menyatakan bahwa: “Debitur yang mempunyai

dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh

waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas

permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.

Berdasarkan rumusan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU tersebut diperoleh

pemahaman bahwa komponen penting dalam Hukum Kepailitan harus terpenuhinya unsur-

unsurnya antara lain debitur, mempunyai dua/lebih kreditur, dan utang yang telah jatuh

waktu dan dapat ditagih.

Apabila dilihat dari Kesesuaian Putusan Hakim Ditinjau dari UndangUndang No.37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Mengingat

ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 ayat (4), Pasal 15 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),

telah terpenuhi fakta atau keadaan, terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk

dinyatakan pailit sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU telah tepenuhi di

mana Termohon mempunyai utang kepada Pemohon telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
sehingga Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Semarang telah sesuai dengan amar

putusannya berdasarkan Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sehingga Termohon dinyatakan pailit dengan

segala akibat hukumnya.

bahwa pada dasarnya apabila dalam suatu pemeriksaan perkara telah selesai, sebelum

menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut, maka Majelis Hakim berkewajiban untuk

merumuskan terlebih dahulu mengenai pertimbanganpertimbangan hukumnya yang di

mana pertimbangan hukum itu akan dijadikan sebagai dasar utama dalam pengambilan atau

penjatuhan putusan dari perkara tersebut. Hal pokok yang dapat dijadikan sebagai dasar

pertimbangan oleh Hakim sebelum menjatuhkan putusan adalah terkait pada bagaimana

saat proses pembuktian di persidangan yang dilakukan oleh para pihak baik Pemohon

maupun Termohon. Terpenuhinya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, di mana debitur

mempunyai dua atau lebih kreditur itu sudah bisa di hukum. Perkara kepailitan merupakan

suatu perkara yang sangat sederhana sekali. Saya punya hutang pada kamu dan kamu punya

hutang kepada orang lain, sudah selesai kamu bisa saya ajukan, tidak mungkin pengadilan

tidak memutuskan.

Berdasarkan pada Putusan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Jakarta Nomor

35/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.NiagaJkt.Pst yang telah berkekuatan hukum tetap. Apabila

Pemohon mampu membuktikan dalil-dalil dalam permohonannya, maka yang akan

dijadikan pertimbangan Majelis Hakim antara lain: Pertama, apakah Termohon mempunyai
dua atau lebih kreditur. Kedua, apakah Termohon mempunyai utang yang telah jatuh tempo

dan dapat ditagih, tetapi tidak dibayarkan oleh Termohon pailit.

Apabila dalam proses pembuktian Pemohon dapat membuktikan dalil permohonannya serta

dapat meyakinkan Majelis Hakim dalam pemeriksaan perkara tersebut, maka sudah pasti

dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim akan mengabulkan permohonan Pemohon.

Begitu juga sebaliknya. Jadi, dasar yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusannya

adalah terkait dengan bukti yang diajukan oleh para pihak dalam persidangan. Sebagaimana

tertuang dalam Putusan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Jakarta Nomor

35/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.NiagaJkt.Pst bahwa hakim telah memberikan pertimbangan

pertimbangan hukumnya yang akan dijadikan pedoman dalam menjatuhkan putusan

mengenai perkara permohonan pailit pada PT. Taras Graha Advisindo . Kesimpulan

pembuktian mengenai fakta-fakta hukum di atas, maka adapun pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan putusan adalah sebagai berikut:

Sebagaimana diuraikan oleh Pemohon PKPU I, Pemohon PKPU II, dan Pemohon PKPU III

dalam Permohon PKPU dengan mendalilkan adanya investasi dan pembelian unit Kondotel

Paditeras, hanya saja investasi dilakukan oleh Pemohon PKPU I, Pemohon PKPU II, dan

Pemohon PKPU III kepada Termohon PKPU, sementara pembelian Unit dibuat dan

ditandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli tentang Program Pembelian Kembali (Buy

Back) “Paditeras” Kondotel antara Pemohon PKPU I dengan Oco Darmowasito, Pemohon

PKPU II dengan Oco Darmowasito, dan Pemohon PKPU III dengan Oco Darmowasito.
Skema transaksi tersebut berimplikasi pada perbedaan tipikal hubungan hukum dan tentu

tidak dapat ditarik menjadi suatu yang mengikat ketiga pihak (Pemohon PKPU I, Pemohon

PKPU II, dan Pemohon PKPU III dengan Termohon PKPU dan disisi lain, Pemohon PKPU I,

Pemohon PKPU II, dan Pemohon PKPU III dengan Oco Darmowasito) dalam suatu hak dan

kewajiban. Pemohon PKPU I, Pemohon PKPU II, dan Pemohon PKPU III dan Termohon PKPU

hanya membuat dan menandatangani Formulir Investasi dan Surat Bukti Investasi Surat

Hutang Jangka Menengah yang tentu berdasarkan Pasal 1338 jo. 1340 KUH Perdata hanya

mengikat Pemohon PKPU I, Pemohon PKPU II, dan Pemohon PKPU III dan Termohon PKPU

saja, dan tidak melibatkan pihak lainnya diluar keduanya seperti Oco Darmowasito.

Bahwa sementara hubungan hukum yang lahir antara Pemohon PKPU I, Pemohon PKPU II,

dan Pemohon PKPU III dan Oco Darmowasito berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli

tentang Program Pembelian Kembali (Buy Back) “Paditeras” Kondotel yang sama dengan

penjelasan di atas berdasarkan Ketentuan Pasal 1338 jo. 1340 KUH Perdata hanya mengikat

Pemohon PKPU I, Pemohon PKPU II, dan Pemohon PKPU III dan Oco Darmowsito, dan tidak

mengikat pihak lain seperti Termohon PKPU.

Bahwa TIDAK ADA dokumen atau bentuk perjanjian apapun yang ditandatangani secara

bersama-sama antara ketiga pihak (Para Pemohon PKPU, Termohon PKPU, dan Oco

Darmowasito) yang menyatakan bahwa pembayaran yang dilakukan oleh Para Pemohon

PKPU kepada Termohon PKPU sebagai investasi menjadi harga pembelian unit di Kondotel

Paditeras dengan Oco Darmowasito. Atau bahkan, tidak ada perjanjian yang mengatur

bahwa pembayaran yang diterima oleh Termohon PKPU akan diteruskan ke rekening milik
Oco Darmowasito sebagai pembayaran UNIT sebagai pelunasan agar Perjanjian Pengikatan

Jual Beli tentang Program Pembelian Kembali (Buy Back) “Paditeras” Kondotel dapat

dilaksanakan.

Oleh karenanya, dari Konsideran kedua Perjanjian Pengikatan Jual Beli tentang Program

Pembelian Kembali (Buy Back) “Paditeras” Kondotel tersebut maka jual beli dianggap

menjadi suatu kewajiban hukum setelah terpenuhi unsur-unsur, yaitu: Pertama, unit-unit

sudah selesai dibangun dan jika melihat kondisi sekarang bahwa benar Termohon PKPU

telah membangun Kondotel Paditeras tersebut, dan Kedua, harus ada pembayaran lunas

baru dapat dilakukan AJB.

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat para Pemohon PKPU bertanda : P. 3a s/d P. 3g

serta bukti surat Termohon PKPU bertanda : T. 21 s/d T. 26 masing-masing berupa Surat

Bukti Investasi, ternyata bahwa Pemohon PKPU I telah melakukan investasi kepada PT. Taras

Graha Advisindo (Termohon PKPU) sebesar Rp.3.600.000.000,00 (tiga milyar enam ratus juta

rupiah) dalam 7 (tujuh) kali investasi sejak tanggal 4 Agustus 2018 sampai dengan 21

Oktober 2018 dan investasi tersebut harus dikembalikan oleh PT. Taras Graha Advisindo

(Termohon PKPU) kepada Pemohon PKPU I pada tanggal 18 November 2018 sampai dengan

19 Januari 2019, sesuai dengan jatuh waktu setiap investasi tersebut.

Menimbang, bahwa sampai dengan perkara permohonan a quo diajukan ke Pengadilan

Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, uang investasi tersebut tidak dikembalikan oleh

Termohon PKPU kepada para Pemohon PKPU walaupun sudah jatuh waktu. Menimbang,

bahwa berdasarkan bukti surat para Pemohon PKPU bertanda : P. 5a dan P. 5b masing-
masing berupa Surat Bukti Investasi, ternyata bahwa Pemohon PKPU II telah melakukan

investasi kepada PT. Taras Graha Advisindo (Termohon PKPU) masing-masing sebesar

Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan Rp.200.000,00 (dua ratus juta rupiah dalam 2

(dua) kali investasi, yakni tanggal 13 April 2017 dan 15 April 2017 dan investasi tersebut

harus dikembalikan oleh PT. Taras Graha Advisindo (Termohon PKPU) kepada Pemohon II

pada tanggal 13 April 2019 dan 15 April, sesuai dengan jatuh waktu setiap investasi

tersebut.

Menimbang, bahwa sampai dengan perkara permohonan a quo diajukan ke Pengadilan

Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, uang investasi tersebut tidak dikembalikan oleh

Termohon PKPU kepada para Pemohon PKPU walaupun sudah jatuh waktu.

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat para Pemohon PKPU bertanda : P. 8 serta bukti

surat Termohon PKPU bertanda : T. 40 berupa Corfimation Of Invesment (Konfirmasi

Investasi), ternyata bahwa Pemohon PKPU III telah membeli Medium Term Notes (Surat

Utang Jangka Menengah) dari PT. Taras Graha Advisindo (Termohon PKPU) dan Pemohon

PKPU III telah menyerahkan uang kepada Termohon PKPU (PT. Taras Graha Advisindo)

sejumlah Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) pada tanggal 21 April 2016 uang tersebut

harus dikembalikan oleh PT. Taras Graha Advisindo (Termohon PKPU) kepada Pemohon

PKPU III pada tanggal 21 April 2017, sesuai dengan jatuh waktu investasi tersebut. Pemohon

PKPU walaupun sudah jatuh waktu.

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian dan pertimbanganpertimbangan tersebut di atas,

maka telah ternyata bahwa Termohon PKPU mempunyai utang para Pemohon PKPU dan
utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih serta dapat pula dibuktikan secara

sederhana.

Menimbang, bahwa selanjutnya Termohon PKPU menghubungkan pembayaran utangnya

tersebut kepada para Pemohon PKPU dengan adanya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

antara para Pemohon PKPU dengan Oco Darmowasito.

Menimbang, bahwa setelah mencermati bukti surat para pemohon PKPU bertanda : P. 1, P.

2, P. 7, dan bukti surat Termohon PKPU bertanda : T. 11, T. 12, T. 31, masing-masing berupa

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara Pemohon PKPU I dengan Oco Darmowasito

serta perjanjian antara Pemohon PKPU III dengan Oco Darmowasito, ternyata bahwa

perjanjian tersebut adalah perjanjian pribadi antara Oco Darmowasito dengan Pemohon

PKPU I dan antara Oco Darmowasito dengan Pemohon PKPU III.

bahwa sebagaimana diuraikan di atas, telah ternyata bahwa Termohon PKPU mempunyai

utang para Pemohon PKPU dan utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih serta

dapat pula dibuktikan secara sederhana dan dengan perhatikan tenggang waktu tidak

dibayarnya utang Termohon PKPU tersebut, maka para Pemohon PKPU sebagai Kreditor

patut memperkirakan Termohon PKPU sebagai debitor tidak dapat membayar utangnya

yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih tersebut, sebagaimana ditentukan dalam Pasa

222 ayat (3) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Menimbang, bahwa oleh karenanya Majelis Hakim berpendapat adalah adil dan patut untuk

mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan


para Pemohon PKPU untuk sementara yaitu selama 44 (empat puluh empat) hari, terhitung

sejak putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Sementara ini diucapkan,

untuk kemudian mengadakan sidang tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(PKPU) Sementara ini sebagaimana dimaksud dalam pasal 227 UU RI No. 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan PKPU pada waktu dan tempat sebagaimana disebutkan dalam amar

putusan di bawah ini.

Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang (PKPU) ini untuk sementara yaitu 44 (empat puluh empat) hari, maka Majelis Hakim

haruslah menunjuk Hakim Pengawas yang berasal dari Hakim Niaga pada Pengadilan

Negeri/Niaga Jakarta Pusat sebagaimana disebutkan dalam amar putusan.

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat para Pemohon PKPU bertanda : P.16a sampai

dengan P.16d, ternyata bahwa Tasman Gultom, S.H., M.H, Ellywati Suzanna Saragih, S.E.,

S.H, Toni Mulia, S.H., M.H dan Andrea Ariefanno S.H masing-masing menyatakan bersedia

untuk diangkat dan ditunjuk menjadi Pengurus dalam proses Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang dan / atau Kurator dalam hal permohonan PKPU dinyatakan pailit dalam

perkara ini, menyatakan tidak memiliki benturan kepentingan dengan pihak terkait dalam

perkara ini, dan tidak sedang menangani lebih dari 3 (tiga) perkara Kepailitan dan PKPU

serta terdaftar sebagai Kurator dan Pengurus pada Kementerian Hukum dan HAM RI, oleh

karenanya Majelis Hakim berpendapat permohonan para Pemohon PKPU yang berkaitan

dengan keberadaan Tim Pengurus tersebut patut dapat dikabulkan.


Pertama, kesesuaian putusan hakim ditinjau dari Undang-Undang No.37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap Putusan Nomor

35/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga Jkt.Pst telah sesuai dengan Undang-Undang No.37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, di mana dalam

putusan tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) yang

pertama adanya PT. Taras Graha Advisindo sebagai debitur yang di dalam permohonan

berkedudukan sebagai Termohon pailit, kedua dengan terpenuhinya debitur yang

mempunyai dua atau lebih kreditur yaitu Halim Santoso , dan kreditur yang lain di

antaranya: (1) Sanfranciska; (2) Zamharil Z. Anwar dan terpenuhinya unsur yang ketiga

bahwa hutang-hutang debitur telah jatuh tempo dan dapat ditagih sebagaimana perjanjian

utang piutang antara debitur dengan kreditur. Dengan dikabulkannya permohonan pailit,

maka berdasarkan pada Pasal 15 ayat (1) hakim harus menunjuk seorang hakim pengawas

dan kurator dalam putusannya. Sebagaimana implementasi dari putusan , maka putusan

hakim tersebut telah sesuai sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Kedua, pertimbangan hakim dalam menentukan putusan terhadap permohonan pailit pada

PT. Taras Graha Advisindo terhadap Putusan Nomor 35/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga Jkt.Pst

dengan melihat bagaimana proses pembuktian di persidangan yang dilakukan oleh para

pihak. Selain itu dalam menjatuhkan putusan hakim juga mempertimbangkan bukti-bukti

berdasarkan fakta serta alasan-alasan dari para pihak. Pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan putusan ini juga karena dilihat dari bukti-bukti yang diajukan oleh

permohonan (adanya utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih di antaranya P-3, P-6)
dan hal tersebut diakui oleh Termohon (diantaranya T-6, T-7). Selain itu Pemohon juga telah

mendapatkan surat somasi (peringatan) dari Pemohon pailit, akan tetapi Termohon tidak

mengindahkannya dan tidak melaksanakan kewajibannya. Atas dasar rangkaian

pertimbangan hukum tersebut pengadilan niaga telah memperoleh fakta atau keadaan dan

terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana

ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU telah tepenuhi, sehingga bila dikaitkan dengan

Pasal 8 ayat (4), maka hakim harus mengabulkan permohonan pernyataan pailit.
Pertama, kepada para pembuat undang-undang, untuk lebih memperhatikan lagi terhadap

produk hukum yang diterbitkan, karena jika dilihat pada Putusan Hakim Nomor 35/Pdt.Sus-

PKPU/2020/PN.Niaga Jkt.Pst, menyatakan debitur pailit yang didasarkan pada ketuntuan

Pasal 2 ayat (1) dengan pertimbangan Pasal 8 ayat (4). Menurut penulis dasar dan

pertimbangan putusan hakim tersebut sangatlah sederhana, sehingga membuka celah bagi

debitur untuk dimanfaatkan dalam mengajukan kepailitan. Sebagai contoh, apabila terdapat

debitur yang mempunyai 4 kreditur yang masing-masing kreditur tersebut memberikan

pinjaman sebesar 1.000.000.000,- dengan batas pembayaran maksimal satu tahun

berdasarkan kesepakatan para pihak baik kreditur dan debitur. Apabila telah jatuh tempo,

sedangkan debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya terhadap kreditur, maka debitur

yang tidak mempunyai itikad baik untuk memenuhi kewajibannya dapat memanfaatkan

Pasal 2 ayat (1) tanpa mempertimbangkan jumlah harta yang dimilikinya untuk dijadikan sita

jaminan, meskipun jumlah harta tersebut tidak dapat menutup keseluruhan hutang yang

dimilikinya. Maka hal ini menyebabkan hak-hak dari para kreditur tidak dapat dipenuhi

seluruhnya dengan adanya putusan pailit tersebut. Oleh karena itu perlu diadakannya revisi

dari Undang-undang kepailitan mengenai syarat-syarat pailit sehingga hak dari para kreditur

dapat terpenuhi secara utuh dan menutup celah bagi debitur nakal untuk memanfaatkan

ketentuan syarat pailit guna mehindari pemenuhan kewajibannya.

Kedua, kepada kreditur, hendaknya lebih hati-hati dalam memberikan pinjaman, karena

undang-undang yang mengatur saat ini mudah memberikan celah bagi debitur nakal dalam

mengajukan permohonan pailit tanpa pertanggungjawaban.

Anda mungkin juga menyukai